(Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kajian Fiqh Klasik Hingga Kontemporer)
Dosen Pembimbing:
Disusun Oleh:
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Allah SWT. atas segala Rahmat dan
AnugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah tentang “Al -
Qard” ini. Sholawat serta Salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda kita yakni Nabi
Muhammad SAW. sebagai suri tauladan serta pemimpin umat manusia hingga akhir zaman.
Pembuatan makalah ini bukanlah sesuatu yang instan, namun membutuhkan proses
yang panjang. Penulisan makalah ini saya lakukan dalam rangka untuk memenuhi tugas
dalam mata kuliah Kajian Fiqh Klasik hingga Kontemporer semester 3, oleh karena itu kami
ucapkan terima kasih atas bantuan serta bimbingannya dari berbagai pihak yang telah banyak
membantu kami dalam proses penyelesaian makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan
karena keterbatasan pengetahuan, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Namun
demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
( Kelompok 6 )
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
5. Untuk mengetahui ketentuan Al – Qard
6. Untuk mengetahui manfaat Al – Qard
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Ahmad Warson Munawir, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia,Yogyakarta: PP. alMunawwir, 1997, hlm. 1108.
2
Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, Hlm. 151.
3
Abdullah Bin Muhammad Ath-Thayar, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam Pandangan Fikih 4 Madzab,
Terj. Miftahul Khairi, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2009, Hlm. 153
4
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang: Pustaka Rizki Putra,
1999, hlm. 103
3
Pengertian utang-piutang ini sama dengan pengertian perjanjian pinjam-meminjam
yang dijumpai dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1754 yang
berbunyi: Pinjam-meminjam adalah suatu perjanjian yang mana pihak yang satu
memberikan kepada pihak lain
suatu jumlah barang atau uang yang habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa
pihak yang lain ini akan mengembalikan sejumlah yang sama dari barang atau uang
yang dipinjamnya.
Beberapa Ulama berbeda pendapat dalam mengemukakan pengertian utang-piutang,
diantaranya yaitu :
a) Pendapat Syafi‟iyah yang dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich sebagai
berikut:“Syafi‟iyah berpendapat bahwa qardh (utang-piutang) dalam istilah
syara‟ diartikan dengan sesuatu yang diberikan kepada orang lain (yang pada
suatu saat harus dikembalikan).”
b) Menurut Hanafiyah yang dikutip oleh Wahbah az-Zuhaili qardh
(utangpiutang) adalah harta yang memiliki kesepadanan yang diberikan untuk
ditagih kembali. Atau dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudkan
untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk
dikembalikan yang sepadan dengan itu.5
c) Menurut Yazid Afandi qardh (utang-piutang) adalah memberikan harta kepada
orang lain tanpa mengharapkan imbalan, untuk dikembalikan dengan
pengganti yang sama dan dapat ditagih kembali kapan saja sesuai kehendak
yang menghutangi. Akad qardh adalah akad tolong menolong bertujuan untuk
meringankan beban orang lain.
d) Menurut Gufron A. Mas‟adi piutang adalah memberikan sesuatu kepada
seseorang dengan pengembalian yang sama. Sedangkan utang adalah
kebalikan pengertian piutang, yaitu menerima sesuatu (uang/barang) dari
seseorang dengan perjanjian ia akan membayar atau mengembalikan utang
tersebut dalam jumlah yang sama pula.
e) Menurut Madzhab Maliki mengatakan Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu
yang berharga untuk pembayaran kembali dengan tidak berbeda atau setimpal.
5
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid V, Jakarta: Gema Insani, Cet. 1, 2011, hlm. 374
4
f) Menurut Madzhab Hanbali Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang yang
akan memperoleh manfaat dengan itu dan mendapat kembalian sesuai dengan
padanannya.
Sebagaimana pengertian yang telah dijelaskan, qardh (utang-piutang)
adalah akad yang dilakukan oleh dua orang dimana salah satu dari dua orang
tersebut mengambil kepemilikan harta dari lainnya dan ia menghabiskan harta
tersebut untuk kepentingannya, kemudian ia harus mengembalikan harta tersebut
senilai dengan apa yang diambilnya dahulu, atau suatu akad antara dua pihak
dimana pihak pertama memberikan uang atau barang kepad pihak kedua, untuk
dimanfaatkan dengan ketentuan bahwa uang atau barang tersebut harus
dikembalikan persis seperti apa yang ia terima dari pihak pertama. Qardh (utang-
piutang) pada dasarnya merupakan bentuk akad yang bercorak ta‟awun
(pertolongan) dan kasih sayang kepada pihak lain yang membutuhkan. Sebab
memberi pinjaman adalah perbuatan ma‟ruf yang dapat menanggulangi kesulitan
sesama manusia. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pinjaman lebih baik
daripada sedekah, karena sesorang tidak akan meminjam kecuali bila sangat
membutuhkan.
