Anda di halaman 1dari 42

PROYEKSI DAN PEMETAAN POTENSI EPIDEMI

PENYAKIT BLAS (Pyricularia grisea) PADA TANAMAN PADI


DENGAN MODEL EPIDEMIOLOGI EPIRICE

AJI IRSYAM NURRACHMAT SUKARTA

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Proyeksi dan Pemetaan
Potensi Epidemi Penyakit Blas (Pyricularia grisea) pada Tanaman Padi dengan
Model Epidemiologi EPIRICE adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2018

Aji Irsyam Nurrachmat Sukarta


G24140074
ABSTRAK
AJI IRSYAM NURRACHMAT SUKARTA. Proyeksi dan Pemetaan Potensi
Epidemi Penyakit Blas (Pyricularia grisea) pada Tanaman Padi dengan Model
Epidemiologi EPIRICE. Dibimbing oleh YONNY KOESMARYONO dan YON
SUGIARTO.

Salah satu permasalahan yang menghambat upaya peningkatan produksi


beras nasional adalah adanya serangan penyakit blas. Model EPIRICE dapat
dimanfaatkan untuk menganalisis pengaruh perubahan iklim terhadap potensi
serangan penyakit blas pada masa mendatang. Penelitian ini bertujuan untuk
memetakan potensi epidemi penyakit blas serta menganalisis dampak perubahan
iklim terhadap potensi epidemi penyakit blas. Analisis pengaruh perubahan iklim
dilakukan dengan memanfaatkan model iklim CSIRO Mk3-6-0 dan MIROC5
dengan skenario proyeksi perubahan iklim RCP 4.5 dan RCP 8.5. Pada periode
baseline, potensi serangan penyakit blas yang dinyatakan dalam parameter AUDPC
berada pada tingkat rendah. Berdasarkan skenario RCP 4.5, potensi serangan
penyakit blas di Jawa Barat dalam kurun waktu 2021-2050 menurun seiring dengan
waktu. Hal serupa juga dijumpai pada analisis berdasarkan scenario RCP 8.5.
Penurunan potensi serangan penyakit blas pada skenario RCP 8.5 lebih besar
dibanding RCP 4.5. Walaupun potensi serangan penyakit blas menurun, namun
terdapat tahun-tahun tertentu dimana terjadi ledakan serangan penyakit blas di Jawa
Barat akibat variabilitas iklim. Potensi serangan penyakit blas pada masa
mendatang menurun akibat pengaruh perubahan iklim.

Kata kunci: perubahan iklim, AUDPC, keparahan penyakit, CSIRO Mk3-6-0,


MIROC5
ABSTRACT

AJI IRSYAM NURRACHMAT SUKARTA. Projection and Mapping of Potential


Epidemics of Rice Blast Disease (Pyricularia grisea) Using EPIRICE
Epidemiological Model. Supervised by YONNY KOESMARYONO and YON
SUGIARTO.
The blast disease attack is one of many obstacles which inhibits the effort of
increasing national rice production. Using EPIRICE epidemiological model, the
impact of climate change to the potential blast disease attack in the future could be
analyzed. This research aims to map the potential epidemics of blast disease and to
analyze the impact of climate change toward potential epidemics of blast disease.
The analysis is conducted using CSIRO Mk3-6-0 and MIROC5 climate model with
RCP 4.5 and RCP 8.5 climate change projection scenarios. During baseline, the
parameter of AUDPC which represents the potential blast disease attack is in low
level. Based on RCP 4.5 scenario, the potential blast disease attack in West Java
during 2021-2050 period decreases along with the time. The similar also occurs on
RCP 8.5 scenario analysis. The decline of the potential blast disease attack based
on RCP 8.5 is more than RCP 4.5 ones. Despite less severe attack, there are several
years when the outbreak of blast disease attacks occur due to climate variability.
The potential of rice blast disease attack decreases in the future due to climate
change.

Keywords: climate change, AUDPC, disease severity, CSIRO Mk3-6-0, MIROC5


PROYEKSI DAN PEMETAAN POTENSI EPIDEMI
PENYAKIT BLAS (Pyricularia grisea) PADA TANAMAN PADI
DENGAN MODEL EPIDEMIOLOGI EPIRICE

AJI IRSYAM NURRACHMAT SUKARTA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains
pada
Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan pada Allah swt. yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan karya
ilmiah berjudul “Proyeksi dan Pemetaan Potensi Epidemi Penyakit Blas
(Pyricularia griesea) pada Tanaman Padi dengan Model Epidemiologi EPIRICE”
sebagai salah satu syarat kelulusan program sarjana di Departemen Geofisika dan
Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian
Bogor.
Dalam penulisan usulan penelitian ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Kedua orang tua dan semua keluarga besar yang selalu memberikan doa,
nasehat, semangat dan motivasi kepada penulis
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS. dan Bapak Yon Sugiarto,
S.Si., M.Sc selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan,
masukan, motivasi dan pengetahuan yang sangat membantu
3. Ibu Dr. Ir. Tania June, M.Sc. selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bimbingan dan saran terkait kegiatan akademik
4. Mr. Assoc. Prof. Adam Henry Sparks, P.hD. dari Centre for Crop Health,
University of Southern Queensland, Australia yang telah banyak sekali
memberikan panduan, arahan dan saran berkaitan dengan model EPIRICE
dan epidemiologi penyakit blas selama penelitian
5. Bapak Dr. Ir. Rahmat Hidayat, S.Si., M.Sc. selaku ketua departemen,
seluruh dosen dan staff Departemen Geofisika dan Meteorologi yang telah
banyak sekali memberikan ilmu pengetahuan dan membantu selama
perkuliahan
6. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Dion, Mufika, Gilang serta seluruh
rekan-rekan GFM 51 yang telah menemani dan memberikan semangat
selama penelitian dan penulisan skripsi
7. Teman-teman HIMAGRETO Kabinet Lapse Rate yang telah membagikan
pengalaman berorganisasi
8. Teman-teman Paguyuban Sedulur Madiun 51, terutama Samudera dan
Novita yang telah menmberikan semangat untuk menyelesaikan penelitian
Selanjutnya, penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari
sempurna, sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan
demi kemajuan penelitian ini.

Bogor, Agustus 2018

Aji Irsyam Nurrachmat Sukarta


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Penyakit Blas (Pyricularia grisea) 2
Siklus Penyakit Blas pada Tanaman Padi 2
Pengaruh Iklim terhadap Perkembangang Penyakit Blas 3
Model Epidemiologi Tanaman Padi EPIRICE 3
Skenario Proyeksi Perubahan Iklim RCPs 5
Model Iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 5
METODE 6
Tempat dan Waktu Penelitian 6
Bahan 6
Alat 6
Prosedur Analisis Data 7
HASIL DAN PEMBAHASAN 12
Deskripsi Wilayah Kajian 12
Perkembangan Penyakit Blas Berdasarkan Model Epidemiologi EPIRICE 12
Evaluasi Model EPIRICE 13
Analisis Spasial Potensi Epidemi Penyakit Blas 16
Analisis Potensi Epidemi Penyakit Blas Periode Baseline 16
Analisis Potensi Epidemi Penyakit Blas Periode 2021-2050 dengan
Skenario Perubahan Iklim RCP 4.5 17
Analisis Potensi Epidemi Penyakit Blas antara Periode 2021-2050 dengan
Skenario Perubahan Iklim RCP 8.5 19
Perbandingan Potensi Epidemi Penyakit Blas Periode 2021-2050 dengan
Baseline 21
SIMPULAN DAN SARAN 23
Simpulan 23
Saran 23
DAFTAR PUSTAKA 23
LAMPIRAN 26
RIWAYAT HIDUP 28
DAFTAR TABEL
1 Jenis dan Sumber Data 6
2 Nilai hasil uji statistik model terhadap keparahan penyakit observasi 15
3 Rata-rata dan standar deviasi AUDPC pada skenario RCP 4.5 17
4 Rata-rata dan standar deviasi AUDPC pada skenario RCP 8.5 19

DAFTAR GAMBAR
1 Struktur model EPIRICE 4
2 Diagram alir penelitian 7
3 Grafik perkembangan penyakit di Sukamandi 13
4 Grafik perkembangan penyakit di Cisalak 13
5 Grafik perbandingan keparahan penyakit akumulatif di Sukamandi 14
6 Grafik perbandingan keparahan penyakit akumulatif di Cisalak 15
7 AUDPC spasial penyakit blas periode baseline berdasarkan model iklim
CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 16
8 AUDPC spasial penyakit blas periode 2021-2030;2031-2040;2041-2050
berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario
perubahan iklim RCP 4.5 17
9 Grafik AUDPC penyakit blas di Jawa Barat berdasarkan model iklim CSIRO-
Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario perubahan iklim RCP 8.5 18
10 AUDPC spasial penyakit blas periode 2021-2030;2031-2040;2041-2050
berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario
perubahan iklim RCP 8.5 20
11 Grafik AUDPC penyakit blas di Jawa Barat berdasarkan model iklim CSIRO-
Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario perubahan iklim RCP 8.5 21
12 Selisih AUDPC periode 2021-2050 dengan baseline secara spasial 22

DAFTAR LAMPIRAN
1 Parameter fisiologi penyakit blas (Pyricularia grisea) 26
2 Peta admnistratif Provinsi Jawa Barat 26
3 Gejala serangan penyakit blas pada daun tanaman padi 27
4 Keparahan penyakit blas (leaf blast) pada tiga umur tanaman yang berbeda 27
1

