IMAN SUSWANTO
PERLINDUNGAN TANAMAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
Bekerjasama dengan
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
TAHUN 2009
1.
: PL.757/LB.620/I.1/2009
tanggal 20 Pebruari 2009
2.
Judul Penelitian
: Kajian
epidemi
penyakit
bulai
(Rocib) untuk
mendukung primatani jagung di Kabupaten
Bengkayang, Kalimantan Barat
Peronosclerospora
maydis
3.
Penanggungjawab kegiatan
4.
Nilai kontrak
5.
Jangka waktu
: 300 hari
Mulai tanggal 1 Maret 2009
Selesai tanggal 30 Desember 2009
6.
7.
Lokasi kegiatan
8.
Kegiatan yang telah dilaksanakan : Penelitian epidemi penyakit bulaui pada jagung
9.
Penanggungjawab,
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. atas limpahan nikmatNya hingga kami dapat
menyelesaikan program penelitian KKP3T tahun pertama dengan judul Kajian Epidemi
Penyakit Bulai Peronosclespora Maydis (Rocib) untuk Mendukung Kegiatan Primatani
Jagung di Kabipaten Bengkayang Kalimantan Barat.
Program ini merupakan kerjasama kemitraan penelitian antara perguruan tinggi
dengan Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Universitas Tanjungpura
Pontianak merupakan salah satu perguruan tinggi yang mendapatkan kesempatan
melaksanakan program ini pada tahun 2009-2010.
Atas terlaksananya program ini kami mengucapkan terima kasih kepada Kepala
Badan Litbang Pertanian, yang telah memberi kepercayaan dan dana bagi program ini.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada pimpinan Lembaga Penelitian Untan,
Prof.. HM. Asrori, M.Pd. dan Dekan Fakultas Pertanian Untan, Dr.Ir. Radian, MS yang
telah memberikan ijin bagi terlaksananya program ini ini. Selain itu ucapan terima kasih
juga tertuju kepada rekan-rekan dari BPTP Kalbar yang ikut membantu terlaksananya
penelitian ini.
Semoga hasil dari program ini dapat ditindaklanjuti dan bermanfaat bagi
masyarakat. Amin.
DAFTAR ISI
Halaman pengesahan
Ringkasan Penelitian ..
Prakata
..
Daftar Isi
Daftar Tabel .
Daftar Gambar
.
Daftar Lampiran .
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pendahuluan
Tujuan Kegiatan .
Keluaran yang diharapkan
...
3.1. Keluaran Jangka Panjang ..
3.2. Keluaran Penelitian Tahun berjalan
..
Lingkup dan Rencana Kegiatan ....
Metodologi
...
Hasil dan Pembahasan ....
6.1. Agihan penyakit bulai
6.2. Uji penularan patogen .
6.3. Tanda dan gejala penyakit .
6.4. Penelitian model penyakit bulai .
Kesimpulan dan Saran
................................
Daftar Pustaka
Daftar Tabel
Daftar Gambar
i
ii
iii
iv
v
vi
vii
1
3
3
3
4
4
5
10
10
12
14
17
31
DAFTAR TABEL
11
Tabel 2. Hasil pengamatan blotter dan seedling test beberapa varietas local dari
Sanggau Ledo
..
14
21
Tabel 4. Hasil perhitungan analisis lintas antara intensitas penyakit bulai dengan
berbagai anasir iklim dan kepadatan spora pada seluruh varietas yang
ditanam pada 24 Mei 2009 .
28
Tabel 5. Hasil perhitungan analisis lintas antara intensitas penyakit bulai dengan
berbagai anasir iklim dan kepadatan spora pada seluruh varietas yang
ditanam pada 14 Juni 2009 ..
29
Tabel 6. Hasil perhitungan analisis lintas antara intensitas penyakit bulai dengan
berbagai anasir iklim dan kepadatan spora pada seluruh varietas yang
ditanam pada 5 Juli 2009 ..
30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Inokulasi bulai dari sumber inokulum alami ke tanaman uji .....
Gambar 2.
12
Uji benih dengan metoda blotter test bulai dan seedling test untuk
mengetahui cara penularan bulai melalui biji .
13
Gambar 3.
16
Gambar 4.
18
Gambar 5. Laju infeksi penyakit bulai pada tiga waktu tanam berbeda ....
19
23
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
Sebaran data cuaca antara kondisi yang kondusif (T2) dan kurang
kondusif
(T1)
tehadap
perkembangan
penyakit
bulai 26
..
Ringkasan Penelitian
Kajian epidemi penyakit bulai Peronosclerospora maydis (Rocib) untuk mendukung
primatani jagung di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat
1. Pendahuluan
Salah satu kendala produksi jagung di Kalimantan Barat adalah penyakit bulai.
Penyakit ini perlu mendapat perhatian khusus karena sampai saat ini belum tersedia
varietas tahan dan teknik pengendalian yang memuaskan. Perbaikan sifat ketahanan
jagung terhadap bulai telah banyak dilaporkan, namun belum diperoleh varietas yang
benar-benar tahan. Varietas unggul saat ini lebih mengedepankan produktifitas,
kualitas gizi yang lebih baik, toleran stres lingkungan dan sisa biomas yang tetap hijau
(still green) untuk keperluan pakan ternak. Kombinasi sifat-sifat tersebut terbukti
mampu meningkatkan hasil, tetapi belum mampu mengatasi masalah penyakit bulai.
Kendala penyusunan varietas tahan bulai adalah umumnya sumber ketahanan
dikendalikan oleh banyak gen, dan patogen bulai sendiri mudah sekali membentuk ras
fisiologi baru untuk beradaptasi varietas baru (Subandi et al., 1982).