Dasar hukum Al – Qardh :
a. al-Qur’an
5
membutuhkan bantuan tersebut dengan cara yang baik dan niat ikhlas karena
Allah SWT.
b. al-Hadits
ََظا َم َّستَُ ِْن إِالَّ كَا ُ صلًَّ هللا ُعَلَُْ ِو َو سَلَّ َم قَا َل َما ِم ْن ُم سْلِ ٍم َُقْ ِس
ً ض ُم سْلِ ًما قَ ْس َّ ِعَ ْن اب ِْن َم سْعُ ْى ٍد أ َ ََّ النَّب
َ ٍ
ً صدَ َقتِ َها َم َّس ة
َ َك
Artinya: “Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW.
Berkata, tidaklah seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim
(lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah.” (HR Ibnu
Majah)
ً علًَ بَابِ اْل َجنَّ ِت َمْْت ُ ْىباَ ٌٍِ بَ ْت لَُْلَتَ أ ُسْ ِس
ُ ََصلًَّ هللاِ عَلَُْ ِو َو سَلَّ َم َزأ َ ِعَ ْن أَن َِس ب ِْن َمالِكٍ قَا َل َز سُ ْى ُل هللا
ََّ ََ صدَقَ ِت قَا َل ِأل َ ض أ َ ْف
َّ ع ُل ِمنَ ال ِ اجب ِْسَْ َل َما بَا ُل اْلقَ ْس
ِ ََ ت ُ ْض ِبث َ َمانَُِ ِت عَ ش ََس فَ ُقل
ُ صدَقَتُ ِبعَ شْ ِس أ َ ْمثَالِ َها َواْلقَ ْس
َّ ال
ض ِإالَّ ِم ْن َحا َج ٍت ُ ال سَّا ئِ َل ََ سْأ َ ُل َو ِعنْدَ هُ َواْل ُم سْتَقْ ِس
ُ ض الَ ََ سْتَقْ ِس
Artinya: Anas bin Malik berkata bahwa Rasulullah berkata: aku
melihat pada waktu malam diisra’kan, pada pintu surga tertulis: sedekah
dibalas sepuluh kali lipat dan qardh delapan belas kali. Aku bertanya, Wahai
jibril, mengapa qardh lebih utama dari sedekah? Ia menjawab, karena
peminta-minta sesuatu dan ia punya, sedangkan yang meminjam tidak akan
meminjam kecuali karena keperluan. (HR Ibnu Majah dan Baihaqi)
Sedangkan hukum qardh adalah dianjurkan bagi muqrid (pihak yang
meminjamkan) dan mubah bagi muqtarid (nasabah), berdasarkan hadits (di
atas) yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Dan ada juga
hadits lainnya yaitu riwayat Muslim, Abu Hurairah berkata: “Rasulullah SAW
telah bersabda: „Barang siapa yang melepaskan seorang muslim dari satu
kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan
dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa telah membantu
saudaranya yang kesulitan, niscaya Allah akan memberi bantuan kepadanya
di dunia dan akhirat. Dan Allah selamanya akan menolong hamba-Nya,
selama hamba-Nya.
c. Ijma’
Para ulama telah menyepakati bahwa al-qardh boleh dilakukan.
Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup sendirian
tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya (manusia lain). Tidak ada seorang
pun yang memiliki segala sesuatu yang dibutuhkannya. Oleh karena itu,
6
pinjam-meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini, dan
Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segenap kebutuhan umatnya.
6
Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001, hlm. 132-133.
7
Wahbah az-Zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i 2, Jakarta: Almahira, Cet I, 2010, hlm. 20.
7
Menurut Imam Syafi‟i sebagaimana yang dikutip oleh Wahbah az-
Zuhaili mengungkapkan bahwa empat orang yang tidak sah akadnya adalah
anak kecil (baik yang sudah mumayyiz maupun yang belum mumayyiz),
orang gila, hamba sahaya, walaupun mukallaf dan orang buta. Sementara
dalam Fiqh Sunnah disebutkan bahwa akad orang gila, orang mabuk, anak
kecil yang belum mampu membedakan mana yang baik dan yang jelek
(memilih) tidak sah. Di samping itu orang yang berpiutang hendaknya orang
yang mempunyai kebebasan memilih, artinya bebas untuk melakukan
perjanjian utang-piutang lepas dari paksaan dan tekanan. Sehingga dapat
terpenuhi adanya prinsip saling rela. Oleh karena itu tidak sah utang-piutang
yang dilakukan karena adanya unsur paksaan.
b. Obyek Utang
Di samping adanya ijab qabul dan pihak-pihak yang melakukan
utangpiutang, maka perjanjian utang-piutang itu dianggap terjadi apabila
terdapat obyek yang menjadi tujuan diadakannya utang-piutang. Tegasnya
harus ada barang yang akan diutangkan. Untuk itu obyek utang-piutang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Merupakan benda bernilai yang mempunyai persamaan dan
penggunaannya mengakibatkan musnahnya benda utang.
