Anda di halaman 1dari 107

ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR


BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI
(Studi Kasus : DKI JAKARTA)

RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
RINGKASAN

RAHMAWATI. Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara


dari Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi Kasus : DKI
Jakarta). Dibimbing oleh IMAM SANTOSA dan ANA TURYANTI.

Meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor di Jakarta mengakibatkan


menurunnya kualitas udara ambien yang disebabkan oleh meningkatnya pencemar
yang diemisikan oleh kendaraan bermotor. Jenis dan besarnya pencemar
tergantung pada kondisi kendaraan dan kualitas bahan bakar yang digunakan.
Proses pembakaran bahan bakar akan mengeluarkan unsur dan senyawa-senyawa
pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon monoksida,
hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan gas rumah
kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di keluarkan itu
melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu kualitas
lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia.
Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta
tahun 2007 menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak kendaraan
yang tidak ramah lingkungan. Pencemar dominan yang dihasilkan dari kendaraan
bermotor dan mengganggu kesehatan dan lingkungan adalah karbon monoksida,
partikel, dan oksida-oksida nitrogen Sedangkan menurut data pemantauan udara
ambien di DKI Jakarta tahun 2008 masih terdapat 19 hari yang dinyatakan tidak
sehat.
Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang
Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah
pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan
pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian
pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di
daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi
dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk
kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari
kendaraan bermotor secara efektif. Efektifitas pelaksanaan program-program
tersebut dimasa mendatang dalam menurunkan beban emisi perlu dikaji secara
ilmiah. Bertolak dari hal tersebut maka penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau
besarnya beban emisi dari kendaraan bermotor dan mengetahui besarnya pengaruh
kebijakan yang ada terhadap penurunan beban emisi di DKI Jakarta. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx tahun
2008, menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya
pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta serta menganalisis pengaruh
kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta
dalam menurunkan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan tahun 2020.
Beban emisi dalam penelitian ini dihitung dengan pendekatan panjang
perjalanan kendaraan (vehicles kilometers travel-VKT) pada setiap kategori
kendaraan yang ada di DKI Jakarta. Nilai VKT didapatkan dari survei pembacaan
odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa nilai VKT terbesar adalah kendaraan bis sedangkan sepeda motor memiliki
nilai VKT terkecil. Perjalanan kendaraan bis yang relatif tetap setiap hari dan
cenderung jauh mengakibatkan nilai VKT yang dihasilkan besar, hal yang
sebaliknya terjadi pada sepeda motor dimana kebanyakan digunakan untuk jarak
yang tidak jauh dan waktu yang singkat.
Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di
DKI Jakarta didominasi pencemar CO sebesar 72,7%, NOx sebesar 24,6% dan
PM10 sebesar 2,7%. Tanpa adanya pengendalian pencemaran udara, beban emisi
dari kendaraan bermotor pada tahun 2014 diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat
dari tahun 2008 dan dua kali lipat pada tahun 2020. Sedangkan konsentrasi
pencemar diperkirakan akan meningkat 1,2 kali lipat pada tahun 2014 dan 2,3 kali
lipat pada tahun 2020.
Pengendalian pencemaran udara dengan sistem pemeriksaan emisi dan
perawatan kendaraan bermotor pribadi (sistem P dan P) dimaksudkan untuk
mengidentifikasi kendaraan yang beroperasi (in-use vehicles) yang tidak
memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC, dan opasitas.
Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk
diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.
Penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P pada
tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 32%, NOx sebesar 6% dan PM10 sebesar
23%. Sedangkan pada tahun 2020, penurunan total beban emisi dengan
diterapkannya sistem P dan P untuk pencemar CO sebesar 37%, NOx sebesar 4%
dan PM10 sebesar 27%.
Sebagaimana diketahui bahwa kualitas bahan bakar minyak yang beredar di
pasaran Indonesia belum cukup ramah lingkungan, maka penggunaan bahan bakar
alternatif seperti bahan bakar gas (BBG) sangatlah diperlukan dalam rangka
penurunan tingkat emisi dari kendaraan bermotor. Salah satu upaya yang akan
dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah pemanfaatan BBG
sebagai pengganti BBM untuk kendaraan umum dan kendaraan operasional
pemerintah daerah. Penurunan total beban emisi dengan penggunaan BBG bagi
kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah tahun 2014 untuk
pencemar CO sebesar 8% dan pencemar NOx sebesar 21% serta pencemar PM10
sebesar 28% sedangkan tahun 2020 CO sebesar 5% dan pencemar NOx sebesar
18% serta pencemar PM10 sebesar 21%.
Penurunan total beban emisi bila kebijakan sistem P dan P serta kebijakan
penggunaan BBG bagi kendaraan umum dan kendaraan operasional pemerintah
dilakukan secara bersamaan pada tahun 2014, untuk pencemar CO sebesar 44%
dan pencemar NOx sebesar 33% serta pencemar PM10 sebesar 57%. Pada tahun
2020, potensi penurunannya untuk pencemar CO sebesar 47%, NOx sebesar 33%
dan PM10 sebesar 56%.
ANALISIS PENERAPAN KEBIJAKAN
PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DARI KENDARAAN BERMOTOR
BERDASARKAN ESTIMASI BEBAN EMISI
(Studi Kasus : DKI JAKARTA)

RAHMAWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Analisis Penerapan Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari
Kendaraan Bermotor Berdasarkan Estimasi Beban Emisi (Studi
Kasus : DKI Jakarta)
Nama : Rahmawati
NIM : P051064124

Disetujui
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Imam Santosa, M.S Ana Turyanti, S.Si, M.T


Ketua Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Pengelolaan Dekan Sekolah Pascasarjana


Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Prof. Dr.Ir. Surjono H. Sutjahjo, M.S. Prof. Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 20 Januari 2009 Tanggal Lulus :


Penguji Luar Komisi Ujian Tertutup :
Arif Sabdo Yuwono, MSc, Phd.
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 29 Januari 1972 dari ayah Mustari
dan ibu Rini Mistrini. Penulis merupakan putri bungsu dari empat bersaudara.
Penulis menikah dengan Achmad Syaifuddin dan dikaruniai dua orang anak , M.
Irsyad Ramadhani dan Jihan Nadhifa Putri.
Penulis setelah menyeselaikan pendidikan dasar dan menengah pertama,
melanjutkan studi di Sekolah Menengah Analis Kimia Caraka Nusantara sampai
tahun 1992. Pendidikan sarjana ditempuh di Universitas Satya Negara Indonesia
jurusan teknik lingkungan tahun 2002. Pada tahun 2007 penulis mendapat
beasiswa dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk melanjutkan pendidikan ke
Pascasarjana dan diterima di jurusan Pengelolaan Sumberdaya Alam dan
Lingkungan IPB.
Penulis adalah pegawai negeri sipil yang bekerja di Badan Pengelolaan
Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta sejak tahun 1995 sampai saat
ini. Selama ini penulis ditempatkan di Laboratorium Lingkungan
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ....................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. vii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................... 4
1.3 Kerangka Pikir ........................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ....................................................................... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pencemaran Udara .................................................................... 7
2.2 Sumber Pencemar Udara ............................................................ 7
2.3 Pencemaran dari Kendaraan Bermotor ...................................... 8
2.4 Karbon Monoksida (CO) ........................................................... 10
2.5 Partikel (PM10) ........................................................................... 11
2,6 Nitrogen Oksida (NOx) ............................................................. 14
2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor ..... 15
2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan... 17
2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar Gas pada Kendaraan Umum... 18
2.5 Bahan Bakar Minyak .................................................................. 20
2.5.1 Bensin ............................................................................. 20
2.5.2 Solar ............................................................................... 20
2.6 Bahan Bakar Gas ......................................................................... 21
2.7 Inventory Emisi ........................................................................... 23

III. GAMBARAN WILAYAH STUDI


3.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta ...................................... 27
3.2 Kondisi Kependudukan, Ekonomi dan Transportasi .................... 27
3.2.1 Kependudukan .................................................................. 27
3.2.2 Ekonomi ............................................................................ 28
3.2.3 Transportasi ...................................................................... 29

IV. METODE PENELITIAN


4.1 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................... 32
4.2 Objek Penelitian ............................................................................ 32
4.3 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 32
4.4 Pengumpulan Data ........................................................................ 33
4.5 Pengolahan Data .......................................................................... 33
4.6 Perhitungan dan Analisis Data ...................................................... 36
4.6.1 Estimasi Jumlah Kendaraan ………………………………. 36
4.6.2 Nilai Panjang Perjalanan Kendaraan ................................... 37
4.6.3 Penentuan Faktor Emisi ...................................................... 37
4.6.4 Estimasi Beban Emisi Tahun 2008, 2014 dan 2020 ............ 38

iv
4.6.5 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran
Udara dari Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban
Emisi……. ........................................................................... 39
4.6.6 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan
Model Kotak ....................................................................... 40

V. HASIL DAN PEMBAHASAN


5.1. Beban Emisi Pencemar dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta 42
5.1.1 Pertumbuhan Kendaraan Bermotor pada Tahun 2003 sampai
2007 …………………………………………………… 42
5.1.2 Estimasi Jumlah Kendaraan Bermotor Tahun 2008, 2014 dan
2020 …………………………………………………….. 44
5.1.3 Estimasi Panjang Perjalanan Kendaraan ……………….. 46
5.1.4 Beban Emisi tahun 2008 ……………………… 49
5.1.4 Estimasi Beban Emisi Tahun 2014 dan Tahun 2020 ……. 52
5.2 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara
dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dalam Mereduksi Beban
Emisi. ……………………………………………………………. 55
5.2.1 Pengaruh Kebijakan Sistem Pemeriksaan dan Perawatan
Kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi.......... 56
5.2.2 Pengaruh Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Kendaraan
umum dalam Mereduksi Beban Emisi ................................ 59
5.2.3 Pengaruh kedua Kebijakan diterapkan Bersamaan
dalam Menurunan Beban Emisi.......................................... 62
5.3 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model
Kotak ............................................................................................. 64

VI. KESIMPULAN DAN SARAN


6.1. Kesimpulan .................................................................................... 69
6.2. Saran .............................................................................................. 69

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 71


LAMPIRAN ................................................................................................... 74

v
DAFTAR TABEL

1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek ..................................... 9


2. Jenis dan sumber data penelitian ......................................................... 33
3. Faktor emisi kendaraan bermotor di Indonesia ................................... 37
4. Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014, 2020……………….. 45
5. Panjang perjalanan kendaraan berdasarkan kategori (km/tahun) …… 48
6. Estimasi reduksi emisi dengan sistem P & P ......……………………. 54
7. Estimasi beban emisi dengan sistem P & P (ton/tahun) ……………… 55
8. Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG …………………... 58
9. Estimasi beban emisi dengan BBG (ton/tahun) ………………………. 60
10. Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG dan sistem P & P
diterapkan bersamaan …………………………...................................... 62
11. Estimasi beban emisi tahun 2014 dan 2020 bila penggunaan BBG dan
sistem P dan P diterapkan bersamaan (ton/tahun) ................................... 63

12. Distribusi spasial beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI


tahun 2008 ……………………………………………………………... 65
13. Estimasi kualitas udara di DKI Jakarta tahun 2008 ................................. 65

iv
DAFTAR GAMBAR

1. Diagram alir kerangka pemikiran ........................................................... 5


2. Kecepatan rata-rata di jalan-jalan utama di Jakarta ............................... 9
3. Proses pembakaran yang sempurna, baik dan tidak sempurna ............... 10
4. Sistem pernapasan manusia ..................................................................... 12
5. Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor ....... 17
6. Survei moda transportasi di JABOTABEK tahun 2002 ........................ 30
7. Panjang jalan di Provinsi DKI Jakarta ................................................... 30
8. Bagan alir pengolahan data panjang perjalanan kendaraan ….……….. 35
9. Bagan alir perhitungan estimasi beban emisi ……………………….. 39
10. Total jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2003-2007 … 42
11. Komposisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta. ................... 43
12. Trend utilisasi jumlah kendaraan terhadap luas jalan di DKI Jakarta,
1994-2014 .............................................................................................. 44
13. Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020 ......................... 45
14. Distribusi kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008, 2014 dan
2020 ………………………………………………………………….... 46
15. Penggunaan mobil pribadi selama 14 tahun pertama. ............................ 47
16. Total panjang perjalanan kendaraan bermotor di DKI Jakarta ............... 48
17. Beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008 ........ 49
18. Komposisi penghasil emisi dari kendaraan bermotor............................. 50
19. Prosentase beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor................... 50
20. Kualitas BBM di JABODETABEK parameter Pb dan Sulfur................ 52
21. Estimasi beban emisi total dari kendaraan bermotor 2014 dan 2020
(ton/tahun) …………………………………………………………...... 53
22. Beban emisi CO dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 53
23. Beban emisi PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 54
24. Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta …………... 55
25. Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan
sistem P dan P tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta …………. 58

v
26. Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan
Penggunaan BBG tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta …………. 61
27. Total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta(dengan kontrol
dan tanpa kontrol) ..................................................................................... 63
28 Estimasi konsentrasi CO tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ............... 65
29 Estimasi konsentrasi PM10 tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta .......... 65
30 Estimasi konsentrasi NOx tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta ............ 65

vi
DAFTAR LAMPIRAN

1. Nilai panjang perjalanan kumulatif mobil penumpang ........................... 74


2. Nilai panjang perjalanan kumulatif bis .............................................. 110
3. Nilai panjang perjalanan kumulatif truk ................................................. 111
4. Nilai panjang perjalanan kumulatif sepeda motor .................................. 112
5. Hubungan usia kendaraan dan panjang perjalanan rerata kategori
sepeda motor .......................................................................................... 113
6. Hubungan usia kendaraan dan panjang perjalanan rerata kategori truk
dan bis ................................................................................................... 114
7. Informasi penduduk dan luas wilayah tahun 2007 ................................. 115
8. Estimasi konsentrasi pencemar udara tahun 2014 dan 2020 ………….. 116

vii
I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada saat ini isu pencemaran udara sudah menjadi isu lingkungan hidup
yang nyata di Indonesia, terutama di Jakarta. Sebagai kota metropolitan, Jakarta
merupakan tempat tujuan bagi masyarakat pedesaan. Urbanisasi memicu jumlah
penduduk di Jakarta semakin meningkat. Jumlah penduduk di Jakarta sampai
dengan tahun 2006 sebesar 8,96 juta jiwa dengan luas wilayah 661,52 km2 berarti
kepadatan penduduk mencapai 13,5 ribu/km2 (BPS, 2007)
Seiring dengan pertambahan penduduk yang tinggi (± 100 ribu jiwa/tahun)
dan kegiatan pembangunan tersebut, kebutuhan akan alat transportasi penduduk
juga meningkat. Moda transportasi yang paling diminati adalah kendaraan
bermotor dan kereta api. Berdasarkan studi rencana induk transportasi terpadu
(Study on Integrated Transportation Master Plan = SITRAMP) fase II tahun 2004
di Jabodetabek, penggunaan kendaraan bermotor sebagai sarana transportasi kota
meningkat dari 52,9% pada tahun 1985 menjadi 62,7% tahun 2002, sedangkan
kereta api digunakan sebanyak 0,2% tahun 1985 dan 0,8% pada tahun 2002 dan
selebihnya memilih berjalan kaki (JICA, 2004).
Pertumbuhan kendaraan yang pesat di kota-kota besar mencerminkan
kurang memadainya sistem transportasi kota. Saat ini jumlah kendaraan bermotor
di DKI Jakarta sekitar 5,4 juta, dengan rata-rata peningkatkan 7% per tahun.
Setiap harinya tidak kurang dari 1000 kendaraan mengajukan STNK baru yang
memerlukan jalan sepanjang 828 meter (BPS, 2007).
Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta tahun 2005 terdapat 600.000
kendaraan (1,2 juta orang) dari Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi masuk
wilayah Jakarta setiap hari. Jumlah kendaraan bermotor yang bergerak setiap
harinya mencapai 4,95 juta (terbagi atas kendaraan roda dua 53%, mobil pribadi
30%, bis 7%, dan truk 10%). Rasio jumlah kendaraan pribadi dibandingkan
kendaraan umum adalah 98% dibanding 2%.
2

Penggunaan mobil pribadi dan sepeda motor bagi banyak orang didorong
oleh ketiadaan transportasi umum yang nyaman, aman, dan tepat waktu. Sistem
transportasi belum terintegrasi ke dalam pengembangan wilayah. Pembangunan
perumahan di luar pusat kota tidak diikuti dengan pengembangan sistem
transportasi yang menghubungkan lokasi perumahan dengan lokasi komersial dan
perkantoran di pusat kota, sehingga kendaraan pribadi mengambil porsi
transportasi jalan yang lebih besar dibanding moda transportasi lainnya. Rasio
penggunaan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan umum adalah 49,7%
dibanding 50,3% dari total 15 juta perjalanan/hari. Perbandingan antara panjang
jalan dan total area di wilayah DKI Jakarta hanya 4%, idealnya untuk kota sebesar
Jakarta adalah 10–15% (Ammari, 2005).
Meningkatnya jumlah kendaraan secara terus-menerus, menyebabkan
penggunaan bahan bakar minyak menjadi intensif dari sektor transportasi yang
akan berdampak pada lingkungan udara. Berdasarkan data Pertamina UMPS III,
penjualan bahan bakar minyak didominasi oleh sektor transportasi sebesar 55%,
sedangkan sektor industri hanya 14%, electricity dan rumah tangga masing-
masing sebesar 12% dan 19% (BPS, 2007). Penggunaan BBM di sektor
transpotasi tersebut, 85% digunakan oleh kendaran bermotor baik kendaraan
pribadi, bus dan truk sedangkan sisanya untuk pesawat terbang.
Proses pembakaran bahan bakar minyak akan mengeluarkan unsur dan
senyawa-senyawa pencemar (polutan) ke udara, seperti partikel debu, karbon
monoksida, hidrokarbon, oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2) dan
gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O). Apabila kadar dari unsur pencemar yang di
keluarkan itu melebihi baku mutu emisi yang ditentukan maka dapat mengganggu
kualitas lingkungan (udara, air, tanah dan bangunan) serta kesehatan manusia.
Besarnya kadar unsur-unsur tersebut akan tergantung pada kualitas dan kuantitas
bahan bakar minyak yang digunakan.
Beberapa hasil kajian terdahulu menyimpulkan bahwa sektor transportasi
memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan
khususnya di wilayah aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 65%-
75% dari pencemar NOx dan 15%-55% pencemar PM10 (World Bank, 1997;
JICA,1997; Syahril et al., 2002; Suhadi dan Damantoro, 2005)
3

Hasil uji emisi yang dilakukan pada ruas-ruas jalan arteri di DKI Jakarta
oleh Pemda DKI Jakarta tahun 2007 memperlihatkan persentase kendaraan yang
memenuhi standar baku mutu emisi (BME) yaitu sebesar 51,1% dari total 8400
kendaraan. Hal ini menunjutkan bahwa di DKI Jakarta masih terdapat banyak
kendaraan yang tidak ramah lingkungan. Kondisi inilah yang berpotensi
menghasilkan pencemar utama seperti CO, NOx, SO2, Particulate Matter (PM)
dan juga gas-gas penyebab terjadinya efek rumah kaca seperti CO2, CH4 dan N2O.
Pada tahun 2005 dalam mendukung terciptanya kualitas udara yang sehat,
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan peraturan daerah tentang
Pengendalian Pencemaran Udara yaitu Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta nomor 2 tahun 2005. Ruang lingkup peraturan daerah tersebut adalah
pengendalian pencemaran udara dari sumber bergerak, sumber tidak bergerak dan
pengendalian pencemaran udara di dalam ruangan. Khusus untuk pengendalian
pencemaran udara dari sumber bergerak yang merupakan sumber dominan di
daerah perkotaan, upaya-upaya pencegahan terdiri atas ; (1) pemeriksaan emisi
dan perawatan bagi kendaraan pribadi dan (2) penggunaan bahan bakar gas untuk
kendaraan umum. Upaya tersebut diharapkan dapat menurunkan beban emisi dari
kendaraan bermotor secara efektif.
Efektifitas pelaksanaan program-program tersebut dimasa mendatang dalam
menurunkan beban emisi perlu dikaji secara ilmiah. Sementara disisi lain
ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-sumber emisi dan
beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan Indonesia umumnya
dinilai masih sangat kurang, sehingga menyulitkan dalam melakukan pembaruan
data, estimasi serta evaluasi beban emisi yang diperlukan dalam pengambilan
keputusan dan penentuan kebijakan pengendalian pencemaran udara. Oleh karena
itu penelitian ini dibutuhkan untuk meninjau besarnya beban emisi dari kendaraan
bermotor dan mengetahui besarnya efektifitas kebijakan yang ada terhadap
penurunan beban emisi karbon monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx) dan debu
berukuran ≤10 µm (PM10) di DKI Jakarta.
4

1.2 Perumusan Masalah


Jumlah kendaraan bermotor di Jakarta tiap tahun terus meningkat, hal ini
terbukti dengan makin banyaknya jumlah titik kemacetan dan penurunan
kecepatan kendaraan di berbagai ruas jalan. Menurut hasil studi pada tahun 1995
rata-rata kecepatan daerah perkotaaan di Indonesia untuk semua jenis kendaraan
adalah 22-24 km/jam pada jam puncak dan 32-38 km/jam diluar jam puncak,
sementara kecepatan rata-rata angkutan umum hanya 16-18 km/jam pada jam
puncak dan 24-28 km/jam diluar jam puncak. Untuk DKI Jakarta terjadi
penurunan kecepatan rata-rata dari 38,3 km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5
km/jam pada tahun 2002 (JICA,2004). Dengan demikian terjadi pembakaran
bahan bakar yang cukup tinggi dari sektor transportasi yang berpotensi
meningkatkan pencemaran udara, baik untuk pencemar primer (CO, NOx, PM10,
HC) maupun polutan gas rumah kaca (CO2 dan CH4). Bila di nilai secara ekonomi
kerugian dari kemacetan mencapai 5,5 triliun/tahun di wilayah Jabodetabek. Perlu
strategi dan upaya pengendalian yang benar dan efektif agar jumlah emisi yang
dikeluarkan dapat sekecil mungkin.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka timbul pertanyaan penelitian :
1. Berapa besar beban emisi yang dikeluarkan dari kendaraan bermotor pada
tahun 2008 untuk pencemar CO, PM10 dan NOx?
2. Bagaimana beban emisi di tahun mendatang (tahun 2014 dan 2020) tanpa
adanya pengendalian?
3. Bagaimana pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari sumber
bergerak di DKI Jakarta dalam menurunkan beban emisi tersebut ?