Beberapa pengujian jagung varietas unggul di BPTP Kalbar menunjukkan
bahwa varietas Bisma, Lamuru, Sukmaraga, Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1, dan
Anoman-1 menunjukkan kerentanan terhadap bulai (BPTP Kalbar, 2006). Baru-baru ini,
Wakman & Rezha (2008) menyatakan bahwa pengujian 20 varietas dan 24 galur
diperoleh 2 varietas tahan yaitu Bisi 8/16 dan Bima 3, serta satu galur BMD 2 dengan
intensitas penyakit berturut-turut 2, 15 dan 7 %. Lebih lanjut dikatakan Wakman
(2008), perlakuan benih dengan beberapa dosisi aplikasi metal aksil tidak efektif
menekan infeksi bulai di Sanggau Ledo, Kalimantan Barat.
Hasil-hasil pengujian tersebut dapat menjadi kendala serius bagi program
pembangunan pertanian melalui pendekatan kawasan dan agribisnis jagung di
Kalimantan Barat. Pemerintah propinsi menetapkan 12 kawasan usaha agribisnis
terpadu (KUAT) sebagai daerah prioritas pengembangan pertanian. Badan Litbang
Pertanian Kalimantan Barat mendukung program KUAT dalam bentuk program rintisan
dan akselerasi inovasi teknologi pertanian (Prima Tani) di 6 lokasi KUAT. Salah satu
daerah KUAT adalah Sanggau Ledo, Kabupaten Bengkayang yang menetapkan jagung
sebagai komoditas unggulan. Dalam rencana jangka panjang Pemprov Kalbar
mentargetkan penanaman jagung mencapai 700 ribu hektar pada akhir tahun 2010.
Saat ini Kabupaten Bengkayang merupakan daerah penghasil jagung terbesar di
Kalbar. Sayangnya, sejak tahun 1999 Sanggau Ledo dianggap sebagai salah satu
disease, yang berarti kepekaan tanaman terhadap infeksi ditentukan oleh kadar gula
yang tinggi. Suswanto et al. (2008) menyatakan bahwa kadar gula total dalam jaringan
batang dan daun pada Pioneer 21, Sweet Boy, dan Bisi 21 dapat berperan sebagai
faktor predisposisi terhadap penyakit bulai. Ketiga varietas tersebut mempunyai laju
akumulasi gula total yang lebih tinggi dibandingkan Pioneer 12 dan jagung merah
(lokal) pada fase vegetatif awal. Pioneer 12 dan jagung merah Varietas menunjukkan
respons ketahanan terhadap bulai yang lebih baik.
Penelitian bulai di Kalimantan Barat umumnya terbatas pada satu aspek kajian
saja, misalnya pengaruh teknik pengendalian, varietas atau teknik budidaya di lahan
asam/gambut terhadap infeksi bulai. Penelitian epidemi bersifat menyeluruh meliputi
aspek patogen, inang dan lingkungan sehingga luarannya dapat menjelaskan peranan
masing-masing aspek dalam perkembangan penyakit. Penelliitan epidemiologi penting
dilakukan berkaitan dengan karakter iklim hutan hujan tropis yang relatif basah
sepanjang musim. Kondisi ini mendukung kelangsungan patogen melalui ketersediaan
inang, baik jagung maupun gulma, mendukung proses infeksi, penetrasi sampai
sporulasi dan bahkan pembentukan ras fisiologi baru.
Salah satu metoda yang memuaskan dalam menjelaskan hubungan antara
perkembangan penyakit dengan berbagai anasirnya adalah analisis lintas (path
analysis). Hasil analisis ini dapat mengetahui interaksi timbal balik antar anasir penyakit
dan dapat pula mengetahui pengaruh anasir secara langsung atau tidak langsung
terhadap perkembangan penyakit. Penggabungan kedua jenis pengaruh hasil uji lintas
diperlukan dalam upaya memperbesar alternatif pengendalian. Hasil ini tidak dapat
dicapai jika hanya menggunakan uji regresi, karena hanya dapat menginformasikan
anasir yang berpengaruh saja. Dengan mengkombinasikan kedua teknik pengujian,
maka akan diperoleh suatu model hubungan penyakit yang dapat dijelaskan baik
secara kualitatif maupun kauntitatif (Sastrahidayat, 1997).
2. Tujuan Kegiatan
Secara umum tujuan penelitian adalah menyusun model peramalan bulai yaitu
suatu upaya untuk memperkirakan kapan suatu penyakit berkembang ke arah ledakan
penyakit dan berapa besar kerusakan yang akan ditimbulkannya. Model peramalan
diperlukan karena pola perkembangan penyakit bulai dari musim ke musim tidak
menentu. Model penyakit membantu mengarahkan tindakan pengendalian, sehingga
biaya perawatan lebih efisien dan menjamin keberhasilan usaha tani. Untuk mencapai
sasaran tersebut diperluka beberapa tahapan penelitian dengan tujuan khusus sebagai
berikut:
1). Mengetahui agihan bulai di sentra jagung Kalbar; 2) Mengkaji faktor cuaca
yang berperan dalam perkembangan bulai; 3) Respons ketahanan varietas terhadap
bulai di Kalbar; dan 3) Penyusunan model peramalan bulai di sentra jagung Kalimantan
Barat.
10
kulitatif
dan
kuantitatif
peranan
unsur
cuaca
terhadap
perkembangan penyakit.
4. Lingkup dan Rencana Kegiatan
Penelitian tahun I berkaitan dengan epidemiologi bulai di Kalimantan Barat.
