Anda di halaman 1dari 119

ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC

ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI


LINGKUNGAN
(Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)

DESSY CHRISTIARINI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
RINGKASAN

DESSY CHRISTIARINI. Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road


Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta Pusat). Dibimbing Oleh RIZAL BAHTIAR.

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan skema tol elektronik untuk


mengatur lalu lintas melalui road pricing sebagai mekanisme penggunaan
berbasis perpajakan. Kebijakan ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat
dicapai sehingga masalah lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi
masyarakat dapat diatasi. Tujuan Penelitian ini adalah 1) Menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari kemampuan pengguna jalan
untuk membayar, 2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk
diberlakukan dilihat dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP), 3)
Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat
pemberlakuan ERP, 4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP,
dan 5) Menganalisis rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem
pemanfaatan keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP.
Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linier berganda diketahui
bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai ERP dilihat dari
Willingness To Pay (WTP) pengguna jalan adalah tingkat pendidikan, rata-rata
pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena
kemacetan. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah keinginan
untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan. Nilai
rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai tersebut dapat dijadikan acuan
dalam penetapan tarif ERP. Nilai total WTP responden pengguna Jalan Jenderal
Sudirman sebesar Rp 212.583.756.000/tahun. Tarif ERP yang sesuai untuk
diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100, sehingga jumlah
kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP sebesar 5.429.628 unit
kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi. Pengurangan jumlah kendaraan
bermotor dapat mengurangi konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman.
Asumsinya apabila ERP diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan
mendekati rata-rata Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB). Estimasi perkiraan
jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit
kendaraan/tahun. Dengan demikian, perkiraan total dana yang dapat dihasilkan
dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang
dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan,
sehingga total dana yang dapat dihasilkan adalah Rp 87.159.349.200/tahun
dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak siang, dan peak sore.
Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan peak sore saja (ERP
tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana yang dapat dihasilkan
dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp 66.382.428.420/tahun.

Kata Kunci : Electronic Road Pricing (ERP), Willingness To Pay (WTP), Tarif
ERP
ANALISIS RENCANA PEMBERLAKUAN ELECTRONIC
ROAD PRICING UNTUK MENGURANGI POLUSI
LINGKUNGAN
(Kasus Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)

DESSY CHRISTIARINI
H44070026

Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Analisis Rencana Pemberlakuan

Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan: Kasus Jalan

Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat adalah karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi

manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Juni 2011

Dessy Christiarini
H44070026
Judul Skripsi : Analisis Rencana Pemberlakuan Electronic Road Pricing untuk
Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan Jenderal Sudirman,
Jakarta Pusat)

Nama : Dessy Christiarini

NIM : H44070026

Menyetujui

Dosen Pembimbing,

Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si


NIP. 19800603 200912 1 006

Mengetahui

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT


NIP. 19660717 199203 1 003

Tanggal Lulus:
UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua

pihak yang telah membantu baik moril maupun materil untuk menyelesaikan

skripsi ini, yaitu kepada :

1. Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya skripsi ini dapat

diselesaikan sesuai dengan waktu yang diharapkan.

2. Ayahanda (Yohanes Sumarjo), Ibunda (Brigita Suharsih), Kakakku (Rosa

Maharani), Tanteku (Yanti), dan seluruh keluarga besar saya yang selalu

memberikan semangat, kasih sayang, doa dan dukungannya kepada penulis.

3. Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah

meluangkan waktunya untuk memberikan semangat, perhatian, bimbingan,

motivasi, saran, dan pengarahan kepada penulis dengan penuh kesabaran

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak Dr. Ir. Ahyar Ismail, M.Agr dan Bapak Novindra, SP sebagai dosen

penguji yang bersedia meluangkan waktunya untuk menguji dan memberikan

saran demi penyempurnaan skripsi ini.

5. Abdull Balfash dan Sahabat-sahabat terbaikku (Oi, Vita, Ai, Astrid, Echi,

Uut), teman-teman 1 PS, dan seluruh mahasiswa/i ESL yang selalu membantu,

mendoakan, dan memberi semangat/dukungan kepada penulis hingga saat ini.

6. Seluruh staf pengajar dan karyawan/wati di Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, FEM IPB.

7. Seluruh pihak dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah dan Dinas

Perhubungan Provinsi DKI Jakarta yang telah membantu dalam pengambilan

data selama penelitian.


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

atas segala berkat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi ini dengan baik. Skripsi yang berjudul “Analisis Rencana Pemberlakuan

Electronic Road Pricing untuk Mengurangi Polusi Lingkungan (Kasus Jalan

Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat)” disusun sebagai salah satu syarat memperoleh

gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,

Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mendapatkan banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak

baik secara moril maupun materil. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk

memperoleh kesempurnaan dalam penulisan berikutnya. Semoga penelitian ini

dapat bermanfaat bagi penulis dan pembacanya serta pihak-pihak yang

membutuhkan.

Bogor, Juni 2011

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL ................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii
I. PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1. Latar Belakang ........................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ................................................................... 5
1.3. Tujuan Penelitian ....................................................................... 8
1.4. Manfaat Penelitian ..................................................................... 8
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .......................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 10
2.1. Definisi Electronic Road Pricing (ERP) .................................... 10
2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) ...... 13
2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa
Negara ........................................................................................ 15
2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP) .............. 17
2.5. Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP) .......................... 18
2.6. Permasalahan Transportasi Publik ............................................. 21
2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara ............................ 22
2.8. Dampak Pencemaran Udara ....................................................... 25
2.9. Manajemen Transportasi ............................................................ 26
III. KERANGKA PEMIKIRAN .......................................................... 30
3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................................... 30
3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM) ............................. 30
3.1.1.1. Kelebihan Contingent Valuation Method
(CVM) .................................................................. 31
3.1.1.2. Kelemahan Contingent Valuation Method
(CVM) .................................................................. 32
3.1.1.3. Tahap-tahap Contingent Valuation Method
(CVM) .................................................................. 34
3.1.1.4. Organisasi dalam Pengoperasian Contingent
Valuation Method ................................................. 38
3.1.2. Regresi Linier Berganda .................................................. 39
3.1.3. Instrumen Ekonomi .......................................................... 41
3.2. Kerangka Pemikiran Operasional .............................................. 43
IV. METODE PENELITIAN............................................................... 46
4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 46
4.2. Jenis dan Sumber Data ............................................................... 46
4.3. Metode Pengambilan Contoh ..................................................... 46
4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ...................................... 47
4.4.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya
Nilai ERP Dilihat dari WTP Pengguna Jalan .................. 48
4.4.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk
Menentukan Besarnya Nilai ERP ................................... 50
4.4.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang
Berkurang ........................................................................ 54
4.4.4. Analisis Dampak Lingkungan ......................................... 55
4.4.5. Rekomendasi Kebijakan.................................................. 55
4.5. Pengujian Parameter................................................................... 55
4.5.1. Uji Statistika....................................................................
4.5.1.1. Koefisien Determinasi (R2) ............................... 56
4.5.1.2. Uji Statistik t ..................................................... 56
4.5.1.3. Uji Statistik F .................................................... 57
4.5.2. Uji Ekonometrika ............................................................ 58
4.5.2.1. Uji Multikolinear............................................... 58
4.5.2.2. Uji Heteroskedastisitas ...................................... 59
V. GAMBARAN UMUM...................................................................... 61
5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .......................................... 61
5.2. Karakteristik Responden ............................................................ 65
5.2.1. Jenis Kelamin ................................................................... 65
5.2.2. Tingkat Usia ..................................................................... 66
5.2.3. Tingkat Pendidikan .......................................................... 67
5.2.4. Jenis Pekerjaan ................................................................. 67
5.2.5. Tingkat Pendapatan .......................................................... 68
5.2.6. Jumlah Tanggungan ......................................................... 69
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 70
6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai
ERP Dilihat dari Willingness To Pay (WTP) Pengguna Jalan .. 70
6.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan
Besarnya Nilai ERP................................................................... 76
6.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang .......... 81
6.4. Analisis Dampak Lingkungan dari Pemberlakuan ERP ........... 84
6.4.1. Kondisi Lingkungan ........................................................ 85
6.4.2. Kondisi Sosial ................................................................. 87
6.4.3. Kondisi Ekonomi ............................................................ 87
6.5. Kebijakan Pengelolaann Sistem Pemanfaatan Keuangan
dari Pemberlakuan ERP ............................................................ 90
VII. SIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 94
7.1. Simpulan .................................................................................. 94
7.2. Saran ......................................................................................... 95

VIII. DAFTAR PUSTAKA .................................................................. 97


LAMPIRAN ........................................................................................... 100

ix
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut
Jenis Tahun 2005-2010 ..................................................................... 1
2. Pengelompokan Road Pricing........................................................... 11
3. Metode Analisis Data ........................................................................ 47
4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis di Wilayah Jakarta
Pusat Tahun 2005-2010 .................................................................... 64
5. Hasil Analisis Nilai WTP Responden Pengguna Jalan Jenderal
Sudirman ........................................................................................... 70
6. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda yang
Menunjukkan Tidak Adanya Pelanggaran Asumsi dalam Model..... 76
7. Distribusi Nilai WTP Responden ...................................................... 78
8. Total WTP Masyarakat Pengguna Jalan Jenderal Sudirman ............ 79
9. Total Kendaraan yang Berkurang Akibat Pemberlakuan ERP ......... 82
10. Data Car Free Day tahun 2010 ......................................................... 84
11. Total Kendaraan yang Dapat Memasuki Zona ERP ......................... 88

x
DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
1. Aplikasi ERP di Beberapa Kota di Dunia ......................................... 16
2. Diagram Alur Kerangka Berfikir ...................................................... 45
3. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Blok-M ............... 63
4. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Semanggi ........... 64
5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ...................... 66
6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia ........................ 66
7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan .............. 67
8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan .................... 68
9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan ............. 68
10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan............. 69
11. Kurva Penawaran WTP ..................................................................... 79

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda ................................ 101
2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari
Pemberlakuan ERP pada Peak Pagi dan Peak Sore .......................... 106

xii
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jakarta merupakan ibu kota negara dan sebagai pusat pemerintahan

Indonesia. Menurut Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Administrasi (2010), Jakarta mempunyai luas 7.659,02 km2 dengan jumlah

penduduk sebesar 8.525.109 jiwa. Jakarta juga mempunyai kepadatan penduduk

yang tinggi yaitu mencapai 19.537 jiwa/km2. Peningkatan jumlah penduduk dan

pertumbuhan ekonomi masyarakat yang semakin tinggi menyebabkan

pembangunan fisik kota terus melaju dengan pesat.

Peningkatan jumlah penduduk juga menyebabkan semakin bertambahnya

pengguna kendaraan bermotor yang melebihi kapasitas jalan. Hal ini didorong

oleh keinginan untuk kemudahan beraktivitas. Badan Pusat Statistik (2010)

memaparkan bahwa produksi kendaraan bermotor untuk kuartal II-2010

mengalami kenaikan hingga 26,15% dibanding periode yang sama tahun lalu.

Sementara untuk produksi alat transportasi selain roda empat atau lebih

mengalami kenaikan 19,23%. Berikut ini merupakan data perkembangan jumlah

kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta tahun 2005-2010.

Tabel 1. Jumlah Kendaraan Bermotor di Wilayah DKI Jakarta Menurut


Jenis Tahun 2005-2010
Sepeda
No Tahun Penumpang Beban Bus Jumlah
Motor
1 2005 1.454.286 405.105 255.886 2.908.670 5.023.947
2 2006 1.499.610 405.836 256.207 3.242.090 5.403.743
3 2007 1.547.336 414.278 256.766 3.579.622 5.798.002
4 2008 1.610.915 427.359 257.370 3.968.749 6.264.393
5 2009 1.661.795 435.654 257.905 4.333.559 6.688.913
6 2010 1.789.458 441.886 273.789 4.835.650 7.340.783
Sumber : Kantor Kepolisian Republik Indonesia (2011)

1
Tabel 1 menunjukkan data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya,

yaitu kendaraan bermotor berjenis penumpang meliputi mobil pribadi dan

angkutan umum, kendaraan bermotor berjenis beban meliputi truk dan angkutan-

angkutan berat, kendaraan bermotor berjenis bus dan sepeda motor. Sejak tahun

2005-2010 jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cenderung mengalami

peningkatan. Perkembangan Kota Jakarta yang semakin pesat ditandai dengan

semakin pesatnya pertumbuhan industri, perdagangan, bisnis, pertokoan, dan

pemukiman sehingga aktivitas perjalanan menjadi tinggi dan menimbulkan beban

pada ruas-ruas jalan. Hal ini mengakibatkan kemacetan hampir di semua ruas-ruas

jalan utamanya.

Kemacetan lalu lintas di Kota Jakarta semakin hari semakin sulit diatasi.

Setiap hari, kemacetan selalu terjadi di berbagai belahan wilayah ibu kota, mulai

dari jalan protokol. Kemacetan dapat menimbulkan berbagai masalah yang erat

kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kerugian utama dari

kemacetan adalah menurunnya efisiensi dan efektivitas perekonomian kota yang

sekaligus dapat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional karena

produktivitas pekerja yang menurun. Selain itu, kemacetan juga meningkatkan

biaya operasi dan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) serta meningkatkan

polusi udara di Kota Jakarta karena jumlah emisi yang dikeluarkan ke udara lebih

tinggi akibat mesin yang menyala lebih lama. Polusi udara yang terus meningkat

akan menjadikan lingkungan kota yang tidak sehat dan dapat menurunkan

kesehatan manusia.

Kebijakan dalam hal sistem transportasi telah banyak dikeluarkan oleh

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mengurangi tingkat kemacetan di ibu kota

2
sehingga inefisiensi bahan bakar dapat ditekan dan polusi udara dapat dikurangi.

Tingkat polusi yang semakin meningkat tidak dapat dipisahkan dengan masalah

perencanaan dan manajemen transportasi. Manajemen transportasi yang baik

harus diterapkan untuk melancarkan arus lalu lintas dan meningkatkan tingkat

mobilitas serta mencapai pembangunan yang berkelanjutan.

Dalam membatasi kendaraan bermotor, Dinas Perhubungan DKI Jakarta

menjalankan aturan three in one, yaitu kebijakan mobil berpenumpang minimal

tiga orang pada jam-jam tertentu di jalan-jalan protokol Jakarta. Hal ini

dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan dan tingkat polusi udara yang semakin

tinggi. Penerapan jalur three in one telah diberlakukan sejak 23 Desember 2003.

Jalur three in one ini meliputi Jalan Jenderal Sudirman, Jalan MH. Thamrin, Jalan

Sisimangaraja, Jalan Medan Merdeka Barat, Jalan Majapahit, Jalan Gajah Mada,

Jalan Hayam Wuruk, Jalan Pintu Besar Selatan, Jalan Pintu Besar Utara, dan Jalan

Jenderal Gatot Subroto. Sistem ini sedikit banyak telah mampu menekan

penggunaan kendaraan pribadi pada jalan-jalan utama tersebut, akan tetapi hal ini

tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di

Jakarta. Kebijakan three in one ini dinilai tidak efektif dalam mengurangi

kemacetan dan menekan penggunaan kendaraan pribadi di kota Jakarta. Hal ini

dikarenakan sistem tersebut memiliki beberapa kelemahan antara lain: (1) tidak

adanya manajemen atau aturan yang melarang penggunaan jalan-jalan lokal,

sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal atau biasa disebut ”jalan

tikus” yang ada untuk menghindari daerah three in one, ini memindahkan

kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa illegal yang berperan

sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang untuk melengkapi

3
jumlah penumpang menjadi tiga, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada

satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain

(seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.1

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta merencanakan salah satu kebijkan baru

di bidang transportasi yaitu Electronic Road Pricing (ERP). Mekanismenya

adalah setiap kendaraan yang melintasi suatu ruas jalan diminta untuk membayar

dengan harga tertentu. Kebijakan ini bertujuan untuk menggantikan kebijakan

three in one yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan

mobil pribadi sebagai penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiensi BBM, dan

polusi udara di Kota Jakarta. Upaya ini sangat baik dilakukan karena dapat

menurunkan tingkat polusi dan konsumsi bahan bakar minyak. Kebijakan ERP

akan diterapkan di beberapa jalan protokol dan rawan macet yang menjadi pusat

bisnis Jakarta, seperti Jalan Thamrin-Sudirman, Jalan Gajahmada-Hayamwuruk,

dan lain-lain.

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan teknologi retribusi yang paling

efektif dan efisien untuk segera mengatasi kemacetan di Jakarta karena alat

pendeteksi kendaraan bermotor yang menggunakan on board unit tersebut bisa

mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke Trans Jakarta (busway). Efisien,

karena sistem ERP bisa sinkron dengan konsep zona (pembagian daerah) parkir,

yaitu zona tengah, zona pinggir dan zona antara. Di Singapura, ERP terbukti

berhasil meningkatkan kesadaran masyarakatnya menggunakan kendaraan umum.

Sistem ERP juga akhirnya memaksa pengguna kendaraan pribadi mengeluarkan

1
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta.
http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%2
0UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses tanggal 21 November 2010.

4
biaya yang tidak sedikit. Ketika masuk zona-zona parkir tertentu, kendaraannya

tidak akan bisa masuk tanpa dilengkapi alat pendeteksi (Business News, 2010)2.

Sistem ERP yang dikelola dengan mekanisme yang baik dapat menekan

penggunaan kendaraan pribadi hingga titik minimal dan mengarahkan para

pengguna kendaraan pribadi untuk beralih dan memanfaatkan angkutan umum

yang ada sehingga kemacetan lalu lintas dapat diatasi dan tercapainya efisiensi

bahan bakar dan pengurangan polusi di udara secara signifikan. Dana yang

diperoleh dari penerapan sistem ERP tersebut dapat digunakan untuk

mengembangkan transportasi publik yang lebih aman dan nyaman.

1.2. Perumusan Masalah

Jumlah penduduk di Jakarta setiap tahunnya selalu mengalami

peningkatan. Hal ini diakibatkan selain tingginya tingkat kelahiran, arus

urbanisasi di Jakarta juga cenderung tinggi karena daya tarik kota Jakarta untuk

mencari pekerjaan. Peningkatan jumlah penduduk ini mengakibatkan peningkatan

jumlah kendaraan karena kebutuhan masyarakat terhadap alat transportasi

semakin meningkat. Hal tersebut didorong oleh keinginan untuk kemudahan

beraktivitas karena aktivitas perjalanan atau tingkat mobilitas di Kota Jakarta

cenderung tinggi. Permasalahan transportasi yang dihadapi kota Jakarta sangat

besar. Permasalahan utama yang dapat dilihat adalah kemacetan yang terjadi

hampir di seluruh ruas jalan kota Jakarta dan sekitarnya. Masalah kemacetan ini

merupakan masalah yang selalu timbul di kota-kota besar, khususnya Jakarta.

2
Business News. 2010. Investasi ERP Sebesar Rp 500 Miliar Mengatasi Kemacetan di Jakarta.
http://bataviase.co.id/node/417889. Diakses tanggal 21 November 2010.

5
Tingkat kemacetan di Kota Jakarta sudah termasuk dalam kategori yang cukup

parah dan merugikan baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan.

Sistem transportasi di Kota Jakarta yang belum efisien dapat menghambat

aktivitas ekonomi. Hal ini dapat menimbulkan kerugian ekonomi karena

produktivitas yang menurun akibat kemacetan. Dari total waktu perjalanan pada

beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu

hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V

Menko Perekonomian, 2007)3.

Selain itu, kemacetan juga berdampak besar bagi lingkungan, yaitu

meningkatnya polusi akibat emisi kendaraan bermotor karena mesin yang

menyala lebih lama sehingga menimbulkan juga inefisiensi dalam hal bahan bakar

minyak (BBM). Tingkat polusi yang semakin tinggi dapat berdampak negatif bagi

kualitas hidup dan kesehatan masyarakat.

Berbagai solusi dan kebijakan telah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta untuk mengatasi permasalahan transportasi di kota Jakarta. Namun, upaya-

upaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan.

Penerapan aturan three in one yang mewajibkan setiap kendaraan berpenumpang

minimal tiga orang pada saat melewati jalan-jalan protokol tertentu dinilai belum

efektif dalam mengurangi tingkat kemacetan.