1.3 Kerangka Pikir


Kendaraan bermotor adalah salah satu sumber antropogenik yang langsung
mengemisikan pencemar ke atmosfer dan terkait erat dengan sistem transportasi.
Besar emisinya ditentukan oleh karakteristik mesin, jenis bahan bakar serta
kecepatan tempuh kendaraan. Pencemaran udara akibat emisi kendaraan bermotor
akan mempengaruhi kualitas udara ambien dan kesehatan masyarakat. Informasi
yang tepat tentang pencemaran udara ini sangat diperlukan untuk menyusun
strategi dan kebijakan pengendalian pencemaran udara secara efektif. Sampai
5

dengan saat ini ketersediaan informasi secara sistematis mengenai sumber-


sumber emisi dan beban emisi untuk wilayah DKI Jakarta secara khusus dan
Indonesia umumnya dinilai masih sangat kurang.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan pembaharuan informasi
tentang emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta. Adapun kerangka
pemikiran dilakukannya penelitian analisis penerapan kebijakan pengendalian
pencemaran udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi di
DKI Jakarta tersaji dalam Gambar 1.

Sumber pencemar antropogenik


(Kendaraan bermotor)

Emisi
pencemar

Reduksi Emisi
Konsentrasi
Udara ambien.
BMU ambien.
Analisis
efektifitas
Perbandingan dgn
Strategi/kebijakan
BMU ambien.
pengelolaan kualitas udara

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian tentang analisis penerapan kebijakan pengendalian pencemaran
udara dari kendaraan bermotor berdasarkan estimasi beban emisi memiliki tujuan
sebagai berikut:
1. Mengetahui beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx dari sumber
pencemar kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2008.
6

2. Menduga beban emisi pada tahun 2014 dan tahun 2020 tanpa adanya
pengendalian dari sumber bergerak di DKI Jakarta
3. Menganalisis besarnya penurunan emisi CO, PM10 dan NOx tahun 2014 dan
tahun 2020 dengan penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara
dari sumber bergerak di DKI Jakarta
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara


Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih
kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu
keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan kehidupan
binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan
dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh
aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah
lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara pemanasan global,
rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon dan pemaparan
ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996).

2.2 Sumber Pencemar Udara


Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber
frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber
pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan
sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan
gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya
sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi
proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan
militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas
beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber
garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan
bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi
konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi
geografis tertentu (Canter, 1996).
8

2.3 Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor


Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di
Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari
kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian seperti The
Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997),
Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank,
1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater
Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi
yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah
aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar
NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun
1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total
NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun
2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari
total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005).
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2005 memperkirakan bahwa
pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat akan mencapai tiga juta unit ; pada
waktu bersamaan rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan
mencapai titik jenuh. Artinya diperkirakan akan terjadi kemacetan total diruas-
ruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014.
Masalah sumber pencemar udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta
tidak terlepas dari kontribusi sumber pencemar dari wilayah Bodetabek karena
pada saat ini sekitar 1,3 juta penduduk yang bertempat tinggal di wilayah
Bodetabek melakukan perjalanan dari dan ke Jakarta setiap hari. Volume
pergerakan kendaraan di wilayah Jabodetabek paling tinggi adalah pergerakan
dari Bekasi ke Jakarta (dan sebaliknya) dibandingkan dari daerah Tangerang dan
Bogor atau Depok (Tabel 1).
9

Tabel 1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek


Volume Pergerakan
Arah Pergerakan
(kendaraan/hari)
DKI Jakarta – Tangerang 412.543
DKI Jakarta – Bogor/Depok 424.219
DKI Jakarta - Bekasi 499.198
Sumber : JICA, 2004
Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi
rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, dampak
motorisasi juga menyebabkan kemacetan, pecemaran udara dan kebisingan,
tingginya konsumsi bahan bakar, dan berkurangnya infrastruktur kota dan lahan
terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik.
Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan menurun dari 38,3
km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA, 2004).
Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat
beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas
buang minimum. Emisi gas buang ini dapat berupa pencemar SO2, NOx, CO, HC,
debu, timbal (Pb) dan gas pembentuk efek rumah kaca seperti metana (CH4),
dinitrogen oksida (N2O) dan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2).
(Gorham, 2002). Pada Gambar 2 disampaikan kecepatan rata-rata kendaraan
mobil penumpang di jalan utama di DKI Jakarta.

Gambar 2 Kecepatan rata-rata mobil penumpang di jalan-jalan utama di Jakarta


Sumber : JICA, 2004
10

2.4 Karbon Monoksida (CO)


Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang
tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak
menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernapasan
dan diabsorpsi di dalam darah. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin
(yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi
carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat haemoglobin
sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen (O2). Secara langsung hal
ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,sehingga
melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang
didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan
pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat
menyebabkan kematian.
Selain dari bahan bakar, CO juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk
alam dan sintesis, termasuk rokok. Dalam proses industri, karrbon monoksida
digunakan dalam jumlah kecil saja (Kannan, 1995). CO dihasilkan dari
pembakaran material yang mengandung karbon seperti bensin, gas alam, batu
bara, kayu dan sebagainya. CO merupakan produk yang tidak diinginkan dalam
proses pembakaran. Ia diproduksi dalam proses pembakaran dalam oksigen
dibawah jenuh yang melibatkan senyawa karbon. Sehingga jumlah CO yang
dihasilkan terutama tergantung dari perbandingan bahan bakar dan udara serta
tingkat pencampuran. Pada campuran yang ideal, emisi CO yang terbentuk akan
sedikit. Berikut ini disampaikan proses pembakaran dalam mesin kendaraan.
(Gambar 3).

Gambar 3 Proses pembakaran dalam mesin kendaraan


Sumber : UNEP, 2006
11

Karbon monoksida hanya larut ringan dalam air dan termasuk zat yang tidak
meracuni air. CO memiliki densitas yang kira-kira sama dengan udara. CO masuk
ke atmosfir melalui gas buang dan akan cepat teroksidasi membentuk CO2. CO
berbahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi terhadap manusia dan hewan.
Waktu tinggal CO di atmosfir antara 1 sampai 2 bulan. Waktu paruh CO
terikat dalam darah kira-kira 250 menit. Konsentrasi CO dapat meningkat di
sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemar lokal.

Data kimiawi dan sifat fisik dari CO adalah sebagai berikut :


Rumus Empiris : CO
Berat Molekul Relatif : 28,01 gram
Densitas : 1,25 g/l pada 0 oC
Densitas Gas Relatif : 0,97
Titik didih : -191,5 oC
Titik Leleh : -199 oC
Temperatur nyala : 605 oC
Batas Meledak : 12,5 - 74 vol %
Tekanan Meledak Maksimum : 7,3 x 105 Pa
Faktor Konversi : 1 ppm = 1,164 mg/m3
1 mg/m3 = 0,859 ppm

2.5 Partikel Debu (PM10)


Partikel adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan
uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Ukuran partikel
antara 0,1 mikron hingga 100 mikron. Di samping mengganggu estetika, partikel
berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan
menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru.. Partikel
yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari
diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas,
sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di
dalam tubuh dalam waktu yang lama (Gambar 4).
Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10µm (PM10).
PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh
penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan
12

fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat
memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable
tergantung dari komposisinya. Partikel juga merupakan sumber utama haze (kabut
asap) yang menurunkan visibilitas. Partikel debu yang melayang dan berterbangan
dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi
pemandangan (mengurangi batas pandang).

Gambar 4 Struktur pernapasan dalam tubuh manusia


Sumber : Colls, 2002
13

Adanya cacahan logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara


merupakan bahaya yang cukup besar bagi kesehatan. Udara yang tercemar pada
umumnya hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01 sampai dengan 0,03
mikron dan seluruh partikel di udara, akan tetapi logam tersebut bersifat
akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi synergistic dalam jaringan tubuh
manusia.
Ada beberapa jenis logam yang terkandung dalam partikel udara,
diantaranya ada 4 (empat) jenis logam berat yang dianggap berbahaya bagi
kesehatan yaitu timah hitam/timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri
(Hg). Keempat jenis partikel logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem
pernapasan, penyakit paru-paru, kanker paru-paru, serta radang otak.
Menurut Hodges (1976) dalam Satudju (1991), terdapat empat tingkat
penyakit yang dihasilkan oleh bahan partikel di udara, yaitu:
• Bronchitis kronis, kerusakan pada tabung bronchial yang tetap atau
permanen, produksi mukus yang berlebihan sehingga mengakibatkan batuk
yang kronis.
• Bronchial asthma, bahan-bahan asing yang berupa timah yang memberikan
reaksi alergi pada bronchial membran yang hebat, dan menyebabkan
pernapasan pendek dan berbunyi.
• Emphysema, pengerutan bronchiole yang menyebabkan transfer oksigen ke
dalam darah berkurang serta menyebabkan pernapasan menjadi pendek dan
kronis.
• Kanker paru-paru, (lung cancer), diakibatkan beberapa partikel yang
terdapat di atmosfer yang tercemar dan kebanyakan terdapat di wilayah
perkotaan, yaitu partikel debu logam, asbestos, aromatik hidrokarbon
(carcinogen 3, benzylphyrene). Tetapi konsentrasi partikel-partikel tersebut
sangat kecil.
14

2.6 Nitrogen Oksida (NOx)


NOx adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir terdiri atas NO dan
NO2. Walaupun bentuk nitrogen oksida lainnya ada, tetapi kedua gas ini paling
banyak ditemui sebagai polutan udara. NO merupakan gas yang tidak berwarna
dan berbau, sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau
tajam. Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di
udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi antara NO dengan lebih banyak
oksigen membentuk NO2 (Fardiaz, 1992). Persamaan reaksinya adalah sebagai
berikut :

N2 + O2 2 NO
2NO + O2 2NO2

Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen.


Pada suhu kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecenderungan untuk
bereaksi satu sama lain. Pada suhu yang lebih tinggi (diatas 1210 oC) keduanya
dapat bereaksi membentuk NO dalam jumlah lebih tinggi mengakibatkan polusi
udara. Dalam proses pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai
121 oC-1765 oC dengan adanya udara, oleh karena itu reaksi merupakan sumber
NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan NO merupakan hasil samping dalam
proses pembakaran.
Dari seluruh jumlah NO yang dibebaskan ke atmosfer, jumlah yang
terbanyak adalah dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktifitas bakteri. Akan
tetapi polusi NO dari sumber alam ini tidak merupakan masalah karena tersebar
secara merata sehingga jumlahnya menjadi kecil. Hal yang menjadi masalah
adalah polusi NO yang diproduksi oleh kegiatan manusia karena jumlahnya akan
meningkat hanya pada tempat-tempat tertentu.
Oksida nitrogen yang umum dijumpai di udara dalam bentuk nirogen
dioksida dan nitrogen monoksida. Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat
yang berbeda dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Udara yang mengandung gas
NO dalam batas normal relatif aman dan tidak berbahaya, kecuali bila gas NO
15

berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Konsentrasi gas NO yang tinggi
dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejang-
kejang. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi oleh
oksigen sehingga menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali
lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap
pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang terkontaminasi oleh gas
NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat
mengakibatkan kematian (Kannan, 1997).
Udara yang tercemar oleh gas nitrigen oksida dapat menyebabkan bintik-
bintik pada permukaan daun tanaman. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat
menyebabkan nekrosis atau kerusakan pada jaringan daun.
NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog atau asap dan kabut)
dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil
(yang mudah menguap) membentuk ozon dan oxidan lainnya seperti
peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia. Bila bersamaan dengan air
hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan hujan asam.
Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan
kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang
tua, dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang.
Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel
aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan bumi) dapat membahayakan tanaman,
pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki
danau dan sungai lalu melepaskan logam aluminium dari tanah serta mengubah
komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan
memusnahkan kehidupan air. Oksida nitrogen diproduksi terutama dari proses
pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batu bara dan gas alam.

2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor


Pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi yang merupakan
sumber dominan pencemaran di DKI Jakarta, harus mencakup upaya-upaya
pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat
emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang
16

mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap
kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh atau (2) penurunan jumlah
dan kerapatan total kendaraan didalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001).
Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial
yang akan timbul adalah sekecil mungkin.
Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang
luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana
transportasi serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang
menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara
perkotaan adalah (Eggleston, 2000; Sukarto, 2004):
- Tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada
- Pola mengemudi (driving pattern)
- Jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor.
Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan ditunjukkan dengan garis
terputus pada diagram dalam Gambar 5. Pengendalian yang paling baik diarahkan
kepada pengendalian penyebabnya.
Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara
parsial dilakukan dengan cara pembatasan minimum penumpang kendaraan atau
pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu,
misalnya kawasan three in one dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan
jumlah berat tertentu di DKI Jakarta. Namun perlu diperhatikan bahwa
pengendalian kepadatan lalu lintas disuatu kawasan tanpa upaya mengurangi
volume kendaraan secara keseluruhan tidak akan mengurangi emisi gas buang
total karena yang terjadi adalah pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan
ke ruas jalan lain.
Pada saat ini upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Khusus DKI Jakarta
dalam rangka pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah :
1. Sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor
2. Penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum
17

Variabel Perencanaan Sistem


Ekonomi Kota Transportasi

Pola
Lalu lintas

BBM

Jumlah Jumlah trip


Kendaraan (Kend/km)

Faktor Emisi

PENGENDALIAN Emisi Pencemar

Meteorologi Dispersi Difusi

Baku Mutu Konsentrasi

Reseptor

Gambar 5 Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor


Sumber USEPA, 1976 dalam Soedomo, 2001

2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan Bermotor


Salah satu strategi pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor
yang dilakukan di berbagai negara maju maupun berkembang adalah sistem
pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor (sistem P dan P) atau
dikenal dengan istilah I/M System. Sistem P dan P adalah cara untuk melihat
18

apakah sistem kontrol emisi pada kendaraan berjalan dengan benar atau tidak.
Tujuan dari sistem P&P ini adalah untuk mengidentifikasi kendaraan-kendaraan
yang beroperasi yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO,
HC dan opasitas. Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut
dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.
Secara umum terdapat tiga struktur (tipe) sistem P dan P, yaitu
sentralisasi, desentralisasi dan kombinasi (NAP, 2001).
a. Tipe sentralisasi atau terpusat adalah pengujian yang dilakukan di berbagai
tempat yang dikelola oleh satu atau dua operator (pemerintah atau swasta)
b. Tipe desentralisasi adalah pengujian emisi dilaksanakan di berbagai tempat
yang dikelola oleh banyak operator. Biasanya operator pemeriksaan adalah
bengkel-bengkel yang tersebar di berbagai tempat dan perawatan pun dapat
dilakukan di bengkel yang sama.
c. Tipe kombinasi adalah merupakan kombinasi kedua tipe sentralisasi dan
desentralisasi.
Di DKI Jakarta, sistem P&P mulai di perkenalkan pada masyarakat tahun
1997 atas dukungan Clean Air Project Swisscontact melalui uji emisi yang
dilakukan dijalan atau tempat tertentu (Spot check). Kemudian pada tahun 2000
diterbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 95/2000 tentang Pemeriksaan
Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta.
Kebijakan tersebut mewajibkan setiap kendaraan pribadi melakukan pemeriksaan
emisi satu tahun sekali pada bengkel yang sudah diakreditasi. Apabila emisinya
melebihi ambang batas yang ada maka pemilik kendaraan diharuskan melakukan
perawatan kendaraannya hingga emisinya memenuhi nilai ambang batas.

2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar pada Kendaraan Umum


Sejarah perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor
transportasi di DKI Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi
pilot project nasional. Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan
pelaksanaan konversi 300 taksi di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan
menjadi ± 4.500 kendaraan dalam waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan
sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan
19

pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit. Setelah itu, jumlahnya turun drastis,
dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002, bahkan menjadi hanya 534 unit pada
tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan teknis yang dialami
Perusahaan umum Pengangkutan Djakarta (PPD) dalam mengoperasikan bus
berbahan bakar gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit,
dan habis sama sekali di tahun 2004.
Pada saat ini strategi penerapan pemanfaatan bahan bakar gas untuk
kendaraan umum akan diterapkan kepada armada busway khususnya koridor 2
dan seterusnya diwajibkan telah menggunakan BBG, sedangkan untuk busway
koridor 1 perlu diupayakan secara bertahap. Penetapan target sasaran mobil
penumpang umum dibakukan secara bertahap dengan berorientasi kepada point to
point terminal sesuai dengan ketersediaan BBG dan lokasi SPBG.
Peningkatan jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas juga perlu ditunjang
oleh bengkel-bengkel instalasi dengan memanfaatkan bengkel-bengkel yang telah
ada, menyusun mekanisme perijinan dan pengawasannya serta mendidik teknisi-
teknisi yang profesional.
Program yang ditetapkan dalam pemanfaatan BBG untuk transportasi di
bidang kendaraan meliputi:
a. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan BBG oleh
angkutan umum dan kendaraan operasional Pemda DKI Jakarta (berdasarkan
Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara Nomor 2 Tahun
2005 Pasal 20).
b. Pemberian insentif penggunaan BBG oleh angkutan umum Dz`engan kegiatan
berupa penyusunan kebijakan tentang pemberian insentif kepada pengusaha
angkutan umum serta mekanismenya untuk konversi ke BBG
c. Penyusunan mekanisme perijinan bengkel pemasangan dan perawatan
peralatan konversi dengan kegiatan berupa Penyusunan kriteria bengkel dan
mekanisme pemberian ijin bengkel pemasangan dan perawatan peralatan
konversi
d. Peningkatan pengetahuan teknisi bengkel pemasangan dan perawatan
peralatan konversi yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Penyusunan materi pelatihan teknisi
20

b. Pelaksanaan pelatihan teknisi


e. Sosialisasi tentang pemanfaatan BBG untuk angkutan umum yang meliputi
kegiatan sebagai berikut:
a. Penyusunan konsep dan strategi sosialisasi
b. Penyusunan rencana pelaksanaan sosialisasi
c. Produksi materi sosialisasi
d. Pelaksanaan sosialisasi

2.8 Bahan Bakar Minyak


Bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan energi utama yang di
konsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian
energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat
dari sisi pemakaian BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar
(47%) dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikkan. Kemudian di
susul oleh sektor rumah tangga (22%), sektor industri (21%) dan pembangkit
listrik (10%). Peningkatan konsumsi BBM di sector transportasi berkaitan erat
dengan pertumbuhan jumlah kendaraan serta tergantung pada kondisi-kondisi
seperti: pola lalu lintas, kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan, pola
mengemudi dan prasarana jalan (Hidayat, 2005).

2.8.1 Bensin
Jenis bahan bakar minyak bensin merupakan nama umum untuk beberapa
jenis BBM yang diperuntukkan bagi mesin dengan jenis pembakaran
menggunakan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis
bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu pembakaran ini
dihitung berdasarkan nilai RON (randon octane number). Berdasarkan RON
tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Premium (RON 88), merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna
kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna
tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar
kendaraan bermotor bermesin bensin seperti mobil, sepeda motor, dan lain-lain.
b. Pertamax (RON 92), merupakan bahan bakar dengan stabilitas oksidasi tinggi
21

dan kandungan olefin, aromatik dan benzen pada level yang rendah sehingga
menghasilkan pembakaran tang lebih sempurna pada mesin. Pertamax ditujukan
untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi
dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan
yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi
setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converter.
c. Pertamax Plus (RON 95), merupakan bahan bakar dengan kandungan energi
tinggi. Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance international world fuel
charter (WWFC). Pertamax plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang
memiliki kompresi ratio >10,5 dan juga yang menggunakan teknologi electronic
fuel injection, variable valve timing intelligent, turbocharge dan catalytic
converter (Bphmigas, 2005).