PENDAHULUAN
Latar Belakang

Tanaman padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan utama di


Indonesia yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Seiring
dengan pertambahan penduduk, peningkatan produksi beras nasional melalui
pertambahan luas areal tanam dan peningkatan produktivitas harus dilakukan.
Menurut data BPS (2017), produksi beras nasional pada tahun 2015 adalah
75.397.841 ton, meningkat sebanyak 27.268.520 ton dibanding tahun 1993.
Permasalahan utama yang sering menghambat usaha peningkatan produksi
pertanian adalah serangan hama dan penyakit tanaman. Kerusakan tanaman akibat
serangan hama dan penyakit tanaman dapat berupa kerusakan kecil yang tidak
merugikan secara ekonomi hingga gagal panen. Penyakit paling penting dalam
budidaya padi di seluruh dunia adalah penyakit blas yang disebabkan oleh
Pyricularia grisea (Padmanabhan 1967). Penyakit ini pada awalnya hanya
menyerang tanaman padi gogo saja, namun akhir-akhir ini juga ditemukan pada
padi sawah (Sudir et al 2014).
Penyakit blas menyebabkan kehilangan hasil sebanyak 5-10% di India pada
tahun 1960, 8% di Korea Selatan pada pertengahan 1970-an, 14% di Cina pada
tahun 1980 dan terparah sebanyak 70-85% di Filipina pada tahun 1970 (Wang et al
2014). Di Indonesia, penyakit blas menyerang lahan seluas 39.490 ha hingga
menyebabkan terjadinya puso pada lahan seluas 1.327 ha dengan kehilangan hasil
sebanyak 54.248 ton pada tahun 2000-2004 (Ditlin 2005). Daerah endemik
penyakit blas di Indonesia adalah Sumatera Barat, Jambi, Lampung, Sumatera
Selatan, Jawa Barat, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara (Santoso dan
Nasution 2008). Selain menyerang padi, penyakit blas juga diketahui dapat
menyerang gandum, sorgum dan tanaman serealia lain (Kahmann dan Basse 1997).
Penyakit blas mampu menyerang tanaman padi pada berbagai stadia
pertumbuhan tanaman dari benih sampai fase pertumbuhan malai (Sudir et al 2014).
Luka akibat infeksi cendawan tersebut dapat ditemukan pada daun, leher malai,
percabangan (node) dan biji (Ou 1985). Infeksi pada bagian daun dikenal sebagai
blas daun (leaf blast) dan terjadi saat stadia vegetatif. Adanya infeksi blas daun
dapat dideteksi dari bercak berwarna abu-abu berbentuk belah ketupat berwarna
abu-abu pada daun (Ramli 2000). Infeksi pada malai dikenal sebagai blas leher
(panicle blast) dan umumnya terjadi pada stadia generatif.
Studi untuk mempelajari penyakit blas di Indonesia selama ini hanya
difokuskan dalam identifikasi dan pengujian beragam gen padi yang resisten
terhadap penyakit blas (Utami et al 2006), identifikasi ras-ras P. grisea yang
berkembang dan metode pengendalian yang efektif. Penelitian mengenai analisis
potensi dan prediksi serangan penyakit blas masih minim dilakukan. Model
epidemiologi penyakit tanaman padi EPIRICE dapat dimanfaatkan untuk
menganalisis potensi serangan dan prediksi serangan lima penyakit utama tanaman
padi dengan menggunakan masukan berupa data cuaca harian (Savary et al 2012).
Model EPIRICE mampu memberikan hasil yang dapat dimanfaatkan untuk dapat
mendukung penyusunan strategi yang tepat dan efektif untuk mengendalikan dan
mencegah serangan penyakit serta mengembangkan penelitian terkait penyakit blas.
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan memetakan daerah yang berpotensi mengalami


serangan penyakit blas dan menganalisis dampak perubahan iklim terhadap potensi
serangan penyakit blas di wilayah kajian.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi masukan dalam sistem peringatan


dini (early warning system) serangan penyakit blas.

TINJAUAN PUSTAKA
Penyakit Blas (Pyricularia grisea)

Penyakit blas disebabkan oleh Pyricularia grisea yang termasuk dalam


kelompok Ascomycota dan bersifat heterotalik (Zeigler 1998). Epidemi penyakit
blas dipengaruhi oleh iklim, resistansi varietas dan praktik pertanian seperti aplikasi
pupuk nitrogen dan penyediaan air (Luo et al 1995). Penyakit ini dapat menginfeksi
daun (leaf blast) dan leher malai tanaman padi (panicle blast). Blas daun
menyebabkan tanaman menjadi kerdil, mengurangi jumlah malai dewasa dan bobot
per 1000 biji padi (Ou 1985). Gejala pada daun yang terinfeksi penyakit blas adalah
adanya bercak berbentuk belah ketupat yang runcing (Santoso dan Nasution 2008).
Pada varietas yang rentan, bercak berukuran kecil dan berwarna hijau gelap saat
awal permulaannya, dan akan terus membesar dan berwarna abu-abu dengan tepi
berwarna coklat. Sedangkan pada varietas tahan, bercak tidak akan berkembang.
Daun pada varietas yang sangat rentan terhadap penyakit blas akan dipenuhi bercak
hingga daun mengering dan mati (Ramli 2000).
Pada awalnya, penyakit blas hanya menyerang jenis padi gogo (Ramli 2000).
Sekarang, penyakit tersebut juga mampu menginfeksi padi sawah juga. Aplikasi
pupuk nitrogen dengan dosis tinggi dan penanaman varietas rentan berulang-ulang
diduga menjadi penyebabnya (Sudir et al 2014). Fenomena ini juga terjadi di
Jepang, Korea, Vietnam dan Filipina.
Ahn et al (2000) menyatakan bahwa resistansi sejumlah varietas padi
unggul yang dilepas untuk mengendalikan penyakit blas hanya dapat bertahan
selama dua atau tiga musim saja. Penyebabnya adalah tingginya keragaman genetik
dan kemampuan adaptasi yang dimiliki pathogen P. grisea (Utami et al 2006).
Sehingga, P. grisea mampu membentuk ras baru yang mampu mematahkan
resistansi varietas yang dilepas.

Siklus Penyakit Blas pada Tanaman Padi

Siklus penyakit blas dimulai ketika konidia P. grisea menginfeksi daun


tanaman padi dan berakhir ketika cendawan bersporulasi dan menyebarkan spora
baru (Santoso dan Nasution 2008). Infeksi diawali dengan menempelnya konidia
tersebut pada daun tanaman padi dengan bantuan angin atau percikan air hujan (Ou
1985). Pada kondisi optimum, konidia tersebut berkecambah dengan membentuk
buluh-buluh perkecambahan yang selanjutnya menjadi appressoria. Appresoria
3

tersebut mampu menembus kutikula daun. Proses penetrasi ini berlangsung selama
8-10 jam (Ramli 2000).
Hifa P. grisea akan terus tumbuh hingga menyebabkan terbentuknya sebuah
bercak penyakit blas terbentuk dalam waktu 4-5 hari (Santoso dan Nasution (2008).
Bercak tersebut akan menyebarkan spora sebagai sumber infeksi selanjutnya
setelah 6 hari. Satu bercak blas mampu menghasilkan 2000-6000 spora tiap hari
dalam kurun waktu 2 minggu di laboratorium (Sudir et al 2014).

Pengaruh Iklim terhadap Perkembangan Penyakit Blas

Ou (1985) menyatakan bahwa gejala utama dari penyakit blas sangat


bergantung kondisi iklim suatu daerah. Pathogen penyakit blas dapat bertahan pada
hampir semua jenis iklim di dunia (Shahjahan et al 1987). Faktor cuaca sangat
mempengaruhi kejadian, perkembangbiakan dan penyebaran penyakit blas (Rajput
et al 2007). Suhu optimum untuk perkecambahan konidia dan pembentukan
appressoria adalah pada 25-30⁰C. Rajput et al (2017) menyatakan bahwa ukuran
bercak blas dan proses sporulasi maksimum teramati pada suhu 27⁰C. Suhu juga
mempengaruhi laju infeksi, durasi latensi dan durasi penularan pathogen (Van der
Plank 1965).
Shahjahan et al (1987) menyatakan bahwa periode kanopi basah karena
embun maupun hujan menjadi menjadi faktor iklim mikro paling krusial dalam
perkembangan epidemi. Sporulasi akan terjadi secara optimum pada RH 95% dan
tidak terjadi jika RH kurang dari 89% (Santoso dan Nasution 2008). Pelepasan
spora dari daun yang terinfeksi sangat dipengaruhi oleh adanya hujan (Sudir et al
2014). Faktor cuaca lain yang juga memiliki pengaruh terhadap epidemi penyakit
blas adalah angin. Angin merupakan agen penyebaran spora sebagai sumber
inokulum P. grisea.

Model Epidemiologi Tanaman Padi EPIRICE

EPIRICE adalah model epidemiologi penyakit tanaman padi yang


dikembangkan oleh Savary et al (2012). Penyakit pada tanaman padi yang dicakup
dalam EPIRICE antara lain bercak coklat (brown spot), blas daun (leaf blast), hawar
bakteri (bacterial blight), hawar seludang (sheath blight) dan tungro. Kelima
penyakit tersebut menyerang padi pada tingkat jaringan tanaman yang berbeda.
EPIRICE menganalisis setiap penyakit berdasarkan jumlah individu penyakit.
Madden et al (2007) mendeskripsikan individu penyakit sebagai satuan jaringan
tanaman yang terserang pathogen. Jenis dan ukuran individu penyakit setiap
penyakit dalam model EPIRICE adalah: satu individu penyakit blas daun adalah
luasan 45 mm2 pada daun; satu individu penyakit bercak coklat adalah luasan 10
mm2 pada daun; satu individu penyakit hawar bakteri adalah satu daun; satu
individu penyakit hawar pelepah adalah satu pelepah; satu individu penyakit tungro
adalah satu tanaman (Savary et al 2012).
Savary et al (2012) mengembangkan EPIRICE sebagai model generik yang
dapat diparameterisasi sesuai praktik pertanian dan keadaan iklim suatu wilayah
secara mudah. Sehingga, struktur model EPIRICE disusun secara sederhana dan
fleksibel untuk menganalisis sifat-sifat epidemiologi setiap penyakit serta untuk
memudahkan pengembangan lebih lanjut. Selain itu, EPIRICE juga dapat dengan
4

mudah dihubungkan dengan aplikasi lain seperti data iklim spasial untuk analisis
berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) (Kim et al 2015).

