Anda di halaman 1dari 76

SEBARAN POLUTAN NO2 AKIBAT AKTIVITAS

TRANSPORTASI PADA SIMPANG SUSUN

FARIDA DWIRAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Sebaran Polutan NO2
akibat Aktivitas Transportasi pada Simpang Susun” adalah benar karya saya dengan
arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk karya apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis
ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2018

Farida Dwirahmawati
NIM A451150031
RINGKASAN
FARIDA DWIRAHMAWATI. Sebaran Polutan NO2 akibat Aktivitas Transportasi
pada Simpang Susun. Dibimbing oleh NIZAR NASRULLAH dan BAMBANG
SULISTYANTARA.

Polusi udara meningkat pesat dan menjadi masalah serius di hampir semua
negara, termasuk negara-negara berkembang. Dalam beberapa tahun terakhir,
polusi emisi nitrogen oksida (NOx) akibat kendaraan menjadi isu penting di
beberapa negara di dunia. Sebagai bentuk persimpangan yang tidak sebidang
(bertingkat), dan merupakan titk temu dari beberaa ruas jalan, volume kendaraan di
simpang susun dapat berlipat sehingga menyumbang polusi udara yang besar di
perkotaan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dispersi polutan gas NO2 di
lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka serta untuk menganalisis pengaruh
kecepatan angin lokal dan volume lalu lintas dengan konsentrasi konsentrasi NO2
pada sekitar simpang susun. Penelitian dilakukan di Simpang Susun Cikunir, yang
merupakan persimpangan antara ruas Jalan Tol JORR E1 (segmen Taman Mini-
Cikunir), JORR E2 (Cikunir-Cakung), dan Jalan Tol Jakarta-Cikampek.
Konsentrasi gas NO2 diukur pada titik 0 m, 10 m, dan 75 m dari bahu jalan
dan pada titik 1.5 m di atas permukaan tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
rata-rata konsentrasi NO2 pada lokasi bervegetasi adalah sebesar 33.68 µg/m3,
sedangkan pada lokasi terbuka didapatkan rata-rata konsentrasi NO2 sebesar 94.05
µg/m3. Hasil uji beda nyata menggunakan Independent sample T test menunjukkan
bahwa rata-rata konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi berbeda nyata dengan rata-
rata konsentrasi NO2 di lokasi terbuka . Pada lokasi bervegetasi, rata-rata
konsentrasi pada jarak 0 m dari jalan adalah 35,91 μg/m3, meningkat pada titik 10
m (38,02 μg / m3) dan menurun secara drastis pada jarak 75 m (27,12 μg/m3).
Konsentrasi rata-rata NO2 pada jarak 0 m dari jalan di lokasi terbuka mencapai
145,63 μg/m3 dan mengalami penurunan pada jarak 10 m (87,79 μg/m3), serta
menurun kembali pada jarak 75 m dari bahu jalan (51,72 μg/m3). Hasil penelitian
menunjukkan bahwa volume kendaraan dan kecepatan angin berpengaruh
signifikan terhadap konsentrasi NO2 di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini,
peningkatan kecepatan angin secara signifikan mengurangi konsentrasi NO2,
sedangkan peningkatan volume kendaraan secara signifikan meningkatkan
konsentrasi NO2 di sekitar jalan.

Kata kunci: dispersi, jalur hijau jalan, NO2, polutan gas, sebaran polutan
SUMMARY
FARIDA DWIRAHMAWATI. Distribution of NO2 Pollutant from Transportation
Activities in Interchange Road. Supervised by NIZAR NASRULLAH and
BAMBANG SULISTYANTARA.

Air pollution has been increasing rapidly and becoming a serious problem in
almost all countries, including developing countries. In recent years, pollution of
nitrogen oxide (NOx) which emitted by vehicles become an important issue in some
countries in the world. The Interchange of highway is the intersection of several
roads that consists of numerous road levels. It causes great number of traffic volume
and releases abundant pollutant quantities.
This research objectives were to analyze dispersion of gas pollutant especially
NO2 gas from interchange road and to analyze the influence of local wind speed
and traffic volume with NO2 concentrations at the surrounding of the interchange.
Researches were conducted at Cikunir interchange, between JORR E1 (Taman
Mini-Cikunir segment), JORR E2 (Cikunir-Cakung), and Jakarta-Cikampek toll
road.
Concentration of NO2 gas was measured at the point of 0 m, 10 m, and 75 m
from the road shoulder and in the point of 1.5 m above ground level. Results of
research showed that the average NO 2 concentration at the vegetation location
was 33.68 μg / m3, while in the open condition the average concentration of
NO2 was 94.05 μg / m3. The test result using Independent Sample T Test
showed the average NO 2 concentration at the green belt site is significantly
different from the average NO 2 concentration in the open location. In the green
belt plot, average concentration in 0 m from the road was 35.91 µg/m 3 than
increased in the point of 10 m (38.02 µg/m 3) and drastically decreased in 75 m
(27.12 µg/m3). Average concentration of NO 2 in 0 m from the road in the plot
having no green belt reach 145.63 µg/m 3 than decreased in 10 m (87.79 µg/m 3),
and than decreased in 75 m from the road (51.72 µg/m 3 ). The results showed
that vehicle volume and wind speed have a significant affect on NO2
concentration at research sites. In this case, increasing wind speed significantly
reduce NO2 concentrations, however increasing vehicle number significantly
increase NO2 concentrations in the area close to the road.

Keywords: dispersion, gas pollutant, green belt, interchange, NO2


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2018
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
SEBARAN POLUTAN NO2 AKIBAT AKTIVITAS
TRANSPORTASI PADA SIMPANG SUSUN

FARIDA DWIRAHMAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Penguji luar komisi: Dr Ir Rachmad Hermawan, MscF
PRAKATA
Alhamdulillah, puji dan syukur yang tidak terhingga penulis panjatkan
kepada Allah subhaanahu wata’ala, arsitek alam semesta dan seisinya, atas karunia,
petunjuk, dan kemudahan-Nya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Penelitian tentang Sebaran Polutan NO2 akibat Aktivitas Transportasi pada
Simpang Susun merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister
Arsitektur Lanskap Institut Pertanian Bogor.
Rasa terima kasih yang besar penulis sampaikan kepada Komisi
Pembimbing yaitu Dr Ir Nizar Nasrullah, MAgr sebagai ketua komisi dan Dr Ir
Bambang Sulistyantara, MAgr sebagai anggota Komisi Pembimbing atas semua
bimbingan, arahan, dan bantuan dari saat penyusunan proposal, pelaksanaan
penelitian, sampai dengan penyusunan tesis penelitian ini. Ucapan terima kasih juga
penulis sampaikan kepada seluruh jajaran Badan Kepegawaian Pendidikan dan
Pelatihan (BKPP) serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR)
Kabupaten Bogor atas izin, perhatian, dan dukungannya selama penulis
melaksanakan tugas belajar. Penulis menyampaikan terima kasih kepada PT.
Jasamarga Persero dan PT JLJ atas izin dan bantuan selama pelaksanaan
pengambilan data penelitian di Simpang Susun Cikunir. Penghargaan dan ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami tercinta, H Ening Susilo,
ST.MM serta kelima putra putri penulis (Rani, Lia, Ayyash, Ayya, dan Rayyan)
yang telah merelakan penulis menyita waktu selama menyelesaikan studi. Kepada
orangtua penulis yaitu Bapak H Wadji dan Ibu Hj Harjati yang senantiasa
memberikan doanya, penulis ucapkan terima kasih. Tidak lupa penulis sampaikan
banyak terima kasih kepada rekan-rekan seperjuangan di Pascasarjana Arsitektur
Lanskap terutama angkatan 2015.
Penulis sangat mengharap masukan, kritik, dan saran karena penulis yakin
tesis ini jauh dari sempurna. Semoga segala kekurangan dalam penelitian ini dapat
menjadi pelajaran berarti bagi penulis untuk masa mendatang.
Semoga bermanfaat.

Bogor, Januari 2018

Farida Dwirahmawati
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 4
Ruang Lingkup Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 5
Pencemaran Udara 5
Polutan NO2 7
Faktor Meteorologi Pencemaran Udara 10
Teknologi Mengontrol Emisi Kendaraan 11
Vegetasi sebagai Pereduksi Polusi Udara 13
Penanaman Vegetasi pada Simpang Susun 16

3 METODE PENELITIAN 19
Lokasi dan Waktu Penelitian 19
Alat dan Bahan 19
Pelaksanaan Penelitian 20
Pengambilan Sampel Udara 20
Pengukuran Konsentrasi NO2 21
Pengukuran Faktor-Faktor Iklim 23
Pendugaan Volume Kendaraan dan Intensitas Emisi 24
Analisis Data 24

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 24


Kondisi Lokasi Penelitian 25
Kondisi Iklim Mikro di Sekitar Lokasi Penelitian 26
Volume Kendaraan Bermotor 27
Pendugaan Emisi Kendaraan Bermotor 28
Konsentrasi NO2 di Lokasi Pengamatan 29
Penurunan Konsentrasi NO2 32
Analisis Perubahan Konsentrasi Gas NO2 32
Model Sebaran Polutan NO2 di Kedua Lokasi Penelitian 36
Rekomendasi Jalur Hijau di Simpang Susun 38
Tata Hijau Vegetasi Penyangga 40
Tata Hijau Vegetasi Identitas/Landmark 41
Tata Hijau Vegetasi Pengarah 42
Cushion planting dan clear zone planting 42
Tata Hijau Vegetasi Estetika 43

5 SIMPULAN DAN SARAN 44


Simpulan 44
Saran 44
DAFTAR PUSTAKA 45
LAMPIRAN 50

RIWAYAT HIDUP 60
DAFTAR TABEL

1 Skala pergerakan meteorologi pencemar udara 11


2 Rekomendasi vegetasi penyerap polusi berdasarkan area perencanaan
dan polutan yang dilepaskan 15
3 Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan 20
4 Kondisi iklim mikro lokasi penelitian 27
5 Volume kendaraan di lokasi penelitian 27
6 Rata-rata emisi kendaraan di lokasi penelitian 28
7 Hasil pengukuran konsentrasi NO2 29
8 Rata-rata penurunan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi 32
9 Rata-rata penurunan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka 32
10 Hasil analisis korelasi variabel volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi 33
11 Hasil analisis korelasi variabel volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi terbuka 35
13 Hasil uji determinasi volume kendaraan dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 pada kedua plot penelitian 36
14 Hasil uji Anova volume kendaraan dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 pada kedua lokasi penelitian 36
15 Koefisien regresi antara volume kendaraan dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 di kedua lokasi penelitian 37
16 Rekomendasi vegetasi pereduksi NO2 di simpang susun 41

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka Pemikiran 4
2 Mekanisme vegetasi mengurangi polusi udata 14
3 Tipe-tipe interchange 17
4 Lokasi Penelitian 19
5 Lokasi pengambilan sampel udara 20
6 Ilustrasi pengambilan sampel udara 21
7 Pengambilan dan pengukuran sampel udara 21
8 Pengukuran faktor-faktor iklim menggunakan mini weather station 23
9 Kondisi lokasi bervegetasi 23
10 Kondisi lokasi pengambilan sampel gas NO2 26
11 Jumlah kendaraan berdasarkan bahan bakar 28
12 Konsentrasi NO2 pada sumber emisi 29
13 Rata-rata konsentrasi NO2 pada setiap titik pengukuran 30
14 Konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka 31
15 Grafik pengaruh volume kendaraan, jarak, dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi 34
16 Konsep penanaman vegetasi di simpang susun 39
17 Ilustrasi penanaman vegetasi penyangga 40
18 Ilustrasi penanaman vegetasi identitas 41
19 Ilustrasi penanaman clear zone planting dan cushion planting 43

DAFTAR LAMPIRAN

1 Baku mutu udara ambien nasional Indonesia 50


2 Peta tutupan lahan di lokasi penelitian 51
3 Proses pengambilan sampel udara dan pengamatan iklim mikro di lokasi
penelitian 52
4 Analisis konsentrasi NO2 menggunakan larutan penjerap dan alat
spektrofotometri 52
5 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 di Lokasi
Bervegetasi dan Lokasi Terbuka 53
6 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 pada
Jarak 0 m dari Sumber Emisi 53
7 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 pada
Jarak 10 m dari Sumber Emisi 54
8 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 pada
Jarak 75 m dari Sumber Emisi 54
9 Hasil uji korelasi Pearson volume kendaraan, jarak, dan kecepatan angin
dengan Konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi 54
10 Hasil uji korelasi Pearson volume kendaraan, jarak, dan kecepatan angin
dengan Konsentrasi NO2 di lokasi terbuka 55
11 Hasil uji regresi volume kendaraan terhadap konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi 56
12 Hasil uji regresi jarak terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi 56
13 Hasil uji regresi kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi 57
14 Hasil uji regresi berganda kecepatan angin dan volume kendaraan
terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi 58
15 Hasil uji asumsi klasik menggunakan SPSS 24 59
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Polusi udara merupakan masalah serius yang semakin lama keberadaannya


semakin meningkat hampir di semua negara termasuk di negara-negara maju.
Kegiatan di perkotaan yang meliputi kegiatan di sektor-sektor permukiman,
transportasi, komersial, industri, dan sektor penunjang lainnya merupakan kegiatan
yang berpotensi menyebabkan polusi udara. Dari berbagai sektor yang potensial
menyebabkan penurunan kualitas udara, pada umumnya sektor transportasi, dengan
kendaraan bermotor sebagai alat transportasi, memegang peran yang sangat besar
dibandingkan sektor lainnya (Soedomo 1999). Menurut Kusnoputranto (1996),
pencemaran udara di Indonesia, terutama di kota-kota besar disebabkan oleh gas
buang kendaraan bermotor (60-70 %), industri (10-15 %), dan sisanya berasal dari
rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain. Di Amerika Serikat,
dari berbagai aktivitas yang menimbulkan pencemaran udara, pencemaran yang
ditimbulkan oleh aktivitas transportasi lebih besar dibandingkan dengan kegiatan
manusia lainnya (Gorham 2002). Pemantauan kualitas udara yang telah dilakukan
oleh KLH di Jakarta menunjukkan 70 % dari total emisi yang dibuang ke udara
berasal dari gas buang kendaraan bermotor (KLH 2002). Pertumbuhan kendaraan
bermotor di Indonesia pada kurun waktu lima tahun antara tahun 2011 sampai
dengan 2015 adalah sebesar 9.13 % pertahun atau sebanyak 8 948 209 kendaraan
pertahun (BPS 2016). Peningkatan jumlah kendaraan dan penggunaan bahan bakar
semakin tinggi tentu saja berdampak pada meningkatnya emisi akibat adanya
proses pembakaran tidak sempurna pada kendaraan yang menyebabkan penurunan
kualitas udara akibat polusi.
Simpang susun atau sering disebut interchange merupakan suatu
persimpangan tidak sebidang pada pertemuan dua atau lebih lintas jalan arteri atau
jalan tol. Fungsi simpang susun adalah mempermudah perpindahan kendaraan dari
jalan arteri ke jalan arteri lainnya, jalan arteri ke jalan tol, atau jalan tol ke jalan tol
lainnya (Oglesby dan Hicks 1990). Pembangunan simpang susun sering dilakukan
sebagai upaya mengurangi kemacetan lalu-lintas akibat konflik di persimpangan.
Sebuah simpang susun dapat menjadi bentuk persimpangan yang tidak sederhana
dari beberapa ruas jalan dengan beberapa level jalan, ramp, loop, jalur konvergen,
dan jalur divergen. Sebagai bentuk jalan yang tidak sebidang (bertingkat), dan
merupakan titk temu dari beberaa ruas jalan, volume kendaraan di simpang susun
dapat berlipat sehingga menyumbang polusi udara yang besar di perkotaan.
Bahan pencemar yang terutama terdapat didalam gas buang buang kendaraan
bermotor adalah karbon monoksida (CO), berbagai senyawa hindrokarbon,
nitrogen oksida (NOx), sulfur (SOx), dan partikulat debu termasuk timbal
(Pb). Pada skala global, pembakaran bahan bakar fosil merupakan sumber utama
pencemar SO2 dan NOx (Finlayson dan Pitts 1999). Sedangkan menurut Gorham
(2002), polutan utama dari sektor transportasi yang memiliki efek merugikan bagi
kesehatan meliputi timbal, berbagai jenis partikel, ozon (terbentuk dari reaksi
atmosfir oksida nitrogen dan senyawa organik VOC (voliatile organic compound),
berbagai VOC beracun, NO2, CO, amonia, dan SO2.
2

Beberapa tahun terakhir, pencemaran nitrogen oksida (NOx) akibat emisi


kendaraan menjadi isu penting di beberapa negara di dunia karena proporsi NOx
berupa gas NO2 dari knalpot kendaraan terbukti meningkat (Carslaw 2005; Anttila
et al. 2011; Anttila dan Tuovinen 2010). Menurut Eropa Commision (2013), sektor
transportasi merupakan kontributor terbesar emisi NOx di Uni Eropa yaitu sebesar
46 % dari total emisi. Konsentrasi NO2 tertinggi biasanya ditemukan pada wilayah
dengan aktivitas transportasi tinggi. Di dalam laporan kualitas udara DKI Jakarta
tahun 2015, trend kualitas pencemaran udara menunjukkan bahwa konsentrasi NO2
cenderung menurun pada Tahun 2009 ke Tahun 2012 dan cenderung meningkat
pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan berdasarkan data hasil pemantauan
kualitas udara ambien di 243 kota di Indonesia oleh Pusat Penelitian dan
Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan tahun 2011, di sebagian kota besar yaitu Pekanbaru, Cilegon,
Jambi, dan Jakarta, konsentrasi NO2 sudah ada yang melampaui baku mutu tahunan
(100 µg/m3).
Nitrogen oksida (NOx) adalah senyawa gas di atmosfer yang sebagian besar
terdiri atas nitrit oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta berbagai jenis
oksida dalam jumlah yang lebih sedikit. Kedua macam gas tersebut mempunyai
sifat yang sangat berbeda dan keduanya sangat berbahaya bagi kesehatan. Sifat
Racun (toksisitas) gas NO2 empat kali lebih kuat dari pada toksisitas gas NO.
Pengaruh negatif NO2 terhadap kesehatan manusia adalah menurunnya fungsi paru-
paru dan meningkatnya risiko kanker (Hamra et al. 2015; WHO 2013). Nitrogen
Dioksida (NO2) juga merupakan slah satu prekusor pembentuk polutan sekunder
berupa ozon. Secara alami, NO2 mengalami siklus fotolitik dengan bantuan
matahari membentuk O3 dan sebaliknya. Siklus fotolitik tersebut dapat mengalami
gangguan akibat adanya senyawa hidrokarbon yang bereaksi dengan NO sehingga
kadar O3 meningkat pada lapisan troposfer. Berbeda dengan ozon yang berada
di lapisan statosfer (antara 15 dan 30 km di atas permukaan bumi) yang dikenal
sebagai lapisan ozon yang berperan untuk menyerap sinar ultraviolet dari matahari,
ozon di lapisan troposfer yang dekat dengan permukaan bumi merupakan gas
pencemar beracun yang berdampak buruk bagi makhluk hidup.
Ruang terbuka hijau (RTH) berupa jalur hijau jalan merupakan komponen
yang sangat efektif untuk menjerap dan menyerap polutan yang telah lepas ke udara
disamping instrumen kebijakan yang berkaitan dengan penetapan standar emisi dan
kualitas udara, kebijakan ekonomi berupa insentif dan disinsentif, serta usaha
mengurangi emisi gas-gas pencemar langsung pada sumbernya melalui penggunaan
teknologi untuk mengontrol emisi, penggunaan bahan bakar alternatif ramah
lingkungan, dan manajemen lalu lintas. Studi tentang kemampuan spesies tanaman
dalam menyerap dan menjerap polutan, sumber dan jumlah polutan yang dilepas ke
udara, serta pola penyebaran polutan di udara diperlukan dalam perencanaan jalur
hijau jalan. Tanaman yang digunakan sebagai elemen ruang terbuka hijau harus
efektif menyerap pencemar udara, mampu menyesuaikan diri, dan toleran dengan
kondisi pencemaran udara di sekitarnya. Kemampuan tanaman menyerap pencemar
udara bervariasi, dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi pencemar, sensitivitas
tanaman terhadap pencemar, dan faktor pertumbuhan tanaman (Larcher 1995).
Selain sebagai pereduksi polusi udara dari kendaraan bermotor, jalur hijau jalan
pada simpang susun juga berfungsi untuk mengarahkan, memberi identitas lokasi,
dan meningkatkan keamanan dan keselamatan pengendara (tata hijau clear zone
3

dan cushion planting). Oleh karena itu, perencanaan jalur hijau di simpang susun
sebagai pereduksi polutan tetap harus mempertimbangkan fungsi penting lainnya
yang harus dihadirkan pada simpang susun.