Sebagian besar wilayah Kalbar memiliki curah hujan tinggi dan tersebar merata
sepanjang tahun. Di sentra-sentra jagung dapat dijumpai pola tanam jagungjagungjagung-jagung sehingga ketersediaan inang dapat dikatakan selalu tersedia sepanjang
musim. Permasalahannya adalah distribusi curah hujan yang tidak jelas antara musim
hujan dan kemarau menyebabkan perkembangan bulai dapat terjadi setiap musim
tanam. Oleh karena itu perlu pengkajian secara khusus berbagai anasir penyakit baik
dari sisi inang, patogen maupun lingkungan.
Penelitian yang dilakukan berupa survai agihan/distribusi dan intensitas penyakit
di beberapa sentra jagung Kalbar seperti Kabuapten Pontianak, Kubu Raya,
Singkawang, dan Sambas. Dari survay diperoleh beberapa sampel tanaman sakit dan
gulma yang diperkirakan dapat berperan sebagai inang. Sampel dibawa ke
laboratorium untuk diidentifikasi jenis patogen dan diperbanyak sebagai sumber
inokulan.
Penelitian lain adalah kajian hubungan antara intensitas penyakit dengan
berbagai anasir penyakit. Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Bengakyang yang
merupakan daerah endemis bulai. Berbagai anasir tersebut dapat dibuat dalam sebuah
model yang menggambarkan hubungannya dengan intensitas penyakit pada suatu
11
5. Metodologi
5.1. Waktu dan tempat penelitian
Penelitian tahun I dilakukan pada periode kondusif bagi epidemi bulai yaitu
antara bulan Maret - Deseber 2009. Penelitian dilakukan di Kebun Percontohan BPTP
Kalbar di Lokasi Kuat Kabupaten Bengkayang, lahan petani jagung di Kabupaten
Pontianak, Kubu Raya, Singkawang dan Sambas, rumah kasa serta Laboratorium
Proteksi Fakultas Pertanian, Universitas Tanjungpura.
5.2. Alat Penelitian
Alat pengamatan patogen berupa mikroskop cahaya, mikroskop stereo, kaca
pembesar, perangkap spora,
12
bidang diagonal. Pertanaman jagung yang dipilih adalah tanaman yang berumur antara
48 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan agihan penyakit ini dilakukan sekali
pada bulan Februari-Maret yang merupakan kondisi ideal bagi perkembangan bulai.
Interpretasi data intensitas penyakit dilakukan secara deskriptif yang menunjukkan
distribusi penyakit dan tingkat keparahan di berbagai lokasi.
13
terhadap gejala bulai dan konidiofor beserta konidia pada kecambah. Dihitung
prosentasenya kecambah bergejala, panjang radicle dan tunas.
Pengujian juga dilakukan dengan seedling test. Sebanyak 10 biji ditanam dalam
polibag ukuran 10 kg yang telah diisi dengan media tanah. Selanjutnya disungkup
dengan kantong plastik untuk menciptakan kondisi lembap. Kelembapan yang tinggi
juga di jaga dengan penyemprotan air menggunakan hand sprayer. Tanaman dipelihara
sampai muncul gejala. Pengamatan lainnya adalah menghitung jagung bergejala untuk
memperoleh tanaman sakit.
tidak
dengan safranin.
14
dan akhir (2 Juli 2009). Penggolongan waktu tanam bertujuan untuk memperoleh
variasi kondisi cuaca dan kepadatan sumber inokulum.
Kebiasaan waktu tanam di Sanggau Ledo sendiri sebenarnya tidak jelas. Pada
waktu
bersaman
dapat
dijumpai
petani
yang
menanam,
menyiangi
b. Kepadatan spora
Untuk keperluan pengamatan kepadatan spora, ditempatkan perangkap spora.
Alat perangkap ditempatkan setinggi 1,5 m dari permukaan tanah. Pada tiap alat
perangkap spora dipasang 3 buah gelas obyek yang diganti 2 kali, setiap pukul 06.00
pagi dan sore. Jadi dalam satu hari dibutuhkan 30 gelas obyek. Sebelum dipasang,
gelas obyek dilapisi vaselin yang dipaparkan ke arah atas dari alat perangkap.
Pengamatan kepadatan spora dilakukan selama masa kritis jagung terhadap infeksi
bulai yaitu sampai 4 MST. Jadi total pengamatan dilakukan selama 6 minggu sampai
golongan tanam terakhir. Gelas obyek selanjutnya ditempatkan pada rak untuk
dilakukan penghitungan spora bulai dengan bantuan mikroskop cahaya.
15
c. Perkembangan penyakit
Untuk memperoleh informasi perkembangan penyakit maka diperlukan data
intensitas penyakit yang diamati selama 1-5 MST. Pengamatan intensitas penyakit
dilakukan sampai minggu ke 5 disebabkan oleh masa inkubasi penyakit sekitar 1
minggu. Jadi gejala yang muncul pada saat pengamatan sebenarnya disebabkan oleh
infeksi oleh spora 1 minggu sebelumnya. Perhitungan rumus intensitas penyakit
sebagai berikut:
IP=
n
x 100%
N
Keterangan:
IP: intensitas penyakit
penyakit
dan
respons
ketahanan
tanaman
terhadap
patogen.