Gambar 1 Struktur model EPIRICE (Kim et al 2015)

Struktur model EPIRICE disusun berdasarkan model Susceptible-Exposed-


Infectious-Removed (SEIR) yang oleh Madden et al (2007) dimodifikasi menjadi
model Healthy-Latent-Infectious-Removed (H-L-I-R) khusus untuk studi
epidemiologi tanaman. Sistem dalam model EPIRICE memperhitungkan
banyaknya individu penyakit pada pada petak seluas 1 m2 selama 120 hari (Savary
et al 2012). Model EPIRICE mensimulasikan banyaknya individu yang sehat atau
healthy (H), laten (L), menularkan pathogen atau infectious (I) dan mati atau
removed (R).
EPIRICE tersusun dari dua modul utama, yaitu modul pertumbuhan dan
penuaan (senescene) jaringan tanaman padi dan modul H-L-I-R (Savary et al 2012).
(Gambar 1). Konsep dari modul H-L-I-R adalah ketika sebuah individu sehat (H)
terinfeksi cendawan, maka individu tersebut menjadi individu laten (L) selama
durasi latensi (p). Kemudian, individu tersebut menjadi individu yang menularkan
(I) pathogen selama durasi penularan (i). Terakhir, individu tersebut menjadi
individu mati (R).
Masukan yang dibutuhkan untuk menjalankan model EPIRCE adalah data
tanggal tanam padi dan data cuaca harian meliputi suhu rataan, suhu minimum, suhu
maksimum, kelembaban relatif dan curah hujan. Luaran model EPIRICE selain
jumlah individu setiap tahap, juga keparahan penyakit (disease severity) dan Area
Under Disease Progress Curve (AUDPC) (Savary et al 2012). AUDPC adalah
variabel yang meringkas intensitas penyakit untuk menggambarkan perkembangan
penyakit selama tanaman hidup (Madden et al 2007). AUDPC umum digunakan
untuk membandingkan resistansi antar varietas, genotipe dan perlakuan dalam
suatu eksperimen.
Savary et al (2012) mengembangkan EPIRICE untuk memodelkan dan
memetakan epidemi lima penyakit utama tanaman padi pada skala global. Evaluasi
terhadap model EPIRICE hanya dilakukan dengan membandingkan hasil simulasi
5

dengan hasil observasi epidemi dalam literatur. Sehinggga, parameterisasi model


sesuai praktik pertanian dan karakteristik iklim setempat perlu dilakukan sebelum
model EPIRICE digunakan pada skala lapang (Kim et al 2015).
Evaluasi model EPIRICE yang dilakukan Savary et al (2012) menunjukkan
bahwa model tersebut mampu mensimulasikan epidemi lima penyakit utama
tanaman padi pada skala global. Kim et al (2015) yang melakukan parameterisasi
terlebih dahulu sesuai dengan praktik pertanian di Korea Selatan juga membuktikan
bahwa model EPIRICE berhasil mensimulasikan epidemiologi penyakit blas dan
hawar seludang. Sementara pada penelitian Hensawang et al (2017), model
EPIRICE hanya mampu mengestimasi waktu saat pathogen penyakit blas
menyerang. Intensitas penyakit blas tidak dapat diestimasi dengan baik oleh model
EPIRICE karena tidak adanya parameterisasi yang dilakukan terhadap varietas padi
KDML105 dan praktik pertanian di Thailand.

Skenario Proyeksi Perubahan Iklim RCPs

Representative Concentration Pathways (RCPs) merupakan sistem proyeksi


perubahan iklim berdasarkan konsentrasi CO2 di atmosfer dan radiative forcing
pada tahun 2100. RCP adalah hasil dari proyek bernama the fifth phase of Coupled
Model Intercomparison Project (CMIP5) yang disiapkan sebagai bahan evaluasi
dalam the Fifth Assessment Report (AR5) oleh Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) (Taylor et al 2012). Dibandingkan CMIP3 sebelumnya, CMIP5
telah memperhitungkan faktor sosial-ekonomi dan kebijakan politik terkait iklim
secara lebih rinci (van Vuuren et al 2011). Terdapat empat skenario dalam RCPs,
yaitu RCP2.6 atau RCP3D , RCP4.5, RCP6 dan RCP8.5, dimana angka pada setiap
skenario merupakan nilai radiative forcing yang tercapai pada tahun 2100.

Model Iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5

CSIRO-Mk3-6-0 merupakan model iklim berupa Atmosphere Ocean


Global Climate Model (AOGCM) hasil kolaborasi antara Commonwealth Scientific
and Industrial Research Organization (CSIRO) dan Queensland Climate Change
Centre of Excellence (QCCCE) dan menjadi model iklim paling komprehensif yang
pernah dikembangkan di Australia (Collier et al 2011). Komponen atmosfer
memiliki resolusi horizontal 1.9⁰×1.9⁰ dan setiap grid data atmosfer dipasangkan
dengan dua grid data lautan. CSIRO-Mk3-6-0 memperhitungkan atmosfer dengan
resolusi vertikal 18 level ketinggian dan lautan dengan 30 level kedalaman.
Dibandingkan CSIRO-Mk3-5, CSIRO-Mk3-6-0 mengalami peningkatan berupa
parameter aerosol yang berhubungan secara interaktif dengan parameter radiasi
untuk mempelajari pengaruh aerosol terhadap iklim (Collier et al 2011).
Model for Interdisciplinary Research on Climate 5 (MIROC5) merupakan
model iklim berupa AOGCM hasil kolaborasi antara Center for Climate System
Research (CCSR), Universitas Tokyo, National Institute for Environmental
Institute (NIES) dan Badan Ilmu dan Teknologi Kebumian dan Kelautan Jepang
(Watanabe et al 2010). Resolusi horizontal komponen atmosfer adalah 1.39⁰×1.39⁰,
sementara resolusi spasial komponen lautannya adalah 1⁰×1⁰. Komponen atmosfer
memiliki resolusi vertikal sebanyak 40 level ketinggian hingga 3 hPa, sementara
komponen lautan memiliki resolusi vertikal sebanyak 43 hingga 49 level kedalaman.
MIROC5 juga memadukan parameter aerosol dengan parameter radiasi dan fisika
6

awan untuk memperhitungkan dampak langsung dan tak-langsung aerosol


(Watanabe et al 2010).

METODE
Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratoriun Agrometeorologi, Departemen


Geofisika dan Meteorologi, FMIPA, IPB dimulai Januari 2018 hingga Agustus
2018. Wilayah yang dikaji dalam penelitian ini adalah Provinsi Jawa Barat.
Wilayah Sukamandi dan Cisalak di Kabupaten Subang yang menjadi wilayah
kajian Zulaika (2017) menjadi lokasi untuk mengevaluasi model EPIRICE.

Bahan

Penelitian ini menggunakan sejumlah data dari berbagai sumber. Adapun


data yang digunakan pada penelitian ini bersifat sekunder yang berasal dari hasil
reanalisis, proyeksi, dan observasi.

Tabel 1 Jenis dan Sumber Data


No Jenis Data Sumber Data
1 Data iklim harian (suhu rata-rata, suhu NASA-POWER
maksimum, suhu minimum, kelembaban relatif
(RH) dan curah hujan) reanalisis
2 Data iklim harian (suhu maksimum, suhu NASA Earth Exchange –
minimum dan fluks curah hujan) proyeksi Global Daily
perubahan iklim dengan skenario RCP4.5 dan Downscaled Climate
RCP8.5 periode 2021-2050 serta baseline Projections (NEX-
periode 1996-2005 GDDP) dengan model
iklim CSIRO-Mk3-6-0
dan MIROC5 (Trasher et
al 2012)
3 Data keparahan penyakit blas hasil observasi Zulaika (2017)
pada 10 varietas padi dari studi literatur
4 Data peta administratif wilayah kajian Badan Informasi
berformat *.shp Geospasial (BIG)
5 Kalender tanam padi sawah di wilayah kajian Kementerian Pertanian

Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah seperangkat komputer atau
laptop yang telah terpasang perangkat lunak Microsoft Office 2016, Notepad,
bahasa pemrograman R v3.4.3 yang dijalankan dengan perangkat lunak RStudio
v1.1.383, ArcGIS v10.3 dan Ocean Data View (ODV).
7

Prosedur Analisis Data

Penelitian diawali dengan pengunduhan data iklim harian reanalisis dan


proyeksi perubahan iklim, data peta administratif wilayah kajian, kalender tanam
padi untuk musim hujan 2018 dan studi literatur untuk memperoleh data keparahan
penyakit blas hasil observasi. Langkah-langkah setiap proses penelitian
digambarkan secara detail dalam bentuk diagram alir pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir penelitian