Salah satu rencana kebijakan pemerintah dibidang transpotasi adalah

diterapkannya Electronic Road Pricing (ERP). Electronic Road Pricing (ERP)

merupakan skema tol elektronik untuk mengatur lalu lintas melalui road pricing

3
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota
Jakarta.http://bulletin.penataanruang.net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICI
NG%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses tanggal 21 November 2010.

6
sebagai mekanisme penggunaan berbasis perpajakan. ERP adalah bentuk program

pembatasan kendaraan pengganti sistem three in one yang efektif untuk

mengurangi kemacetan dan polusi udara, khususnya di wilayah yang terbilang

sempit dengan persentase pertumbuhan penduduk dan mobilitas yang tinggi.

Biaya yang dikenakan dalam mekanisme ERP bertujuan membatasi

volume kendaraan dan memberikan kesadaran kepada para pengguna kendaraan

pribadi bahwa perjalanan mereka berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan

dan kerugian kepada masyarakat yang tidak menggunakan kendaran pribadi.

Pemberlakuan ERP diharapkan mampu mengurangi dampak lingkungan dan

kemacetan, meningkatkan efisiensi penggunaan bahan bakar dan mendorong

penggunaan angkutan massal, seperti busway, kereta api, dan lain-lain. Dengan

menggunakan angkutan massal, diharapkan adanya efisiensi ruang jalan. Dana

yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP dapat menjadi sumber dana pemerintah

daerah dalam meningkatkan pelayanan di bidang transportasi dan sebagai salah

satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya transportasi yang lebih

efektif dan ramah lingkungan.

Berdasarkan uraian di atas, perumusan masalah yang akan dibahas dalam

penelitian ini adalah :

1) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari

kemampuan pengguna jalan untuk membayar?

2) Berapa besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat dari

kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP)?

3) Berapa besar jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang akibat

pemberlakuan ERP?

7
4) Bagaimana dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP?

5) Bagaimana kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan

keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP?

1.3. Tujuan

Berdasarkan perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka

penelitian ini bertujuan untuk :

1) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi nilai ERP dilihat dari

kemampuan pengguna jalan untuk membayar.

2) Mengestimasi besarnya nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan dilihat

dari kemampuan pengguna jalan untuk membayar (WTP).

3) Mengestimasi besarnya jumlah kendaraan dan emisi yang dapat berkurang

akibat pemberlakuan ERP.

4) Menganalisis dampak lingkungan dari pemberlakuan ERP.

5) Kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan keuangan yang

dihasilkan dari pemberlakuan ERP.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian mengenai Analisis Lingkungan Pemberlakuan Electronic Road

Pricing untuk Mengurangi Polusi diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1) Akademisi dan peneliti, khususnya dalam menilai kebijakan pemerintah di

bidang transportasi.

2) Pemerintah Daerah, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan

dalam penerapan kebijakan ERP dan membangun sistem transportasi publik

berkelanjutan.

8
3) Masyarakat, khususnya untuk mendorong penggunaan transportasi massal,

efisiensi bahan bakar dan memperbaiki kualitas lingkungan.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini adalah :

1) Penelitian ini hanya dilakukan terhadap pengguna Jalan Jenderal Sudirman,

Jakarta Pusat.

2) Responden pengguna jalan yang dianalisis merupakan pengendara mobil

pribadi.

9
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Electronic Road Pricing (ERP)

Electronic road pricing (ERP) adalah kebijakan pemberlakuan jalan

berbayar untuk setiap kendaraan yang melewatinya. ERP bertujuan mengurangi

kemacetan di ruas jalan tertentu meski pada simpul jalan yang lain justru

menambah kemacetan (Bisnis Indonesia, 2010)4.

Salah satu strategi dalam kebijakan sistem transportasi yang berkelanjutan

(sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan

(travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand

management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi

perjalanan yang relatif tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan

mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan

ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan

menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen ekonomi (economic instruments),

persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrumen-

instrumen regulasi (regulatory instruments)5.

1) Economic instruments menggunakan insentif dan/atau disinsentif untuk

mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport).

Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan di beberapa kota

di dunia adalah road pricing. Road pricing adalah pengenaan biaya secara

langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada

4
Bisnis Indonesia. 2010. Pusat Ganjal Penerapan ERP. http://bataviase.co.id/node/390480.
Diakses tanggal 21 November 2010.
5
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah
Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel /
ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21
November 2010.

10
dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan road pricing yaitu untuk

menambah pendapatan suatu daerah atau negara, atau suatu sarana untuk

mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan. Tujuan

utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber

pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong

penggunaan angkutan massal. Berikut ini merupakan pengelompokan road

pricing berdasarkan tujuan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengelompokan Road Pricing


Nama Deskripsi Tujuan
Road toll (fixed Pengenaan biaya atas Untuk meningkatkan
rates) penggunaan jalan-jalan pendapatan dan
tertentu. investasi.
Congestion pricing Pengenaan biaya didasarkan Untuk meningkatkan
(time-variable) atas kepadatan lalu lintas, pendapatan dan
jika lalu lintas padat maka mengurangi kemacetan.
biaya yang dikenakan akan
tinggi, namun sebaliknya
jika lalu lintas tidak padat
maka biaya yang dikenakan
akan rendah.
Cordon fees Pengenaan biaya atas Mengurangi kemacetan
penggunaan jalan-jalan di pusat-pusat kota.
tertentu.
HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak Untuk mendorong
bisa banyak menampung peralihan penggunaan
jumlah penumpang, akan kendaraan pribadi
dikenakan pungutan. kepada penggunaan
kendaraan yang memilik
daya tampung yang
banyak, sehingga jumlah
kendaraan di jalan raya
dapat dikurangi.
Distance-based Biaya yang dikenakan Untuk meningkatkan
Fees terhadap kendaraan pendapatan dan
bergantung pada seberapa mengurangi berbagai
jauh kendaraan digunakan. masalah lalu lintas.
Pay-As-You-Drive Membagi rata pembayaran Mengurangi berbagai
Insurance berdasarkan jarak sehingga masalah lalu lintas
asuransi kendaraan menjadi khususnya kecelakaan
biaya yang tidak tetap. lalu lintas.
Sumber : Susantono (2010)

11
2) Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta

atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai

contoh carpooling yaitu penggunaan kendaraan yang memiliki daya

tampung besar agar dapat mengangkut banyak penumpang, misalnya bus

jemputan pegawai.

3) Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi

standar-standar, larangan-larangan dan prosedur administrasi untuk

mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari

bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu,

batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.

Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu

economic instrument yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan

pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk

congestion pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan

dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada

periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi pada akhirnya harus

menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor

tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencari rute lain, mencari tujuan

perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi

melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan

untuk melewati area atau koridor tersebut6.

6
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah
Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel /
ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21
November 2010.

12
Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada

pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi

mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada

masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali

tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing

telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Stockholm, dan

London. Dana yang terkumpul dapat dijadikan sebagai salah satu sumber

pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih

efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid

Transit, dan lain-lain7. Menurut Button dalam Santos (2004), road pricing adalah

sebuah konsep sederhana yang menggunakan harga untuk mencerminkan

kelangkaan dan untuk mengalokasikan sumber daya untuk individu yang

menggunakannya.

2.2. Latar Belakang Penerapan Electronic Road Pricing (ERP)

Latar belakang diterapkannya ERP adalah daya dukung jalan di Jakarta

tidak memadai, kerugian akibat kemacetan sangat tinggi (± 42 trilyun), degradasi

sistem angkutan umum, dan trend pertumbuhan jumlah kendaraan bermotor yang

sangat tinggi (Dishub DKI Jakarta, 2011). Berdasarkan informasi dari Dinas

Perhubungan DKI Jakarta, peningkatan jumlah kendaraan pribadi sangat pesat

yaitu mencapai 1.117 per hari atau sekitar 9% per tahun. Peningkatan yang terjadi

saat ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan luas jalan. Pertumbuhan jalan relatif

7
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah
Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel /
ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21
November 2010.

13
tetap, yakni sekitar 0,01% per tahun. Jika pembenahan pola transportasi tidak

dilakukan, maka pada 2014 Jakarta diperkirakan macet total.

Kemacetan akan memberi dampak negatif, baik dalam aspek sosial,

lingkungan, maupun ekonomi. Dampak negatif tersebut diantaranya pemborosan

Bahan Bakar Minyak (BBM), peningkatan polusi udara, dan penurunan mobilitas.

Sebelumnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah menerapkan aturan three in

one (3 in 1) di beberapa luas jalan ibu kota. Hal ini dimaksudkan untuk membatasi

jumlah kendaran pada jam-jam sibuk sehingga kemacetan dapat dikurangi.

Namun, dalam pelaksanaanya aturan tersebut dinilai tidak efektif dalam mengatasi

kemacetan. Kelemahan penerapan sistem three in one, diantaranya inkonsistensi

penindakan pelanggaran aturan 3 in 1, jumlah petugas penegak hukum tidak

memadai, dan muncul masalah sosial baru yaitu fenomena joki (Dishub DKI

Jakarta, 2010).

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan kebijakan

Electronic Road Pricing (ERP), yaitu kebijakan pembatasan jumlah kendaraan

melalui sistem jalan berbayar, dimana setiap kendaraan yang melintasi ruas jalan

tertentu akan dikenakan biaya. Tujuannya adalah untuk mengatasi berbagi

masalah yang ditimbulkan akibat kemacetan. Mekanisme penerapan ERP adalah

setiap kendaraan yang melintasi zona ERP akan dikenakan sejumlah biaya

tertentu. Pintu gerbang zona ERP akan dilengkapi teknologi OBU (on board unit),

yaitu alat sensor yang dipasang pada setiap kendaraan yang secara otomatis

memotong deposit uang pengguna jalan saat melewati gerbang-gerbang ERP.

14
2.3. Penerapan Electronic Road Pricing (ERP) di Beberapa Negara

Elektronic Road Pricing telah sukses diterapkan dibeberapa kota di dunia.

Kota-kota yang telah mengaplikasikan sistem ERP ini diantaranya 8:

1) Singapore

Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun

1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah

untuk membatasi lalu lintas yang masuk pada saat jam puncak untuk

mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area-

Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic

Road Pricing (ERP). Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP

bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi

tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam

pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri. Dampak diterapkanya

congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase

penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan

volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing

menurun sampai dengan 44%.

2) London

ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi

ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan

reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara. Aplikasi ERP di

London memberikan beberapa hasil positif antara lain: a) penurunan volume

8
Susantono, DR Bambang. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi Masalah
Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang . net / upload / data _ artikel /
ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNTUK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21
November 2010.

15
lalu lintas 15%, b) penurunan kemacetan 30%, c) penurunan polusi 12%

(NOx, PM10), d) perjalanan menjadi lebih reliable, e) reliabilitas bus

schedule meningkat signifikan, f) kecelakaan lalu lintas menurun, g)

peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan, h) tidak

terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion

charging, i) menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk

perbaikan pelayanan angkutan umum.

3) Stockholm

ERP diaplikasikan secara resmi mulai 1 Agustus 2007, setelah diuji cobakan

sejak tahun 2006. Tujuannya mengurangi kemacetan, meningkatkan

aksesibilitas, memperbaiki kualitas lingkungan. Beberapa hasil positif yang

bisa dicatat adalah:

a) Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di

pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%.

b) Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat

kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.

Sumber : Susantono (2010)

Gambar 1. Aplikasi ERP di Beberapa Kota di Dunia

16
2.4. Manfaat dan Dampak Electronic Road Pricing (ERP)

Menurut Dinas Perhubungan DKI Jakarta (2011), manfaat Electronic Road

Pricing (ERP), diantaranya:

1) Pemerintah :

a) Mengurangi kemacetan

b) Sumber pendapatan baru dari lalu lintas

c) Mempermudah penerapan pembatasan lalu lintas

d) Peralihan moda kendaraan pribadi ke angkutan umum

e) Meningkatkan efektifitas dan efisiensi dari manajemen permintaan

2) Pengendara :

a) Kenyamanan berkendara

b) Perjalanan menjadi lebih tepat waktu

c) Kemudahan pembayaran

d) Kemudahan berpindah moda ke angkutan umum

3) Masyarakat :

a) Mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan

b) Menurunkan tingkat polusi udara yang berasal dari asap kendaraan

c) Minimalisasi kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas

Apabila diterapkan ERP maka pengemudi dihadapkan pada pilihan-

pilihan, yaitu membayar dan menikmati perjalanan, merubah waktu perjalanan

untuk membayar lebih murah, merubah rute perjalanan, merubah moda angkutan

yang digunakan, merubah tujuan perjalanan, atau membatalkan perjalanan.

Dampak penerapan kebijakan ERP tersebut adalah :

17
a) Tercapainya efisiensi dalam aspek transportasi seperti tercapainya

kelancaran lalu lintas yang menyebabkan penghematan waktu tempuh dan

biaya perjalanan.

b) Peningkatan kualitas lingkungan, TDM (Travel Demand Management)

dalam aspek lingkungan diharapkan dapat mengurangi polusi udara, dan

mengurangi polusi bunyi dan getaran.

c) Penataan sistem tata guna lahan, TDM diharapkan dapat merevitalisasi

fasilitas perkotaan sesuai dengan fungsinya.

d) Meningkatkan ekonomi, TDM diharapkan dapat memberikan pendapatan

tambahan bagi pemerintah sehingga mendapat dana tambahan untuk

meningkatkan kualitas angkutan umum.

e) Menjamin persamaan hak pengguna jalan, TDM diharapkan dapat

memberikan keadilan bagi pengguna jalan dengan memberikan kewajiban

yang lebih berat bagi pengguna jalan yang lebih berkontribusi terhadap

kemacetan. Selain itu, jaminan terhadap pejalan kaki dan penghuni daerah

lokal pun diharapkan dapat terealisasi.

2.5. Dasar Hukum Electronic Road Pricing (ERP)

Dasar hukum penerapan Electronic Road Pricing (ERP) adalah sebagai

berikut (Dinas Perhubungan DKI Jakarta, 2011):

1) Undang – Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan

Angkutan Jalan

a) PASAL 133 UU NO. 22/2009

Pasal 133 ayat (3), Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan

pengenaan Retribusi Pengendalian Lalu Lintas yang diperuntukkan

18
bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan peningkatan pelayanan

angkutan umum. Saat ini Peraturan Pemerintah untuk Undang-Undang

ini sedang dalam proses pembahasan, diharapkan dapat lebih

menegaskan perlunya pelaksanaan ERP.

b) PASAL 472 RPP LLAJ

Pembatasan lalu lintas dapat dilakukan dengan pengenaan retribusi

pengendalian lalu lintas. Retribusi pengendalian lalu lintas adalah biaya

tambahan yang harus dibayar oleh pengguna kendaraan perseorangan

dan kendaraan barang akibat kemacetan yang disebabkannya. Dana

yang diperoleh dari retribusi pengendalian lalu lintas diperuntukkan

bagi peningkatan kinerja lalu lintas dan pelayanan angkutan umum.

Ketentuan lebih lanjut tentang persyaratan penerapan pembatasan lalu

lintas dengan pengenaan retribusi pengendalian lalu lintas diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Menteri yang bertanggung jawab dibidang

sarana dan prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dengan

memperhatikan pendapat Menteri dibidang urusan dalam negeri.

2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan

Retribusi Daerah (PDRD)

Ketentuan tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas / ERP belum dimuat,

walaupun pada saat penyusunannya termasuk materi yang dibahas. Namun

sesuai pasal 150 Undang-Undang ini, jenis retribusi selain yang ditetapkan

dalam pasal 110 ayat (1) (retribusi jasa umum), pasal 127 (retribusi jasa

usaha) dan pasal 141 (retribusi perizinan tertentu), sepanjang memenuhi

19
kriteria-kriteria sebagai retribusi, maka dapat ditetapkan dengan Peraturan

Pemerintah.

ERP dapat memenuhi kriteria sebagai Retribusi Jasa Umum. Retribusi Jasa

Umum merupakan retribusi untuk jasa yang disediakan atau diberikan oleh

Pemda untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat

dinikmati oleh orang pribadi atau badan; (Pasal 1 Ketentuan Umum).

3) Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2003 Tentang LLAJ, Kereta Api, Sungai

Dan Danau, Penyeberangan

4) Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 Tentang Pola Transportasi

Makro

Strategi Pola Transportasi Makro (PTM) meliputi :

a) Pembangunan infrastruktur

b) Pembangunan angkutan umum massal

c) Pengaturan-pengaturan

Kebijakan pengaturan berupa rencana pembatasan lalu lintas yang terdiri

dari :

a) Pembatasan kepemilikan kendaraan bermotor

b) Pembatasan penggunaan jalan

c) Pembatasan parkir

d) Pengaturan penggunaan jalan tertentu

5) Draft RTRW Provinsi DKI Jakarta 2010 - 2030

Bab IV Pasal 22 ayat (1), Penerapan manajemen lalu lintas terdiri dari

antara lain sistem satu arah, pengaturan dengan lampu lalu lintas, dan

20
kebijakan pembatasan lalu lintas yang diemplementasikan secara bertahap

pada daerah tertentu.

Electronic Road Pricing (ERP) belum dapat diimplementasikan karena

ERP dalam RPP tentang LLAJ masih dalam pembahasan. Selain itu belum ada

RPP tentang PDRD yang mengatur ERP dan belum disusunnya Perda tentang

ERP. Aspek-aspek yang perlu diperhatikan dalam ERP, yaitu :

1) Apek legal, berupa dasar penerapan ERP, dasar penarikan pembayaran,

dasar penindakan terhadap pelanggar, dasar pengenaan sanksi terhadap

pelanggar, dan mekanisme penggunaan uang hasil ERP

2) Aspek perencanaan

3) Aspek teknis berupa teknologi mana yang paling tepat untuk DKI Jakarta

4) Aspek kelembagaan (institusi)

2.6. Transportasi Publik

Menurut Papageorgiou dalam Hall (2003), transportasi selalu menjadi

aspek penting dari peradaban manusia, tetapi fenomena kemacetan lalu lintas telah

menjadi dominan karena peningkatan pesat jumlah kendaraan dan permintaan

transportasi hampir di semua moda transportasi. Kemacetan lalu lintas terjadi

karena kendaraan terlalu banyak sedangkan untuk menggunakan transportasi

umum kapasitasnya terbatas sehingga kebutuhan inovasi baru di bidang

transportasi sangat diperlukan. Kemacetan lalu lintas menyebabkan fenomena

antrian meskipun kapasitas infrastruktur sepenuhnya dimanfaatkan. Dalam kasus

yang terburuk, kemacetan lalu lintas mengarah pada terdegradasinya penggunaan

infrastruktur yang tersedia, berkurangnya keamanan, dan peningkatan polusi

lingkungan.

21
Menurut Evans dalam Hall (2003), keamanan merupakan pertimbangan

penting dalam kegiatan manusia. Setiap jenis sistem transportasi melibatkan

beberapa risiko bahaya. Tujuan utama dari transportasi yaitu mengefektifkan

pergerakan orang dan barang.

Saat ini telah dikembangkan Sistem Transportasi Cerdas (Transportasi

Intelligent Systems). Istilah Transportasi Intelligent Systems (ITS) mengacu pada

multimoda transportasi paket inovasi canggih yang menggunakan teknologi dalam

elektronik dan informasi untuk meningkatkan kinerja kendaraan, jalan raya, dan

sistem transit. Pembuat kebijakan telah lama memandang ITS sebagai teknologi

potensial untuk memperbaiki masalah kemacetan dan berkurangnya produktivitas

sistem transportasi negara. Sementara ITS memungkinkan masyarakat untuk

melakukan hal-hal lama yang lebih baik (menekan jumlah kendaraan dan

mengurangi insiden yang dapat terjadi di jalan raya). Selain itu memungkinkan

masyarakat untuk melakukan hal-hal baru, misalnya mengetahui kapan sebuah

bus datang begitu transit dengan ketidakpastian minimal, atau menggunakan

variabel harga untuk mengelola puncak permintaan (Gillen dan Levinson, 2004).