Perumusan Masalah

Di masa mendatang, emisi NO2 diperkirakan terus meningkat karena


bertambahnya penggunaan kendaraan bermotor. Dengan demikian perlu dilakukan
upaya pengurangan polusi NO2, sehingga dapat mengurangi dampak negatif
terhadap manusia dan lingkungannya. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup
dalam Evaluasi Kualitas Udara Perkotaan 2012, dibandingkan dengan hasil
pengukuran konsentrasi CO yang dievaluasi pada tahun 2011 dan 2012 yang
cenderung turun, konsentrasi NO2 mengalami peningkatan di 15 kota dari 22 kota
yang dievaluasi. Di Indonesia, belum pernah dilaporkan adanya kasus yang
disebabkan oleh pencemar NO2, namun penelitian mengenai dampak gas NO2
terhadap kesehatan manusia sudah banyak dipublikasikan (Morgenstern et al. 2007;
Naess et al. 2007).
Selain menggunakan instrumen kebijakan, penggunaan teknologi untuk
mengontrol emisi, penggunaan bahan bakar alternatif, serta manajemen lalu lintas,
usaha mengurangi pencemar NO2 dapat dilakukan dengan memanfaatkan vegetasi.
Menurut Grey dan Deneke (1978), vegetasi dapat befungsi untuk memperbaiki
iklim mikro (ameliorasi iklim), memberikan perlindungan terhadap erosi, banjir,
polusi udara, kebisingan, silau, dan terpaan angin(fungsi engineering), membentuk
ruang, screening, dan kontrol privasi(fungsi arsitektur), dan untuk keindahan
(fungsi Estetika). Vegetasi menyerap NO2 melalui proses pertukaran gas, dan
kemudian berasimilasi menjadi senyawa nitrogen dan digunakan sebagai senyawa
utama tanaman untuk meningkatkan pertumbuhannya (Linskens dan Jackson
1989).
Beberapa penelitian telah dilakukan berkaitan dengan peran vegetasi dalam
megurangi polusi udara di jalan raya (Nasrullah et al. 1994; Sulistijorini 2009;
Hermawan et al. 2011; Sulistyantara et al. 2016; Nugraheni 2006; Desyana et al.
2017) namun belum mengkaji sebaran polusi udara di jalan simpang susun.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang perlu dikaji adalah
1. Bagaimanakah pola sebaran NO2 di lokasi bervegetasi dan lokasi terbuka (tidak
bervegetasi) akibat aktivitas transportasi pada simpang susun?
2. Seberapa besar pengaruh pengaruh volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi dan lokasi terbuka (tidak
bervegetasi) pada jalan simpang susun?
3. Bagaimana tata hijau yang efektif mereduksi pencemar NO2 dan aman bagi
pengguna jalan pada simpang susun?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:


1. Menganalisa sebaran (dispersi) polutan gas NO2 di lokasi bervegetasi dan lokasi
terbuka (tidak bervegetasi) pada jalan simpang susun;
4

2. Mengetahui pengaruh volume kendaraan, jarak, dan kecepatan angin terhadap


konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi dan lokasi terbuka (tidak bervegetasi)
pada jalan simpang susun;
3. Menyusun rekomendasi tata hijau pada simpang susun yang efektif mereduksi
pencemar NO2 serta memperhatikan unsur keselamatan pengguna jalan,
identitas, dan fungsi estetika.

Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam merumuskan
suatu rekomendasi perencanan jalur hijau pada simpang susun yang efektif
mereduksi pencemar NO2 dari aktivitas transportasi. Perencanan jalur hijau di
simpang susun juga memperhatikan unsur keselamatan pengguna jalan, identitas,
dan fungsi estetika.

Ruang Lingkup Penelitian

PENCEMARAN
UDARA

PENCEMARAN UDARA
AKIBAT TRANSPORTASI
KEPADATAN - Primer ( CO, HC, NOx, PENGARUH
LALU-LINTAS SO2, Partikulat ) LINGKUNGAN
- Sekunder (O3, Smog)

DAMPAK NEGATIF BAGI


MAKHLUK HIDUP

KEBIJAKAN UPAYA MEREDUKSI UPAYA


PEMERINTAH POLUTAN NO2 TEKNIS

EMISI NO2 PENGURANGAN POLA


POLUTAN NO2 OLEH PENYEBARAN FAKTOR
VEGETASI JALUR POLUTAN IKLIM
HIJAU JALAN NO2

STRUKTUR JALUR
HIJAU

EFEKTIVITAS JALUR
HIJAU MENYERAP
POLUSI NO2

REKOMENDASI JALUR
HIJAU JALAN DI
SIMPANG SUSUN

Gambar 1 Kerangka Pemikiran


5

Batasan penelitian meliputi lingkup area penelitian dan lingkup bahasan


penelitian yang akan dikaji. Lingkup area penelitian adalah pada Simpang Susun
Cikunir yang merupakan simpang susun antara rangkaian tol JORR E1 (ruas Taman
Mini-Cikunir), JORR E2 (ruas Cikunir-Cakung), dan rangkaian utama tol Jakarta-
Cikampek. Lingkup bahasan penelitian ini didasari pada fenomena gas NO2
terutama yang berasal dari aktivitas transportasi. Seiring dengan meningkatnya
aktivitas transportasi, pencemar NO2 sebagai polutan sekunder yang berpotensi
menimbulkan gangguan kesehatan pada manusia dan lingkungannya juga akan
meningkat.
Penggunaan tanaman sebagai alternatif mengurangi pencemar NO2 perlu
dikembangkan karena keragaman tanaman di Indonesia yang tinggi. Untuk area
simpang susun, keberadaan beberapa loop yang luas juga berpotensi sebagai lahan
RTH yang berperan menyerap polusi udara. Beberapa penelitian telah dilakukan
berkaitan dengan peran vegetasi dalam megurangi polusi udara di jalan raya namun
belum banyak yang mengkaji sebaran polusi udara di jalan simpang susun. Peranan
struktur jalur hijau (spesies, baris, dan kerimbunan) yang efektif mengurangi
polutan NO2 dikaji dengan melihat emisi NO2 serta pola penyebaran (dispersi)
polutan NO2 di udara. Selain itu, untuk melihat peranan vegetasi mengurangi
konsentrasi NO2 akibat aktivitas transportasi, diakukan percobaan dengan
mengukur pengurangan konsentrasi NO2 udara ambien pada tiga jarak dari sumber
emisi pada daerah yang bervegetasi. Kerangka pemikiran penelitian secara lengkap
disajikan pada Gambar 1.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Pencemaran Udara

Atmosfer yang merupakan susunan atau komposisi gas-gas di dalamnya


secara alamiah mampu menopang kehidupan manusia dan makhluk hidup lain di
permukaan bumi, terutama fungsinya dalam mencegah pemanasan dan pendinginan
permukaan bumi yang berlebihan serta menyediakan gas-gas tertentu bagi
organisme. Proses kimia dan kimiawi yang terjadi di permukaan bumi, emisi dari
transportasi, aktivitas makhluk hidup, bahan kimia antropogenik dan biogenik
tertentu dapat mempengaruhi atmosfer (Finlayson dan Pitts 1999). Kondisi
atmosfer yang terganggu tentu daja akan berpengaruh terhadap fungsi atmosfer
tersebut dan akan menimbulkan dampak negatif terhadap makhluk hidup di bumi.
Seinfeld (2006) mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi atmosfer ketika
suatu substansi konsentrasi pencemar melebihi batas konsentrasi udara ambien
normal yang menyebabkan dampak terukur pada manusia, hewan, tumbuhan dan
material. Pencemaran udara menurut Pathak (2013) adalah bertambahnya bahan
kimia, partikulat, atau bahan biologis ke dalam atmosfer yang menyebabkan
ketidaknyamanan, kematian manusia, rusaknya makhluk hidup lain seperti tanaman
pangan, lingkungan alam, dan lain-lain. Lebih lanjut, substansi tersebut dapat
berasal dari sifat alami atau aktivitas manusia maupun campuran diantara keduanya.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 butir 14, Pencemaran lingkungan hidup
6

adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen
lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku
mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Jika sesuatu zat, benda, atau energi
yang masuk ke dalam wahana lingkungan yang berakibat turunnya kualitas
lingkungan maka kegiatan tersebut telah dikategorikan dengan pencemaran (UU
No. 32 Tahun 2009).
Pencemar udara diklasifikasikan dalam dua katagori : primer, yaitu polutan
yang diemisikan langsung ke atmosfer oleh sumber bergerak atau tidak bergerak;
dan sekunder, yaitu polutan yang terbentuk di atmosfer sebagai hasil dari proses
fisika dan kimia seperti hidrolisis, iksidasi, dan fotokimia (Faiz et al. 1990).
Sedangkan United State of Environmental Protection Agency (U.S.EPA, 2005)
membagi sumber polutan menjadi dua yaitu sumber antropogenik dan alami. Polusi
udara antropogenik berasal dari sumber stasioner besar (industri, pembangkit listrik,
dan tempat pembakaran), sumber tidak bergerak kecil (rumah tangga dan boiler
komersial kecil), dan sumber bergerak (lalu lintas). Sedangkan sumber emisi
alamiah umumnya berasal dari sumber biologi dan geologi, antara lain bersumber
dari vegetasi, tanah, gunung berapi, aktivitas geothermal, angin, dan kebakaran
hutan. Menurut Pathak (2013), pencemar udara dapat berbentuk partikel solid,
liquid, atau gas yang terbentuk secara alami atau buatan manusia dan
diklasifikasikan ke dalam pencemar primer dan sekunder. Polutan primer lansung
diproduksi dari sebuah proses, seperti erupsi guning berapi, dari kendaraan
bermotor, atau pabrik, sedangkan polutan sekunder tidak diemisikan langsung
melainkan terbentuk di dalam udara ketika polutan primer bereaksi atau
berinteraksi. Polutan primer dapat berbentuk sulfur oksida (SOx), nitrogen oksida
(NOx), karbon monoksida (CO), hidrokarbon (HC), voliatile organic compound
(VOC), partikel berupa debu, asap, dan timbal, chlorofluorocarbons (CFCs),
amonia (NH3) dan pencemar radioaktif. Sedangkan polutan sekunder dapat berupa
ozon, peroxyzcetyl nitrat (PAN), persistent organic pollutants (POPs),
photochemical smog, dan senyawa asam.
Aktivitas manusia yang dapat menyebabkan pencemaran udara antara lain
adalah kegiatan industri, pertambangan, transportasi, pertanian, dan pembakaran
baik biomassa maupun bahan fosil. Bahan pencemar udara utama yang ditimbulkan
dari kegiatan tersebut antara lain adalah berbagai macam hidrokarbon (HC), sulfur
oksida (SOx), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), partikulat, dan
berbagai bahan pencemar lainnya. Dengan semakin meningkatnya aktivitas
manusia, diprediksikan terjadi peningkatan kuantitas dan kualitas pencemaran
udara. Berbagai penelitian memperlihatkan terdapat hubungan antara
meningkatnya konsentrasi pencemar udara dengan gangguan kesehatan dan
kematian (Naess et al. 2007).
Di Amerika, dari berbagai aktivitas yang menimbulkan pencemaran udara,
pencemaran yang ditimbulkan oleh aktivitas transportasi lebih besar dibandingkan
dengan kegiatan manusia lainnya (Gorham 2002). Sedangkan menurut Faiz et al.
(1996), polutan udara yang ada di kota-kota negara berkembang umumnya meliputi
a. Respirabel partikel dari kendaraan diesel, sepeda motor, dan pembakaran
sampah dan kayu bakar, dan sumber-sumber industri stasioner;
b. Aerosol dari pembakaran bensin bertimbal;
c. Karbon monoksida dari kendaraan bensin dan pembakaran sampah dan kayu
bakar;
7

d. Ozon yang dihasilkan oleh reaksi senyawa organik yang mudah menguap dan
nitrogen oksida karena hadapan sinar matahari.
e. Oksida belerang dari pembakaran bahan bakar mengandung sulfur dan proses
industri;
f. Partikulat sekunder yang terbentuk di atmosfer oleh reaksi yang melibatkan ozon,
sulfur dan nitrogen oksida, serta senyawa organik yang mudah menguap;
g. Karsinogen seperti benzena, butadiena, aldehida, dan hidrokarbon aromatik
polynuclear dari knalpot kendaraan bermotor dan sumber lainnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesi Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara, disebutkan bahwa setidaknya ada tiga
belas parameter dalam baku mutu udara ambien nasional diantaranya SO2, CO, NO2,
O3, HC, PM, dan TSP (Lampiran 1). Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas
atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada
dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien.
Masalah pencemaran di suatu negara tentunya akan berbeda dengan satu negara
lainnya. Hal ini dikarenakan pencemaran udara dipengaruhi oleh berbagai
faktor,diantaranya tofografi, kependudukan, iklim, perkembangan sosio ekonomi,
dan industrialisasi. Oleh karena itu, tiap negara memiliki standar baku mutu udara
ambien yang berbeda.
Dampak dari polusi udara dibagi menjadi tiga level yaitu: lokal, berdampak
terhadap kota dan pusat industri; regional, berkaitan dengan transboundary
penyebaran polutan; dan global, berkaitan dengan pembentukan gas rumah kaca
(Faiz et al. 1990). Pencemaran udara di Indonesia, terutama di kota-kota besar
disebabkan oleh gas buang kendaraan bermotor (60-70 %), industri (10-15 %), dan
sisanya berasal dari rumah tangga, pembakaran sampah, kebakaran hutan, dan lain-
lain (Kusnoputranto 1996). Gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber
polusi udara yang utama di kawasan perkotaan. Karbon monoksida (CO), berbagai
senyawa hindrokarbon, berbagai nitrogen oksida (NOx), sulfur oksida (SOx), dan
partikulat debu termasuk timbal (Pb) merupakan pencemar yang terutama terdapat
di dalam gas buang buang kendaraan bermotor.

Polutan NO2
Gas nitrogen dioksida (NO2) merupakan salah satu bentuk senyawa oksida
nitrogen (NOx) disamping dinitrogen oksida (N2O) dan nitrogen monoksida (NO).
Mekanisme utama dalam pembentukan NO2 di atmosfer berasal dari nitrogen
monoksida (NO) yang dipancarkan oleh kendaraan bermotor atau proses
pembakaran lainnya melalui proses oksidasi. Menurut Sheel et al. (2010), sumber
utama NO2 berasal dari sumber antropogenik yang meliputi sumber tidak bergerak
(fasilitas industri), sumber bergerak (kendaraan bermotor, kapal laut, pesawat
udara), dan sumber skala kecil (pemanas, dapur) serta dari sumber alami seperti
erupsi vulkanik dan bakteri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsentrasi
NO2 udara ambien di daerah dengan aktivitas transportasi tinggi relatif lebih tinggi
dibandingkan daerah lainnya. Konsentrasi NO2 yang tinggi dapat menyebar ke
wilayah sekitarnya melalui proses difusi ataupun perantaraan angin. Dengan
demikian dapat diperkirakan bahwa dampak negatif dari konsentrasi NO2 yang
tinggi tidak hanya terjadi pada daerah yang berdekatan dengan sumber emisi tetapi
dapat juga terjadi pada jarak yang lebih jauh.
8

Beberapa tahun terakhir, pencemaran nitrogen oksida (NOx) akibat emisi


kendaraan menjadi isu penting di beberapa negara di dunia karena proporsi NOx
berupa gas NO2 dari knalpot kendaraan terbukti meningkat (Carslaw 2005; Anttila
et al. 2011; Anttila dan Tuovinen 2010). Kendaran bermotor merupakan sumber
utama polusi di Eropa yang menyumbang 50-60 % emisi gas NOx (OECD 1988
dalam Faiz et al. 1996). Konsentrasi NO2 tertinggi biasanya ditemukan pada
wilayah dengan aktivitas transportasi tinggi. Di dalam laporan kualitas udara DKI
Jakarta tahun 2015, trend kualitas pencemaran udara menunjukkan bahwa
konsentrasi NO2 cenderung menurun pada Tahun 2009 ke Tahun 2012 dan
cenderung meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Sedangkan berdasarkan data
hasil pemantauan kualitas udara ambien di 243 kota di Indonesia oleh Pusat
Penelitian dan Pengembangan Kualitas dan Laboratorium Lingkungan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2011, di sebagian kota besar
yaitu Pekanbaru, Cilegon, Jambi, dan Jakarta, konsentrasi NO2 sudah ada yang
melampaui baku mutu berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 41 tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara yaitu sebesar 100
µg/m3.
Fardiaz (2009) menjelaskan bahwa konsentrasi NOx di udara dalam suatu
kota bervariasi sepanjang hari tergantung dari sinar matahari dan aktivitas
kendaraan. Perubahan konsentrasi NOx menurut Fardiaz berlangsung sebagai
berikut
1. Sebelum matahari terbit, konsentrasi NO dan NO2 tetap stabil pada konsentrasi
sedikit lebih tinggi dari konsentrasi minimum sehari-hari.
2. Segera setelah aktivitas manusia meningkat (jam 6 – 8 pagi) konsentrasi NO
meningkat terutama karena meningkatnya aktivitas lalu lintas yaiu kendaraan
bermotor.
3. Dengan terbitnya sinar matahari yang memancarkan sinar ultraviolet,
konsentrasi NO2 meningkat karena perubahan NO primer menjadi NO2 sekunder.
4. Konsentrasi ozon meningkat dengan menurunnya konsentrasi NO.
5. Jika intensitas energi solar (sinar matahari) menurun pada sore hari (jam 5 – 8
sore) konsentrasi NO meningkat kembali.
6. Energi matahari tidak tersedia untuk mengubah NO menjadi NO2 (melalui reaksi
hidrokarbon), tetapi O3 yang terkumpul sepanjang hari akan bereaksi dengan NO.
Akibatnya terjadi kenaikan konsentrasi NO2 dan penurunan konsentrasi O3.