Perhitungan laju infeksi sesuai dengan rumus epidemiologi van der Plank (1963):
Xt= Xo.ert
Xt= intensitas penyakit pada waktu t
Xo= intensitas penyakit pada awal pengamatan (t = 0)
e = logaritma natural, yaitu konstanta sebesar 2,71828
r = laju infeksi
t = waktu antara to dan tt
Analisis data
Data hasil pengamatan intensitas penyakit ditransformasi data dengan arc sin
1/4 (n). Selanjutnya data hasil transformasi dilakukan beberapa uji statistika berupa
uji ragam (analysis of variance) korelasi, perbandingan duncan, lintas dan regresi
sampai batas kepercayaan 95%. Semua data statistika dianalisis dengan program SAS
(SAS Institute. 1990).
16
bebrapa
variabel
bebas
yang
dominan.
Uji
lintas
digunakan
untuk
17
Intensitas Penyakit
Bulai (%)
17
Agihan Bulai
Pontianak
Acak
Bengkayang
23
Acak
Kubu Raya
Acak
Singkawang
Acak
Sambas
Acak
18
penularan dengan metoda tersebut tidak ada yang berhasil. Gambar 2 memperlihatkan
cara pelaksanaan penularan.
Terjadinya infeksi membutuhkan temperatur 18-26oC dan kelembapan lebih
90% dilakukan dengan penyungkupan dengan plastik transparan dan menambah kain
basah. Upaya ini telah dilakukan, tetapi belum memberikan hasil yang diinginkan.
Beberapa periode pengujian juga dilakukan pada saat periode hari hujan.
Shurtleff (1980), patogen penyebab bulai merupakan patogen
Menurut
bertahan pada jaringan hidup. Kegagalan penularan dapat terjadi karena konidia bulai
mudah rusak akibat pengaruh lingkungan seperti kelembapan rendah dan temperatur
tinggi.
19
Hasil pengamatan penularan patogen melalui biji baik melalui blotter test
maupun seedling test seperti yang tercantum pada tabel 2 menunjukkan bahwa bulai
tidak dapat ditularkan melalui benih. Uji ini dilakukan sebagai upaya klarifikasi
terjadinya epidemi bulai di Sanggau Ledo kemungkinan disebabkan oleh penularan
melalui biji. Hal ini didasarkan pada sebagian besar petani menggunakan benih dari
hasil panen sebelumnya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa benih ternyata bukan
media penularan bulai. Pengujian penularan bulai melalui benih tidak terbukti, tetapi
diduga penggunaan benih secara terus menerus dari tanaman sebelumnya memegang
andil yang besar terhadap prevalensi bulai di Sanggau Ledo. Hal ini didasarkan pada
hasil survai pada pertanaman jagung di Kabupaten Kubu Raya menunjukkan bahwa
sebagian besar jagung yang memperlihatkan bulai merupakan tanaman yang berasal
dari benih tanaman sebelumnya. Dengan demikian penelitian ini sesuai dengan
pendapat Semangun (1991) menyatakan bahwa penularan bulai hanya dapat dilakukan
melalui udara dan biiji bukan merupakan agen penular yang efektif.
Gambar 2.
Uji benih dengan metoda blotter test bulai dan seedling test untuk
mengetahui cara penualran bulai melalui biji
20
Hasil pengamatan blotter dan seedling test beberapa varietas lokal dari
Sanggau Ledo
Lokasi pengambilan
Penyakit terbawa benih (%)
sampel
Bulai
Fusarium Aspergillus Penicillium
Curvularia
Paket A
10,94
7,67
25
1,56
Paket B
9,0
12,25
28,25
Paket C
13,75
13,0
11,5
Paket D
3,0
3,5
8,45
21
tanaman lainnya dengan konidia. Mula-mula konidia jatuh di permukaan daun atas
maupun bawah. Jumlah konidia pada permukaan daun sangat melimpah, namun tidak
selalu diikuti keberhasilan infeksi karena kebanyakan konidia gagal berkecambah
(Gambar 3d). Hal ini diduga disebabkan oleh tabung kecambah konidia yang sangat
panjang untuk mencapai stomata. Perkecambahan merupakan kondisi yang paling
lemah dan peka tehadap perubahan faktor lingkungan. Perubahan lingkungan yang
drastis akan menyebabkan kematian tabung kecambah sehingga tidak terjadi infeksi.
Kegagalan inokulasi di rumah kasa diduga disebabkan oleh faktor lingkungan yang
kurang mendukung dan bukan disebabkan oleh kegagalan deposisi konidia. Menurut
Agrios (2005), proses infeksi jamur melewati fase perkecambahan, penetrasi, infeksi,
kolonisasi dan sporulasi. Proses perkecambahan memegang peranan penting dalam
keberhasilan infeksi karena merupakan fase yang paling rentan tehadap perubahan
lingkungan.
Berdasarkan gambar di atas dapat disimpulkan bahwa keberhasilan infeksi bulai
membutuhkan kondisi lingkungan yang kondusif selama perkecambahan konidia.
Pembentukan tabung kecambah sampai
terjadinya penetrasi
melalui
stomata
merupakan fase infeksi yang paling rentan terhadap pengaruh lingkungan. Keberhasilan
infeksi ditandai dengan masuknya tabung kecambah ke dalam sel mesofil daun jagung
sehingga konidia dapat berkembang melangsungkan proses infeksi berikutnya.
22
Gambar 3.