2.7. Pengertian dan Penyebab Pencemaran Udara

Pencemaran udara diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing

di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari

keadaan normalnya. Kehadiran bahan atau zat asing di dalam udara dalam jumlah

tertentu serta berada di udara dalam waktu yang cukup lama akan mengganggu

kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Pembangunan yang berkembang pesat

dewasa ini, khususnya dalam industri dan teknologi, serta meningkatnya jumlah

22
kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil menyebabkan udara

menjadi tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran (Wardhana, 2004).

Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau

dimasukkannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh

kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang

menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI nomor 1407 tahun 2002

tentang Pedoman Pengendalian Dampak Pencemaran Udara, pencemaran udara

adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke

dalam udara oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat

tertentu yang menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia.

Menurut Wardhana (2004), secara umum penyebab pencemaran udara ada

dua macam, yaitu :

a) karena faktor internal (secara alamiah), contohnya debu yang beterbangan

akibat tiupan angin, abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi

berikut gas-gas vulkanik, proses pembusukan sampah organik, dan lain-lain.

b) karena faktor eksternal (karena ulah manusia), contohnya hasil pembakaran

bahan bakar fosil, debu/serbuk dari kegiatan industri, dan pemakaian zat-zat

kimia yang disemprotkan ke udara.

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan campuran

dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan atau gas yang

masuk terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan sekitar.

23
Kecepatan penyebaran ini akan tergantung pada keadaan geografi dan meteorologi

setempat.

Pemakaian bahan bakar fosil untuk kegiatan ekonomi berkontribusi besar

dalam meningkatkan kadar pencemar di udara. Menurut Wardhana (2004),

dampak pencemaran lingkungan sebenarnya tidak semata-mata disebabkan oleh

karena kegiatan industri dan teknologi saja, namun juga disebabkan oleh faktor

lain yang menunjang kegiatan tersebut. Faktor penunjang kegiatan industri dan

teknologi adalah faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi.

Kegiatan industri dan teknologi membutuhkan tersedianya daya listrik dan

transportasi yang sangat diperlukan untuk kelancaran kegiatan industri dan

teknologi. Faktor penyedia daya listrik dan faktor transportasi merupakan

penyerap terbesar pemakaian bahan bakar fosil, baik berupa batu bara maupun

minyak bumi. Sebagian besar pencemar udara (sekitar 75%) berasal dari gas

buangan hasil pembakaran bahan bakar fosil (Wardhana, 2004).

Menurut Harssema dalam Mulia (2005), pencemaran udara diawali oleh

adanya emisi. Emisi merupakan jumlah polutan atau pencemar yang dikeluarkan

ke udara dalam satuan waktu. Emisi dapat disebabkan oleh proses alam maupun

kegiatan manusia. Emisi akibat proses alam disebut biogenic emissions,

contohnya yaitu dekomposisi bahan organik oleh bakteri pengurai yang

menghasilkan gas metan (CH4). Emisi yang disebabkan kegiatan manusia disebut

anthropogenic emissions. Contoh anthropogenic emissions yaitu hasil

pembakaran bahan bakar fosil, pemakaian zat kimia yang disemprotkan ke udara,

dan sebagainya.

24
2.8. Dampak Pencemaran Udara

Menurut Wardhana (2004), dampak pencemaran udara merupakan

masalah serius yang dihadapi oleh negara-negara industri. Pencemaran tersebut

tidak hanya mempunyai akibat langsung terhadap kesehatan manusia saja, tetapi

juga dapat merusak lingkungan lainnya, seperti hewan, tanaman, bangunan

gedung, dan lain sebagainya.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat pada

tahun 1980, kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara mencapai angka

kurang lebih 51.000 orang. Menurut para ahli, pada sekitar tahun 2000-an

kematian yang disebabkan oleh pencemaran udara akan mencapai angka 57.000

orang per tahunnya. Selama 20 tahun angka kematian yang disebabkan oleh

pencemaran udara naik mendekati 14% atau mendekati 0,7% per tahun. Selain itu

kerugian materi yang disebabkan oleh pencemaran udara, apabila diukur dengan

uang, dapat mencapai sekitar 12-16 juta US dollar per tahun (Wardhana, 2004).

Menurut Bank Dunia, estimasi kerugian yang diakibatkan oleh

pencemaran udara di Indonesia sebesar 400 US dollar setahun. Menurut hasil

penelitian yang dilakukan oleh Asian Devolepment Bank (ADB) kerugian tersebut

belum termasuk kematian dini dan gangguan kesehatan yang diakibatkan oleh

PM10 dan SO2 (World Bank, 2003). Perkiraan kerugian ekonomi yang

ditimbulkan pencemaran udara SO2 terhadap kesehatan manusia adalah senilai Rp

92.157.163,- pada tahun 2001. Pencemaran udara menimbulkan kerugian berantai.

Masyarakat kota Jakarta harus menanggung kerugian sekitar 180 juta US dollar

per tahun akibat polusi udara. Biaya tersebut diprediksi akan meningkat dua kali

lipat dalam 10 tahun mendatang. Kerugian lainnya adalah kehilangan pendapatan

25
karena warga kota tidak dapat bekerja karena sakit. Untuk itu penting mengelola

udara bersih agar dampak pencemaran udara tersebut dapat dicegah. Transportasi

perkotaan sangat berkontribusi besar dalam menimbulkan pencemaran udara

karena emisi yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor9.

2.9. Manajemen Transportasi

Tujuan pembangunan sistem transportasi sebagaimana dinyatakan oleh

BAPPEDA DKI Jakarta adalah 1) tersusunnya suatu jaringan sistem transportasi

yang efisien dan efektif; 2) meningkatnya kelancaran lalu lintas dan angkutan; 3)

terselenggaranya pelayanaan angkutan yang aman, tertib, nyaman, teratur, lancar,

dan efisien; 4) terselenggaranya pelayanaan angkutan barang yang sesuai dengan

perkembangan sarana angkutan dan teknologi transportasi angkutan barang; 5)

meningkatnya keterpaduan baik antara sistem angkutan laut, udara, dan darat

maupun antar moda angkutan darat; dan 6) meningkatnya disiplin masyarakat

pengguna jalan dan pengguna angkutan (Nugroho, 2003).

Menurut Duff (1961) dalam Setijadji (2006), manajemen lalu lintas adalah

usaha pengaturan jalan yang ada dalam usaha untuk memanfaatkan secara

optimal, prasarana jalan tersebut untuk kepentingan umum.

Menurut PP Nomor 43 Tahun 1993, Tentang Prasarana dan Lalu Lintas

Jalan, manajemen lalu lintas adalah pengelolaan dan pengendalian arus lalu lintas

dengan melakukan optimasi penggunaan prasarana yang ada. Hal ini menyangkut

kondisi arus lalu lintas dan juga sarana penunjangnya, baik saat sekarang maupun

9
WALHI Jabar. 2007. Udara Bersih : Kenyataan, Harapan dan Tantangan.
http://walhijabar.wordpress.com/2007/12/25/udara-bersih-kenyataan-harapan-dan-tantangan/.
Diakses tanggal 10 Juli 2011.

26
yang direncanakan. Manajemen lalu lintas meliputi kegiatan perencanaan,

pengaturan, pengawasan dan pengendalian lalu lintas.

Manajemen lalu lintas adalah suatu istilah yang biasa digunakan untuk

menjelaskan suatu proses pengaturan lalu lintas, dan sistem prasarana jalan

dengan menggunakan beberapa metode ataupun teknik rekayasa tertentu, tanpa

mengadakan pembangunan jalan baru, dalam usaha untuk mencapai tujuan-tujuan

ataupun sasaran-sasaran tertentu yang berhubungan dengan masalah lalu lintas

(Modul Pelatihan Transportasi ITB, 1997).

Tujuan dari manajemen lalu lintas adalah :

1) Mendapatkan tingkat efisiensi dari pergerakan lalu lintas secara menyeluruh

dengan tingkat aksesibilitas yang tinggi, dengan menyeimbangkan

permintaan dengan sarana penunjang yang tersedia.

2) Meningkatkan tingkat keselamatan dari pengguna yang dapat diterima oleh

semua pihak dan memperbaiki tingkat keselamatan tersebut sebaik

mungkin.

3) Melindungi dan memperbaiki keadaan kondisi lingkungan dimana lalu

lintas tersebut berada.

4) Mempromosikan penggunaan energi secara efisien ataupun penggunaan

energi lain yang dampak negatifnya lebih kecil dari pada energi yang ada.

Sasaran diberlakukannya manajemen lalu lintas adalah :

1) Mengatur dan menyederhanakan lalu lintas dengan melakukan pemisahan

terhadap tipe, kecepatan dan pemakai jalan yang berbeda untuk

meminimumkan gangguan terhadap lalu lintas.

27
2) Mengurangi tingkat kemacetan lalu lintas dengan menaikkan kapasitas atau

mengurangi volume lalu lintas pada suatu jalan.

3) Melakukan optimasi ruas jalan dengan menentukan fungsi dari jalan dan

kontrol terhadap aktivitas-aktivitas yang tidak cocok dengan fungsi jalan

tersebut.

Manfaat pelaksanaan manajemen lalu lintas adalah :

1) Efisiensi pergerakan

Berhubungan dengan tingkat kecepatan dan pergerakannya, biasanya

mereka ingin menyelesaikan perjalanannya secara nyaman dan aman.

Karena perjalanan tanpa adanya keterlambatan adalah hal utama yang

diinginkan dalam pergerakan lalu lintas.

2) Keselamatan pergerakan

Kecelakaan atau bahaya keselamatan, biasanya dihubungkan dengan

tingginya kecepatan kendaraan, namun bertentangan dengan prinsip

efisiensi yang hendak dicapai. Makin tinggi kecepatan kendaraan, akan

makin sulit untuk dikontrolnya, apalagi jika diminta untuk berhenti.

Mengingat bahwa efisiensi pergerakan pada batas tertentu sangat

bertentangan dengan keselamatan pergerakan, adalah penting untuk

menciptakan keseimbangan yang baik, agar kedua hal tersebut dapat

dipertemukan dengan baik tanpa harus bertentangan satu dengan yang lain.

3) Terciptanya lingkungan yang baik dan nyaman

Lingkungan yang baik dan nyaman adalah suatu lingkungan yang tidak

terganggu atau lingkungan yang asli. Untuk itu hal yang perlu dipikirkan

adalah menjaga agar perubahan-perubahan alam yang terjadi akibat adanya

28
pergerakan dapat diminimalkan dalam usaha menjaga lingkungan yang

nyaman.

Transportasi dikatakan baik, apabila perjalanan cukup cepat, tidak

mengalami kemacetan, frekuensi pelayanan cukup, aman, bebas dari

kemungkinan kecelakaan dan kondisi pelayanan yang nyaman. Oleh

karena itu untuk mencapai kondisi yang ideal tersebut sangat ditentukan

oleh berbagai faktor yang menjadi komponen transportasi ini, yaitu kondisi

prasarana (jalan), sistem jaringan jalan, kondisi sarana (kendaraan) dan

sikap mental pemakai fasilitas transportasi tersebut (Sinulingga, 1999).

29
III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran teoritis terdiri dari beberapa teori yang digunakan

dalam penelitian. Penelitian ini menggunakan teori-teori yang sesuai dengan

tujuan penelitian yang hendak dicapai yaitu Contingent Valuation Method (CVM),

regresi linier berganda, dan instrumen ekonomi.

3.1.1. Contingent Valuation Method (CVM)

Penilaian ekonomi sumberdaya yang tidak dapat dipasarkan (non-market

valuation) dapat digolongkan ke dalam dua kelompok, yaitu: 1) revealed

preference approach merupakan teknik penilaian yang mengandalkan harga

implisit di mana Willingness to Pay terungkap melalui model yang

dikembangkan, meliputi: Travel Cost, Hedonic Pricing, dan Random Utility

Model. 2) stated preference approach merupakan teknik penilaian yang

didasarkan pada survei di mana keinginan membayar atau Willingness to Pay

diperoleh dari responden, meliputi: Contingent Valuation, Random Utility Model,

dan Contingent Choice. Menurut Yakin (1997), Contingent Valuation Method

(CVM) merupakan metode yang popular digunakan saat ini, karena CVM dapat

mengukur nilai penggunaan (use value) dan nilai non pengguna (non use values)

dengan baik.

Metode CVM ini sangat tergantung pada hipotesis yang akan dibangun.

Misalnya, seberapa besar biaya yang harus ditanggung, bagaimana

pembayarannya, dan sebagainya. Metode CVM ini secara teknis dapat dilakukan

dengan dua cara yaitu teknis eksperimental melalui simulasi dan teknik survei.

30
Metode CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif sumber daya alam

atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaaan. Metode CVM pada dasarnya

bertujuan untuk mengetahui keinginan membayar (Willingness To Pay) dari

masyarakat terhadap perbaikan lingkungan dan keinginan menerima kompensasi

(Willingness To Accept) dari kerusakan lingkungan (Fauzi, 2006).

3.1.1.1 Kelebihan Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Hanley dan Spash (1993) kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh

pendekatan CVM dalam memperkirakan nilai ekonomi suatu lingkungan adalah

sebagai berikut :

1) Dapat diaplikasikan pada semua kondisi dan memiliki dua hal penting, yaitu

seringkali menjadi satu-satunya teknik untuk mengestimasi manfaat dan

dapat diaplikasikan pada berbagai konteks kebijakan lingkungan.

2) Dapat digunakan dalam berbagai macam penelitian barang-barang

lingkungan di sekitar masyarakat.

3) Dibandingkan dengan teknik penilaian lingkungan lainnya, CVM memiliki

kemampuan untuk mengestimasi nilai non pengguna. Dengan CVM,

seseorang mungkin dapat mengukur utilitas dari penggunaan barang

lingkungan bahkan jika tidak digunakan secara langsung. Meskipun teknik

dalam CVM membutuhkan analis yang kompeten, namun hasil penelitian

dari peneliti yang menggunakan metode ini tidak sulit untuk dianalisis dan

dijabarkan.

31
3.1.1.2 Kelemahan Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Fauzi (2006), meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang

cukup baik untuk mengukur WTP, namun terdapat beberapa kelemahan yang

perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama dari

pendekatan ini adalah timbulnya bias.

Bias dalam pengumpulan data dengan mengunakan teknik CVM menurut

Hanley dan Spash (1993) terdiri dari :

1) Bias Strategi (Strategic Bias)

Adanya responden yang memberikan suatu nilai WTP yang relatif kecil

karena alasan bahwa ada responden lain yang akan membayar upaya

peningkatan kualitas lingkungan dengan harga yang lebih tinggi

kemungkinan dapat terjadi. Alternatif untuk mengurangi bias strategi ini

adalah melalui penjelasan bahwa semua orang akan membayar nilai tawaran

rata-rata atau penekanan sifat hipotetis dari perlakuan. Hal ini akan

mendorong responden untuk memberikan nilai WTP yang benar. Mitchell

dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993) menyarankan empat

langkah untuk meminimalkan bias strategi yaitu :

a) Menghilangkan seluruh pencilan (outliner)

b) Penekanan bahwa pembayaran oleh responden adalah dapat dijamin

c) Menyembunyikan nilai tawaran responden lain

d) Membuat perubahan lingkungan bergantung pada nilai tawaran

Sedangkan Hoehn dan Randall (1987) dalam Hanley dan Spash (1993)

menyarankan bahwa bias strategi dapat dihilangkan dengan menggunakan

format referendum terhadap nilai WTP yang terlalu tinggi.

32
2) Bias Rancangan (Design Bias)

Beberapa hal dalam rencangan survei yang dapat mempengaruhi responden

adalah :

a) Pemilihan jenis tawaran (bid vehicle). Jenis tawaran yang diberikan dapat

mempengaruhi nilai-nilai rata-rata tawaran.

b) Bias titik awal (starting point bias). Pada metode bidding game, titik

awal yang diberikan kepada responden dapat mempengaruhi nilai

tawaran (bid) yang ditawarkan. Hal ini dapat dikarenakan responden

yang ditanyai merasa kurang sabar atau karena titik awal yang

mengemukakan besarnya nilai tawaran adalah tepat dengan selera

responden (disukai responden karena responden tidak memiliki

pengalaman tentang nilai perdagangan benda lingkungan yang

dipermasalahkan).

c) Sifat informasi yang ditawarkan (nature of information provided). Dalam

sebuah pasar hipotesis, responden mengkombinasikan informasi benda

lingkungan yang diberikan kepadanya dan bagaimana pasar akan bekerja.

Tanggapan responden dapat dipengaruhi oleh pasar hipotesis maupun

komoditas spesifik yang diinformasikan pada saat survei.

3) Bias yang Berhubungan dengan Kondisi Kejiwaan Responden (Mental

Account Bias)

Bias ini terkait dengan langkah proses pembuatan keputusan seorang

individu dalam memutuskan seberapa besar pendapatan, kekayaan, dan

waktunya yang dapat dihabiskan untuk benda lingkungan tertentu dalam

periode waktu tertentu.

33
4) Kesalahan Pasar Hipotetik (Hypotetical Market Error)

Kesalahan pasar hipotetik terjadi jika fakta yang ditanyakan kepada

responden di dalam pasar hipotetik membuat tanggapan responden berbeda

dengan konsep yang diinginkan peneliti sehingga nilai WTP yang dihasilkan

menjadi berbeda dengan nilai yang sesungguhnya. Hal ini dikarenakan studi

CVM tidak berhadapan dengan perdagangan aktual, melainkan suatu

perdagangan atau pasar yang murni hipotetik yang didapatkan dari

pertemuan antara kondisi psikologi dan sosiologi prilaku. Terjadinya bias

pasar hipotetik bergantung pada :

a) Bagaimana pertanyaan disampaikan ketika melaksanakan survei.

b) Seberapa realitistik responden merasakan pasar hipotetik akan terjadi.

c) Bagaimana format WTP yang digunakan.

Solusi untuk menghilangkan bias ini salah satunya yaitu desain dari alat

survei sedemikian rupa sehingga maksimisasi realitas dari situasi yang akan

diuji dan melakukan pengulangan kembali untuk kekonsistenan dari

responden.

3.1.1.3 Tahap-tahap Contingent Valuation Method (CVM)

Menurut Hanley dan Spash (1993), beberapa tahap dalam penerapan

analisis CVM, yaitu :

1) Membuat Pasar Hipotetik

Tahap awal dalam menjalankan CVM adalah membuat pasar hipotetik.

Pasar hipotetik tersebut dibangun untuk memberikan suatu alasan mengapa

masyarakat seharusnya membayar terhadap suatu barang/jasa lingkungan

dimana tidak terdapat nilai dalam mata uang berapa harga barang/jasa

34
lingkungan tersebut. Dalam pasar hipotetik harus menggambarkan

bagaimana mekanisme pembayaran yang dilakukan. Skenario kegiatan

harus diuraikan secara jelas dalam kuisioner sehingga responden dapat

memahami barang lingkungan yang dipertanyakan serta keterlibatan

masyarakat dalam rencana kegiatan. Selain itu, di dalam kuisioner juga

perlu dijelaskan perubahan yang akan terjadi jika terdapat keinginan

masyrakat membayar.

2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Penawaran besarnya nilai WTP dilakukan dengan menggunakan kuesioner.

Setelah itu dilakukan kegiatan pengambilan sampel. Hal ini dapat dilakukan

melalui wawancara dengan tatap muka, dengan perantara telepon, atau surat.

Terdapat empat metode yang dapat digunakan untuk memperoleh

penawaran besarnya nilai WTP responden (Hanley dan Spash, 1993), yaitu:

a) Bidding Game adalah metode tawar-menawar dimana responden

ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai dari nilai terkecil hingga

nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP maksimum yang sanggup

dibayarkan responden.

b) Open-ended Question adalah metode yang memberikan pertanyaan

terbuka kepada responden tentang WTP maksimum yang mampu

mereka bayarkan dengan tidak ada nilai tawaran sebelumnya sehingga

tidak menimbulkan bias titik awal (starting point bias). Kelebihan

metode ini yaitu responden tidak perlu diberi petunjuk yang bisa

mempengaruhi nilai yang akan diberikan. Kelemahan metode ini yaitu

35
nilai yang diberikan kurang akurat dan variasi yang dihasilkan terlalu

besar.

c) Payment Card adalah metode yang menawarkan kepada responden nilai

tawaran yang disajikan dalam bentuk kisaran nilai dalam sebuah kartu

yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar dimana

responden dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai

dengan preferensinya. Metode ini pada awalnya dikembangkan untuk

mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar.

d) Closed-ended Referendum adalah metode yang memberikan sebuah

nilai tawaran tunggal kepada responden, baik responden setuju ataupun

tidak setuju dengan nilai tersebut. Metode ini menawarkan responden

jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah respnden mau membayar

atau tidak sejumlah uang untuk memperoleh peningkatan kualitas

lingkungan.