Pengaruh negatif NO2 terhadap kesehatan manusia adalah menurunnya fungsi


paru-paru dan meningkatnya risiko kanker (Hamra et al. 2015; WHO 2013).
Menurut EPA Penelitian mengenai dampak paparan NO2 terhadap kesehatan
manusia cukup banyak dilakukan. Penelitian Burnett et al. (1998) mengenai
pengaruh polusi udara berupa gas terhadap mortalitas menunjukkan bahwa NO2
meningkatan resiko kematian sebesar 4.1 %, ozon 1.8 %, SO2 1.4 %, dan CO
meningkatkan resiko kematian sebesar 0.9 %. Pajanan NO2 selama 30 menit dengan
konsentrasi 560 μg/m3 pada penderita asma telah cukup untuk menimbulkan
gangguan pernapasan, sementara pada orang dewasa yang sehat dampak baru akan
teramati pada konsentrasi 560 μg/m3 (Harrop 2002). Pada konsentrasi harian rerata
84–185 μg/m3, peningkatan rerata konsentrasi harian sebesar 10 μg/m3 berkaitan
dengan kenaikan angka kematian sebesar (0.2–0.8 %) dan kasus gawat darurat
karena serangan asma sebesar (1.7–1.8 %) (Ackermann dan Liebriech 1996).
9

Shannon et al. (2004) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara meningkatnya


NO2 udara ambien dan resiko gangguan pernafasan dan kambuhnya asma. Paparan
NO2 konsentrasi rendah akan menyebabkan hipereaktifitas bronchial sehingga
membuat anak-anak lebih mudah terkena infeksi saluran pernafasan. Paparan NO2
dalam waktu yang lama atau paparan dalam konsentrasi tinggi juga dapat memicu
terjadinya bronchitis akut (Barnett et al. 2005).
Bagi ekosistem dan lingkungan, pencemaran oksida nitrogen (NOx) bagi
tumbuhan menyebabkan bintik-bintik pada permukaan daun, bila konsentrasinya
tinggi dapat mengakibatkan nekrosis atau kerusakan jaringan daun yang
mengakibatkan proses fotosintesis terganggu. Dalam keadaan seperti ini daun tidak
dapat berfungsi sempurna sebagai temapat terbentuknya karbohidrat melalui proses
fotosintesis. Akibatnya tanaman tidak dapat berproduksi seperti yang diharapkan.
Konsentrasi NO sebanyak 10 ppm sudah dapat menurunkan kemampuan
fotosintesis daun sampai sekitar 60 % hingga 70 % (Pohan, 2002). Percobaan
dengan cara fumigasi tanaman-tanaman dengan NO2 menunjukkan terjadinya
bintik-bintik pada daun jika digunakaaan konsentrasi 1.0 ppm, sedangkan dengan
konsentrasi 3.5 ppm atau lebih terjadi nekrosis atau kerusakan tenunan daun (Stoker
dan Seager dalam Fardiaz 1992).
Keberadaan NO2 juga berkontribusi terhadap terbentuknya hujan asam.
Hujan asam adalah bentuk presipitasi yang mengandung pencemar SO2, SO3, NO2,
dan HNO3. Pencemar tersebut larut dalam butiran awan dan air hujan sehingga
membentuk asam sulfat dan asam nitrat dalam air hujan sehingga mengakibatkan
pH air hujan kurang dari 5.6 yang dikenal sebagai hujan asam. Dampak hujan asam
terhadap tanaman adalah kematian, daun layu dan rontok, sehingga dapat
mengurangi produktivitas tanaman. Hujan asam juga dapat merusak akar tanaman
melalui pelepasan ion aluminium, timah, raksa, dan kadmium dari tanah dan
sedimennya sehingga dapat menghalangi pengambilan dan penggunaan nutisi oleh
tanaman. Pada ekosistem hutan, deposisi nitrogen melalui hujan asam mengubah
status nitrogen yang secara alamiah terbatas menjadi kondisi jenuh nitrogen (Aber
et al. 1993). Kondisi jenuh nitrogen ini akan menimbulkan dampak negatif pada
lingkungan di antaranya adalah perubahan kimia tanah, komposisi, dan
produktivitas hutan.
Fitter dan Hay (1994) menyatakan bahwa stomata dan kloroplas menjadi
tempat masuk utama dari berbagai jenis pencemar yaitu SO2, NOx, dan O3. Di
dalam kloroplas, masuknya SO2, NOx, dan O3 dapat menyebabkan perobekan
sistem thylakoid (sejumlah membran dalam kloroplas tempat terjadinya proses
fotosintesis). Penelitian Honour et al. (2009) menyebutkan bahwa konsentrasi NOx
sebesar 77-98 nl/l dan rasio NO:NO2=1.4:2.2 dapat menghambat pertumbuhan,
menyebabkan penuaan dini, menghambat pembentukan bunga pada beberapa
tanaman yang diteliti.
Nitrogen dioksida juga merupakan prekursor untuk sejumlah polutan udara
sekunder yang berbahaya, termasuk asam nitrat, bagian nitrat aerosol anorganik
sekunder dan poto oxidant, termasuk ozon (WHO 2013). Secara alami, NO2
mengalami siklus fotolitik dengan bantuan matahari membentuk O3 dan sebaliknya.
Nitrogen oksida troposfer (NOx = NO + NO2) awalnya dipancarkan dalam bentuk
nitrogen monoksida (NO), yang diubah menjadi NO2 oleh proses oksidasi. NO2 ini
diubah kembali menjadi NO oleh proses fotolisis selama cahaya matahari dan
keseimbangan fotokimia tercapai. Siklus fotolitik tersebut dapat mengalami
10

gangguan akibat adanya senyawa hidrokarbon akan bereaksi dengan NO sehingga


kadar O3 meningkat pada lapisan troposfer (Finlayson dan Pitts 1999). Berbeda
dengan ozon di lapisan stratosfer, ozon di lapisan troposfer (antara 15-30 km di atas
permukaan bumi) merupakan gas pencemar beracun yang berdampak buruk bagi
makhluk hidup. Kerusakan dan radang paru-paru dapat terjadi karena paparan ozon
sekitar 60 sampai 80 ppb (120-160 µg/m3) untuk jangka waktu 6.6 jam (WHO
2013). Sedangkan menurut The National Institute for Occupational Safety and
Health (NIOSH), ozon dapat meracuni manusia bahkan bisa sampai menyebabkan
kematian apabila menghirup ozon dengan konsentrasi 50 ppm selama kurang lebih
1 jam.

Faktor Meteorologi dalam Pencemaran Udara


Masalah polusi udara berkaitan erat dengan faktor meteorologi, terutama
dalam hal perpindahan polutan dari sumbernya ke daerah penerima (Perkins, 1974).
Perubahan skala meteorologi akan mempengaruhi pola sebaran/dispersi polutan
karena atmosfer sendiri memiliki kemampuan untuk mendispersikan dan
mendifusikan polutan baik secara vertikal maupun horizontal. Faktor-faktor
meteorologi yang dapat mempengaruhi konsentrasi polutan dan mengakibatkan
dispersi adalah arah dan kecepatan angin, tinggi campuran, dan turbulensi
atmosferik (konsep stabilitas). Arah dan Kecepatan Angin Angin merupakan
perpindahan massa udara yang didominasi ke arah horizontal. Angin dipengaruhi
oleh variasi kondisi meteorologi, waktu, tempat dan letak ketinggian (topografi).
Variasi angin akan memberikan pengaruh terhadap turbulensi atmosfer. Pada skala
yang lebih kecil, karakteristik permukaan seperti pepohonan, bangunan, bukit, dan
gunung dapat menyebabkan turbulensi menjadi semakin besar.
Arah angin dijelaskan secara konvensional sebagai arah dari mana angin
tersebut bertiup (blowing from) dan diidentifikasi dengan 1 dari 16 (atau kadang
32) titik kompas atau secara keilmuan dilihat sebagai sudut dalam derajat searah
dengan jarum jam dari utara. Sedangkan kecepatan angin merupakan hal penting
dalam dispersi atmosferik yang dinyatakan dalam skala Beaufort (biasa digunakan
oleh marinir), m/s, knot, mill/jam (Colls 2002). Pada siang hari, turbulensi dan
pergerakan vertikal sangat besar akibat pengaruh dari sinar matahari sehingga
menyebabkan variasi kecepatan angin akan kecil karena adanya transfer energi
yang besar antara berbagai lapisan atmosfer. Sedangkan pada malam hari,
pergerakan angin vertikal sangat rendah sehingga terjadi hal yang sebaliknya.
Stabilitas atmosfer mempunyai peranan penting dalam pengenceran kadar
polutan akibat faktor difusi dan angin. Untuk kondisi atmosfer yang tidak stabil
(umumnya terjadi pada tengah hari di atas jalanan beraspal), udara cenderung
bergerak ke atas sehingga kadar polutan per satuan volume yang terakumulasi di
atmosfer menjadi lebih kecil atau terjadi proses dispersi polutan yang berakibat
pada penurunan beban konsentrasi polutan. Sedangkan untuk kondisi atmosfer yang
stabil (umumnya terjadi pada pagi dan sore hari), udara cenderung akan bergerak
ke bawah/ turun sehingga kadar polutan per satuan volume menjadi besar atau
memperlambat proses dispersi polutan yang berakibat penambahan kadar polutan.
Pada kondisi meteorologi tidak baik (lapisan inversi rendah dan angin sedang atau
lemah) polutan akan didispersikan secara perlahan-lahan yang mengakibatkan
konsentrasi polutan setempat menjadi tinggi. Pada kondisi meteorologi baik
11

(atmosfer tidak stabil dan angin kencang) polutan didispersikan dengan cepat, baik
secara vertikal maupun horizontal yang menyebabkan terjadinya pengenceran
konsentrasi polutan dan penyebaran lebih lanjut. Tabel 1 memperlihatkan
pergerakan skala meteorologi yang dikategorikan dalam tiga skala berdasarkan
dimensi jarak (Seinfeld 1986).

Tabel 1 Skala pergerakan meteorologi pencemar udara


Skala Periode Keterangan Contoh
waktu
Makro Harian- Fenomena yang terjadi pada Pergerakan udara
mingguan skala > 1000 km, disebut bertekanan tinggi dan
juga skala sipnotik, rendah pada daratan
berpengaruh terhadap yang luas atau di atas
sebaran polutan jarak jauh, permukaan
sebaran O3, hujan asam, dan laut/samudera
CFC
Meso Jam-harian Fenomena yang terjadi pada Pergerakan angin darat-
skala 100 - <1000 km, laut, angin gunung-
digunakan untuk penelitan lembah.
pencemaran udara perkotaan
Mikro Menit-jam Fenomena yang terjadi pada Dispersi jalan raya dan
skala < 1 km dispersi kepulan asap,
serta aliran kompleks
pada gedung-gedung
bertingkat
Sumber : Seinfield 1986

Teknologi Mengontrol Emisi Kendaraan


Emisi adalah zat, energi, dan atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu
kegiatan yang masuk dan atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang
mempunyai dan atau tidak mempuyai potensi sebagai unsur pencemar (PP No. 41
Tahun 1999). Satuan emisi umumnya dalam bentuk satuan massa atau volume
dibagi satuan waktu, misalnya kg/tahun dan m3/hari. Emisi kendaraan bermotor di
jalan raya disebabkan oleh tiga faktor yaitu volume total kendaraan bermotor,
karakteristik kendaraan bermotor, dan kondisi umum lalu lintas saat itu (Zongan et
al. 2005). Emisi kendaraan bermotor dapat berbeda dari satu daerah dengan daerah
lainnya dikarenakan adanya perbedaan atau variasi dalam desain jalan serta kondisi
lalu-lintas di daerah tersebut.
Polusi yang diakibatkan dari buangan kendaraan bermotor adalah exhaust gas
dan hidrokarbon yang diakibatkan oleh penguapan bahan bakar. Kendaraan
bermotor yang dijalankan di bawah temperatur normal akan boros pada pemakaian
bahan bakar dan akan lebih banyak emisi yang dihasilkan dibandingkan bila mesin
telah panas (Hickman 1999). Emisi kendaraan bermotor mengandung berbagai
senyawa kimia. Komposisi dari gas buang ini bergantung kepada kondisi
mengemudi, jenis mesin, alat pengendali emisi bahan bakar, suhu operasi dan faktor
lain yang membuat pola emisi menjadi rumit (Hickman 1999).
12

Emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor dapat terbagi dalam tiga
kategori yaitu hot emission, start emission, dan evaporation emission (Hickman
1999). Hot Emission adalah emisi yang dihasilkan selama kendaraan beroperasi
pada kondisi normal. Start Emission merupakan emisi yang dikeluarkan oleh
kendaraan hanya pada saat kendaraan mulai berjalan, sedangkan Evaporation
Emission dapat terjadi dalam berbagai cara misalnya saat pengisian bahan bakar,
peningkatan temperatur harian dan lain sebagainya.
Pemberlakuan standar emisi kendaraan bermotor harus diikuti dengan
perbaikan emisi gas buang kendaraan menggunakan teknologi. Teknologi yang
umum digunakan untuk mengontrol emisi gas buang kendaraan yang meliputi
resirkulasi gas buang, kontrol elektronik mesin kendaraan, perangkat treatment gas
buang, dan teknik baru pembakaran (Faiz et al. 1990).
Exhaust Gas Recirculation (EGR) merupakan salah satu teknik yang sangat
berguna untuk mengurangi emisi NOx. EGR bekerja dengan sirkulasi gas buang
dari bagian suatu mesin kembali ke silinder mesin. Sirkulasi kembali gas buang
menggantikan udara segar masuk ke ruang bakar dengan karbon dioksida dan uap
air yang ada dalam mesin knalpot (Hussein 2012). Substitusi gas oksigen yang tidak
mengambil bagian lebih lanjut dalam pembakaran mengurangi proporsi isi silinder
yang tersedia untuk pembakaran. Hal ini menyebabkan rendahnya pelepasan panas
dan suhu puncak silinder serta mengurangi pembentukan NOx karena formasi
Nitrogen Oxida (NOx) cepat terbentuk pada temperatur tinggi. Teknologi sirkulasi
gas buang atau daur ulang gas buang ini bisa diterapkan pada mobil bermesin bensin
ataupun bermesin diesel.
Selain EGR, sejak tahun 1980, sistem kontrol rasio udara dan bahan bakar
untuk kendaraan bensin ringan berevolusi dari sistem mekanis seperti karburator
untuk mengarahkan kontrol kuantitas bahan bakar melalui electronic fuel injection
(EFI) yang memberikan kontrol yang cepat dan tepat sehingga menghasilkan
kinerja mesin dan emisi yang lebih baik (Faiz et al. 1996). Sistem injeksi bahan
bakar pertama kali dikembangkan dan dipasarkan oleh Robert Bosch AG. Dalam
sistem ini, bahan bakar diinjeksikan secara terus menerus melalui nozel. Tingkat
injeksi dikontrol dengan memvariasikan tekanan yang diberikan ke nozel dengan
pompa bahan bakar listrik. Sistem injeksi bahan bakar sekarang menggunakan
kontrol elektronik sepenuhnya. BBM untuk injector diberikan pada tekanan konstan
dengan pompa dan katup tekanan yang dikendalikan oleh komputer.
Injeksi bahan bakar adalah sebuah teknologi yang digunakan dalam mesin
pembakaran dalam untuk mencampur bahan bakar dengan udara sebelum dibakar.
Penggunaan injeksi bahan bakar akan meningkatkan tenaga mesin bila
dibandingkan dengan penggunaan karburator, karena injektor membuat bahan
bakar tercampur secara homogen. Hal ini, menjadikan injeksi bahan bakar dapat
mengontrol pencampuran bahan bakar dan udara yang lebih tepat, baik dalam
proporsi dan keseragaman. Injeksi bahan bakar dapat berupa mekanikal, elektronik
atau campuran dari keduanya. Sistem awal berupa mekanikal, namun sekitar tahun
1980-an mulai banyak menggunakan sistem elektronik. Sistem elektronik modern
menggunakan banyak sensor untuk memonitor kondisi mesin, dan sebuah unit
kontrol elektronik menghitung jumlah bahan bakar yang diperlukan. Oleh karena
itu, injeksi bahan bakar dapat meningkatkan efisiensi bahan bakar dan
mengurangi polusi, dan juga memberikan tenaga keluaran yang lebih.
13

Di negara maju yang sangat memperhatikan masalah lingkungan, setiap


kendaraan juga diwajibkan untuk memasang catalytic converter dalam knalpot gas
buang. Dari penelitian telah ditemukan suatu katalis yang terbuat dari campuran
logam platina dan rhodium (Pt-Rh) yang dipasang pada knalpot kendaraan. Dari
hasil penelitian tersebut ternyata katalis mampu bekerja dengan baik pada suhu
400oC dan dapat bertahan sampai 50 000 mil (Faiz et al. 1996). Katalis difungsikan
untuk mencegah terbentuknya gas – gas berbahaya pada gas buang kendaraan
bermotor dengan cara mengkondisikan agar terjadi reaksi antara gas CO dengan gas
NO dan reaksi antara hidrokarbon dengan gas NO2 :
2CO(g) + 2NO(g) → 2CO2(g) + N2(g)
CH4(g) + 2NO2(g) → CO2(g) + N2(g) + 2H2O(g)
Reaksi tersebut hanya dapat berlangsung pada suhu yang sangat tinggi, sedangkan
pada suhu tersebut mesin bekerja tidak efektif. Oleh karena itu, diperlukan suaatu
katalis yang dapat mempercepat reaksi tersebut pada suhu rendah.
Substitusi bahan bakar alternatif untuk bensin konvensional dan solar juga
menjadi perhatian besar selama beberapa dekade terakhir sebagai upaya
mengurangi polusi udara. Bahan bakar alternatif yang umum dipertimbangkan
untuk kendaraan adalah gas alam, bahan bakar gas cair (LPG), metanol (dibuat dari
gas alam, batubara, atau biomassa), etanol (dibuat dari biji-bijian), minyak nabati,
hidrogen, dan berbagai campuran seperti gasohol. Listrik juga dapat mengurangi
polutan emisi secara dramatis jika digunakan untuk kendaraan namun masih
memerlukan biaya tinggi dalam penerapannya dan kelemahan dalam fleksibilitas
operasi (Faiz et al. 1990).