2.8.2 Solar
High speed diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka
Performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin
transportasi jenis diesel dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump)
dan electronic injection . Penggunaan jenis BBM ini adalah untuk transportasi dan
mesin industri. Berikut ini memperlihatkan properti dari minyak solar (Bphmigas,
2005).

2.9. Bahan Bakar Gas


Bahan Bakar Gas adalah gas bumi yang telah dimurnikan dan aman, bersih,
andal, murah. BBG digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Komposisi BBG sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana kurang lebih
90% dan selebihnya adalah gas propana, butana, nitrogen dan karbondioksida.
BBG lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya
nilai oktan 120 (Bphmigas,2003)
Gas alam terkompresi (compressed natural gas, CNG) adalah alternatif
bahan bakar selain bensin atau solar. Di Indonesia, kita mengenal CNG sebagai
bahan bakar gas (BBG). Bahan bakar ini dianggap lebih 'bersih' bila dibandingkan
dengan dua bahan bakar minyak karena emisi gas buangnya yang ramah
22

lingkungan. CNG dibuat dengan melakukan kompresi metana (CH4) yang


diekstrak dari gas alam. CNG disimpan dan didistribusikan dalam bejana tekan,
biasanya berbentuk silinder.
Argentina dan Brazil di Amerika Latin adalah dua negara dengan jumlah
kendaraan pengguna CNG terbesar berdasarkan laporan kajian bahan bakar gas
untuk transportasi, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral tahun 2003.
Konversi ke CNG difasilitasi dengan pemberian harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan bahan bakar cair (bensin dan solar), peralatan konversi yang
dibuat lokal dan infrastruktur distribusi CNG yang terus berkembang. Sejalan
dengan semakin meningkatnya harga minyak dan kesadaran lingkungan, CNG
saat ini mulai digunakan juga untuk kendaraan penumpang dan truk barang
berdaya ringan hingga menengah.
CNG bukanlah barang baru di Indonesia. Pencanangan untuk menggunakan
CNG yang harganya lebih murah dan lebih bersih lingkungan dari pada bahan
bakar minyak (BBM) sudah dilakukan sejak tahun 1986. Pada saat itu ditetapkan
bahwa 20 persen dari armada taksi harus memakai CNG. Namun, karena pada
saat itu harga BBM masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM
terdapat di mana-mana, maka minat untuk menggunakannya tidak sempat
membesar.
CNG terkadang dianggap sama dengan LNG. Walaupun keduanya sama-
sama gas alam, perbedaan utamanya adalah CNG adalah gas terkompresi
sedangkan LNG adalah gas dalam bentuk cair. CNG secara ekonomis lebih murah
dalam produksi dan penyimpanan dibandingkan LNG yang membutuhkan
pendinginan dan tangki kriogenik yang mahal. Akan tetapi CNG membutuhkan
tempat penyimpanan yang lebih besar untuk sejumlah massa gas alam yang sama
serta perlu tekanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu pemasaran CNG lebih
ekonomis untuk lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber gas alam. CNG juga
perlu dibedakan dari LPG, yang merupakan campuran terkompresi dari propana
(C3H8) dan butana (C4H10) (Wikipedia, 2008)
Bahan bakar gas memiliki emisi karbon monoksida (CO) yang lebih rendah,
hampir tidak memancarkan partikulat dan telah mengurangi senyawa organik
yang mudah menguap (VOC). Per unit energi, bahan bakar gas mengandung lebih
23

sedikit karbon dibanding bahan bakar fosil lain, mendorong ke arah emisi gas
karbon dioksida yang lebih rendah (CO2) per kilometer jalannya kendaraan. Emisi
cold-start dari Kendaraan BBG juga rendah, karena pengayaan cold-start tidaklah
diperlukan, dan ini mengurangi baik hidro- karbon non metana (NMHC) dan
emisi CO. Pengurangan emisi yang spesifik untuk kendaraan BBG dibandingkan
dengan bensin adalah (GTZ, 2003):
• CO, 60-80%
• gas organik non metana (NMOG), 87%
• NOx, 50-80%
• CO2, sekitar 20%
• Reaktifitas produksi ozon, 80-90%

2.10 Inventory Emisi


Inventory emisi merupakan kumpulan informasi secara kuantitas tentang
pencemaran udara dari keseluruhan sumber yang berada pada suatu wilayah
geografis selama periode waktu tertentu. Inventori emisi menyediakan informasi
dari semua sumber emisi beserta lokasi, ukuran, frekuensi, durasi waktu, serta
konstribusi relatif emisi. Inventori emisi tersebut nantinya dapat digunakan
sebagai dasar acuan untuk tindakan pencegahan terhadap pencemaran udara pada
masa yang akan datang serta membantu dalam menganalisa aktivitas yang
berperan dalam peningkatan pencemaran di area geografis dalam studi yang
dilakukan (Canter, 1996).
Inventory emisi menyajikan perhitungan kuantitas suatu kontaminan yang
diemisikan oleh sumber tertentu dan dikombinasikan dengan emisi yang berasal
dari sumber lainnya. Metodologi dasar dari inventori emisi menggunakan rata-rata
emisi untuk setiap aktivitas yang didasarkan pada kuantitas penggunaan material
seperti bahan bakar. Penting untuk diperhatikan bahwa inventori emisi
menampilkan perhitungan rata-rata emisi dalam periode waktu tertentu dan tidak
mengidikasikan emisi yang aktual dalam satuan hari (Wilton, 2001).
24

Sasaran utama dari inventory emisi adalah untuk menganalisa sumber


buangan yang mengemisikan kontaminan ke dalam atmosfer. Inventori emisi
dapat memberikan indikasi tentang kondisi udara di lingkungan dan gambaran
kualitas udara yang ada. Inventory emisi jika dikaitkan dengan instrumen
pengelolaan kualitas udara, dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber
permasalahan mengenai kualitas udara dan membantu dalam mengidentifikasi
alternatif pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran udara.
Inventori emisi merupakan komponen penting dari sekian banyak strategi
pengelolaan kualitas udara. Komponen atau instrumen lainnya dalam strategi
pengelolaan kualitas udara antara lain pemantauan, pembuatan tujuan kualitas
udara, analisa dampak meteorologi, serta analisa biaya-manfaat.
Inventory emisi juga diperlukan untuk penentuan perencanaan yang
mencakup identifikasi konstributor utama, menentukan tingkat pengendalian dan
sebagai dasar pengembangan strategi pengendalian. US EPA (2004)
mengungkapkan bahwa inventori emisi diperlukan guna penentuan perijinan suatu
kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan pada suatu wilayah tertentu
seperti penentuan terhadap attainment status suatu wilayah. Selain itu inventori
emisi diperlukan untuk sumber informasi publik yang bersifat terbuka mengenai
status kondisi kualitas udara dan sebagai alat untuk melacak emisi-emisi
sepanjang waktu. Melalui inventori emisi dapat diketahui dimana polusi udara
diemisikan, berapa besar emisi yang dikeluarkan oleh setiap sumber dan sumber
mana yang lebih efektif dan menjadi skala prioritas untuk dilakukan pengendalian
emisinya. Perhitungan emisi yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan data
dasar atau indeks dari operasi suatu sistem seperti jumlah dan kandungan material
dari energi yang digunakan, proses alamiah, sistem penanganan kontrol emisi
yang digunakan, perhitungan keseimbangan massa, dan perhitungan berdasarkan
faktor emisi. Inventory emisi biasanya mencakup dua komponen data penting
yaitu mencakup data kategori polutan dan data kategori sumber emisi.
berdasarkan acuan dari US EPA (1972), pembuatan inventory emisi mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Klasifikasi semua polutan dan sumber emisi pada lokasi yang dimaksud
25

2. Identifikasi dan mendapatkan informasi mengenai faktor emisi untuk tiap


polutan dan sumber
3. Memperkirakan kuantitas informasi unit produksi
4. Perhitungan rata-rata untuk tiap polutan yang diemisikan ke atmosfer
5. Menyimpulkan emisi polutan yang spesifik untuk masing-masing sumber yang
teridentifikasi
Inventory emisi dapat digunakan pada keseluruhan area geografis, akan
tetapi dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan
dengan pembaruan informasi termasuk faktor emisi, perubahan informasi (sumber
yang hilang dan sumber yang baru), sehingga diperlukan pengecekan atau
pengawasan secara periodik terhadap ketersediaan berbagai informasi serta
perubahan-perubahan dalam pembuatan inventory emisi (Canter, 1996).
Menurut IPCC (2006), pelaksanaan inventory harus dapat memberikan
jaminan kualitas mulai dari pengumpulan data sampai pada pelaporan. Indikator
dari kualitas inventori meliputi beberapa hal, yaitu :
a. Transparansi. Pihak di luar pelaksana inventory dapat mengerti tentang
bagaimana inventori dilaksanakan dan mudah untuk diaplikasikan dalam skala
nasional
b. Kelengkapan. Semua pengukuran yang berdasar pada sumber, parameter gas
dan lokasi harus dilaporkan secara lengkap termasuk adanya komponen-
komponen yang terlewatkan selama melakukan inventory
c. Konsistensi. Inventory yang digunakan untuk mengetahui pola tahunan harus
dihitung berdasarkan metode dan sumber data yang tetap setiap tahunnya
sehingga mampu memberikan gambaran fluktuasi dari emisi yang dihasilkan
d. Perbandingan. Inventory emisi yang dilakukan harus dapat dibandingkan
dengan inventori emisi di kota atau negara lain untuk skala yang sama
e. Akurasi. Adanya over/under estimate dalam perhitungan inventory emisi harus
dapat dipertanggungjawabkan.
Pembaruan data inventory emisi perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya
setiap dua tahun. Tujuan dan kegunaan pembaruan data inventory emisi adalah:
• Pengkajian kualitas udara
• Pengamatan kecenderungan emisi
26

• Input pemodelan kualitas udara


• Mengevaluasi skenario di masa yang akan datang, seperti memperkirakan
dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara,
dampak adanya sumber pencemaran baru, atau skenario penurunan emisi
• Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau
kualitas udara (Bappenas, 2006)
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara


Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau lebih
kontaminan/polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan lama waktu
keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian pada manusia, tumbuhan kehidupan
binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan kenyamanan
dalam melakukan aktivitas hidup. Materi yang diemisikan ke atmosfer oleh
aktivitas manusia maupun secara alami merupakan penyebab beberapa masalah
lingkungan seperti hujan asam, penurunan kualitas udara pemanasan global,
rusaknya infrastruktur bangunan, pengurangan lapisan ozon dan pemaparan
ekosistem oleh bahan beracun (Canter, 1996).

2.2 Sumber Pencemar Udara


Sumber pencemar udara dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis sumber
frekuensi terjadinya, distribusi spasial dan jenis emisi. Berdasarkan jenis sumber
pencemar maka dapat dibedakan menjadi sumber yang terjadi secara alami dan
sumber yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sumber alami meliputi letusan
gunung berapi, penyerbukan tanaman, kebakaran hutan dan lain sebagainya
sedangkan sumber yang berasal dari aktivitas manusia seperti sektor transportasi
proses industri, pembangkit energi, aktivitas konstruksi, dan aktivitas latihan
militer. Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan atas
beberapa kategori antara lain sumber titik seperti cerobong industri serta sumber
garis yang merupakan sumber pencemar yang begerak seperti aktivitas kendaraan
bemotor. Selain itu juga terdapat sumber area seperti emisi debu dari lokasi
konstruksi dan aktivitas pelatihan militer yang semuanya terjadi dalam satu lokasi
geografis tertentu (Canter, 1996).
8

2.3 Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor


Permasalahan lingkungan yang kerap mengancam kota-kota besar di
Indonesia saat ini adalah pencemaran udara terutama yang bersumber dari
kendaraan bermotor. Hal ini dibuktikan oleh beberapa hasil kajian seperti The
Study on the Integrated Air Quality Management for Jakarta Area (JICA, 1997),
Urban Air Quality Management Strategy in Asia : Jakarta report (Word Bank,
1997) dan The Integrated Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater
Jakarta (Syahril et al., 2002) bahwa sektor transportasi memberikan kontribusi
yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan khususnya di wilayah
aglomerasi Jakarta. Sektor transportasi menyumbang 69% dari total pencemar
NOx, 15% dari total pencemar SO2 dan 40% dari total pencemar PM10 untuk tahun
1995 (JICA, 1997). Sementara itu laporan kajian lain menyebutkan 73% dari total
NOx dan 15% dari total PM10 (Worldbank, 1997) dan studi terakhir pada tahun
2002 menyimpulkan bahwa 76% dari total NOx, 17% dari total SO2 dan 55% dari
total PM10 berasal dari kendaraan bermotor (Suhadi dan Damantoro, 2005).
Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta tahun 2005 memperkirakan bahwa
pada tahun 2014 jumlah kendaraan roda empat akan mencapai tiga juta unit ; pada
waktu bersamaan rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan
mencapai titik jenuh. Artinya diperkirakan akan terjadi kemacetan total diruas-
ruas jalan di DKI Jakarta mulai tahun 2014.
Masalah sumber pencemar udara dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta
tidak terlepas dari kontribusi sumber pencemar dari wilayah Bodetabek karena
pada saat ini sekitar 1,3 juta penduduk yang bertempat tinggal di wilayah
Bodetabek melakukan perjalanan dari dan ke Jakarta setiap hari. Volume
pergerakan kendaraan di wilayah Jabodetabek paling tinggi adalah pergerakan
dari Bekasi ke Jakarta (dan sebaliknya) dibandingkan dari daerah Tangerang dan
Bogor atau Depok (Tabel 1).
9

Tabel 1. Volume pergerakan komuter di Jabodetabek


Volume Pergerakan
Arah Pergerakan
(kendaraan/hari)
DKI Jakarta – Tangerang 412.543
DKI Jakarta – Bogor/Depok 424.219
DKI Jakarta - Bekasi 499.198
Sumber : JICA, 2004
Motorisasi semakin membuat moda transportasi tidak bermotor menjadi
rentan dan marginal. Tidak hanya angka kecelakaan yang meningkat, dampak
motorisasi juga menyebabkan kemacetan, pecemaran udara dan kebisingan,
tingginya konsumsi bahan bakar, dan berkurangnya infrastruktur kota dan lahan
terbuka hijau untuk kualitas hidup masyarakat kota yang lebih baik.
Kepadatan lalu lintas menyebabkan rata-rata kecepatan menurun dari 38,3
km/jam pada tahun 1995 menjadi 34,5 km/jam pada tahun 2002 (JICA, 2004).
Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan kendaraan tidak dapat
beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan yang menghasilkan emisi gas
buang minimum. Emisi gas buang ini dapat berupa pencemar SO2, NOx, CO, HC,
debu, timbal (Pb) dan gas pembentuk efek rumah kaca seperti metana (CH4),
dinitrogen oksida (N2O) dan yang paling besar adalah karbon dioksida (CO2).
(Gorham, 2002). Pada Gambar 2 disampaikan kecepatan rata-rata kendaraan
mobil penumpang di jalan utama di DKI Jakarta.

Gambar 2 Kecepatan rata-rata mobil penumpang di jalan-jalan utama di Jakarta


Sumber : JICA, 2004
10

2.4 Karbon Monoksida (CO)


Gas CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar yang
tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak
menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui pernapasan
dan diabsorpsi di dalam darah. Karbon monoksida akan mengikat hemoglobin
(yang berfungsi untuk mengangkut oksigen ke seluruh tubuh) menjadi
carboxyhaemoglobin. Gas CO mempunyai kemampuan mengikat haemoglobin
sebesar 240 kali lipat kemampuannya mengikat oksigen (O2). Secara langsung hal
ini akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,sehingga
melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah yang
didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat menyebabkan
pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi (>2000 ppm) dapat
menyebabkan kematian.
Selain dari bahan bakar, CO juga dihasilkan dari pembakaran produk-produk
alam dan sintesis, termasuk rokok. Dalam proses industri, karrbon monoksida
digunakan dalam jumlah kecil saja (Kannan, 1995). CO dihasilkan dari
pembakaran material yang mengandung karbon seperti bensin, gas alam, batu
bara, kayu dan sebagainya. CO merupakan produk yang tidak diinginkan dalam
proses pembakaran. Ia diproduksi dalam proses pembakaran dalam oksigen
dibawah jenuh yang melibatkan senyawa karbon. Sehingga jumlah CO yang
dihasilkan terutama tergantung dari perbandingan bahan bakar dan udara serta
tingkat pencampuran. Pada campuran yang ideal, emisi CO yang terbentuk akan
sedikit. Berikut ini disampaikan proses pembakaran dalam mesin kendaraan.
(Gambar 3).

Gambar 3 Proses pembakaran dalam mesin kendaraan


Sumber : UNEP, 2006
11

Karbon monoksida hanya larut ringan dalam air dan termasuk zat yang tidak
meracuni air. CO memiliki densitas yang kira-kira sama dengan udara. CO masuk
ke atmosfir melalui gas buang dan akan cepat teroksidasi membentuk CO2. CO
berbahaya karena tingkat toksisitasnya yang tinggi terhadap manusia dan hewan.
Waktu tinggal CO di atmosfir antara 1 sampai 2 bulan. Waktu paruh CO
terikat dalam darah kira-kira 250 menit. Konsentrasi CO dapat meningkat di
sepanjang jalan raya yang padat lalu lintas dan menyebabkan pencemar lokal.

Data kimiawi dan sifat fisik dari CO adalah sebagai berikut :


Rumus Empiris : CO
Berat Molekul Relatif : 28,01 gram
Densitas : 1,25 g/l pada 0 oC
Densitas Gas Relatif : 0,97
Titik didih : -191,5 oC
Titik Leleh : -199 oC
Temperatur nyala : 605 oC
Batas Meledak : 12,5 - 74 vol %
Tekanan Meledak Maksimum : 7,3 x 105 Pa
Faktor Konversi : 1 ppm = 1,164 mg/m3
1 mg/m3 = 0,859 ppm

2.5 Partikel Debu (PM10)


Partikel adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap, debu dan
uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Ukuran partikel
antara 0,1 mikron hingga 100 mikron. Di samping mengganggu estetika, partikel
berukuran kecil di udara dapat terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan
menyebabkan penyakit gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru.. Partikel
yang terhisap ke dalam sistem pernafasan akan disisihkan tergantung dari
diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada saluran pernafasan atas,
sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk ke paru-paru dan bertahan di
dalam tubuh dalam waktu yang lama (Gambar 4).
Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10µm (PM10).
PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang disebabkan oleh
penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140 µg/m3 dapat menurunkan
12

fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat
memperparah kondisi penderita bronkhitis. Toksisitas dari partikel inhalable
tergantung dari komposisinya. Partikel juga merupakan sumber utama haze (kabut
asap) yang menurunkan visibilitas. Partikel debu yang melayang dan berterbangan
dibawa angin akan menyebabkan iritasi pada mata dan dapat menghalangi
pemandangan (mengurangi batas pandang).

Gambar 4 Struktur pernapasan dalam tubuh manusia


Sumber : Colls, 2002
13

Adanya cacahan logam beracun yang terdapat dalam partikel di udara


merupakan bahaya yang cukup besar bagi kesehatan. Udara yang tercemar pada
umumnya hanya mengandung logam berbahaya sekitar 0,01 sampai dengan 0,03
mikron dan seluruh partikel di udara, akan tetapi logam tersebut bersifat
akumulatif dan kemungkinan dapat terjadi reaksi synergistic dalam jaringan tubuh
manusia.
Ada beberapa jenis logam yang terkandung dalam partikel udara,
diantaranya ada 4 (empat) jenis logam berat yang dianggap berbahaya bagi
kesehatan yaitu timah hitam/timbal (Pb), cadmium (Cd), nikel (Ni), dan merkuri
(Hg). Keempat jenis partikel logam tersebut umumnya akan mengganggu sistem
pernapasan, penyakit paru-paru, kanker paru-paru, serta radang otak.
Menurut Hodges (1976) dalam Satudju (1991), terdapat empat tingkat
penyakit yang dihasilkan oleh bahan partikel di udara, yaitu:
• Bronchitis kronis, kerusakan pada tabung bronchial yang tetap atau
permanen, produksi mukus yang berlebihan sehingga mengakibatkan batuk
yang kronis.
• Bronchial asthma, bahan-bahan asing yang berupa timah yang memberikan
reaksi alergi pada bronchial membran yang hebat, dan menyebabkan
pernapasan pendek dan berbunyi.
• Emphysema, pengerutan bronchiole yang menyebabkan transfer oksigen ke
dalam darah berkurang serta menyebabkan pernapasan menjadi pendek dan
kronis.
• Kanker paru-paru, (lung cancer), diakibatkan beberapa partikel yang
terdapat di atmosfer yang tercemar dan kebanyakan terdapat di wilayah
perkotaan, yaitu partikel debu logam, asbestos, aromatik hidrokarbon
(carcinogen 3, benzylphyrene). Tetapi konsentrasi partikel-partikel tersebut
sangat kecil.
14

2.6 Nitrogen Oksida (NOx)


NOx adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfir terdiri atas NO dan
NO2. Walaupun bentuk nitrogen oksida lainnya ada, tetapi kedua gas ini paling
banyak ditemui sebagai polutan udara. NO merupakan gas yang tidak berwarna
dan berbau, sebaliknya NO2 mempunyai warna coklat kemerahan dan berbau
tajam. Pembentukan NO dan NO2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di
udara sehingga membentuk NO, kemudian reaksi antara NO dengan lebih banyak
oksigen membentuk NO2 (Fardiaz, 1992). Persamaan reaksinya adalah sebagai
berikut :

N2 + O2 2 NO
2NO + O2 2NO2

Udara terdiri dari sekitar 80 % volume nitrogen dan 20 % volume oksigen.