3) Memperkirakan Nilai Tengah dan Nilai Rata-Rata WTP

Setelah data mengenai nilai WTP terkumpul, tahap selanjutnya adalah

menghitung nilai tengah (median) dan nilai rata-rata (mean) dari WTP

tersebut. Nilai tengah digunakan apabila terjadi rentang nilai penawaran

yang terlalu jauh. Jika penghitungan nilai penawaran menggunakan rata-

rata, maka akan diperoleh nilai yang lebih tinggi dari yang sebenarnya. Oleh

karena itu, lebih baik menggunakan nilai tengah karena nilai tengah tidak

dipengaruhi oleh rentang penawaran yang cukup besar. Nilai tengah

penawaran selalu lebih kecil daripada nilai rata-rata penawaran.

36
4) Memperkirakan Kurva WTP

Suatu kurva WTP dapat diperkirakan dengan menggunakan nilai WTP

sebagai variabel dependen dan faktor-faktor yang mempengaruhi nilai

tersebut sebagai variabel independen. Kurva WTP ini dapat digunakan

untuk memperkirakan perubahan nilai WTP karena perubahan sejumlah

variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Hubungan

antara variabel bebas dan variabel terikat dapat berkorelasi linier dengan

bentuk persamaan umum sebagai berikut :

WTPi = f(Yi, Ei, Ki, Ai, Qi)

dimana i adalah responden ke-i.

5) Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana rata-rata penawaran

dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Bentuk ini sebaiknya

termasuk seluruh komponen dari nilai relevan yang ditemukan seperti nilai

keberadaan dan nilai penggunaan.

6) Mengevaluasi Penggunaan CVM

Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penerapan CVM telah

berhasil dilakukan. Penilaian tersebut dilakukan dengan memberikan

pertanyaan-pertanyaan seperti apakah responden benar-benar mengerti dan

memahami mengenai pasar hipotetik, berapa banyak kepemilikan responden

terhadap barang/jasa lingkungan yang terdapat dalam pasar hipotetik,

seberapa baik pasar hipotetik yang dibuat dapat mencakup semua aspek

barang/jasa lingkungan, asumsi apa yang diperlukan untuk menghasilkan

37
nilai tengah dan menggambarkan nilai tawaran agregat, dan pertanyaan

sejenis lainnya.

3.1.1.4 Organisasi dalam Pengoperasian Contingent Valuation Method

Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam organisasi pengoperasian

CVM, yaitu :

1) Pasar hipotetik yang digunakan harus memiliki kredibilitas dan realitas.

2) Alat pembayaran yang digunakan dan atau ukuran kesejahteraan (WTP)

sebaiknya tidak bertentangan dengan aturan-aturan yang terkait di

masyarakat.

3) Responden sebaiknya memiliki informasi yang cukup mengenai barang

publik yang dimaksud dalam kuisioner dan alat pembayaran untuk

penawaran mereka.

4) Jika memungkinkan, ukuran WTP sebaiknya dicari, karena responden

sering kesulitan dengan penentuan nilai nominal yang ingin mereka berikan.

5) Ukuran contoh yang cukup besar sebaiknya dipilih untuk mempermudah

perolehan selang kepercayaan dan reabilitas.

6) Pengujian kebiasaan, sebaiknya dilakukan dan pengadopsian strategi uuntuk

memperkecil strategi bias secara khusus.

7) Penawaran sanggahan sebaiknya diidentifikasi.

8) Diperlukan pengetahuan dengan pasti jika contoh memiliki karakteristik

yang sama dengan populasi dan penyesuaian diperlukan.

9) Tanda parameter sebaiknya dilihat kembali untuk melihat jika mereka setuju

dengan harapan yang tepat. Nilai minimum dari 15% untuk R adjusted

38
direkomendasikan oleh Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan

Spash (1993).

3.1.2. Regresi Linier Berganda

Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi

tiga kriteria yaitu kiteria ekonometrika, statistika, dan ekonomi. Berdasarkan

kriteria ekonometrika, model harus sesuai dengan asumsi klasik, artinya harus

terbebas dari gejala heteroskedastisitas, autokorelasi, dan multikolinearitas.

Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari hasil uji F, uji t, dan

koefisien determinasi (R2). Berdasarkan kriteria ekonomi, tanda dan besarnya

variabel-variabel eksogen dalam model harus seesuai dengan hipotesis, kecuali

pada kondisi-kondisi tertentu yang bisa dijelaskan. Metode statistik inferensia

yang digunakan yaitu model regresi berganda dengan metode pendugaan kuadrat

terkecil OLS (Ordinary Least Square) yang didasarkan pada asumsi yang ada.

Pada regresi berganda (multiple regression model) diasumsikan bahwa

peubah tak bebas (respons) Y merupakan fungsi linier dari beberapa peubah bebas

X1, X2, ... , Xk dan komponen sisaan ε (error). Persamaan model regresi liner

berganda secara umum adalah sebagai berikut:

Yi = β0 + β1X1i + β2X2i + β3X3i + ... + βkXki + εi

dengan i menunjukkan nomor pengamatan dari 1 sampai N untuk data populasi

atau sampai n untuk data contoh (sample). Xki merupakan pengamatan ke-i untuk

peubah bebas Xk . Koefisien β1 dapat merupakan intersep model regresi berganda.

Metode OLS dilakukan dengan pemilihan parameter yang tidak diketahui

sehingga jumlah kuadrat kesalahan pengganggu (Residual Sum of Square atau

39
RRS) yaitu Σei2 = minimum (terkecil). Asumsi utama yang mendasari model

regresi berganda dengan metode OLS adalah sebagai berikut (Firdaus, 2004) :

1) Nilai yang diharapkan bersyarat (Conditional Expected Value) dari εi

tergantung pada Xi tertentu adalah nol.

2) Tidak ada korelasi berurutan atau tidak ada korelasi (non-autokorelasi)

artinya dengan Xi tertentu simpangan setiap Y yang manapun dari nilai rata-

ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif atau negatif.

3) Varians bersyarat dari € adalah konstan. Asumsi ini dikenal dengan nama

asumsi homoskedastisitas.

4) Variabel bebas adalah nonstokastik yaitu tetap dalam penyampelan berulang

jika stokastik maka didistribusikan secara independent dari gangguan €.

5) Tidak ada multikolinearitas antara variabel penjelas satu dengan yang

lainnya.

6) € didistibusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan

oleh asumsi 1 dan 2.

Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi maka

suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan

metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias linier terbaik (best

linier unbiased estimator atau BLUE). Sebaliknya jika ada asumsi dalam model

regresi yang tidak terpenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh maka kebenaran

pendugaan model tersebut atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan

dapat diragukan. Penyimpangan 2, 3, dan 5 memiliki pengaruh yang serius

sedangkan asumsi 1,4, dan 6 tidak.

40
3.1.3. Instrumen Ekonomi

Instrumen ekonomi adalah sebagian dari kebijakan lingkungan dalam

mengendalikan dampak negatif yang terjadi pada lingkungan melalui mekanisme

pasar (Fauzi, 2007). James (1997) dalam Fauzi (2007) mendefinisikan instrumen

ekonomi untuk pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan sebagai

mekanisme administratif yang digunakan oleh pemerintah untuk mempengaruhi

perilaku siapapun yang mendapatkan nilai dari sumber daya, memanfaatkannya,

atau menyebabkan dampak sebagai efek lain atau eksternalitas yang disebabkan

aktivitas mereka.

Fungsi instrument ekonomi menurut Panayotou (1994) dalam Fauzi (2007)

menyebutkan paling tidak ada empat hal utama menyangkut fungsi instrumen

ekonomi dalam pengelolaan lingkungan, yaitu :

1) Menginternalisasikan eksternalitas dengan cara mengoreksi kegagalan pasar

melalui mekanisme full cost pricing dimana biaya subsidi, biaya lingkungan

dan biaya eksternalitas diperhitungkan dalam pengambilan keputusan.

2) Mampu mengurangi konflik pembangunan versus lingkungan, bahkan jika

dilakukan secara tepat dapat menjadikan pembangunan ekonomi sebagai

wahana (vehicle) untuk perlindungan lingkungan dan sebaliknya.

3) Instrumen ekonomi berfungsi untuk menganjurkan efisiensi dalam

penggunaan barang dan jasa dari sumber daya alam sehingga tidak

menimbulkan kelebihan konsumsi karena pasar, melalui isntrumen ekonomi

akan memberikan sinyal yang tepat terhadap penggunaan yang tidak efisien.

4) Instrumen ekonomi dapat digunakan sebagai sumber penerimaan (revenue

generating).

41
Instrumen ekonomi dapat dibagi berdasarkan tiga kategori umum menurut

dampaknya terhadap keuangan pemerintah (Fauzi, 2007), yaitu :

1) Instrumen peningkatan revenue, seperti pajak, dan biaya perijinan yang

dapat meningkatkan biaya relatif dari teknologi intensif dan produk emisi.

Instrumen ini menciptakan insentif yang terus menerus pada inovasi untuk

meningkatkan efisiensi emisi atau untuk mengganti pada pengganti emisi

yang lebih rendah, serta memberikan penerimaan bagi pemerintah.

2) Instrumen Budget-neutral, yang meningkatkan biaya relatif emisi dan atau

teknologi intensif energi dan produk, namun tidak meningkatkan

penerimaan bagi pemerintah. Kategori ini meliputi peraturan yang bersifat

market-based, yang mengharuskan perusahaan memenuhi standar baku

mutu tetapi membolehkan mereka untuk menjual belikannya dengan pihak

lain untuk memenuhi komitmen standar ini. Instrumen budget-neutral ini

dapat dikhususkan pada teknologi (misalnya renewable portfolio standard

atau emisi kendaraan bermotor), atau dapat juga dikhususkan pada kinerja

(misalnya domestic emission trading program).

3) Instrumen Ekspenditur, seperti subsidi dan insentif lainnya yang

menurunkan biaya relatif dari teknologi dan produk dengan emisi yang lebih

rendah dan atau intensitas energi, membuatnya semakin kompetitif dengan

teknologi yang ada. Instrumen ini dapat ditujukan pada keputusan yang ada

(misalnya melalui akselerasi depresiasi untuk tujuan pajak) atau biaya

kompetitif jangka panjang melalui pembiayaan atau penelitian,

pengembangan dan komersialisasi teknologi baru. Dengan membiayai

42
subsidi ini, pemerintah layaknya harus meningkatkan pajak lainnya atau

menurunkan ekspenditur.

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional

Populasi penduduk Jakarta meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini

disebabkan karena Jakarta merupakan pusat pemerintahan yang memiliki daya

tarik besar untuk mencari pekerjaan sehingga arus urbanisasinya besar. Populasi

penduduk yang besar berimplikasi pada peningkatan permintaan transportasi

untuk memudahkan aktivitas sehari-hari. Hal tersebut akan mengakibatkan jumlah

kendaraan semakin meningkat, sehingga menimbulkan kemacetan yang semakin

sulit diatasi di kota Jakarta. Kemacetan ini menimbulkan berbagai masalah yang

erat kaitannya dengan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Kemacetan menimbulkan

ketidaklancaran lalu lintas, sehingga berimplikasi pada peningkatan konsumsi

BBM yang dapat menyebabkan pencemaran udara akibatnya lingkungan menjadi

rusak dan tidak sehat. Oleh karena itu, diperlukan kebijakan pemerintah di sekor

transportasi agar sustainable transportation dapat tercapai dan kualitas

lingkungan di kota Jakarta dapat diperbaiki.

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan kebijakan yang bertujuan

untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi dimana setiap kendaraan

yang melintasi zona ERP tersebut dikenai biaya dengan harga tertentu. Kebijakan

ini bertujuan agar kelancaran lalu lintas dapat dicapai sehingga masalah

lingkungan yang berdampak pula pada sosial ekonomi masyarakat dapat diatasi.

Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk melihat WTP masyarakat yang

mencerminkan nilai ERP yang dapat diimplementasikan oleh pemerintah. Hasil

43
dari pemberlakuan ERP berupa pendapatan daerah yang digunakan sebagai dana

perbaikan dan pengadaan transportasi publik yang layak dan nyaman.

44
Peningkatan populasi

Permintaan transportasi Kemudahan


meningkat beraktivitas

Peningkatan Jumlah
Kendaraan Kemacetan

Masalah Lingkungan,
Sosial, dan Ekonomi

Kebijakan Transportasi
Pemerintah

Pembatasan
Electronic Road Pricing (ERP) Penggunaan Jalan

Menganalisis Besarnya nilai Besarnya jumlah Dampak lingkungan


faktor-faktor ERP yang kendaraan dan pemberlakuan ERP
yang sesuai untuk emisi yang
mempengaruhi diberlakukan berkurang akibat
nilai ERP pemberlakuan
ERP

Analisis Analisis Analisis Analisis Deskriptif


Regresi CVM kuantitatif dan Kualitatif dan
Berganda CVM Kuantitatif

Rekomendasi Kebijakan

Keterangan : Lingkup Penelitan

Gambar 2. Diagram Alur Kerangka Berfikir

45
IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat.

Pemilihan lokasi tersebut dilakukan secara sengaja (purposive) karena lokasi

tersebut merupakan salah satu lokasi yang telah direncanakan oleh Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta untuk memberlakukan Electronic Road Pricing (ERP).

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu pada bulan Maret-

Mei 2011. Selama jangka waktu penelitian dilakukan pengambilan data yang

dibutuhkan baik primer maupun sekunder.

4.2. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer dan data

sekunder. Data primer yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil

wawancara langsung dengan responden melalui kuisioner. Sedangkan data

sekunder yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari berbagai instansi

pemerintahan di lokasi penelitian dan instansi-instansi lain yang terkait.

4.3. Metode Pengambilan Contoh

Teknik pengambilan contoh yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode non-probability sampling, yaitu convenience sampling. Metode tersebut

merupakan metode pengambilan responden yang mudah ditemui dan mempunyai

kemampuan sebagai responden (Nazir, 1988). Responden yang digunakan dalam

penelitian ini adalah para pengguna Jalan Jenderal Sudirman. Responden diambil

secara sengaja dengan pertimbangan pengguna jalan yang menggunakan mobil

pribadi dan biasa melintasi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Pusat. Jumlah

46
responden yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 orang. Dalam

penelitian sosial jumlah responden sebanyak 100 orang ini dinilai sudah mewakili

keseluruhan populasi dan hasil estimasi pada model regresi linier berganda juga

menunjukkan bahwa data sudah menyebar normal.

Tabel 3. Metode Analisis Data


Metode
No. Tujuan Penelitian Sumber Data
Analisis
1. Menganalisis faktor-faktor yang Data Primer Analisis
mempengaruhi nilai ERP dilihat (Wawancara) Regresi
dari kemampuan pengguna jalan Berganda
untuk membayar.
2. Mengestimasi besarnya nilai Data primer Analisis CVM
ERP yang sesuai untuk (Wawancara) dan
diberlakukan dilihat dari data sekunder
kemampuan pengguna jalan
untuk membayar (WTP).
3. Mengestimasi besarnya jumlah Data primer Analisis
kendaraan dan emisi yang dapat (Wawancara) dan kuantitatif
berkurang akibat pemberlakuan data sekunder dan CVM
ERP.
4. Menganalisis dampak Data primer Analisis
lingkungan dari pemberlakuan (Wawancara) dan Deskriptif
ERP. data sekunder Kualitatif dan
Kuantitatif
5. Menganalisis rekomendasi Data primer Analisis
kebijakan yang tepat dalam (Wawancara) dan Deskriptif
mengelola sistem pemanfaatan data sekunder Kualitatif
keuangan yang dihasilkan dari
pemberlakuan ERP.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

Data yang telah diperoleh, dikumpulkan, dan dianalisis secara kualitatif

dan kuantitatif. Pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan

komputer program Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS 15.0 for Windows.

47
4.4.1. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP
Dilihat dari WTP Pengguna Jalan

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai ERP dilihat dari faktor-

faktor yang mempengaruhi nilai WTP pengguna jalan Sudirman. Hal tersebut

dianalisis dengan menggunakan regresi linier berganda. Persamaan regresi

besarnya nilai ERP dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

WTP = β0 + β1KMUi + β2TPi - β3PBi + β4PDi - β5JTi + β6JPi + β7DMi + εi

dimana :

WTP = Nilai WTP responden (Rp)

KMU = Keinginan untuk memperbaiki kualitas udara (bernilai 1 jika “sama

sekali tidak ingin”, bernilai 2 jika “tidak ingin”, bernilai 3 jika

“ingin”, bernilai 4 jika “sangat ingin”)

TP = Tingkat pendidikan (bernilai 1 jika “SLTA”, bernilai 2 jika

“D3/S1”, bernilai 3 jika “S2/S3”)

PB = Rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar (Rp)

PD = Tingkat Pendapatan (Rp)

JT = Jumlah Tanggungan (orang)

JP = Jenis Pekerjaan (bernilai 1 untuk pekerjaan yang harus

menggunakan kendaraan, bernilai 0 untuk pekerjaan yang tidak

harus menggunakan kendaraan)

DR = Durasi terkena kemacetan (menit)

i = Responden ke-i (i = 1, 2, ..., n)

ε = Galat

Besarnya nilai WTP akan mencerminkan besarnya nilai ERP yang sesuai

untuk diberlakukan. Nilai tersebut dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut:

48
penilaian terhadap kualitas udara, tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk

bahan bakar, tingkat pendapatan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, dan durasi

terkena kemacetan dari masing-masing responden. Variabel-variabel tersebut

diduga mempengaruhi nilai yang bersedia responden bayarkan sebagai nilai ERP

dalam upaya memperbaiki kualitas udara dan mengatasi kemacetan di Jakarta.

Variabel yang diduga akan memiliki koefisien bernilai positif yaitu

keinginan untuk memperbaiki suhu udara, tingkat pendidikan, tingat pendapatan,

jenis pekerjaan, dan durasi terkena kemacetan. Dihipotesiskan bahwa semakin

tinggi keinginan responden untuk memperbaiki suhu udara maka diduga akan

mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP)

yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan

responden maka diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai

kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin

tinggi tingkat pendapatan responden maka diduga akan mempengaruhi responden

dalam memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi.

Dihipotesiskan bahwa semakin pekerjaan tersebut membutuhkan kendaraan maka

diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan

membayar (WTP) yang lebih tinggi. Dihipotesiskan bahwa semakin lama

responden terkena kemacetan maka diduga akan mempengaruhi responden dalam

memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih tinggi.

Variabel yang diduga akan memiliki koefisien bernilai negatif yaitu rata-

rata pengeluaran untuk bahan bakar dan jumlah tanggungan. Dihipotesiskan

bahwa semakin besar pengeluaran responden untuk membeli bahan bakar maka

diduga akan mempengaruhi responden dalam memberikan nilai kesediaan

49
membayar (WTP) yang lebih rendah. Dihipotesiskan bahwa semakin banyak

jumlah tanggungan maka diduga akan mempengaruhi responden dalam

memberikan nilai kesediaan membayar (WTP) yang lebih rendah.

4.4.2 Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya


Nilai ERP

Nilai WTP dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan CVM.