Vegetasi sebagai Pereduksi Polusi Udara


Pemanfaatan vegetasi sebagai pereduksi pencemer udara sangat penting di
samping upaya melalui aspek kebijakan dan teknik. Vegetasi dapat membantu
mengurangi polusi udara melalui deposisi partikulat pada permukaan vegetasi,
maupun dengan mekanisme pertukaran gas pada stomata pada pengurangan polutan
gas (Dover 2015). Sedangkan menurut Nurfaida et al. (2011), mekanisme jalur
hijau dalam mereduksi polusi udara terdiri dari: 1) adsorbsi, yaitu menjerap polusi
hanya sampai di permukaan daun (menempel), khususnya polutan padat, partikel
debu, dan logam seperti Pb, Zn, dan Fe, 2) absorbsi, yaitu menyerap polusi dengan
cara mengasimilasi melalui jaringan tanaman di dalam daun, khusunya polusi
berupa gas NOx, SOx, CO2, CO, HC, PAN (peroxy acetic nitrat), 3) difusi, yaitu
mengencerkan konsentrasi polutan, dan 4) deposisi, yaitu menjatuhkan polutan ke
tanah. Mekanisme ini memungkinkan dikuranginya jumlah debu yang melayang di
udara. Partikel yang melayang-layang sebagian akan terjerap (menempel) pada
permukaan daun, khususnya daun yang berbulu dan mempunyai permukaan kasar,
sedangkan sebagian lainnya terserap masuk ke dalam ruang stomata daun. Selain
itu, bebrapa partikel ada yang menempel pada kulit pohon, cabang dan ranting
(Gambar 2).
14

Gambar 2 Mekanisme vegetasi mengurangi polusi udata


Sumber : Lovvet (1994)

Fitter dan Hay (1994) menyatakan bahwa stomata dan kloroplas menjadi
tempat masuk utama dari berbagai jenis pencemar yaitu SO2, NOx, dan O3. Gas NO
dan NO2 yang masuk ke dalam jaringan tanaman melalui stomata selanjutnya akan
berubah menjadi nitrit atau nitrat yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman dalam
proses pertumbuhan dan perkembangannya. Tanaman menyerap gas NO2 lebih
cepat dari NO karena NO2 lebih cepat bereaksi dengan air, sementara NO relatif
tidak larut. Laju penyerapan NO tidak dipengaruhi oleh proses transpirasi. Hal ini
menunjukkan bahwa laju penyerapan NO tidak dipengaruhi oleh pembukaan
stomata. Sebaliknya, penyerapan NO2 oleh tanaman dipengaruhi oleh transpirasi
dan laju fotosintesis (Nugrahani 2005). Selanjutnya dikemukakan oleh Misawa et
al. (1993) diacu dalam Patra (2002) bahwa laju penyerapan NO2 pada setiap
tanaman berbeda menurut spesiesnya. Pada tanaman evergreen dan deciduous
(gugur daun) terdapat perbedaan kecepatan distribusi nitrogen yang berasal dari
NO2 yang diserap daun. Distribusi nitrogen dari daun ke batang dan akar pada
tanaman evergreen lebih cepat dibanding tanaman deciduous.
Kapasitas vegetasi dalam menyerap dan menjerap polutan berbeda-beda
berdasarkan tipe vegetasi, spesies, ecotype, dan varietasnya (Lovett 1994). Ukuran
vegetasi merupakan slah satu faktor kapasitasnya mereduksi polusi udara. Nowak
(1994) menyebutkan bahwa pohon dengan diameter setinggi dada (dbh) 76 cm
dapat mengurangi polusi udara 70 kali dibanding pohon berukuran dbh 8 cm.
Sedangkan penelitian Jonas et al. (1985) menunjukkan bahwa pohon lebih efektif
mengurangi polusi udara berupa partikel (0,4 – 0,7 mikrometer) dibandingkan
dengan rumut penutup tanah, serta pohon yang ditanam secara berkelompok lebih
efektif mengurangi polusi udara (Stulpnagel et al. 1990). Kemampuan tanaman
menyerap pencemar udara juga dipengaruhi oleh jenis dan konsentrasi pencemar,
sensitivitas tanaman terhadap pencemar, dan faktor pertumbuhan tanaman (Larcher
1995).
Menurut Agustini et al. (1999), tanaman yang efektif mengurangi polutan gas
adalah Bauhinia purpurea, Bauhinia monandra, Bauhinia forficata, Bauhinia
galpinii, Cassia siamea, dan Piliostigma malabaricum. Keenam jenis pohon
tersebut mempunyai ciri bertajuk masif, berkerapatan stomata sedang sampai
15

tinggi, evergreen, dan mempunyai tinggi lebih dari 10 meter. Tanaman yang efektif
menyerap gas adalah tanaman yang memiliki kerapatan stomata yang tinggi
(Nasrullah et.al 2004) dan memiliki daun yang tipis (Nasrullah et.al 2004; Patra
2002). Burnwal dan Jagwani (2013) memberikan rekomendasi jenis spesies
tanaman yang direncanakan ditanam di area dengan memperhatikan jenis polutan
yang ada seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2 Rekomendasi vegetasi penyerap polusi berdasarkan area perencanaan dan


polutan yang dilepaskan
Area perencanaan Polutan yang Rekomendasi jenis spesies
diepaskan
Pabrik dan kawasan Partikulat, logam Acacia niloica, Aegle
industri berat, SO2, NO2, CO, marmelos, Alianthus excelsa,
CO2 Albizzia lebbek, Alstonia
scholaris, Azadirachta indica,
Dalbergia sissoo,
Bougainvillea spp.
Pertambangan SO2, Pb, partikulat, Prosopis juliflora, Acacia
H2S, hidrokarbon nilotica, Dalbergia sissoo
Jalur hijau jalan Pb, CO, NOx, SOx, Ficus benghalensis,
hidrokarbon Azadirachta indica, Alstonia
scholaris, Tamarindus indica,
Aegle marmelos, Alianthus
excelsa, Albizzia lebbek,
Holoptelea integrifoli,
Lagerstroemia indica,
Syzygium cuminii, Nerium
indicum, dll
Sumber : Burnwal dan Jagwani (2013)

Penelitian Nugraheni (2006) menyebutkan bahwa flamboyan, asam londo,


bungur, dan glodogan bulat merupakan tanaman tepi jalan yang memiliki tingkat
penyerapan tinggi (>30 μg/g) terhadap polutan NO2. Dalam penelitian Nugraheni
(2006), flamboyan menunjukkan serapan terhadap NO2 sebesar 117.77 μg/g berat
kering daun, bungur sebesar 95.357 μg/g, asam londo sebesar 84.190 μg/g, dan
glodogan bulat dapat menyerap sebesar 30.247 μg/g. Sedangkan dalam penelitian
Nasrullah et.al (2000), kelompok semak yang memiliki serapan NO2 tinggi meliputi
lolipop merah, kihujan, akalipa merah, lolipop kuning, nusa indah merah, daun
mangkokan, bugenvil ungu, kaca piring, miana, hanjuang merah, azalea, lantana
ungu, dan akalipa putih. Dari kelompok pohon, yang menunjukkan serapan NO2
yang tinggi adalah dadap kuning (Erythrina variegata) sebesar 68.31 μg/g,
kaliandra (Caliandra surinamensis) sebesar 41.01 μg/g, trembesi (Samanea Saman)
sebesar 35.37 μg/g, dan jambu biji (Psidium guajava) sebesar 30.80 μg/g.
Sementara itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Sulistijorini
(2009), beberapa tanaman memiliki kemampuan tinggi menyerap polutan gas NO2
adalah Delonix regia (6.03 μg 15N d/m2 daun), dikuti oleh Mimosops elengi (4.11
μg 15N d/m2), Pterocarpus indicus ( 2.92 μg 15N d/m2), Cinnamomum burmanii
(2.49 μg 15N d/m2), Swietenia macrophylla (2.26 μg 15N d/m2), Lagerstroemia
16

speciosa (2.13μg 15N d/m2), Gmelina arborea (1.95 μg 15N d/m2 daun) dan
Casuarina sumatrana (1.12 μg 15N d/m2).
Menurut Dover (2015), keberadaan tanaman jalur hijau jalan pada area
dengan konsentrasi nitrogen oksida yang tinggi penting karena ozon permukaan
terbentuk oleh reaksi NOx dan hidrokarbon. Penelitian Sulistyantara et al. (2016)
menunjukkan jalur hijau jalan Swietenia macrophylla dengan jenis kanopi bulat
lebih efektif daripada Polyalthia fragrans dengan jenis kanopi silinder dalam
mengurangi konsentrasi CO pada jarak 10 m, tetapi konsentrasi meningkat pada
jarak 30 m. Oleh karena itu, jalur hijau jalan dengan lebar 10 m belum efektif untuk
mengurangi konsentrasi CO di daerah perumahan. Berdasarkan penelitian
Nasrullah (1994), tanaman jalur hijau jalan diketahui dapat mereduksi konsentrasi
NO2 sebesar 3.5 ppb pada jarak 10 meter dari tepi jalan, dan 2.3 ppb pada jarak 150
meter.
Tanaman jalur hijau jalan juga dapat menurunkan konsentrasi partikel timbal
sebesar 40.58-41.15 % (Hermawan et al. 2011). Sedangkan menurut Sulistijorini
(2009), vegetasi dengan kerapatan tajuk 10 m (jarak 5-15 m dari bahu jalan) mampu
mengurangi konsentrasi NO2 sebesar 10.62 %, dan pada jarak 15-25 m dari bahu
jalan mengurangi konsentrasi NO2 sebesar 16.94 %. Keefektifan vegetasi
mengurangi konsentrasi pencemar NO2 dipengaruhi oleh waktu pengukuran dan
jarak dari sumber emisi. Menurut Nowak 1994 dalam Dover (2015), pohon-pohon
pekotaan dapat mengurangi 591 ton polusi udara di Chicago yang terdiri dari 15 ton
CO, 84 ton SO2, 89 ton NO2, 191 ton O3, dan 212 ton partikulat.

Penanaman Vegetasi pada Simpang Susun


Persimpangan jalan merupakan simpul transportasi yang terbentuk dari
beberapa pendekat dimana arus kendaraan dari pendekat tersebut bertemu dan
memencar meninggalkan persimpangan (Hobbs 1995). Sedangkan menurut
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah dalam Tata cara perencanaan
geometrik persimpangan sebidang, persimpangan adalah Tempat bertemunya dua
atau lebih dari lengan/ruas jalan. Departemen Perhubungan Direktorat Jenderal
Perhubungan Darat mendefinisikan persimpangan sebagai simpul pada jaringan
jalan di mana jalanjalan bertemu dan lintasan kendaraan berpotongan. Lalu lintas
pada masing-masing kaki persimpangan bergerak secara bersama-sama dengan lalu
lintas lainnya. Persimpangan dibuat dengan tujuan untuk mengurangi potensi
konflik diantara kendaraan (termasuk pejalan kaki) dan sekaligus menyediakan
kenyamanan maksimum dan kemudahan pergerakan bagi kendaraan. (Khisty 2003).
Persimpangan-persimpangan merupakan faktor-faktor yang paling penting dalam
menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan, khususnya
di daerah-daerah perkotaan.
Secara umum, terdapat tiga jenis simpang, yaitu persimpangan sebidang,
pembagian jalur jalan tanpa ramp, dan simpang susun atau interchange (Khisty
2003). Menurut Hobbs (1995), terdapat tiga tipe umum pertemuan jalan, yaitu
pertemuan jalan sebidang, pertemuan jalan tak sebidang, dan kombinasi antara
keduanya.
17

(a) (b)

(c) (d)

(e) (f)

(g) (h)

Keterangan :
(a) three leg directional (d) one quadrant (g) all directional
(b) trumpet (e) partial clover leaf four leg
(c) diamond (f) single point urban interchange (h) full clover leaf

Gambar 3 Tipe-tipe interchange


Sumber : Kemen PU 2009

Interchange atau di Indonesia dinamakan simpang susun merupakan salah


satu bentuk persimpangan tidak sebidang disamping jembatan layang yang disebut
juga Flyover, terowongan yang disebut juga Underpass. Interchange digunakan
untuk mengendalikan persimpangan dengan arus yang tinggi atau pada jalan bebas
hambatan atau jalan tol. Tipe dan bentuk dasar persimpangan tak sebidang
diantaranya adalah sebagai berikut (Kemen PU 2009)
a. T (Trumpet) atau Y, untuk simpang susun 3 kaki/lengan;
b. Diamond, untuk simpang susun 4 kaki/lengan dan arus major dan minor;
c. Cloverleaf, terdiri dari partial cloverleaf dan full cloverleaf;
d. Directional atau langsung;
e. Kombinasi, merupakan penggabungan dari bentuk-bentuk dasar di atas.
Tipe-tipe simpang susun ditunjukkan pada Gambar 3.
18

Perencanaan lanskap jalan terdapat perencanaan jalur hijau yang ditujukan


untuk mengakomodasi fungsi-fungsi tertentu. Penentuan jenis tanaman yang akan
ditanam dalam perencanaan penanaman jalur hijau jalan perlu mempertimbangkan
aspek ekologis (iklim, tanah, cahaya matahari, drainase, kondisi lokasi), bentuk
tanaman, manfaat, dan pertimbangan lain (Kemen PU 2012). Tanaman yang
dijadikan jalur hijau jalan sebaiknya tidak hanya mempunyai satu fungsi, tetapi juga
fungsi lain yaitu dari aspek ekologis, aspek estetika, aspek keselamatan, dan aspek
kenyamanan, serta sebagai pemberi identitas suatu daerah. Perencanaan jalur hijau
simpang susun, pemilihan tanaman yang akan digunakan haruslah tepat agar dapat
mengakomodasi fungsi keamanan dan kenyamanan. Ada beberapa fungsi tanaman
yang lebih diutamakan dalam penataan jalur hijau simpang susun, yaitu tanaman
untuk fungsi penyangga, fungsi keselamatan, fungsi identitas. dan fungsi estetika
(Alhamadi dan Nasrullah 2014).
Vegetasi penyangga berfungsi untuk melindungi kawasan di sekitar simpang
susun dari dampak negatif yang muncul akibat aktivitas transportasi yang
berlangsung. Berkaitan dengan fungsi keselamatan keberadaan perlu diperhatikan
vegetasi yang berfungsi sebagai pengarah, Cushion planting, dan clear zone area
planting. Vegetasi pengarah berfungsi untuk meningkatkan keselamatan dengan
cara mengarahkan pergerakan atau pandangan pengendara pada daerah-daerah
tertentu yang berpotensi menyebabkan kecelakaan.
Tanaman yang digunakan sebagai pengarah terutama digunakan di seluruh
jalur sirkulasi dalam kawasan sebagai pengarah yang ditanam di di kiri dan kanan
jalan (tepi). Kriteria pemilihan tanaman sebagai pengarah antara lain tanaman
berbatang tunggal dengan cabang minimal 2 meter di atas permukaan tanah (Kemen
PU 2012), pohon dengan ketinggian lebih dari 6 meter atau perdu dengan
ketinggian 3-6 meter (Carpenter et al. 1975, Kemen PU 1996), bentuk tajuk khas
(Lestari 2005), serta tajuk berbentuk kerucut, fastigate atau kolumnar, percabangan
sedikit, tinggi, berkesinambungan, berkesan rapi dan memudahkan orientasi
(Carpenter et al. 1975).
Cushion planting digunakan sebagai penanda adanya pemisahan jalur jalan
untuk menghindari risiko terjadinya kecelakaan dan mengurangi dampak
kecelakaan (Alhamadi dan Nasrullah 2014). Penanaman perdu yang berakar dengan
kuat dan tumbuh dengan baik, akan mengurangi kerusakan dan kecelakaan pada
kendaraan dan pengemudi daripada memasang pembatas/dinding yang keras
(Kemen PU 2102). Sebaliknya, pada daerah penyatuan dua jalur menjadi satu, akan
ditanami vegetasi yang tidak menutupi pandangan pengendara, karena daerah ini
merupakan daerah bebas pandang (clear zone area). Clear zone, disebut sebagai
zona pemulihan, adalah pendekatan mitigasi kecelakaan utama, merupakan petak
tanah dengan lebar yang ditentukan yang berdekatan dengan tepi jalan yang jelas
dari objek tetap yang dapat merusak kendaraan akibat benturan, termasuk
pepohonan dan tiang listrik (Wolf dan Bratton 2006) .
Vegetasi identitas digunakan sebagai penciri lokasi yang menandakan
kekhasan suatu wilayah yang ditempatkan di dalam loop simpang susun dengan
pola penanaman mengelompok dalam jumlah sedikit. Vegetasi estetika
dimaksudkan untuk mengurangi kesan kaku dan monoton yang menimbulkan
kejenuhan, memanipulasi pandangan buruk yang terdapat pada jalan, dan
memberikan kesan nyaman dan menyenangkan bagi pengendara.
19

3 METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Simpang Susun Cikunir yang merupakan
simpang susun antara JORR E1 (ruas Taman Mini-Cikunir), JORR E2 (Cikunir-
Cakung), dan rangkaian tol utama Jakarta-Cikampek seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 4. Simpang susun (interchange) ini memiliki jarak tempuh total sejauh 10,5
km, dua jalur utama, enam jalur konvergen, dan lima jalur divergen. Penelitian
dilaksanakan dari bulan Maret 2017 sampai dengan November 2017 mulai dari
tahap persiapan, perizinan, pelaksanaan, analisis data, penyusunan rekomendasi,
serta penyusunan laporan akhir.

Gambar 4 Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan


Alat dan bahan utama yang digunakan untuk pengambilan sampel dan analisa
udara ambien adalah impinger air sampler untuk parameter gas, spektrofotometer,
neraca analitik, larutan penjerap Greiss Saltzman, dan larutan standar nitrit. Sebagai
pelengkap, dilakukan juga pengukuran suhu udara, kelembaban udara, serta
kecepatan dan arah angin menggunakan weather station digital. Perangkat lunak
yang digunakan dalam penelitian ini antara lain AutoCAD, Microsoft Word,
Microsoft Excel, Adobe Photoshop, serta SPSS 24.
Data yang diperlukan dalam penelitian ini dikelompokkan berdasarkan jenis
data, sumber data, alat dan metode, serta tujuan masing-masing data seperti yang
disajiakan pada Tabel 3 berikut.
20

Tabel 3 Jenis dan Sumber Data yang Diperlukan


No. Jenis Data Sumber Alat dan Metode Tujuan
1. Konsentrasi sampel udara di impinger air mengetahui
NO2 ambien beberapa titik sampler, sebaran
spektrofotometer, (dispersi)
neraca analitik, polutan gas
larutan penjerap; NO2
metode Greiss
Saltzman
2. Volume survei, data dari counter, pengukur menghitung
kendaraan pengelola jalan tol waktu; metode besar emisi
dan katagori Zongan kendaraan
kendaraan
3. Faktor emisi Intergovernmental metode Zongan
kendaraan Panel on Climate
Change (IPCC)
dan Permen LH
No. 12/2010
7. Suhu udara
8. Kelembaban mengetahui
weather station
udara survei lapangan keadaan iklim
digital
9. Kecepatan mikro saat
dan arah pengukuran
angin

Pelaksanaan Penelitian

Pengambilan Sampel Udara

Gambar 5 Lokasi pengambilan sampel udara di a) lokasi bervegetasi, b) lokasi


terbuka
21

Dalam penelitian ini ditentukan dua transect penelitian yaitu pada area yang
bervegetasi dan di lokasi terbuka (tidak memiliki jalur hijau jalan) dengan jarak
antar transect kurang lebih 200 meter. Penenetuan transect dilakukan dengan
terlebih dahulu melakukan pengamatan arah angin di lokasi penelitian. Pada setiap
transect penelitian dilakukan pengambilan sampel pada tiga titik yaitu titik 0, 10,
dan 75 m dari bahu jalan pada ketinggian 1,5 m di atas permukaan tanah. Ilustrasi
titik-titik pengambilan sampel udara disajikan pada Gambar 5 dan Gambar 6.
Pengambilan sampel udara dilakukan di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka
pada saat bersamaan yaitu pukul 12.00-13.00 WIB, 14.00-15.00 WIB, dan pukul
16.00-17.00 WIB.

Gambar 6 Ilustrasi pengambilan sampel udara

Pengukuran Konsentrasi NO2

Pengukuran konsentrasi udara ambien gas NO2 pada setia titik dilakukan
menggunakan alat untuk pengumpulan sampel udara yaitu impinger air sampler
untuk parameter gas, spektofotometer, dan larutan penjerap yang mengandung asam
sulfanilat (H2NC6H4SO3H) dan N-(1-naftil)-etilendiamin dihidroklorida. Bagian-
bagian yang terdapat pada impinger air sampler adalah 1) tabung impinger, 2) low
meter dengan skala 0.5 liter/menit, 3) pompa vakum, dan 4) klem dan statif. Metode
dan prinsip pengukuran yang digunakan adalah metode Griess Saltzman. Gambar
7 menunjukkan alat utama yang digunakan pada saat pengambilan sampel udara di
lokasi penelitian berupa impinger air sampler dan spektofotometer.