Gejala dan tanda pada tanaman terinfeksi bulai. Gejala bulai (a),
pengamatan dengan mikroskop stereo perbesaran 40 kali (b), konidiofor
dan konidia pada permukaan daun (c dan d) dan perbandingan konidia
yang mendarat dan berkecambah pada permukaan tanaman (e dan f)
23
0,96, (Y1,2,3: intensitas penyakit bulai pada kondisi kurang kondusif (Y 1 dan 3) dan
kondusif (Y2), X1: kepadatan konidia (cm2), X2: suhu pagi (oC), X3: suhu siangi (oC), x4=
curah hujan (mm/hari), x5= kelembapan pagi (%), x6= kelembapan siang (%), X7:
rata-rata kecepatan angin (jam/km) dan X8: lama penyinaran (jam). Hal ini menunjukkan
bahwa penyakit bulai di Kecamatan Sanggau Ledo dan Sinar Tebudak dapat dijumpai di
sepanjang musim tanam. Namun demikian terdapat variasi tingkat keparahan antar
waktu tanam maupun antar varietas
Secara umum penyebab penyakit ditentukan oleh 3 komponen penyakit berupa
kepadatan konidia, curah hujan dan lama penyinaran. Kecepatan rata-rata angin juga
berperan dalam meningkatkan intensitas penyakit, di duga berperan penting dalam
penyebaran dan menjadi penyebab predisposisi tanaman sehingga tanaman mudah
terinfeksi bulai. Berdasarkan perhitungan laju infeksi (r), dalam kondisi kondusif ratarata pertambahan tanaman terinfeksi bulai dapat mencapai 144 tanaman/minggu.
Mekanisme penularan bulai adalah tanaman sakit pada awal musim terjadi akibat
infeksi konidia dari luar pertanaman. Selanjutnya penyakit akan berkembang dari hasil
penularan konidia tanaman sakit di dalam pertanaman. Puncak penularan terjadi pada
minggu ke-4. Efektifitas penularan konidia sangat tergantung pada kondisi kelembapan
dan temperatur. Konidia yang diterbangkan terlalu lama di udara pada suhu diatas 25
o
C akan mati.
24
40
B8/16
P12
SR
P21
35
30
40
40
35
B8/16 P12 35
30
SR
25
25
25
20
20
20
15
15
15
10
10
10
B8/16 P12
P21 30
SR
P21
Gambar 4. Pertambahan tananam sakit setiap minggu pada beberapa golongan waktu tanam
25
1,40
24 Mei
1,20
14 Juni
5 Juli
1,00
0,80
0,60
0,40
0,20
0,00
1
Laju infeksi penyakit bulai pada tiga waktu tanam berbeda, Sanggau Ledo
2009
26
tersebut
di atas
maka dapat
disimpulkan bahwa besarnya intensitas penyakit bulai sangat ditentukan oleh waktu
infeksi. Semakin awal terjadi infeksi, maka akan diikuti dengan intensitas penyakit yang
tinggi. Hal ini terjadi disebebakan oleh sifat penularan bulai mengikuti pola penyakit
majemuk. Infeksi primer terjadi melalui penularan konidia yang berasal dari luar
pertanaman. Hal ini terjadi pada awal tanam, selanjutnya infeksi primer akan
menghasilkan infeksi sekunder selang 1 minggu kemudian. Infeksi sekunder (siklus
polisiklik) dapat terjadi antara 2-5 MST.
Implikasi dari pola perkembangan penyakit demikian adalah upaya penundaan
infeksi pada awal tanam mempunyai peranan sangat penting dalam menekan intensitas
penyakit. Pengamatan ini memberi dasar pertimbangan pentingnya perlindungan
tanaman pada awal tanam. Penundaan infeksi sampai 2 MST hanya menyebabkan
tingkat kerusakan yang rendah. Hal ini sesuai dengan Zadok dan Schein (1979)
menyatakan bahwa upaya pengendalian dengan pengaturan waktu tanam dapat
menunda terjadinya epidemi penyakit.
Laju infeksi juga memberi informasi pola penularan bulai di lapangan. Laju
infeksi pada awal tanam tinggi kemudian menurun seiring dengan peningkatan usia
tanaman menunjukkan bahwa infeksi awal berasal dari konidia yang disebarkan angin
dari luar pertanaman. Inokulum awal ini menyebabkan infeksi primer pada tanaman
yang jumlah sangat sedikit. Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa penerapan
pengendalian penyakit bulai antar periode waktu tanam harus berbeda-beda.
Penggunaan varietas tahan B 8-16 dan Pioneer 12 cukup baik mengatasi bulai dengan
intensitas tertinggi hanya 14 dan 8% (Suswanto et al.,
dengan pendapat Wakman & Rezha (2008) yang menyatakan bahwa intensitas penyakit
pada varietas Bisi 8/16 sebesar 2%.
27
Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa berdasarkan nilai nilai determinasi (R2)
tertinggi terjadi pada varietas rentan Sukmaraga dan P21 dibandingkan varietas tahan
Bisi 8/16 dan P12. Keeratan hubungan antara intensitas penyakit dengan varietas rentan
menunjukkan bahwa ketahanan varietas rentan ditentukan oleh faktor lingkungan. Hal
ini berarti kondisi lingkungan berupa kepadatan spora dan faktor iklim menentukan
tingkat respons ketahanan tanaman terhadap bulai. Sedangkan keparahan penyakit
pada varietas tahan mempunyai hubungan yang kuratng erat dengan faktor lingkungan,
tetapi diduga berkaitan dengan respons ketahanan dari gen tanaman bersangkutan. Hal
ini ditunjukkan dengan rendahnya nilai koefisien determinasi antara intensitas penyakit
dengan faktor lingkungan.
Tabel 3.
