Anda di halaman 1dari 51

APLIKASI MODEL WRF - CHEM DALAM PENDUGAAN

KONSENTRASI DAN DISPERSI PM2,5 DAN PM10


(STUDI KASUS : KOTA BOGOR TAHUN 2018)

FANDLAS OCTOVANI

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Aplikasi Model WRF -
Chem dalam Pendugaan Konsentrasi dan Dispersi PM2,5 dan PM10 (Studi Kasus :
Kota Bogor Tahun 2018) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2022

Fandlas Octovani
NIM G24160065
ABSTRAK
FANDLAS OCTOVANI. Aplikasi Model WRF – Chem dalam Pendugaan
Konsentrasi dan Dispersi PM2,5 dan PM10 (Studi Kasus : Kota Bogor tahun 2018.
Dibimbing oleh RAHMAT HIDAYAT dan ANA TURYANTI

Kota Bogor mengalami peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap tahun.


Peningkatan jumlah kendaraan memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap
total emisi pencemar di daerah perkotaan dengan konsentrasi utama terdapat di
daerah lalu lintas padat. Model WRF-Chem (Weather Research and Forecasting-
Chemistry) dapat digunakan untuk mengidentifikasi wilayah yang berpotensi
terpapar sebaran pencemar dan mengestimasi pola dispersi serta konsentrasinya.
Penelitian ini bertujuan menganalisis pola dispersi pencemar udara di Kota Bogor
dan mengestimasi besar polutan PM2,5 dan PM10 dan menggunakan model WRF-
Chem. Berdasarkan luaran dari model WRF – Chem, diperoleh konsentrasi
maksimum PM2,5 dan PM10 pada bulan Juli jam 00.00 sebesar 77,7 µg/m3 dan 257,2
µg/m3. Berbeda dengan bulan Juli, pada bulan Oktober konsentrasi maksimum
PM2,5 dan PM10 dari luaran WRF-Chem terjadi pada jam 21.00 masing-masing
dengan konsentrasi sebesar 61,9 µg/m3 dan 205,3 µg/m3. Sebaran PM2.5 dan PM10
bulan Oktober tidak menunjukkan pola yang berbeda dengan bulan Juli. Bulan Juli
dan Bulan Oktober menunjukkan polutan terkonsentrasi di bagian utara domain
(Kota Jakarta, Kota Bogor bagian Utara, dan Tangerang). Pola sebaran polutan di
Kota Bogor sendiri menunjukkan sebagian besar polutan terdispersi ke bagian
Utara Kota Bogor.

Kata kunci: Dispersi Pencemar, Kota Bogor, PM2,5 dan PM10, Konsentrasi
Polutan, WRF-Chem
ABSTRACT

FANDLAS OCTOVANI. Application of WRF-Chem Model in Estimating


Concentration and Dispersion of PM2,5 and PM10 (Case Study : Bogor City in 2018).
Supervised by RAHMAT HIDAYAT and ANA TURYANTI.

Bogor City has an increase number of two-wheeled and four-wheeled


vehicles every year. Increasing number of vehicles contributes significantly to half
of the total pollutant emissions in urban areas with the main concentration being in
heavy traffic areas where air pollution levels almost exceed ambient air quality
standards. WRF-Chem (Weather Research and Forecasting-Chemistry) model is
used to identify potentially exposed areas for pollutant distribution and estimate
their dispersion and concentration model. Objectives of this study are analyzing of
dispersion model for air pollutants in Bogor City and estimating PM2,5 and PM10
concentration using the WRF - Chem model. Based on the output of the WRF –
Chem model, the maximum concentrations of PM2,5 and PM10 in July at 00.00 were
77,7 g/m3 and 257,2 g/m3. In contrast to July, in October the maximum
concentrations of PM2,5 and PM10 from the WRF-Chem output occurred at 21.00
with concentrations of 61,9 g/m3 and 205,3 g/m3 respectively. The distribution of
PM2,5 and PM10 in October did not show a different pattern from July. The months
of July and October showed that the pollutants were concentrated in the northern
part of the domain (Jakarta City, North Bogor City, and Tangerang). The pattern of
pollutant distribution in Bogor City shows that most of the pollutants are dispersed
to the northern part of Bogor City. In the morning, the wind blows from the north
to the south of Bogor City.

Keywords : Bogor City, PM2,5 and PM10, Pollutant Consentration, Wind, WRF-
Chem
APLIKASI MODEL WRF - CHEM DALAM PENDUGAAN
KONSENTRASI DAN DISPERSI PM2,5 DAN PM10
(STUDI KASUS : KOTA BOGOR TAHUN 2018)

FANDLAS OCTOVANI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Program Studi Meteorologi Terapan

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2021
Judul Skripsi : Aplikasi Model WRF - Chem dalam Pendugaan Konsentrasi dan
Dispersi PM2,5 dan PM10 (Studi Kasus : Kota Bogor Tahun 2018)
Nama : Fandlas Octovani
NIM : G24160065

Disetujui oleh

Pembimbing 1 :
Dr. Rahmat Hidayat, MSc

Pembimbing 2 :
Dr. Ana Turyanti, SSi, MT

Diketahui oleh

Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi


Dr. Rahmat Hidayat, MSc
NIP. 19740302 200003 1 001

Tanggal Ujian: 28 Januari 2022 Tanggal Lulus:


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat
dan kemudahan yang diberikan sehingga penelitian yang berjudul “Aplikasi Model
WRF - Chem Dalam Pendugaan Konsentrasi dan Dispersi PM2,5 dan PM10 (Studi
Kasus : Kota Bogor Tahun 2018)” sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar
Sarjana Sains di Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor dapat diselesaikan. Ucapan
terima kasih penulis sampaikan kepada orang tua, kakak dan keluarga penulis atas
doa dan dukungan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Dr Rahmat Hidayat, MSc dan Dr Ana Turyanti, SSi, MT selaku dosen
pembimbing yang banyak memberi masukan, arahan, nasihat serta ilmu
pengetahuan kepada penulis dengan penuh kesabaran.
2. Dosen dan staff Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah
memberikan ilmu dan membantu penulis selama masa studi.
3. Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia
Pasific (CCROM – SEAP) yang telah bersedia untuk memberikan akses
terhadap data kualitas udara Kota Bogor.
4. Rekan – rekan skripsi Bagea, Oci, Ninien, dan Felia serta teman – teman
GFM 53 yang membantu proses penyelesaian tugas akhir.
5. Sahabat BTB yang selalu setia mendengarkan keluh kesah penulis di
warkop (Acil, Alip, Agunk, Uus), anggota clan G2 Commander (Bagea,
Rilo, Eja) yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
6. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu dalam penyelesaian tugas akhir ini.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan agar tulisan ini bisa
lebih baik. Penulis berharap penelitian ini bermanfaat untuk berbagai pihak dan
ilmu pengetahuan.

Bogor, Januari 2022

Fandlas Octovani
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ix
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kondisi Wilayah Kajian 2
Karakteristik Pencemar Udara 3
Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Pencemar di Atmosfer 4
Model WRF-Chem 6
METODE 9
Waktu dan Tempat 9
Alat dan Data 9
Tahapan Analisis Data 9
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Analisis Curah Hujan untuk Identifikasi Bulan Basah dan Bulan Kering 13
Analisis Spasial PM2,5 dan PM10 menggunakan Model WRF – Chem 13
Analisis Perbandingan Luaran Model WRF-Chem dengan Data Observasi 18
Analisis Statistik Luaran Model WRF-Chem terhadap Data Observasi 21
SIMPULAN DAN SARAN 25
Simpulan 25
Saran 26
DAFTAR PUSTAKA 27
LAMPIRAN 31
RIWAYAT HIDUP 39
DAFTAR TABEL
1. Tabel 1 Parameterisasi model WRF - Chem 7
2. Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian 9
3. Tabel 3 Hasil analisis statistik konsentrasi PM2,5 dan PM10 luaran WRF-
Chem dengan data observasi 19
4. Tabel 4 Korelasi parameter meteorologi kecepatan angin dan suhu udara
luaran model terhadap data observasi (nilai r yang dicetak tebal signifikan
pada α = 0.05) di lokasi CCROM - SEAP 25
5. Tabel 5 Korelasi parameter meteorologi kecepatan angin dan suhu udara
luaran model terhadap data observasi (nilai r yang dicetak tebal signifikan
pada α = 0.05) di lokasi CCROM - SEAP 25

DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1 Peta wilayah penelitian 2
2. Gambar 2 Perbandingan ukuran antara PM2,5 dan PM10 terhadap diameter
rata – rata dari rambut manusia (± 70 µm) dan pasir pantai (± 90 µm) 4
3. Gambar 3 Diagram alir penelitian 12
4. Gambar 4 Curah hujan berdasarkan data Stasiun Klimatologi Bogor 13
5. Gambar 5 Pola sebaran diurnal PM2,5 dan PM10 (µg/m3) satu domain bulan
Juli luaran model WRF – Chem 14
6. Gambar 6 Pola diurnal sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) satu domain bulan
Oktober luaran model WRF – Chem 15
7. Gambar 7 Pola diurnal sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) Kota Bogor bulan
Juli luaran model WRF – Chem 16
8. Gambar 8 Pola diurnal sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) Kota Bogor bulan
Oktober luaran model WRF – Chem 17
9. Gambar 9 Grafik diurnal luaran WRF - Chem partikulat dengan data
meteorologi bulan (a) Juli dan bulan (b) Oktober 18
10. Gambar 10 Grafik diurnal data observasi partikulat dengan data
meteorologi bulan (a) Juli dan bulan (b) Oktober 19
11. Gambar 11 Grafik pola diurnal data observasi dan luaran WRF-Chem
bulan Juli (a) PM10, (b) PM2,5, dan bulan Oktober (c) PM10, (d) PM2,5 21
12. Gambar 12 Hubungan PM10 di bulan (a) Juli dan (b) Oktober hasil
simulasi model dengan data observasi 22
13. Gambar 13 Hubungan PM2,5 di bulan (a) Juli dan (b) Oktober hasil
simulasi model dengan data observasi 22
14. Gambar 14 Plot kecepatan angin luaran model dengan data observasi
bulan (a) Juli dan (b) Oktober 24
15. Gambar 15 Plot suhu udara luaran model dengan data observasi bulan (a)
Juli dan (b) Oktober 24
DAFTAR LAMPIRAN
1. Lampiran 1 Pola sebaran diurnal PM2,5 (µg/m3) satu domain bulan Juli
luaran model WRF – Chem 31
2. Lampiran 2 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) satu domain bulan Juli
luaran model WRF – Chem 32
3. Lampiran 3 Pola sebaran diurnal PM2,5 (µg/m3) satu domain bulan
Oktober luaran model WRF – Chem 33
4. Lampiran 4 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) satu domain bulan
Oktober luaran model WRF – Chem 34
5. Lampiran 5 Pola sebaran diurnal PM2,5 (µg/m3) Kota Bogor bulan Juli
luaran model WRF – Chem 35
6. Lampiran 6 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) Kota Bogor bulan Juli
luaran model WRF – Chem 36
7. Lampiran 7 Pola sebaran diurnal PM2,5 (µg/m3) Kota Bogor bulan
Oktober luaran model WRF – Chem 37
8. Lampiran 8 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) Kota Bogor bulan Oktober
luaran model WRF – Chem 38
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Perkembangan dan pembangunan kota memicu munculnya berbagai