Gambar 7 Pengambilan dan pengukuran sampel udara dengan a) impinger air


sampler dan b) spektofotometer
22

Prinsip utama metode ini adalah gas NO2 di udara ambien diserap dalam
larutan penjerap yang mengandung asam sulfanilat (H2NC6H4SO3H) dan N-(1-
naftil)-etilendiamin dihidroklorida sehingga membentuk senyawa azo dyne
berwarna merah muda yang stabil setelah 15 menit. Konsentrasi larutan ditentukan
secara spektrofotometri pada panjang gelombang 550 nm.
Analisis konsentrasi NO2 ambien dilakukan di lokasi penelitian, sedangkan
perhitungan konsentrasi gas NO2 dilakukan di laboratorium Pusat Penelitian
Lingkungan Hidup (PPLH) IPB. Perhitungan konsentrasi gas NO2 yang telah
diserap oleh impinger air sampler diawali pengukuran konsentrasi senyawa azo
dyne menggunakan spektrofotometer. Setelah diperoleh nilai konsentrasi senyawa
azo dyne, perhitungan dilakukan dengan tiga tahap berdasarkan cara uji kadar
nitrogen dioksida dengan Metoda Greiss Saltzman sesuai SNI 19-7119.2-2005
tentang Udara Ambien yaitu :

1. Perhitungan konsentrasi gas NO2 (µg) tiap ml larutan standar NO2

𝑎 46 1 10
NO2 = 𝑥 𝑥 𝑥 𝑥106 (µg) ………………………………(1)
100 69 𝑓 1000

Keterangan:
a = berat NaNO2 yang ditimbang (gr)
46 = berat molekul NO2
69 = berat molekul NaNO2
f = faktor yang menunjukkan jumlah mol NaNO2 yang
menghasilkan warna yang setara dengan 1 mol NO2 (nilai
f = 0.82)
10 = faktor pengenceran dari larutan induk NaNO2
1000
6
10 = Konversi dari g ke µg

2. Perhitungan volume contoh uji udara yang diambil

𝐹1+𝐹2 𝑃𝑎 298
V= 𝑥𝑡𝑥 𝑥 …………………………………….(2)
2 𝑇𝑎 760

Keterangan:
V = volume udara yang dihisap (l)
F1 = laju alir awal (l/menit)
F2 = laju alir akhir (l/menit)
t = durasi pengambilan contoh uji (menit)
Ta = temperatur rata-rata selama pengambilan contoh uji (K)
Pa = tekanan barometer rata-rata selama pengambilan contoh (K)
298 = konversi temperatur pada kondisi normal (25oC) ke dalam
Kelvin
760 = tekanan udara standar (mmHg)

3. Perhitungan konsentrasi NO2 di udara ambien

𝑏 10
C =𝑣 𝑥 25 𝑥1000 …………………………………………………….(3)
23

Keterangan:
C = konsentrasi NO2 di udara (µg/Nm3)
b = jumlah NO2 dari contoh uji hasil perhitungan kurva
kalibrasi (µg)
v = volume udara yang dihisap (l) (25oC dan 760 mmHg)
10/25 = faktor pengenceran
1000 = konversi liter ke m3

Pengukuran Faktor-Faktor Iklim

Faktor-faktor iklim mikro yang diamati pada saat pengambilan sampel udara
adalah suhu udara, kelembaban udara, kecepatan angin, dan arah angin
menggunakan alat mini weather station yang diletakkan pada titik 10 meter dari
sumber emisi baik pada lokasi bervegetasi maupun lokasi terbuka (Gambar 8).

Gambar 8 Pengukuran faktor-faktor iklim menggunakan mini weather station

Pendugaan Volume Kendaraan dan Intensitas Emisi

Data volume kendaraan yang digunakan merupakan data sekunder yang


diperoleh dari pengelola jalan tol Jakarta Cikampek (PT Jasamarga Persero) dan
Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (PT JLJ). Jumlah kendaraan yang dihitung
disesuaikan dengan waktu pengambilan sampel udara yaitu pada pukul 12.00-13.00
WIB, 14.00-15.00 WIB, dan 16.00-17.00 WIB. Data jumlah kendaraan
dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu kendaraan yang diasumsikan
menggunakan bahan bakar bensin (golongan I) dan berbahan bakar diesel
(golongan II ke atas). Selanjutnya, intensitas emisi dihitung dengan menggunakan
formula Zongan et.al (2005) sebagai berikut

Ep = ∑𝑛𝑖=1 𝐿 𝑥 𝑁𝑖 𝑥 𝐹𝑝𝑖 …………………………………………………(4)

Keterangan:
24

Ep = Intensitas emisi dari suatu ruas jalan (gr/hari atau gr/jam)


L = Panjang Jalan yang dilalui kendaraan (km)
Ni = Jumlah kendaraan bermotor tipe i yang melintasi ruas jalan (unit/hari atau
unit/jam)
Fpi = Faktor emisi kendaraan bermotordari suatu ruas jalan (gr/km)
P = Jenis Polutan

Analisis Data

Untuk melihat perbedaan sebaran konsentrasi polutan gas NO2 pada kedua
lokasi penelitian dilakukan uji komparatif menggunakan Independent sample T test.
Dari data konsentrasi gas NO2 juga dilakukan analisis perubahan konsentrasi gas
NO2 berdasarkan variabel-variabel yang diamati melalui uji korelasi dan regresi.
Uji korelasi digunakan untuk menentukan besarnya nilai hubungan dan arah
hubungan dari masing-masing variabel. Nilai korelasi terdiri dari nilai signifikansi
dan nilai koefesien korelasi. Nilai signifikansi yang menunjukkan nilai < 0.05
berarti H0 ditolak, yang berarti ada hubungan antara kedua variabel, namun bila
nilai signifikansi > 0.05 berarti H0 diterima, yang menunjukkan tidak ada hubungan
antara variabel yang diujikan. Interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua
variabel berdasarkan Sarwono (2006) adalah 0-0.25 (sangat lemah); 0.25-0.5
(cukup); 0.5-0.75 (kuat); 0.75-0.99 (sangat kuat). Dalam penelitian ini, uji korelasi
bertujuan mencari hubungan jumlah kendaraan, jarak, serta hubungan kecepatan
angin terhadap konsentrasi NO2 ambien di lokasi penelitian menggunakan uji
korelasi Pearson.
Disamping uji korelasi, uji regresi juga dilakuakan dengan tujuan untuk
melihat pengaruh jumlah kendaraan, jarak dari sumber emisi, serta pengaruh
kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 ambien di lokasi penelitian. Untuk
menentukan memprediksi nilai rata-rata variabel konsentrasi NO2 didasarkan pada
nilai-nilai tetap variabel–variabel lain yang diamati dalam penelitian ini dilakukan
melalui uji regresi. Persamaan regresi mengekspresikan hubungan linier antara
variabel kriteria yang diberi simbol Y dan salah satu atau lebih variabel bebas
/prediktor yang diberi simbol X jika hanya ada satu prediktor dan X1, X2 sampai
dengan Xk, jika terdapat lebih dari satu prediktor. Nilai signifikansi yang
menunjukkan nilai < 0.05 berarti H0 ditolak, yang berarti ada pengaruh nyata antara
kedua variabel, namun bila nilai signifikansi >0.05 berarti H0 diterima, yang
menunjukkan tidak ada pengaruh nyata antara variabel yang diujikan.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Lokasi Penelitian

Secara administratif, Simpang Susun Cikunir berada dalam wilayah Kota


Bekasi dan masuk ke dalam wilayah pengelolaan dua perusahaan pengelola jalan
tol yaitu PT Jasa Marga Persero Cabang Jakarta Cikampek yang bertanggung
jawab mengelola ruas Jalan Tol Jakarta Cikampek dan PT Jalan Tol Lingkar Luar
25

Jakarta (PT JLJ) yang bertanggung jawab mengelola ruas Jalan Tol Lingkar Luar
Jakarta. Simpang Susun Cikunir dapat ditempuh melalui ruas jalan tol JORR E1
(ruas Taman Mini-Cikunir), JORR E2 (Cikunir-Cakung), dan rangkaian tol utama
Jakarta-Cikampek. Penutupan lahan di kawasan Simpang Susun Cikunir secara
umum terbagi menjadi dua, yaitu lahan terbangun dan ruang terbuka. Tutupan lahan
di lingkungan terdekat dari simpang susun umumnya merupakan lahan terbangun
berupa konstruksi perkerasan jalan, kompleks perumahan, pemukiman, dan
kawasan bisnis (Lampiran 2).

Gambar 9 Kondisi lokasi bervegetasi


Lokasi pengambilan sampel udara pertama adalah di area bervegetasi
(memiliki jalur hijau jalan) yang terletak sisi utara Ramp Cikunir 1, yaitu ramp yang
menghubungkan jalan tol lingkar luar ruas Tanjung Priuk-Cikunir dengan jalan tol
Jakarta-Cikampek arah ke Cikarang Utama. Lokasi bervegetasi ini memiliki jalur
hijau jalan dengan lebar 10 m. Pada jarak 5 meter dari bahu jalan di lokasi pertama
didominasi oleh cemara angin (Casuarina equisatifolia) dalam satu baris
penanaman, sedangkan pada baris kedua terdapat tanaman sawo duren
(Chrysophyllum cainito) dengan jarak tanam rata-rata antar pohon adalah 5 m dan
tutupan tajuk rata-rata 12.5 cm. (Gambar 9). Vegetasi yang dominan ditanam di
dalam loop pada lokasi ini adalah Ki Putri (Podocarpus neriifolius), akasia (Acacia
mangium), bintaro (Carbera manghas), tanjung (Mimosops elengi), dan mahoni
(Swietenia macrophylla).
Lokasi kedua merupakan tempat terbuka (tidak memiliki jalur hijau jalan)
yang berada pada jarak ±200 meter di sebelah timur lokasi bervegetasi. Lokasi
terbuka didominasi oleh lahan terbangun berupa pemukiman warga. Pada jarak 5-
75 m dari bahu jalan di lokasi terbuka tidak ditumbuhi oleh tanaman pohon, semak,
maupun vegetasi penutup tanah. Kondisi kedua lokasi pengambilan sampel udara
pada lokasi bervegetasi dan lokasi terbuka disajikan pada Gambar 10.
26

Gambar 10 Kondisi lokasi pengambilan sampel gas NO2 di a) lokasi bervegetasi


dan b) lokasi terbuka

Kondisi Iklim Mikro di Sekitar Lokasi Penelitian


Kondisi iklim mikro yang diukur di sekitar plot-plot penelitian adalah suhu
udara, kelembaban udara, kecepatan angin dan arah angin. Hasil pengamatan iklim
mikro di kedua lokasi penelitian disajikan pada Tabel 4. Dari data pengukuran dapat
diamati bahwa kondisi temperatur di lokasi penelitian menunjukkan hasil yang
berbeda dari masing-masing lokasi pengukuran dan waktu pengukuran yaitu 30.56
–34.98oC. Suhu tertinggi terjadi pada pukul 12.00–13.00 WIB yaitu 34.98oC di
lokasi yang tidak bervegetasi dan 33.65 oC di lokasi bervegetasi. Suhu udara rata-
rata berangsur menurun pada sore hari. Sementara itu, kondisi kelembaban udara
berfluktuasi sesuai dengan waktu pengukuran. Kondisi kelembaban didapatkan
hasil antara 47.79–60.00 %. Kondisi kelembaban tertinggi terjadi pada pukul
16.00–17.00 WIB di lokasi terbuka, sedangkan kondisi kelembaban terendah terjadi
pada pengamatan pukul 13.00–14.00 WIB di lokasi bervegetasi.
27

Tabel 4 Kondisi iklim mikro lokasi penelitian


Iklim Mikro
Suhu udara Kelembaban Kecepatan angin Arah
Lokasi rata-rata udara rata- rata-rata (m s-1) angin
(oC) rata (%)
Jalur bervegetasi
12.00-13.00 33.65 47.79 0.74 utara
14.00-15.00 32.90 52.71 1.34 utara
16.00-17.00 30.56 59.86 1.28 utara
Jalur terbuka
12.00-13.00 34.98 48.86 0.88 utara
14.00-15.00 34.77 51.64 1.26 utara
16.00-17.00 31.53 60.00 0.99 utara

Hasil pengukuran kecepatan angin yang dilakukan pada titik 10 meter dari
bahu jalan pada ketinggian 1.5 m adalah antara 0.74–1.28 m/s. Arah angin lokal
berubah-ubah, tetapi secara umum didominasi dari arah selatan menuju ke utara.

Volume Kendaraan Bermotor


Berdasarkan data yang diperoleh dari pengelola jalan tol Jakarta Cikampek
(PT Jasamarga Persero) dan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (PT JLJ), jumlah
kendaraan total (semua golongan) yang melintasi Simpang Susun Cikunir dalam
sehari adalah sebanyak 289 368 unit. Sedangkan banyaknya volume kendaraan
pada saat pengambilan sampel udara adalah 2 759 - 4 156 unit di lokasi bervegetasi
dan 8 504 - 9 031 di lokasi terbuka. Volume kendaraan yang terdekat dengan lokasi
pengambilan sampel udara di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka disajikan
pada Tabel 5.
Tabel 5 Volume kendaraan di lokasi penelitian
Volume kendaraan (unit)
Waktu
Lokasi bervegetasi Lokasi terbuka
12.00-13.00 4 156 9 031
14.00-15.00 3 775 8 853
16.00-17.00 2 759 8 504

Jumlah kendaraan golongan I yang diasumsikan menggunakan bahan bakar


bensin menurut data PT Jasamarga Persero adalah sebanyak 87.87 % atau sebanyak
254 268 unit kendaraan dari total kendaraan dan sisanya yaitu sebanyak 35 100 unit
kendaraan menggunakan bahan bakar solar. Gambar 11 menunjukkan jumlah
kendaraan pada lokasi penelitian berdasarkan bahan bakar yang digunakan.
28

9000
12.00-13.00 14.00-15.00 16.00-17.00
8000

7000
Jumlah kendaraan (unit)

6000

5000

4000

3000

2000

1000

0
Solar Bensin Solar Bensin
Bervegetasi Terbuka

Bahan Bakar

Gambar 11 Jumlah kendaraan berdasarkan bahan bakar

Pendugaan Emisi Kendaraan Bermotor


Jumlah emisi harian di kawasan Simpang Susun Cikunir ditentukan oleh
jumlah kendaraan yang melintasi kawasan simpang susun dalam sehari, faktor
emisi (rata-rata emisi yang dihasilkan berdasarkan jenis bahan bakar kendaraan
bermotor), serta panjang ruas jalan. Dari hasil perhitungan didapatkan perkiraan
emisi NO2 dari kendaraan berbahan bakar bensin adalah 5.873x 106 gram perhari.
Perkiraan jumlah emisi NO2 dari kendaraan yang menggunakan bahan bakar solar
yang melintas di Simpang Susun Cikunir adalah sebesar 3.759x 104 gram perhari.
Total emisi kendaraan yang menggunakan bahan bakar bensin dan solar yang
melintasi Simpang Susun Cikunir yang dihitung menggunakan formula Zongan et
al. 2005 adalah 6249511.8 gram perhari. Banyaknya kendaraan dan besarnya emisi
di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6 Rata-rata emisi kendaraan di lokasi penelitian


Volume Panjang
Faktor emisi Emisi perhari
Jenis Kendaraan lalu-lintas jalan
NO2 (g/km) (g)
harian (unit) (km)
Kendaraan bensin 254 268 2.2 10.5 5873590.8
Kendaraan solar 35 100 1.02 10.5 375921
6249511.8
Faktor emisi kendaraan berbahan bakar bensin 2.2 g NO2/km, faktor emisi kendaraan
berbahan bakar Solar 1.02 g NO2/km berdasarkan Strauss dan Mainwaring dalam
Sulistijorini (2009)
29

Konsentrasi NO2 di Lokasi Pengamatan

Hasil pengukuran konsentrasi NO2 ambien di kedua lokasi penelitian


menunjukkan konsentrasi NO2 yang bervariasi pada kedua lokasi. Hasil
pengukuran konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka disajikan
pada Tabel 7. Konsentrasi NO2 tertinggi ditunjukkan pada jarak 0 m dari sumber
emisi pada pengukuran pukul 12.00 - 13.00 WIB di lokasi terbuka (261.20 µg/m3).
Konsentrasi NO2 terendah ditunjukkan pada pengukuran pada jarak 75 m dari
sumber emisi pada pukul 16.00 - 17.00 WIB di lokasi bervegetasi (18.84 µg/m3).

Tabel 7 Hasil pengukuran konsentrasi NO2


Jarak dari sumber Konsentrasi NO2 (µg/m3)
emisi (m) 12.00-13.00 14.00-15.00 16.00-17.00 Rata-rata
Lokasi bervegetasi
0 48.12 36.04 23.56 35.91
10 49.6 37.87 26.6 38.02
75 33.6 28.91 18.84 27.11
Rata-rata 43.77 34.27 23.00 33.68
Lokasi terbuka
0 261.2 68.17 98.52 142.63
10 102.74 89.39 71.22 87.78
75 50.42 40.92 63.82 51.72
Rata-rata 138.12 66.16 77.85 94.05

Hasil uji beda nyata menggunakan Independent sample T test menunjukkan


nilai Sig. (2-tailed) 0.016 < 0.05, yang berarti bahwa rata-rata konsentrasi NO2 di
lokasi bervegetasi lebih rendah dan berbeda nyata dengan rata-rata konsentrasi NO2
di lokasi terbuka (Lampiran 7). Rata-rata konsentrasi NO2 pada lokasi bervegetasi
adalah sebesar 33.68 µg/m3, sedangkan pada lokasi terbuka didapatkan rata-rata
konsentrasi NO2 sebesar 94.05 µg/m3.

bervegetasi terbuka
300
Konsentrasi NO2 (µg/m3)

250

200

150

100

50

0
pukul 12.00-13.00 pukul 14.00-15.00 pukul 16.00-17.00
Waktu Pengukuran
Gambar 12 Konsentrasi NO2 pada sumber emisi
30

Konsentrasi NO2 pada sumber emisi paling tinggi adalah di lokasi terbuka
pada pengambilan sampel antara pukul 12.00-13.00 WIB yaitu sebesar 261.20
µg/m3 dan paling rendah pada lokasi bervegetasi pada pengamatan pukul 16.00-
17.00 WIB yaitu sebesar 23.56 µg/m3. Gambar 12 menunjukkan besarnya
konsentrasi NO2 pada sumber emisi di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka pada
ketiga waktu pengukuran.
Rata-Rata konsentrasi NO2 pada setiap titik pengukuran sampel udara di
masing-masing lokasi penelitian disajikan pada Gambar 13. Rata-rata konsentrasi
NO2 pada jarak 0 m dari sumber emisi di lokasi bervegetasi adalah 35,91 μg/m 3,
kemudian meningkat pada titik 10 m (38,02 μg/m3) dan menurun pada jarak 75 m
(27,12 μg/m3). Konsentrasi rata-rata NO2 dalam 0 m dari jalan di lokasi terbuka
mencapai 145,63 μg/m3 selanjutnya mengalami penurunan pada 10 m (87,79 μg /
m3), dan kembali menurun pada jarak 75 m dari jalan (51,72 μg / m3). Secara umum,
konsentrasi gas NO2 pada kedua lokasi memiliki kecenderungan menurun dari
sumber emisi (0 m) ke lokasi yang lebih jauh. Hal ini sesuai dengan penelitian
Sulistijorini (2009) bahwa secara alami NO2 mengalami difusi dan dispersi ke
wilayah yang lebih luas sehingga terjadi penurunan konsentrasi.

160
142.63 Bervegetasi Terbuka
140

120
Konsentrasi NO2 (µg/m3)

100 87.79

80

60 51.72
35.91 38.02
40 27.12

20

0
0 10 20 30 40 50 60 70 80
Jarak (m)
Gambar 13 Rata-rata konsentrasi NO2 pada setiap titik pengukuran
Hasil uji beda nyata menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi NO2 pada titik
0 m dari sumber emisi di lokasi bervegetasi tidak berbeda nyata dengan konsentrasi
NO2 pada titik 0 m dari sumber emisi di lokasi terbuka (Lampiran 8). Sedangkan
konsentrasi NO2 pada titik 10 m dan 75 m dari sumber emisi di lokasi bervegetasi
berbeda nyata dengan konsentrasi NO2 pada titik 10 m dan 75 m dari sumber emisi
di lokasi terbuka (Lampiran 9 dan 10).
Pengukuran konsentrasi NO2 pada pukul 12.00-13.00 WIB di tempat terbuka
maupun pada jalur bervegetasi menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan konsentrasi pada pukul 14.00-15.00 WIB dan pukul 16.00-
17.00 WIB. Namun, hasil pengukuran konsentrasi gas NO2 pada pukul 14.00-15.00
WIB di tempat terbuka turun pada pukul 12.00-13.00 WIB dan kembali naik pada
31

pukul 16.00-17.00 WIB (Gambar 14). Rata-rata konsentrasi gas NO2 tertinggi pada
tempat bervegetasi adalah pada pukul 12.00-13.00 WIB (43.77 µg/m3), sedangkan
terendah pada pukul 16.00-17.00 WIB (23.00 µg/m3). Rata-rata konsentrasi gas
NO2 tertinggi pada tempat terbuka adalah pada pukul 12.00-13.00 WIB (138.12
µg/m3), sedangkan terendah pada pukul 14.00-15.00 WIB (66.16 µg/m3).