Tahap-tahap yang dilakukan dalam CVM meliputi (Hanley dan Spash, 1993):

1) Membuat Pasar Hipotetik

Dasar pembentukan pasar hipotetik dalam penelitian ini adalah kemacetan

yang semakin parah dan peningkatan polusi udara di kota Jakarta. Dalam

upaya mengatasi kemacetan, inefsiensi energi dan mengurangi polusi di

Jakarta diterapkan kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) dibeberapa

ruas jalan protokol di Jakarta, maka diperlukan anggaran biaya yang cukup

sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar upaya mengatasi

kemacetan, inefsiensi energi dan mengurangi polusi di Jakarta dapat

dilakukan. Hal tersebut dapat diatasi dengan menggunakan salah satu

instrumen ekonomi yaitu pengenaan biaya secara langsung terhadap

pengguna jalan (road pricing) untuk mencapai tujuan transportasi yang

berkelanjutan. Pasar hipotetik yang ditawarkan dibentuk dalam skenario

sebagai berikut:

Skenario Pasar Hipotetik

”Kemacetan di DKI Jakarta semakin sulit diatasi sehingga menimbulkan

berbagai masalah yang erat kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan

ekonomi. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan memberlakukan suatu

50
kebijakan dalam hal manajemen transportasi darat untuk mengatasi

kemacetan, inefisensi energi, dan mengurangi polusi. Kebijakan tersebut

berupa Electronic Road Pricing (ERP), yaitu pengenaan biaya secara

langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu untuk

mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sebagai penyebab

kemacetan lalu lintas, inefisiesi energi, dan peningkatan polusi di DKI

Jakarta. Besarnya nilai ERP yang akan diberlakukan dapat dilihat dari

besarnya kemampuan untuk membayar (WTP) responden atas fasilitas jalan

raya yang telah digunakan. WTP tersebut mencerminkan besarnya nilai ERP

yang harus dibayar oleh individu pengguna jalan yang sesuai untuk

diberlakukan pada ruas jalan tertentu. Dalam prosesnya dibutuhkan peran

aktif dan partisipasi dari masyarakat sebagai pengguna jalan. Oleh karena

itu diperlukan suatu instrumen ekonomi, yaitu road pricing untuk mencapai

tujuan transportasi berkelanjutan yang dapat mengurangi kemacetan dan

menciptakan kualitas udara yang lebih baik di kota Jakarta”.

Responden dapat mengetahui gambaran tentang situasi hipotetik mengenai

rencana penerapan ERP melalui skenario yang telah dibuat. Alat survei yang

digunakan berupa kuisioner yang memberikan deskripsi kepada seluruh

responden tentang alasan mengapa ERP tersebut perlu diimplementasikan

dan bagaimana mekanisme dari kebijakan tersebut.

2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Penawaran mengenai besarnya nilai WTP diperoleh melalui survei dengan

wawancara langsung. Teknik yang digunakan untuk mendapatkan nilai

penawaran adalah bidding game. Teknik ini diakukan dengan menanyakan

51
kepada responden apakah bersedia membayar sejumlah uang tertentu

dengan nilai titik awal (starting point) sebesar Rp 15.000. Nilai starting

point tersebut diperoleh berdasarkan nilai rata-rata pengguna jalan untuk

membayar jockey 3 in 1. Jika responden bersedia membayar sebesar nilai

starting point maka besarnya nilai yang ditawarkan dinaikkan sampai ke

tingkat maksimum yang bersedia dibayarkan oleh responden. Nilai

maksimum tersebut menjadi nilai WTP responden.

3) Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP

WTPi dapat diduga dengan melakukan nilai rata-rata dari penjumlahan

keseluruhan nilai WTP dibagi dengan jumlah responden. Dugaan rataan

WTP dibagi dengan rumus :

n
EWTP = WiPfi
i 1

dimana :

EWTP = Dugaan rataan WTP

Wi = Nilai WTP ke-i

Pfi = Frekuensi Relatif

n = Jumlah responden

i = Responden ke-i yang bersedia melakukan pembayaran jasa

lingkungan

4) Memperkirakan Kurva WTP

Pendugaan kurva akan dilakukan dengan mengunakan persamaan sebagai

berikut :

WTP = f (KMU, TP, PB, PD, JT, JP, DM)

dimana :

52
WTP = Nilai WTP responden (Rp)

KMU = Keinginan untuk memperbaiki kualitas udara (bernilai 1 jika

“sangat ingin”, bernilai 2 jika “ingin”, bernilai 3 jika “tidak

ingin”, bernilai 4 jika “sama sekali tidak ingin”)

TP = Tingkat pendidikan (bernilai 1 jika “SLTA”, bernilai 2 jika

“D3/S1”, bernilai 3 jika “S2/S3”)

PB = Rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar (Rp)

PD = Tingkat Pendapatan (Rp)

JT = Jumlah Tanggungan (orang)

JP = Jenis Pekerjaan (bernilai 1 untuk pekerjaan yang harus

menggunakan kendaraan, bernilai 0 untuk pekerjaan yang tidak

harus menggunakan kendaraan)

DR = Durasi terkena kemacetan (menit)

Kurva WTP dapat digunakan untuk memperkirakan perubahan sejumlah

variabel independen yang berhubungan dengan mutu lingkungan. Perkiraan

kurva WTP dapat juga diperkirakan dengan menggunakan jumlah kumulatif

dari jumlah responden yang menjawab suatu nilai WTP. Asumsinya adalah

individu yang bersedia membayar suatu nilai WTP tertentu maka akan

bersedia pula membayar suatu nilai WTP yang lebih kecil.

5) Menjumlahkan Data

Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai tengah penawaran

dikonversikan terhadap total populasi yang dimaksud. Setelah menduga

nilai tengah WTP maka dapat di duga nilai WTP dari pengguna jalan

dengan menggunakan rumus :

53
WTPi N 
n
ni
TWTP =
i 1

dimana :

TWTP = Total WTP

WTPi = WTP individu sampel ke-i

ni = Jumlah sampel ke-i yang bersedia membayar sebesar WTP

N = Jumlah sampel

P = Jumlah populasi

i = Responden ke-i yang bersedia membayar pembayaran jasa

lingkungan

6) Mengevaluasi Penggunaan CVM

Pada tahap ini dilakukan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah

berhasil. Pada tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat

keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Untuk mengevaluasi pelaksanaan

model CVM dilihat tingkat keandalan (reability) fungsi WTP.

4.4.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang

Penurunan jumlah kendaraan dan emisi yang berkurang diestimasi dengan

melakukan analisis secara kuantitatif dengan menggunakan data sekunder dan

data primer yang diperoleh di lapangan. Perkiraan jumlah kendaraan yang dapat

berkurang akibat pemberlakuan ERP diperkirakan dengan menggunakan jumlah

kumulatif dari jumlah responden yang memberikan suatu nilai WTP dengan

asumsi responden yang bersedia membayar suatu nilai WTP tertentu maka akan

mampu pula untuk membayar suatu nilai WTP yang lebih kecil. Nilai mean WTP

mencerminkan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga responden

54
yang memiliki nilai WTP dibawah nilai mean WTP tidak dapat memasuki zona

ERP sehingga jumlah kendaraan yang berkurang dapat diperoleh dengan

menggunakan pendekatan WTP tersebut. Sedangkan untuk jumlah emisi yang

berkurang dianalisis secara kuantitatif dengan data sekunder dari lembaga terkait.

4.4.4. Analisis Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan dari penerapan Electronic Road Pricing (ERP)

dianalisis secara deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Dampak lingkungan yang

dianalisis terkait dengan kondisi lingkungan, kondisi sosial, dan kondisi ekonomi

dari pemberlakuan ERP.

4.4.5. Rekomendasi Kebijakan

Rekomendasi kebijakan yang tepat dalam mengelola sistem pemanfaatan

keuangan yang dihasilkan dari pemberlakuan ERP dijabarkan secara deskriptif

kualitatif. Rekomendasi kebijakan ini terkait pula dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi besarnya nilai ERP sehingga kebijakan yang diterapkan dapat

disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada.

4.5. Pengujian Parameter

Dalam melakukan analisis menggunakan regresi linier berganda, asumsi-

asumsi dasar harus terpenuhi jika hal ini tidak terpenuhi akan berakibat pengujian

yang dilakukan menjadi tidak efisien dan kesimpulan yang didapat menjadi bias,

sehingga perlu dilakukan pengujian parameter agar sesuai dengan kriteria

statistika dan kriteria ekonometrika.

55
4.5.1. Uji Statistika

Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi

kriteria statistika. Kesesuaian model dengan kriteria statistik dilihat dari koefisien

determinasi (R2), uji t, dan uji F.

4.5.1.1 Koefisien Determinasi (R2)

Koefisien determinasi merupakan suatu nilai statistik yang dapat

digunakan untuk mengukur ketepatan atau kecocokan suatu garis regresi dan

dapat pula digunakan untuk mengetahui besarnya kontribusi variabel bebas (x)

terhadap variasi variabel (Y) dari suatu persamaan regresi (Firdaus, 2004). Uji ini

dilakukan dalam pelaksanaan CVM. Berhasil tidaknya pelaksanaan CVM dilihat

berdasarkan nilai koefisien determinasi (R2) dari OLS (Ordinary Least Square)

WTP.

Menurut Mitchell dan Carson (1989) dalam Hanley dan Spash (1993),

merekomendasikan 15% sebagai batas minimum dari R2 yang realibel. Nilai R2

lebih rendah dari 0,15 dapat dikatakan tidak reliable. Sedangkan nilai R2 yang

tinggi dapat menunjukkan tingkat realibilitas penggunaan CVM.

4.5.1.2 Uji Statistik t

Uji statistik t merupakan uji yang dilakukan untuk mengetahui seberapa

jauh masing-masing variabel bebas (Xi) berpengaruh terhadap variabel tidak

bebasnya (Yi). Prosedur pengujiannya (Ramanathan, 1997) adalah sebagai

berikut:

H0 : βi = 0

H1 : βi ≠ 0

56
t hit(n-k) = i  0
si

dimana :

βi = koefisien regresi ke-i yang diduga

sβi = standar deviasi koefisien regresi ke-i yang diduga

Jika t-hitung < t-tabel (α/2, n-k), maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak

berpengaruh nyata terhadap (Yi).

Jika t-hitung > t-tabel (α/2, n-k), maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi)

berpengaruh nyata terhadap (Yi).

4.5.1.3 Uji Statistik F

Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas (Xi)

secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). Prosedur

pengujiannya (Ramanathan, 1997) sebagai berikut :

H0 : β1 = β2 = ... = β5 = 0

H1 : minimal ada satu βi ≠ 0

JKK /(k  1)
F hit =
JKG / k (n  1)

dimana :

JKK = Jumlah kuadrat untuk nilai tengah kolom

JKG = Jumlah kuadrat galat

n = Jumlah sampel

k = Jumlah peubah

Jika Fhit < Ftabel, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak

berpengaruh nyata terhadap (Yi).

57
Jika Fhit > Ftabel, maka H0 ditolak, artinya variabel (Xi) secara serentak

berpengaruh nyata terhadap (Yi).

4.5.2. Uji Ekonometrika

Menurut Gujarati (2003), model ekonometrika yang baik harus memenuhi

pula kriteria ekonometrika. Berdasarkan kriteria ekonometrika, model harus

sesuai dengan asumsi klasik, yaitu terbebas dari gejala multikolinearitas,

heteroskedastisitas, dan autokorelasi. Pada penelitian ini hanya melakukan uji

multikolinearitas dan heteroskedastisitas, sedangkan untuk uji autokorelasi tidak

dilakukan karena data yang digunakan bukan data time series.

4.5.2.1 Uji Multikolinear

Model yang melibatkan banyak variabel bebas sering terjadi

multicollinearity, yaitu terjadinya kolerasi yang kuat antar variabel-variabel

bebasnya. Multicollinearty dalam sebuah model dapat dideteksi dengan

membandingkan besarnya koefisien determinasi (R2) dengan koefisien

determinasi parsial antar dua variabel bebas (r2). Hal ini dapat dibuat suatu

matriks koefisien determinasi parsial antar variabel bebasnya (Ramanathan,

1997).

Multicollinearity dapat dianggap bukan merupakan suatu masalah apabila

koefisien determinasi parsial antar dua variabel bebas tidak melebihi nilai

koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara

simultan. Namun multicollinearity dianggap sebagai masalah serius jika koefisien

determinasi parsial antar dua variabel bebas melebihi atau sama dengan nilai

58
koefisien determinasi atau koefisien korelasi berganda antar semua variabel secara

simultan, atau secara matematis dapat dituliskan dalam pertidaksamaan berikut :

r2 λi, λj > R2 λi, …, λj

Masalah multicollinearity dapat dilihat langsung melalui output komputer dimana

apabila VIF < 10 maka tidak ada masalah multicollinearity.

4.5.2.2 Uji Heteroskedastisitas

Salah satu asumsi metode pendugaan metode kuadrat terkecil adalah

homoskedastisitas, yaitu ragam galat konstan dalam setiap amatan. Pelanggaran

atas asumsi homoskedastisitas adalah heteroskedastisitas. Dalam analisis regresi

linier berganda data penelitian yang baik harus mempunyai sebaran data yang

homogen dan metode yang digunakan untuk mengujinya adalah Uji Levene

(Levene Test). Rumus Uji Levene (Levene Test) adalah sebagai berikut (Aunuddin,

2005) :

dimana :

L = Nilai Levene hitung

X = Nilai data residual

= Rata-rata data residual

N = Jumlah sampel

K = Jumlah kelompok

Nilai Levene hitung yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan

Levene tabel atau dapat juga menggunakan nilai perbandingan signifikansi dengan

59
alpha 5 %. Jika nilai Levene hitung < Levene Tabel atau nilai Sig > 5%, maka

data regresi sederhana atau regresi berganda mempunyai ragam yang homogen.

Dan sebaliknya jika nilai Levene hitung > Levene Tabel atau nilai Sig < 5 % maka

data regresi regresi sederhana atau regresi berganda mempunyai ragam yang tidak

homogen.

60
V. GAMBARAN UMUM LOKASI

5.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Letak geografis kota Jakarta berada pada 60 12‟ LS dan 1060 48‟ BT. Kota

Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas

permukaan laut. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta berdasarkan Keputusan

Gubernur Nomor 1227 tahun 1989, berupa daratan seluas 661,52 km2, dan lautan

seluas 6.977,5 km2 dengan batas wilayah sebagai berikut:

1) Di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa dan membentang pantai dari

Barat sampai ke Timur sepanjang 35 km2

2) Di sebelah Selatan dan Timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa

Barat (Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi dan Kabupaten Bekasi)

3) Di sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Banten (Kota Tangerang dan

Kabupaten Tangerang)

Wilayah administrasi Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi lima kota

administrasi dan satu kabupaten administrasi. Wilayah kota administrasi meliputi

Jakarta Selatan dengan luas wilayah sebesar 145,73 km2, Jakarta Timur dengan

luas wilayah sebesar 187,73 km2, Jakarta Pusat dengan luas wilayah sebesar 47

km2, Jakarta Barat dengan luas wilayah sebesar 126,15 km2, Jakarta Utara dengan

luas wilayah sebesar 142,20 km2. Wilayah kabupaten administrasi yaitu

Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan luas wilayah sebesar 11,81

km2.

Secara umum Jakarta beriklim panas dengan rata-rata suhu maksimum

udara 34,600C pada siang hari dan suhu minimum udara 22,860C pada malam

hari. Stasiun Pengamat Halim Perdana Kusuma mencatat, sepanjang tahun suhu

61
maksimum sekitar 35,400C, kelembaban udara maksimum rata-rata 95,60 persen

dan rata-rata minimum 51,60%, dengan rata-rata curah hujan sepanjang tahun

237,96 mm2.

Jakarta menjadi pusat bisnis dan perekonomian di Indonesia. Di samping

itu Jakarta juga memiliki sarana penunjang ekonomi yang memadai sehingga

memungkinkan perekonomian Jakarta dapat bergerak optimal. Penelitian ini

berlokasi di salah satu jalan protokol yang terdapat di Kota Jakarta, yaitu Jalan

Jenderal Sudirman. Jalan Jenderal Sudirman adalah salah satu jalan utama Jakarta

yang merupakan pusat bisnis. Jalan ini membentang sepanjang 4 km dari Dukuh

Atas, Tanah Abang, Jakarta Pusat sampai Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta

Selatan. Jalan ini berada di perbatasan Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Jalan ini

melintasi 6 Kelurahan, yaitu kelurahan:

1) Setiabudi, Setiabudi, Jakarta Selatan

2) Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat

3) Karet Semanggi, Setiabudi, Jakarta Selatan

4) Bendungan Hilir, Tanah Abang, Jakarta Pusat

5) Senayan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan

6) Gelora, Tanah Abang, Jakarta Pusat

Jalan Jenderal Sudirman merupakan salah satu kawasan 3 in 1 dan dilalui

oleh bus Trans Jakarta Koridor 1. Selain itu jalan ini juga dipakai untuk kegiatan

Car Free Day yang dilaksanakan setiap dua kali dalam satu bulan. Di sekitar jalan

ini berjajar perkantoran dan pusat-pusat bisnis Jakarta. Volume lalu lintas di Jalan

Jenderal Sudirman setiap harinya cukup padat. Berikut ini merupakan grafik

volume lalu-lintas Jalan Sudirman arah Blok M dapat dilihat pada Gambar 3.

62
Sumber : Dinas Perhubungan (2011)

Gambar 3. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Blok-M

Survei tersebut dilakukan pada pukul 06.00-09.00 (peak pagi) dan pukul

16.00-19.00 (peak sore) dengan rentang waktu per 15 menit. Gambar 3

menunjukkan bahwa volume lalu lintas tertinggi pada saat peak pagi berada pada

menit ke 105 atau sekitar pukul 07.30, karena pada waktu tersebut merupakan

waktu dimana orang-orang berangkat kerja. Sedangkan volume lalu lintas

tertinggi pada saat peak sore berada pada menit ke 120 atau sekitar pukul 17.45,

yaitu pada jam pulang kantor.

Survei juga dilakukan pada Jalan Sudirman arah Semanggi. Volume lalu

lintas tertinggi pada saat peak pagi berada pada menit ke 120 atau sekitar pukul

07.45. Sedangkan volume lalu lintas tertinggi pada saat peak sore berada pada

menit ke 120 atau sekitar pukul 16.45. Berikut ini merupakan grafik volume lalu

lintas Jalan Sudirman arah Semanggi dapat dilihat pada Gambar 4.

63
Sumber : Dinas Perhubungan (2011)

Gambar 4. Grafik Volume Lalu Lintas Jalan Sudirman Arah Semanggi

Menurut data Suku Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota

Administrasi (2011), jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta pada bulan Februari

2011 tercatat sebanyak 8.524.892 jiwa. Jumlah penduduk di wilayah Jakarta Pusat

sebesar 915.862 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk akan berimplikasi pada

peningkatan jumlah kendaraan bermotor khususnya untuk wilayah yang menjadi

pusat bisnis ibu kota seperti wilayah Sudirman. Berikut ini merupakan data

jumlah kendaraan bermotor di Wilayah Jakarta Pusat tahun 2005-2010.

Tabel 4. Jumlah Kendaraan Bermotor Menurut Jenis di Wilayah Jakarta


Pusat Tahun 2005-2010
Wilayah Jakarta Pusat
No Tahun Jumlah
Penumpang Beban Bus Sepeda Motor
1 2005 556.068 123.966 99.389 750.605 1.530.028
2 2006 551.487 112.964 99.452 804.369 1.568.272
3 2007 533.889 108.089 99.548 863.687 1.605.213
4 2008 514.691 104.518 99.604 929.307 1.648.120
5 2009 504.086 102.350 99.629 1.001.793 1.707.858
6 2010 522.991 102.682 102.083 1.078.880 1.806.636
Sumber : Kantor Kepolisian Republik Indonesia (2011)

Tabel 4 menunjukkan data jumlah kendaraan bermotor menurut jenisnya,

yaitu kendaraan bermotor berjenis penumpang meliputi mobil pribadi dan

angkutan umum, kendaraan bermotor berjenis beban meliputi truk dan angkutan-

64
angkutan berat, kendaraan bermotor berjenis bus dan sepeda motor. Sejak tahun

2005-2010 jumlah kendaraan bermotor setiap tahunnya cenderung mengalami

peningkatan. Hal ini dapat menyebabkan potensi kemacetan yang tinggi di

wilayah Jakarta Pusat sehingga dapat berdampak pula bagi lingkungan dan

perekonomian kota.

5.2. Karakteristik Responden

Karakteristik umum responden dalam penelitian ini diperoleh berdasarkan

survei terhadap 100 responden yang merupakan pengguna Jalan Jenderal

Sudirman, Jakarta Pusat. Karakteristik umum responden ini dijelaskan dari

beberapa variabel, meliputi jenis kelamin, tingkat usia, tingkat pendidikan formal

yang pernah ditempuh, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, dan jumlah

tanggungan responden.