Waktu
Tanam
P 12
Persamaan Regresi
Y= 0.128 - 0.016 x8
R2
0,38
0,71
T1
(24 Mei-14
Juni 2009)
Sukmara
ga
P 21
0,99
0,46
Keterangan
X8: lama penyinaran
(jam)
X2: suhu pagi (oC)
X5: Kelembapan pagi
(%)
X8: lama penyinaran
(jam)
X1: kepadatan konidia
(cm2)
X4: curah hujan
(mm/hari)
X8: lama penyinaran
(jam)
X2: suhu pagi (oC)
X5: Kelembapan pagi
(%)
X8: lama penyinaran
(jam)
28
Lanjutan Tabel 3.
Bisi 8/16
T2
P 12
0,57
Y= 0.005 + 0.89x8
0,81
(14 Juni-5
Juli 2009)
Sukmara
ga
P 21
Bisi 8/16
T3
P 12
Y=
0,96
Y= 0.0013 + 0.899 x8
0,97
0,60
0.64
(5-19 Juli
2009)
Y = 0.002 + 0.974x1
0,99
Sukmara
ga
P 21
0,62
29
0,25
0,25
y = -0,0675x + 0,1508
0,20
0,15
0,10
0,15
0,10
0,05
0,05
0,00
0,50
1,00
Kepadatan Konidia (buah/cm2)
70
1,50
0,25
80
90
Kelembapan pagi (%)
100
0,25
y = -0,0051x + 0,0995
R2 = 0,0207
y = -0,0192x + 0,5573
R2 = 0,0598
0,20
Intensitas Bulai (%)
0,20
Intensitas Bulai (%)
y = 0,0029x - 0,2017
R2 = 0,0307
R = 0,0144
0,20
0,15
0,10
0,05
0,15
0,10
0,05
22,0
23,0
24,0
25,0 26,0
Suhu Pagi (oC)
27,0
28,0
3
5
7
Rata-rata Kecepatan Angin (jam/km)
0,25
0,25
y = 0,0024x + 0,0678
R 2 = 0,1201
0,20
Intensitas Bulai (%)
0,20
0,15
0,10
y = -0,0214x + 0,1793
R2 = 0,3293
0,15
0,10
0,05
0,05
0,0
Gambar 6.
10,0
20,0
30,0
40,0
Curah Hujan (mm/hari)
50,0
5
7
Lama Penyinaran (jam)
30
0,600
0,600
y = 0,0572x + 0,1243
2
R = 0,0027
0,500
Intensitas Bulai (%)
0,500
0,400
0,300
0,200
0,50
0,70
0,90
1,10
1,30
Kepadatan Konidia (buah/cm2)
0,200
80
1,50
y = -0,0267x + 0,822
R2 = 0,0526
100
y = 0,0365x + 0,0252
R2 = 0,3934
0,500
Intensitas Bulai (%)
0,500
85
90
95
Kelembapan pagi (%)
0,600
0,600
0,300
0,400
0,300
0,200
0,400
0,300
0,200
0,100
0,100
20,0
22,0
24,0
26,0
Suhu Pagi (oC)
28,0
3
5
7
9
Rata-rata Kecepatan Angin (jam/km)
0,600
0,600
y = -0,0008x + 0,1881
R = 0,0041
0,400
0,300
0,200
y = -0,0025x + 0,1949
R2 = 0,0056
0,500
0,500
Intensitas Bulai (%)
0,400
0,100
0,100
0,400
0,300
0,200
0,100
0,100
0,0
Gambar 7.
y = -0,019x + 2,0119
R2 = 0,1056
20,0
40,0
Curah Hujan (mm/hari)
60,0
5
7
Lama Penyinaran (jam)
31
0,45
0,45
y = 0,0041x + 0,1281
0,40
y = 0,0003x + 0,1088
R2 = 0,0026
0,40
R = 8E-06
0,35
Intensitas Bulai (%)
0,35
0,30
0,25
0,20
0,15
0,20
0,15
0,10
0,05
0,05
-
0,50
0,70
0,90
1,10
1,30
Kepadatan Konidia (buah/cm2)
80
1,50
85
90
95
Kelembapan pagi (%)
100
0,45
0,45
0,40
0,40
y = 0,0339x - 0,7084
R2 = 0,1765
0,35
0,35
Intensitas Bulai (%)
0,25
0,10
0,30
0,25
0,20
0,15
0,25
0,20
0,15
0,10
0,05
0,05
22,0
24,0
26,0
Suhu Pagi (oC)
y = 0,0104x + 0,0657
R2 = 0,0389
0,30
0,10
20,0
28,0
3
5
7
9
Rata-rata Kecepatan Angin (jam/km)
0,45
0,45
0,40
0,40
y = 0,0009x + 0,1307
y = 0,0299x - 0,0775
R2 = 0,2996
0,35
0,35
R = 0,0015
Intensitas Bulai (%)
0,30
0,30
0,25
0,20
0,15
0,30
0,25
0,20
0,15
0,10
0,10
0,05
0,05
0,0
Gambar 8.
10,0
20,0
Curah Hujan (mm/hari)
30,0
5
7
Lama Penyinaran (jam)
32
0,600
0,20
T_1
0,18
T_2
0,500
0,16
0,14
0,400
IP
IP
0,12
0,10
0,300
0,08
0,200
0,06
0,04
0,100
0,02
-
22,0
23,0
24,0
25,0
26,0
27,0
22,0
28,0
23,0
24,0
0,20
0,600
0,18
0,16
0,500
0,14
26,0
27,0
0,400
0,12
0,10
IP
IP
25,0
T_pagi
T_pagi
0,300
0,08
0,200
0,06
0,04
0,02
0,100
85
90
95
100
105
85
90
95
rH_pagi
100
105
rH_pagi
0,20
IP
0,16
0,14
0,600
0,12
0,10
0,08
0,400
0,500
IP
IP
0,18
0,06
0,04
0,300
0,200
0,100
0,02
-
10
0,0
10,0
4
6
Kec_rt
10
12
40,0
50,0
60,0
Kec_rt
0,600
0,20
0,500
0,400
0,12
0,10
0,08
0,06
IP
IP
0,18
0,16
0,14
0,200
0,04
0,02
-
0,100
0,0
10,0
20,0
30,0
CH
Gambar 9.