permasalahan lingkungan baik permasalahan air, pengolahan limbah, sanitasi, dan
juga pencemaran udara. Pencemaran udara dapan meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang meningkat akan berdampak
pada tingginya peningkatan jumlah kendaraan bermotor, dan berkontribusi terhadap
emisi zat penyebab polusi udara (Aprianto 2017).
Kota Bogor berkembang secara signifikan. Penduduk yang meningkat
jumlahnya dan perkembangan dalam macam aspek kehidupan mempengaruhi
peningkatan kepemilikan dan jumlah kendaraan bermotor terutama kendaraan roda
dua yang semakin meningkat tiap tahun (Kurniati et al. 2017). Selain itu, Kota
Bogor sebagai destinasi wisata juga mempengaruhi peningkatan jumlah kendaraan
yang melintas di Kota Bogor. Peningkatan jumlah kendaraan bisa berdampak pada
konsentrasi polutan di suatu daerah. Aktivitas kendaraan bermotor menjadi sumber
pencemar utama daerah kota. Transportasi memberi kontribusi yang cukup
signifikan terhadap setengah dari total emisi pencemar di daerah perkotaan untuk
lalu lintas padat yang menghasilkan konsentrasi pencemar yang hampir melampaui
kualitas udara ambien yang standar. Pencemar yang dihasilkan dari kendaraan
seperti SOx, NOx, CO dan PM (Soedomo et al. 1990).
Materi Partikulat merupakan salah satu parameter pencemaran udara
(Zannaria 2009) yang tersusun atas campuran sulfat (SO42-), amoniak (NH4+), nitrat
(NO3-), air, debu, garam laut, materi organic dan bisa berupa unsur atau senyawa
lain. Terdapat dua jenis materi partikulat yaitu materi partikulat yang berdiameter
< 10 µm (PM10) dan materi partikulat yang berdiameter < 2,5 µm (PM2,5). Berbagai
macam kegiatan menghasilkan partikulat dengan bahan penyusun yang berbeda –
beda. Senyawa sulfur dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil dan batu
bara, sedangkan senyawa karbon dihasilkan dari pembakaran materi organik
(Aprianto 2017). PM merupakan parameter yang sangat kritis berdampak pada
kesehatan. Partikulat udara halus yang berukuran mikron atau submikron bersifat
berbahaya, penetrasi dari partikulat dapat menembus bagian paru – paru hingga
bagian terdalam dan menyebabkan gangguan kesehatan seperti kanker paru-paru,
saluran pernafasan akut dan kematian. Partikulat halus berkontribusi untuk angka
kematian yang besar akibat gangguan kesehatan dari pencemaran udara
(Muhayatun et al. 2007).
Konsentrasi pencemar secara spasial dan temporal dapat digambarkan dengan
pemodelan dispersi pencemar udara. Model dispersi pencemar udara salah satunya
adalah WRF – Chem (Weather Research and Forecasting – Chemical). Model ini
bisa menjalankan model meteorologi dan kualitas udara secara bersamaan. Model
2

WRF – Chem sudah banyak digunakan dalam mengestimasi dan menjalankan


mempelajari keterkaitan parameter meteorologi dengan kondisi kimia di atmosfer
(Elshazly et al. 2012).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:


1. Mengestimasi konsentrasi polutan PM2,5 dan PM10 di Kota Bogor menggunakan
model WRF – Chem.
2. Menganalisis pola dispersi pencemar udara di Kota Bogor menggunakan model
WRF - Chem.

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Wilayah Kajian

Kota Bogor terletak secara geografis antara 106o 48’ BT dan 6o 26’ LS. Kota
Bogor memiliki posisi strategis sebagai penyangga Kota Jakarta sebagai ibukota
negara. Ketinggian Kota Bogor berkisar antara 190 m hingga 330 m dari permukaan
laut. Kota Bogor memiliki luas wilayah sebesar 11.850 Ha yang terdiri dari 6
kecamatan yaitu Bogor Barat, Bogor Selatan, Bogor Tengah, Bogor Timur, Bogor
Utara dan Tanah Sareal. Gambaran dari Kota Bogor dapat dilihat pada peta wilayah
penelitian (Gambar 1).

Gambar 1 Peta wilayah administrasi Kota Bogor


3

Karakteristik Pencemar Udara

Pencemaran Udara
Pencemaran udara merupakan peristiwa zat pencemar yang masuk ke dalam
udara atau atmosfer. Zat pencemar alami seperti debu vulkanik, meteorit, pancaran
garam dari laut ataupun dari aktivitas manusia seperti gas beracun, pembakaran
limbah rumah tangga, pembasmian macam – macam hama, pengecatan hingga
transportasi dan kegiatan industri masuk dan melayang di udara lalu bergerak
mengikuti udara dengan jumlah di ambang batas yang berlebih (Soenarmo 1996).
Aktivitas manusia (antropogenik) membuat polusi udara lebih besar secara
kuantitatif. Sumber polusi dari antropogenik bisa terdiri dari transportasi, kegiatan
industri, pembakaran limbah atau sampah rumah tangga maupun dekomposisi dari
limbah tersebut (Soedomo 2001). Konsentrasi dari polutan bisa disebabkan oleh
faktor meteorologi. Pencemaran udara dapat dipengaruhi oleh faktor meteorologi
yang mengatur dan mengendalikan jumlah pencemar di udara dan dapat
mengendalikan masuknya macam – macam zat pencemar. Arah dan kecepatan
angin, kelembaban, suhu dan stabilitas atmosfer adalah faktor meteorologi yang
mempengaruhi komposisi dan konsentrasi maupun disperse pencemar (Colls 2002).
Komponen pencemar utama di udara diantaranya adalah zat karbon
monoksida (CO), oksida sulfur (SOx), nitrogen oksida (NOx), partikulat,
hidrokarbon (HC), dan gas rumah kaca seperti CH4, CO2, dan N2O. Zat – zat
pencemar yang di udara ambien memiliki batasan dari jumlah konsentrasi tertentu
agar tidak mengganggu fungsi udara sebagaimana mestinya. Batasan konsentrasi
zat - zat pencemar di udara diatur dalam baku mutu udara ambien, sedangkan
kondisi tingkat konsentrasi pencemar di udara digambarkan melalui indeks standar
pencemar udara (ISPU) (Sugiarti 2009).

Particulate Matter (PM)


Partikulat (particulate matter) diartikan sebagai partikel kecil yang terdiri
atas padatan atau tetesan cair yang tersuspensi di udara (Davidson et al. 2007).
Materi partikulat dapat didefinisikan atau diklasifikasikan dalam banyak hal.
Diameter adalah salah satu kriteria utama untuk menggambarkan kemampuan
transpornya di atmosfer atau kemampuannya untuk masuk ke dalam bagian
pernapasan. Ukurannya yang kecil (Gambar 2) membuat partikel dapat masuk ke
dalam paru – paru. Dua kategori utama yang dapat masuk ke dalam paru – paru
yaitu partikel kasar (PM10) dengan diameter 10 µm dan partikel halus (PM2.5)
dengan diameter 2,5 µm (Kim et al. 2015). Partikel kasar (10 µm) mengendap lebih
dekat dengan sumber pembentuknya daripada partikel halus (2,5 µm). Sifat kimiawi
berkorelasi dengan ukuran. Sebagian besar unsur S dan N banyak terdapat pada
partikel halus sementara sebagian besar kation dasar dan logam berat terdapat pada
4

partikel kasar. Partikel halus dan kasar berkaitan dengan perubahan kelembaban
atmosfer, presipitasi dan angin (Grantz et al. 2003).

(Sumber : Guaita et al. 2011)


Gambar 2 Perbandingan ukuran antara PM2,5 dan PM10 terhadap diameter rata –
rata dari rambut manusia (± 70 µm) dan pasir pantai (± 90 µm)

Sumber materi partikulat dapat disebabkan dari emisi langsung ke udara


maupun sebagai konversi dari gas asal (sulfur dioksida, oksida nitrogen, ammonia,
senyawa organik non – metana yang bersifat volatil) yang dihasilkan oleh aktivitas
manusia (antropogenik) dan alami (Atkinson et al. 2010). Sumber antropogenik
mencakup pembakaran bahan bakar padat (batu bara, minyak bumi, biomassa),
kegiatan industri, kegiatan lalu lintas dan abrasi rem dan ban (Srimuruganandam
dan Nagendra 2012). Hasil limpahan gunung berapi seperti debu, kebakaran hutan
maupun percikan laut dapat dikategorikan sebagai sumber alami (Misra et al. 2001).
Komposisi kimiawi materi partikulat umumnya sebagai ion anorganik seperti sulfat,
nitrat, ammonium, natrium, kalium, kalsium. Komposisinya dapat diperluas seperti
karbon organik, partikel yang terikat air, bahan logam (kadmium, tembaga, nikel,
seng) (Cheung et al. 2011).

Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Pencemar di Atmosfer

Dispersi dan pemisahan pencemar udara secara alami dipengaruhi oleh


parameter meteorologi. Ilmu atmosfer ini dapat menjelaskan karakteristik dari
elemen cuaca. Pengendalian pencemar udara dari sumber pencemar seperti industri
maupun transportasi dipengaruhi oleh faktor meteorologi. Faktor meteorologi
sangat penting untuk ditelaah karena faktor meteorologi seperti suhu, kelembaban
udara maupun kecepatan angin memberikan kontribusi dalam konsentrasi dan
dispersi PM2.5 dan PM10 (Verma dan Desai 2008).
Faktor meteorologi dapat mempengaruhi konsentrasi dan distribusi polutan.
Kecepatan dan arah angin, kelembaban udara, suhu udara dan radiasi matahari
dapat mempengaruhi konsentrasi dan distribusi pencemar. Kelembaban udara tidak
berkorelasi dengan konsentrasi dan distribusi PM2.5 dan PM10 (Cabuk dan Akyuz
5

2009). Menurut Hien et al., partikulat kasar dan kelembaban relatif memliki
hubungan negatif.
Angin dapat berperan dalam konsentrasi partikulat di suatu tempat. Angin
adalah pergerakan dari udara yang dihasilkan dari perbedaan tekanan dan
temperatur di dua tempat yang berbeda (Sutikno 2011). Menurut Fierro (2000)
dalam Lestari dan Muliane (2011), polutan yang menyebar di atmosfer sesuai arah
angin disebabkan udara yang bergerak membawa polutan. Hal tersebut membuat
faktor dispersi polutan sangat besar disebabkan oleh angin. Angin bisa berperan
dalam dispersi polutan yang menjadikan PM yang terukur bisa berasal dari tempat
lain yang terbawa angin (Lestari dan Muliane 2011). Menurut Fierro (2000) dalam
Lestari dan Muliane (2011), partikel halus atau PM2.5 dapat ditransportasikan sejauh
100 hingga lebih dari 1000 kilometer dari sumbernya.
Suhu adalah energi kinetik rata – rata dari gerakan molekul. Suhu udara dapat
mempengaruhi konsentrasi dan distribusi polutan. Suhu udara rendah menyebabkan
densitas udara yang dekat permukaan bumi hampir sama dengan densitas udara
yang berada di atasnya. Suhu udara menyebabkan konsentrasi polutan menjadi
tinggi yang terakumulasi di permukaan akibat aliran konveksi udara yang bergerak
lambat (Herawati et al. 2014). Radiasi yang diikuti oleh fluktuasi suhu udara
berkorelasi negatif untuk polutan CO, NO2, NOx, dan PM10 sedangkan untuk O3
berkorelasi positif (Turyanti dan Satikayasa 2006).
Kecepatan angin dan kelembaban udara memiliki hubungan yang berbanding
terbalik dengan konsentrasi polutan, dalam hal ini PM2,5 dan PM10. Kondisi
atmosfer dengan kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban udara yang tinggi
akan menurunkan konsentrasi polutan di atmosfer. Hal tersebut karena kecepatan
angin yang tinggi dapat membawa polutan bergerak menyebar, begitupun
kelembaban udara yang tinggi akan membuat polutan saling berikatan di dalam uap
air, sehingga konsentrasinya di atmosfer menjadi turun. Begitupun curah hujan,
sebagai faktor pencuci udara, curah hujan akan berperan dalam menurunkan
konsentrasi polutan di udara. Intensitas radiasi matahari meningkat pada siang hari,
di mana hal tersebut juga akan meningkatkan suhu permukaan. Naiknya suhu
permukaan akan menyebabkan merenggangnya molekul udara sehingga
konsentrasinya menurun.
Polutan yang diemisikan ke atmosfer ditentukan oleh kondisi meteorologi dan
topografi setempat yang mempengaruhi arah dan kecepatan angin, turbulensi
vertikal dan stabilitas atmosfer (Nasstrom et al. 2000). Konsentrasi polutan
termasuk jatuhnya polutan di permukaan dipengaruhi oleh kecepatan angin dan
stabilitas atmosfer (Ruhiyat 2009). Stabilitas atmosfer menunjukkan gerak yang
cenderung vertikal. Stabilitas atmosfer terdiri dari stabil, netral dan tidak stabil.
Pergerakan udara pada kondisi stabil cenderung horizontal atau bisa terjadi
kecenderungan akumulasi polutan. Kondisi netral ditandai dengan pergerakan
udara secara vertikal dan horizontal seimbang sedangkan kondisi tidak stabil
6

ditunjukkan dengan udara yang bergerak vertikal yang umumnya terjadi pada siang
hari (Godish 2004).

Model WRF-Chem

Weather Research and Forecasting-Chemical (WRF-Chem) adalah model


dispersi polutan yang dapat menggabungkan antara model kualitas udara dan model
meteorologi. Proses meteorologi dapat dijalankan bersamaan dengan proses
simulasi emisi, pencampuran dan transformasi kimia jejak gas dan aerosol di dalam
WRF – Chem. Hal ini memungkinkan pendugaan komponen meteorologi dan kimia
secara simultan (Turyanti et al. 2016). Model WRF-Chem memungkinkan untuk
berbagai kebutuhan analisis terkait meteorologi dan kimia atmosfer, salah satunya
untuk menganalisis kualitas udara skala regional (Heriyanto dan Nuryanto 2014).
Model WRF-Chem memiliki simulasi yang terbagi menjadi tiga tahapan. Tahap
pertama yaitu pre-processing menggunakan program WRF Processing Systen atau
WPS, tahap kedua yaitu tahap processing menggunakan Weather Research
Forecast Version 3 atau WRFV3, dan tahap ketiga adalah postprocessing
menggunakan program ARWpost. Simulasi yang dilakukan oleh model ini dapat
dilakukan dengan berbagai pengaturan skema parameterisasi, seperti emisi
biogenik, antropogenik, aerosol, fotolisis, dan mekanisme kimia (Nuryanto 2012).
Tahapan pertama adalah persiapan awal pengolahan dalam menentukan
kondisi awal wilayah kajian seperti koordinat wilayah atau domain, ukuran, resolusi
yang digunakan hingga periode simulasi model. Tahapan awal ini seperti geogrid,
ungrib dan metgrid merupakan tahapan yang masuk ke dalam tahap WPS. Geogrid
merupakan tahap penentuan domain wilayah kajian dan interpolasi data geografis
menjadi data grid. Tahap geogrid membutuhkan informasi geografis seperti lintang
dan bujur. Ungrib merupakan tahap ekstraksi data meteorologi global. Metgrid
merupakan tahap interpolasi horizontal data meteorologi dari hasil ekstraksi pada
proses ungrib yang telah disimulasikan dari hasil geogrid. Tahap WPS
menghasilkan luaran yang digunakan untuk inisialisasi Model WRF – Chem
(real.exe). Proses inisialisasi (real.exe) melakukan parameterisasi fisik dan kimia
sesuai kondisi yang diperlukan. Tahapan kedua menggunakan WRFV3 dilakukan
dengan memasukan data emisi global yang dijadikan dasar estimasi sebaran
pencemar udara. Tahapan terakhir yang merupakan tahapan postprocessing
menggunakan ARWpost yang hasilnya dapat divisualisasi dan dapat melakukan
pengektraksian nilai.

Skema Parameterisasi

Model numerik tidak dapat menyelesaikan proses fisik dan proses – proses
yang dinamis. Proses fisik sangat penting untuk menghasilkan perhitungan yang
akurat dari ramalan cuaca. Proses fisik yang tidak bisa diwakilkan oleh model
7

numerik dapat diproses dalam parameterisasi. Proses fisik yang tidak bisa
diselesaikan secara langsung pada model yaitu skala molekul yang mana proses
tersebut digunakan untuk merepresentasikan transfer radiasi melalui atmosfer.
Skema parameterisasi mempengaruhi interaksi secara tidak langsung antara satu
dengan yang lain dengan perubahan antar variabel model dan prakiraan model
(Stendsrud 2007).
Tabel 1 Parameterisasi model WRF - Chem
Parameter Skema
Boundary Layer Yonsei University Scheme
Chem_opt Regional Acid Deposition Model V.2 (RADM2)
Chemistry
Emiss_opt GOCART simple emission
Longwave Radiation Rapid Radiative Transfer Model (RRTMG) scheme
Shortwave Radiation Rapid Radiative Transfer Model (RRTMG) scheme
Microphysics Lin et al. Scheme
Phot_opt Madronich photolysis TUV

WRF – Chem memiliki skema parameterisasi yang dapat merepresentasikan


kondisi fisik dari beberapa parameter planetary boundary layer (PBL), radiasi,
parameterisasi cumulus dan model permukaan lahan (Skamarock et al. 2008).
Skema parameterisasi dalam Tabel 1 terdapat parameter PBL dengan skema Yonsei
University (YSU), parameter mircrophysics dengan skema Lin et al, parameter
radiasi gelombang pendek dan gelombang panjang dengan skema RRTMG,
parameter fotolisis dengan skema Madronich photolysis TUV, parameter kimia
dengan RADM2 dan parameter emisi dengan GOCART simple emission. Skema
parameter planetary boundary layer (PBL) pada Tabel 1 yaitu skema
parameterisasi Yonsei University (YSU). Skema parameterisasi PBL memiliki 2
tipe yaitu lokal dan non – lokal. Tipe lokal yaitu skema yang dijalankan dengan
menghubungkan variabel yang tidak diketahui oleh variabel yang diketahui pada
grid sekitar. Sementara, tipe non – lokal yaitu skema yang menghubungkan variabel
yang tidak diketahui dengan variabel yang diketahui dalam grid vertikal. Skema
Yonsei University (YSU) merupakan skema tipe non – lokal yang
merepresentasikan bagian atas PBL yang berinteraksi secara eksplisit (Hong et al.
2006). Parameter microphysics terdiri dari proses presipitasi, awan, dan uap air
secara eksplisit. Model WRF – Chem dapat mengolah bermacam data dari banyak
variabel rasio pencampuran (mixing ratio) dan lain lain. Skema Lin et al. (1983)
mengacu pada klasifikasi hydrometeors yaitu uap air, awan, hujan, dan salju dengan
beberapa modifikasi seperti perubahan saturasi dan sedimentasi es. Parameter
gelombang pendek dan gelombang panjang dengan beberapa pita spektrum. Radiasi
gelombang panjang termasuk inframerah atau radiasi termal yang diserap dan
dipancarkan oleh gas dan permukaan. Radiasi gelombang pendek yang bersumber
8

dari matahari dengan proses yang mencakup penyerapan, refleksi dan hamburan di
atmosfer dan permukaan. Parameter gelombang pendek dan gelombang panjang
menggunakan skema RRTM (Rapid Radiative Transfer Model) yang cocok untuk
aplikasi iklim dan cuaca. Skema RRTM berdasarkan Mlawer et al. (1997) yang
mewakili proses gelombang akibat uap air, ozon, CO2, dan gas. Parameter fotolisis
menggunakan skema Madronich photolysis TUV yang menggabungkan
hidrometeors, aerosol dan parameterisasi konvektif. Parameter kimia dengan skema
RADM2 yang sesuai dengan parameter emisi dengan skema GOCART simple
emission.
9