2) Dapat dimiliki.
3) Dapat diserahkan kepada pihak yang berutang.
8
4) Telah ada pada waktu perjanjian dilakukan.
Qardh juga hanya boleh dilakukan di dalam harta yang telah diketahui
kadarnya. Apabila seseorang mengutangkan makanan yang tidak diketahui
takarannya, itu tidak boleh. Karena qardh menuntut pengembalian barang
yang sepadan, jika kadar barang tidak diketahui tentu tidak mungkin
8
Abdurrahman al -Jaziri, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Arba’ah, Juz 2, Beirut:Darul Kitab Al-Ilmiyah, 1996, hlm. 304
8
melunasinya. Perjanjian utang-piutang itu disyari„atkan secara tertulis, untuk
menjamin agar jangan sampai terjadi kekeliruan atau lupa, baik mengenai
besar kecilnya utang atau waktu pembayarannya. 9
9
Abdul Aziz Dahlan et al, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, Cet. 1, 1996, hlm. 1892.
10
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 38.
9
Mengenai suatu barang tertentu, barang yang menjadi obyek akad harus
jelas dari kesamaran.
Mengenai suatu barang yang halal, suci dari najis dan yang tidak haram
dimakan11
Di atas telah disebutkan bahwa akad adalah perikatan antara ijab dan
qabul yang menunjukkan adanya kerelaan dari kedua belah pihak. Adapun
yang dimaksud dengan ijab dan qabul secara jelasnya adalah “Ijab adalah
permulaan penjelasan yang keluar dari salah satu seorang yang berakad, buat
memperlihatkan kehendaknya dalam mengadakan akad, siapa saja yang
memulainya. Qabul adalah jawaban dari pihak yang lain sesudah adanya ijab,
buat menyatakan persetujuannya.”
Kaitannya dengan masalah utang diperlukan juga adanya akad ini (ijab
qabul). Sebagaimana pengertian ijab qabul di atas, maka dalam masalah utang,
pihak yang berutang dapat melakukan ijab. Akad dalam masalah utang adalah
akad tamlik, karena itu tidak sah kecuali dari orang yang boleh menggunakan
harta (milik sendiri dan tidak berada dalam pengampuan). Tidak sah pula
kecuali dengan ijab dan qabul seperti akad jual beli dan hibah, karena itu akad
dinyatakan sah dengan memakai akad lafadz qardh, salaf dan semua lafadz
yang mempunyai arti dan maksud yang sama, seperti kata-kata aku berikan
kepemilikan harta ini kepadamu dengan syarat kamu mengembalikan gantinya
kepadaku.
11
Ali Fikri, al-Mu‟allamatul Maiyah wal Adabiyah, Bab I, Beriut: Dar al-Fikr, hlm. 34-39.
10
b. Duyun al-Ibad atau hutang kepada sesama manusia ada yang dikaitkan dengan
rungguhan (jaminan) tertentu, dan hak orang yang berpiutang itu diambilkan dari
rungguhan tersebut, jika orang yang berutang tidak mampu membayarnya.
Dilihat dari segi kuat atau lemahnya pembuktian keberannya dapat dibedakan atas:
a. Duyun al-Halah adalah hutang piutang yang sudah tiba waktu pelunasannya atau
hutang yang sudah jatuh tempo sehingga harus dibayar dengan segera.
b. Duyun al-Mujjalah adalah hutang piutang yang belum jatuh tempo dan tidak mesti
dibayar dengan segera.
11
2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana
nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik Bank melalui ATM.
Nasabah akan mengembalikan sesuai waktu yang ditentukan.
3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil dimana menurut perhitungan Bank
akan memberatkan si pengusaha bila diberi pembiayaan dengan skema jual-
beli Ijarah atau bagi hasil.
4. Sebagai pinjman kepada pengurus Bank, dimana Bank menyediakan fasilitas ini
untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus Bank. Pengurus Bank akan
mengembaliaknnya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.12
Dalam perihal tersebut Bank diperkenankan mengenakan biaya
administrasi, sesuai dengan Fatwa Dewan Syari‟ah Nasional NO: 19/DSN-
MUI/IV/2001 Tentang Al-Qardh yang memperbolehkan untuk pemberi pinjaman
agar membebankan biaya administrasi kepada nasabah. Dalam penetapan
besarnya biaya administrasi sehubungan dengan pemberian qardh, tidak boleh
berdasarkan perhitungan persentasi dari jumlah dana qardh yang diberikan.