Pengunduhan Data Iklim Harian Reanalisis

Data iklim reanalisis dari NASA-POWER memiliki resolusi spasial 0.5⁰ ×


0.5⁰ dan dapat diunduh pada (power.larc.nasa.gov). Selain melalui website, data
reanalisis NASA-POWER juga dapat diunduh langsung melalui bahasa
pemrograman R dengan paket nasapower.
8

Ekstrasi dan Konversi Data netCDF

Data netCDF dari NEX-GDDP diekstrasi sesuai dengan posisi lintang dan
bujur Provinsi Jawa Barat dengan perangkat lunak ODV. Data suhu maksimum dan
minimum yang memiliki satuan Kelvin dikonversi ke dalam satuan celcius dengan
persamaan:
𝑇𝐶 = 𝑇𝐾 − 273.15
TC = suhu (⁰C)
TK = suhu (K)

Untuk menghitung suhu rataan, suhu maksimum dan suhu minimum dirata-
ratakan yang dapat dituliskan dengan persamaan:

𝑇𝑀𝐴𝑋 + 𝑇𝑀𝐼𝑁
𝑇𝐴𝑉𝐺 =
2
TAVG = suhu rataan (⁰C)
TMAX = suhu maksimum (⁰C)
TMIN = suhu minimum (⁰C)

Data fluks curah hujan yang masih dalam satuan kg/m2s dikonversi menjadi
data akumulasi curah hujan harian dalam satuan mm/hari dengan persamaan
(NCICS 2016):

1
𝑃1 = 𝑃2 × 86400 𝑠/ℎ𝑎𝑟𝑖 × 1000 𝑚𝑚/𝑚 × 𝑚3 /𝑘𝑔
1000
P1 = curah hujan (mm/hari)
P2 = curah hujan (kg/m2 s)

Data dari NEX-GDDP tidak menyediakan parameter kelembaban relatif (RH).


Untuk mengestimasikan parameter RH, digunakan dua asumsi seperti yang
dikemukakan oleh Thornton et al (2000). Asumsi pertama adalah bahwa suhu
minimum pada malam hari mendekati suhu titik embun (dewpoint temperature).
Asumsi kedua adalah suhu titik embun konstan sepanjang hari, sehingga:

𝑇𝑀𝐼𝑁 = 𝑇𝐷𝐸𝑊

TMIN = suhu minimum (⁰C)


TDEW = suhu titik embun (⁰C)

Tekanan uap jenuh dikalkulasi berdasarkan persamaan (Glassy dan Running


1994):

17.269 𝑇𝑠𝑖𝑡𝑒
𝑒𝑠𝑑 = 6.1078 exp
𝑇𝑠𝑖𝑡𝑒 + 237.3

Tsite = suhu rataan di tempat (⁰C)


esd = tekanan uap jenuh (kPa)
9

Sementara tekanan uap udara ambien dihitung dengan persamaan (Glassy dan
Running 1994):

17.269 𝑇𝐷𝐸𝑊
𝑒𝑠 = 6.1078 exp
𝑇𝐷𝐸𝑊 + 237.3

es = tekanan uap udara ambien (kPa)

Kelembaban relatif dihitung dengan persamaan (Glassy dan Running 1994):


𝑒𝑠
𝑅𝐻𝑠𝑖𝑡𝑒 = 𝑒𝑠𝑑 × 100%

RHsite = kelembaban relatif di tempat (%)

Asumsi Penelitian

Penelitian ini menggunakan beberapa asumsi. Asumsi pertama adalah


varietas padi yang ditanam di wilayah kajian selama tahun kajian adalah varietas
yang dikaji oleh model EPIRICE. Kedua, resistansi varietas tersebut terhadap
penyakit blas tidak berubah selama tahun kajian. Ketiga, penyakit blas diasumsikan
hanya dipengaruhi oleh faktor iklim. Keempat, tanggal tanam padi selama tahun
kajian tidak berubah dan sama dengan kalender tanam padi tahun 2018 yang
dikeluarkan oleh Kementerian Pertanian.

Model Epidemiologi Tanaman Padi EPIRICE

Pada modul pertumbuhan dan penuaan, pertumbuhan individu jaringan


tanaman padi dalam hal ini jumlah luasan 45 mm2 pada daun sebagai inang
pathogen P. grisea dimodelkan secara logistik dengan persamaan (Savary et al
2012):
𝑑𝐻 𝑇𝑆
= 𝑅𝐺 = 𝑅𝑅𝐺𝐻(1 − (𝑆𝑥 ))
𝑑𝑡

RRG = laju pertumbuhan individu sehat relatif (individu/(individu/hari))


H = jumlah individu yang sehat
TS = total jumlah individu
Sx = jumlah individu maksimum

Laju perubahan individu yang sehat (H) menjadi individu tua (S)
didefinisikan sebagai laju penuaan (rate of senescence) yang merupakan proses
fisiologis tanaman. Peningkatan jumlah S berbanding lurus dengan jumlah H
seiring berjalannya waktu. Laju penuaan dimodelkan dengan persamaan (Savary et
al 2012):

𝑑𝑆
= 𝑅𝑆 = 𝑅𝑅𝑆𝐻
𝑑𝑡
RS = laju penuaan (individu/hari)
RRS = laju penuaan relatif (individu/(individu/hari))
10

H = jumlah individu yang sehat

Karena penyakit blas dapat menyebabkan percepatan proses penuaan jaringan


terinfeksi, maka laju penuaan dideskripsikan dengan persamaan (Savary et al
2012):

𝑑𝑆
= 𝑅𝑆 = 𝑅𝑅 + 𝑅𝑅𝑆𝐻
𝑑𝑡
RR = laju transisi individu yang menularkan (I) menjadi individu mati
(R) (individu/hari)

Persamaan di atas mengasumsikan bahwa individu L dan I tidak terpengaruh


oleh penuaan. Penuaan akibat pertambahan umur (age-induced senescence) dan
penuaan akibat penyakit (disease-induced senescence) dapat bersifat akumulatif.
Persamaan di atas juga mengasumsikan bahwa disease-induced senescence
memiliki pengaruh yang sama dengan age-induced senescence terhadap individu
(H) dan pasca penularan (R).
Elemen utama model EPIRICE adalah laju infeksi yang dituliskan dalam
persamaan (Savary et al 2012):
𝑑𝐿
= 𝑅𝐼 = 𝑅𝑐 𝐼𝐶 𝑎
𝑑𝑡

RI = laju infeksi (individu/hari)


Rc = laju infeksi dasar (individu/hari)
I = jumlah individu penyakit dalam tahap laten
C = proporsi H terhadap total individu
a = koefisien agregasi penyakit

Savary et al (2012) melakukan simplifikasi parameter terhadap pengaruh


cuaca, yaitu suhu, kelembaban relatif (RH) dan curah hujan. Suhu dianggap hanya
mempengaruhi nilai Rc saja, walaupun diketahui bahwa suhu mempengaruhi durasi
tahap latensi (p) dan durasi tahap penularan (i). RH dan curah hujan dianggap tidak
mempengaruhi perkembangan penyakit, walaupun sebenarnya RH diketahui
memiliki pengaruh. Pengaruh RH dan curah hujan dikombinasikan ke dalam
parameter kebasahan kanopi. Kebasahan kanopi terjadi jika kelembaban udara
relatif (RH) melebihi 90% atau curah hujan yang turun lebih dari 5 mm. Sama
seperti suhu, parameter epidemiologi p dan I juga diabaikan pada pengaruh umur
tanaman dan hanya mempengaruhi Rc.

Laju infeksi dasar dapat dikalkulasi dengan persamaan (Savary et al 2012):

𝑅𝑐 = 𝑅𝑐𝑂𝑝𝑡 × 𝑅𝑐𝐴 × 𝑅𝑐𝑇 × 𝑅𝑐𝑊

Rc = laju infeksi dasar (individu/(individu/hari))


RcOpt = laju infeksi dasar berdasarkan varietas (individu/(individu/hari))
RcA = laju infeksi dasar berdasarkan umur tanaman
(individu/(individu/hari))
RcT = laju infeksi dasar berdasarkan suhu (individu/(individu/hari))
11

RcW = laju infeksi dasar berdasarkan kebasahan kanopi


(individu/(individu/hari))

Keparahan penyakit (disease severity) dikalkulasi dengan persamaan (Savary


et al 2012):

𝐷−𝑅
𝑌= × 100
𝑇𝑆 − 𝑅
Y = keparahan penyakit (%)
D = jumlah individu yang terserang pathogen
R = jumlah individu pasca pasca-penularan
TS = jumlah total individu

Evaluasi model

Untuk mengevaluasi model, nilai keparahan penyakit harian hasil luaran


EPIRICE diakumulasikan sesuai dengan hari pengamatan dalam literatur. Nilai
keparahan penyakit blas akumulatif hasil simulasi model EPIRICE dibandingkan
dengan data keparahan penyakit blas hasil observasi pada 10 varietas padi di dua
lokasi dari dalam literatur. Model dievaluasi menggunakan metode statistik, yaitu
Root Mean Square Error (RMSE) dan koefisien korelasi. RMSE umum digunakan
untuk mengukur perbedaan antara hasil observasi dengan hasil model (Hansewang
et al 2017). Koefisien korelasi melambangkan hubungan keeratan antara luaran
model dengan hasil observasi.