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan mulai dari bulan Januari 2020 sampai dengan bulan
Juli 2020. Wilayah yang menjadi fokus kajian pada penelitian ini adalah Kota
Bogor. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Meteorologi dan Pencemaran
Atmosfer, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Data

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah perangkat komputer dengan
sistem operasi Linux yang dilengkapi dengan perangkat lunak WRF - Chem untuk
menjalankan pemodelan, Microsoft Office, ArcMap 10.6, RStudio dan Grid
Analysis and Display System (GrADS). Data yang digunakan ditunjukkan pada
Tabel 1.

Tabel 2 Jenis dan sumber data penelitian


No. Data Sumber
Data Global Forecasting National Oceanic Atmospheric
1 System (GFS) resolusi spasial Administration (NOAA) tahun
0.5o x 0.5o harian 2018
Emission Database for Global
Data harian konsentrasi emisi
2 Atmospheric Research (EDGAR)
udara global
tahun 2018
Centre for Climate Risk and
Data konsentrasi polutan udara
Opportunity Management in
3 dan data meteorologi per tiga
Southeast Asia Pasific (CCROM -
jam
SEAP) tahun 2018
Stasiun Klimatologi Bogor tahun
4 Curah hujan harian
2018

Tahapan Analisis Data

Analisis Curah Hujan


Analisis curah hujan dilakukan untuk menentukan periode basah dan periode
kering melalui data curah hujan bulanan. Penentuan periode basah dan periode
kering dengan data curah hujan bulanan dilakukan berdasarkan klasifikasi curah
hujan yaitu Schmidt – Ferguson.
10

Simulasi Dispersi Polutan dengan Model WRF-Chem


Simulasi model WRF – Chem memiliki tiga tahap utama yaitu tahap
preprocessing menggunakan WRF Preprocessing System (WPS), tahap kedua
yaitu tahap analisis meteorologi yang digabung dengan analisis kimia atmosfer
menggunakan WRFV3 dan tahap ketiga yaitu tahap post-processing menggunakan
ARWpost. Tahap pertama yaitu WPS (WRF Preprocessing System) yang
merupakan tahap persiapan awal dalam pengolahan untuk menentukan kondisi awal
wilayah kajian seperti domain atau lokasi koordinat wilayah, ukuran, resolusi yang
digunakan dan periode waktu simulasi model. Periode pemodelan dilakukan selama
336 jam masing – masing untuk musim hujan yaitu Bulan Oktober dan musim
kemarau yaitu Bulan Juli. Luaran yang dihasilkan dari tahap pertama pada WPS
digunakan sebagai input dalam proses pengolahan yang menggunakan WRFV3.
Pada proses WRFV3, input yang berbentuk kondisi emisi global dijadikan dasar
estimasi sebaran pencemar udara yang dikaji. Tahap ini juga dilakukan
parameterisasi fisik dan kimia yang memiliki peran dalam proses – proses yang
terjadi di atmosfer. Parameterisasi tersebut mencakup mekanisme fase gas, proses
radiasi, proses mikrofisik, skema fotolisis dan parameterisasi lainnya (Grell et al.
2005). Parameteri dilakukan secara spesifik sesuai dengan lokasi kajian penelitian
(Tabel 2). Tahap akhir dari simulasi model ini yaitu post-processing menggunakan
ARWpost. ARWpost menghasilkan satu luaran yang dapat divisualisasikan dan
diekstraksi.

Visualisasi Hasil Model


Data hasil pemodelan dari WRF diekstraksi dan divisualisasikan dengan
perangkat lunak GrADS. Hasil visualisasi digunakan untuk melakukan analisis
secara spasial dan temporal. Ekstraksi nilai dari luaran WRF yang menggunakan
GrADS dilakukan dengan cara mengekstraksi luaran model pada koordinat yang
memiliki informasi data observasi. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan analisis
perbandingan model dengan hasil observasi.

Analisis Konsentrasi dan Sebaran Pencemar


Analisis dispersi pencemar dilakukan untuk melihat arah dispersi dominan
pencemar dengan melihat hasil visualisasi pemodelan. Visualisasi dilakukan untuk
mengetahui arah pencemar terdispersi. Analisis konsentrasi juga dilakukan untuk
mengetahui penyebab pencemar terkonsentrasi.

Analisis Perbandingan Data Observasi dengan Luaran Model WRF-Chem


Luaran model WRF – Chem dapat digunakan untuk menganalisis dan
mengetahui kemampuan model dalam melakukan prediksi tingkat pencemar dan
kondisi meteorologi di Kota Bogor. Analisis perbandingan dilakukan dengan
melakukan uji korelasi antara nilai hasil luaran model WRF – Chem yang telah
diekstraksi di titik koordinat CCROM – SEAP dengan nilai data observasi pada
11

CCROM – SEAP. Analisis perbandingan dilakukan dengan menghitung nilai


koefisien korelasi dan uji nyata dengan persamaan [1] dan [2] (Walpole 1992).

▪ Koefisien korelasi
∑(𝑥𝑖−𝑥̅ )(𝑦𝑖−𝑦̅)
𝑟= ...... [1]
√∑(𝑥𝑖−𝑥̅ )2 (𝑦𝑖−𝑦̅)2
r = koefisien korelasi
𝑥𝑖 = nilai luaran model
𝑥̅ = rata-rata nilai luaran model
𝑦𝑖 = nilai observasi
c = rata-rata nilai observasi

▪ Uji signifikansi
𝑟
𝑡= 2
...... [2]
√1−𝑟
𝑛−2

n = banyak data
r = koefisien korelasi
𝑡 tabel < 𝑡hitung maka variabel signifikan
12

Pengumpulan Data Polutan


data CCROM-SEAP
Lalu Lintas

Data emisi Data GFS resolusi


0.5o x 0.5o

Pre-processing
udara global

Penentuan periode model

WRF – Pre-processing System


(WPS)

Processing
Simulasi WRF - Chem

ARW Post

Post Processing
Visualisasi luaran Hasil ekstraksi nilai
model dari luaran model

Hasil Korelasi
Analisis spasial
dengan Data
dispersi polutan
Observasi

Selesai

Gambar 3 Diagram alir penelitian


13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Curah Hujan untuk Identifikasi Bulan Basah dan Bulan Kering

Penentuan periode basah dan periode kering melalui data curah hujan
bulanan dan dilakukan berdasarkan klasifikasi curah hujan Schmidt - Ferguson.
Periode basah adalah bulan dengan nilai curah hujan bulanan yang lebih dari 100
mm, sedangkan periode kering adalah bulan dengan nilai curah hujan bulanan yang
kurang dari 60 mm (Sasminto et al. 2014). Data curah hujan bulanan diperoleh dari
Stasiun Klimatologi Bogor tahun 2018.

Gambar 4 Grafik curah hujan bulanan menurut data Stasiun Klimatologi Bogor

Berdasarkan hasil analisa klasifikasi iklim Schmidt - Fergusson, Bulan Juli


merepresentasikan periode kering dan Bulan Oktober merepresentasikan periode
basah di Kota Bogor tahun 2018. Bulan Juli memiliki curah hujan sebesar 52,8 mm
dan Bulan Oktober memiliki curah hujan sebesar 381,9 mm (Gambar 4). Periode
kering dan periode basah akan digunakan sebagai acuan periode simulasi model
WRF - Chem untuk estimasi pola dispersi dan konsentrasi polutan.

Analisis Spasial PM2,5 dan PM10 menggunakan Model WRF – Chem

Pola diurnal hasil luaran simulasi model WRF – Chem pada periode simulasi
bulan Juli dan Oktober menunjukkan pola yang tidak jauh berbeda. Luaran WRF –
Chem dalam 1 domain bulan Juli dan Oktober sebagian besar menunjukkan polutan
PM2,5 dan PM10 terkonsentrasi di bagian utara domain. Polutan PM2,5 dan PM10
rendah di pagi hari, mulai meningkat pada siang hari hingga malam hari dan
menurun hingga pagi hari. Peningkatan konsentrasi polutan PM2,5 dan PM10 pada
siang hari bagian utara seperti Jakarta dapat diakibatkan oleh pengaruh
14

antropogenik dimana siang hari adalah jam sibuk lalu lintas Jakarta (Farda dan
Lubis 2018).

