Anda di halaman 1dari 5

Kekhususan Tindak Pidana Khusus (Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi)

Ø Penyimpangan UU PTPK dalam Segi Materil

1) Percobaan dan membantu melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman

Pasal 15 UU PTPK mengatur : Setiap orang yang melakukan percobaan (Pasal 53 ayat 1
KUHP), pembantuan (Pasal 56 KUHP) atau permufakatan jahat (Pasal 88 KUHP) untuk
melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.

Pasal ini menegaskan, seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana pembantuan
terhadap Delik Korupsi baik dalam Pasal 2, Pasal 3, maupun Pasal 5 sampai dengan Pasal 14
UU PTPK harus dituntut dengan Pasal 15 UU PTPK bukan dengan Pasal 56 KUHP seperti
yang telah dikemukakan di atas. Adapun mengenai pemberatan ancaman pidana - dalam delik
pembantuan tersebut - menurut penulis - merupakan konsekuensi logis dari sifat tindak
pidana korupsi yang telah disepakati yaitu bersifat extra ordinary crime (kejahatan luar biasa :
terjemahan bebas penulis) sehingga tindak pidana ikutan yang terkait dengan tindak pidana
korupsi diancam dengan pidana yang lebih berat dari ancaman dalam KUHP.

2) Tidak adanya pedoman pelaksanaan pidana minimal khusus

Tidak adanya aturan atau pedoman khusus yang untuk menerapkan sanksi pidana yang
dirumuskan dengan sistem kumulasi

Contoh: Pasal 2 UU 31/1999 (memperkaya diri) diancam dengan kumulatif dan Pasal 3 UU
31/1999 (menyalahgunakan kewenangan) dirumuskan dengan kumulatif alternative, padahal
secara teoritis bobot deliknya sama

3) Pidana pokok korporasi hanya denda (Pasal 20)

Padahal jika dilihat seharusnya penutupan korporasi/pencabutan izin usaha dalam waktu
tertentu dapat dilakukan sebagai pengganti pidana perampasan kemerdekaan.

4) Tidak adanya ketentuan khusus mengenai pelaksanaan pidana denda yang tidak
dibayar oleh korporasi

Pasal 30 KUHP (apabila denda tidak dibayar diganti oleh pidana kurungan pengganti selama
6 bulan) tidak dapat diterpakan untuk korporasi.

5) Formulasi Pidana Mati yang hanya berlaku untuk satu pasal yakni Pasal 2 ayat (1) yang
dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2)

Dalam penjelasan yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini
dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan pada waktu Negara dalam keadaan berbahaya sesuai dengan Undang-
undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi atau pada waktu Negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter

Keadaan tertentu seperti Negara dalam keadaan bahaya, keadaan bencana alam nasional
mungkin terjadi hanya dalam waktu 50-60 tahun sekali begitu juga dengan krisis ekonomi,
sehingga pidana mati sulit dijatuhkan.

Ø Penyimpangan UU PTPK dalam Segi Formal

Dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi beberapa ketentuan tentang acara pidana terhadap
tindak pidana korupsi yaitu antara lain:

1) Penyidikan (Pasal 26)

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana


korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Undang-undang ini.

Penyidikan KPK Pasal 45:

o Penyidik adalah Penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan
diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

o Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melaksanakan fungsi penyidikan tindak
pidana korupsi.

2) Pembuktian terbalik dalam proses peradilan tindak pidana korupsi.

Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara sistematik dan meluas,
pemberantasannya harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain dengan cara
penerapan "sistem pembuktian terbalik" yakni pembuktian yang dibebankan kepada
terdakwa. Artinya terdakwa sudah dianggap telah melakukan tindak pidana korupsi kecuali
yang bersangkutan mampu membuktikan sebaliknya. Dalam hal setiap PNS, pegawai
BUMN/D atau penyelenggara negara yang berdasarkan bukti permulaan mempunyai
kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber pendapatannya, wajib
membuktikan sahnya kekayaan yang diperolehnya. Hal ini diatur dalam Undang-undang
Nomor 20 tahun 2001 Pasal 37 A dan 38 B.

Namun demikian sebagai konsekuensi dari sistem pembuktian terbalik tersebut, kepada
terdakwa juga diberikan hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana
korupsi, sehingga dengan demikian tercipta suatu keseimbangan atas pelanggaran asas
praduga tak bersalah dan menyalahkan diri sendiri dengan perlindungan hukum yang wajib
diberikan kepada tiap orang.

Undang-undang tindak pidana korupsi mengklasifikasikan pembuktian menjadi 3 (tiga)


sistem, yaitu:
Pertama, pembalikan beban pembuktian dibebankan kepada terdakwa untuk membuktikan
dirinya tidak melakukan tindak pidana korupsi. Pembalikan beban pembuktian ini berlaku
untuk tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya sebesar Rp. 10.000.000,00
(sepuluh juta) rupiah atau lebih (Pasal 12B ayat (1) huruf a) dan terhadap harta benda yang
belum didakwakan yang ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi (Pasal 38B).
Apabila mengikuti polarisasi pemikiran pembentuk UU sebagai kebijakan legislasi, ada
beberapa pembatasan yang ketat terhadap penerapan pembalikan beban pembuktian dikaitkan
dengan hadiah yang wajar bagi pejabat. Pembatasan tersebut berorientasi kepada aspek hanya
diterapkan kepada pemberian (gratifikasi) dalam delik suap, pemberian tersebut dalam
jumlah Rp. 10.000.000,00 atau lebih, berhubungan dengan jabatannya (in zijn bediening) dan
yang melakukan pekerjaan yang bertentangan dengan kewajiban (in strijd me zijn plicht) dan
harus melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kedua, pembalikan beban pembuktian yang bersifat semi terbalik atau berimbang terbalik
dimana beban pembuktian diletakkan baik terhadap terdakwa maupun jaksa penuntut
umum secara berimbang terhadap objek pembuktian yang berbeda secara berlawanan (Pasal
37A).

Ketiga, sistem konvensional dimana pembuktian tindak pidana korupsi dan kesalahan
terdakwa melakukan tindak pidana korupsi dibebankan sepenuhnya kepada jaksa penuntut
umum. Aspek ini dilakukan terhadap tindak pidana suap menerima gratifikasi yang nilainya
kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta) rupiah (Pasal 12B ayat (1) huruf b) dan tindak
pidana korupsi pokok.

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2)
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak
pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan

b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan
atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang
tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka,
atau perforasi yang memiliki makna

3) Dianutnya Peradilan Absensial (Pasal 38)

o Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa
alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya.
o Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka
terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam
sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.

o Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada
papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada
kuasanya.

o Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).

o Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang
cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim
atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.

o Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan
upaya banding.

o Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang
telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30
(tigapuluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

4) Dianutnya Terobosan terhadap Rahasia Bank

Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan,dan penuntutan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 6 huruf c, KomisI Pemberantasan Korupsi berwenang :

o melakukan penyadapan dan mereka pembicaraan;

o memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar
negeri;

o meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan
keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa;

o memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening
yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yan terkait;

o memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara


tersangka dari jabatannya;

o meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang
terkait;

o menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian


lainnya atau
5) pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki ole
tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa;

o meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk
melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri;

o meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan
penangkapan,penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi
yang sedang ditangani.

Anda mungkin juga menyukai