160 bervegetasi terbuka


138.12
140
Konsentrasi NO2 (µg/m3)

120

100
77.86
80 66.16
60
43.77
40 34.27
23
20

0
12.00-13.00 14.00-15.00 16.00-17.00
Waktu pengukuran
Gambar 14 Konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka

Konsentrasi NO2 tertinggi yang ditunjukkan pada pengukuran pukul 12.00 –


13.00 WIB. Hasil penelitian ini memperlihatkan puncak konsentrasi gas NO2 lebih
dipengaruhi oleh volume kendaraan. Hal sesuai dengan penelitian Gasmi et al.
(2017) yang menyebutkan bahwa konsentrasi NO2 berkaitan dengan interaksi
antara arus lalu lintas dan tingkat ozon. Semakin banyak arus lalu lintas makan
semakin banyak pula NO yang dipancarkan dan bereaksi dengan ozon yang
membentuk NO2.
Ditinjau dari kualitas udara ambien berdasarkan baku mutu yang ditetapkan
oleh Pemerintah Indonesia, hasil pengukuran konsentrasi NO2 pada seluruh titik
pengukuran pada pukul 12.00–13.00 WIB, 14.00-15.00 WIB, dan 16.00-17.00 WIB
baik lokasi bervegatasi maupun di lokasi terbuka berada di bawah baku mutu yang
ditetapkan. Baku Mutu Udara Ambien Nasional yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara adalah sebesar 400 µg/m3 (untuk waktu pengukuran 1 jam).
Namun demikian, adanya laju pertumbuhan kendaraan bermotor yang tinggi tentu
saja konsentrasi polutan NO2 dari waktu ke waktu akan meningkat dan berpengaruh
terhadap kualitas udara di sekitar Simpang Susun Cikunir.
32

Penurunan Konsentrasi NO2

Nilai penurunan konsentrasi NO2 di titik-titik pengamatan diperoleh dari


pengurangan konsentrasi gas NO2 pada jarak 0 m dari sumber emisi dengan rata-
rata konsentrasi NO2 pada jarak 10 m dan 75 m.

Tabel 8 Rata-rata penurunan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi

Penurunan Konsentrasi NO2 (µg/m3)


Jarak
µg/m3 %
0-10 -2.12 -7.03
0-75 8.79 23.33

Tabel 8 menunjukkan rata-rata penurunan konsentrasi NO2 pada jarak 10


meter dan 75 meter dari sumber emisi di lokasi bervegetasi. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 7, di lokasi bervegetasi, penurunan konsentrasi pada jarak
0-75 m lebih besar dibandingkan dengan penurunan konsentrasi pada jarak 0-10 m.
Hal ini karena NO2 mengalami difusi dan dispersi ke wilayah yang lebih luas
sehingga terjadi penurunan konsentrasi. Sebagian dari gas NO2 pada saat terjadi
dispersi NO2 juga bergerak ke lapisan yang lebih tinggi karena turbulensi panas
(Canter et al. 2000).
Uji beda nyata menunjukkan bahwa rata-rata penurunan konsentrasi pada
jarak 75 meter dari sumber emisi di lokasi bervegetasi berbeda nyata dengan rata-
rata penurunan konsentrasi NO2 pada jarak 10 meter dari sumber emisi.

Tabel 9 Rata-rata penurunan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka


Penurunan Konsentrasi NO2 (µg/m3)
Jarak
µg/m3 %
0-10 54.85 19.08
0-75 90.91 51.96

Rata-rata penurunan konsentrasi NO2 pada jarak 10 meter dan 75 meter dari
sumber emisi di lokasi lokasi bervegetasi disajikan paa Tabel 9. Seperti yang
ditunjukkan pada Tabel 8, penurunan konsentrasi di lokasi terbuka pada jarak 0-75
m lebih besar dibandingkan dengan penurunan konsentrasi pada jarak 0-10 m,
namun, uji beda nyata menunjukkan bahwa rata-rata penurunan konsentrasi pada
jarak 75 meter dari sumber emisi di lokasi terbuka tidak berbeda nyata dengan rata-
rata penurunan konsentrasi NO2 pada jarak 10 meter dari sumber emisi. Hal ini
diduga karena konsentrasi NO2 pada jarak 75 m dari sumber emisi merupakan udara
ambien yang tidak terpengaruh secara langsung oleh emisi kendaraan.

Analisis Perubahan Konsentrasi Gas NO2 Berdasarkan Variabel-Variabel


yang Diamati

Uji korelasi dalam penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan jumlah
kendaraan, jarak, serta hubungan kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 ambien
di lokasi bervegetasi dan di lokasi terbuka menggunakan uji korelasi Pearson
33

(Lampiran 11 dan 12). Hasil uji hubungan (korelasi) antara kendaraan, jarak, dan
kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi menggunakan uji
korelasi Pearson disajikan pada Tabel 10. hasil uji korelasi menunjukkan bahwa
volume kendaraan dan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi memperlihatkan
hubungan positif, kuat, dan sangat signifikan, r = 0.840. Angka koefisien korelasi
dari hasil uji bernilai positif, sehingga hubungan volume kendaraan dengan
konsentrasi NO2 bersifat searah yang berarti semakin tinggi volume kendaraan
maka konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi menjadi semakin tinggi. Sebaliknya,
semakin rendah volume kendaraan maka konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi
menjadi semakin rendah. Hasil uji korelasi antara konsentrasi NO2 dengan volume
kendaraan dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian Camilleri dan Rosalie
(2013) yang menunjukkan bahwa kecepatan angin, jenis penggunaan lahan,
kepadatan penduduk dan volume lalu lintas adalah variabel-variabel yang
berdampak pada konsentrasi NO2, sementara kepadatan penduduk dan volume lalu
lintas merupakan prediktor signifikan NO2 di lokasi yang berdekatan dengan jalan.

Tabel 10 Hasil analisis korelasi variabel volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi
Variabel Koefisien Korelasi (r) Sigifikansi
**
Volume kendaraan 0.840 0.005
Jarak -0.455 0.218
Kecepatan angin -.824 0.384
** Korelasi bersifat signifikan pada angka signifikasi sebesar 0.01

Hasil uji korelasi Pearson antara jarak dengan konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi diperoleh angka koefisien korelasi sebesar -0.455, yang berarti tingkat
kekuatan hubungan (korelasi) antara jarak dengan konsentrasi NO2 adalah sebesar
0.455 atau cukup kuat. Angka koefisien korelasi dari hasil uji bernilai negatif,
sehingga hubungan jarak dengan konsentrasi NO2 bersifat tidak searah yang berarti
semakin besar jarak maka konsentrasi NO2 menjadi semakin rendah. Nilai
signifikasi (Sig. 2-tailed) sebesar 0.218 > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara jarak dengan konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi.
Korelasi antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi
menunjukkan bahwa koefisien korelasi sebesar -0.824, yang berarti tingkat
kekuatan hubungan (korelasi) antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2
adalah sebesar 0.824 atau sangat kuat. Angka koefisien korelasi dari hasil uji
bernilai negatif, sehingga hubungan antara kecepatan angin dengan konsentrasi
NO2 bersifat tidak searah yang berarti semakin besar kecepatan angin maka
konsentrasi NO2 menjadi semakin rendah. Nilai signifikasi (Sig. 2-tailed) sebesar
0.384 > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi.
Hubungan tidak searah antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2
sesuai dengan yang disampaikan Oke (1987) bahwa kecepatan angin yang rendah
berpotensi mengakibatkan tidak tersebarnya pencemar, sehingga mempengaruhi
konsentrasi pencemar di sekitarnya. Korelasi negatif antara kecepatan angin
dengan konsentrasi NO2 juga sesuai dengan penelitian Agudelo- Castaneda et al.
(2014) dan Jones et al. (2010). Semakin cepat kecepatan angin pada suatu daerah,
34

maka percampuran polutan dari sumber emisi akan semakin besar, hal ini karena
turbulensi udara kuat yang mengakibatkan terjadinya pengenceran sehingga
polutan di daerah tersebut akan semakin berkurang. Selain iu, pada kondisi
meteorologi baik (atmosfer tidak stabil dan kecepatan angin tinggi) polutan
didispersikan dengan cepat, baik secara vertikal maupun horizontal yang
menyebabkan terjadinya pengenceran konsentrasi polutan dan penyebaran lebih
lanjut (Seinfeld 1986).
Uji regresi linier sederhana menggunakan software SPSS 24 dilakukan untuk
mencari pengaruh jumlah kendaraan, jarak dari sumber emisi, serta pengaruh
kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 ambien di lokasi bervegetasi (Lampiran
13-15). Hasil analisis regresi volume kendaraan terhadap konsentrasi NO2 ambien
di lokasi bervegetasi menunjukkan nilai signifikansi sebesar 0.005 (sign. < 0.05),
yang berarti ada pengaruh signifikan antara volume kendaraan dengan konsentrasi
NO2 di lokasi bervegetasi. Pengaruh varibel volume kendaraan terhadap
konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi (R square) adalah 0.706 atau 70.6 %
sedangkan sisanya sebesar 29.4 % dipengaruhi faktor lain. Angka koefisien regresi
dari hasil uji bernilai positif, sehingga hubungan antara volume kendaraan dengan
konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi bersifat searah, yang berarti semakin besar
volume kendaraan maka konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi menjadi semakin
besar pula seperti terlihat pada Gambar 15 a.

(a) (b) 40
60
Konsentrasi NO2 (µg/m3)

y = 0.0141x - 16.537 35
50
R² = 0.706 30
Konsentrasi NO2 (µg/m3)

40 25 y = -0.1353x + 37.518
30 20 R² = 0.909
20 15
10 10
5
0
0 2000 4000 6000 0
0 20 40 60 80
Volume Kendaraan (unit)
Jarak (m)

(c) 60
50
Konsentrasi NO2 (µg/m3)

40
y = -28.658x + 70.122
30 R² = 0.8303
20
10
0
0 0.5 1 1.5
Kec. angin (m/s)

Gambar 15 Grafik pengaruh volume kendaraan, jarak, dan kecepatan angin


terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi
35

Hasil uji regresi antara jarak dengan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi
menunjukkan tidak terdapat pengaruh signifikan antara jarak dari sumber emisi
dengan konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi. Angka koefisien korelasi dari hasil
uji bernilai negatif, sehingga hubungan jarak dengan konsentrasi di lokasi
bervegetasi menjadi semakin rendah (Gambar 15 b).
Hasil uji pengaruh antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi menghasilkan nilai R sebesar 0.824 dan R square sebesar 0.678 yang
berarti pengaruh varibel kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi adalah sebesar 67.8 % sedangkan sisanya sebesar 32.2 % dipengaruhi
faktor lain yang tidak ditelliti. Angka koefisien regresi dari hasil uji bernilai negatif,
sehingga hubungan antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi bersifat tidak searah yang berarti semakin besar kecepatan angin maka
konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi menjadi semakin rendah (Gambar 15 c). Nilai
signifikasi sebesar 0.195 (sign. > 0.05) menunjukkan bahwa kecepatan angin tidak
berpengaruh signifikan terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi.
Berdasarkan hasil analisis korelasi konsentrasi NO2 terhadap variabel-
variabel yang diamati di lokasi terbuka, variabel volume kendaraan, jarak, dan
kecepatan angin tidak memiliki hubungan yang signifikan terhadap konsentrasi
NO2 ambien di lokasi terbuka. Hasil uji korelasi volume kendaran, jarak, dan
kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka menggunakan uji
korelasi Pearson disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Hasil analisis korelasi variabel volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi terbuka
Koefisien
Variabel Sigifikansi
Korelasi
Volume kendaraan 0.330 0.386
Jarak -0.521 0.150
Kecepatan angin -0.759 0.452

Hasil uji korelasi volume kendaran dengan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka
menggunakan Pearson diperoleh angka koefisien korelasi sebesar 0.330, yang
menunjukkan tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara volume kendaraan
dengan konsentrasi NO2 adalah sebesar 0.330 atau cukup kuat. Angka koefisien
korelasi dari hasil uji bernilai positif, sehingga hubungan volume kendaraan dengan
konsentrasi NO2 bersifat searah yang berarti semakin tinggi volume kendaraan
maka konsentrasi NO2 di lokasi terbuka menjadi semakin tinggi. Nilai signifikasi
(Sig. 2-tailed) sebesar 0.386 > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang signifikan antara volume kendaraan dengan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka.
Dari tabel uji korelasi menggunakan Pearson, diperoleh angka koefisien
korelasi antara jarak dengan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka sebesar -0.521, yang
berarti tingkat kekuatan hubungan (korelasi) antara jarak dengan konsentrasi NO2
di lokasi terbuka adalah sebesar 0.521 atau kuat. Angka koefisien korelasi dari hasil
uji bernilai negatif, sehingga hubungan jarak dengan konsentrasi NO2 bersifat tidak
searah yang berarti semakin besar jarak maka konsentrasi NO2 di lokasi terbuka
menjadi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Sulistijorini (2009)
bahwa perbedaan konsentrasi NO2 berdasarkan jarak dari sumber emisi di tempat
36

terbuka dipengaruhi oleh proses difusi. Penyebaran polutan di atmosfer melibatkan


tiga mekanisme utama yaitu gerakan udara secara global, fluktuasi kecepatan
turbulensi yang akan menyebarkan polutan ke seluruh arah, dan difusi massa akibat
perbedaan konsentrasi. Polutan dapat menyebar dalam arah vertikal dan horisontal
seperti yang dijelaskan dalam formula Gaussian (Stull 2011). Nilai signifikasi (Sig.
2-tailed) sebesar 0.150 > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara jarak dari sumber emisi dengan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka.
Sementara hasil uji korelasi antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2
di lokasi terbuka diperoleh koefisien korelasi sebesar -0.759, yang berarti tingkat
kekuatan hubungan (korelasi) antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2
adalah sebesar 0.759 atau sangat kuat. Angka koefisien korelasi dari hasil uji
bernilai negatif, sehingga hubungan antara kecepatan angin dengan konsentrasi
NO2 bersifat tidak searah yang berarti semakin besar kecepatan angin maka
konsentrasi NO2 di lokasi terbuka semakin rendah. Nilai signifikasi (Sig. 2-tailed)
sebesar 0.452 > 0.05 menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 di lokasi terbuka.

Model Sebaran Polutan NO2 di Kedua Lokasi Penelitian

Uji regresi linier berganda dilakukan untuk memprediksi apakah variabel


kecepatan angin dan volume secara bersama-sama berpengaruh terhadap
konsentrasi NO2 di kedua lokasi dan seberapa besar pengaruhnya kedua variabel
tersebut terhadap konsentrasi NO2 di kedua lokasi penelitian.

Tabel 11 Hasil uji determinasi volume kendaraan dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 pada kedua plot penelitian
Std. Error of the
Model R R Square Adjusted R Square
Estimate
a
1 .961 .924 .873 10.6773895
a. Predictors: (Constant), kecepatan angin, volume kendaraan
b. Dependent Variable: konsentrasi NO2

Uji determinasi menunjukan bahwa volume kendaraan dan kecepatan angin


secara bersama-sama memiliki pengaruh yang sangat kuat (0.961) terhadap
konsentrasi gas NO2 ambien di kedua lokasi. Pengaruh kecepatan angin dan volume
kendaraan secara simultan terhadap konsentrasi NO2 di kedua lokasi adalah 92.4 %
sedangkan sisanya sebesar 7.6 % dipengaruhi variabel lain (Tabel 12).

Tabel 12 Hasil uji Anova volume kendaraan dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 pada kedua lokasi penelitian
Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 4137.192 2 2068.596 18.145 .021b
Residual 342.020 3 114.007
Total 4479.212 5
a. Dependent Variable: konsentrasi NO2
b. Predictors: (Constant), kecepatan angin, volume kendaraan
37

Hasil uji Anova menghasilkan nilai signifikasi sebesar 0.021 < 0.05 yang
berarti ada pengaruh yang signifikan antara volume kendaraan dan kecepatan angin
(secara silmutan) terhadap konsentrasi NO2 di kedua lokasi (Tabel 13). Koefisien
regresi untuk variabel volume kendaraan diperoleh nilai sebesar 0.01 dan variabel
kecepatan angin sebesar -14.67 (Tabel 14). Koefisien regresi volume kendaraan
bernilai positif artinya pada saat volume kendaraan naik maka konsentrasi NO2 juga
akan mengalami kenaikan. Begitu pula pada saat volume kendaraan turun maka
konsentrasi NO2 juga turun. Koefisien regresi kecepatan angin bernilai negatif
artinya pada saat kecepatan angin naik maka konsentrasi NO2 akan menurun.
Sebaliknya, jika kecepatan angin turun maka konsentrasi NO2 ambien akan naik.

Tabel 13 Koefisien regresi antara volume kendaraan dan kecepatan angin terhadap
konsentrasi NO2 di kedua lokasi penelitian
Unstandardized Standardized
Model Coefficients Coefficients t Sig.
B Std. Error Beta
1 (Constant) 20.054 26.766 0.749 0.508
volume 0.010 0.002 0.923 5.591 0.011
kendaraan
kecepatan angin -14.670 20.047 -0.121 -0.732 0.517
Dependent variable: konsentrasi NO2

Model (persamaan) regresi linier berganda dispersi NO2 di kedua plot


penelitian dari hasil koefisien regresi maka dapat dibuat yaitu

𝑌 = 20.054 + 0.01𝑋1 − 14.670𝑋2 ………………………………..……..(5)

Keterangan :
𝑌 = konsentrasi NO2 ambien
𝑋1 = volume kendaraan
𝑋2 = kecepatan angin

Dalam uji regresi juga dilakukan uji asumsi klasik yang meliputi uji
autokorelasi, multikolinieritas, normalitas, dan heteroskedastisitas (Lampiran 17).
Hasil uji autokorelasi dengan melihat angka Durbin Watson (DW) yang
menunjukkan nilai 1.496. Angka ini menunjukkan lebih besar dari 1 dan lebih kecil
dari 3, maka dapat disimpulkan tidak mengalami autokorelasi sehingga memenuhi
syarat uju regresi linier berganda.Hasil uji multikolinieritas menunjukkan output
VIF hitung dari kedua variabel = 1,071 < 10 dan semua tolerance variabel bebas
0,934 = 93.4 % di atas 10 %, dapat disimpulkan bahwa antara variabel bebas tidak
terjadi multikolinieritas. Berdasarkan syarat asumsi klasik regresi linier dengan
OLS, maka model regresi linier yang baik adalah yang terbebas dari adanya
multikolinieritas. Dengan demikian, model di atas telah terbebas dari adanya
multikolinieritas.
Hasil uji normalitas dapat dilihat dari gambar Normal P-P Plot. Asumsi
normalitas yang dimaksud dalam asumsi klasik pendekatan OLS adalah (data)
residual yang dibentuk model regresi linier terdistribusi normal, bukan variabel
bebas ataupun variabel terikatnya. Kriteria sebuah (data) residual terdistribusi
38

normal atau tidak dengan pendekatan Normal P-P Plot dapat dilakukan dengan
melihat sebaran titiktitik yang ada pada gambar. Sebaran titik-titik dari gambar
Normal P-P Plot relatif mendekati garis lurus, sehingga dapat disimpulkan bahwa
(data) residual terdistribusi normal. Hasil Pengujian heteroskedastisitas dilakukan
dengan membuat Scatterplot (alur sebaran) antara residual dan nilai prediksi dari
variabel terikat yang telah distandarisasi. Hasil uji memperlihatkan bahwa sebaran
titik tidak membentuk suatu pola/alur tertentu, sehingga dapat disimpulkan tidak
terjadi heteroskedastisitas atau dengan kata lain terjadi homoskedastisitas. Asumsi
klasik tentang heteroskedastisitas dalam model ini terpenuhi, yaitu terbebas dari
heteroskedastisitas.
Hasil uji korelasi dan regresi antara konsentrasi NO2 dengan volume
kendaraan dan kecepatan angin dalam penelitian ini sesuai dengan penelitian
Camilleri dan Rosalie (2013) yang menunjukkan bahwa kecepatan angin, jenis
penggunaan lahan, kepadatan penduduk dan volume lalu lintas adalah semua
variabel yang berdampak pada konsentrasi NO2, sementara kepadatan penduduk,
volume lalu lintas dan jenis penggunaan lahan merupakan prediktor signifikan NO2
di lokasi lalu lintas. Koefisien regresi yang bernilai negatif yang menunjukkan
hubungan tidak searah antara kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 juga sesuai
dengan yang disampaikan Oke (1987) bahwa kecepatan angin yang rendah
berpotensi mengakibatkan tidak tersebarnya pencemar, sehingga mempengaruhi
kualitas udara sekitar. Korelasi negatif antara kecepatan angin dengan konsentrasi
NO2 juga sesuai dengan penelitian Agudelo- Castaneda et al. (2014) dan Jones et
al. (2010). Semakin cepat kecepatan angin pada suatu daerah, maka percampuran
polutan dari sumber emisi akan semakin besar, hal ini karena turbulensi udara kuat
yang mengakibatkan terjadinya pengenceran sehingga polutan di daerah tersebut
akan semakin berkurang. Selain iu, pada kondisi meteorologi baik (atmosfer tidak
stabil dan kecepatan angin tinggi) polutan didispersikan dengan cepat, baik secara
vertikal maupun horizontal yang menyebabkan terjadinya pengenceran konsentrasi
polutan dan penyebaran lebih lanjut (Seinfeld 1986).