Konversi Point to Raster

Data keparahan penyakit hasil luaran model EPIRICE dijumlahkan mulai dari
awal musim tanam hingga akhir musim tanam. Nilai akumulasi tersebut dikenal
dengan istilah Area Under Disease Progress Curve (AUDPC) yang merangkum
perkembangan epidemi suatu penyakit tanaman. Nilai AUDPC tersebut disusun
berdasarkan letak lintang dan bujurnya kemudian disimpan dalam format .csv
menggunakan Ms. Excel. Untuk melihat selisih potensi serangan penyakit blas pada
periode 2021-2050 dengan periode baseline, maka nilai AUDPC periode 2021-
2050 dikurangkan dengan nilai AUDPC periode baseline. Data tersebut kemudian
dimasukkan ke dalam perangkat lunak ArcGIS untuk selanjutnya dikonversi
membentuk data raster dengan resolusi sesuai dengan data NEX-GDDP
(0.25⁰×0.25⁰) menggunakan fungsi Point to Raster.
12

HASIL DAN PEMBAHASAN


Deskripsi Wilayah Kajian

Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Pulau Jawa yang secara
geografis terletak pada 5⁰ 54’ - 7⁰ 50’ LS dan 106⁰ 24’ - 108⁰ 48’ BT. Luas total
wilayah Provinsi Jawa Barat adalah 35,377.66 km2 yang secara administratif
terbagi menjadi 18 kabupaten dan 9 kota (BPS Jabar 2017). Topografi wilayah Jawa
Barat antara lain berupa dataran rendah di utara dengan ketinggian 0-100 m di atas
permukaan laut (dpl), lereng bukit yang landai pada bagian tengah dengan
ketinggian 100-1500 mdpl dan pegunungan di bagian selatan dengan ketinggian
lebih dari 1500 mdpl.
Keragaman topografi di wilayah Jawa Barat berdampak pada bervariasinya
iklim yang ada di Jawa Barat. Berdasarkan data Badan Meteorologi, Klimatologi
dan Geofisika, wilayah bagian utara yang berupa dataran rendah memiliki suhu
rata-rata sekitar 27⁰C, wilayah dataran tinggi memiliki suhu rata-rata sekitar 23⁰C,
dan wilayah pegunungan dengan suhu rata-rata sekitar 21⁰ C. Wilayah Jawa Barat
memiliki curah hujan tahunan yang tinggi, yaitu lebih dari 2000 mm. Aldrian dan
Susanto (2003) mengelompokkan wilayah Jawa Barat ke dalam wilayah A yang
memiliki pola curah hujan bulanan dengan satu puncak dan satu lembah. Curah
hujan maksimum terjadi pada bulan Desember atau Januari sementara curah hujan
minimum terjadi pada bulan Juli atau Agustus.
Sukamandi adalah sebuah desa di Kecamatan Ciasem, Kabupaten Subang.
Desa ini terletak pada 6⁰20’42” LS dan 107⁰39’54” BT dengan elevasi kurang dari
250 mdpl. Kecamatan Cisalak juga terletak di Kabupaten Subang yang secara
astronomis terletak pada 6⁰46’12” LS dan 107⁰45’ BT dengan elevasi 500-750 mdpl.

Perkembangan Penyakit Blas Berdasarkan Model Epidemiologi EPIRICE

Model EPIRICE menghasilkan luaran grafik perkembangan penyakit blas


daun berbentuk unimodal yang menjadi karakteristik epidemiologi penyakit blas
daun (Savary et al 2012). Setelah melalui periode onset atau awal kejadian penyakit,
penyakit blas berkembang dengan cepat hingga mencapai nilai maksmimumnya
pada periode tillering. Setelah mencapai nilai maksimumnya, nilai keparahan
penyakit blas menurun dengan cepat hingga akhir usia tanaman. Penurunan tersebut
disebabkan oleh berkembangnya sifat resistansi tanaman. Resistansi pada jaringan
daun yang baru berkembang seiring dengan waktu dan jaringan daun yang lama
mampu mengembangkan sifat tersebut lebih dini (Baastians et al 1993).
13

Gambar 3 Grafik perkembangan penyakit di Sukamandi

Gambar 4 Grafik perkembangan penyakit di Cisalak

Model EPIRICE menunjukkan hasil simulasi yang berbeda pada dua lokasi
(Gambar 3 dan 4). Keparahan penyakit maksimum pada pengamatan Sukamandi
tercapai pada 60 hari setelah semai (HSS) dengan nilai sebesar 0.3%. Sedangkan
pada pengamatan Cisalak, nilai keparahan penyakit maksimum adalah 1.4% yang
dicapai pada 63 HSS. Hal ini menunjukkan bahwa daerah Cisalak yang terletak
pada dataran tinggi lebih rawan mengalami serangan penyakit blas daun. Wilayah
Sukamandi yang terletak pada ketinggian kurang dari 250 mdpl memiliki suhu
tinggi yang tidak mendukung perkembangan penyakit blas (Zulaika 2017). Model
EPIRICE mensimulasikan onset epidemi penyakit pada kedua lokasi terjadi pada
hari yang sama, yaitu pada 17 HSS.

Evaluasi Model EPIRICE

Hasil observasi keparahan penyakit dari Zulaika (2017) di lapangan


menunjukkan bahwa penyakit blas pada lima varietas padi di wilayah Sukamandi
berkembang pesat dengan selisih yang signifikan pada semua selang waktu
(Gambar 5). Sedangkan hasil akumulasi dari nilai keparahan penyakit harian model
EPIRICE menunjukkan adanya perlambatan perkembangan penyakit antara 60 hari
setelah tanam (HST) hingga 90 HST. Hal ini disebabkan oleh berkembangnya
14

resistansi tanaman dan cendawan penyakit blas yang mulai bertransisi menginfeksi
bagian leher tanaman padi (Baastians et al 1993).

Gambar 5 Grafik perbandingan keparahan penyakit akumulatif di Sukamandi. Garis


merah: luaran EPIRICE; hijau: IR64; biru: Sintanur; hitam: Mekongga; coklat:
Situbagendit; ungu: Inpara 3.

Kemampuan resistansi suatu varietas padi terhadap penyakit blas merupakan


salah satu komponen di dalam model EPIRICE yang diwakili oleh parameter laju
infeksi dasar (Rc). Secara default, model EPIRICE hanya mengandung laju infeksi
dasar untuk varietas IR64 (Savary et al 2012). Sehingga, model EPIRICE mampu
mengestimasikan keparahan penyakit pada varietas IR64 dengan baik, kecuali pada
60 HST dimana terdapat selisih nilai keparahan penyakit antara model dengan
observasi. Selain IR64, model EPIRICE ternyata juga mampu mengestimasikan
keparahan penyakit blas pada varietas Situbagendit dengan cukup baik. Sementara
untuk varietas Sintanur dan Inpara 3, hasil luaran model EPIRICE mengalami
under-estimate. Model EPIRICE juga tidak mampu mengestimasi keparahan
penyakit blas pada varietas Mekongga, dimana saat 30 HST dan 60 HST mengalami
over-estimate, sedangkan pada 90 HST mengalami under-estimate.
Berdasarkan hasil observasi Zulaika (2017), diketahui bahwa kelima varietas
padi yang diujicobakan memiliki kemampuan resistansi terhadap penyakit blas
yang berbeda-beda (Gambar 5). Varietas IR64 dan Situbagendit memiliki resistansi
yang lebih baik terhadap penyakit blas dibanding varietas Mekongga, Sintanur dan
Inpara 3. Selain itu, parameterisasi terhadap model EPIRICE terutama pada
parameter laju infeksi dasar untuk varietas Mekongga, Sintanur dan Inpara 3
diperlukan supaya model EPIRICE mampu mengestimasikan keparahan penyakit
blas pada ketiga varietas tersebut. Nilai parameter laju infeksi dasar setiap varietas
diperoleh dari pengujian fitopatologis dalam laboratorium (Hensawang et al 2017).
Wilayah Cisalak lebih rentan mengalami serangan penyakit blas
dibandingkan wilayah Sukamandi berdasarkan nilai keparahan penyakitnya
(Gambar 6). Hal ini disebabkan wilayah Cisalak yang terletak di dataran tinggi
memiliki suhu lebih rendah yang optimum bagi perkembangan penyakit blas.
Varietas yang paling rentan terserang penyakit blas adalah varietas Agay dan
Ciherang yang pada saat 90 HST memiliki nilai keparahan penyakit masing-masing
sebesar 37% dan 37%. Sedangkan varietas yang memiliki resistansi terbaik adalah
15

varietas Cibentang yang hanya mengalami keparahan penyakit sebesar 20.5%


hingga 90 HST.