SKEMA AL QARDH
12
Heri Sudarsono: 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta, Ekonosia
kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta h. 82
12
2.5 Ketentuan – ketentuan Al – Qardh
Dalam konsep Qardh sendiri pada prinsipnya yaitu pinjam meminjam dana
tanpa imbalan dengan kewajiban si peminjam mengembalikan pokok pinjaman
secara sekaligus atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.
Bila praktik pembiayaan pengurusan haji di lembaga keuangan syariah sesuai dengan
Fatwa DSN No. 29/DSN-MUI/VI/2002 yaitu terdapat dua akad terpisah (al-Qardh
dan a l-Ijarah) dan biaya jasa (ijarah) tidak berdasarkan dengan biaya Qardh yang
disalurkan dan hanya semata-mata untuk biaya jasa pengurusan haji saja,maka
diperbolehkan menggunakan jasa tersebut.
13
Heri Sudarsono: 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan Ilustrasi, Yogyakarta, Ekonosia
kampus Fakultas Ekonomi UII Yogyakarta h. 83
13
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Akad Al-Qardh adalah perikatan atau perjanjian antara kedua belah pihak,
dimana pihak pertama menyediakan harta atau memberikan harta dalam arti
meminjamkan kepada pihak kedua sebagai peminjam uang atau orang yang menerima
harta yang dapat ditagih atau diminta kembali harta tersebut, dengan kata lain
meminjamkan harta kepada orang lain yang mebutuhkan dana cepat tanpa
mengharapkan imbalan. Dengan kata lain, aqad al-Qardh merupakan pinjaman oleh
pihak bank kepada nasabah tanpa adanya imbalan, perikatan jenis ini bertujuan untuk
menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung (komersil).
Dalil yang melandasi diperbolehkannya aqak al-Qardh ini tercantum dalam al-
Quran surat. Al- Hadid : Di jelaskan yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini
adalah kita diseru untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan
harta dijalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru
untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat (civil society). Rukun dan syarat dalaam aqad al-Qardh yang lebih
sempitnya adalah subjek perikatan (al-„aqidain), objek perikatan (mahallul „aqad),
tujuan perikatan (maudhu‟ul „aqad), dan aigat „aqad (ijab dan kabul).
Unsur-unsur dalam aqad al- Qardh adalah pertalian ijab dan kabul, dibenarkan
oleh Syara‟, dan mempunyai akibat hukum. Selain itu dalam praktk perbankan harus
ada bank, nasabah, dan proyeksi usaha. Praktik dalam perbankannya diantaranya
sebagai dana talang untuk jangka waktu singkat, maka nasabah akan
mengembalikannya dengan cepat, sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat
karena nasaba tidak bisa menarik dananya, misalnya karena tersimpat dalam deposito,
sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau sosial.
Manfaat aqad al-qardh adalah membantu nasabh yang membutuhkan dana
cepat, alqardh al-hasan juga merupakan salah satu ciri pemberi antara bank syariah
dan bank konvensionalyang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi
komersial, meningkatkan citra baik dan meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap
bank syariah.
14
3.2 Saran
Dari beberapa pemaparan di atas, kami berharap pembaca dapat menambah
wawasan tentang salah satu akad perekonomian Islam, yaitu al qardh. Baik dari sisi
pengertiannya, rukun, syarat, ketentuan serta cara pembiayaannya. Karena dengan
memahami pemaparan kami tersebut, kami berharap kita semua dapat
mempraktekkan al qardh beserta yang lainnya dalam kehidupan sehari-hari kita
sehingga kehidupan kita tidak melenceng dari nilai- nilai ajaran agama Islam.
15
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Warson Munawir,1997, Kamus al-Munawir Arab-Indonesia,Yogyakarta: PP. al
Munawwir.
Rachmat Syafei, 2001, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Abdullah Bin Muhammad Ath-Thayar, 2009, et al, Ensiklopedi Fiqih Muamalah Dalam
Pandangan Fikih 4 Madzab, Terj. Miftahul Khairi, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif.
Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, 1999, Pengantar Fiqih Muamalah, Semarang:
Heri Sudarsono: 2003, Bank dan Lembaga Keuangan Syari’ah, Deskripsi dan
Ahmad Azhar Basyir, 2008, Asas-asas Hukum Muamalat, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,
Ali Fikri, al-Mu‟allamatul Maiyah wal Adabiyah, Bab I, Beriut: Dar al-Fikr.
Abdurrahman al-Jaziri, 1996, Al-Fiqh Ala Al-Madzahib Arba’ah, Juz 2, Beirut:Darul Kitab
Al-Ilmiyah.
Abdul Aziz Dahlan et al, 1996, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,
Cet. 1.
Wahbah az-Zuhaili, 2011, Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid V, Jakarta: Gema Insani, Cet. 1.
16