PENDAHULUAN
1.2 Tujuan
1. Mengetahui sejarah pembentukan Taman Jepang serta menjelaskan secara rinci
karakter dan elemen-elemen pembentuknya.
2. Mengetahui filosofi, fungsi, pemilik dari beberapa contoh Taman Jepang, serta
faktor-faktor yang mempengaruhi pembangunan taman tersebut.
BAB II
Kyoto sebagai ibukota (784-1868), pernah hancur karena perang (1467) dan
kebakaran (1788), tetapi selalu ada upaya rekonstruksi dan pelestarian terhadap
bangunan dan benda penting serta taman. Tokyo sebagai ibukota sejak 1869-sekarang;
kota modern tetapi tetap melestarikan benda & lanskap/taman bersejarah dan kota
mempunyai identitas, unik dan menarik
Dalam bahasa Jepang, istilah taman (teien) terdiri dari dua aksara kanji, niwa
dan sono. Istilah niwa mengacu kepada lahan berkerikil untuk melakukan kegiatan
sehari-hari dan upacara keagamaan, dan sono mengacu kepada lahan pertanian dan
sawah berpengairan. Orang zaman Jōmon menamakan lahan tempat mereka
melakukan kegiatan, upacara keagamaan, dan mengumpulkan makanan sebagai niwa.
Benda-benda yang ada di lahan tersebut, seperti pohon, batu besar, air terjun, dan
kerikil di pantai sering kali dipercaya sebagai benda sakral yang dihuni oleh arwah
suci. Pasir, kerikil, atau batu dipakai untuk menandai tanah yang dipercaya sebagai
tempat sakral untuk berdoa. Batu-batu di laut dan gunung dipercaya dihuni atau
digunakan kami ketika turun dari langit (iwakura). Susunan batu digunakan untuk
menandai tempat suci (altar) yang disebut iwasaka. Salah satu contoh taman jepang
yaitu, Ninomaru Stroll Garden dan The Sento Gosho Gardens
Ninomaru Stroll Garden didesain oleh Kobori Enshu, dengan luas tapak
hanya ± 11 acres ~ dapat diekspresikan miniatur alam yang kompleks, seolah tanpa
batas ~ dengan pengaturan 1760 batu sebagai jalan setapak, penuh simbolisme antara
lain: pulau berbentuk kura-kura dan danau berbentuk bangau terbang disimbolkan
lambang keabadian; rute yang dilalui memberikan kesan/pengalaman mistis.
2.3 Filosofi
Shinto merupakan agama asli (menyembah hampir semua elemen alam);
kedatangan Budha berpadu dengan Shinto mempengaruhi kehidupan dan lanskapnya.
Contohnya upacara minum teh pada awalnya bagian dari keagamaan, kemudian
berkembang menjadi sebuah tradisi. Taman Jepang disimbolkan sebagai media
meditasi dan kontemplasi.
Filosofi dari konsep Taman Jepang yaitu alam semesta serupa dengan alam
pikiran yang diekspresikan pada taman (ruang dengan batu-batu sebagai simbol
benda-benda alam), dengan ukuran mini.
Dataran Cina yang luas menunjukkan ekspresi yang extrovert, simbolisme
elemen alami, simetri dan perencanaan kota. Sedangkan Jepang yang sempit
menunjukkan ekspresi yang introvert.
a) Kamakura (1185-1332)
The Buddhist Paradise Garden difilosofikan sebagai mandala, yaitu
tempat mencari ketenangan dalam suasana religious.
b) Muromachi (1333-1573); Momoyama (1573-1615)
Berkembang taman sekuler sebagai akibat pengaruh dinasti Sung. Zen
Buddhism dengan diterapkan pondok minum teh terpisah dari bangunan
utama; membentuk static garden untuk kontemplasi (bagian dari
lanskap/taman kuil), ukuran relatif kecil.
c) Edo (1615-1868)
Stroll Garden – a garden of movement, luas. Pengunaan toro (lampu
batu) dan tsukubai (tempat mencuci tangan). Konsep Shinto mengacu pada
kondisi Kepulauan Jepang (alam dan lautnya) lanskap-lanskap alami yang
dikagumi: Seto Inland Sea, Gunung Fuji, Pantai Amanohashidate, Danau Biwa
sering direfleksikan dalam taman melalui elemen-elemen: pasir kuarsa, batu,
pohon (jenis pinus yang dipangkas), azalea (dipangkas), sakura, fuji, peony,
lotus, iris, dan lain-lain.
2.4 Fungsi
Saat ini taman Jepang dibuka untuk umum, namun tidak semua taman Jepang
dirancang untuk dimasuki atau diinjak orang. Sejumlah taman dimaksudkan untuk
dipandang dari kejauhan seperti dari dalam Gedung atau beranda. Di taman yang
dibangun untuk dipandang dari jauh, orang dapat melihat secara sekaligus semua
elemen yang ada di dalam taman.
2.5 Arsitek
Menurut sejarah taman batu Jepang yang ditulis oleh Matsu Yoshikawa
dokumen tertua mengenai taman Jepang yang pertama adalah "pulau" yang
dibangun Soga no Umako di tepi Sungai Asuka pada masa pemerintahan Maharani
Suiko (sekitar 620). Berdasarkan ide tersebut, di rumah kediamannya, Pangeran
Kusakabe membangun taman untuk menggambarkan lanskap alam yang terdiri dari
pulau berukuran sedang, jembatan, kolam, dan pantai berbatu-batu.
Taman Shinden-Zukuri berasal dari Dinasti Tang yang kemudian
diperkenalkan di Jepang pada masa Heian. Taman dibangun dihalaman tengah
kediaman bangsawan yang dibangun dengan gaya arsitektural Shinden-Zukuri.
Adapun taman yang mewakili Shinden-Zukuri ini ialah Shinesn-en dan taman
Daikkaui-ji di Kyoto.