Gambar 6 Grafik perbandingan keparahan penyakit akumulatif di Cisalak. Garis merah:


luaran EPIRICE; hijau: IR77; biru: Unggul; hitam: Cibentang; coklat: Agay; ungu:
Ciherang

Suganda et al (2016) menyatakan bahwa varietas Ciherang merupakan salah


satu varietas yang rentan terhadap penyakit blas. Hal ini terlihat dari nilai keparahan
penyakit hasil observasi yang tinggi, dimana nilai tersebut dapat diestimasi dengan
baik oleh model EPIRICE. Selain varietas Ciherang, model EPIRICE juga mampu
mengestimasikan nilai keparahan penyakit varietas Agay dengan baik, terutama
pada 60 HST. Luaran model EPIRICE mengalami under-estimate pada 30 HST dan
over-estimate pada 90 HST dengan selisih yang kecil. Model EPIRICE tidak
mampu mengestimasikan keparahan penyakit pada varietas IR77, Unggul dan
Cibentang dengan baik. Luaran model EPIRICE mengalami under-estimate dengan
selisih kecil pada 30 HST. Sebaliknya pada 60 dan 90 HST, model justru
mengalami over-estimate dengan selisih yang besar. Sama seperti pengujian lima
varietas padi di Sukamandi, parameterisasi terhadap parameter laju infeksi dasar
dalam model EPIRICE pada varietas IR77, Unggul dan Cibentang juga diperlukan
karena ketiga varietas tersebut memiliki resistansi terhadap penyakit blas yang lebih
baik.
Tabel 2 Nilai hasil uji statistik model terhadap nilai KP observasi
Varietas RMSE Koefisien Korelasi
IR64 2.73 0.742
Situbagendit 2.05 0.846
Sintanur 5.5 0.846
Inpara 3 7.5 0.928
Mekongga 4.1 0.806
IR77 7.98 0.992
Unggul 17.24 0.92
Cibentang 18.72 0.883
Agay 3.9 0.990
Ciherang 3.58 0.992
16

Evaluasi model dengan beberapa metode statistik dilakukan untuk menguji


kemampuan model. Uji statistika diperlukan untuk menunjukkan keandalan sebuah
model (Hensawang et al 2017). Nilai RMSE terkecil terdapat pada pengujian
terhadap varietas Situbagendit untuk pengujian di Sukamandi dan varietas Ciherang
untuk pengujian di Cisalak. Nilai RMSE yang kecil tersebut mengindikasikan
bahwa model EPIRICE mampu mengestimasikan keparahan penyakit blas dengan
baik pada kedua varietas tersebut. Berdasarkan nilai RMSE pula, model EPIRICE
tidak mampu mengestimasikan keparahan penyakit blas dengan baik pada varietas
Inpara 3, Cibentang dan Unggul. Secara keseluruhan, luaran model EPIRICE
berhubungan sangat erat dengan nilai keparahan penyakit hasil observasi baik di
Sukamandi maupun di Cisalak. Hal ini ditunjukkan dari nilai koefisien korelasi (r)
yang sangat tinggi pada semua varietas padi yang diujicobakan. Namun, uji statistik
dengan data observasi lebih banyak perlu dilakukan untuk mengevaluasi model
dengan lebih baik.

Analisis Spasial Potensi Epidemi Penyakit Blas

Analisis Potensi Epidemi Penyakit Blas Periode Baseline


Estimasi dampak kenaikan suhu global terhadap epidemi penyakit blas
merupakan informasi yang sangat penting untuk memprediksi perkembangan
penyakit dan untuk menyusun strategi penanggulangan penyakit blas (Luo et al
1998). Potensi epidemi penyakit blas dikaji berdasarkan parameter AUDPC yang
merangkum keparahan penyakit selama tanaman hidup.

Gambar 7 AUDPC spasial penyakit blas periode baseline CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5
di Provinsi Jawa Barat

Selama periode baseline, potensi epidemi penyakit blas terbilang berada


pada tingkat yang rendah, baik berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 maupun
MIROC5. Nilai AUDPC rata-rata seluruh daerah di Provinsi Jawa Barat
berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 berturut-turut adalah
5.5%.hari dan 5%.hari.
Kedua model iklim menunjukkan daerah dengan potensi serangan tertinggi
yang sama, yaitu pada bagian selatan Kabupaten Bandung dan bagian selatan Kota
Garut dengan nilai AUDPC maksimum sebesar 19%.hari dan 21%.hari berdasarkan
model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 berturut-turut (Gambar 7). Tingginya
potensi epidemi penyakit blas pada kedua daerah tersebut karena letaknya yang
berada di dataran tinggi yang beriklim lebih dingin yang optimum bagi
17

perkembangan patogen penyakit blas. Potensi serangan penyakit blas di daerah


sentra produksi padi meliputi Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang dan
Kabupaten Indramayu tergolong rendah.

Proyeksi Potensi Epidemi Penyakit Blas periode 2021-2050 dengan Skenario


Perubahan Iklim RCP4.5

Skenario perubahan iklim RCP4.5 memproyeksikan adanya beberapa


kebijakan pro-iklim seperti valuasi vegetasi alam dan program reforestasi (Van
Vuuren et al 2011). Konsentrasi CO2 dan radiative forcing pada tahun 2100
berdasarkan proyeksi RCP4.5 adalah 650 ppm dan 4.5 W/m2, diikuti stabilisasi
kondisi iklim setelah periode tersebut. Rogelj et al (2012) menyatakan bahwa besar
kenaikan suhu udara global yang diproyeksikan skenario RCP4.5 adalah sebesar
2.0-3.0⁰C pada tahun 2100.

Tabel 3 Rata-rata dan standar deviasi AUDPC pada skenario perubahan iklim RCP4.5
Model Iklim CSIRO-Mk3-6-0 MIROC5
Periode Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Deviasi
2021-2030 5.6 4.9 6 4.7
2031-2040 4.8 4.2 5.3 4.6
2041-2050 3.2 2.4 3.7 3

Berdasarkan skenario perubahan iklim RCP4.5, rata-rata nilai AUDPC


seluruh Jawa Barat selama tahun 2021 hingga tahun 2050 berada pada tingkat yang
rendah (Tabel 3). Nilai AUDPC rata-rata yang rendah tersebut menunjukkan bahwa
serangan penyakit blas di wilayah Jawa Barat tidak menimbulkan kerusakan atau
kerugian yang besar dalam kurun 30 tahun mendatang. Nilai AUDPC rata-rata
sepuluh tahunan juga mengalami penurunan antar periodenya. Selain itu, nilai
standar deviasi dari AUDPC menunjukkan bahwa potensi serangan penyakit blas
di Jawa Barat sangat bervariasi antar wilayah dan waktu. Hal ini disebabkan
keragaman topografi dan iklim di wilayah Jawa Barat.
18

Gambar 8 AUDPC spasial penyakit blas periode 2021-2030; 2031-2040; 2041-2050


berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario perubahan
iklim RCP4.5

Potensi serangan penyakit blas tertinggi di wilayah Jawa Barat adalah di


Kabupaten Bandung bagian selatan dan Kota Garut yang memiliki iklim dengan
suhu lebih rendah (Gambar 8). Potensi serangan di Kabupaten Cianjur, perbatasan
Kabupaten Majalengka dengan Kabupaten Kuningan, Kabupaten Bandung bagian
utara, Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bogor bagian barat juga harus
diwaspadai. Ketiga daerah sentra produksi padi diproyeksikan hanya mengalami
serangan penyakit blas pada tingkat yang rendah berdasarkan dua model iklim yang
digunakan.

25

20
AUDPC (%.hari)

15

10

0
2021 2024 2027 2030 2033 2036 2039 2042 2045 2048
Tahun
CSIRO Mk3-6-0 MIROC5
Linear (CSIRO Mk3-6-0) Linear (MIROC5)
Gambar 9 Grafik AUDPC Penyakit Blas di Jawa Barat berdasarkan model iklim CSIRO-
Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario perubahan iklim RCP4.5
19

Terdapat tren penurunan potensi serangan penyakit blas di Jawa Barat


selama dalam rentang tahun 2021-2050 (Gambar 9). Adanya tren penurunan
tersebut disebabkan oleh peningkatan suhu, sehingga keadaan iklim tidak lagi
optimum untuk perkembangan epidemi penyakit blas.
Selama kurun waktu 2021-2050, terdapat tahun-tahun tertentu dimana
terjadi ledakan (outbreak) serangan penyakit blas di Jawa Barat yang ditunjukkan
dari peningkatan nilai AUDPC yang signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya
(Gambar 9). Kejadian outbreak tersebut teramati di hampir seluruh wilayah Jawa
Barat. Berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0, outbreak terjadi pada tahun 2028
dengan AUDPC rata-rata 12%.hari dan pada tahun 2035 dengan AUDPC rata-rata
9%.hari. Sementara berdasarkan model iklim MIROC5, kejadian outbreak terjadi
pada tahun 2030 dengan AUDPC rata-rata 24%.hari dan pada tahun 2036 dengan
AUDPC rata-rata 17%.hari. Outbreak tersebut terjadi karena adanya variabilitas
iklim berupa peningkatan intensitas dan frekuensi curah hujan melebihi keadaan
normalnya, sehingga kanopi tanaman padi berada pada kondisi basah
berkepanjangan. El-Rafaei (1977) menyatakan bahwa infeksi penyakit blas
meningkat seiring durasi kebasahan kanopi. Kondisi basah yang lebih lama
menyebabkan lapisan film di atas permukaan daun dan mempermudah penetrasi
pathogen P. grisea (Zulaika 2017).

Proyeksi Potensi Epidemi Penyakit Blas periode 2021-2050 dengan Skenario


Perubahan Iklim RCP8.5

Skenario perubahan iklim RCP8.5 merupakan skenario dengan konsumsi


energi paling intensif dibanding tiga skenario lain akibat pertumbuhan populasi
yang tinggi dan laju pengembangan teknologi ramah lingkungan yang lamban (Van
Vuuren et al 2011). Selain itu, skenario RCP8.5 juga merupakan skenario dengan
kebijakan pro-iklim paling sedikit dan emisi tertinggi yang membawa konsekuensi
pada konsentrasi CO2 1370 ppm dan radiative forcing 8.5 W/m2 dengan kenaikan
suhu udara global sekitar 4.0-6.1⁰C pada tahun 2100 (Rogelj et al 2012).