0,300
40,0
50,0
20,0
30,0
CH
Sebaran data cuaca antara kondisi yang kondusif (T2) dan kurang kondusif
(T1) tehadap perkembangan penyakit bulai
33
Untuk mempelajari hubungan antara faktor cuaca dengan intensitas penyakit tidaklah mudah.
Gambar 4 memperlihatkan intensitas penyakit tertinggi dijumpai pada periode tanam
pertengahan. Hal ini berarti faktor cuaca kondusif bagi perkembangan penyakit. Pada periode ini
menunjukkan bahwa
rata-rata kecepatan angin dan suhu pagi hari merupakan faktor paling
dominan yang menentukan perkembangan penyakit, ditunjukkan dengan nilai determinasi (R2)
masing-masing sebesar 39 dan 11%. Kondisi umum pada masa tersebut ditandai dengan curah
hujan yang relatif tinggi seperti yang terlihat pada Gambar 9.
Di lain pihak, pada kondisi kurang kondusif bagi perkembangan penyakit seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 9 menunjukkan bahwa kondisi curah hujan relatif rendah. Pada kondisi
ini faktor cuaca yang memegang peranan penting berupa curah hujan dan lama penyinaran
seperti yang ditunjukan pada Gambar 6 dan lama penyinaran dan suhu pagi seperti yang
ditunjukkan Gambar 8. Hal ini berarti pengaruh faktor cuaca tehadap perkembangan penyakit
tidaklah konsisten.
34
Tabel 4. Hasil perhitungan analisis lintas antara intensitas penyakit bulai dengan
berbagai anasir iklim dan kepadatan spora pada seluruh varietas yang ditanam
pada 24 Me1 2009
OBS _NAME_
1
2
3
4
5
6
7
8
9
IP_V3
SPORE
SUHU_P
SUHU_S
CH
RH_P
RH_S
V_RATE
LONG
SPORE
0.007177
-0.074183
0.074183
0.015001
-0.024847
0.000598
-0.000829
0.014281
0.022150
-0.023130
SUHU_P SUHU_S
0.07932
0.06721
-0.33238
0.33238
-0.08321
0.03196
0.26100
0.12829
-0.00312
-0.05738
-0.08137
0.07751
0.05794
0.23143
-0.01167
-0.06598
-0.19403
-0.00125
0.11626
CH
RH_P
0.07319
-0.00177
-0.02107
-0.01105
0.21916
0.01556
0.03449
0.03140
-0.04017
-0.06115
-0.00394
0.27687
0.10052
-0.02503
-0.35259
-0.16605
-0.05769
0.12320
RH_S
V_RATE
0.18966 0.02973
-0.07631 0.05945
-0.15300 -0.00187
-0.33235 0.00108
0.06239 -0.02853
0.18668 -0.03258
0.39640 -0.01310
0.02609 - 0.19910
-0.23758 0.01382
LONG
IP_V3
0.26414
-0.14471
-0.08013
-0.23315
0.08508
0.16217
0.27817
0.03221
-0.46412
0.46412
1.00000
-0.09674
-0.23864
-0.35159
0.33396
0.17344
0.47846
-0.14932
-0.56911
35
Tabel 5. Hasil perhitungan analisis lintas antara intensitas penyakit bulai dengan
berbagai anasir iklim dan kepadatan spora pada seluruh varietas yang ditanam
pada 14 Juni 2009
OBS _NAME_
1
2
3
4
5
6
7
8
9
IP_V3
SPORE
SUHU_P
SUHU_S
CH
RH_P
RH_S
V_RATE
LONG
SPORE
0.00969
0.1747
0.17470
0.02329
0.00253
-0.01393
0.00854
0.02869
-0.00798
-0.02183
SUHU_P
0.07969
-0.04635
-0.3476
0.34760
-0.10695
0.04365
0.16497
0.09703
0.01682
-0.06622
SUHU_S
0.00564
-0.00572
-0.12152
-0.39494
0.39494
0.22616
0.20746
0.09947
-0.04799
0.05745
CH
0.001184
0.001493
0.002351
0.010722
-0.01872
0.018723
-0.006986
0.001897
0.002468
-0.005718
RH_P
RH_S
V_RATE
0.11871
-0.01786
0.17340
0.19192
-0.13632
-0.36536
0.36536
-0.07337
0.17493
0.00204
-0.00918
-0.09719
0.16517
0.14903
0.05994
-0.11883
-0.59171
0.59171
0.01546
0.51252
0.28519
-0.02077
-0.02200
0.05526
-0.05995
-0.21772
-0.01188
0.45474
-0.01584
LONG
IP_V3
0.04023
0.06715
-0.10235
0.07816
-0.16408
0.00300
0.46538
0.01871
-0.53728
1.00000
0.05545
-0.22925
-0.01428
-0.06326
-0.32493
0.01552
0.62715
-0.07487
Pada periode tanam ketiga (T3) menunjukkan bahwa variabel kepadatan konidia
memberi sumbangan terbesar yaitu 0,99 seperti yang tercantum pada Tabel 6.