Pada suhu kamar kedua gas ini hanya sedikit mempunyai kecenderungan untuk
bereaksi satu sama lain. Pada suhu yang lebih tinggi (diatas 1210 oC) keduanya
dapat bereaksi membentuk NO dalam jumlah lebih tinggi mengakibatkan polusi
udara. Dalam proses pembakaran, suhu yang digunakan biasanya mencapai
121 oC-1765 oC dengan adanya udara, oleh karena itu reaksi merupakan sumber
NO yang penting. Jadi reaksi pembentukan NO merupakan hasil samping dalam
proses pembakaran.
Dari seluruh jumlah NO yang dibebaskan ke atmosfer, jumlah yang
terbanyak adalah dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktifitas bakteri. Akan
tetapi polusi NO dari sumber alam ini tidak merupakan masalah karena tersebar
secara merata sehingga jumlahnya menjadi kecil. Hal yang menjadi masalah
adalah polusi NO yang diproduksi oleh kegiatan manusia karena jumlahnya akan
meningkat hanya pada tempat-tempat tertentu.
Oksida nitrogen yang umum dijumpai di udara dalam bentuk nirogen
dioksida dan nitrogen monoksida. Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat
yang berbeda dan sangat berbahaya bagi kesehatan. Udara yang mengandung gas
NO dalam batas normal relatif aman dan tidak berbahaya, kecuali bila gas NO
15

berada dalam konsentrasi yang sangat tinggi. Konsentrasi gas NO yang tinggi
dapat menyebabkan gangguan pada sistem syaraf yang mengakibatkan kejang-
kejang. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi oleh
oksigen sehingga menjadi gas NO2. Sifat racun (toksisitas) gas NO2 empat kali
lebih kuat daripada toksisitas gas NO. Organ tubuh yang paling peka terhadap
pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru yang terkontaminasi oleh gas
NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat
mengakibatkan kematian (Kannan, 1997).
Udara yang tercemar oleh gas nitrigen oksida dapat menyebabkan bintik-
bintik pada permukaan daun tanaman. Pada konsentrasi lebih tinggi dapat
menyebabkan nekrosis atau kerusakan pada jaringan daun.
NOx adalah kontributor utama smog (smoke dan fog atau asap dan kabut)
dan deposisi asam. Nitrogen oksida bereaksi dengan senyawa organik volatil
(yang mudah menguap) membentuk ozon dan oxidan lainnya seperti
peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia. Bila bersamaan dengan air
hujan, reaksi tersebut menghasilkan asam nitrat yang menyebabkan hujan asam.
Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena menyebabkan
kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada anak-anak dan orang
tua, dan berbagai gangguan sistem pernapasan, serta menurunkan jarak pandang.
Deposisi asam basah (hujan asam) dan kering (bila gas NOx membentuk partikel
aerosol nitrat dan terdeposisi ke permukaan bumi) dapat membahayakan tanaman,
pertanian, ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki
danau dan sungai lalu melepaskan logam aluminium dari tanah serta mengubah
komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan dan bahkan
memusnahkan kehidupan air. Oksida nitrogen diproduksi terutama dari proses
pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batu bara dan gas alam.

2.7 Pengendalian Pencemaran Udara dari Kendaraan Bermotor


Pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi yang merupakan
sumber dominan pencemaran di DKI Jakarta, harus mencakup upaya-upaya
pengendalian langsung maupun tak langsung yang dapat menurunkan tingkat
emisi dari kendaraan bermotor secara efektif. Ada dua pendekatan strategi yang
16

mungkin diterapkan, yaitu (1) penurunan laju emisi pencemar dari setiap
kendaraan untuk satu kilometer jalan yang ditempuh atau (2) penurunan jumlah
dan kerapatan total kendaraan didalam suatu daerah tertentu (Soedomo, 2001).
Pemilihan strategi yang terbaik diperlukan sehingga dampak ekonomi dan sosial
yang akan timbul adalah sekecil mungkin.
Pengendalian pencemaran udara perkotaan mempunyai implikasi yang
luas, mencakup aspek perencanaan kota, sistem lalu lintas, prasarana dan sarana
transportasi serta bahan bakar yang digunakan. Beberapa faktor penting yang
menyebabkan berpengaruhnya sistem lalu lintas terhadap pencemaran udara
perkotaan adalah (Eggleston, 2000; Sukarto, 2004):
- Tidak seimbangnya prasarana lalu lintas dengan jumlah kendaraan yang ada
- Pola mengemudi (driving pattern)
- Jenis, umur, karakteristik dan faktor perawatan kendaraan bermotor.
Usaha pengendalian yang mungkin dilakukan ditunjukkan dengan garis
terputus pada diagram dalam Gambar 5. Pengendalian yang paling baik diarahkan
kepada pengendalian penyebabnya.
Beberapa langkah disinsentif untuk mengurangi kepadatan lalu lintas secara
parsial dilakukan dengan cara pembatasan minimum penumpang kendaraan atau
pembatasan jenis kendaraan bermotor pada ruas jalan atau wilayah tertentu,
misalnya kawasan three in one dan pembatasan waktu melintas bagi truk dengan
jumlah berat tertentu di DKI Jakarta. Namun perlu diperhatikan bahwa
pengendalian kepadatan lalu lintas disuatu kawasan tanpa upaya mengurangi
volume kendaraan secara keseluruhan tidak akan mengurangi emisi gas buang
total karena yang terjadi adalah pengalihan volume kendaraan dari suatu ruas jalan
ke ruas jalan lain.
Pada saat ini upaya yang dilakukan Pemerintah Daerah Khusus DKI Jakarta
dalam rangka pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor adalah :
1. Sistem pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor
2. Penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum
17

Variabel Perencanaan Sistem


Ekonomi Kota Transportasi

Pola
Lalu lintas

BBM

Jumlah Jumlah trip


Kendaraan (Kend/km)

Faktor Emisi

PENGENDALIAN Emisi Pencemar

Meteorologi Dispersi Difusi

Baku Mutu Konsentrasi

Reseptor

Gambar 5 Konsep pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor


Sumber USEPA, 1976 dalam Soedomo, 2001

2.7.1 Sistem Pemeriksaan dan Perawatan Emisi Kendaraan Bermotor


Salah satu strategi pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor
yang dilakukan di berbagai negara maju maupun berkembang adalah sistem
pemeriksaan dan perawatan emisi kendaraan bermotor (sistem P dan P) atau
dikenal dengan istilah I/M System. Sistem P dan P adalah cara untuk melihat
18

apakah sistem kontrol emisi pada kendaraan berjalan dengan benar atau tidak.
Tujuan dari sistem P&P ini adalah untuk mengidentifikasi kendaraan-kendaraan
yang beroperasi yang tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO,
HC dan opasitas. Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut
dipersyaratkan untuk diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.
Secara umum terdapat tiga struktur (tipe) sistem P dan P, yaitu
sentralisasi, desentralisasi dan kombinasi (NAP, 2001).
a. Tipe sentralisasi atau terpusat adalah pengujian yang dilakukan di berbagai
tempat yang dikelola oleh satu atau dua operator (pemerintah atau swasta)
b. Tipe desentralisasi adalah pengujian emisi dilaksanakan di berbagai tempat
yang dikelola oleh banyak operator. Biasanya operator pemeriksaan adalah
bengkel-bengkel yang tersebar di berbagai tempat dan perawatan pun dapat
dilakukan di bengkel yang sama.
c. Tipe kombinasi adalah merupakan kombinasi kedua tipe sentralisasi dan
desentralisasi.
Di DKI Jakarta, sistem P&P mulai di perkenalkan pada masyarakat tahun
1997 atas dukungan Clean Air Project Swisscontact melalui uji emisi yang
dilakukan dijalan atau tempat tertentu (Spot check). Kemudian pada tahun 2000
diterbitkan Keputusan Gubernur DKI Jakarta nomor 95/2000 tentang Pemeriksaan
Emisi dan Perawatan Mobil Penumpang Pribadi di Provinsi DKI Jakarta.
Kebijakan tersebut mewajibkan setiap kendaraan pribadi melakukan pemeriksaan
emisi satu tahun sekali pada bengkel yang sudah diakreditasi. Apabila emisinya
melebihi ambang batas yang ada maka pemilik kendaraan diharuskan melakukan
perawatan kendaraannya hingga emisinya memenuhi nilai ambang batas.

2.7.2 Penggunaan Bahan Bakar pada Kendaraan Umum


Sejarah perkembangan pemanfaatan bahan bakar gas untuk sektor
transportasi di DKI Jakarta tidak terlepas dari posisi DKI Jakarta sebagai lokasi
pilot project nasional. Pemanfaatan gas untuk transportasi dimulai dengan
pelaksanaan konversi 300 taksi di tahun 1987. Jumlah ini meningkat perlahan
menjadi ± 4.500 kendaraan dalam waktu 10 tahun kemudian ditambah dengan
sekitar 40 bus besar. Puncaknya pada tahun 2000, pada saat jumlah kendaraan
19

pengguna gas mencapai angka ± 6.600 unit. Setelah itu, jumlahnya turun drastis,
dan hanya tersisa ± 2.500 di tahun 2002, bahkan menjadi hanya 534 unit pada
tahun 2004. Sementara itu, berkaitan dengan permasalahan teknis yang dialami
Perusahaan umum Pengangkutan Djakarta (PPD) dalam mengoperasikan bus
berbahan bakar gas, jumlah bus dimaksud pada tahun 2002 hanya tersisa 5 unit,
dan habis sama sekali di tahun 2004.
Pada saat ini strategi penerapan pemanfaatan bahan bakar gas untuk
kendaraan umum akan diterapkan kepada armada busway khususnya koridor 2
dan seterusnya diwajibkan telah menggunakan BBG, sedangkan untuk busway
koridor 1 perlu diupayakan secara bertahap. Penetapan target sasaran mobil
penumpang umum dibakukan secara bertahap dengan berorientasi kepada point to
point terminal sesuai dengan ketersediaan BBG dan lokasi SPBG.
Peningkatan jumlah kendaraan yang berbahan bakar gas juga perlu ditunjang
oleh bengkel-bengkel instalasi dengan memanfaatkan bengkel-bengkel yang telah
ada, menyusun mekanisme perijinan dan pengawasannya serta mendidik teknisi-
teknisi yang profesional.
Program yang ditetapkan dalam pemanfaatan BBG untuk transportasi di
bidang kendaraan meliputi:
a. Penyusunan Peraturan Gubernur tentang kewajiban penggunaan BBG oleh
angkutan umum dan kendaraan operasional Pemda DKI Jakarta (berdasarkan
Peraturan Daerah tentang Pengendalian Pencemaran Udara Nomor 2 Tahun
2005 Pasal 20).
b. Pemberian insentif penggunaan BBG oleh angkutan umum Dz`engan kegiatan
berupa penyusunan kebijakan tentang pemberian insentif kepada pengusaha
angkutan umum serta mekanismenya untuk konversi ke BBG
c. Penyusunan mekanisme perijinan bengkel pemasangan dan perawatan
peralatan konversi dengan kegiatan berupa Penyusunan kriteria bengkel dan
mekanisme pemberian ijin bengkel pemasangan dan perawatan peralatan
konversi
d. Peningkatan pengetahuan teknisi bengkel pemasangan dan perawatan
peralatan konversi yang meliputi kegiatan sebagai berikut:
a. Penyusunan materi pelatihan teknisi
20

b. Pelaksanaan pelatihan teknisi


e. Sosialisasi tentang pemanfaatan BBG untuk angkutan umum yang meliputi
kegiatan sebagai berikut:
a. Penyusunan konsep dan strategi sosialisasi
b. Penyusunan rencana pelaksanaan sosialisasi
c. Produksi materi sosialisasi
d. Pelaksanaan sosialisasi

2.8 Bahan Bakar Minyak


Bahan bakar minyak (BBM) masih merupakan energi utama yang di
konsumsi oleh masyarakat. Persentase konsumsinya terhadap total pemakaian
energi final merupakan yang terbesar dan terus mengalami peningkatan. Dilihat
dari sisi pemakaian BBM, sektor transportasi merupakan pemakai BBM terbesar
(47%) dengan proporsi setiap tahun selalu mengalami kenaikkan. Kemudian di
susul oleh sektor rumah tangga (22%), sektor industri (21%) dan pembangkit
listrik (10%). Peningkatan konsumsi BBM di sector transportasi berkaitan erat
dengan pertumbuhan jumlah kendaraan serta tergantung pada kondisi-kondisi
seperti: pola lalu lintas, kondisi teknis mesin dan peralatan kendaraan, pola
mengemudi dan prasarana jalan (Hidayat, 2005).

2.8.1 Bensin
Jenis bahan bakar minyak bensin merupakan nama umum untuk beberapa
jenis BBM yang diperuntukkan bagi mesin dengan jenis pembakaran
menggunakan pengapian. Di Indonesia terdapat beberapa jenis bahan bakar jenis
bensin yang memiliki nilai mutu pembakaran berbeda. Nilai mutu pembakaran ini
dihitung berdasarkan nilai RON (randon octane number). Berdasarkan RON
tersebut maka BBM bensin dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
a. Premium (RON 88), merupakan bahan bakar minyak jenis distilat berwarna
kekuningan yang jernih. Warna kuning tersebut akibat adanya zat pewarna
tambahan (dye). Penggunaan premium pada umumnya adalah untuk bahan bakar
kendaraan bermotor bermesin bensin seperti mobil, sepeda motor, dan lain-lain.
b. Pertamax (RON 92), merupakan bahan bakar dengan stabilitas oksidasi tinggi
21

dan kandungan olefin, aromatik dan benzen pada level yang rendah sehingga
menghasilkan pembakaran tang lebih sempurna pada mesin. Pertamax ditujukan
untuk kendaraan yang mempersyaratkan penggunaan bahan bakar beroktan tinggi
dan tanpa timbal (unleaded). Pertamax juga direkomendasikan untuk kendaraan
yang diproduksi diatas tahun 1990 terutama yang telah menggunakan teknologi
setara dengan electronic fuel injection dan catalytic converter.
c. Pertamax Plus (RON 95), merupakan bahan bakar dengan kandungan energi
tinggi. Jenis BBM ini telah memenuhi standar performance international world fuel
charter (WWFC). Pertamax plus sangat direkomendasikan untuk kendaraan yang
memiliki kompresi ratio >10,5 dan juga yang menggunakan teknologi electronic
fuel injection, variable valve timing intelligent, turbocharge dan catalytic
converter (Bphmigas, 2005).

2.8.2 Solar
High speed diesel (HSD) merupakan BBM jenis solar yang memiliki angka
Performa cetane number 45, jenis BBM ini umumnya digunakan untuk mesin
transportasi jenis diesel dengan sistem injeksi pompa mekanik (injection pump)
dan electronic injection . Penggunaan jenis BBM ini adalah untuk transportasi dan
mesin industri. Berikut ini memperlihatkan properti dari minyak solar (Bphmigas,
2005).

2.9. Bahan Bakar Gas


Bahan Bakar Gas adalah gas bumi yang telah dimurnikan dan aman, bersih,
andal, murah. BBG digunakan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor.
Komposisi BBG sebagian besar terdiri dari gas metana dan etana kurang lebih
90% dan selebihnya adalah gas propana, butana, nitrogen dan karbondioksida.
BBG lebih ringan dari udara dengan berat jenis sekitar 0,6036 dan mempunya
nilai oktan 120 (Bphmigas,2003)
Gas alam terkompresi (compressed natural gas, CNG) adalah alternatif
bahan bakar selain bensin atau solar. Di Indonesia, kita mengenal CNG sebagai
bahan bakar gas (BBG). Bahan bakar ini dianggap lebih 'bersih' bila dibandingkan
dengan dua bahan bakar minyak karena emisi gas buangnya yang ramah
22

lingkungan. CNG dibuat dengan melakukan kompresi metana (CH4) yang


diekstrak dari gas alam. CNG disimpan dan didistribusikan dalam bejana tekan,
biasanya berbentuk silinder.
Argentina dan Brazil di Amerika Latin adalah dua negara dengan jumlah
kendaraan pengguna CNG terbesar berdasarkan laporan kajian bahan bakar gas
untuk transportasi, Departemen Energi & Sumber Daya Mineral tahun 2003.
Konversi ke CNG difasilitasi dengan pemberian harga yang lebih murah bila
dibandingkan dengan bahan bakar cair (bensin dan solar), peralatan konversi yang
dibuat lokal dan infrastruktur distribusi CNG yang terus berkembang. Sejalan
dengan semakin meningkatnya harga minyak dan kesadaran lingkungan, CNG
saat ini mulai digunakan juga untuk kendaraan penumpang dan truk barang
berdaya ringan hingga menengah.
CNG bukanlah barang baru di Indonesia. Pencanangan untuk menggunakan
CNG yang harganya lebih murah dan lebih bersih lingkungan dari pada bahan
bakar minyak (BBM) sudah dilakukan sejak tahun 1986. Pada saat itu ditetapkan
bahwa 20 persen dari armada taksi harus memakai CNG. Namun, karena pada
saat itu harga BBM masih dianggap terjangkau dan stasiun pengisian BBM
terdapat di mana-mana, maka minat untuk menggunakannya tidak sempat
membesar.
CNG terkadang dianggap sama dengan LNG. Walaupun keduanya sama-
sama gas alam, perbedaan utamanya adalah CNG adalah gas terkompresi
sedangkan LNG adalah gas dalam bentuk cair. CNG secara ekonomis lebih murah
dalam produksi dan penyimpanan dibandingkan LNG yang membutuhkan
pendinginan dan tangki kriogenik yang mahal. Akan tetapi CNG membutuhkan
tempat penyimpanan yang lebih besar untuk sejumlah massa gas alam yang sama
serta perlu tekanan yang sangat tinggi. Oleh karena itu pemasaran CNG lebih
ekonomis untuk lokasi-lokasi yang dekat dengan sumber gas alam. CNG juga
perlu dibedakan dari LPG, yang merupakan campuran terkompresi dari propana
(C3H8) dan butana (C4H10) (Wikipedia, 2008)
Bahan bakar gas memiliki emisi karbon monoksida (CO) yang lebih rendah,
hampir tidak memancarkan partikulat dan telah mengurangi senyawa organik
yang mudah menguap (VOC). Per unit energi, bahan bakar gas mengandung lebih
23

sedikit karbon dibanding bahan bakar fosil lain, mendorong ke arah emisi gas
karbon dioksida yang lebih rendah (CO2) per kilometer jalannya kendaraan. Emisi
cold-start dari Kendaraan BBG juga rendah, karena pengayaan cold-start tidaklah
diperlukan, dan ini mengurangi baik hidro- karbon non metana (NMHC) dan
emisi CO. Pengurangan emisi yang spesifik untuk kendaraan BBG dibandingkan
dengan bensin adalah (GTZ, 2003):
• CO, 60-80%
• gas organik non metana (NMOG), 87%
• NOx, 50-80%
• CO2, sekitar 20%
• Reaktifitas produksi ozon, 80-90%

2.10 Inventory Emisi


Inventory emisi merupakan kumpulan informasi secara kuantitas tentang
pencemaran udara dari keseluruhan sumber yang berada pada suatu wilayah
geografis selama periode waktu tertentu. Inventori emisi menyediakan informasi
dari semua sumber emisi beserta lokasi, ukuran, frekuensi, durasi waktu, serta
konstribusi relatif emisi. Inventori emisi tersebut nantinya dapat digunakan
sebagai dasar acuan untuk tindakan pencegahan terhadap pencemaran udara pada
masa yang akan datang serta membantu dalam menganalisa aktivitas yang
berperan dalam peningkatan pencemaran di area geografis dalam studi yang
dilakukan (Canter, 1996).
Inventory emisi menyajikan perhitungan kuantitas suatu kontaminan yang
diemisikan oleh sumber tertentu dan dikombinasikan dengan emisi yang berasal
dari sumber lainnya. Metodologi dasar dari inventori emisi menggunakan rata-rata
emisi untuk setiap aktivitas yang didasarkan pada kuantitas penggunaan material
seperti bahan bakar. Penting untuk diperhatikan bahwa inventori emisi
menampilkan perhitungan rata-rata emisi dalam periode waktu tertentu dan tidak
mengidikasikan emisi yang aktual dalam satuan hari (Wilton, 2001).
24