Tabel 4 Rata-rata dan standar deviasi AUDPC pada skenario perubahan iklim RCP8.5
Model Iklim CSIRO-Mk3-6-0 MIROC5
Periode Rata-rata Standar Deviasi Rata-rata Standar Deviasi
2021-2030 4.8 4.1 4.5 3.6
2031-2040 6.6 6.4 3.5 2.6
2041-2050 3.9 3.2 4 3.3

Simulasi model EPIRICE dengan skenario perubahan iklim RCP8.5 juga


menunjukkan bahwa penyakit blas bukan merupakan ancaman serius bagi produksi
padi di Jawa Barat. Hal ini terlihat dari nilai rata-rata AUDPC sepuluh tahunan yang
rendah selama 2021-2030 berdasarkan dua model iklim yang digunakan (Tabel 4).
Dibandingkan skenario RCP4.5, rata-rata AUDPC sepuluh tahunan pada skenario
RCP8.5 berfluktuasi, hal ini disebabkan adanya beberapa kali outbreak sepanjang
periode 2021-2050 pada skenario RCP 8.5. Sama halnya RCP4.5, nilai standar
deviasi AUDPC yang tinggi menunjukkan bahwa potensi serangan penyakit blas
pada skenario RPC8.5 sangat bervariasi antar wilayah dan antar tahun.
20

Gambar 10 AUDPC spasial penyakit blas periode 2021-2030; 2031-2040; 2041-2050


berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario perubahan
iklim RCP8.5

Kabupaten Bandung bagian selatan dan Kota Garut masih menjadi daerah
dengan potensi serangan penyakit blas tertinggi di seluruh Jawa Barat (Gambar 10).
Selain di dua daerah tersebut, potensi serangan penyakit blas di daerah lain seperti
Kabupaten Cianjur bagian tengah, perbatasan Kabupaten Majalengka dengan
Kabupaten Kuningan, Kabupaten Bandung bagian utara, Kabupaten Tasikmalaya
bagian utara dan Kabupaten Bogor bagian barat juga harus diwaspadai. Skenario
perubahan iklim RCP8.5 juga menunjukkan potensi serangan yang rendah di daerah
sentra produksi padi berdasarkan model iklim CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5.
21

25

20

AUDPC (%.hari)
15

10

0
2021 2024 2027 2030 2033 2036 2039 2042 2045 2048
Tahun
CSIRO Mk3-6-0 MIROC5
Linear (CSIRO Mk3-6-0) Linear (MIROC5)

Gambar 11 Grafik AUDPC Penyakit Blas di Jawa Barat berdasarkan model iklim
CSIRO-Mk3-6-0 dan MIROC5 dengan skenario perubahan iklim RCP8.5

Seperti yang terjadi pada skenario RCP4.5, potensi serangan penyakit blas
pada skenario RCP8.5 di Jawa Barat juga mengalami tren penurunan seiring dengan
waktu (Gambar 11). Adanya kejadian outbreak penyakit blas juga teridentifikasi
pada tahun-tahun tertentu dalam skenario perubahan iklim RCP8.5 ini (Gambar 11).
Pada analisis menggunakan model iklim CSIRO-Mk3-6-0, terjadi outbreak pada
tiga tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 2030 dengan AUDPC rataan 10.4%.hari,
tahun 2031 dengan AUDPC rataan 11.5%.hari dan tahun 2032 dengan AUDPC
rataan 17.3%.hari. Outbreak juga terjadi pada tahun 2036 dengan AUDPC rataan
10.1%.hari dan tahun 2041 dengan AUDPC rataan 9.8%.hari. Sementara outbreak
pada model iklim MIROC5 terjadi pada tahun 2021 dengan AUDPC rataan
11.6%.hari, tahun 2030 dengan AUDPC rataan 9.7%.hari, tahun 2035 dengan
AUDPC rataan 9%.hari dan tahun 2046 dengan AUDPC rataan 11.5%.hari. Sama
halnya dengan outbreak yang teramati pada skenario RCP 4.5, outbreak pada
skenario RCP8.5 ini juga disebabkan adanya variabilitas iklim berupa peningkatan
intensitas dan frekuensi curah hujan melebihi normal. Salah satu variabilitas iklim
yang menyebabkan peningkatan intensitas dan frekuensi curah hujan adalah La-
Ñina. Cai et al (2015) menyatakan bahwa frekuensi kejadian La Ñina mengalami
peningkatan akibat pemanasan global.

Perbandingan Potensi Epidemi Penyakit Blas antara Periode 2021-2050


dengan Periode Baseline

Lopez et al (2012) menyatakan bahwa perubahan iklim akan menimbulkan


pergeseran zona agroklimat yang berimplikasi pada perubahan sebaran pathogen
beserta tanaman inangnya. Peningkatan suhu udara serta perubahan pola curah
hujan dapat menyebabkan serangan penyakit yang parah karena kondisi iklim
menjadi optimum bagi perkembangan epidemi penyakit tersebut. Sebaliknya,
perubahan iklim juga dapat menekan epidemi penyakit pada sebagian pathogen
yang tidak toleran terhadap suhu yang tinggi.
22

Gambar 12 Selisih AUDPC periode 2021-2050 dengan baseline secara spasial

Potensi serangan penyakit blas di Jawa Barat mengalami penurunan akibat


perubahan iklim (Gambar 12). Hasil ini sesuai dengan penelitian Luo et al (1998)
yang menyatakan bahwa keparahan penyakit blas di Filipina dan Thailand
berkurang akibat adanya peningkatan suhu. Duku et al (2015) yang mensimulasikan
dampak perubahan iklim terhadap epidemiologi penyakit blas di Tanzania juga
mendapatkan hasil serupa. Adanya peningkatan suhu udara menyebabkan kondisi
iklim tidak optimum bagi perkembangan epidemi penyakit blas.
Penurunan potensi serangan penyakit blas pada analisis dengan skenario
perubahan iklim RCP8.5 lebih besar dibandingkan analisis dengan skenario
perubahan iklim RCP4.5. Skenario perubahan iklim RCP8.5 memproyeksikan
radiative forcing dan peningkatan suhu lebih tinggi dibanding empat skenario lain.
Sehingga, kondisi iklim berdasarkan RCP8.5 sangat tidak menguntungkan bagi
perkembangan penyakit blas. Hasil ini sesuai dengan penelitian Kim et al (2015) di
Korea Selatan yang juga menunjukkan penurunan potensi serangan penyakit blas
pada skenario RCP8.5 lebih besar dibanding RCP4.5 berdasarkan model iklim
HadGEM2-AO.
23

SIMPULAN DAN SARAN


Simpulan

Potensi serangan penyakit blas (P. grisea) di Jawa Barat selama tahun 2021-
2050 mengalami penurunan dibanding periode baseline akibat peningkatan suhu
udara. Daerah Kabupaten Bandung bagian selatan dan Kota Garut memiliki potensi
serangan penyakit blas tertinggi di Jawa Barat. Walaupun potensi serangan penyakit
blas menurun, terdapat tahun-tahun tertentu dimana terjadi outbreak serangan
akibat variabilitas iklim yaitu peningkatan frekuensi dan intensitas curah hujan.
Dibandingkan skenario RCP4.5, penurunan potensi serangan penyakit blas
berdasarkan skenario RCP8.5 lebih besar.

Saran
Simulasi epidemi penyakit blas pada musim tanam lain perlu dilakukan,
karena model EPIRICE sangat sensitif terhadap perbedaan masa tanam. Selain itu,
analisis potensi serangan secara spasial dapat dilakukan di daerah lain dengan skala
lebih luas. Evaluasi luaran model dengan jumlah data keparahan penyakit blas hasil
observasi lebih banyak perlu dilakukan untuk mengetahui secara tepat kemampuan
model dalam mengestimasikan keparahan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA
Ahn S, Kim Y, Hong H, Han S, Kwon S, Choi H, Moon H, McCouch S. 2000.
Molecular mapping of a new gene resistance to rice blast (Pyricularia grisea
Sacc.). Euphytica. 116:17-22.
Aldrian E, Susanto RD. 2003. Identification of three dominant rainfall regions
within Indonesia and their relationship to sea surface temperature.
International Journal of Climatology. 23: 1435-1452.
Bastiaans L, Rabbinge R, Zadoks JC. 1994. Understanding and modelling leaf blast
effects on crop physiology and yield. Dalam Zeigler RS, Leong SA, Teng PS,
(Ed.). Rice Blast Disease. Los Banos (PH): International Rice Research
Institute.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Produksi padi, jagung, dan kedelai [Internet]
[diunduh 2018 Januari 30]. Tersedia pada: http://www.bps.go.id.
[BPS Jabar] Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. 2017. Jawa Barat dalam
Angka [Internet] [diunduh 2018 Agustus 16]. Tersedia pada:
https://jabar.bps.go.id/publication/2017/08/12/62379e17bcc20052a7991d35/
provinsi-jawa-barat-dalam-angka-2017.html
[Ditlin] Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2005. Rencana Strategis
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan Tahun 2005-2009. Jakarta (ID):
Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Cai W et al. 2015. Increased frequency of extreme La Ñina events under greenhouse
warming. Nature Climate Change. 5: 132-137.
Collier MA et al. 2011. The CSIRO-Mk3.6.0 Atmosphere-Ocean GCM:
participation in CMIP5 and data publication. Makalah. Dalam: 19th
International Congress on Modelling and Simulation, Perth, 12-16 Desember.
24