Kepadatan spora juga memberi pengaruh yang paling besar pada total korelasi
mencapai 0,998. Hal ini mempunyai arti kepadatan konidia mempunyai pengaruh
mutlak, sehingga persamaan regresi yang terbentuk berupa Y = 0.002 + 0.974x1,
keterangan x1= kepadatan konidia. Kondisi tersebut ternyata kurang kondusif bagi
perkembangan penyakit.
36
Tabel 6. Hasil perhitungan analisis lintas antara intensitas penyakit bulai dengan
berbagai anasir iklim dan kepadatan spora pada seluruh varietas yang ditanam
pada 5 Juli 2009
OBS _NAME_
1
2
3
4
5
6
7
8
9
SPORE
SUHU_P
SUHU_S
CH
-0.00002
-0.00002
0.00012
0.00003
-0.00054
0.00016
-0.00013
0.00019
0.00008
RH_P
0.00004
0.00004
-0.00001
-0.00008
-0.00025
0.00081
-0.00007
0.00012
-0.00004
RH_S
V_RATE
LONG
IP_V3
37
a. Kesimpulan
1. Penyakit bulai telah tersebar di seluruh sentra jagung Kalimantan Barat.
2. Bulai merupakan kendala produksi terpenting di sentra jagung karena menibulkan
kerugian besar.
3. Tingkat serangan bulai ditentukan oleh penggunaan varietas tahan, waktu tanam
dan penerapan pengendalian. Varietas tahan berupa P12 dan B 8/16, dan waktu
tanam yang kurang kondusif saat cuaca cerah dan kecepatan rata-rata angin relatif
rendah (tanang)
4. Upaya pengendalian pada dasarnya berusaha menunda infeksi setelah masa kritis
sampai 4 MST.
5. Komponen cuaca yang perlu dipertimbangkan sebagai komponen peringatan dini
berupa temperatur pagi hari, curah hujan dan kecepatan angin. Meskipun
Kelembapan merupakan faktor lingkungan yang dibutuhkan dalam proses infeksi,
namun secara alami kondisi ini selalu dapat dipenuhi sehingga bukan merupakan
faktor pembatas infeksi.
b. Saran
Perlu kajian lebih lanjut mengenai pengendalian penyakit bulai. Strategi
pengendalian penyakit polisiklik dapat ditekankan pada penekanan nilai r berupa
penggunaan fungisida. Siklus penyakit yang relatif cepat kurang dari 1 minggu, maka
peranan Xo dengan roguing (pencabutan tanaman sakit) pada 2 MST.
38
Daftar Pustaka
Andrea, T., G. Torres, D. Polanco, 2002. Observations on the germination of oospores of
Peronosclerospora maydis. Agronomia Tropical 27: 511-515
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology 5th Ed. Elsevier Academic Press, California. 922 p.
BPTP Kalbar, 2006. Pengkajian gelar teknologi budidaya beberapa varietas jagung.
Laporan Tahunan BPTP Kaliamatan Barat.
Mathur S.B., K. Singh, H.J. Hansen. 1989. A working manual on some seed-borne fungal
disease. Danish Government Institute of Seed Pathology for Developing Countries.
Mikoshiba, H. 1983. Study on the control downy mildew disease of maize in tropical
countries of Asia TARC, Japan.
SAS Institute. 1990. SAS/STAT Users Guide, Version 6. Fourth Edition, Volume 2.
Raleigh: SAS Institute Inc.
Sastrahidayat, I.R., 1997. Model peramalan penyakit tumbuhan dengan pendekatan
epidemiologi dalam manajemen pengendalian hama penyakit. Pidato pengukuhan
sebagai guru besar Ilmu Fitopatologi Fak. Pertanian Unibraw, Malang
Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gajah Mada
University. Yogyakarta. 449 p.
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of Corn Diseases. Second Edition. The American
Phytopathological Society, USA, 105 p.
Subandi, A. Sudjana, A. Rifin, M.M. Dahlan. 1982. Variety x environment interaction
variances for downey mildew infection in corn. Penelitian Pertanian 2(1):27-29.
Suswanto, I, Sarbino, Darussalam. 2008. Kajian kadar sukrosa daun dan batang jagung
saat fase vegetatif sebagai indikator kepekaan infeksi bulai Peronosclerospora
maydis Rocib. Laporan Peneliti Muda Dikti 2008/09
Van Der Plank, J.E. 1984. Disease resistance in plants 2nd ed. Academic Press, London.
194 p.
Wakman, W, 2008. Uji resistensi Peronosclerospora maydis Rocib. terhadap metal aksil.
Makalah penelitian Balai Penelitian Tanaman Serealia
Wakman, W., M. S. Kontong. 2002b. Identifikasi ketahanan varietas/galur jagung dari
berbagai sumber yang berbeda terhadap penyakit busuk batang. Hasil Penelitian
Hama dan Penyakit Tahun 2002. Balai Penelitian Tanaman Serealia.
39
Wakman, W., M.S. Kontong. 2000. Pengendalian penyakit bulai pada tanaman jagung
dengan Varietas tahan dan aplikasi fungisida metalaksil. Risalah Penelitian Jagung
dan serealia lain. Vol 7:30-33.
Wakman, W., M.S. Kontong. 2002a. Efektifitas inokulsi penyakit bulai pada jagung
secara buatn dan modifikasi infeksi alami. Penelitian Pertanian 19(2):38-42.
Wakman, W., Rezha, 2008. Evaluasi ketahanan varietas jagung terhadap penyakit bulai
(Peronosclerospora maydis Rocib.). Makalah penelitian Balai Penelitian Tanaman
Serealia
40