Rekomendasi Jalur Hijau di Simpang Susun


Tata hijau yang akan direkomendasikan dalam penelitian ini merupakan tata
hijau pada simpang susun yang mempunyai fungsi utama menyerap polutan NO2
yang berasal dari gas buangan kedaraan (fungsi penyangga). Selain itu, konsep tata
hijau juga merupakan tata hijau yang memiliki fungsi sebagai identitas/landmark,
fungsi keselamatan, dan fungsi estetika. Agar fungsi-fungsi tersebut dapat
dihadirkan secara optimal, perencanaan tentang jenis, jumlah baris tanaman,
penempatan, dan pola penataan atau penanaman vegetasi yang dipilih harus sesuai
dengan kriteria vegetasi untuk masing-masing fungsi pada setiap bagian ruang
simpang susun. Bagian ruang yang dimaksud adalah tepi jalan, median jalan, loop,
daerah pemisahan jalur (jalur divergen), dan daerah penyatuan jalur menjadi satu
(jalur konvergen) yang memerlukan vegetasi dengan kriteria tertentu sesuai dengan
fungsinya. Konsep penanaman vegetasi di simpang susun disajikan pada Gambar
16.
39

Gambar 16 Konsep penanaman vegetasi di simpang susun


40

Tata Hijau Vegetasi Penyangga

Vegetasi penyangga berfungsi untuk melindungi kawasan di sekitar simpang


susun dari dampak negatif yang muncul akibat aktivitas transportasi yang
berlangsung. Kriteria vegetasi yang dapat digunakan sebagai vegetasi penyangga
antara lain merupakan jenis tanaman evergreen, merupakan pohon tinggi lebih dari
10 meter, dan bertajuk masif (Agustini et al. (1999). Tanaman yang efektif
menyerap gas adalah tanaman yang memiliki kerapatan stomata yang tinggi
(Nasrullah et.al 2004) dan memiliki daun yang tipis (Nasrullah et.al 2004; Patra
2002). Vegetasi penyangga dalam penelitian ini lebih ditekankan dalam fungsinya
mengurangi polusi NO2 di area Simpang Susun Cikunir. Jenis vegetasi penyangga
yang direkomendasikan sebagai jalur hijau Simpang Susun Cikunir didasarkan pada
kapasitas vegetasi tersebut dalam menyerap NO2 sekaligus memiliki toleransi yang
tinggi terhadap polutan NO2. Tanaman penyangga ditempatkan di tepi jalan dan di
bagian dalam loop yang terdapat pada simpang susun.

Gambar 17 Ilustrasi penanaman vegetasi penyangga


Kelompok pohon yang menunjukkan serapan NO2 yang tinggi berdasarkan
penelitian-penelitian tentang kemampuan serapan NO2 yang pernah dilakukan
sebelumnya (Nugraheni 2006; Nasrullah et al. 2000; Sulistijorini 2009). Tanaman
yang sesuai digunakan sebagai vegetasi penyangga di kawasan simpang susun
adalah dadap kuning (Erythrina variegata), kaliandra (Caliandra surinamensis),
tanjung (Mimosops elengi), asam londo (Pithecellobium dulce), trembesi (Samanea
saman), glodogan bulat (Polialthia fragrans), angsana (Pterocarpus indicus),
bungur (Lagerstroemia speciosa), dan mahoni (Swietenia macrophylla).
Rekomendasi jenis vegetasi pohon sebagai penyangga dan kemampuannya
menyerap NO2 disajikan pada Tabel 15.
41

Tabel 14 Rekomendasi vegetasi pereduksi NO2 di simpang susun


Kemampuan serapan
Nama Ilmiah Nama Lokal Referensi
NO2 perjam
Lagerstroemia bungur 95.357 µg/g berat Nugraheni 2006
speciosa kering daun
Gmelina arborea jati putih 92.87 µg/g berat Patra et.al 2004
kering daun
Pithecellobium asam londo 84.190 µg/g berat Nugraheni 2006
dulce kering daun
Erythrina dadap kuning 68.31 µg/g berat Nasrullah et.al
variegata kering daun 2000
Caliandra kaliandra 41.01 µg/g berat Nasrullah et.al
surinamensis kering daun 2000
Samanea saman trembesi 35.37 µg/g berat Nasrullah et.al
kering daun 2000
Polialthia glodogan bulat 30.247 µg/g berat Nugraheni 2006
fragrans kering daun
Casia biflora Kasia golden 22.85 µg/g berat Nasrullah et.al
kering daun 2000

Tata Hijau Vegetasi Identitas/Landmark

Vegetasi sebagai identitas/landmark merupakan tanaman penunjang setiap


lokasi tertentu yang dapat menimbulkan kesan, ciri, atau tanda tersendiri dari lokasi
tersebut bila dilihat secara visual oleh seseorang. Penempatan vegetasi
identitas/landmark pada simpang susun adalah di dalam loop simpang susun
dengan pola penanaman berkelompok dan dalam jumlah sedikit. Agar
keberadaannya tidak tertutupi oleh vegetasi lainnya, syarat lain yang harus
dipenuhi adalah vegetasi tersebut berupa pohon tinggi dan memliki daya tarik
secara visual (Alhamadi dan Nasrullah 2014).

Gambar 18 Ilustrasi penanaman vegetasi identitas


42

Vegetasi yang direkomendasikan sebagai vegetasi identitas /landmark adalah


flamboyan (Delonix regia) karena memenuhi kriteria yang sesuai yaitu merupakan
pohon tinggi dan memiliki daya tarik yang besar terutama pada bunga yang
mencolok (Gambar 18). Selain itu, flamboyan memiliki kemampuan tinggi dalam
menyerap NO2 (Sulistjorini 2009; Nugraheni 2006). Agar fungsinya sebagai
identitas tetap ada saat tanaman flamboyan tidak berbunga, maka perlu
ditambahkan tanaman yang memiliki kriteria yang sesuai sebagai tanaman identitas
yaitu matoa (Pometia pinnata). Matoa memenuhi kriteria sebagai tanaman identitas
kerena merupakan pohon tinggi dan memiliki daya tarik visual pada daun muda
yang berwarna merah cerah.
Lebar vegetasi identitas yang ditanam di kawasan simpang susun
mempertimbangkan kemampuan penglihatan pengemudi dalam menangkap objek
pada jarak tertentu saat bergerak di sepanjang jalan yaitu 1.5 detik (Haris dan Dines
1998). Jika kecepatan pengguna jalan pada loop simpang susun rata-rata 80 km/jam
(22.22 m/s), agar vegetasi identitas dapat terlihat dengan jelas oleh pengguna jalan,
dihitung menggunakan rumus perhitungan (6), maka lebar penanaman vegetasi
identitas adalah sebesar 33.33 m.

D = pt x v ....................................................................................................(6)
D = 1.5 x 22.22
D = 33.33 m

Keterangan :
𝐷 = lebar penanaman vegetasi identitas
𝑝𝑡 = kemampuan penglihatan dalam menangkap objek
𝑣 = kecepatan

Tata Hijau Vegetasi Pengarah

Tanaman yang digunakan sebagai pengarah di simpang susun diletakkan di


seluruh jalur sirkulasi dalam kawasan yang ditanam di tepi jalan. Kriteria pemilihan
tanaman sebagai pengarah antara lain tanaman berbatang tunggal dengan cabang
minimal 2 meter di atas permukaan tanah (Kemen PU 2012), pohon dengan
ketinggian lebih dari 6 meter atau perdu dengan ketinggian 3-6 meter (Carpenter et
al. 1975, Kemen PU 1996), bentuk tajuk khas (Lestari 2005), serta tajuk berbentuk
kerucut, fastigate atau kolumnar, percabangan sedikit, tinggi, berkesinambungan,
berkesan rapi dan memudahkan orientasi (Carpenter et al. 1975).
Pola penanaman untuk vegetasi pengarah adalah ditanam secara massal atau
berbaris dengan jarak tanam jarang hingga rapat. Vegetasi dari kelompok pohon
contohnya cemara angin (Casuarina equisetifolia), glodogan tiang (Polyalthia
longifolia), dan palem putri (Veitchia merrillii). Vegetasi pengarah dari kelompok
semak atau perdu yang digunakan adalah teh-tehan (Acalypha macrophylla).

Cushion planting dan clear zone planting

Salah satu pendekatan teknik untuk meningkatkan keamanan di sekitar jalan


adalah mitigasi yang berfokus pada elemen tepi jalan dan asumsi tentang
kemungkinan kegagalan pengemudi (Wolf dan Bratton 2006). Elemen jalur hijau
43

jalan yang dapat membantu pengguna jalan mengurangi kemungkinan terbentur


objek yang keras adalah tanaman Cushion planting. Cushion planting digunakan
pada area pemisahan jalur jalan (jalur divergen) untuk menghindari risiko
terjadinya kecelakaan dan mengurangi dampak kecelakaan. Vegetasi yang
digunakan sebagai cushion planting adalah perdu yang berakar dengan kuat dan
tumbuh dengan baik, dan memiliki batang yang empuk (soft wood) yang akan
mengurangi kerusakan dan efek benturan pada kendaraan dan pengemudi (Kemen
PU 2012; Wolf dan Bratton 2006). Penanaman sebaiknya dilakukan secara
berkelompok dengan jarak tanam rapat (Alhamadi dan Nasrullah 2014).
Semak/perdu yang dapat digunakan adalah nusa indah (Mussaenda sp).
Clear zone planting diletakkan pada daerah penyatuan dua jalur menjadi
satu (jalur konvergen), menggunakan vegetasi yang tidak menutupi pandangan
pengendara, karena daerah ini merupakan daerah bebas pandang. Dalam Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum Nomor 05/Prt/M/2012 tentang Pedoman Penanaman
Pohon pada Sistem Jaringan Jalan, area bebas pandang (clear zone area) tidak
diperkenankan ditanami tanaman yang menghalangi pandangan pengemudi. Lebar
clear zone area sebesar minimum 9.0 m umumnya direkomendasikan untuk jalan
dengan kecepatan tinggi, sedangkan lebar minimum 3.0 m direkomendasikan untuk
jalan dengan kecepatan rendah (AASHTO 2002 dalam Wolf dan Bratton 2006 )
Jenis tanaman yang digunakan sebaiknya adalah tanaman rendah berbentuk
tanaman perdu dengan ketinggian < 0.50 m, dan jenisnya merupakan berbunga atau
berstruktur indah, misalnya: soka berwarna-warni (Ixora stricata), lantana
(Lantana camara), pangkas kuning (Duranta sp). Vegetasi yang direkomendasikan
sebagai clear zone planting pada Simpang Susun Cikunir adalah dari pangkas
kuning (Duranta sp) dan rumput paetan (Axonopus compressus). Ilustrasi
penanaman clear zone planting dan cushion planting disajikan pada Gambar 21.

a) b)

Gambar 19 Ilustrasi penanaman (a) clear zone planting dan (b) cushion planting

Tata Hijau Vegetasi Estetika

Vegetasi estetika di jalan bebas hambatan juga dapat mengurangi kejenuhan,


memanipulasi pandangan buruk yang terdapat di sekitar jalan, dan memberikan
kesan nyaman dan menyenangkan bagi pengguna jalan. Secara umum, vegetasi
yang dapat berfungsi sebagai elemen estetika di jalur hijau jalan adalah vegetasi
yang memiliki bunga, daun, bentuk tajuk, bentukan dahan dan ranting yang menarik
namun memiliki sifat yang tidak terlalu mencolok sehingga tidak mengganggu
konsentrasi pengguna jalan. Vegetasi estetika yang digunakan sebagai elemen jalur
44

hijau jalan di simpang susun juga juga harus memiliki kriteria sebagai vegetasi yang
toleran dan memiliki kemampuan tinggi menyerap polutan yang diakibatkan oleh
kendaraan bermotor. Vegetasi yang digunakan antara lain bogenvil (Bougenvillea
glabra), lolipop merah (Jacobina carnea), akalipa merah (Acalypha wilkesiana),
lolipop kuning (Pachystachys lutea), dan ki hujan (Malphigia sp). Selain memiliki
kriteria sebagai vegetasi estetika, tanaman-tanaman tersebut juga memiliki
kemampuan tinggi menyerap NO2 (Nasrullah et al. 2000).

5 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa


1. Rata-rata konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi berbeda nyata dengan rata-rata
konsentrasi NO2 di lokasi terbuka. Secara umum, konsentrasi gas NO2 pada
kedua lokasi memiliki kecenderungan menurun dari sumber emisi (0 m) ke
lokasi yang lebih jauh. Terdapat perbedaan nyata antara konsentrasi NO2 di
lokasi bervegetasi dengan rata-rata konsentrasi NO2 di lokasi terbuka.
2. Volume kendaraan dan kecepatan angin berpengaruh signifikan terhadap
konsentrasi NO2 di lokasi penelitian. Peningkatan kecepatan angin secara
signifikan mengurangi konsentrasi NO2, sedangkan peningkatan volume
kendaraan secara signifikan meningkatkan konsentrasi NO2 di sekitar jalan.
3. Rekomendasi tata hijau pada simpang susun merupakan tata hijau yang
berfungsi sebagai pereduksi polutan NO2, yang dihadirkan melalui kombinasi
vegetasi penyangga, identitas, fungsi keselamatan (pengarah, clear zone
planting, dan cushion planting), dan estetika.

Saran
1. Penelitian selanjutnya disarankan memperbanyak jumlah transect penelitian
serta memperpanjang durasi waktu pengambilan sampel udara.
2. Perlu dikaji pola sebaran konsentrasi pencemar NO2 secara vertikal dalam
penelitian-penelitian selanjutnya.
3. Penelitian mengenai kemampuan vegetasi dalam menyerap gas NO2 serta
toleransinya terhadap polutan NO2 diperlukan untuk menentukan jumlah
tanaman yang diperlukan untuk mengambil seluruh emisi NO2 harian di lokasi
penelitian.
45

DAFTAR PUSTAKA

Aber JD, Magi1 A, Boone R, Melillo JM, Steudler P, Bowden R. 1993. Plant and
soil responses to chronic nitrogen additions at the Harvard Forest,
Massachusetts. Ecological Applications. 3(1):156-166.
Ackermann, Liebrich U. 1996. Air pollution and daily mortality in three Swiss
urban areas. Soz Práventivmed. 41:107–115.
Agudelo DM, Teixeira EC, Pereira FN. 2014. Time-series analysis of surface ozone
and nitrogen oxides concentrations in an urban area at Brazil. Atmos Pollut.
5(3):411–420.
Agustini MS, Nurisyah YC, Sulistyaningsih. 1999. Identifikasi ciri arsitektur dan
kerapatan stomata 25 jenis pohon suku Leguminosae untuk elemen lanskap
tepi jalan. Bul Taman dan Lanskap Indonesia. 2:2-6.
Alhamadi, Nasrullah N. 2014. Planning of road side greenery in Cawang
Interchange East Jakarta to reduce particulate pollutant emitted by
transportation activities. Suistainable Urban Development. Trisakti
University International Seminar; 2014 Sept 17; Jakarta, Indonesia. Jakarta
(ID): hlm 251-265.
Anttila P, Tuovinen J. 2010. Trends of primary and secondary pollutant
concentrations in Finland in 1994-2007. Atmos Environ. 44 (1):30-41.
Anttila P, Tuovinen J, Niemi JV. 2011. Primary NO2 emissions and their role in the
development of NO2 concentrations in a traffic environment. Atmos
Environ. 45 (4):986-992.
Barnett AG, Williams GM, Schwartz J, Neller AH, Best TL, Petroeschevsky AL,.
Simpson RW. 2005. Air pollution and child respiratory health a case-
crossover study in Australia and New Zealand. Am J Respir Crit Care Med.
171(11):1272-1278.
[BPS] Badan Pusat Statistik DKI Jakarta. 2015. Statistik Daerah Provinsi DKI
Jakarta 2015. [terhubung berkala]. http://jakarta.bps.go.id/ [29 September
2016].
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. SNI 19-7119.2-2005. Udara ambien-
bagian 2: Cara uji kadar nitrogen dioksida dengan metoda Greiss Saltzman
menggunakan spektrofotometer. Jakarta (ID): BSN.
Burnett RT, Cakmak S, Brook JR. 1998. The effect of the urban ambient air
pollution mix on daily mortality rates in 11 Canadian cities. Can J Public
Health. 89(3):152-156.
Burnwal K, Jagwani D. 2013. Air Pollution Abatement through Trees and Green
Belt Development. Deutshland (DE) : Lap Lambert Academic Publishing.
Camilleri, Rosalie. 2013. Nitrogen dioxide in the atmosphere : a study on the
distribution of the air pollutant in the Maltese Islands. [disertasi] Malta
(MT):University of Malta.
Canter LW, Liu DHF, Raufer RK, Wagner CP. 2000. Pollutants: Sources, Effects,
and Dispersion Modelling. London (UK): Lewis.
Carpenter PL, Walker TD, Lanphear FO. 1975. Plants in the Landscape. San
Fransisco (US): W.H. Freeman and Company.
Carslaw DC. 2005. Evidence of an increasing NO2/NOx emissions ratio from road
traffic emissions. Atmos Environ. 39(26):4793-4802.
46

Colls. 2002. Air Pollution. New York (US): Spon Press.