Duku C, Sparks AH, Zwart SJ. 2015. Spatial modelling of rice yield losses in
Tanzania due to bacterial leaf blight and leaf blast in a changing climate.
Climatic Change.
El-Rafaei MI. 1977. Epidemiology of rice blast disease in the tropics with special
reference to the leaf wetness in relation to disease development [disertasi].
New Delhi (IN): Indian Agricultural Research Institute.
Glassy JM, Running SW. 1994. Validating diurnal climatology logic of the MT-
CLIM model across a climate gradient in Oregon. Ecological Application.
4(2): 248-257.
Hansewang S, Wangwongchai A, Humphries U, Bunsri T. 2017. Simulation of
severity of rice blast disease in Prachin Buri using plant disesase
epidemiological model: simulation of rice blast disease. Makalah. Dalam:
The 22nd Annual Meeting in Mathematics (AMM 2017), Chiang Mai, 2-4 Juni.
Kahmann R, Basse C. 1997. Signalling and development in pathogenic fungi – New
Strategies for Plant Protection. Trends in Plant Science. 2:366-367.
Kim KH, Cho J, Lee YH, Lee WS. 2015. Predicting potential epidemics of rice
blast and sheath blight in South Korea under RCP4.5 and RCP8.5 climate
change scenarios using rice diseases epidemiology model, EPIRICE.
Agricultural and Forest Meteorology. 203: 191-207.
Lopez RY, Torres PI, Guevara RG, Hernandez MI, Carranza JA, Garcia ER. 2012.
The effect of climate change on plant diseases. African Journal of
Biotechnology. 11(10): 2417-2428.
Luo Y, TeBeest DO, Teng PS, Fabellar NG. 1995. Simulation studies on risk
analysis of rice leaf blast epidemics associated with global climate change in
several Asian countries. Journal of Biogeography. 22: 673-678.
Luo Y, Teng PS, Fabellar NG, TeBeest DO. 1998. The effects of global temperature
change on rice leaf blast epidemics: a simulation study in three agroecological
zones. Agriculture, Ecosystems and Environment. 68(1998): 187-196.
Madden LV, Hughes G, van den Bosch F. 2007. The Study of Plant Disease
Epidemics. St. Paul (US): The American Phytopathological Society.
[NCICS] North Carolina Institute for Climate Studies. 2016. Precipitation climate
data record. Experimental NCEI/Climate Data Records obs4MIPSs Datasets.
https://ncics.org/ncics/pdfs/obs4MIPs/Obs4MIPs%20PERSIANN-
CDR%20Technical%20Note%20v0-3.pdf . (2018 Oktober 6)
Ou SH. 1985. Rice Diseases. Surrey (UK): Commonwealth Mycological Institute.
Padmanabhan SY. 1967. Blast disease of rice. Pest Articles and News
Reviews. 13(1): 62-69.
Ramli M. 2000. Ketahanan dan dinamika ketahanan selama pertumbuhan beberapa
genotipe padi terhadap blas daun dan blas leher malai [tesis]. Bogor (ID):
Institut Pertanian Bogor.
Rajput LS, Sharma T, Madhusudhan P, Sinha P. 2017. Effects of temperature on
growth and sporulation of rice blast disease pathogen Magnaporthe oryzae.
International Journal of Current Microbiology and Applied Science. 6(3):
394-401.
Rogelj J, Meinshausen M, Knutti R. 2012. Global warming under old and new
scenarios using IPCC climate sensitivity range estimates. Nature Climate
Change. 2: 248-253.
25

Santoso, A. Nasution. 2008. Pengendalian penyakit blas dan penyakit cendawan


lainnya. Buku Padi 2. hlm. 531-563. Dalam Darajat A, Setyono, A, Makarim
A dan Hasanuddin A, (Ed.). Padi Inovasi Teknologi. Subang (ID): Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi.
Savary S, Nelson A, Willocquet L, Pangga I, Aunario J. 2012. Modelling and
mapping potential epidemics of rice diseases globally. Crop Protection. 34:
6-17.
Shahjahan AKM, Duve T, Bonman JM. 1987. Climate and rice diseases. Dalam:
Weather and Rice. Prosiding. International Workshop on The Impact of
Weather Parameters on Growth and Yield of Rice, Los Banos, 7-10 April. Los
Banos (PH): International Rice Research Institute.
Sudir, Nasution A, Santoso, Nuryanto B. 2014. Penyakit blas Pyricularia grisea
pada tanaman padi dan strategi pengendaliannya. IPTEK Tanaman Pangan.
9(2): 85-96.
Suganda T, Widiantini F, Yulia E. 2016. Intensitas penyakit blas (Pyricularia
oryzae Cav.) pada padi varietas Ciherang di lokasi endemik dan pengaruhnya
terhadap kehilangan hasil. Jurnal Agrikultura. 27(3): 154-159.
Taylor KE, Stouffer RJ, Meehl GA. 2012. An overview of CMIP5 and experimental
design. Bulletin of American Meteorological Society. 93: 485-498.
Thornton PE, Hasenauer H, White MA. 2000. Simulataneous estimation of daily
solar radiation and humidity from observed temperature and precipitation: an
application over complex terrain in Austria. Agricultural and Forest
Meteorology. 104: 255-271.
Thrasher B, Maurer EP, McKellar C, Duffy PB. 2012. Technical note: bias
correcting climate model simulated daily temperature extremes with quantile
mapping. Hydrology and Earth System Sciences. 16(9): 3309-3314.
Utami DW, Aswidinnoor H, Moeljoprawiro S, Hanarida I, Reflinur. Pewarisan
ketahanan penyakit blas (Pyricularia grisea Sacc.) pada persilangan padi
IR64 dengan Oryza rufipogon Griff. Hayati. 13(3): 107-112.
Van der Plank JE. 1965. Dynamics of epidemics of plant diseases. Science. 147:
120-124.
Van Vuuren et al. 2011. The representative concentration pathways: an overview.
Climatic Change. 109: 5-31.
Wang X, Lee S, Wang J, Ma J, TracyBianco, Jia Y. 2014. Current Advances on
Genetic Resistance to Rice Blast Disease, Rice - Germplasm, Genetics and
Improvement, Dr. Wengui Yan (Ed.), InTech, DOI: 10.5772/56824.
[Internet]. Tersedia pada: https://www.intechopen.com/books/rice-
germplasm-genetics-and-improvement/current-advances-on-genetic-
resistance-to-rice-blast-disease
Watanabe M et al. 2010. Improved climate simulation by MIROC5: mean states,
variability and climate sensitivity. Journal of Climate. 23: 6312-6335.
Ziegler, RS. 1998. Recombination in Magnaporthe grisea. Annual Review of
Phytopathology. 36:249-275.
Zulaika. 2017. Pemodelan keparahan penyakit blas (Pyricularia oryzae Cav.) pada
tanaman padi di Kabupaten Subang [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
26

Lampiran 1 Parameter fisiologi penyakit blas (Pyricularia grisea) pada daun

Parameter Simbol Nilai


Individu Ukuran individu 45 mm2
Individu maksimum 30000
(Sx)
Pertumbuhan tanaman RRG 0.1
RRS 0.01
Onset epidemi HST 15 HST
Durasi P 5
i 20
Laju infeksi rl 0.28
RcOpt 1.14
Dampak umur tanaman RcA Penurunan seiring
pertambahan usia
Dampak suhu RcT Optimum: 20⁰C
Dampak kebasahan RcW 1 jika kanopi basah, 0
kanopi jika tidak
Agregasi A 1
Sumber: Savary et al (2012)
Lampiran 2 Peta administratif Provinsi Jawa Barat

Sumber: id.wikipedia.org
27

Lampiran 3 Gejala serangan penyakit blas pada daun tanaman padi

Sumber: Google Images

Lampiran 4 Keparahan penyakit blas (leaf blast) pada tiga umur tanaman
yang berbeda

Keparahan Penyakit (%)


Lahan Varietas
30 HST 60 HST 90 HST
Cisalak (500-750 mdpl)
1 IR77 4.37 23.73 33.58
2 Unggul 4.41 12.06 22.56
3 Cibentang 5.33 10.56 20.45
4 Agay 6.60 34.2 36.54
5 Ciherang 6.72 34.49 37.23
Sukamandi (≤250 mdpl)
1 IR64 1.42 3.004 9.78
2 Mekongga 1.66 5.56 15.36
3 Sintanur 3.00 8.18 17.84
4 Situbagendit 1.34 4.24 9.65
5 Inpara 3 3.00 11.92 20.63
Sumber: Zulaika (2017)
28

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kabupaten Madiun, Jawa Timur pada tanggal 6 Mei 1995
dari pasangan suami istri Bapak Ir. Marsam dan Ibu Supiyah. Penulis adalah anak
pertama dari dua bersaudara. Pendidikan dasar, menengah pertama, dan menengah
atas diselesaikan penulis di MI Fathul Ulum (sekarang MIN Manisrejo Madiun),
SMPN 4 Madiun dan SMAN 1 Madiun. Pada tahun 2014, penulis diterima menjadi
mahasiswa IPB melalui jalur Ujian Talenta Mandiri (UTM) dan diterima di
program studi Meteorologi Terapan, Departemen Geofisika dan Meteorologi,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama menempuh masa
perkuliahan, penulis pernah diamanahi menjadi ketua pelaksana program IPB Goes
to Field (IGTF) di Desa Ngranget, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun pada
tahun 2016 dengan misi untuk membantu masyarakat setempat mengembangkan
potensi desanya. Dalam bidang keorganisasian, penulis berperan aktif sebagai staff
Divisi Komunikasi dan Informasi Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi
(HIMAGRETO) Kabinet Lapse Rate untuk periode 2016-2017. Pada Juli-Agustus
tahun 2017, penulis ditugaskan untuk mengikuti program Kuliah Kerja Nyata
(KKN) di Desa Ponolawen, Kecamatan Kesesi, Kabupaten Pekalongan untuk dapat
mengaplikasikan ilmu dan belajar bersama masyarakat. Penulis pernah diamanahi
sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah Kimia PPKU pada semester ganjil
tahun 2017. Penulis telah melaksanakan penelitian yang berjudul Proyeksi dan
Pemetaan Potensi Epidemi Penyakit Blas (Pyricularia grisea) pada Tanaman Padi
dengan Model Epidemiologi EPIRICE. Penelitian ini merupakan salah satu satu
syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains di program studi Meteorologi Terapan,
Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Anda mungkin juga menyukai