Sasaran utama dari inventory emisi adalah untuk menganalisa sumber


buangan yang mengemisikan kontaminan ke dalam atmosfer. Inventori emisi
dapat memberikan indikasi tentang kondisi udara di lingkungan dan gambaran
kualitas udara yang ada. Inventory emisi jika dikaitkan dengan instrumen
pengelolaan kualitas udara, dapat digunakan untuk mengidentifikasi sumber
permasalahan mengenai kualitas udara dan membantu dalam mengidentifikasi
alternatif pengelolaan untuk menyelesaikan permasalahan pencemaran udara.
Inventori emisi merupakan komponen penting dari sekian banyak strategi
pengelolaan kualitas udara. Komponen atau instrumen lainnya dalam strategi
pengelolaan kualitas udara antara lain pemantauan, pembuatan tujuan kualitas
udara, analisa dampak meteorologi, serta analisa biaya-manfaat.
Inventory emisi juga diperlukan untuk penentuan perencanaan yang
mencakup identifikasi konstributor utama, menentukan tingkat pengendalian dan
sebagai dasar pengembangan strategi pengendalian. US EPA (2004)
mengungkapkan bahwa inventori emisi diperlukan guna penentuan perijinan suatu
kegiatan yang dapat berdampak terhadap lingkungan pada suatu wilayah tertentu
seperti penentuan terhadap attainment status suatu wilayah. Selain itu inventori
emisi diperlukan untuk sumber informasi publik yang bersifat terbuka mengenai
status kondisi kualitas udara dan sebagai alat untuk melacak emisi-emisi
sepanjang waktu. Melalui inventori emisi dapat diketahui dimana polusi udara
diemisikan, berapa besar emisi yang dikeluarkan oleh setiap sumber dan sumber
mana yang lebih efektif dan menjadi skala prioritas untuk dilakukan pengendalian
emisinya. Perhitungan emisi yang dihasilkan dapat dihitung berdasarkan data
dasar atau indeks dari operasi suatu sistem seperti jumlah dan kandungan material
dari energi yang digunakan, proses alamiah, sistem penanganan kontrol emisi
yang digunakan, perhitungan keseimbangan massa, dan perhitungan berdasarkan
faktor emisi. Inventory emisi biasanya mencakup dua komponen data penting
yaitu mencakup data kategori polutan dan data kategori sumber emisi.
berdasarkan acuan dari US EPA (1972), pembuatan inventory emisi mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:
1. Klasifikasi semua polutan dan sumber emisi pada lokasi yang dimaksud
25

2. Identifikasi dan mendapatkan informasi mengenai faktor emisi untuk tiap


polutan dan sumber
3. Memperkirakan kuantitas informasi unit produksi
4. Perhitungan rata-rata untuk tiap polutan yang diemisikan ke atmosfer
5. Menyimpulkan emisi polutan yang spesifik untuk masing-masing sumber yang
teridentifikasi
Inventory emisi dapat digunakan pada keseluruhan area geografis, akan
tetapi dalam pelaksanaannya perlu diperhatikan beberapa hal yang berkaitan
dengan pembaruan informasi termasuk faktor emisi, perubahan informasi (sumber
yang hilang dan sumber yang baru), sehingga diperlukan pengecekan atau
pengawasan secara periodik terhadap ketersediaan berbagai informasi serta
perubahan-perubahan dalam pembuatan inventory emisi (Canter, 1996).
Menurut IPCC (2006), pelaksanaan inventory harus dapat memberikan
jaminan kualitas mulai dari pengumpulan data sampai pada pelaporan. Indikator
dari kualitas inventori meliputi beberapa hal, yaitu :
a. Transparansi. Pihak di luar pelaksana inventory dapat mengerti tentang
bagaimana inventori dilaksanakan dan mudah untuk diaplikasikan dalam skala
nasional
b. Kelengkapan. Semua pengukuran yang berdasar pada sumber, parameter gas
dan lokasi harus dilaporkan secara lengkap termasuk adanya komponen-
komponen yang terlewatkan selama melakukan inventory
c. Konsistensi. Inventory yang digunakan untuk mengetahui pola tahunan harus
dihitung berdasarkan metode dan sumber data yang tetap setiap tahunnya
sehingga mampu memberikan gambaran fluktuasi dari emisi yang dihasilkan
d. Perbandingan. Inventory emisi yang dilakukan harus dapat dibandingkan
dengan inventori emisi di kota atau negara lain untuk skala yang sama
e. Akurasi. Adanya over/under estimate dalam perhitungan inventory emisi harus
dapat dipertanggungjawabkan.
Pembaruan data inventory emisi perlu dilakukan secara teratur, sedikitnya
setiap dua tahun. Tujuan dan kegunaan pembaruan data inventory emisi adalah:
• Pengkajian kualitas udara
• Pengamatan kecenderungan emisi
26

• Input pemodelan kualitas udara


• Mengevaluasi skenario di masa yang akan datang, seperti memperkirakan
dampak suatu rencana aksi pengelolaan terhadap perbaikan kualitas udara,
dampak adanya sumber pencemaran baru, atau skenario penurunan emisi
• Panduan untuk mengembangkan dan menyempurnakan jaringan pemantau
kualitas udara (Bappenas, 2006)
III. GAMBARAN WILAYAH STUDI

3.1 Gambaran Umum Provinsi DKI Jakarta


DKI Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia, yang terdiri dari lima
wilayah kota dan satu kabupaten administratif. Kelima kota tersebut adalah
Jakarta utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur dan Jakarta Selatan serta
Kabupaten Kepulauan Seribu. Letak Provinsi DKI Jakarta berada diantara 6o12’
Lintang Selatan dan 106o48’ Bujur Timur yang merupakan daerah daratan rendah
dengan ketinggian rata-rata ± 7 meter di atas permukaan laut. Luas wilayah
daratan 661,5 km2 dan lautan seluas 6.977,5 km2. Jakarta beriklim tropis dengan
suhu tahunan rata-rata 27oC dan kelembaban 80-90%. Karena terletak dekat
dengan garis katulistiwa, arah angin dipengaruhi oleh angin musim. Angin musim
barat bertiup antara November dan April sedangkan angin musim timur bertiup
antara Mei dan Oktober. Suhu harian di Jakarta dipengaruhi angin laut dan darat
karena lokasinya yang terletak dekat dengan pantai. Curah hujan rata-rata adalah
2.000 mm yang umumnya paling besar terjadi pada bulan Januari dan paling kecil
bulan September.

3.2 Kondisi Kependudukan, Ekonomi dan Transportasi


3.2.1 Kependudukan
Jumlah penduduk DKI Jakarta berdasarkan hasil survei sosial ekonomi
nasional tahun 2006 berjumlah 8.960.000 jiwa, dengan luas wilayah seluas 661,5
km2 berarti kepadatan penduduknya mencapai 13.500 jiwa/km2. Hal tersebut
menjadikan provinsi DKI Jakarta sebagai wilayah terpadat penduduknya di
Indonesia. Dari jumlah tersebut penduduk laki–laki lebih banyak dari pada
perempuan dengan sex ratio lebih dari angka 100 yaitu 100,10. Pendidikan
tertinggi yang ditamatkan oleh penduduk yang berusia lebih dari 10 tahun adalah
jenjang SLTA 35,23 %, SLTP 19,59 %, SD 20,95 % serta Universitas 12,33 %.
Tingkat pertumbuhan (kelahiran) penduduk pada tahun 2000-2005 menurun dari
1,21 % menjadi 1,11 % pada periode 2000–2006. Jumlah penduduk yang begitu
28

besar serta pendatang baru yang terus bertambah mengakibatkan penurunan


pertumbuhan tersebut tidak terlihat.
Selama ini Pemda DKI Jakarta terus melakukan upaya untuk menyusun
tata ruang perkotaan yang tepat dan memikirkan bagaimana memberi ruang hidup,
makanan, air bersih, pelayanan kesehatan, obat–obatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan dan prasarana transportasi serta berbagai kebutuhan lainnya kepada
penduduk DKI Jakarta. Sementara upaya transmigrasi penduduk juga terus-
menerus dilakukan.

3.2.2 Perekonomian
Perekonomian DKI Jakarta pada tahun 2006 tumbuh sebesar 5,90 %,
angka tersebut lebih kecil dibandingkan dengan tahun 2005 yang mencapai 6,01
%. Sektor–sektor yang menunjukan pertumbuhan tinggi pada periode tahun 2006
adalah sektor pengungkatan dan komunikasi sebesar 14,25 %, sektor bangunan
sebesar 7,12 %, sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 6,60 %.
Dibidang perekonomian pertumbuhan ekonomi pada masa yang akan
datang diharapkan akan tetap positif. Sebelum terjadinya krisis ekonomi,
pertumbuhan ekonomi provinsi DKI Jakarta mencapai rata–rata 7%-8 % pertahun,
kemudian selama puncak krisis tahun 1998 dan 1999, pertumbuhan mengalami
kontraksi masing–masing sebesar 17,5% dan -0,29 %. Kinerja ekonomi mulai
menunjukan pertumbuhan positif pada tahun 2000 dan 2001 yaitu mencapai
masing – masing 3,98 % dan 3,64%. Diharapkan untuk tahun 2002 sampai dengan
tahun 2007 tetap akan tercapai pertumbuhan positif antara 4 % hingga 6 % per
tahun. Hal ini pun masih akan tergantung pada seberapa jauh stabilitas politik,
penegakan hukum dan ketertiban masyarakat dapat dicapai dan diperlukan untuk
mendukung aktivitas ekonomi secara kondusif lima tahun kedepan. Selanjutnya
inflasi diharapkan dapat ditekan dibawah dua digit per tahun selama lima tahun
kedepan. Seperti telah diketahui, pada tahun 1998 telah terjadi hiper inflasi yang
mencapai 74,40 %, walaupun kemudian dapat ditekan menjadi sebesar 1,60%
pada tahun 1999. Tahun 2006 laju inflasi harga konsumen mencapai 6,03 % lebih
kecil daripada tahun 2005 yang sebesar 16,06 % (BPS, 2007)
29

3.2.3 Sistem Transportasi


Semenjak dihentikannya pengoperasian trem oleh pemerintah DKI Jakarta
era 1970an, bus sudah menjadi sarana transportasi umum yang penting disamping
sarana transportasi yang lain. Namun, selama 30 tahun lebih, porsi penggunaan
bus semakin menurun dibandingkan dengan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda
motor, dimana rasio kendaraan pribadi (92%) dan umum (8%) menjadi semakin
lebar perbedaannya), sehingga public transport share nya menurun dari sekitar
70% (tahun 1970-an) menjadi 57% (1985) dan 45% (2000) (Sutomo & Ammari,
2008). Adapun jenis kendaraan yang digunakan di DKI Jakarta adalah sebagai
berikut :
- Bajaj, bemo, toyoko (tricycle, pada umumnya memakai mesin 2 Tak)
- Sedan, jeep, taksi dan sejenisnya (termasuk yang berbahan bakar diesel)
- Mikrolet, APK, APB, KWK
- Metromini dan sejenisnya (berbahan bakar diesel)
- Bis besar
- Pick up, box kecil (untuk angkutan barang dalam kota)
- Truk sedang, besar, gandeng, peti kemas
- Sepeda motor (status kepemilikan pribadi dan dinas)

Gambar 6 memperlihatkan preferensi moda transportasi berdasarkan hasil


survei yang dilakukan di Jabodetabek. Preferensi dinilai dari tingkat kenyamanan,
keamanan, kecepatan, kesenangan, dan biaya. Misalnya, mobil pribadi memiliki
tingkat kenyamanan, keamanan, kesenangan, kecepatan, dan biaya yang lebih
tinggi dibandingkan dengan bis. Sedangkan sepeda motor memiliki tingkat
kecepatan yang sama dengan mobil pribadi, tetapi memiliki tingkat kenyamanan,
kesenangan, dan keamanan yang lebih rendah. Namun, tingkat biaya sepeda motor
sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan mobil pribadi. Hasil survei ini semakin
memperkuat alasan mengapa penggunaan kendaraan pribadi terus meningkat.
30

Gambar 6. Survei moda transportasi di JABOTABEK tahun 2002


Sumber : JICA, 2004

Kondisi kendaraan umum di Jakarta tahun 2007 sebanyak 22.476 bis kota
yang terdiri dari bis besar sebanyak 4.513 buah, bis sedang sejumlah 4.979 dan bis
kecil 12.984 buah (BPS, 2008). Sedangkan jumlah kendaraan pribadi yang
terdaftar di Polda Metro Jaya adalah 3,28 juta buah yang terdiri dari sepeda motor
dan mobil penumpang pribadi .

10000

8000
Panjang jalan (km)

6000

4000

2000

0
1998 1999 2000 2001 2002 2003
Tahun

Gambar 7 Panjang jalan di Provinsi DKI Jakarta


Sumber : BAPPENAS, 2006
31

Total panjang jalan di DKI Jakarta kurang lebih 10% dari total panjang jalan
di Pulau Jawa. Pada saat ini panjang jalan adalah 7.600 km atau sekitar 7% dari
luas wilayah kota. Walaupun pemerintah berupaya mengatasi persoalan
kemacetan dengan membangun jalan baru, memperlebar jalan, atau membangun
jalan tol, ternyata hal ini tidak memecahkan masalah bahkan semakin menambah
jumlah kendaraan di jalan raya yang akhirnya semakin menambah kemacetan.
Rasio panjang jalan yang rendah (pertumbuhan panjang jalan dan lebar jalan tidak
signifikan) seharusnya di atasi dengan penggunaan angkutan umum yang
berkapasitas angkut besar. Pola jaringan jalan di DKI Jakarta terdiri dari sistem
jaringan jalan lingkar, yaitu lingkar dalam (inner ring road) dan lingkar luar
(outer ring road) yang juga merupakan jaringan jalan arteri primer, jaringan radial
yang melayani kawasan di dalam inner ring road, dan jaringan jalan berpola grid
di wilayah sentra ekonomi.
Tahun 2004 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam mendukung sistem
transportasi yang baik di ibukota menetapkan rencana pengembangan sistem
transportasi berdasarkan skenario tahun 2002 (dasar), tahun 2007, tahun 2010 dan
tahun 2020. Hal ini dapat dilihat pada Keputusan Gubernur Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta No. 84/2004 tentang Pola Transportasi Makro (PTM). Skenario pada
tahun 2007 di antaranya mencakup pengembangan kereta api Jabodetabek,
busway dan bus-bus pengumpan serta perpindahan antar moda, transport demand
management (TDM) yang mengarah pada pembatasan lalu lintas dan parkir, dan
angkutan sungai. Sedangkan skenario pada tahun 2010 meliputi mass rapid
transit (MRT) dan light rail train (LRT), busway di semua koridor, dan integrasi
sistem angkutan cepat massal berbasis jalan dan rel. Pada dasarnya, PTM
dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan dan penyediaan jasa transportasi
yang terpadu, tertib, lancar, aman, nyaman, dan efisien.
IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Pelaksanaan penelitian dilakukan selama 7 (tujuh) bulan, yaitu pada awal
bulan Mei 2008 hingga bulan Nopember 2008. Lokasi penelitian ini dilakukan di
wilayah DKI Jakarta.

4.2 Objek Penelitian


Objek pada penelitian ini adalah beban emisi untuk parameter karbon
monoksida (CO), oksida nitrogen (NOx) dan partikel debu berukuran ≤10 µm
(PM10) dari kendaraan bermotor. Pemilihan parameter pencemar didasarkan
bahwa ke tiga parameter merupakan sumber pencemar utama dari pembakaran
bahan bakar pada kendaraan bermotor. Adapun kendaraan bermotor yang
dimaksud dalam penelitian ini dibagi kedalam 4 (empat) kategori kendaraan
yaitu sepeda motor, mobil penumpang (mobil pribadi, taksi, mikrolet), bis dan
truk. Pembagian kategori kendaraan disesuaikan dengan peraturan POLDA
Metro Jaya dan juga faktor emisi yang telah dikeluarkan oleh KLH.

4.3 Jenis dan Sumber Data


Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam 2 jenis yaitu data
primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang didapat dengan
melakukan pengamatan langsung dilapangan sedangkan data sekunder
merupakan data yang dikumpulkan, diolah, dan disajikan oleh pihak lain yang
biasanya dalam bentuk publikasi ilmiah atau jurnal serta laporan hasil kegiatan
dari lembaga-lembaga yang terkait (BPLHD Prov. DKI Jakarta, BPS, KLH,
Dinas Perhubungan dan lain-lain).
33

Tabel 2. Jenis data penelitian

No. Rincian Data Jenis Data


1. Pembacaan panjang perjalanan kendaraan Primer dan
(ordometer) Sekunder
2. Distribusi jenis dan jumlah kendaraan di ruas jalan Sekunder
utama
3. Hasil uji emisi kendaraan di Jalan, Bengkel dan PKB Sekunder
4. Faktor emisi kendaraan Sekunder
5. Data kuota BBM Sekunder
6. Data jumlah, tahun, jenis kendaraan Sekunder

4.4 Pengumpulan Data


Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan teknik survei dan
dokumentasi dari dokumen yang ada di instansi-instansi terkait, seperti BPLHD
Prov. DKI Jakarta, KLH, BPS dan Ditlantas POLDA Metro Jaya.
Survei dilakukan untuk mendapatkan data panjang perjalanan kendaraan
sepeda motor dan mikrolet dengan jumlah sampel masing-masing 150 unit.
Adapun pengumpulan data dilakukan di beberapa SPBU dan terminal.
Sedangkan teknik dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data panjang
perjalanan kendaraan (kategori mobil penumpang pribadi, taksi, bis dan truk),
jumlah dan jenis kendaraan, faktor emisi kendaraan, serta data penjualan BBM.

4.5 Pengolahan Data


Pengolahan data yang dilakukan dalam hal ini adalah data yang terkumpul
diolah hingga didapatkan data panjang perjalanan rerata untuk setiap kategori
kendaraan. Beberapa asumsi yang digunakan dalam mengolah data panjang
perjalanan kendaraan, adalah :
• Kecepatan rata-rata kendaraan di DKI Jakarta adalah 25 km/jam
• Kendaraan dioperasikan maksimum selama 10,5 jam untuk jenis kendaraan
bukan umum (jenis sedan, jeep, van/minibus, pick-up dan truk)
• Kendaraan umum dioperasikan maksimum selama 12 jam
34

• Kendaraan yang digunakan dalam perhitungan adalah kendaraan dengan


tahun pembuatan diatas tahun 1993 (usia kendaraan adalah 15 tahun)
• Kendaraan dengan tahun pembuatan 2008 diasumsikan berusia 1 tahun
Berdasarkan asumsi tersebut, maka pengolahan data panjang perjalanan setiap
kendaraan dilakukan dengan beberapa tahapan:
1. Data ditabulasikan berdasarkan kategori kendaraannya (mobil penumpang,
sepeda motor, bis dan truk). Pada setiap data tabulasi mengandung unsur-
unsur seperti bahan tahun pembuatan kendaraan, merek dan tipe
kendaraan, bakar kendaraan serta nilai panjang perjalanan akumulatif
setiap setiap kendaraan tersebut. Nilai panjang perjalanan kendaraan
akumulatif yang digunakan adalah :
• Panjang perjalanan akumulatif (yang terbaca pada odometer kendaraan)
untuk kendaraan jenis sedan, jeep, van/minibus, pick-up dan truk yang
melebihi 96.000 km per tahun atau kurang dari 800 km per tahun
dieliminasi.
• Panjang perjalanan akumulatif untuk kendaraan jening angkutan umum
(mikrolet, taksi, dan bis), data odometer yang melebihi 109.500 km per
tahun atau kurang dari 10.000 km per tahun dieliminasi.
• Untuk sepeda motor: tidak ada eliminasi data odometer
2. Data panjang perjalanan setiap kategori kendaraan pada tahun yang sama
dibuat rerataannya. Tahap ini digunakan untuk melihat distribusi data
panjang perjalanan kendaraan pada tahun tersebut.
3. Data dibuat kurva antara usia kendaraan dan panjang perjalanan
akumulatifnya. Kurva ini dibuat untuk melihat pola penggunaan kendaraan
yang ada di DKI Jakarta. Secara umum panjang perjalanan suatu kendaraan
akan sebanding dengan usia pakai kendaraan tersebut. Semakin tua usia
kendaraan maka akan semakin besar nilai panjang perjalanannya Laju
penggunaan kendaraan tua akan semakin menurun sehingga diduga kurva
tidak akan linier bentuknya.
4. Tahap terakhir adalah data panjang perjalanan setiap kategori kendaraan
dibuat rerataannya.
35

Berikut ini disampaikan gambar alur pengolahan data panjang perjalanan


kendaraan untuk kategori mobil penumpang (Gambar 8).