Gambar 5 Pola sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) setiap pukul 04.00, 14.00, dan
22.00 WIB di bulan Juli pada satu domain model

Sebaran PM2.5 dan PM10 dalam domain bulan Juli menunjukkan pola yang
sama (Gambar 5). Bagian utara domain terdapat Laut Jawa. Bagian selatan domain
terdapat Gunung Salak (Bagian Barat Daya dari Kota Bogor) dan Gunung Gede -
Pangrango (Bagian Tenggara dari Kota Bogor). Waktu pagi hari, angin bertiup dari
arah utara akibat pembelokan angin darat menjadi angin laut. Bagian selatan
domain menunjukkan angin bergerak dari selatan ke utara akibat angin gunung.
Waktu siang hari, angin bertiup dari arah utara akibat angin laut. Radiasi matahari
memanaskan daratan sehingga udara panas naik dan udara dari lautan bergerak ke
daratan. Angin laut pada siang hari bertiup dari arah utara ke arah Selatan. Waktu
malam hari, angin bertiup dari Selatan seperti Kota Bogor ke arah Utara menuju
Laut Jawa akibat angin darat. Bagian selatan domain menunjukkan angin bertiup
menjauhi gunung akibat dari angin gunung yang bertiup ke arah dataran yang lebih
rendah. Polutan pada malam hari (Lampiran 1, 2, 3 dan 4) hingga dini hari sebagian
besar terbawa angin ke arah utara (Laut Jawa). Angin gunung pada bagian selatan
membawa polutan ke arah Utara (Kota Jakarta) dan angin darat membawa polutan
ke arah Utara (Laut Jawa). Waktu pagi hari seiring meningkatnya radiasi, angin laut
bertiup dari arah Utara domain dengan membawa sisa polutan ke arah Selatan
seperti Kota Bogor. Bagian selatan domain membawa sisa polutan dari arah Selatan
akibat angin Gunung. Waktu siang hari, angin laut bertiup dari arah utara (Laut
15

Jawa) ke arah daratan di bagian Selatan seperti Kota Jakarta, Kota Bogor. Polutan
ikut terbawa ke Gunung Gede - Pangrango oleh angin lembah akibat pemanasan
dari radiasi matahari. Polutan terakumulasi di daerah Kota Jakarta dan sekitarnya
seiring kegiatan antropogenik yang terjadi siang hari. Polutan dari hasil kegiatan
lalu lintas dan terbawa oleh udara secara vertikal dan menumpuk di udara akibat
kondisi atmosfer yang tidak stabil. Waktu malam hari hingga dini hari, polutan
cenderung mengendap akibat kondisi atmosfer yang stabil pada malam hari.

Gambar 6 Pola sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) setiap pukul 04.00, 14.00, dan
22.00 WIB di bulan Oktober pada satu domain model

Sebaran PM2.5 dan PM10 bulan Oktober tidak menunjukkan pola yang berbeda
dengan bulan Juli (Gambar 5 dan 6). Pola konsentrasi PM2.5 dan PM10 bulan
Oktober dan bulan Juli pun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bulan
Juli dan Bulan Oktober menunjukkan polutan terkonsentrasi di bagian utara domain
(Kota Jakarta, Kota Bogor bagian Utara, dan Tangerang). Pola konsentrasi polutan
menunjukkan konsentrasi rendah pada pagi hari lalu meningkat dari siang hingga
malam hari.
Dispersi polutan dapat ditentukan topografi setempat (Nasstrom et al. 2000).
Topografi lokal dapat mempengaruhi sirkulasi udara serta dapat memodifikasi
masuknya udara dengan cara memblokir atau menyalurkan ke daerah lain. Keadaan
topografi mempengaruhi suhu. Suhu yang berbeda menciptakan perbedaan tekanan
dan mempengaruhi arah pergerakan angin (Miller et al. 2003). Perbedaan topografi
dalam domain mempengaruhi suhu. Topografi pada bagian selatan domain lebih
tinggi dari pada bagian utara domain. Bagian selatan domain yang terdapat Gunung
Salak dan Gunung Gede - Pangrango mempengaruhi suhu dan mempengaruhi arah
16

pergerakan angin. Gambar 5 dan 6 menunjukkan konsentrasi polutan bagian selatan


domain tidak terlalu besar dibandingkan dengan bagian Utara. Perbedaan topografi
mempengaruhi arah pergerakan angin sehingga polutan tidak terkonsentrasi lebih
besar dari pada bagian Utara. Topografi lokal seperti pegunungan dapat
menyebabkan sebuah penghalang bagi polutan. Penghalang atau yang bisa disebut
dengan blocking effect menyebabkan terhalangnya dispersi pencemar akibat
topografi pegunungan atau lahan yang lebih tinggi yang mempengaruhi dispersi
polutan. Dispersi pencemar yang terhalang oleh gunung menyebabkan konsentrasi
polutan yang terbawa disalurkan ke daerah lain (Miller et al. 2003). Hal ini dapat
membuat polutan akan berada di wilayah yang topografinya lebih rendah
(Papanastasiou dan Melas 2008). Daerah yang lebih rendah dalam domain ini dapat
ditunjukkan di bagian utara seperti Kota Jakarta dan Tangerang.
Hasil analisis untuk lokasi Kota Bogor, menunjukkan bahwa konsentrasi
tinggi PM2.5 dan PM10 bulan Juli dan bulan Oktober di Kota Bogor sebagian besar
berada di utara yaitu kecamatan Bogor Utara (Gambar 7 dan 8). Pola konsentrasi di
Kota Bogor menunjukkan konsentrasi polutan mulai meningkat dari siang hingga
dini hari (Lampiran 5, 6, 7 dan 8).

Gambar 7 Pola sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) setiap pukul 04.00, 14.00, dan
22.00 WIB di bulan Juli se-Kota Bogor
17

Konsentrasi PM2.5 diurnal tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan.


PM2.5 Kota Bogor menunjukkan konsentrasi di bawah 50 µg/m3 pada waktu pagi
hari. Konsentrasi PM2.5 mulai meningkat pada jam 10.00 WIB hingga malam hari
pada jam 00.00 WIB di bagian Utara Kota Bogor. Berbeda dengan konsentrasi
PM2.5, konsentrasi PM10 meningkat secara signifikan hingga 300 µg/m3.
Konsentrasi PM10 yang tinggi ini terdapat di bagian utara Kota Bogor dari jam 11.00
WIB hingga malam hari pada jam 00.00 WIB.

Gambar 8 Pola sebaran PM2,5 dan PM10 (µg/m3) setiap pukul 04.00, 14.00, dan
22.00 WIB di bulan Oktober se-Kota Bogor

Pola sebaran polutan di Kota Bogor menunjukkan sebagian besar polutan


terdispersi ke bagian Utara Kota Bogor. Waktu pagi hari, angin bertiup dari bagian
Utara menuju ke bagian Selatan Kota Bogor. Angin yang bergerak ini dapat
diakibatkan oleh angin laut yang bergerak dari bagian Utara (Gambar 5 dan 6).
Angin laut bergerak dari pagi hingga siang hari membawa PM2.5 dan PM10 pada
bulan Juli maupun bulan Oktober. Konsentrasi PM2.5 dan PM10 mulai meningkat
pada siang hari dapat diakibatkan kegiatan antropogenik pada siang hari. PM2.5 dan
PM10 akibat kegiatan antropogenik terangkat ke atas secara vertikal akibat kondisi
atmosfer yang tidak stabil. Waktu malam hari, angin bergerak dari bagian Selatan
18

Kota Bogor akibat angin gunung. Konsentrasi PM2.5 dan PM10 pada malam hari
tidak terlalu berbeda secara signifikan akibat keadaan atmosfer yang stabil.

Analisis Perbandingan Luaran Model WRF-Chem dengan Data Observasi

Perbandingan Fluktuasi Konsentrasi Partikulat dengan Faktor Meteorologi


Fluktuasi konsentrasi PM2.5 dan PM10 dengan data meteorologi pada bulan
Juli dan bulan Oktober (Gambar 9) luaran WRF – Chem tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan. Pola konsentrasi polutan bulan Juli maupun Oktober
meningkat mulai jam 09.00 WIB hingga jam malam hari dan menurun secara
signifikan pada pagi hari. Konsentrasi polutan bulan Juli mulai meningkat pada jam
09.00 diakibatkan kegiatan antropogenik. Kecepatan angin waktu siang hari lebih
rendah dari pagi hari. Kecepatan angin yang lebih rendah dari pagi hari dapat
diakibatkan keadaan atmosfer yang tidak stabil. Keadaan tidak stabil membuat
gerak udara cenderung vertikal. Kegiatan antropogenik dan keadaan atmosfer yang
tidak stabil membuat PM2.5 dan PM10 bergerak secara vertikal dan terkonsentrasi di
udara. Berbeda dengan bulan Juli, kecepatan angin pada bulan Oktober lebih tinggi
pada waktu sore hari. Peningkatan kecepatan angin pada bulan Oktober (Gambar
9b) diikuti dengan peningkatan konsentrasi PM2.5 dan PM10. Peningkatan
konsentrasi PM2.5 dan PM10 bisa diakibatkan oleh terbawanya PM2.5 dan PM10 oleh
angin.

(a) (b)
Gambar 9 Grafik fluktuasi PM2,5, PM10, angin, dan suhu udara secara diurnal di
bulan (a) Juli dan bulan (b) Oktober hasil simulasi model

Fluktuasi konsentrasi PM2.5 dan PM10 dengan data meteorologi antara bulan
Juli dan bulan Oktober (Gambar 10) data observasi menunjukkan perbedaan yang
signifikan. Data observasi bulan Juli (Gambar 10a) menunjukkan bahwa pola
fluktuasi PM10 berbeda dengan PM2.5. Konsentrasi PM10 sedikit meningkat pada
jam 09.00 WIB dan meningkat secara signifikan pada jam 15.00 WIB. Kecepatan
angin dan suhu lebih besar pada waktu siang hari. Konsentrasi PM2.5 dan PM10
tertinggi pada waktu malam hari saat suhu dan kecepatan angin tidak lebih besar
dari pada waktu siang hari. Keadaan ini bisa diartikan akibat kondisi stabil pada
malam hari sehingga pengendapan polutan terjadi di udara. Sedangkan pada bulan
19

Oktober, perbandingan konsentrasi PM2.5 dan PM10 dengan data meteorologi


cenderung linear. Konsentrasi PM2.5 dan PM10 serta suhu dan kecepatan angin mulai
meningkat pada jam 09.00 WIB. Konsentrasi PM2.5 dan PM10 tertinggi setelah jam
15.00 WIB diikuti dengan kecepatan angin yang tinggi. Konsentrasi PM2.5 dan
PM10 menurun setelah jam 18.00 WIB diikuti dengan penurunan suhu dan
kecepatan angin.