5.2.1. Jenis Kelamin

Sebagian besar responden adalah laki-laki yaitu sebanyak 89 orang (89%),

sedangkan responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 11 orang

(11%). Hal ini dikarenakan responden yang diambil dalam penelitian ini adalah

pengguna mobil pribadi yang pada umumnya didominasi oleh laki-laki.

Perbandingan responden laki-laki dan perempuan dapat dilihat pada Gambar 3.

65
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

5.2.2. Tingkat Usia

Tingkat usia responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman cukup

bervariasi. Distribusi usia berkisar antara 20 tahun hingga 60 tahun dan jumlah

responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 31-40 tahun yaitu berjumlah 41

orang (41%). Responden yang berusia antara 20-30 tahun berjumlah 37 orang

(37%), responden yang berusia 41-50 tahun berjumlah 19 orang (19%), dan

responden yang berusia 51-60 tahun berjumlah 3 orang (3%). Perbandingan

distribusi usia responden tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 4.

Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 6. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Usia

66
5.2.3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan formal yang pernah ditempuh responden cukup

bervariasi, mulai dari SLTA hingga S3. Berdasarkan data yang diperoleh, tingkat

pendidikan yang mayoritas ditempuh oleh responden adalah S1, yaitu sebanyak

60 orang atau 60% dari total keseluruhan responden. Sebanyak 21 orang (21%)

menempuh pendidikan sampai ke jenjang S2, sebanyak 14 orang (14%)

berpendidikan SLTA, sebanyak 3 orang (3%) berpendidikan D3, dan sebanyak 2

orang (2%) menempuh pendidikan sampai ke jenjang S3. Perbandingan

persentase tingkat pendidikan responden dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 7. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

5.2.4. Jenis Pekerjaan

Jenis pekerjaan responden cukup bervariasi meliputi pegawai swasta,

pegawai BUMN, pegawai negeri sipil, wiraswasta, dan mahasiswa. Mayoritas

responden bekerja sebagai pegawai swasta yaitu sebanyak 62 orang atau 62% dari

total keseluruhan responden. Sebanyak 18 orang (18%) berprofesi sebagai

wiraswasta, sebanyak 10 orang (10%) sebagai mahasiswa, sebanyak 6 orang (6%)

sebagai pegawai BUMN dan sebanyak 4 orang (4%) berprofesi sebagai pegawai

67
negeri sipil. Perbandingan persentase jumlah responden pada setiap jenis

pekerjaan dapat dilihat pada Gambar 6.

Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 8. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

5.2.5. Tingkat Pendapatan

Tingkat pendapatan responden yang berpenghasilan y ≤ Rp. 5.000.000 per

bulan sebanyak 22 orang (22%). Mayoritas responden memiliki tingkat

pendapatan yang berada pada selang Rp. 5.000.000 < y ≤ Rp.10.000.000 per

bulan, yaitu sebanyak 71 orang atau 71% dari total keseluruhan responden.

Sebanyak 7 orang (7%) berpenghasilan y > Rp. 10.000.000 per bulan. Distribusi

tingkat pendapatan responden dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 9. Karakteristik Responden Berdasarkan Tingkat Pendapatan

68
5.2.6. Jumlah Tanggungan

Mayoritas responden memiliki jumlah tanggungan pada selang 2-3 orang,

yaitu sebanyak 48 orang atau 48% dari total keseluruhan responden. Sebanyak 38

orang (38%) memiliki jumlah tanggungan pada selang 0-1 orang, sebanyak 13

orang (13%) memiliki jumlah tanggungan pada selang 4-5 orang, dan sebanyak 1

orang (1%) memiliki jumlah tanggungan pada selang 6-7 orang. Jumlah

tanggungan mencakup keluarga inti (anak dan istri/suami) serta tambahan

tanggungan bukan keluarga inti yang tinggal dirumah responden maupun tidak

tetapi kebutuhannya dibiayai responden. Perbandingan persentase jumlah

tanggungan responden dapat dilihat pada Gambar 8.

Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 10. Karakteristik Responden Berdasarkan Jumlah Tanggungan

69
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Nilai ERP


Dilihat dari Willingness To Pay (WTP) Pengguna Jalan

Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTP responden

dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Terdapat tujuh

variabel penjelas (independen) yang diduga akan mempengaruhi besarnya nilai

WTP (variabel dependen), yaitu keinginan untuk memperbaiki kualitas udara

(KMU), tingkat pendidikan (TP), rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar (PB),

tingkat pendapatan (PD), jmlah tanggungan (JT), jenis pekerjaan (JP), dan durasi

terkena kemacetan (DR). Analisis regresi linier berganda meliputi pengujian

hipotesis untuk mengetahui berapa besar dan nyata pengaruh faktor-faktor

tersebut terhadap besarnya nilai WTP. Hasil analisis nilai WTP responden dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Hasil Analisis Nilai WTP Responden Pengguna Jalan Jenderal


Sudirman
Variabel Koefisien T Sig Keterangan
Constant 6319,334 1,532 ,129 (-)
KMU 9,044 ,007 ,994 Tidak Berpengaruh Nyata
TP 3502,699 2,646 ,010 Berpengaruh Nyata*
PB -,003 -2,357 ,021 Berpengaruh Nyata*
PD ,001 3,416 ,001 Berpengaruh Nyata*
JT -304,421 -,675 ,502 Tidak Berpengaruh Nyata
JP 1285,909 ,892 ,375 Tidak Berpengaruh Nyata
DR 157,797 7,369 ,000 Berpengaruh Nyata**
2
R 62,5%
F-Statistik 21,921 0,000
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)
Keterangan : ** Pada taraf kepercayaan 99 persen
* Pada taraf kepercayaan 95 persen

Berdasarkan hasil analisis regresi linier berganda diketahui bahwa model

yang dihasilkan dalam penelitian ini cukup baik. Hal ini dapat ditunjukkan dari

nilai R2 sebesar 62,5%. Nilai tersebut menjelaskan bahwa keragaman nilai WTP

70
responden dapat dijelaskan oleh variabel-variabel penjelas dalam model sebesar

62,5% sedangkan sisanya sebesar 37,5% dijelaskan oleh variabel-variabel lain

diluar model. Fungsi besarnya nilai WTP responden yang dihasilkan dari analisis

regresi linier berganda ditunjukkan oleh model sebagai berikut :

WTP = 6.319,334 + 3.502,699 TP – 0,003 PB + 0,001 PD + 157,797 DR

Berdasarkan model tersebut diketahui bahwa variabel-variabel penjelas

yang berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP responden adalah sebagai

berikut :

1) Tingkat pendidikan

Variabel tingkat pendidikan memiliki nilai Sig sebesar 0,010 menunjukkan

bahwa variabel tingkat pendidikan responden signifikan pada taraf

kepercayaan (α) 5%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda positif yaitu

sebesar 3.502,699. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan satu

level tingkat pendidikan maka diduga nilai WTP responden akan meningkat

sebesar Rp 3.502,699. Hal ini karena responden yang memiliki tingkat

pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih menghargai waktu dan

memiliki kesadaran akan pentingnya waktu sehingga lebih cenderung ingin

membayar lebih tinggi agar jalan yang dilalui lancar. Selain itu responden

yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi memiliki kesadaran terhadap

lingkungan yang tinggi sehingga lebih mengetahui pentingnya menjaga

lingkungan agar terbebas dari polusi yang membahayakan bagi kesehatan

sehingga untuk mendapatkan kondisi lingkungan yang lebih baik diperlukan

peran aktif dan partisipasi pengguna jalan dengan memberikan kesediaan

membayar lebih tinggi untuk mencapai tujuan transportasi berkelanjutan

71
yang dapat mengurangi kemacetan dan menciptakan kualitas udara yang

lebih baik di kota Jakarta.

2) Rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar

Variabel rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar memiliki nilai Sig sebesar

0,021 menunjukkan bahwa variabel rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar

responden signifikan pada taraf kepercayaan (α) 5%. Nilai koefisien pada

variabel ini bertanda negatif yaitu sebesar 0,003. Hal tersebut menunjukkan

bahwa setiap kenaikan pengeluaran bahan bakar sebesar satu juta rupiah

maka diduga nilai WTP responden akan menurun sebesar Rp 3.000. Hal ini

karena peningkatan pengeluaran responden akan mengurangi alokasi dana

WTP responden akibat adanya penambahan pengeluaran untuk membeli

bahan bakar.

3) Tingkat pendapatan

Variabel tingkat pendapatan memiliki nilai Sig sebesar 0,001 menunjukkan

bahwa variabel tingkat pendapatan responden signifikan pada taraf

kepercayaan (α) 5%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda positif yaitu

sebesar 0,001. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan tingkat

pendapatan sebesar satu juta rupiah maka diduga nilai WTP responden akan

meningkat sebesar Rp 1.000. Hal ini karena responden yang memiliki

pendapatan lebih tinggi akan bersedia membayar lebih besar untuk ikut serta

dalam upaya perbaikan lingkungan sehingga dapat memperoleh kondisi

lingkungan yang lebih nyaman dengan kualitas udara yang lebih baik.

72
4) Durasi terkena kemacetan

Variabel durasi terkena kemacetan memiliki nilai Sig sebesar 0,000

menunjukkan bahwa variabel tersebut signifikan pada taraf kepercayaan (α)

1%. Nilai koefisien pada variabel ini bertanda positif yaitu sebesar 157,797.

Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap kenaikan durasi terkena kemacetan

sebesar satu menit maka diduga nilai WTP responden akan meningkat

sebesar Rp 157,797. Hal ini karena semakin lama responden terkena

kemacetan maka responden akan bersedia membayar lebih besar agar dapat

mengurangi kemacetan dan menciptakan kualitas udara yang lebih baik.

Variabel yang tidak berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP

responden adalah keinginan untuk memperbaiki kualitas udara, jumlah

tanggungan, dan jenis pekerjaan. Variabel keinginan untuk memperbaiki kualitas

udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan tidak berpengaruh nyata karena

masing-masing memiliki nilai Sig yang lebih besar dari taraf kepercayaan (α)

20%, yaitu sebesar 0,994, 0,502, dan 0,375. Variabel keinginan untuk

memperbaiki kualitas udara tidak berpengaruh nyata karena responden yang

digunakan dalam penelitian ini adalah para pengguna jalan yang menggunakan

mobil pribadi, sehingga secara ekonomi mereka dapat dikatakan mampu dan lebih

banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan ber-AC seperti di dalam

kendaraan, di kantor maupun di rumah sehingga suhu udara yang lebih tinggi

tidak terlalu berpengaruh bagi mereka. Variabel jumlah tanggungan tidak

berpengaruh nyata karena responden rata-rata memiliki penghasilan yang besar

sehingga banyak atau sedikitnya jumlah tanggungan tidak berpengaruh terhadap

besarnya nilai WTP. Variabel jenis pekerjaan tidak berpengaruh nyata karena

73
responden dengan pekerjaan yang mengharuskannya menggunakan kendaraan

belum tentu memiliki nilai WTP yang lebih besar dibandingkan dengan responden

yang pekerjaannya tidak mengharuskan untuk menggunakan kendaraan.

Pengujian parameter dalam analisis regresi berganda dilakukan untuk

mengetahui pengaruh dari variabel independen terhadap variabel dependen yang

dapat diketahui dengan uji statistik t (parsial) dan uji statistik F (simultan). Hasil

uji statistik t dan uji statistik F dapat dilihat dalam Tabel 5.

1) Uji Statistik t

Pengaruh parsial setiap variabel independen dapat diketahui dengan melihat

signifikan atau tidaknya koefisien regresi dari masing-masing variabel

independen tersebut. Jika nilai t hitung lebih besar dari nilai t tabel maka

variabel tersebut berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya. Namun,

apabila telah diketaui nilai Sig dari hasil analisis regresi berganda maka

untuk mengetahui apakah variabel tersebut nyata atau tidaknya dengan

melihat dari nilai Sig yang harus lebih kecil dari nilai α. Berdasarkan Tabel

5 dapat diketahui bahwa empat variabel penjelas berpengaruh nyata dan tiga

variabel tidak berpengaruh nyata karena nilai Sig yang lebih besar dari nilai

α. Variabel tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar,

dan tingkat pendapatan berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan (α) 5%,

menunjukkan bahwa tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran untuk bahan

bakar, dan tingkat pendapatan responden 95% secara parsial berpengaruh

nyata terhadap nilai WTP responden. Variabel durasi terkena kemacetan

berpengaruh nyata pada taraf kepercayaan (α) 1%, menunjukkan bahwa

lamanya durasi terkena kemacetan 99% secara parsial berpengaruh nyata

74
terhadap nilai WTP responden. Variabel keinginan untuk memperbaiki

kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan secara parsial tidak

berpengaruh nyata karena nilai Sig ketiga variabel tersebut lebih besar dari

taraf kepercayaan (α) 15%.

2) Uji Statistik F

Uji statistik F merupakan pengujian model regresi secara keseluruhan,

dimana semua koefisien yang terlibat secara simultan memberikan pengaruh

nyata terhadap variabel dependen. Berdasarkan hasil analisis regresi linier

berganda yang dapat dilihat pada Tabel 5 dapat diketahui bahwa nilai Fhitung

sebesar 21,921 dengan nilai Sig sebesar 0,000 menunjukkan bahwa variabel-

variabel penjelas dalam model secara bersama-sama (simultan) berpengaruh

nyata terhadap nilai WTP responden pada taraf (α) 15%.

3) Uji Multikolinear

Berdasarkan hasil anlisis regresi linier berganda tidak ditemukan adanya

pelanggaran asumsi regresi multikolinearitas. Hal tersebut dapat dilihat dari

nilai Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel

independennya. Jika nilai VIF tidak lebih dari 10 maka model dapat

dikatakan terbebas dari multikolinearitas. Nilai masing-masing variabel

independen pada model memiliki nilai kurang dari 10 untuk semua variabel

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada multikolinearitas dalam model.

4) Uji Heteroskedastisitas

Heteroskedastisitas dapat dilihat dari hasil Uji Levene. Jika nilai Sig lebih

besar dari nilai α maka model tersebut homogen atau tidak terdapat

heteroskedastisitas dalam model. Berdasarkan Uji Levene diperoleh bahwa

75
nilai Sig sebesar 0,563 lebih besar dari nilai α=5%, sehingga dapat

disimpulkan bahwa model yang dihasilkan tidak terdapat

heteroskedastisitas.

Hasil analisis regresi linier berganda menunjukan bahwa model yang

dihasilkan baik dan tidak terdapat pelanggaran asumsi regresi linier berganda

yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan autokorelasi yang dapat dilihat

pada Tabel 6.

Tabel 6. Hasil Estimasi Model Regresi Linier Berganda yang Menunjukkan


Tidak Adanya Pelanggaran Asumsi dalam Model
Variabel Constant KMU TP PB PD JT JP DR
VIF - 1,534 1,867 1,339 1,633 1,394 1,492 1,369
Uji Levene
F df1 df2 Sig
0,785 5 94 0,563
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

6.2. Estimasi Nilai WTP Pengguna Jalan untuk Menentukan Besarnya


Nilai ERP

Nilai WTP responden terhadap upaya pengurangan polusi dan perbaikan

kualitas udara melalui kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) diestimasi

dengan pendekatan Contingent Valuation Method (CVM) melalui survei langsung

terhadap masyarakat pengguna jalan. Hasil pelaksanaan CVM adalah sebagai

berikut :

1) Membangun Pasar Hipotetik

Responden diberikan situasi hipotetik yang menggambarkan kondisi

lingkungan DKI Jakarta yang mengalami penurunan akibat peningkatan

polusi udara dan kemacetan yang semakin parah sehingga menimbulkan

berbagai masalah yang erat kaitannya dengan sektor lingkungan, sosial, dan

ekonomi sehingga akan diberlakukan suatu kebijakan dalam hal manajemen

76
transportasi darat untuk mengatasi kemacetan, inefisiensi BBM, dan

mengurangi polusi, yaitu kebijakan ERP dengan pengaplikasian instrumen

ekonomi berupa road pricing atau pengenaan biaya secara langsung

terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu untuk

mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sehingga tercapai tujuan

transportasi berkelanjutan yang dapat mengurangi kemacetan dan

menciptakan kualitas udara yang lebih baik di kota Jakarta. Dengan

demikian, responden memperoleh gambaran tentang situasi hipotetik yang

dibangun dalam upaya mengurangi polusi.

2) Mendapatkan Penawaran Besarnya Nilai WTP

Penawaran mengenai besarnya nilai WTP diperoleh melalui survei dengan

wawancara langsung. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk

mendapatkan nilai penawaran adalah bidding game atau metode tawar-

menawar dimana responden ditawarkan sebuah nilai tawaran yang dimulai

dari nilai terkecil hingga nilai terbesar sehingga mencapai nilai WTP

maksimum yang sanggup dibayarkan responden. Teknik ini dilakukan

dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia membayar sejumlah

uang tertentu dengan nilai titik awal (starting point) sebesar Rp 15.000.

Nilai starting point tersebut diperoleh berdasarkan nilai rata-rata pengguna

jalan untuk membayar jockey 3 in 1. Jika responden bersedia membayar

sebesar nilai starting point maka besarnya nilai yang ditawarkan dinaikkan

sampai ke tingkat maksimum yang bersedia dibayarkan oleh responden.

Nilai maksimum tersebut menjadi nilai WTP responden.

77
3) Memperkirakan Nilai Rata-Rata WTP

Dugaan nilai rata-rata WTP responden diperoleh berdasarkan data distribusi

WTP responden dan menggunakan rumus. Distribusi nilai WTP responden

dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Distribusi Nilai WTP Responden


Frekuensi
No Kelas WTP Frekuensi Jumlah
Relatif
1 15.000 30 0,30 4.500
2 20.000 29 0,29 5.800
3 25.000 22 0,22 5.500
4 30.000 8 0,08 2.400
5 35.000 4 0,04 1.400
6 50.000 7 0,07 3.500
Total 100 1 23.100
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Kelas WTP responden diperoleh dengan menentukan nilai terkecil sampai

nilai terbesar WTP yang bersedia dibayarkan oleh responden. Berdasarkan

Tabel 7 besarnya nilai WTP responden mulai dari Rp 15.000 – Rp 50.000.

Hasil perhitungan diperoleh bahwa nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp

23.100. Nilai rata-rata WTP responden tersebut dapat dijadikan acuan dalam

penetapan tarif dalam kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) sehingga

tujuan untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sebagai

penyebab kemacetan lalu lintas, inefisiensi energi, dan peningkatan polusi

dapat tercapai.

4) Memperkirakan kurva WTP

Pendugaan kurva WTP respoden dapat dilakukan dengan menggunakan

jumlah kumulatif dari jumlah responden yang menjawab suatu nilai WTP.

Asumsinya adalah individu yang bersedia membayar suatu nilai WTP

tertentu maka akan bersedia pula membayar suatu nilai WTP yang lebih

78
kecil. Kurva yang menggambarkan penawaran WTP dapat dilihat pada

Gambar 11.

Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Gambar 11. Kurva Penawaran WTP

5) Menjumlahkan Data untuk Menentukan Total WTP

Nilai total (TWTP) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTP

responden dan dengan menggunakan rumus. Nilai WTP pada setiap kelas

dikalikan dengan frekuensi relatif (ni/N) kemudian dikalikan dengan

populasi dari tiap kelas WTP. Selanjutnya hasil perkalian tersebut

dijumlahkan sehingga didapatkan total WTP (TWTP) responden. Hasil

perhitungan total WTP dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Total WTP Masyarakat Pengguna Jalan Jenderal Sudirman


Kelas Frekuensi
No Frekuensi Populasi Jumlah WTP
WTP Relatif
1 15.000 30 0,30 2.760.828 41.412.420.000
2 20.000 29 0,29 2.668.800 53.376.008.000
3 25.000 22 0,22 2.024.607 50.615.180.000
4 30.000 8 0,08 736.221 22.086.624.000
5 35.000 4 0,04 368.110 12.883.864.000
6 50.000 7 0,07 644.193 32.209.660.000
Total 100 1 9.202.760 212.583.756.000
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

79
Berdasarkan perhitungan pada Tabel 8 diperoleh bahwa nilai total WTP

responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman sebesar Rp

212.583.756.000/tahun, dimana populasinya merupakan jumlah kendaraan

yang memasuki wilayah Sudirman yang didasarkan pada data volume lalu

lintas Jalan Sudirman arah Blok M dan Semanggi yang diperoleh dari Dinas

Perhubungan (untuk peak pagi dan peak sore) dan data primer (untuk peak

siang). Kendaraan yang digunakan untuk perhitungan merupakan kendaraan

berat meliputi truk dan kendaraan ringan meliputi mobil pribadi dengan

asumsi bahwa : 1) ERP berlaku mulai pukul 06.00-19.00, 2) ERP berlaku

pada hari aktif yaitu Senin-Jumat, dan 3) survei kendaraan dilakukan pada

saat jam diberlakukannya 3 in 1 dan pada saat 3 in 1 tidak berlaku.

Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan diperoleh bahwa total volume

lalu lintas Jalan Sudirman untuk peak pagi sebesar 18.112 kendaraan dan

untuk peak sore sebesar 12.362 kendaraan. Berdasarkan data primer

diperoleh bahwa total kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman pada

peak siang sebesar 9.538 kendaraan, sehingga perkiraan total kendaraan

yang memasuki wilayah Sudirman per harinya sebesar 40.012 unit

kendaraan. Jumlah kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman per tahun

diperoleh dengan mengalikan jumlah kendaraan per hari dengan hari aktif,

yaitu Senin-Jumat (1 tahun = 230 hari aktif). Dengan demikian, perkiraan

total kendaraan yang memasuki wilayah Sudirman per tahun sebesar

9.202.760 unit kendaraan. Nilai total WTP ini menggambarkan kesediaan

pengguna jalan untuk membayar dalam rangka memperbaiki kondisi

lingkungan agar sesuai dengan standar yang diinginkan yaitu pengurangan

80
polusi udara, kemacetan, dan efisiensi energi. Namun, nilai total WTP

tersebut tidak dapat dijadikan acuan karena nilainya yang tidak seragam.

6) Mengevaluasi Penggunaan CVM

Penggunaan CVM dalam penelitian ini dievaluasi dengan melihat nilai R2

yang diperoleh dari hasil analisis regresi linier berganda. Penelitian yang

berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai

dengan 15%, hal ini karena penelitian tentang lingkungan berhubungan

dengan perilaku manusia sehingga nilai R2 tidak harus besar. Nilia R2 yang

diperoleh dari hasil analisis regresi linier berganda dalam penelitian ini

sebesar 62,7% sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil pelaksanaan CVM

dalam penelitian ini dapat diyakini kebenaran dan keandalannya.

6.3. Estimasi Jumlah Kendaraan dan Emisi yang Berkurang

Kebijakan Electronic Road Pricing (ERP) merupakan suatu kebijakan

berupa pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena

melewati ruas jalan tertentu untuk mengendalikan laju penggunaan kendaraan

pribadi. Mekanismenya adalah setiap kendaraan yang melewati ruas jalan tertentu

akan dikenai biaya dengan harga yang tidak murah. Hal ini dimaksudkan agar

para pengguna kendaraan pribadi mau beralih untuk menggunakan transportasi

masal.

Manfaat yang bisa diperoleh dari pemberlakuan ERP antara lain

mengurangi kemacetan, sumber pendapatan baru dari lalu lintas, mempermudah

penerapan pembatasan lalu lintas, peralihan moda kendaraan pribadi ke angkutan

umum, mengurangi kebisingan yang dihasilkan kendaraan, menurunkan tingkat

81
polusi udara yang berasal dari asap kendaraan, dan minimalisasi kerugian

ekonomi akibat kemacetan lalu lintas.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, kebijakan ERP dapat

mengurangi penggunaan kendaraan pribadi karena ketidakmampuan pengguna

jalan untuk membayar tarif yang diberlakukan dalam ERP. Dalam penelitian ini

diasumsikan bahwa nilai mean WTP mencerminkan harga ERP yang sesuai untuk

diberlakukan sehingga responden pengguna jalan yang memiliki nilai WTP

dibawah nilai mean WTP tidak dapat memasuki zona ERP agar tujuan untuk

mengurangi laju penggunaan kendaraan pribadi dapat tercapai. Hasil perhitungan

jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan ERP dapat dilihat

pada Tabel 9.

Tabel 9. Total Kendaraan yang Berkurang Akibat Pemberlakuan ERP


Frekuensi
No Kelas WTP Frekuensi Populasi
Relatif
1 15.000 30 0,30 2.760.828
2 20.000 29 0,29 2.668.800
Jumlah Kendaraan yang Tidak Dapat Memasuki Zona ERP 5.429.628
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Berdasarkan perhitungan pada Tabel 9 tarif ERP yang sesuai untuk

diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP yaitu Rp 23.100. Apabila tarif

sebesar Rp 23.100 ini diberlakukan maka responden pengguna jalan yang tidak

mampu membayar nilai tersebut adalah responden dengan kelas WTP sebesar Rp

15.000 dan Rp 20.000. Jumlah frekuensi relatif responden yang tidak dapat

memasuki zona ERP sebesar 0,59 (59%) artinya pemberlakuan ERP dengan tarif

Rp 23.100 akan mengurangi jumlah kendaraan sebesar 59% dari total jumlah

kendaraan yang menggunakan Jalan Jenderal Sudirman. Total populasi yang

digunakan dalam penelitian ini sebesar 9.202.760 unit kendaraan/tahun (Tabel 8).

82
Dengan demikian, jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat pemberlakuan

ERP adalah sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total populasi

(Tabel 9).

Dampak lain yang bisa diperoleh dari penerapan ERP adalah peningkatan

kualitas lingkungan karena dapat mengurangi polusi udara, dan mengurangi polusi

bunyi dan getaran. Apabila jumlah kendaraan berkurang maka polusi udara pun

akan berkurang. Berdasarkan data car free day (hari bebas kendaraan bermotor)

yang diperoleh dari Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI

Jakarta diketahui bahwa terjadi pengurangan kadar polusi udara yang sangat

signifikan antara hari kerja dan hari bebas kendaraan bermotor. Hari Bebas

Kendaraan Bermotor (HBKB) merupakan kegiatan yang bertujuan untuk

mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Kegiatan ini juga menjadi ajang

promosi sarana transportasi alternatif selain kendaraan pribadi dan promosi upaya-

upaya perbaikan dan peningkatan kualitas sarana–sarana alternatif tersebut.

Pelaksanaan HBKB ini dapat mengurangi pencemaran udara di lokasi

pelaksanaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya

membatasi penggunaan kendaraan pribadi untuk memperoleh kualitas udara yang

lebih baik. Tujuan HBKB ialah memberikan pendidikan pada masyarakat terkait

pentingnya manfaat udara segar dan bersih. Tujuan lainnya adalah untuk

mengubah ketergantungan masyarakat terhadap kendaraan bermotor sehingga

masyarakat dapat beralih ke angkutan umum, bersepeda, atau bahkan berjalan

kaki. Berikut ini merupakan data perbandingan konsentrasi pencemar untuk

parameter PM10, CO, NO dan THC pada hari bebas kendaraan bermotor dan hari

kerja tahun 2010.

83
Tabel 10. Data Car Free Day tahun 2010
Hari
Parameter HBKB Penurunan % Satuan
Kerja
Debu (PM10) 62,42 103,77 41,35 40% µg/m3
Carbon monoksida (CO) 1,37 4,28 2,90 68% mg/m3
Nitrogen monoksida (NO) 19,16 88,91 69,74 78% µg/m3
Total Hidrokarbon (THC) 3,89 5,20 1,31 25% µg/m3
Sumber : Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta

Tabel 10 menunjukkan bahwa penerapan hari bebas kendaraan bermotor

dapat mengurangi konsentrasi pencemar untuk parameter PM10, CO, NO, dan

THC apabila dibandingkan dengan hari kerja. Penurunan konsentrasi pencemar

rata-rata untuk parameter PM10, CO, NO, dan THC pada tahun 2010 masing-

masing sebesar 41,35 µg/m3 (40%), 2,90 µg/m3 (68%), 69,74 µg/m3 (78%), dan

1,31 µg/m3 (25%). Berdasarkan fakta tersebut dapat disimpulkan bahwa

pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi tingkat polusi udara

yang berasal dari kendaraan bermotor.

Penerapan kebijakan ERP dapat menyebabkan pengurangan jumlah

kendaraan yang dapat memasuki zona ERP, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi

emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP diterapkan maka

kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata HBKB, sehingga semakin

berkurang jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP, maka kondisi

lingkungan akan semakin baik. Namun perlu ditunjang dengan pembatasan emisi

yang ketat.

6.4. Analisis Dampak Lingkungan dari Pemberlakuan ERP

Pemberlakuan ERP akan memberikan dampak bagi lingkungan, baik

lingkungan masyarakat maupun sosial. Dampak lingkungan yang dianalisis dalam

84
penelitian ini terkait dengan kondisi lingkungan, kondisi sosial, dan kondisi

ekonomi dari pemberlakuan ERP.

6.4.1. Kondisi Lingkungan

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu kebijakan

pemerintah di bidang transportasi untuk mengatasi kemacetan dan membatasi

jumlah penggunaan kendaraan pribadi sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan

efektivitas dalam perjalanan. Kemacetan menimbulkan berbagai masalah yang

sangat erat kaitannya dengan lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Kemacetan

berdampak besar bagi lingkungan karena jumlah emisi yang dikeluarkan ke udara

lebih tinggi akibat mesin yang menyala lebih lama.

Selain itu pembangunan fisik kota yang ditandai dengan berdirinya pusat-

pusat industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor

mengakibatkan kepadatan lalu lintas semakin meningkat pula dan menghasilkan

produksi sampingan berupa emisi gas buang kendaraan bermotor yang merupakan

salah satu sumber pencemaran udara. Berbagai upaya yang dilakukan untuk

mengurangi kepadatan lalu lintas di Jakarta tidak akan efektif tanpa kebijakan

mengurangi jumlah pengguna kendaraan. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor

ini tidak diimbangi dengan peningkatan lebar jalan, sehingga kemacetan pun

semakin sulit untuk diatasi dan polusi udara semakin meningkat. Pencemaran

udara ini akan menyebabkan perubahan lingkungan udara akibat masuknya zat

pencemar ke dalam udara.

Masalah polusi yang diakibatkan oleh emisi gas buang kendaraan bermotor

dapat menyebabkan penurunan kualitas udara dan daya dukung lingkungan.

Selain itu, polusi udara juga berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan pada

85
manusia. Zat-zat pencemar berbahaya yang bersumber dari emisi kendaraan

bermotor antara lain nitrogen oksida (NOx), karbon monoksida (CO), timbal (Pb),

hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SO2), dan debu (PM10).

Upaya pengendalian pencemaran udara akibat gas buang kendaraan di

sektor transportasi dapat dilakukan dengan kebijakan ERP. Sektor transportasi

merupakan salah satu komponen yang cukup penting dalam perkembangan

perekonomian. Perkembangan sektor transportasi mengakibatkan peningkatan

penggunaan kendaraan pribadi untuk kemudahan beraktivitas. Peningkatan

penggunaan kendaraan ini dapat memberikan dampak negatif terhadap lingkungan

berupa peningkatan konsentrasi pencemaran udara. Perkembangan jumlah

kendaraan bermotor yang selalu meningkat setiap tahunnya memerlukan

perencanaan kebijakan di bidang transportasi yang ramah lingkungan yaitu

mengurangi potensi masyarakat untuk terkena dampak polusi udara yang

diakibatkan oleh sarana transportasi. Kendaraan bermotor merupakan alat

transportasi yang menjadi sumber bergerak dalam pencemaran udara sehingga

penyebaran emisinya mempunyai suatu pola penyebaran spasial yang meluas,

sehingga sangat berdampak besar bagi lingkungan.

Penerapan kebijakan ERP dapat menyebabkan pengurangan jumlah

kendaraan yang dapat memasuki zona ERP, dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi konsentrasi

emisi di sekitar wilayah Sudirman. Pemberlakuan ERP dapat meningkatkan

kualitas lingkungan, karena dapat mengurangi penggunaan kendaraan pribadi

sehingga polusi udara dapat dikurangi. Pentingnya menjaga kualitas udara tetap

bersih agar lingkungan menjadi sehat, indah dan nyaman.

86
6.4.2. Kondisi Sosial

Penerapan kebijakan ERP ini akan berdampak pada pengurangan jumlah

kendaraan pribadi yang dapat melintasi Jalan Jenderal Sudirman. Hal tersebut

dikarenakan tarif yang diberlakukan relatif mahal sehingga tidak semua pengguna

jalan mampu untuk membayar tarif yang diberlakukan pemerintah tersebut.

Berdasarkan penelitian ini diperkirakan bahwa jumlah kendaraan yang tidak dapat

memasuki wilayah Sudirman apabila ERP diberlakukan adalah sebesar 5.429.628

unit kendaraan atau 59% dari total populasi (Tabel 9). Selain itu pemberlakuan

ERP juga menghilangkan penyedia jasa ilegal (jockey 3 in 1) yang biasanya

beroperasi di sekitar wilayah Sudirman.

Masyarakat akan mendukung kebijakan pemerintah ini dengan syarat

adanya pengembangan transportasi massal dengan kualitas yang baik dan

alternatif sistem angkutan umum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada

umumnya masyarakat cenderung enggan untuk beralih menggunakan transportasi

massal karena angkutan umum yang ada dirasa masih sangat tidak nyaman, tidak

aman, dan tidak tepat waktu. Pengguna angkutan umum sering dihadapkan pada

situasi yang sangat tidak nyaman karena harus mengantri dan berjubel di dalam

angkutan umum. Keinginan masyarakat untuk mempercepat waktu tempuh ini

tidak didukung oleh ketersediaan sarana transportasi yang mampu memenuhi

kebutuhan masyarakat.

6.4.3. Kondisi Ekonomi

Wilayah Sudirman merupakan salah satu pusat bisnis dan perkantoran di

Ibu Kota. Oleh sebab itu perlu didukung oleh kondisi lalu lintas yang lancar

sehingga aktivitas ekonomi dapat berjalan efektif dan efisien. Kemacetan dapat

87
menurunkan efisiensi dan efektivitas perekonomian kota yang dapat

mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi nasional karena produktivitas pekerja

yang menurun. Upaya mengurangi kemacetan di sektor transportasi sangat

penting untuk dilakukan mengingat sektor transportasi merupakan salah satu

komponen penting dalam perkembangan perekonomian.

Berdasarkan hasil perhitungan estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang

dapat memasuki zona ERP sebesar 3.773.132 unit kendaraan. Hasil perhitungan

jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11. Total Kendaraan yang Dapat Memasuki Zona ERP


Kelas Frekuensi
No Frekuensi Populasi
WTP Relatif
1 25.000 22 0,22 2.024.607
2 30.000 8 0,08 736.221
3 35.000 4 0,04 368.110
4 50.000 7 0,07 644.193
Jumlah Kendaraan yang Dapat Memasuki Zona ERP 3.773.132
Sumber : Data Primer setelah diolah (2011)

Berdasarkan Tabel 11 responden pengguna jalan yang dapat memasuki

zona ERP adalah pengguna kendaraan yang memiliki nilai WTP diatas nilai mean

WTP yaitu responden dengan kelas WTP sebesar Rp 25.000, Rp 30.000, Rp

35.000, dan Rp 50.000. Perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari

pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah kendaraan yang dapat

memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai untuk diberlakukan, sehingga

perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah

Rp 87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi, peak

siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada peak pagi dan

peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka perkiraan total dana

88
yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP adalah Rp

66.382.428.420/tahun (Lampiran 2).

Dana tersebut dapat digunakan untuk pengembangan transportasi massal

dan pembangunan infrastruktur untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat

terhadap sarana penunjang transportasi. Namun yang perlu diperhatikan, apabila

ERP diberlakukan maka akan meningkatkan biaya perjalanan bagi kendaraan

yang tidak dapat memasuki zona ERP, sehingga perlu didukung dengan skema

manajamen permintaan yang lain, seperti manajemen parkir atau alternatif

angkutan umum yang aman dan nyaman untuk kendaraan yang tidak dapat

memasuki zona ERP. Hal tersebut dapat menjadi insentif pula bagi para pengguna

moda transportasi massal karena telah ikut serta dalam menekan penggunaan

kendaraan pribadi di wilayah Sudirman.

Kebijakan ERP juga bertujuan untuk menggantikan kebijakan three in one

yang dinilai tidak efektif dalam mengendalikan laju penggunaan mobil pribadi

sehingga apabila kebijakan ini diterapkan maka dapat menghilangkan penyedia

jasa illegal (jockey) di wilayah Sudirman. Hal yang perlu diperhatikan oleh

pemerintah adalah apabila jockey dihilangkan maka para jockey 3 in 1 yang biasa

beroperasi di Jalan Jenderal Sudirman akan mengalami kehilangan pendapatan

yang merupakan tambahan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Oleh karena itu penting diupayakan untuk membuka lapangan pekerjaan baru di

bidang lain agar pengangguran dapat dikurangi, misalnya di bidang transportasi

yaitu penambahan armada busway. Hal tersebut tentu membutuhkan pula lebih

banyak pegawai sehingga yang menganggur dapat terserap di bidang tersebut.

89
Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linear berganda, variabel

pendapatan berpengaruh nyata terhadap besarnya nilai WTP yang digunakan

sebagai dasar penetapan nilai ERP. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan

meningkatkan pendapatan, sehingga apabila pendapatan meningkat maka nilai

ERP dapat dinaikkan hingga ke tingkat maksimal. Apabila pendapatan meningkat

namun nilai ERP tetap maka kebijakan tersebut akan gagal untuk menekan laju

penggunaan kendaraan pribadi. Selain itu, dana yang dihasilkan dapat digunakan

untuk pengembangan moda transportasi massal yang lebih baik dan sesuai dengan

harapan masyarakat selaku pengguna jalan.

6.5. Kebijakan Pengelolaann Sistem Pemanfaatan Keuangan dari


Pemberlakuan ERP

Kebijakan ERP berpotensi besar dalam membatasi laju penggunaan

kendaraan pribadi, sehingga dapat mengurangi polusi udara di Jakarta dan

menjadikan kualitas lingkungan perkotaan yang lebih baik dan sehat. Kebijakan

Electronic Road Pricing (ERP) merupakan kebijakan pembatasan jumlah

kendaraan melalui sistem jalan berbayar, dimana setiap kendaraan yang melintasi

ruas jalan tertentu akan dikenakan biaya. Mekanisme penerapan ERP adalah

setiap kendaraan yang melintasi zona ERP akan dikenakan sejumlah biaya

tertentu. Pintu gerbang zona ERP akan dilengkapi teknologi OBU (on board unit).

Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada

pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi

mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada

masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi.

90
Pengenaan biaya kepada pengguna jalan (road pricing) ini tentunya akan

menjadi salah satu sumber pendapatan bagi negara maupun daerah. Namun,

pendapatan yang diperoleh dari penerapan kebijakan ini harus dapat kembali

kepada masyarakat dengan pembangunan infrastruktur transportasi yang lebih

aman, nyaman, cepat, dan tepat waktu sehingga pengguna kendaraan pribadi dapat

beralih untuk memanfaatkan transportasi massal yang ada sehingga kemacetan

dan peningkatan polusi udara dapat diatasi. Tujuan utama dari road pricing, yaitu

mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak

lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum massal.

Kebijakan yang dapat diterapkan dalam pengelolaan sistem pemanfaatan

keuangan dari pemberlakuan ERP adalah sebagai berikut :

1) Pembangunan dan pengembangan transportasi massal

Dana yang terkumpul dari pelaksanaan kebijakan ERP ini dapat dijadikan

sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya

transportasi massal yang lebih efektif, nyaman, aman, dan ramah

lingkungan. Hal tersebut dikarenakan untuk melakukan perbaikan,

pemeliharaan, dan penambahan armada angkutan umum serta fasilitas

transportasi pendukung lainnya diperlukan dana yang cukup besar. Sebelum

kebijakan ERP ini dilaksanakan sebaiknya pemerintah membangun terlebih

dahulu transportasi masal yang dapat menjamin masyarakat aman dan

nyaman dalam menggunakan angkutan umum tersebut, sehingga

masyarakat mau beralih dan memanfaatkan transportasi massal yang ada

dan tujuan untuk mengurangi polusi dan kemacetan bisa tercapai.