Kategori Kendaraan
Mobil Penumpang

Data Kend. A Data Kend. B Data Kend. n Data Kend. C


Tahun, VKT Tahun, VKT Tahun, VKT Tahun, VKT
akumulatif akumulatif akumulatif akumulatif

Usia Kend 1 thn = VKT rerata


Usia Kend 2 thn = VKT rerata
Usia Kend 3 thn = VKT rerata




Usia Kend 15 tahun = VKT
rerata

Kurva
usia kendaraan dan VKT

VKT rerata
Mobil Penumpang

Gambar 8 Bagan alir pengolahan data panjang perjalanan kendaraan


36

4.6 Perhitungan dan Analisis Data


Perhitungan estimasi beban emisi pencemar pada penelitian ini dilakukan
dengan pendekatan nilai panjang perjalanan kendaraan (vehicle kilometers
traveled–VKT). Secara umum perhitungan beban emisi dari kendaraan bermotor
mengikuti persamaan sebagai berikut :

Beban emisi = FE * N * VKT (1)

Keterangan :
Beban emisi : Total emisi dari kendaraan bermotor
FE (Faktor Emisi) : Massa per unit aktivitas (g/km, g/kg)
N : Jumlah kendaraan
VKT : panjang perjalanan kendaraan (km/waktu)

Berdasarkan persamaan 1, terdapat 3 (tiga) jenis data yang dibutuhkan yaitu


jumlah kendaraan, faktor emisi dan nilai VKT.

4.6.1 Jumlah Kendaraan


Jumlah kendaraan yang dimaksud pada persamaan 1 adalah kendaraan
yang beroperasi di jalan raya. Pada penelitian ini jumlah kendaraan diambil dari
Ditlantas Polda Metro Jaya selama 5 tahun terakhir, yaitu tahun 2003, 2004,
2005, 2006 dan 2007. Sedangkan untuk mengestimasi beban emisi pada tahun
2008, 2014 dan 2020, jumlah kendaraannya diestimasi berdasarkan jumlah
kendaraan yang diambil selama 5 tahun sebelumnya tersebut. Adapun rumus
perhitungan jumlah kendaraan untuk tahun-tahun yang akan datang adalah :

Pt = Po (1+ r)t (2)

Keterangan :
Pt : Jumlah kendaraan pada akhir periode waktu ke t
Po : Jumlah kendaraan pada awal periode waktu ke t
r : Rata-rata prosentase pertambahan jumlah kendaraan
t : Selisih tahun
37

4.6.2 Nilai Panjang Perjalanan Kendaraan


Panjang perjalanan kendaraan (VKT) adalah kilometer tempuh rerata
kendaraan per kurun waktu (hari/minggu/bulan/tahun). Data ini didapatkan dari
survei pembacaan odometer yang terpasang pada setiap kendaraan. Penentuan
nilai VKT rerata per tahun untuk setiap kategori atau sub-kategori kendaraan,
rumus perhitungannya adalah sebagai berikut:

VKTn =
∑f i ,n

 f i ,n 
∑  X 

 i ,n  (3)

Keterangan :
VKT n = VKT rerata per tahun untuk kategori n (km/tahun)
X i,n = VKT akumulatif kendaraan i kategori n (km/tahun)
f i,n = frekuensi VKT akumulatif kendaraan i kategori n

4.6.3 Penentuan Faktor Emisi


Faktor emisi adalah massa pencemar dalam gram atau kilogram per
kilogram atau per liter bahan bakar yang dikonsumsi atau per kilometer jarak
tempuh kendaraan. Data faktor emisi yang digunakan dalam perhitungan
diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup seperti terlihat pada Tabel.3.

Tabel 3. Faktor emisi kendaraan bermotor di Indonesia (g/km)

No. Kategori PM10 NOx CO


1. Sepeda Motor 0,24 0,29 14,0
2. Mobil Penumpang (mix) 0,12 2,30 32,4
3. Bis 1,4 11,90 11,0
4. Truk 1,4 17,70 8,4
Sumber : KLH, 2008
38

Faktor emisi dari kendaraan bermotor yang merupakan nilai besaran emisi
suatu pencemar per unit aktifitas, misalnya perkilometer perjalanan, dipengaruhi
oleh 4 kelompok parameter.
• Pertama adalah parameter kendaraan, termasuk di dalamnya adalah
kategori kendaraan, model dan tahun, akumulasi jarak perjalanan, sistem
bahan bakar, sistem control emisi dan kondisi perawatan.
• Kelompok parameter kedua adalah bahan bakar, termasuk didalamnya
jenis bahan bakar, kandungan oksigen, daya penguapan, kandungan
benzene, olefin dan aromatik, kandungan sulfur, kandungan timbal.
• Kelompok parameter ketiga adalah lingkungan, termasuk didalamnya
kelembaban, ketinggian, temperatur ambien, dan kelas jalan.
• Kelompok parameter terakhir adalah kondisi pengoperasian kendaraan,
yaitu kecepatan rata-rata berkendara, beban, akselerasi dan penurunan
kecepatan, dan perilaku mengemudi.

4.6.4 Estimasi Beban Emisi tahun 2008, 2014 dan 2020


Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 diperkirakan dan dihitung
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :

Ni * VKTi * FEi
E=∑ 6
i
10 (4)

Keterangan :
E = Beban pencemar udara a kategori kendaraan i (ton/tahun)
Ni = Jumlah kendaraan kategori i untuk tahun 2008, 2014 dan 2020
VKTi= Panjang perjalanan rerata untuk kategori kendaraan i (km/tahun)
FEi = Faktor emisi pencemar a untuk kendaraan kategori i (g/km)

Gambar 9 disampaikan diagram alur perhitungan estimasi beban emisi dari


kendaraan bermotor yang dilakukan.
39

VKT rerata VKT rerata VKT rerata bis VKT rerata


mobil penumpang sepeda motor truk

Jumlah Kendaraan : Faktor Emisi :


- mobil penumpang - mobil penumpang
- sepeda motor - sepeda motor
- bis - bis
- truk - truk

BEBAN EMISI CO, NOx dan PM10


DI DKI JAKARTA

Gambar 9 Bagan alir perhitungan estimasi beban emisi

4.6.5 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dalam


Menurunkan Beban Emisi Pencemar
Kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor yang
akan diberlakukan di DKI Jakarta sesuai dengan Peraturan Gubernur DKI
Jakarta nomor 2 tahun 2005 adalah pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan
bermotor atau dikenal dengan istilah Sistem P dan P (pasal 19) dan penggunaan
bahan bakar alternatif yaitu BBG untuk kendaraan umum dan kendaraan
operasional (pasal 20).
Kedua kebijakan tersebut dievaluasi dan dianalisis pengaruhnya terhadap
penurunan beban emisi di tahun yang akan datang, baik untuk jangka pendek
(tahun 2014) maupun jangka panjang (tahun 2020).
Analisis pengaruh kebijakan pengendalian pencemaran udara dari
kendaraan bermotor di DKI Jakarta dalam menurunkan beban emisi dilakukan
menggunakan dua skenario. Skenario pertama dibangun dengan mengasumsikan
bahwa kedua kebijakan diterapkan secara terpisah. Skenario kedua dibangun
dengan mengasumsikan kedua kebijakan diterapkan bersamaan.
40

Tahapan yang dilakukan dalam menganalisis efektifitas dengan


menggunakan dua skenario diatas adalah :
• Menganalisis penurunan beban emisi pencemar CO, PM10 dan NOx tahun
2014 dan tahun 2020 bila kebijakan sistem P dan P diterapkan bagi
kendaraan mobil penumpang pribadi dan juga sepeda motor.
• Menghitung efisiensi bahan bakar bila kebijakan sistem P dan P diterapkan
• Menganalisis penurunan beban emisi masing-masing pencemar bila
kebijakan penggunaan BBG untuk kendaraan umum diterapkan
• Menganalisis penurunan beban emisi masing-masing pencemar bila kedua
kebijakan diterapkan secara bersamaan.

4.6.6 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model
Kotak.
Kualitas udara tahun 2014 dan 2020 untuk pencemar CO, NOx dan PM10
diperkirakan dengan menggunakan pendekatan model kotak yang sederhana.
Asumsi yang digunakan dalam model ini adalah bahwa pencemar dianggap
tercampur sempurna dalam kotak volume yang telah ditentukan. Ketinggian
kotak adalah ketinggian lapisan pencampuran atau ketinggian inversi temperatur.
Kecepatan angin terhadap profil ketinggian vertikal dianggap sama atau seragam
dan turbulensi angin arah vertikal diabaikan.
Rumus persamaan yang digunakan untuk menghitung konsentrasi
pencemar adalah :

E
C=
A∗ H (5)

Keterangan :
C = Konsentrasi pencemar (µg/m3)
A = Luas are (m2)
H = tinggi lapisan pencampuran (m)
41

Sebelum menghitung estimasi pencemaran udara yang terjadi di setiap


wilayah administratif kotamadya, nilai VKT yang didapat dari perhitungan 4.2.2
didistribusikan terlebih dahulu ke setiap wilayah administratif tersebut. Rumus
perhitungannya adalah sebagai berikut (Hao et al. 2000):

( )
VKT kj = K 1k + K 2k .VKT j

Keterangan :
VKTkj = VKT untuk suatu area k dan kategori kendaraan j
VKTj = total VKT
αp k
K1k = = faktor pembobot kepadatan penduduk
pt
(1 − α ) Lk
K 2k = = faktor pembobot panjang jalan
Lt
pk = penduduk di area k
pt = total penduduk di wilayah
Lk = panjang jalan di area k
Lt = total panjang jalan di wilayah
α= 0,3 (pengaruh penduduk dan panjang jalan terhadap VKT)
Semakin kecil nilai α, maka pengaruh penduduk dan panjang jalan
terhadap panjang perjalanan kendaraan adalah makin kecil.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Beban Emisi Pencemar dari Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta


5.1.1 Pertumbuhan kendaraan bermotor pada tahun 2003 - 2007
Jumlah kendaraan bermotor yang terdaftar di DKI Jakarta mengalami
peningkatan rata-rata 8% pertahun untuk semua kategori kendaraan dalam kurun
waktu lima tahun terakhir. Pertumbuhan kendaraan bermotor dari tahun 2003
sampai dengan tahun 2007 disampaikan pada Gambar 10. Jumlah total kendaraan
tahun 2003 adalah 4,1 juta dan bertambah sebanyak 1,6 juta sampai dengan tahun
2007 menjadi 5,7 juta unit.

7000000
Jumlah Kendaraan (unit)

6000000

5000000

4000000

3000000

2000000

1000000

2003 2004 2005 2006 2007


Tahun

Gambar 10 Total jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2003-2007


Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya, 2008

Berdasarkan komposisi jenis kendaraannya, Gambar 11 menunjukkan bahwa


kategori kendaraan sepeda motor selalu mengalami peningkatan tiap tahun dengan
rata-rata peningkatan sebesar 12% per tahun. Pada tahun 2003 berjumlah 2,2 juta
meningkat menjadi 3,6 juta unit pada tahun 2007. Sedangkan untuk jenis
kendaraan lainnya kenaikan yang terjadi rata-rata hanya dibawah 5% pertahun,
bahkan untuk kendaraan bis hanya 0,2% per tahun. Persentase perbandingan
antara jenis kendaraannya adalah 58% sepeda motor, 28% mobil penumpang, 8%
truk serta 5% mobil bis.
43

4000000

3500000
Jumlah Kendaraan (unit)
3000000

2500000

2000000

1500000
2003
1000000 2004
500000 2005
0 2006
Mobill Penumpang Truk Bis Sepeda motor 2007
Kategori Kendaraan

Gambar 11 Komposisi kendaraan bermotor di DKI Jakarta


Sumber : Ditlantas Polda Metro Jaya, 2008

Kecilnya jumlah kenaikan kendaraan bis dibandingkan kendaraan lain


terutama kendaraan pribadi telah membuktikan bahwa kendaraan pribadi terutama
sepeda motor merupakan pilihan kendaraan yang paling diminati oleh penduduk
kota Jakarta. Hal tersebut disebabkan oleh : 1) kondisi jalan di Jakarta yang
semakin padat 2) fasilitas untuk memiliki kendaraan cukup mudah dan harga
kendaraan relatif lebih murah (secara menyicil) serta 3) harga bahan bakar minyak
yang semakin mahal.
Pertumbuhan kendaraan pribadi yang pesat di kota-kota besar di Indonesia,
terutama DKI Jakarta memperlihatkan bahwa sistem transportasi kota memang
kurang memadai. Fasilitas transportasi umum yang ada dirasakan banyak orang
tidak nyaman dan aman serta tidak ada jaminan lamanya waktu tempuh kendaraan
mendorong banyak orang memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Volume pergerakan orang dan kendaraan yang tinggi antara DKI Jakarta dan
Bodetabek telah memberikan kontribusi penting pada kepadatan lalu lintas di
pusat-pusat kota Jakarta. Kepadatan dan kemacetan lalu lintas menyebabkan
kendaraan tidak dapat beroperasi pada kecepatan optimum yaitu kecepatan
kendaraan yang menghasilkan emisi gas buang minimum. Dinas Perhubungan
Provinsi DKI Jakarta (2005) memprediksi bahwa pada tahun 2014 jumlah
kendaraan roda empat di DKI Jakarta akan mencapai sekitar 3 juta unit akan di
44

layani oleh jalan seluas hanya 40 juta meter persegi (Gambar 12). Dengan
demikian rasio antara volume lalu lintas dan kapasitas jalan akan mencapai titik
jenuh. Artinya, diperkirakan akan terjadi kemacetan total di ruas-ruas jalan di DKI
Jakarta mulai tahun 2014. Rasio panjang jalan yang rendah seharusnya diatasi
dengan penggunaan angkutan umum yang berkapasitas angkut besar.

50 3500
3000

Kendaraan Roda 4 (ribu unit)


40
2500
Luas (juta m2)

30 2000

20 1500
1000
10
500
0 0
1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014

Luas (juta m2) Kendaraan roda 4 (ribu unit)


Gambar 12 Trend utilisasi jumlah kendaraan terhadap luas jalan di DKI Jakarta,
1994 – 2014.
Sumber : Bappenas, 2006

5.1.2 Estimasi Jumlah kendaraan bermotor tahun 2008, 2014 dan 2020
Jumlah kendaraan bermotor pada tahun 2008, 2014 dan 2020 diestimasi
berdasarkan jumlah kendaraan 5 tahun sebelumnya (tahun 2003-2007). Pada
tahun 2014 diperkirakan akan terjadi kenaikan jumlah kendaraan sebanyak hampir
2 kali lipat dari jumlah kendaraan yang ada pada tahun 2007 dan lebih dari 3 kali
lipatnya pada tahun 2020 (Gambar 13).
45

25000000

Jumlah kendaraan (unit) 20000000

15000000

10000000

5000000

0
2008 2014 2020

Tahun

Gambar 13 Estimasi jumlah total kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020.

Jumlah kendaraan di DKI Jakarta yang diperkirakan terus bertambah di


masa yang akan datang sangatlah diperlukan sistem pengelolaan transportasi kota
yang terpadu. Data selengkapnya estimasi jumlah kendaraan bermotor tahun 2008,
2014 dan 2020 dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Estimasi jumlah kendaraan tahun 2008, 2014, 2020

Tahun Mobil Penumpang Sepeda motor Truk Bis

2008 1.626.082 4.041.182 422.369 257.242


2014 2.190.227 8.377.716 474.347 260.120
2020 2.950.095 17.367.723 532.721 263.030
Sumber : perhitungan

Pada Tabel 4 terlihat kenaikan yang cukup signifikan akan terjadi pada
sepeda motor, dimana pada tahun 2020 kenaikan diperkirakan akan mencapai
300% dari tahun 2008. Hal ini terlihat sangat jauh berbeda bila dibandingkan
dengan kendaraan jenis bis, dimana kenaikannya dari tahun 2008 ke tahun 2020
diperkirakan hanya sebesar 2%.
46

Persentase komposisi kendaraan tahun 2008, 2014 dan 2020 seperti pada
Gambar 14, semua kendaraan mengalami penurunan komposisi kecuali sepeda
motor yang justru meningkat persentasenya.

100
82
Komposisi kendaraan (%)

80 75
63
60

40
26
19
20 14
4 7 4
2 1 3
0 2008
Mobill Bis Truk Sepeda motor 2014
Penumpang
2020

Gambar 14 Distribusi kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008, 2014, 2020

Perkiraan kenaikan jumlah sepeda motor yang sangat fantastis di masa


mendatang perlu mendapat perhatian yang serius dari berbagai pihak, selain
kondisi lalu lintas lebih tidak terkontrol karena tidak ada jalur khusus sepeda
motor, hal yang tidak kalah penting adalah jumlah emisi pencemar tentu akan
meningkat. Kebijakan untuk menekan jumlah sepeda motor dan mengadakan
sarana transportasi umum serta management lalu lintas yang lebih baik sangatlah
diperlukan.

5.1.3 Estimasi Panjang Perjalanan Kendaraan


Panjang perjalanan suatu kendaraan bermotor (vehicle kilometers traveled-
VKT) adalah jumlah jarak yang ditempuh oleh suatu kendaraan dalam kurun
waktu tertentu. Beberapa jenis kendaraan memiliki nilai VKT yang dapat dipantau
seperti mikrolet, mikro bis dan bis, hal ini dikarenakan jenis kendaraan tersebut
melintasi rute perjalanan yang sama setiap waktu. Sedangkan jenis kendaraan lain
seperti; mobil pribadi (sedan, jeep, minibus), taksi, sepeda motor, serta truk nilai
VKT nya selalu berbeda tiap waktu.
47

Berdasarkan data yang didapat, nilai VKT akumulatif kendaraan sangat


beragam nilainya (Lampiran 1-4). Nilai VKT ini biasanya akan sebanding dengan
usia pakai dari kendaraan tersebut. Pola penggunaan kendaraan untuk jenis mobil
pribadi yang ada di DKI Jakarta dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan untuk
kendaraan dengan kategori lain dapat dilihat pada Lampiran 5 dan 6.

250
VKT akumulatif (10 3 km/tahun)

200 y = -0,5844x2 + 22,416x - 17,53


R 2 = 0,963

150

100

50

0
0 2 4 6 8 10 12 14 16
Usia Kendaraan (tahun)

Gambar 15 Penggunaan mobil pribadi selama 15 tahun pertama.

Gambar 15 menunjukkan bahwa hubungan antara panjang perjalanan


kendaraan dipengaruhi oleh usia kendaraan jenis mobil pribadi, hal ini ditandai
dengan nilai r2 = 0,96.
Kategori mobil penumpang pada penelitian ini adalah kendaraan mobil
pribadi baik jenis sedan, jeep, maupun minibus, mikrolet, taksi dan pickup. Hasil
perhitungan panjang perjalanan kendaraan rerata berdasarkan kategori kendaraan
dapat dilihat pada Tabel 5.
Data panjang perjalanan rerata kendaraan pada Tabel 5 memperlihatkan
bahwa kendaraan dengan kategori bis memiliki nilai rerata paling besar dan nilai
VKT rerata terkecil adalah sepeda motor.
48

Tabel 5 Panjang perjalanan kendaraan berdasarkan kategori (km/tahun)

Kategori Kendaraan VKT rerata


Mobil penumpang 21.053
Sepeda Motor 9.843
Bis 130.721
Truk 24.917
Sumber : perhitungan

Hal ini disebabkan oleh rute perjalanan yang ditempuh kendaraan bis relatif
panjang (jauh) dan tetap, misalnya dari terminal Grogol ke terminal Lebak Bulus,
dari terminal Senen ke terminal Blok M dan sebagainya. Sepeda motor pada
umumnya digunakan untuk jarak yang pendek dan waktu yang tidak terlalu lama.
Walaupun nilai VKT rerata bis lebih besar dibandingkan kategori lain,
namun tidak menghasilkan VKT total yang besar hal ini disebabkan oleh jumlah
kendaraan yang ada relatif sedikit. Jumlah kendaraan sepeda motor yang lebih
banyak dari kendaraan lain di DKI Jakarta menyebabkan nilai total VKT yang
dihasilkanpun besar (Gambar 16).

50

40
Total VKT (106 km)

30

20

10

0
Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis

Gambar 16 Total panjang perjalanan kendaraan bermotor di DKI Jakarta.


49

5.1.4 Beban Emisi tahun 2008


Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 dari kendaraan bermotor di DKI
Jakarta tahun 2008 tersaji dalam Gambar 17. Nilai beban emisi terbesar adalah
parameter CO sebesar 52% (1.109.178 ton/tahun) sedangkan beban emisi terkecil
adalah parameter PM10 sebesar 5% (4.108 ton/tahun). Kedua pencemar tersebut
dihasilkan dari emisi kendaraan mobil penumpang.

1200000

1000000
Beban emisi (ton/tahun)

800000

600000

400000

200000

0 PM10
Sepeda Motor Mobil Truk Bis Nox
Penumpang
CO

Gambar 17 Beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2008

Karakteristik mobil penumpang yang ada di DKI adalah kendaraan dengan


bahan bakar bensin mendominasi jumlahnya dibandingkan dengan kendaraan
berbahan bakar solar (JICA, 2004). Kendaraan roda empat dengan mesin yang
berbahan bakar bensin dapat mengemisikan hampir 90% CO dibandingkan
dengan pencemar NOx, SO2 dan PM10 (Walsh et al. 1996)
Bila ditinjau dari penghasil emisinya, kategori kendaraan mobil penumpang
menghasilkan emisi terbesar sejumlah 42% dibandingkan dengan kategori lain.
Sedangkan untuk kendaraan bis, sepeda motor dan truk berkontribusi
mengeluarkan emisi masing-masing sebesar 28%, 20% dan 10% terhadap beban
emisi total (Gambar 18).
50

Sepeda
Motor
Bis 20%
28%

Truk Mobil
10% Penumpang
42%

Gambar 18. Komposisi penghasil emisi dari kendaraan bermotor.