(a) (b)
Gambar 10 Grafik fluktuasi PM2,5, PM10, angin, dan suhu udara secara diurnal di
bulan (a) Juli dan bulan (b) Oktober hasil observasi

Tabel 3 Hasil statistik korelasi PM2,5 dan PM10 dengan data meteorologi luaran
WRF – Chem
Bulan Juli Bulan Oktober
Polutan R (Koefisien korelasi)
Suhu Angin Suhu Angin
PM10 0,5 -0,5 0,3 0,09
PM2,5 0,5 -0,5 0,3 0,07
Keterangan: Nilai r yang cetak tebal signifikan pada α=0.05
Berdasarkan analisis statistik dari tabel 3 dapat diketahui bahwa konsentrasi
PM10 dan PM2,5 lebih dipengaruhi oleh suhu udara dibandingkan angin. Semakin
tinggi suhu udara (di siang hari) semakin tinggi pula konsentrasi PM10 dan PM2,5.
Suhu udara yang tinggi menyebabkan di lokasi tersebut bertekanan rendah,
sehingga kecepatan angin juga rendah. Oleh karena itu, polutan akan semakin
mudah terkonsentrasi. Hal tersebut ditandai dengan hasil korelasi antara PM10 dan
PM2,5 dengan suhu udara baik di bulan Juli maupun Oktober yang lebih tinggi
dibandingkan hubungannya dengan angin. Hubungan PM10 dan PM2,5 dengan suhu
udara juga memiliki koefisien signifikansi yang kurang dari 5%, sehingga dapat
dikatakan hasil analisisnya signifikan.

Perbandingan Pola Fluktuasi Konsentrasi Partikulat


Fluktuasi diurnal dari luaran WRF - Chem pada bulan Juli menunjukkan
konsentrasi maksimum PM10 (Gambar 11a) dan PM2,5 (Gambar 11b) setelah sore
hari hingga malam hari sebesar 277,5 µg/m3 dan 84,0 µg/m3. Data observasi
20

menunjukkan konsentrasi maksimum PM10 dan PM2,5 masing-masing terjadi pada


jam 22.00 sebesar 81,9 µg/m3 dan jam 16.00 sebesar 49,2 µg/m3. Bulan Oktober
tidak mengalami perbedaan dimana pada bulan Oktober konsentrasi maksimum
PM10 (Gambar 11c) dan PM2,5 (Gambar 11d) dari luaran WRF-Chem terjadi pada
jam 22.00 masing-masing dengan konsentrasi sebesar 220,80 µg/m3 dan 68,4 µg/m3.
Data observasi bulan Oktober menunjukkan konsentrasi maksimum PM10 dan
PM2,5 terjadi jam 16.00 masing-masing sebesar 89,2 µg/m3 dan 49,9 µg/m3.
Pola fluktuasi diurnal PM10 dan PM2,5 luaran model WRF - Chem pada
bulan Juli dan bulan Oktober menunjukkan pola fluktuasi yang agak cukup
mendekati dengan pola fluktuasi dari data observasi. Pola fluktuasi polutan luaran
model WRF – Chem memiliki nilai PM10 dan PM2,5 yang memuncak pada saat pagi
hari jam 10.00 dan menurun setelah jam 22.00. Unsur cuaca dan keadaan sekitar
serta aktivitas antropogenik mempengaruhi konsentrasi partikulat PM10 dan PM2,5.
Berdasarkan grafik diurnal model WRF di kota bogor pada bulan kering,
konsentrasi rata-rata PM10 dan PM2,5 mulai meningkat pada sekitar pukul 11.00 pagi
dan mulai menurun sekitar pukul 02.00 dini hari. Peningkatan polutan sejak pukul
11.00 pagi sampai pukul 02.00 petang tersebut diikuti dengan kecepatan angin yang
rendah, karena pada saat kecepatan angin cenderung rendah, akan menyebabkan
polutan menumpuk sehingga konsentrasi yang terukur akan lebih tinggi.
Peningkatan konsentrasi PM10 dan PM2,5 pada pagi sampai siang hari juga dapat
disebabkan oleh kondensasi sebagai akibat kelembaban yang tinggi pada malam
hari (Hernandez et al. 2017). Kecepatan angin mulai meningkat sekitar pukul 01.00
dini hari, berbanding terbalik dengan konsentrasi polutan yang semakin rendah
ketika kecepatan anginnya meningkat.

(a) (b)
21

(c) (d)
Gambar 11 Grafik perbandingan pola diurnal data observasi dan hasil simulasi
model pada bulan Juli (a) PM10, (b) PM2,5, dan bulan Oktober (c) PM10,
(d) PM2,5

Kecepatan angin yang semakin tinggi membuat polutan menyebar sehingga


tidak terjadi penumpukan polutan. Peningkatan kecepatan angin pada malam hari
disebabkan oleh adanya angin gunung yang berasal dari arah selatan yaitu Gunung
Salak dan Gunung Gede - Pangrango yang menuju ke arah Kota Bogor. Unsur cuaca
yang berpengaruh terhadap konsentrasi PM2,5 dan PM10 dapat berbeda antar lokasi
(Turyanti 2011). Berdasarkan grafik diurnal model WRF di kota bogor pada bulan
basah, konsentrasi rata-rata PM2,5 dan PM10 mulai meningkat pada pukul 09.00 pagi
hari sampai pada puncaknya yaitu sekitar pukul 16.00 sore. Konsentrasi rata-rata
PM2,5 dan PM10 mulai menurun secara signifikan pada pukul 16.00 sore. Berbeda
dengan pada saat bulan kering, kecepatan angin pada bulan basah meningkat secara
signifikan sekitar pukul 06.00 pagi dan mencapai puncaknya pada pukul 09.00 pagi.
Waktu pagi hari jam 10.00 hingga siang jam merupakan waktu tingginya aktivitas
transportasi. Konsentrasi partikulat yang tinggi dapat disebabkan dari aktivitas
antropogenik seperti debu dari kegiatan lalu lintas (Wang et al. 2013). Hasil luaran
model dan data observasi menunjukkan sebaran konsentrasi PM2,5 dan PM10 pada
siang hari lebih tinggi dibandingkan pagi hari karena kepadatan lalu lintas di siang
hari cenderung lebih tinggi dibanding pagi hari, sehingga konsentrasi partikulat
dihasilkan dari kegiatan lalu lintas (Hime et al. 2006).

Analisis Statistik Luaran Model WRF-Chem terhadap Data Observasi

Konsentrasi PM2,5 dan PM10 Luaran Model dengan Hasil Observasi


Analisis statistik dilakukan untuk melihat hubungan hasil simulasi model
WRF - Chem dengan data hasil observasi dari CCROM - SEAP menggunakan nilai
korelasi atau R dan nilai signifikansi atau p - value. Analisis statistik yang dilakukan
antara lain konsentrasi PM2,5 dan PM10 hasil simulasi model dengan konsentrasi
PM2,5 dan PM10 hasil observasi dan data kecepatan angin dan suhu udara hasil
simulasi model dengan data kecepatan angin dan suhu udara hasil observasi.
Seluruh data yang digunakan untuk analisis statistik merupakan data diurnal.
22

(a) (b)
Gambar 12 Grafik hubungan data PM10 hasil observasi dengan hasil simulasi model
pada bulan (a) Juli dan (b) Oktober

Gambar 12 menunjukkan grafik hubungan PM10 hasil data observasi dengan


data hasil simulasi model di bulan Juli dan Oktober. Grafik hubungan PM10 di bulan
Juli menunjukkan nilai korelasi positif sebesar 0,27 dan p-value 0,51 dimana
berdasarkan nilai korelasi menunjukkan hubungan yang lemah dan berdasarkan p -
value-nya hubungan kedua data tersebut tidak signifikan karena melebihi nilai
toleransi kesalahannya yaitu 0,05. Grafik hubungan PM10 di bulan Oktober
menunjukkan nilai korelasi positif sebesar 0,21 dan p-value 0,61 dimana
berdasarkan nilai korelasinya menunjukkan hubungan yang lemah dan berdasarkan
p - value-nya hubungan kedua data tersebut tidak signifikan.

(a) (b)
Gambar 13 Grafik hubungan data PM10 hasil observasi dengan hasil simulasi model
pada bulan (a) Juli dan (b) Oktober

Gambar 13 menunjukkan grafik hubungan konsentrasi PM2,5 hasil simulasi


model dengan data observasi di bulan Juli dan Oktober. Grafik hubungan
konsentrasi PM2,5 di bulan Juli dan Oktober menunjukkan nilai korelasi positif
masing - masing sebesar 0,67 dengan p - value 0,07 dan 0,35 dengan p - value 0,39.
Berdasarkan nilai korelasinya, hubungan konsentrasi PM2,5 bulan Juli cukup kuat
dan bulan Oktober memiliki hubungan konsentrasi PM2,5 yang lemah. Adapun nilai
23

p - value dari kedua grafik hubungan tersebut menunjukkan hasil yang tidak
signifikan.
Konsentrasi PM2,5 dan PM10 hasil simulasi model bulan Juli dan Oktober
menunjukkan nilai korelasi yang lemah. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
perbedaan ketinggian pada saat simulasi model dengan ketinggian alat observasinya.
Ketinggian yang terdapat pada saat melakukan simulasi pada model WRF-Chem
adalah 10 meter di atas permukaan, sedangkan ketinggian alat observasi yang
berada di CCROM-SEAP adalah 40 meter di atas permukaan. Semakin tinggi
lapisan udara di atas permukaan maka semakin tinggi pula kecepatan anginnya
(Pratikasari 2011), hal tersebut akan memengaruhi penyebaran konsentrasi polutan
di setiap ketinggian.
Hasil korelasi yang bernilai rendah antara konsentrasi PM10 dan PM2,5 luaran
model dengan data observasi terjadi karena perbedaan pola konsentrasi (Gambar
18). Pola diurnal model WRF bulan Juli menunjukkan konsentrasi PM2,5 dan PM10
memuncak secara signifikan pada jam 13.00 hingga jam 22.00 dan menurun setelah
jam 22.00. Data observasi menunjukkan konsentrasi PM10 meningkat pada jam 7.00
hingga jam 10.00 dan jam 13.00 hingga 19.00 dan menurun pada jam 10.00 hingga
13.00 dan jam 22.00 hingga jam 07.00 sedangkan pola konsentrasi PM2,5 meningkat
pada jam 04.00 hingga jam 16.00 dan menurun pada jam 16.00 hingga jam 04.00.
Pola diurnal model WRF bulan Oktober menunjukkan konsentrasi PM2,5 dan PM10
meningkat pada jam 07.00 hingga jam 22.00 dan menurun hingga jam 07.00
sedangkan data observasi menunjukkan konsentrasi PM2,5 dan PM10 jam 07.00
hingga jam 16.00 dan menurun setelah jam 16.00. Hasil luaran model WRF – Chem
dan data observasi menunjukkan konsentrasi maksimum PM10 dan PM2,5 cenderung
terjadi di siang hari. Berikut hasil analisis statistik konsentrasi PM10 dan PM2.5
luaran model WRF-Chem dengan data observasi yang disajikan dalam tabel.
Tabel 4 Hasil statistik konsentrasi PM2,5 dan PM10 luaran WRF-Chem dengan
data observasi
Juli Oktober
Parameter statistik
PM2.5 PM10 PM2.5 PM10
R 0,67 0,27 0,35 0,21
p-value 0,068 0,51 0,39 0,61