91
2) Pembangunan lahan parkir

Ketersediaan lahan parkir masih sangat kurang, sehingga penumpang yang

menggunakan moda transportasi massal seperti kereta api belum dilengkapi

dengan fasilitas parkir yang memadai. Kondisi seperti ini menjadikan

masyarakat semakin enggan menggunakan transportasi massal. Selain itu

lahan parkir ini juga dapat digunakan untuk kendaraan-kendaraan yang tidak

dapat memsuki zona ERP, tetapi harus dapat menjamin keamanan bagi para

pengguna jalan untuk menitipkan kendaraannya di tempat parkir tersebut.

Dengan demikian kemacetan di ibu kota dapat diatasi dan polusi dapat

dikurangi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah adalah sebagai

berikut:

1) Tarif yang diberlakukan untuk transportasi massal sebaiknya disesuaikan

dengan tingkat kemampuan rata-rata pengguna jalan (tidak mahal).

2) Apabila kebijakan ERP ini diterapkan namun strategi transportasi massal

tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, maka aktivitas ekonomi akan

menurun sehingga gejolak sosial dan keresahan masyarakat akan meningkat.

Prinsip penerapan ERP ini adalah kendaraan masih tetap bisa masuk artinya

aktivitas ekonomi pun masih bisa berjalan dengan baik dan diperoleh pula

kualitas lingkungan yang lebih baik serta dana yang dihasilkan dari

penerapan ERP ini bisa digunakan sebaik mungkin untuk pengembangan

transportasi massal, seperti kereta api, busway, dan lain-lain.

Kualitas udara yang bersih sangat diperlukan di kota-kota besar seperti

Jakarta yang menjadi pusat bisnis dan kegiatan perekonomian. Hal tersebut untuk

92
menunjang kegiatan ekonomi masyarakat agar tetap bisa berjalan dan tumbuh

dengan baik tanpa harus diganggu oleh produktivitas yang menurun karena

lingkungan yang tidak sehat dan tercemar polusi yang tinggi.

Dalam menjaga kualitas udara agar tetap bersih diperlukan juga kebijakan

pendukung diantaranya :

1) Memberlakukan secara ketat batas emisi kendaraan bermotor dengan

penerapan Peraturan Daerah yang mengatur kewajiban lolos uji emisi bagi

setiap kendaraan bermotor. Perawatan kendaraan secara baik dan benar akan

menghasilkan gas buang yang masih dapat ditolerir oleh lingkungan dan

dapat memperpanjang usia pemakaian kendaraan itu sendiri, sehingga

masyarakat pun dapat berkontribusi besar dalam pengurangan polusi udara.

2) Melakukan pembatasan kendaraan bermotor berdasarkan umur kendaraan.

Hal tersebut karena kendaraan yang umurnya lebih tua mengeluarkan emisi

yang lebih besar dibanding kendaraan yang umur pemakaiannya relatif lebih

pendek.

3) Penerapan pajak progresif kendaraan agar masyarakat membatasi jumlah

kepemilikan kendaraannya. Sistem pajak progresif dikenakan bagi

masyarakat yang memiliki kendaraan lebih dari satu, baik kendaraan pribadi

roda dua maupun roda empat. Dengan demikian masyarakat akan berpikir

kembali untuk memiliki kendaraan lebih dari satu. Hal ini dapat mengatasi

kemacetan, polusi udara, dan inefisiensi bahan bakar minyak.

93
VII. SIMPULAN DAN SARAN

7.1. Simpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian, maka dapat disimpulkan

beberapa hal sebagai berikut :

1) Berdasarkan hasil estimasi pada model regresi linier berganda diketahui

bahwa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap besarnya nilai ERP dilihat

dari Willingness To Pay (WTP) pengguna jalan adalah tingkat pendidikan,

rata-rata pengeluaran untuk bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi

terkena kemacetan. Sementara variabel yang tidak berpengaruh nyata

terhadap besarnya nilai WTP responden adalah keinginan untuk

memperbaiki kualitas udara, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan.

2) Nilai rata-rata WTP (EWTP) sebesar Rp 23.100. Nilai tersebut dapat

dijadikan acuan dalam penetapan tarif ERP sehingga tujuan untuk

mengendalikan laju penggunaan kendaraan pribadi sebagai penyebab

kemacetan lalu lintas, inefisiesi energi, dan peningkatan polusi dapat

tercapai. Nilai total WTP responden pengguna Jalan Jenderal Sudirman

sebesar Rp 212.583.756.000/tahun.

3) Tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan adalah sebesar nilai mean WTP

yaitu Rp 23.100, sehingga jumlah kendaraan yang dapat berkurang akibat

pemberlakuan ERP dengan tarif Rp 23.100 akan mengurangi jumlah

kendaraan sebesar 5.429.628 unit kendaraan/tahun atau 59% dari total

populasi. Pengurangan jumlah kendaraan bermotor dapat mengurangi

konsentrasi emisi di sekitar wilayah Sudirman. Asumsinya apabila ERP

94
diterapkan maka kondisi pengurangan emisinya akan mendekati rata-rata

HBKB.

4) Estimasi perkiraan jumlah kendaraan yang dapat memasuki zona ERP

sebesar 3.773.132 unit kendaraan/tahun. Perkiraan total dana yang dapat

dihasilkan dari pemberlakuan ERP dihitung dengan mengalikan jumlah

kendaraan yang dapat memasuki zona ERP dengan nilai ERP yang sesuai

untuk diberlakukan, sehingga total dana yang dapat dihasilkan adalah Rp

87.159.349.200/tahun dengan asumsi ERP diberlakukan pada peak pagi,

peak siang, dan peak sore. Namun, apabila ERP hanya diberlakukan pada

peak pagi dan peak sore saja (ERP tidak berlaku pada peak siang), maka

perkiraan total dana yang dapat dihasilkan dari penerapan kebijakan ERP

adalah Rp 66.382.428.420/tahun.

5) Kebijakan yang tepat dalam pengelolaan sistem pemanfaatan keuangan yang

dihasilkan dari pemeberlakuan ERP adalah pembangunan dan

pengembangan transportasi massal yang lebih efektif, nyaman, aman, dan

ramah lingkungan serta pembangunan lahan parkir agar masyarakat mau

beralih dan memanfaatkan transportasi massal yang ada sehingga tujuan

menggurangi laju penggunaan kendaraan pribadi dapat tercapai.

7.2. Saran

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti memberikan

beberapa saran sebagai berikut :

1) Perlu ketegasan pemerintah agar kebijakan ini dapat segera dilaksanakan

yaitu dengan menetapkan dasar hukum terkait pemungutan retribusi ERP

yang belum ada. Hal ini karena pungutan ERP tidak termasuk dalam jenis

95
retribusi atau pajak dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, sehingga diperlukan aspek legal dengan

menetapkan dasar hukum yang dapat mendukung kebijakan ini dapat

dilaksanakan.

2) Perlu adanya kerja sama yang erat antara pemerintah dengan berbagai pihak

terkait agar dapat melakukan pengembangan sistem transportasi yang

terintegrasi sehingga dapat memudahkan para pengguna transportasi massal

untuk mencapai tujuan perjalanan mereka.

3) Perlu dibangun dan dikembangkan transportasi massal yang efisien, tepat

waktu, mudah, terintegrasi, serta kenyamanan dan keamanannya dapat

terjamin sehingga masyarakat mau beralih dan memanfaatkan transportasi

publik yang ada sehingga dapat menekan penggunaan kendaraan pribadi

sehingga dapat mengurangi polusi udara secara signifikan karena menjaga

kualitas lingkungan udara perlu kebersamaan semua pihak baik Pemerintah

maupun masyarakat.

4) Perlu penelitian lebih lanjut untuk menghitung emisi sehingga dapat

diketahui sejauh mana dampak penerapan ERP terhadap lingkungan dan

diperlukan pula penelitian lebih lanjut dengan responden pengguna sepeda

motor sehingga dapat diperoleh tarif ERP yang sesuai untuk diberlakukan

bagi pengendara sepeda motor.

96
DAFTAR PUSTAKA

Amanda, S. 2009. Analisis Willingness To Pay Pengunjung Obek Wisata Danau


Situgede dalam Upaya Pelestarian Lingkungan. Skripsi. Departemen
Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan
Manajemen. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Aunuddin. 2005. Statistika : Rancangan dan Analisis Data. IPB Press. Bogor.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah Provinsi DKI Jakarta. 2011. „Data
Car Free Day Tahun 2010‟. Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah.
Jakarta

Badan Pusat Statistik 2010. ‟Produksi Kendaraan Bermotor untuk Kuartal II‟.
Badan Pusat Statistik. Jakarta.

Business News. 2010. Investasi ERP Sebesar Rp 500 Miliar Mengatasi


Kemacetan di Jakarta. http://bataviase.co.id/node/417889. Diakses : 21
November 2010.

Bisnis Indonesia. 2010. Pusat Ganjal Penerapan ERP. http : // bataviase . co . id /


node/390480. Diakses : 21 November 2010.

Dinas Perhubungan. 2011. „Electronic Road Pricing‟. Dinas Perhubungan


Provinsi DKI Jakarta. Jakarta.

. 2011. „Formulir Survey Volume Lalu Lintas‟. Dinas


Perhubungan Provinsi DKI Jakarta. Jakarta.

Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil 2010. „Jumlah Penduduk Provinsi DKI
Jakarta„. Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Jakarta.

Fauzi, A. 2006. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

. 2007. Instrumen Ekonomi untuk Pengelolaan Lingkungan. Laporan


disampaikan kepada DANIDA Denmark dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (BAPPENAS) RI.

Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara.


Jakarta.

Gillen, D dan Levinson, D. 2004. Assessing The Benefits and Costs of ITS :
Making The Business Case for ITS Investements. Kluwer Academic
Publishers. Boston.

Goh, M. 2002. Congestion management and electronic road pricing in Singapore.


Journal of Transport Geography 10 : 29–38. Faculty of Business
Administration, National University of Singapore. Singapore.

97
Gujarati, D. 2003. Basic Econometric (Edisi ke Empat). McGraw-Hill. New York.

Hall, R.W. 2003. Handbook of Transportation Science 2nd Edition. Kluwer


Academic Publishers. Dordrecht.

Hanley, N dan C. L. Spash. 1993. Cost-Benefit Analysis and Environmental.


Edward Elgar Publishing England.

Hosmer, D. W dan S. Lemeshow. 1989. Applied Logistic Regression. John Wiley


& Sons Inc. New York.

Kelompok Bidang Keahlian Rekayasa Transportasi Jurusan Teknik Sipil FTSP-


ITB. 1997. Modul Pelatihan, Metode Survei Lalu-Lintas dan Transportasi.
Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat. ITB. Bandung.

Mulia, R. M. 2005. Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia. Jakarta.

Nugroho, A. 2003. Bang, Nyopirnya Jangan Asal : Kiat Menjadi Pemakai


Transportasi yang Bijak. Piramedia. Jakarta.

Salim, A. 1998. Manajemen Transportasi. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Santos, G. 2004. Road Pricing : Theory and Evidence. Elsevier Ltd. London.

Sapta, R. D. 2009. Analisis Dampak Kemacetan Lalu Lintas Terhadap Sosial


Ekonomi Pengguna Jalan Melalui Pendekatan Contingent Valuation
Method (CVM). Skripsi. Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Setijadji, A. 2006. Studi Kemacetan Lalu Lintas Jalan Kaligawe Kota Semarang.
Tesis. Program Pasca Sarjana. Magister Teknik Pembangunan Kota.
Universitas Diponegoro. Semarang.

Sinulingga, B.D. 1999. Pembangunan Kota Tinjauan Regional dan Lokal. Pustaka
Sinar Harapan. Jakarta.

Susantono, DR. B. 2010. Electronic Road Pricing (ERP) Salah Satu Solusi
Masalah Kemacetan di Kota Jakarta. http : // bulletin . penataanruang .
net/upload/data_artikel/ELECTRONIC%20ROAD%20PRICING%20UNT
UK%20JAKARTA%20REV.pdf. Diakses : 21 November 2010.

Ramathan, R. 1997. Introductory Economics with Applications. The Dryden


Press. Philadelpia.

Umar, H. 2005. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta.

98
Wardhana, W. A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan (Edisi Revisi). Andi
Offset. Yogyakarta.

Yakin, A. 1997. Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan: Teori dan Kebijaksanaan


Pembangunan Berkelanjutan. CV Akademika Presindo. Jakarta.

99
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda

Nonparametric Correlation

Keinginan
Tingkat Pengeluaran Tingkat Jumlah Jenis Durasi terkena
memperbaiki WTP
pendidikan BBM pendapatan tanggungan pekerjaan macet
udara
Spearman's rho Keinginan memperbaiki Correlation Coefficient
1,000 ,449(**) ,199(*) ,264(**) -,102 ,397(**) ,490(**) ,481(**)
udara
Sig. (2-tailed) . ,000 ,047 ,008 ,311 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Tingkat pendidikan Correlation Coefficient ,449(**) 1,000 ,389(**) ,595(**) ,330(**) ,466(**) ,398(**) ,585(**)
Sig. (2-tailed) ,000 . ,000 ,000 ,001 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Pengeluaran bahan bakar Correlation Coefficient ,199(*) ,389(**) 1,000 ,348(**) ,348(**) ,252(*) ,255(*) ,279(**)
Sig. (2-tailed) ,047 ,000 . ,000 ,000 ,011 ,010 ,005
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Tingkat pendapatan Correlation Coefficient ,264(**) ,595(**) ,348(**) 1,000 ,442(**) ,463(**) ,357(**) ,648(**)
Sig. (2-tailed) ,008 ,000 ,000 . ,000 ,000 ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Jumlah tanggungan Correlation Coefficient -,102 ,330(**) ,348(**) ,442(**) 1,000 ,109 -,071 ,070
Sig. (2-tailed) ,311 ,001 ,000 ,000 . ,278 ,482 ,491
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Jenis pekerjaan Correlation Coefficient ,397(**) ,466(**) ,252(*) ,463(**) ,109 1,000 ,443(**) ,591(**)
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,011 ,000 ,278 . ,000 ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
Durasi terkena macet Correlation Coefficient ,490(**) ,398(**) ,255(*) ,357(**) -,071 ,443(**) 1,000 ,697(**)
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,010 ,000 ,482 ,000 . ,000
N 100 100 100 100 100 100 100 100
WTP Correlation Coefficient ,481(**) ,585(**) ,279(**) ,648(**) ,070 ,591(**) ,697(**) 1,000
Sig. (2-tailed) ,000 ,000 ,005 ,000 ,491 ,000 ,000 .
N 100 100 100 100 100 100 100 100
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
* Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
101
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…)

Descriptive Statistics

Mean Std. Deviation N


WTP 23100,00 9177,817 100
Keinginan memperbaiki udara 3,59 ,570 100
Tingkat pendidikan 2,09 ,605 100
Pengeluaran BBM 1261670,00 577159,363 100
Tingkat pendapatan 7985000,00 4310648,666 100
Jumlah tanggungan 1,85 1,533 100
Jenis pekerjaan ,58 ,496 100
Durasi terkena macet 50,70 32,012 100

Model Summary(b)

Adjusted R Std. Error of


Model R R Square
Square the Estimate
1 ,791(a) ,625 ,597 5828,802
a. Predictors: (Constant), Durasi terkena macet, Jumlah tanggungan, Pengeluaran BBM, Jenis Pekerjaan, Keinginan memperbaiki udara,
Tingkat pendidikan, Tingkat pendapatan
b. Dependent Variable: WTP
102
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…)

ANOVA(b)

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.


1 Regression 5213306593,747 7 744758084,821 21,921 ,000(a)
Residual 3125693406,253 92 33974928,329
Total 8339000000,000 99
a. Predictors: (Constant), Durasi terkena macet, Jumlah tanggungan, Pengeluaran BBM, Jenis Pekerjaan, Keinginan memperbaiki udara,
Tingkat pendidikan, Tingkat pendapatan
b. Dependent Variable: WTP

Coefficients(a)

Model Unstandardized Standardized


Coefficients Coefficients t Sig. Collinearity Statistics
B Std. Error Beta Tolerance B VIF
1 (Constant) 6319,334 4123,790 1,532 ,129
Keinginan memperbaiki udara 9,044 1272,532 ,001 ,007 ,994 ,652 1,534
Tingkat pendidikan 3502,699 1323,964 ,231 2,646 ,010 ,536 1,867
Pengeluaran BBM -,003 ,001 -,174 -2,357 ,021 ,747 1,339
Tingkat pendapatan ,001 ,000 ,279 3,416 ,001 ,612 1,633
Jumlah tanggungan -304,421 451,147 -,051 -,675 ,502 ,717 1,394
Jenis pekerjaan 1285,909 1442,306 ,070 ,892 ,375 ,670 1,492
Durasi terkena macet 157,797 21,414 ,550 7,369 ,000 ,730 1,369
a Dependent Variable: WTP
103
Lampiran 1. Hasil Estimasi Model Regresi Linear Berganda (Lanjutan…)

Residuals Statistics(a)

Minimum Maximum Mean Std. Deviation N


Predicted Value 10870,07 42195,82 23100,00 7256,698 100
Std. Predicted Value -1,685 2,631 ,000 1,000 100
Standard Error of Predicted Value 973,666 4304,721 1580,844 470,254 100
Adjusted Predicted Value 10589,38 48148,25 23165,24 7462,512 100
Residual -17999,645 17696,160 ,000 5618,955 100
Std. Residual -3,088 3,036 ,000 ,964 100
Stud. Residual -3,358 3,203 -,005 1,024 100
a Dependent Variable: WTP

Levene's Test of Equality of Error Variances(a)

Dependent Variable: res1


F df1 df2 Sig.
,785 5 94 ,563
Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal
across groups.
a Design: Intercept+WTP

Charts

Histogram

Dependent Variable: WTP

25

20
Frequency

15

10

Mean =1.39E-17
Std. Dev. =0.964
0 N =100
-4 -2 0 2 4
Regression Standardized Residual

104
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual

Dependent Variable: WTP

1.0

0.8
Expected Cum Prob

0.6

0.4

0.2

0.0
0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0
Observed Cum Prob

105
Lampiran 2. Perhitungan Perkiraan Total Dana yang Dapat Dihasilkan dari
Pemberlakuan ERP pada Peak Pagi dan Peak Sore

PEAK PAGI PEAK SORE


Total Kendaraan 18.112 12.362
Total kendaraan per tahun
4.165.760 2.843.260
(1 tahun = 230 hari aktif)
Total kendaraan yang berkurang akibat
pemberlakuan ERP (59% dari total 2.457.798 1.677.523
kendaraan per tahun)
Total kendaraan yang bisa masuk zona
ERP per tahun (Total kendaraan per tahun-
1.707.962 1.165.737
total kendaraan yang berkurang akibat
pemberlakuan ERP)
Perkiraan total dana yang diperoleh per
39.453.912.960 26.928.515.460
tahun
Perkiraan total dana yang diperoleh per
66.382.428.420
tahun (peak pagi + peak sore)

106
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di kota Bogor pada tanggal 28 Desember 1988. Penulis

bernama lengkap Dessy Christiarini yang merupakan anak kedua dari dua

bersaudara dari pasangan Yohanes Sumarjo dan Brigita Suharsih. Penulis

mengawali pendidikan di TK Kartika Chandra Kirana Bogor pada tahun 1993.

Tahun 2001 penulis menyelesaikan studi di Sekolah Dasar Negeri Cimandala 1

Bogor. Tahun 2004 penulis lulus dari Sekolah Menengah Pertama Negeri 1

Bogor. Tahun 2007 penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor, lalu

pada tahun 2007 penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor (IPB)

melalui jalur USMI dan diterima sebagai mahasiswi Departemen Ekonomi

Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.

Selama menjadi mahasiswi, penulis aktif dalam Resource and

Environmental Economics Student Association (REESA) sebagai staf divisi

Coorporate Social Responsibility pada tahun (2008-2009) dan sebagai staf divisi

Study Research and Development pada tahun (2009-2010). Penulis juga aktif

dalam berbagai kepanitiaan seperti, Biopore on Situgede (BIOS) pada tahun 2008,

RESAYCLE tahun 2009 dan Green Base pada tahun 2009.

Anda mungkin juga menyukai