Dover JW. 2015. Green Infrastructure Incorporating Plant and Enhanching
Biodiversity in Buildings and Urban Enviroments. New York
(US):Earthscan.
Faiz A, Sinha K, Walsh M, Varma A. 1990. Automotive air pollution: Issues and
options for developing countries. Washington DC (US): The World Bank.
Faiz A, Weaver CS, Walsh MP. 1996. Air Pollution from Motor Vehicles Standards
and Technologies for Controlling Emissions. Washington DC (US): The
World Bank.
Fakuara Y. 1986. Hutan Kota: Peranan dan Permasalahannya. Departeman
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta (ID): Penerbit Kanisius.
Finlayson, Pitts. 1999. Chemistry of the Upper and Lower Atmosphere: Theory,
Experiments, and Applications. California (US): Academic Press.
Fitter AH, Hay RKM. 1994. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Diterjemahkn oleh
Sri Andani dan E.D.Purbayanti. Yogyakarta (ID) : Gadjah Mada University
Press.
Gasmi K, Aljalal A, Al-Basheer W, Abdulahi M. 2017. Analysis of NOx, NO and
NO2 ambient levels in Dhahran, Saudi Arabia. Urban Climate. 21:232-242.
Gorham R. 2002. Air Pollution From Ground Transportation an Assessment of
Causes, Strategies and Tactics, and Proposed Actions for The International
Community. New York (US): Division for Sustainable Development
Department of Economic and Social Affairs [UN].
Grey GW, Deneke FI. 1978. Urban Forestry. Canada (US): John Wiley and Son
Inc.
Hamra GB, Laden F, Cohen AJ, Raaschou-Nielsen O., Brauer M, Loomis D. 2015.
Lung cancer and exposure to nitrogen dioxide and traffic: a systematic
review and meta-analysis. Environmental Health Perspectives. 123(11):
1107–1112.
Harris CW, Dines NT. 1998. Time-Saver Standards for Landscape Architecture.
New York (US): Mc Graw Hill Inc.
Hermawan R., Kusmana C, Nasrullah N, Prasetyo LB. 2011. The effect of the Plant
Row Number of Roadside Vegetation in Reducing Lead (Pb) Particles
Emitted by Motor Vehicle (Case study of Acasia mangium Green belt,
Jagorawi Highway). Media Konserv. 16:55-64.
Hickman AJ. 1999. Methodology for calculating transport emissions and energy
comsuption. Project report. Crowthorne (UK): Transport Research Library.
Hobbs F.D. 1995. Perencanaan dan Teknik Lalu Lintas. Yogyakarta (ID) : Gadjah
Mada University Press.
Honour SL, Bell JNB, Ashenden, Cape JN, Power SA 2009. Responses of
Herbaceous Plants to Urban Air polllutant : Effect on growth, phenology
and leaf surface characteristics. Environmental Pollution. 157(4):1279-1286.
Jones AM, Harrison RM, Baker J. 2010. The wind speed dependence of the
concentrations of airborne particulate matter and NOx. Atmos Environ. 44:
1682–1690.
[Kemen PU] Kementerian Pekerjaan Umum. 2009. Standar Konstruksi dan
Bangunan. Geometri Jalan Bebas Hambatan untuk Jalan Tol. Jakarta (ID):
Direktorat Jenderal Bina Marga.
47

[Kemen PU] Kementerian Pekerjaan Umum. 2012. Peraturan Menteri Pekerjaan


Umum Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pedoman Penanaman Pohon pada
Sistem Jaringan Jalan. Jakarta (ID): Kemen PU.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Pedoman Teknis Penyusunan
Inventarisasi Emisi Pencemar Udara di Perkotaan. Jakarta (ID): KLH.
[KLH] Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia. 2015.
Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia 2014. Jakarta (ID): KLH.
Krupa, S.V. 1997. Air Pollution, People, and Plants. Minnesota (US): APS Press.
Kusnoputranto, H. 1996. Dampak Pencemaran Udara dan Air Terhadap Kesehatan
dan Lingkungan. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan. 16:210-224.
Khisty, Jotin C, Kent LB. 2003. Dasar-dasar Rekayasa Transportasi. Jakarta (ID):
Erlangga.
Larcher 1995. Physiological Plant Ecology. New York (US): Springer-Verlag.
Lestari G. 2005. Evaluasi kualitas estetika visual pohon pada lanskap jalan [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Linskens HF, Jackson JF. 1989. Gases in Plant and Microbial Cells. New York
(US): Springer.
Lovett GM. 1994. Atmospheric deposition of nutrients and pollutants in North
America-an ecological perpesctive. Ecological Applications. 4:629-650.
Morgenstern V, Zutavern A, Cyrys J, Brockow , Gehring U, Koletzko S, Bauer CP,
Reinhardt D, Wichmann HE, Heinrich J. 2007. Respiratory health and
individual estimated exposure to traffic-related air pollutants in a cohort of
young children. Occup Environ Med. 64(1):8–16.
Naess O, Nafstad P, Aamodt, Claussen B, Rosland P. 2007. Relation between
Concentration of Air Pollution and Cause-Specific Mortality. J
Epidemiology . 165(4):435–443.
Nasrullah N, Gandanegara S, Suharsono H, Wungkar M, Gunawan A. 2000.
Pengukuran Serapan Polutan Gas NO2 pada Tanaman Tipe Pohon, Semak
dan Penutup Tanah Dengan Menggunakan Gas NO2 Bertanda 15N.
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi Tahun 1999-
2000. Risalah Penemuan Ilmiah. Jakarta (ID): Badan Tenaga Nuklir
Nasional.
Nowak. 1994. Air pollution removal by Chichago’s urban forest. Pennsylvania
(US): USDA Forest Service.
Nugraheni P. 2005. Faktor Fisiologis Tanaman yang Menentukan Serapan Polutan
Gas NO2 dan Nilai Visual Jalur Hijau Jalan Kota Surabaya. [Tesis] Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana.
Nurfaida, Dariati T, Yanti CWB. 2011. Bahan Ajar Ilmu Tanaman Lanskap.
Makassar (ID): Universitas Hasanuddin.
Oeglesby CH, Hicks RG. 1999. Teknik Jalan Raya. Setianto P, penerjemah. Jakarta
(ID): Gramedia. Terjemahan dari: Highway Engineering.
Omasa K , Endo R, Tobe K, Kondo T. 2002. Gas diffusion model analysis of foliar
absorption of organic and inorganic air pollutants. Global change.
42(3):135-148.
Pathak H. 2013. Air Pollution. New York (US): ICGtesting.
Patra AD. 2002. Faktor tanaman dan faktor lingkungan yang
mempengaruhikemampuan tanaman dalam menyerap polutan gas NO2
[tesis]. Bogor (ID):Institut Pertanian Bogor.
48

Patra AD, Nasrullah N, Sisworo EL. 2004. Kemampuan beberapa jenis tanaman
menyerap gas pencemar udara (NO2). Risalah Seminar Ilmiah Penelitian
dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi 2004. Jakarta (ID): Badan
Tenaga Nuklir Nasional.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Jakarta (ID): Sekretariat Negara.
Pohan N. 2002. Pencemaran udara dan hujan asam. [USU digital library] Medan
(ID): Universitas Sumatera Utara.
Sarwono J. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta (ID):
Graha Ilmu.
Saxe H. 1986. Stomatal-dependent and stomatal-independent uptake of NOx. New
Phytologist. 103:199-205.
Seinfeld JH, Pandis SN. 2006. Atmospheric Chemistry and Physics : From Air
Pollution to Climate Change. Somerset (US): J Wiley and Sons Inc.
Shannon MW, Best D, Binns HJ, Johnson CL, Kim JJ, Mazur LJ, Reynolds DW,
Roberts JR, Weil WB, Balk SJ. 2004. Ambient air pollution: health hazards
to children. Pediatric. 114:1699-1707.
Sheel V, Lal S, Richter A, Burrows JP. 2010. Comparison of satellite observed
tropospheric NO2 over India with model simulations. Atmos environ.
44(27):3314-3321.
Simonds JO, Starke BW. 2006. Landscape Arc'hitecture: A Manual of
Environmental Plctnning and Design. New York (US): Mc Graw Hill Inc.
Stull RB. 2011. Meteorology for Scientists and Engineers, 3rd Edition. Vancouver
(BC): Dept. of Earth, Ocean & Atmospheric Sciences University of British
Columbia.
Stulpnagel A, Hobert M, Sukopp H. 1990. The Importance of Vegetation for the
Urban Climate. The Hague (NL): SPB Academic Publishing
Sulistijorini. 2009. Keefektifan Dan Toleransi Jenis Tanaman Jalur Hijau Jalan
Dalam Mereduksi Pencemar NO2 Akibat Aktivitas Transportasi. [disertasi]
Bogor: Institut Pertanian Bogor, Sekolah Pascasarjana.
Sulistijorini, Mas’ud ZA, Nasrullah N, Bey A, Tjitrosemito S. 2008. Tolerance level
of roadside trees to air pollutants based on relative growth rate and air
pollution tolerance index. Hayati J Biosci. 15(3):123-129.
Sulistyantara B, Nasrullah N, Fatimah IS, Pratiwi PI. 2016. Study of the Effectivity
of Several Tree Canopy Types on Roadside Green Belt in Influencing The
Distribution Vertically and Horizontally of CO gas Emitted from
Transportation Activities to Vicinity of The Road. Earth and Environ Sc.
31:1755-1315.
[US EPA] The United States Environmental Protection Agency. 1996. Emission
Inventory Improvement Program: Preferred and alternative methods for
gathering and locating specific emission inventory data. Washington DC
(US): US EPA
49

[WHO] World Health Organization. 2013. Health Aspects of Air Pollution with
Particulate Matter, Ozone and Nitrogen Dioxide. Bonn (DE): WHO
Working Group.
Wolf KL, Bratton N. 2006. Urban trees and traffic safety: Considering U.S.
roadside policy and crash data. Arboriculture and Urban Forestry. 32(4):
170-179.
Zhongan, Mao, Slanina S, Spaargaren G, Yuanhang Z. 2005. Traffic and urban air
pollution, the case of Xi’an city, P.R.China. (Online,
http://cleanairasia.org/portal/system/files/arti cles-
37335_tp_15C_maozho.ngan.pdf
50

LAMPIRAN

Lampiran 1 Baku mutu udara ambien nasional Indonesia


Waktu Metode
No Parameter Baku mutu Peralatan
pengukuran analisis
1 Jam 900 µg/Nm3
1 SO2 24 Jam 365 µg /Nm3 Pararosanilin Spektrofotometer
1 Thn 60 µg Nm3
1 Jam 30.000 µg /Nm3
2 CO 24 Jam 10.000 µg ug/Nm3 NDIR NDIR Analyzer
1 Thn
1 Jam 400 µg /Nm3
3 NO2 24 Jam 150 µg /Nm3 Saltzman Spektrofotometer
1 Thn 100 µg /Nm3
1 Jam 235 µg /Nm3 Chemilumine
4 O3 Spektrofotometer
1 Thn 50 µg /Nm3 scent
Flame Gas
5 HC 3 Jam 160 µg /Nm3
Ionization Chromatogarfi
6 PM10 24 Jam 150 µg /Nm3 Gravimetric Hi - Vol
24 Jam 65 µg /Nm3 Gravimetric Hi – Vol
PM 2.5
1 Jam 15 µg /Nm3 Gravimetric Hi - Vol
24 Jam 230 µg /Nm3
7 TSP Gravimetric Hi – Vol
1 Jam 90 µg /Nm3
24 Jam 2 µg /Nm3 Gravimetric Hi – Vol
8 Pb 3 Ekstraktif
1 Jam 1 µg /Nm AAS
Pengabuan
10 Ton/km2/bulan
(Pemukiman)
9 Dustfall 30 Hari Gravinetric Cannister
20 Ton/km2/bulan
(Industri)
24 Jam 3 µg /Nm3 Impinger atau
Total Spesific ion
10 Continous
fluorides 90 Hari 0,5 µg /Nm3 Electrode
Analyzer
Fluor 40 µg /100 cm2dari Limed Filter
11 30 Hari Colourimetric
Indeks kertas limed filter Paper
Khlorine
Impinger atau
dan Spesific ion
12 24 Jam 150 µg /Nm3 Continous
khlorine Electrode
Analyzer
dioksida
1 mg SO3/100 cm3
Sulphat Lead Peroxida
13 30 Hari dari Lead Colourimetric
Indeks Candle
Peroksida
Sumber : Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1991
51

Lampiran 2 Peta tutupan lahan di lokasi penelitian


52

Lampiran 3 Proses pengambilan sampel udara dan pengamatan iklim mikro di


lokasi penelitian

Lampiran 4 Analisis konsentrasi NO2 menggunakan larutan penjerap dan alat


spektrofotometri
53

Lampiran 5 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 di


Lokasi Bervegetasi dan Lokasi Terbuka

Group Statistics
Std. Std. Error
Lokasi N Mean Deviation Mean
Konsentrasi bervegetasi 9 33.682144 10.4924974 3.4974991
NO2 terbuka 9 94.047122 66.0373896 22.0124632

Independent Samples Test


Konsentrasi NO2
Equal
variances Equal variances
assumed not assumed
Levene's Test for F 3.531
Equality of Variances Sig. .079
t-test for Equality of t -2.708 -2.708
Means df 16 8.404
Sig. (2-tailed) .016 .026
Mean Difference -60.3649778 -60.3649778
Std. Error Difference 22.2885853 22.2885853
95% Confidence Lower -107.6146679 -111.3359653
Interval of the Upper -13.1152876 -9.3939903
Difference

Lampiran 6 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 pada
Jarak 0 m dari Sumber Emisi

Independent Samples Test


Konsentrasi NO2
Equal Equal
variances variances not
assumed assumed
Levene's Test for F 10.367
Equality of Sig. .032
Variances
t-test for Equality t -1.769 -1.769
of Means df 4 2.056
Sig. (2-tailed) .152 .216
Mean Difference -106.7275000 -106.7275000
Std. Error Difference 60.3470516 60.3470516
95% Confidence Interval Lower -274.2777759 -359.7172737
of the Difference Upper 60.8227759 146.2622737
54

Lampiran 7 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 pada
Jarak 10 m dari Sumber Emisi

Independent Samples Test


Konsentrasi NO2
Equal Equal
variances variances not
assumed assumed
Levene's Test for F .301
Equality of Sig. .613
Variances
t-test for Equality of t -4.407 -4.407
Means df 4 3.652
Sig. (2-tailed) .012 .014
Mean Difference -49.7608667 -49.7608667
Std. Error Difference 11.2915612 11.2915612
95% Confidence Interval Lower -81.1112664 -82.3252715
of the Difference Upper -18.4104670 -17.1964618

Lampiran 8 Hasil uji Independent Samples Test Rata-rata Konsentrasi NO2 pada
Jarak 75 m dari Sumber Emisi

Independent Samples Test


Konsentrasi NO2
Equal Equal
variances variances not
assumed assumed
Levene's Test for F .424
Equality of Variances Sig. .550
t-test for Equality of t -3.098 -3.098
Means df 4 3.451
Sig. (2-tailed) .036 .044
Mean Difference -24.6065667 -24.6065667
Std. Error Difference 7.9420602 7.9420602
95% Confidence Interval Lower -46.6572608 -48.1126312
of the Difference Upper -2.5558726 -1.1005022

Lampiran 9 Hasil uji korelasi Pearson volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin dengan Konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi

Correlations
konsentrasi vol. kendaraan
konsentrasi Pearson Correlation 1 .840**
Sig. (2-tailed) .005
N 9 9
vol. kendaraan Pearson Correlation .840** 1
Sig. (2-tailed) .005
N 9 9
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
55

Correlations
konsentrasi jarak
konsentrasi Pearson Correlation 1 -.455
Sig. (2-tailed) .218
N 9 9
jarak Pearson Correlation -.455 1
Sig. (2-tailed) .218
N 9 9

Correlations
konsentrasi kec. angin
konsentrasi Pearson Correlation 1 -.824
Sig. (2-tailed) .384
N 3 3
kec. angin Pearson Correlation -.824 1
Sig. (2-tailed) .384
N 3 3

Lampiran 10 Hasil uji korelasi Pearson volume kendaraan, jarak, dan kecepatan
angin dengan Konsentrasi NO2 di lokasi terbuka
Correlations
konsentrasi vol. kendaraan
konsentrasi Pearson Correlation 1 .330
Sig. (2-tailed) .386
N 9 9
vol. kendaraan Pearson Correlation .330 1
Sig. (2-tailed) .386
N 9 9

Correlations
konsentrasi kec. angin
konsentrasi Pearson Correlation 1 -.759
Sig. (2-tailed) .452
N 3 3
kec. angin Pearson Correlation -.759 1
Sig. (2-tailed) .452
N 3 3

Correlations
konsentrasi jarak
konsentrasi Pearson Correlation 1 -.521
Sig. (2-tailed) .150
N 9 9
jarak Pearson Correlation -.521 1
Sig. (2-tailed) .150
N 9 9
56

Lampiran 3 Hasil uji regresi volume kendaraan terhadap konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi
Model Summary
Adjusted R
Model R R Square Square Std. Error of the Estimate
a
1 .840 .706 .663 6.0866552
a. Predictors: (Constant), volume kendaraan

ANOVAa
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 621.408 1 621.408 16.773 .005b
Residual 259.332 7 37.047
Total 880.740 8
a. Dependent Variable: konsentrasi
b. Predictors: (Constant), volume kendaraan

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) -16.534 12.428 -1.330 .225
volume .014 .003 .840 4.096 .005
kendaraan
a. Dependent Variable: konsentrasi

Lampiran 12 Hasil uji regresi jarak terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi

Model Summary
Adjusted R
Model R R Square Square Std. Error of the Estimate
1 .953a .909 .818 2.4676769
a. Predictors: (Constant), jarak

ANOVAa
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 60.753 1 60.753 9.977 .195b
Residual 6.089 1 6.089
Total 66.842 2
a. Dependent Variable: konsentrasi
b. Predictors: (Constant), jarak
57

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 37.518 1.872 20.044 .032
Jarak -.135 .043 -.953 -3.159 .195
a. Dependent Variable: konsentrasi

Lampiran 13 Hasil uji regresi kecepatan angin terhadap konsentrasi NO2 di lokasi
bervegetasi

Model Summary
Adjusted R
Model R R Square Square Std. Error of the Estimate
1 .824a .678 .357 9.2228167
b. Predictors: (Constant), kec. angin

ANOVAa
Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 179.366 1 179.366 2.109 .384b
Residual 85.060 1 85.060
Total 264.427 2
a. Dependent Variable: konsentrasi
b. Predictors: (Constant), kec. angin

Coefficientsa
Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 70.122 22.736 3.084 .200
kec. Angin -28.658 19.735 -.824 -1.452 .384
a. Dependent Variable: konsentrasi
58

Lampiran 14 Hasil uji regresi berganda kecepatan angin dan volume kendaraan
terhadap konsentrasi NO2 di lokasi bervegetasi
Model Summaryb

Adjusted R Std. Error


Model R R Square Square of the Estimate
1 .994a .987 .978 1.5724260
a. Predictors: (Constant), volume kendaraan, kec. angin
b. Dependent Variable: konsentrasi

ANOVAa

Sum of
Model Squares df Mean Square F Sig.
1 Regression 565.572 2 282.786 114.371 .001b
Residual 7.418 3 2.473
Total 572.990 5
a. Dependent Variable: konsentrasi
b. Predictors: (Constant), volume kendaraan, kec. angin

Coefficientsa

Unstandardized Standardized
Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta t Sig.
1 (Constant) 6.205 7.810 .795 .485
kec. angin -11.973 3.110 -.331 -3.850 .031
volume .012 .001 .748 8.711 .003
kendaraan
a. Dependent Variable: konsentrasi
59

Lampiran 15 Hasil uji asumsi klasik menggunakan SPSS 24

Model Summaryb
Adjusted R Std. Error of Durbin-
Model R R Square Square the Estimate Watson
a
1 .961 .924 .873 10.6773895 1.496
a. Predictors: (Constant), angin, volume
b. Dependent Variable: konsentrasi

Coefficientsa
Collinearity Statistics
Model Tolerance VIF
1 kec. angin .934 1.071
volume kendaraan .934 1.071
a. Dependent Variable: konsentrasi
60

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bantul Yogyakarta pada tanggal 26 Agustus 1977,


merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan H. Wadji dan Hj. Harjati.
Pendidikan dasar dan menengah diselesaikan oleh penulis di tempat kelahirannya.
Tahun 1995 penulis lulus dari SMA N I Yogyakarta dan pada tahun yang sama
diterima di Jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN). Penulis
memperoleh gelar Sarjana Teknik pada tahun 2000.
Kesempatan untuk mengikuti pendidikan program magister pada Program
Studi Arsitektur Lanskap Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh
pada tahun 2015 melalui beasiswa tugas belajar dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Bogor.
Di samping tugas utamanya sebagai ibu dari lima orang putra dan putri,
penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemerintah Kabupaten
Bogor sejak tahun 2009, dan saat ini ditempatkan pada Dinas Pekerjaan Umum dan
Penataan Ruang (DPUPR) Kabupaten Bogor. Sebelumnya, penulis pernah menjadi
tenaga pengajar di Sekolah Bunda Sejak tahun 2003 dan pernah menjadi Kepala
Sekolah SMA Bunda pada tahun 2008-2009.

Anda mungkin juga menyukai