Data Meteorologi Luaran Model dengan Data Meteorologi Observasi


Analisis korelasi parameter meteorologi untuk kecepatan angin dan suhu
udara luaran model WRF-Chem terhadap data observasi menunjukkan nilai korelasi
yang cukup baik kecuali untuk parameter kecepatan angin bulan Juli (Tabel 4).
24

(a) (b)
Gambar 14 Grafik hubungan data kecepatan angin hasil observasi dengan hasil
simulasi model bulan (a) Juli dan (b) Oktober

(a) (b)
Gambar 15 Grafik hubungan data suhu udara angin hasil observasi dengan hasil
simulasi model bulan (a) Juli dan (b) Oktober
Nilai koefisien korelasi pada bulan Juli sebesar 0,29 dan bulan Oktober
sebesar 0,55. Koefisien korelasi untuk parameter suhu udara luaran model WRF-
Chem terhadap data observasi pada bulan Juli dan bulan Oktober sebesar 0,99.
Berdasarkan nilai korelasinya, parameter suhu udara luaran model dapat dikatakan
mampu menggambarkan keadaan sesungguhnya dengan sangat baik, karena sangat
mendekati hasil observasi. Namun, parameter kecepatan angin luaran model belum
cukup baik untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya. Hal ini terjadi karena
parameter kecepatan angin hasil luaran model diambil pada ketinggian yang
berbeda dengan data observasi. Seperti yang telah dijelaskan pada poin sebelumnya
bahwa ketinggian diatur dalam model adalah 10 meter sedangkan alat observasinya
berada di ketinggian 40 meter. Kecepatan angin yang lebih dekat dengan
permukaan tentunya akan lebih rendah karena akan banyak dipengaruhi oleh
kekasapan permukaan dan pengaruh adanya bangunan-bangunan, sehingga
kecepatan angin akan lebih banyak mengalami halangan. Kecepatan angin yang
jauh dari permukaan akan lebih tinggi karena pengaruh kekasapan permukaannya
kecil dan pengaruh halangan dari bangunan-bangunan juga kecil.
25

Tabel 5 Korelasi parameter meteorologi kecepatan angin dan suhu udara luaran
model terhadap data observasi (nilai r yang dicetak tebal signifikan pada
α = 0.05) di lokasi CCROM - SEAP
Koefisien korelasi (r)
Bulan
Kecepatan angin Suhu udara
Juli 0,29 0,99
Oktober 0,55 0,99

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Wilayah Kota Bogor bagian Utara merupakan wilayah yang paling banyak
terpapar konsentrasi maksimum PM2,5 dan PM10. Hal tersebut disebabkan oleh
topografi atau ketinggian permukaan lahan di wilayah tersebut. Ketinggian
permukaan lahan Kota Bogor bagian selatan lebih tinggi daripada bagian utara dan
bagian barat Kota Bogor. Berdasarkan luaran dari model WRF – Chem, diperoleh
konsentrasi maksimum PM2,5 dan PM10 pada bulan Juli pukul 00.00 WIB sebesar
257,2 µg/m3 dan 77,7 µg/m3. Data observasi menunjukkan konsentrasi maksimum
PM10 dan PM2,5 masing-masing terjadi pada pukul 12.00 WIB sebesar 80,5 µg/m3
dan jam 09.00 sebesar 49,2 µg/m3. Berbeda dengan bulan Juli, pada bulan Oktober
konsentrasi maksimum PM10 dan PM2,5 dari luaran WRF-Chem terjadi pada pukul
21.00 WIB masing-masing dengan konsentrasi sebesar 205,3 µg/m3 dan 61,9 µg/m3.
Data observasi bulan Oktober menunjukkan konsentrasi maksimum PM10 dan
PM2,5 terjadi pukul 09.00 WIB masing-masing sebesar 89,2 µg/m3 dan 49,9 µg/m3.
Berdasarkan luaran model WRF – Chem, faktor meteorologi yang paling
berpengaruh terhadap konsentrasi polutan adalah suhu. Suhu udara yang tinggi
menyebabkan daerah tersebut bertekanan rendah sehingga polutan semakin mudah
terkonsentrasi. Sebaran PM2.5 dan PM10 bulan Oktober tidak menunjukkan pola
yang berbeda dengan bulan Juli. Pola konsentrasi PM2.5 dan PM10 bulan Oktober
dan bulan Juli pun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Bulan Juli dan
Bulan Oktober menunjukkan polutan terkonsentrasi di bagian utara domain (Kota
Jakarta, Kota Bogor bagian Utara, dan Tangerang). Pola konsentrasi polutan
menunjukkan konsentrasi rendah pada pagi hari lalu meningkat dari siang hingga
malam hari. Pola sebaran polutan di Kota Bogor menunjukkan sebagian besar
polutan terdispersi ke bagian Utara Kota Bogor.
26

Saran

Model WRF - Chem dalam menduga polutan cukup relevan untuk digunakan,
hanya saja ada beberapa faktor yang perlu di analisis lebih lanjut yang
menyebabkan nilainya overestimated. Saran untuk penelitian selanjutnya,
pengaturan ketinggian pada Model WRF – Chem dan alat observasi diusahakan
agar sama sehingga hasilnya lebih representatif. Selain itu, penelitian selanjutnya
dapat menggunakan data emisi lokal sebagai data tambahan agar analisis lebih baik.
27

DAFTAR PUSTAKA

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Kota Bogor Dalam Angka 2006. Bogor (ID) :
Badan Pusat Statistik.
Akyuz M, Cabuk H. 2009. Meteorological variations of PM2.5/PM10 concentrations
and particle-associated polycyclic aromatic hydrocarbons in the atmospheric
environment of Zonguldak Turkey. Journal of Hazardous Materials. 170 (1) :
13 – 21.
Aprianto MC. Kajian Fisika Lingkungan dan Demografi untuk Karakteristik PM2,5
di Wilayah Perkotaan. Omega : Jurnal Fisika dan Pendidikan Fisika. 3 (1) :
27 – 30.
Atkinson RW, Fuller GW, Anderson HR, Harrison RM, Armstrong B. 2010. Urban
ambient particle metrics and health : a time – series analysis. Epidemiology.
21 (4) : 501 – 511.
Cheung K, Daher N, Kam W, Shafer MM, Ning Z, Schauer JJ, Sioutas C. 2011.
Spatial and temporal variation of chemical composition and mass closure of
ambient coarse particulate matter (PM10–2.5) in the Los Angeles area.
Atmospheric Environment. 45 (16) : 2651 – 2662.
Colls J. 2002. Air Pollution Ed ke-2. Londong (UK) : Spon Press.
Davidson CI, Phalen RF, Solomon PA. 2007. Airborne particulate matter and
human health : A review. Aerosol Science and Technology. 39 (8) : 737 – 749.
Elshazly SM, Takahashi M, El-Noubyadam M, Kassem KHO, Hasan AA. 2012.
Simulation of air pollutants and weather parameters using WRF/Chem model
in Cairo and Qena Cities/Egypt. J. World Environment. 2(6) : 127-134.
Farda M, Lubis HAR. Transportation System Development and Challenge in
Jakarta Metropolitan Area, Indonesia. International Journal of Sustainable
Transportation Technology. 1 (2) : 42 – 50.
Godish T. 2004. The Air Quality. 4th ed. Florida : CRC Press LLC.
Grantz DA, Garner JHB, Johnson DW. 2003. Ecological effects of particulate
matter. Environment International. 29 (2 – 3) : 213 – 239.
Guaita R, Pichiule M, Mate T, Linares C, Diaz J. 2010. Short – term impact of
particulate matter (PM2.5) on respiratory mortality in Madrid. International
Journal of Environmental Health Research. 21 (4) : 260 – 274.
Herawati P, Riyanti A, Pratiwi A. 2018. Hubungan konsentrasi NO2 udara ambien
terhadap konsentrasi NO2 udara dalam ruang di lampu merah simpang
Jelutung Kota Jambi. Jurnal Daur Lingkungan. 1(1): 1-4.
Heriyanto E, Nuryanto DE. 2014. Prediksi sebaran asap kebakaran hutan/lahan
menggunakan WRF/Chem (studi kasus: tanggal 14 dan 20 juni 2012,
Pekanbaru-Riau). Jurnal Meteorologi dan Geofisika. 15(1): 51-58.
Hernandez G, Berry TA, Wallis SL, Poyner D. 2017. Temperature and humidity
effects on particulate matter concentrations in a sub – tropical climate during
28