Berdasarkan parameter pencemar yang diteliti, kontribusi terbesar emisi di


DKI Jakarta didominasi pencemar CO sebesar 73% setara dengan 5.820 ton/hari
diikuti oleh NOx sebesar 24% (1.854 ton/hari) dan PM10 sebesar 3% (207 ton/hari)
(Gambar 19). Secara umum setiap pembakaran bahan bakar minyak baik bensin
maupun solar akan mengeluarkan pencemar CO, hanya saja kondisi pembakaran
dan jenis bahan bakar juga akan mempengaruhi besarnya emisi yang dikeluarkan.

NOx
PM10
24%
3%

CO
73%

Gambar 19 Persentase beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor.


51

Proses pembakaran secara tidak sempurna yang terjadi pada mesin


menyebabkan emisi CO menjadi tinggi. Selain CO, emisi NOx dari kendaraan
bermotor di DKI Jakarta juga tinggi. Hal ini dipengaruhi oleh komposisi antara
bahan bakar dan udara yang terjadi saat proses pembakaran pada mesin.
Kondisi emisi kendaraan bermotor sangat dipengaruhi oleh kandungan
bahan bakar dan kondisi pembakaran dalam mesin. Pengalaman dari negara-
negara maju menunjukkan bahwa emisi zat-zat pencemar udara dari sumber
transportasi dapat dikurangi secara substansial dengan kandungan bahan bakar
yang ramah lingkungan, perbaikan sistem pembakaran dan penggunaan katalis
(catalytic converter) serta pengendalian manajemen lalu lintas setempat (ARPEL,
2001).
Tahun 2001 sebesarnya Pertamina telah memasok bensin tanpa timbal untuk
wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. Namun ketidaktersediaan bensin tanpa
timbal di hampir seluruh wilayah Indonesia (produksi bensin bertimbal nasional
masih 75%) dan kandungan sulfur dalam minyak solar di Indonesia yang masih
tinggi, sulit untuk mewajibkan produsen kendaraan bermotor memasang peralatan
pereduksi emisi (katalis) pada kendaraan bermotor. Katalis tidak dapat berfungsi
jika bensin mengandung timbal dan kandungan sulfur dalam minyak solar tinggi
Berdasarkan pemantauan bahan bakar minyak yang dilakukan oleh KLH
tahun 2007 pada SPBU-SPBU di 30 kota di Indonesia, menunjukkan bahwa
sebagian besar bensin masih mengandung timbal walaupun ada 10 kota yang
sudah tidak terdektesi adanya timbal yaitu kota Bandung, Denpasar, Makassar,
Medan, Surabaya, Ambon, Banjarmasin, Mataram, Pekanbaru, dan Sorong.
Sedangkan pemantauan terhadap kandungan sulfur memperlihatkan bahwa 26
kota ditemukan nilai rata-rata sulfur sama dengan atau di bawah ambang batas.
Sementara empat kota lainnya ditemukan nilai rata-rata sulfur di atas ambang
batas, yaitu 3.500 ppm. Empat kota tersebut adalah Manado dengan nilai 3.775
ppm, Mataram dengan nilai 4.250 ppm, Bandar Lampung dengan nilai 3.950 ppm,
dan Jayapura dengan nilai 3.600 ppm (KLH, 2007).
Khusus untuk kota Jabodetabek kadar timbal maupun sulfur masih dibawah
standar yang dipersyaratkan oleh Departemen Energi Sumberdaya dan Mineral
(Gambar 20). Kota Bogor dari hasil pemantauan didapati kandungan sulfur yang
52

lebih rendah dibandingkan kota-kota lain di Jabodetabek, sedangkan kadar timbal


terendah dideteksi di Kota Bekasi. Kandungan sulfur di DKI Jakarta paling tinggi
dibandingkan kota lain di Jabodetabek dan kandungan timbal dijumpai sama
dengan Kota Tangerang dan Depok.

0,014 4000

0,012 3500
3000
0,01
2500
gram/liter

0,008

ppm
2000
0,006
1500
0,004
1000
0,002 500
0 0
Bekasi Bogor Jakarta Tangerang Depok

Pb standart Pb : 0,013 g/L Sulfur Standar sulfur : 3500 ppm

Gambar 20 Kualitas BBM di JABODETABEK parameter Pb dan Sulfur.


Sumber : KLH, 2007

5.1.4 Estimasi Beban Emisi tahun 2014 dan tahun 2020


Beban emisi tahun 2014 dan tahun 2020 diestimasi dengan menggunakan
pendekatan jumlah kendaraan yang diperkirakan ada pada tahun tersebut (lihat
bagian 5.1.2) dan menggunakan faktor emisi yang sama dengan tahun 2008. Besar
beban emisi tahun 2014 dan tahun 2020 untuk pencemar CO, PM10 dan NOx
terlihat pada Gambar 21. Peningkatan terbesar beban emisi pada tahun 2020
diperkirakan terjadi pada pencemar PM10 sebesar 97% dibandingkan tahun 2014.
Secara keseluruhan beban emisi total dari kendaraan bermotor pada tahun 2014
diperkirakan meningkat 1,4 kali lipat dari tahun 2008 dan menjadi 2,5 kali lipat
pada tahun 2020.
53

4939314

3145617

929203 1285370
794048
93449

CO NOx PM10
PM10

Beban Emisi (ton/tahun) 2014 2020

Gambar 21 Beban emisi total dari kendaraan bermotor tahun 2014 dan 2020

Estimasi beban emisi CO tahun 2014 dan 2020 sesuai kategori


kendaraannya dapat dilihat pada Gambar 22. Kendaran mobil penumpang
menghasilkan emisi CO tertinggi pada tahun 2014 sejumlah 1.493.992 ton/tahun,
sedangkan di tahun 2020 nilai tertinggi emisi CO dihasilkan dari sepeda motor
sebanyak 2.393.307 ton/tahun. Peningkatan beban emisi CO tahun 2020 dari
sepeda motor sebanyak lebih dari dua kali lipat dari tahun 2014 disebabkan
meningkatnya jumlah sepeda motor yang cukup signifikan (lima kali lipat dari
tahun 2008).

3000000
Beban emisi (ton/tahun)

2500000
2000000

1500000
1000000

500000
0
2014 2020

Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis

Gambar 22 Beban emisi CO dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta


54

Peningkatan jumlah kendaraan bis dan truk yang tidak sebesar kendaraan
sepeda motor maupun mobil penumpang tahun 2020 menyebabkan beban emisi
CO dari kendaraan bis dan truk meningkat hanya sebesar 1,1% dan 21%
dibandingkan beban emisi tahun 2014.
Estimasi beban emisi PM10 di DKI Jakarta tahun 2014 dan 2020 sesuai
kategori kendaraannya dapat dilihat pada Gambar 23. Beban emisi PM10 terbesar
dihasilkan dari kendaraan bis. Secara keseluruhan beban emisi PM10 dari sepeda
motor diperkirakan akan meningkat sejumlah 21.237 ton atau sebanyak dua kali
lipat dibandingkan tahun 2014. Sedangkan kendaraan kategori lain peningkatan
beban emisi berturut-turut sebesar 1.920 ton, 5.392 ton dan 532 ton dari mobil
penumpang, truk dan bis.

60000
Beban emisi (ton/tahun)

50000

40000

30000
20000

10000

0
2014 2020

Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis

Gambar 23 Beban emisi PM10 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta

Mesin kendaraan (tanpa alat kontrol pengendalian emisi) yang menggunakan


bahan bakar solar sebagai penggeraknya akan mengeluarkan emisi PM10 sebanyak
tujuh sampai sepuluh kali lipat dari pada mesin kendaraan berbahan bakar bensin
(Walsh et al. 1996).
Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta tahun 2014 dan
2020 yang terbesar dihasilkan dari kendaraan bis dan yang terkecil adalah dari
sepeda motor. Peningkatan jumlah emisi NOx tahun 2020 yang dikeluarkan dari
kendaraan truk lebih besar dari kendaraan kategori lainnya yaitu sebesar 68.173
55

ton. Kendaraan mobil penumpang emisi NOx meningkat sebesar 36.734 ton tahun
2020, sepeda motor meningkat sebesar 25.662 ton dan bis meningkat sebesar
4.516 ton dari tahun 2014.

450000
400000
Beban emisi (ton/tahun)

350000
300000
250000
200000
150000
100000
50000
0
2014 2020

Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis

Gambar 24 Beban emisi NOx dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta

Berdasarkan hasil-hasil beban emisi yang didapatkan diatas, kebijakan


pengendalian emisi sesuai dengan pencemar yang dihasilkan akan lebih
bermanfaat dari pada kebijakan secara global. Pengendalian emisi dari sepeda
motor akan mengurangi beban emisi CO dan PM10. Pengendalian emisi dari mobil
penumpang akan mengurangi beban emisi CO. Pengendalian emisi dari bis akan
mengurangi beban emisi NOx dan PM10 sedangkan pengendalian emisi dari truk
akan mengurangi beban emisi NOx. Pembatasan jumlah kendaraan terutama
sepeda motor akan sangat mempengaruhi beban emisi dimasa-masa mendatang.

5.2 Analisis Pengaruh Kebijakan Pengendalian Pencemaran Udara dari


Kendaraan Bermotor di DKI Jakarta dalam Mereduksi Beban Emisi.
Pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor pada prinsipnya
melibatkan 4 elemen, yaitu standar baku mutu (baik emisi maupun ambien),
spesifikasi bahan bakar, pemeriksaan dan perawatan kendaraan serta managemen
transportasi yang baik. DKI Jakarta sebagai barometer dari segala kegiatan
mempelopori adanya peraturan di tingkat daerah tentang pengendalian
pencemaran udara pada tahun 2005. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan
56

Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta No.2 tahun 2005. Khusus untuk
pengendalian pencemaran udara dari sektor transportasi (sumber bergerak)
terdapat dua strategi kebijakan yang diharapkan dapat mengurangi tingkat
pencemaran. Pertama adalah kebijakan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan
kendaraan bermotor pribadi (biasa digunakan istilah sistem P dan P) dan yang
kedua adalah kebijakan penggunaan bahan bakar gas untuk kendaraan umum dan
kendaraan operasional pemerintah.

5.2.1 Pengaruh Kebijakan Sistem Pemeriksaan Emisi dan Perawatan


kendaraan Bermotor dalam Mereduksi Beban Emisi.
Pengendalian pencemaran udara dengan sistem pemeriksaan emisi dan
perawatan kendaraan bermotor pribadi (sistem P dan P) dimaksudkan untuk
mengidentifikasi kendaraan-kendaraan yang beroperasi (in-use vehicles) yang
tidak memenuhi ambang batas emisi pencemar kriteria CO, HC, dan opasitas.
Kendaraan yang tidak memenuhi ambang batas tersebut dipersyaratkan untuk
diperbaiki hingga emisinya memenuhi ambang batas.
Negara-negara maju dan berkembang di dunia banyak yang menerapkan
kebijakan sistem pemeriksaan emisi dan perawatan kendaraan bermotor bagi
semua kendaraan-kendaraan yang beroperasi. Hal ini dilakukan untuk menjaga
performa kerja mesin dan efisiensi bahan bakar, mengingat dengan bertambahnya
usia pakai kendaraan maka performa kerja mesinpun mengalami penurunan.
Melalui perawatan rutin seperti penyetelan mesin, pembersihan filter udara,
dan lain-lain emisi gas buang CO dapat berkurang hingga 90%, HC hingga 75%,
dan partikulat hingga 85% (Walsh et al, 1996) dan NOx sebesar 20% (Gorham,
2002). Sedangkan berdasarkan survei yang dilakukan pada kegiatan pekan uji
emisi tahun 2001 oleh pemerintah DKI Jakarta bekerjasama dengan Swisscontact
menunjukkan adanya pengurangan emisi CO sebesar 50%, PM10 sebesar 45%. Di
samping itu efisiensi bahan bakar pun dapat mencapai 50%.
Walaupun sampai saat ini, sistem p dan p baru disosialisasikan untuk mobil
pribadi, akan tetapi perangkat teknis bagi sepeda motor sudah mulai disiapkan.
Jumlah bengkel pelaksana uji emisi yang tersertifikasi bagi mobil pribadi di DKI
57

Jakarta sampai dengan tahun 2008 sebanyak 216 bengkel yang tersebar di lima
wilayah kota.
Beberapa asumsi yang digunakan dalam mengestimasi reduksi emisi bila
kebijakan ini diterapkan adalah :
• Tahun 2014 target kendaraan yang tereduksi adalah 80%
• Kendaraan yang gagal memenuhi baku mutu emisi sebanyak 5% untuk
mobil penumpang dan sepeda motor, 20% truk dan bis.
• Tahun 2020 kendaraan yang tereduksi ditargetkan sebesar 90 %.

Estimasi reduksi emisi pada tahun 2014 dan 2020 bila sistem ini diterapkan
di DKI Jakarta dapat dilihat pada Tabel 6. Pada tahun 2014 total emisi CO yang
dapat direduksi diperkirakan sebesar 1.135.167 ton, NOx dapat direduksi sebesar
96.185 ton dan emisi PM10 total adalah 66.529 ton.

Tabel 6 Estimasi reduksi emisi dengan sistem P dan P

Kategori CO NOx PM10


Kendaraan % ton % ton % ton
2014
Sepeda Motor 38% 432.925 15% 3.587 33,8% 13.111
Mobil Penumpang 38% 560.247 15% 15.908 33,8% 3.666
Truk 30% 36.937 12% 31.133 27,0% 14.980
Bis 30% 1.12.210 12% 48.556 27,0% 34.751
2020
Sepeda Motor 43% 1.376.151 17% 41.148 38,3% 25.335
Mobil Penumpang 43% 1.157.078 17% 118.565 38,3% 4.602
Truk 35% 101.061 14% 281.748 31,5% 17.750
Bis 35% 245.842 14% 351.881 31,5% 32.974

Tahun 2020 dengan menerapkan kebijakan ini total emisi CO, NOx dan
PM10 yang dapat direduksi diperkirakan sebesar 2.880.133 ton, 793.342 ton dan
80.661 ton.
Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta pada tahun
2014 dan tahun 2020 bila kebijakan sistem P dan P diterapkan dapat dilihat pada
Tabel 7. Pada tahun 2014 total beban emisi pencemar adalah 2.764.670 ton/tahun
sedangkan pada tahun 2020 total beban emisi sebesar 3.754.136 ton/tahun.
58

Tabel 7 Estimasi beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta


(dengan penerapan Sistem P dan P) (ton/tahun)

Tahun Parameter Sepeda Motor Mobil Truk Bis


Penumpang
2014 CO 721.541 933.745 86.187 261.824
NOx 20.327 90.147 228.309 356.081
PM10 13.111 3.666 14.980 34.751
2020 CO 1.376.151 1 157.078 101.061 245.842
NOx 41.148 118.565 281.748 351.881
PM10 25.335 4.602 17.750 32.974

Beban emisi karbon monoksida pada tahun 2014 dari kendaraan bermotor di
DKI Jakarta bila kebijakan ini diterapkan adalah 2.003.298 ton/tahun dan pada
tahun 2020 sebesar 2.880.133 ton/tahun. Hampir 90% dari beban emisi tersebut
berasal dari sepeda motor dan mobil penumpang, sedangkan beban emisi NOx
total adalah 694.863 ton/tahun pada tahun 2014 dan 793.342 ton/tahun pada tahun
2020. Sebanyak 50% beban emisi NOx bersumber dari kendaraan bis. Beban emisi
total PM10 pada tahun 2014 adalah 66.509 ton/tahun menjadi 80.661 ton/tahun di
tahun 2020 dimana hampir 50% dari pencemar ini berasal dari kendaraan bis.

5000000
Beban emisi (ton/tahun)

4000000

3000000

2000000

1000000

0
CO NOx PM10

2014 Tanpa kontrol 2014 Sistem P dan P 2020 Tanpa kontrol 2020 Sistem P dan P

Gambar 25 Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan kebijakan


sistem P dan P tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta
59

Beban emisi total untuk masing-masing pencemar tanpa pengendalian


maupun dengan penerapan sistem P dan P ditampilkan pada Gambar 25. Potensi
penurunan total beban emisi dengan diterapkannya sistem P dan P pada tahun
2014 untuk pencemar CO sebesar 32%, NOx sebesar 6% dan PM10 sebesar 23%.
Sedangkan pada tahun 2020, potensi penurunannya adalah untuk pencemar CO
sebesar 37%, NOx sebesar 4% dan PM10 sebesar 27%.
Tujuan utama dari perawatan kendaraan adalah mengoptimumkan
pembakaran dalam mesin yang berarti mengefisiensikan konsumsi bahan bakar.
Penghematan bahan bakar yang dikaitkan dengan peningkatan ekonomi bahan
bakar akan menghemat biaya pemilik kendaraan. Berdasarkan hasil evaluasi
pekan uji emisi di wilayah DKI Jakarta tahun 2001 didapatkan hasil bahwa
efisiensi bahan bakar bensin dengan melakukan perawatan sebesar 52%
(Swisscontact, 2001). Bila angka ini yang dipergunakan untuk menghitung
efisiensi bahan bakar bensin untuk tahun 2014 maka diperkirakan akan terjadi
penghematan BBM sebesar 17.083 kl/hari dengan asumsi :
• jumlah kendaraan berbahan bakar bensin sebesar 75% dari total jumlah
kendaraan mobil penumpang
• konsumsi BBM kendaraan rata-rata per hari adalah 20 liter/hari

5.2.2 Pengaruh Kebijakan Penggunaan Bahan Bakar Gas untuk Kendaraan


Umum dalam Mereduksi Beban Emisi.
Sebagaimana hasil pembahasan sebelumnya bahwa kualitas bahan bakar
minyak yang beredar di pasaran Indonesia belum cukup ramah lingkungan, maka
penggunaan bahan bakar alternatif seperti bahan bakar gas (BBG) sangatlah
diperlukan dalam rangka penurunan tingkat emisi dari kendaraan bermotor. Salah
satu upaya yang sedang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta adalah
pemanfaatan BBG sebagai pengganti BBM untuk kendaraan umum dan kendaraan
operasional pemerintah daerah.
Penggunaan BBG pada kendaraan dapat mengurangi emisi pencemar PM10
sebesar 60% sampai 97%, NOx sebesar 25% hingga 86% dan CO sebesar 52%
hingga 84% dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar solar (worldbank,
2000). Sedangkan bila dibandingkan dengan kendaraan yang menggunakan bahan
60

bakar bensin, penggunaan BBG dapat menurunkan 98% pencemar CO, 45% NOx
dan 95% PM10 (Walsh et al. 1996). Adapun target kendaraan yang akan
dikonversi sebanyak 5% untuk mobil penumpang yang merupakan kendaraan dari
jenis angkutan umum (mikrolet dan taksi) serta kendaraan operasional milik
pemerintah, 2% kendaraan truk serta 30% bis. Berdasarkan hal tersebut, maka
estimasi reduksi emisi dengan menggunakan BBG dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Estimasi reduksi emisi dengan penggunaan BBG

Kategori CO NOx PM10


Kendaraan % ton % ton % ton
2014
Sepeda Motor 0% - 0% - 0% -
Mobil Penumpang 5% 73.206 2% 2.386 5% 263
Truk 2% 1.847 1% 3.373 2% 369
Bis 45% 168.316 39% 157.809 54% 25.706
2020
Sepeda Motor 0% - 0% - 0,0% -
Mobil Penumpang 5% 98.603 2% 4.643 5,0% 279
Truk 2% 2.332 1% 4.259 2,0% 466
Bis 45% 170.198 39% 159.574 54% 25.994

Pada tahun 2014 total emisi CO yang dapat direduksi diperkirakan sebesar
243.368 ton, NOx dapat direduksi sebesar 163.568 ton dan emisi PM10 total adalah
26.339 ton. Sedangkan pada tahun 2020 total emisi CO yang dapat tereduksi
diperkirakan sebesar 271.134 ton, NOx dapat direduksi sebesar 168.475 ton dan
emisi PM10 total adalah 26.740 ton.

Tabel 9 Estimasi beban emisi dengan penggunaan BBG (ton/tahun)

Sepeda Mobil
Tahun Parameter Truk Bis
Motor Penumpang
2014 CO 1.154.466 1.420.786 121.278 205.719
NOx 23.914 103.669 256.069 246.829
PM10 19.791 5.270 20.151 21.898
2020 CO 2.393.307 1.913.707 153.146 208.020
NOx 49.576 138.207 323.356 249.590
PM10 41.028 7.174 25.447 22.143
61

Total beban emisi pencemar pada tahun 2014 yang berasal dari mobil
penumpang dengan adanya kebijakan ini adalah 1.529.725 ton/tahun, kendaraan
truk berkontribusi 397.499 ton/tahun dan bis berkontribusi sebesar 474.466
ton/tahun. Pada tahun 2020 total beban emisi pencemar yang berasal dari mobil
penumpang dengan adanya kebijakan ini adalah 2.059.087 ton/tahun, kendaraan
truk berkontribusi 501.948 ton/tahun dan bis berkontribusi sebesar 479.753
ton/tahun
Total beban emisi CO dari kendaraan bermotor tahun 2014 bila kebijakan
penggunaan BBG ini diterapkan adalah 2.902.249 ton/tahun dan pada tahun 2020
total beban emisi CO adalah 4.668.180 ton/tahun. Sedangkan beban emisi NOx
total 630.480 ton/tahun pada tahun 2014 dan 760.728 ton/tahun pada tahun 2020.
Beban emisi total pencemar PM10 pada tahun 2014 sebesar 67.111 ton/tahun dan
sebesar 95.791 ton/tahun pada tahun 2020 (Gambar 26).

5000000
Beban emisi (ton/tahun)

4000000

3000000

2000000

1000000

0
CO NOx PM10

2014 Tanpa kontrol 2014 BBG 2020 Tanpa kontrol 2020 BBG

Gambar 26 Beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor dengan adanya


kebijakan BBG tahun 2014 dan tahun 2020 di DKI Jakarta

Potensi penurunan total beban emisi dengan diterapkannya kebijakan BBG pada
tahun 2014 untuk pencemar CO sebesar 8%, NOx sebesar 21% dan PM10 sebesar
28%. Sedangkan pada tahun 2020, potensi penurunan total beban emisi dengan
diterapkannya kebijakan BBG untuk pencemar CO sebesar 5%, NOx sebesar 18%
dan PM10 sebesar 24%.
62

5.2.3 Pengaruh Kedua Program Kebijakan diterapkan Bersamaan dalam


Menurunan Emisi
Apabila sistem P dan P diterapkan bersamaan dengan penggunaan BBG
pada kendaraan umum dan operasional pemerintah, maka diperkirakan reduksi
emisi pada tahun 2014 adalah 1,7 juta ton dan meningkat mencapai 2,7 juta ton di
tahun 2020. Jumlah ini adalah dua kali lipat dari penerapan kebijakan yang
dilakukan secara terpisah atau bila hanya salah satu dari kebijakan yang
diterapkan. Reduksi emisi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Estimasi reduksi emisi bila penggunaan BBG dan sistem P dan P
diterapkan bersamaan

Kategori CO NOx PM10


Kendaraan % ton % ton % ton
2014
Sepeda Motor 38% 432.925 15% 3.587 34% 6.679
Mobil Penumpang 42% 633.452 17% 18.294 39% 2.130
Truk 32% 38.784 13% 34.506 29% 5.910
Bis 75% 280.526 51% 206.365 81% 38.560
2020
Sepeda Motor 43% 1.017.155 17% 8.428 38% 15.693
Mobil Penumpang 47% 953.835 20% 28.927 42% 3.130
Truk 37% 56.750 15% 50.125 33% 8.629
Bis 80% 302.575 53% 216.857 86% 41.157

Pada tahun 2014 total emisi CO yang dapat direduksi diperkirakan sebesar
1.385.688 ton, NOx dapat direduksi sebesar 262.752 ton dan emisi PM10 total
adalah 53.279 ton. Sedangkan pada tahun 2020 total emisi CO yang dapat
tereduksi diperkirakan sebesar 2.330.315 ton, NOx dapat direduksi sebesar
304.337 ton dan emisi PM10 total adalah 68 610 ton.
Total beban emisi pencemar pada tahun 2014 yang berasal dari mobil
penumpang bila kedua kebijakan dilakukan bersamaan adalah 951.703 ton/tahun,
sepeda motor sebesar 754.980 ton/tahun, kendaraan truk berkontribusi sebesar
323.887 ton/tahun dan bis berkontribusi sebesar 300.826 ton/tahun. Pada tahun
2020 total beban emisi pencemar 1.176.720 ton/tahun, kendaraan truk
berkontribusi 393.502 ton/tahun, bis berkontribusi sebesar 274.930 ton/tahun dan
sepeda motor sebesar 1.442.634 ton/tahun.
63

Tabel 11 Estimasi beban emisi tahun 2014 dan 2020 bila penggunaan BBG dan
sistem P dan P diterapkan bersamaan (ton/tahun)

Tahun Parameter Sepeda Motor Mobil Penumpang Truk Bis


2014 CO 721.541 860.539 84.341 93.509
NOx 20.327 87.760 224.936 198.272
PM10 13.111 3.403 14.611 9.045

2020 CO 1.376.151 1.058.475 98.729 75.644


NOx 41.148 113.922 277.490 192.307
PM10 25.335 4.323 17.284 6.980

Total beban emisi CO dari kendaraan bermotor tahun 2014 bila bila kedua
kebijakan diterapkan bersamaan adalah 1.759.930 ton/tahun dan pada tahun 2020
total beban emisi CO adalah 2.608.999 ton/tahun. Sedangkan beban emisi NOx
total 531.296 ton/tahun pada tahun 2014 dan 624.866 ton/tahun 2020. Beban
emisi total pencemar PM10 pada tahun 2014 sebesar 40.170 ton/tahun dan sebesar
53.921 ton/tahun pada tahun 2020.
Perbandingan total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta
tahun 2014 dan 2020 dapat dilihat pada Gambar 27. Bila dilakukan pengendalian
terhadap emisinya tahun 2014 maka diperkirakan akan menurunkan beban emisi
sampai dengan 1,7 juta ton dan 2,2 juta ton pada tahun 2020.

7000000
Beban emisi (ton/tahun)

6000000
5000000
4000000
3000000
2000000
1000000
0
2014 2020

Tanpa kontrol Sistem P dan P BBG Bersamaan

Gambar 27 Total beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta


(dengan kontrol dan tanpa kontrol)
64

Secara umum kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan


bermotor di DKI Jakarta mampu mengurangi beban emisi yang ada baik yang
dilakukan secara terpisah maupun bersamaan. Potensi penurunan total beban
emisi jika kedua kebijakan diterapkan bersamaan pada tahun 2014 untuk
pencemar CO sebesar 44%, NOx sebesar 33% dan PM10 sebesar 57%. Sedangkan
pada tahun 2020, potensi penurunannya untuk pencemar CO sebesar 47%, NOx
sebesar 33% dan PM10 sebesar 56%.
Penurunan total beban emisi dari kendaraan bermotor dengan menggunakan
kebijakan penggunaan BBG bagi kendaraan umum tidak sebesar bila diterapkan
kebijakan pemeriksaan emisi dan pemeliharaan kendaraan bermotor apalagi jika
diterapkan bersamaan. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya (terbatas) jumlah
kendaraan yang menggunakan BBG, tetapi jika dikemudian hari kendaraan umum
yang ada bertambah sesuai dengan kebutuhan perjalanan penduduk Jakarta maka
tidak menutup kemungkinan beban emisi akan berkurang secara signifikan.
Kebijakan pengendalian pencemaran udara dari kendaraan bermotor
seharusnya terintegrasi dengan kebijakan transportasi yang ada. Tanpa dukungan
management transportasi yang baik maka pengendalian pencemaran udara dari
sektor transportasi tidak akan mampu menurunkan tingkat pencemaran udara yang
ada saat ini. Kesadaran akan kebutuhan udara yang bersih dan sehat dari semua
warga masyarakat harus terus di tingkatkan. Dukungan akan terciptanya udara
yang bersih dari semua pihat baik perorangan, masyarakat, instansi pemerintah
dan swasta sangatlah diperlukan.

5.3 Estimasi Konsentrasi Pencemar CO, NOx dan PM10 dengan Model
Kotak.
Beban emisi tahun 2008 dari kendaraan bermotor di DKI Jakarta untuk
masing-masing pencemar yang terdistribusi ke dalam lima wilayah administratif
kotamadya tersaji pada Tabel 12 dengan mengacu nilai VKT pada Lampiran 8.
Beban emisi terbesar dijumpai di Jakarta Timur. Jumlah penduduk Jakarta Timur
yang lebih tinggi dari wilayah lain ternyata berpengaruh terhadap beban emisi
yang dihasilkan (Lampiran 9).
65

Tabel 12 Distribusi spasial beban emisi dari kendaraan bermotor di DKI


Jakarta tahun 2008 (ton/tahun)

Wilayah Admistratif CO NOx PM10


Jakarta Selatan 509.653 162.349 18.105
Jakarta Timar 532.710 169.694 18.924
Jakarta Utara 361.241 115.073 12.833
Jakarta Pusat 294.979 93.965 10.479
Jakarta Barat 425.778 135.631 15.125
(Sumber : perhitungan)

Estimasi kualitas udara tahun 2008 menggunakan model kotak dapat dilihat
pada Tabel 13. Ketinggian lapisan pencampuran maksimum (musim kemarau)
mencapai 1.981,29 meter dan minimum (musim hujan) adalah 1.435,17 meter
(Septianzar, 2008).

Tabel 13 Estimasi kualitas udara di DKI Jakarta tahun 2008

Wilayah CO NOx PM10 Keterangan


Administratif mg/m3 µg/m3 µg/m3
Jakarta Selatan 6,68 2.127 237 A.
Jakarta Timur 5,42 1.708 190
Jakarta Utara 4,85 1.529 171
Jakarta Pusat 11,76 3.707 413
Jakarta Barat 6,44 2.031 227
Jakarta Selatan 4,84 1.541 172 B.
Jakarta Timur 3,92 1.250 139
Jakarta Utara 3,51 1.119 125
Jakarta Pusat 8,52 2.713 303
Jakarta Barat 4,67 1.487 166
Keterangan : A= Saat ketinggian lapisan pencampuran minimum
B = Saat ketinggian lapisan pencampuran maksimum

Konsentrasi yang tertera pada Tabel 13 menunjukkan angka yang jauh


berbeda jika dibandingkan dengan hasil pengukuran kualitas udara milik BPLHD
DKI Jakarta untuk mobile station (Lampiran 8). Kemungkinan hal ini dapat terjadi
karena hasil pengukuran dilapangan sudah dipengaruhi oleh faktor meteorologi
seperti angin, temperatur, radiasi sehingga pencemaran telah mengalami
66

pengenceran. Selain itu, kenyataan yang terjadi di lapangan adalah konsentrasi


pencemar yang terukur bersumber tidak hanya dari kendaraan bermotor, tetapi
juga dari sumber pencemar lain.
Pada tahun 2014 diperkirakan konsetrasi pencemar CO, NOx dan PM10 akan
meningkat masing-masing sebesar 0,9 kali hingga 2 kali lipat dari tahun 2008.
Peningkatan akan bertambah di tahun 2020 menjadi 1 kali hingga 3,21 kali lipat
bila dibandingkan tahun 2008. Berikut ini disajikan estimasi konsentrasi pencemar
rata-rata tahunan pada tahun 2014 dan 2020 (Gambar 28 - Gambar 30)

30,00

25,00
Konsentrasi (mg/m3)

20,00

15,00

10,00

5,00

0,00
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan Timur Utara Pusat Barat Selatan Timur Utara Pusat Barat

Ketinggian maksimum Ketinggian minimum

Tahun 2014 Tahun 2020 BMU DKI Jakarta

Gambar 28 Estimasi konsentrasi CO tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta

Kisaran konsentrasi pencemar CO tahun 2014 diperkirakan sebesar 5,20


mg/m3 hingga 17,41 mg/m3, sedangkan pada tahun 2020 konsentrasi pencemar
berkisar antara 8,17 mg/m3 hingga 27,34 mg/m3. Konsentrasi pencemar di Jakarta
Pusat memiliki nilai tertinggi dan melebihi baku mutu udara ambien DKI
dibandingkan dengan daerah lain hal ini dapat dipahami mengingat luasan area
Jakarta Pusat lebih kecil dari daerah lain. Pada tahun 2020, konsentrasi CO di
seluruh DKI Jakarta berpotensi melebihi baku mutu udara ambien DKI (BM 24
jam), jika kebijakan pengendalian pencemaran udara sama sekali tidak diterapkan
kecuali untuk wilayah Jakarta Utara yang terukur pada ketinggian lapisan
pencampuran maksimum.
67

6000

5000
Konsentrasi ( µg/m 3)

4000

3000

2000

1000

0
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan Timur Utara Pusat Barat Selatan Timur Utara Pusat Barat

Ketinggian maksimum Ketinggian minimum

Tahun 2014 Tahun 2020 BMU DKI Jakarta

Gambar 29 Estimasi konsentrasi NOx tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta

Kisaran konsentrasi pencemar NOx tahun 2014 diperkirakan sebesar 1.313


µg/m3 hingga 4.395 µg/m3 dan pada tahun 2020 nilai konsentrasi berkisar 1.537
µg/m3hingga 5.143 µg/m3. Pada Gambar 29 terlihat bahwa semua nilai
konsentrasi jauh diatas baku mutu 24 jam dan 1 tahun udara ambien DKI Jakarta
untuk pencemar NO2 yaitu 92,5 µg/m3 dan 60 µg/m3.
Perkiraan konsentrasi pencemar PM10 tahun 2014 berkisar antara 155 µg/m3
hingga 517 µg/m3 dan pada tahun 2020 nilai konsentrasi berkisar 203
µg/m3hingga 678 µg/m3. Bila dibandingkan dengan baku mutu udara ambien DKI
Jakarta yaitu 150 µg/m3 maka nilai konsentrasi yang diperkirakan akan berada
diatas baku mutu, terlebih bila dibandingkan dengan baku mutu WHO (2005)
yang sebesar 50 µg/m3 maka semua nilai konsentrasi yang ada tahun 2020 jauh
diatas baku mutu.
68

800
700
600
Konsentrasi ( µg/m 3)

500
400
300

200
100
0
Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta Jakarta
Selatan Timur Utara Pusat Barat Selatan Timur Utara Pusat Barat

Ketinggian maksimum Ketinggian minimum

Tahun 2014 Tahun 2020 BMU DKI Jakarta

Gambar 30 Estimasi konsentrasi PM10 tahun 2014 dan 2020 di DKI Jakarta
VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan dari penelitian ini maka didapatkan kesimpulan
sebagai berikut :
a. Beban emisi pencemar CO, NOx dan PM10 dari kendaraan bermotor di DKI
Jakarta pada tahun 2008 secara berturut turut adalah 2.124.361 ton/tahun,
676.713 ton/tahun dan 75.466 ton/tahun.
b. Tanpa adanya kebijakan pengendalian emisi dari kendaraan bermotor di
DKI Jakarta maka total beban emisi pencemar dari kendaraan bermotor
diperkirakan akan meningkat 1,4 kali lipat pada tahun 2014 dan 2 kali lipat
pada tahun 2020 dari beban emisi tahun 2008. Sedangkan konsentrasi
pencemar di udara akan meningkat sebesar 0,9 kali hingga 3,2 kali lipat dari
konsentrasi tahun 2008.
c. Penerapan kebijakan sistem P dan P dapat menurunkan total beban emisi
lebih besar dibandingkan penerapan kebijakan BBG dan nilai ini akan
bertambah jika kedua kebijakan tersebut dilakukan bersamaan.

6.2 Saran
a. Penurunan tingkat emisi yang lebih besar dari kendaraan dapat dicapai bila
dilakukan pengembangan sistem transportasi umum menuju pusat-pusat
aktivitas ekonomi dan terintegrasi dengan wilayah penyangga (bodetabek).
Sehingga besar kemungkinan penggunaa kendaraan pribadi akan menurun.
b. Penerapan kebijakan pengendalian pencemaran udara yang ada di DKI
Jakarta sesuai dengan Perda nomor 2 tahun 2005 terutama untuk sistem P
dan P sebaiknya segera dilaksanakan, sehingga beban emisi dari kendaraan
bermotor dapat segera berkurang.
c. Adanya kebijakan bahan bakar minyak sesuai standart internasional di
Indonesia perlu segera direalisasikan mengingat salah satu sumber tingginya
70

pencemaran udara dari kendaraan adalah adanya bahan bakar yang tidak
ramah lingkungan.
d. Perlu adanya kebijakan pemberian keringanan pajak bagi kendaraan yang
menggunaan bahan bakar alternatif, sehingga dapat memicu jumlah
kendaraan yang ramah lingkungan lebih banyak lagi.
71

DAFTAR PUSTAKA

Ammari, F. 2005. Transport and Traffic Draft Working Paper, Urban Air
Quality Improvement Sector Development Program (UAQ-i SDP), UAQi
ADB TA Consultant

[ARPEL] Regional Association of oil and Natural Gas Companies in Latin


America and the Caribbean. 2001. Systemic Approach to Vehicular
Emission Control in Latin America and the Caribbean. Argentina.

[BPHMIGAS] Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas. Komoditas dan Pemasaran
Bahan Bakar Minyak. http:// www.bphmigas.go.id. [23 Oktober 2008]

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2007. Jakarta dalam Angka Tahun 2007. Badan
Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta

[Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2006. Strategi dan


Rencana Aksi Lokal DKI Jakarta untuk Peningkatan Kualitas Udara
Perkotaan, Jakarta.

Canter. 1996. Environmental Impact Assessment Second Edition : Impact


Prediction and Assessment of Air Quality. Kota penerbit :, McGraw Hill

Godhish, T. 2004. Air Quality 4th Edition, Atmospheric Pollution and Pollutants,
Chapter 2 pages 31-33 and 49-50. Kota penerbit : Lewis Publisher

Eggleston, S. and Walsh, M. 2000. Emissions : Energy, Road Transport. Paper


Good Practice Guidance and Uncertainty Management in National
Greenhouse Gas Inventories.

Gorham, R. 2002. Air Pollution from Ground Transportation ; An assessment of


causes, strategies and tactics, and proposed actions for the international
community, United Nations.

Hidayat, A. 2005. Konsumsi BBM dan Peluang Pengembangan Energi


Alternatif, Inovasi online 5/XVII/November 2005 [15 Oktober
2008].November 2005 [6 September 2008]

[IPCC] Intergovermental Panel on Climet Change. 2006. Guidelines for National


Greenhouse Gas Inventories: Reference Manual

[JICA] Japan International Cooperation Agency. 1997. The Study on the


Integrated Air Quality Management for Jakarta Metropolitan Area. Draft
Final Report. Nippon Koei Co. Ltd, Suuri Keikaku Ltd.
72

[JICA] Japan International Cooperation Agency. 2004. The Study on Integrated


Transport Master Plan fo JABODETABEK (SITRAMP) Vol. I and Vol II.

Kannan, K. 1997. Fundamentals of Environmental Pollution. S. Chand and


Company Ltd. New Delhi. India

Kazakhstani. 2002. GHG Emissions Inventory from Coal Mining and Road
Transportation. Almaty. Kazakhtan. http ://www.pnl.gov/aisu/pubs/
kazakemm.pdf, [7 Juni 2008]

Kementerian Lingkungan Hidup. 2007. Fuel Quality Report 2007. Clean Fuel :
A Requirement for Air Quality Improvement. Jakarta

Kementerian Lingkungan Hidup. 2008. Draft Petunjuk Teknis Penghitungan


Beban Emisi dari Kendaraan Bermotor Volume 1. Jakarta

{NAP] National Academic Press. 2001. Evaluating Vehicle Emissions Inspection


and Maintenance Programs. National Academy of Sciences. Washington,
D.C. http ://www.nap.edu/catalog/10133.html [8 Juli 2008]

Satudju, D. 1991. Studi Pencemaran Udara Oleh Kendaraan Bermotor di DKI


Jakarta. Program Studi Ilmu Lingkungan – UI. Jakarta.

Soedomo, M. 2001. Pencemaran Udara, Kumpulan Karya Ilmiah. ITB Bandung,

Suhadi dan Damantoro. 2005. Emission Strengths and Spatial Distribution of


Emissions of Primary Pollutants in Agglomeration of Jakarta.

Sukarto,H. 2004. Sistem lalu lintas perkotaan berwawasan lingkungan. Jurnal


Lingkungan dan Pembangunan 24 (3) : 228-239.

Sutomo H. dan Ammari, F. 2008. Sistem Transportasi yang Berkesinambungan


di DKI Jakarta. Inovasi.online 10 (XX) Maret 2008 [10 September 2008].

Stewart, R. 2005. Earth’s Radiation Balance and Oceanic Heat Fluxes,


Department of Oceanography, Texas A&M University

Syahril, S., Resosudarmo, B.P., and Satriyo Tomo, B. 2002. Indonesian Multi-
Sector Action Plan Group on Vehicle Emission Reduction, Integrated
Vehicle Emission Reduction Strategy for Greater Jakarta, RETA 5937
Asian Development Bank.

Swisscontact. 2001. Laporan Pelaksanaan Kegiatan Pekan Urun Turun Emisi IV.
Jakarta.

UNEP. 2006. Pedoman Efisiensi Energi untuk Industri di Asia (versi bahasa
Indonesia).
73

Walsh M, Faiz, A., Weaver, C.S. 1996. Air pollution from Motor Vehicles. Standards
and Technologies for Controlling Emissions. World Bank Washington D.C.
USA

World Bank. 1997. Urban Air Quality Management Strategy in Asia. World
Bank Technical Paper No. 378

Wilton, E. 2001. Good Practice Guide for Preparing Emission Inventory,


Ministry for The Environment - Sustainable Management Fund

Anda mungkin juga menyukai