winter. Di dalam : Liu Juan, editor. 6th International Conference on


Environment, Chemistry and Biology (ICEBC 2017); 2017 Nov 20 – 22;
Queensland, Australia. Singapur (SG) : International Association of
Computer Science % Information Technology Press. hlm 41 – 49.
Hien PD, Bac VT, Tham HC, Nhan DD, Vinh LD. 2002. Influence of
meteorological conditions on PM2.5 and PM2.5–10 concentrations during the
monsoon season in Hanoi, Vietnam. Atmospheric Environment. 36 (21) :
3473–3484.
Hime NJ, Marks GB, Cowie CT. 2006. A comparison of the health effects of
ambient particulate matter air pollution from five emission sources.
International Journal of Environental Research and Public Health. 15 (6) :
1–24.
Hong SY, Noh Y, Dudhia J. 2006. A new vertical diffusion package with an explicit
treatment of entrainment processes. Monthly Weather Review. 134 : 2318 –
2341.
Kim KH, Kabir E, Kabir S. 2015. A review on the human health impact of airborne
particulate matter. Environment International. 74 : 136 – 143.
Kurniati NLWR, Setiawan I, Sihombing S. 2017. Keselamatan berlalu lintas di
Kota Bogor. Jurnal Manajemen Transport dan Logistik. 4 (1) : 75 – 88.
Lakitan B. 2002. Dasar Dasar Klimatologi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Lestari P, Muliane U. 2011. Pemantauan kualitas udara ambien daerah padat lalu
lintas dan komersial dki jakarta: analisis konsentrasi PM2,5 dan black carbon.
Jurnal Teknik Lingkungan. 17 (2) : 178 – 188.
Lin YL, Farley RD, Orville HD. 1983. Bulk parameterization of the snow field in
a cloud model. Journal of Applied Meteorology and Climatology. 22 : 1065
– 1092.
Marhaeni ADR. 2018. Pengaruh faktor meteorologi terhadap fluktuasi konsentrasi
PM10 dan O3 di DKI Jakarta[skripsi]. Bogor (ID) : IPB University Repository.
Miller STK, Keim BD, Talbot RW, Mao H. 2003. Sea breeze : structure, forecasting
and impacts. Review of Geophysics. 1 : 1 – 43.
Misra C, Geller MD, Shah P, Sioutas C, Solomon PA. 2011. Development and
evaluation of a continuous coarse (pm10 – pm25) particle monitor. Journal of
the Air & Waste Management Association. 51 (9) : 1309 – 1317.
Mlawer EJ, Taubman SJ, Brown PD, Iacono MJ, Clough SA. 1997. Radiative
transfer for inhomogeneous atmosphere : RRTM, a validated correlated - k
model for the longwave. Journal of Geophysical Research : Atmospheres.
102 (D14) : 16663 - 16682.
Muhayatun, Lestiani DD, Hidayat A, Kumalasari L. 2007. Konsentrasi PM2,5 dan
PM10 udara ambien di Bandung dan Lembang tahun 2000-2006. Makalah.
Dalam : Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi Nuklir di Bandung,
17 dan 18 Juli 2007.
29

Nasstrom JS, Sugiyama G, Leone Jr JM, Ermak DL. 2000. A real-time atmospheric
dispersion modeling system. 11th Joint Conference on the Application of Air
Pollution Meteorology with the Air Waste Management Association, Long
Beach, CA. January 9-14, 2000. http://www.ntis.gov.
Nevers ND. 2013. Air pollution control engineering. New York (US) : McGraw –
Hill.
Nugroho S, Akbar S, Vusvitasari R. 2008. Kajian Hubungan Koefisien Korelasi
Pearson (r), Spearman-rho (ρ), Kendall-Tau (τ), Gamma (G) , dan Somers
(dyx). Jurnal Gradien. 4 (2) : 372 – 381.
Nuryanto DE. 2012. Modul Instalasi dan Operasional WRF-Chemistry versi 3.3.
Jakarta (ID): Puslitbang BMKG.
Papanastasiou DK, Melas D. 2008. Climatology and impact on airquality of sea
breeze in an urban coastal environment. International Journal of
Climatology. Royal Meteorology Society.
Pratikasari R. 2011. Kajian teoritis dan empiris distribusi spasial dan temporal
parameter-parameter atmospheric boundary layer (studi kasus: Bogor,
Karawang, dan Pulau Pramuka)[skripsi]. Bogor (ID) : IPB University
Repository.
Rixson L, Riani E, Santoso M. 2015. Karakterisasi paparan long-term Particulate
Matter di Puspiptek Serpong Kota Tangerang Selatan. Jurnal Ilmiah Aplikasi
Isotop dan Radiasi. 11 (1) : 51 - 64.
Rodriguez S, Cuevas E, Gonzalez Y, Ramos R, Romero PM, Perez N, Querol X,
Alastuey A. 2008. Influence of sea breeze circulation and road traffic
emissions on the relationship between particle number, black carbon, PM1,
PM2.5 and PM2.5 – 10 concentrations in a coastal city. Atmospheric
Environment. 42 (26) : 6523 – 6534.
Ruhiyat Y. 2009. Model Prediksi Distibusi Laju Penyebaran Sulfur Dioksida (SO2)
dan Debu dari Kawasan Industri [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Sasminto RA. Tunggul A, Rahadi JBW. 2014. Analisis spasial penentuan iklim
menurut klasifikasi Schmidt-Ferguson dan Oldeman di Kabupaten
Ponorogo. Jurnal Sumberdaya Alam dan Lingkungan. 1 (1) : 51-56.
Skamarock WC, Klemp JB, Dudhia J, Gill DO, Barker DM, Duda MG, Huang XY,
Wang W, Powers JG. 2008. A Description of The Advanced Research WRF
Version 3. Coloradi (US) : National Center for Atmospheric Research.
Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung (ID) : ITB Press.
Soenarmo SH. 1996. Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung : Departemen
Geofisika dan Meteorologi ITB Press.
Srimuruganandam B, Nagendra SMS. 2012. Source characterization of PM10 and
PM2.5 mass using a chemical mass balance model at urban roadside. Science
of The Total Environment. 433 : 8 – 19.
30

Stahl K, Moore RD, Floyer JA, Asplin MG, McKendry IG. 2006. Comparison of
approaches for spatial interpolation of daily air temperature in a large region
with complex topography and highly variable station density. Agricultural
and Forest Meteorology. 139 (3-4) : 224 – 236.
Stensrud D. 2007. Parameterization Schemes Keys to Understanding Numerical
Weather Prediction Models. Cambridge (UK) : Cambridge University Press.
Sugiarti. 2009. Gas pencemar udara dan pengaruhnya bagi kesehatan manusia.
Jurnal Chemica. 10(1) : 50-58.
Sutikno RF. 2011. Prediksi Penyebaran Gas Rumah Kaca (CO2 & CH4) dari
Sektor Transportasi di DKI Jakarta dengan Model Dispersi ISC - AERMOD.
Bandung (ID) : Institut Teknologi Bandung.
Turyanti A, Santikayasa IP. 2006. Analisis pola unsur meteorologi dan konsentrasi
polutan di udara ambien studi kasus: Jakarta dan Bandung. J. Agromet
Indonesia. 20(2): 25-37.
Turyanti A. 2016. Pemodelan dispersi PM10 dan SO2 dengan pendekatan dinamika
stabilitas atmosfer di lapisan perbatas pada kawasan industri [disertasi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Utami B, Helly M, Santi IP, Reida R, Harnawan AA. 2008. Rekayasa sensor
kecepatan angin sebagai pengukur potensi pembangkit listrik tenaga angin di
desa sungai riam kab. tanah laut Kalimantan Selatan. Jurnal Fisika Flux. 5
(28) : 120 – 132.
Vardoulakis S, Kassomenos P. Sources and factors affecting PM10 levels in two
European cities: Implications for local air quality management. Atmospheric
Environment. 42 (17) : 3949 – 3963.
Verma SS, Desai D. 2008. Effect of Meteorological Conditions on Air Pollution of
Surat City. J. Int. Environmental Application & Science. 3 (5) : 358-367.
Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika Edisi ke-3. Sumantri B, penerjemah.
Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama. Terjemahan dari: Introduction to
Statistics 3rd edition.
Wang J, Hu Z, Chen Y, Chen Z, Xu S. Contamination characteristics and possible
sources of PM10 and PM2.5 in different functional areas of shanghai, China.
Atmospheric Environment. 68 : 221 – 229.
Wibisono MH. 2012. Analisis lanskap untuk penentuan zona penyangga kebun raya
Bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor.
Zannaria ND, Roosmin D, Santoso M. 2009. Karakteristik kimia paparan partikulat
terespirasi. Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. 10 (1) : 37 – 50.
31

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pola sebaran diurnal PM2.5 (µg/m3) satu domain bulan Juli luaran
model WRF – Chem
32

Lampiran 2 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) satu domain bulan Juli luaran
model WRF – Chem
33

Lampiran 3 Pola sebaran diurnal PM2.5 (µg/m3) satu domain bulan Oktober luaran
model WRF – Chem
34

Lampiran 4 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) satu domain bulan Oktober luaran
model WRF – Chem
35

Lampiran 5 Pola sebaran diurnal PM2,5 (µg/m3) Kota Bogor bulan Juli luaran
model WRF – Chem
36

Lampiran 6 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) Kota Bogor bulan Juli luaran
model WRF – Chem
37

Lampiran 7 Pola sebaran diurnal PM2,5 (µg/m3) Kota Bogor bulan Oktober luaran
model WRF – Chem
38

Lampiran 8 Pola sebaran diurnal PM10 (µg/m3) Kota Bogor bulan Oktober luaran
model WRF – Chem
39

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Bogor 18 Oktober 1997 dari pasangan Bapak Nurdin Naibaho
dan Ibu Listen Sinaga. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan Sekolah menengah atas di SMK Analis Kimia YKPI
Bogor pada tahun 2012 dan lulus pada tahun 2016. Penulis melanjutkan studi di
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor (IPB) diterima melalui jalur Seleksi
Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) pada tahun 2016. Selama
masa perkuliahan, penulis aktif di salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan
ikut serta dalam beberapa kepanitiaan di IPB. Penulis pernah menjabat sebagai
bendahara dalam salah satu kegiatan di KeMaKi tahun 2016, pernah menjadi staff
Mobile Apps Development (MAD) pada acara PSN – Meteorologi Interaktif tahun
2017, pernah menjadi staf sponsorship pada acara PSN – Meteorologi Interaktif
tahun 2018, pernah menjadi Koordinator Desa Margaluyu pada kegiatan KKN
tahun 2019. Penulis pernah memenangkan Juara 1 Lomba Akustik SPIRIT FMIPA
IPB 2018. Selain itu, penulis memiliki pengalaman magang profesi di Centre for
Climate Risk and Oppoptunity Management in Southeast Asia Pasific (CCROM -
SEAP) pada tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai