Anda di halaman 1dari 10

Seminar Nasional dalam Rangka Dies Natalis ke-45 UNS Tahun 2021

“Membangun Sinergi antar Perguruan Tinggi dan Industri Pertanian dalam


Rangka Implementasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka”

Insidensi Dan Keparahan Penyakit Busuk Pada Tanaman Cabai: Studi Kasus di
Lahan Petani Desa Ciampea Udik, Ciampea, Bogor
Wartono
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Jl. Tentara
Pelajar 3A, Bogor 16111 Indonesia Telp. (0251) 8622833; Faks. (0251) 8622833;

Abstrak
Penyakit busuk merupakan salah satu kendala yang menyebabkan rendahnya produksi cabai.
Penelitian bertujuan mengamati dampak serangan penyakit busuk terhadap kerusakan
tanaman cabai di Desa Ciampea Udik, Ciampea, Kabupaten Bogor. Penelitian dilakukan pada
bulan Februari sampai dengan Maret 2021. Tanaman cabai yang diamati berumur 2.5 bulan.
Cabai ditanam pada lahan seluas 2400 m2 yang dibagi menjadi 4 petak pengamatan.
Parameter pengamatan meliputi insidensi dan keparahan penyakit busuk. Patogen penyebab
busuk diisolasi dengan menumbuhkan potongan buah bergejala pada media CMA.
Karakterisasi patogen dilakukan dengan mengamati bentuk koloni dan mikromorfologi. Uji
patogenisitas dengan menginokulasi buah cabai dengan potongan miselia isolat patogen.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat insidensi penyakit busuk pada pertanaman
cabai di lokasi penelitian mencapai 86.0 – 91.7% dengan tingkat keparahan penyakit 87.0 –
89.7%. Berdasarkan hasil karakterisasi bentuk koloni dan mikromorfologi serta uji
patogenisitas diketahui bahwa patogen yang menyebabkan penyakit busuk pada tanaman
cabai dilokasi penelitian adalah Phytophthora capsici. Hasil penelitian ini memberikan
informasi penting tentang dampak penyakit busuk terhadap kerusakan tanaman, sehingga
perlu mendapatkan perhatian serius dalam hal pencegahan dan pengendaliannya.

Kata kunci: cuaca, dampak, P. capsici, pengendalian, sanitasi

Pendahuluan

Cabai merupakan komoditas sayuran yang banyak digemari karena cita rasa pedas yang
disukai oleh konsumennya. Meskipun harga jual yang sering mengalami fluktuasi, namun
komoditas sayuran ini banyak dibudidaya oleh petani di Indonesia. Menurut Sekjen Kemtan
(2016), fluktuasi harga cabai dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan dan ketersediaan cabai,
kebutuhan yang tinggi dan pasokan rendah menyebabkan meningkatnya harga cabai.
Produksi cabai di Indonesia masih tergolong rendah yaitu hanya mencapai 8.5 ton/Ha jauh di

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1235


P-ISSN: 2620-8512
bawah potensi hasilnya yang dapat mencapai 20 ton/Ha (Ditjenhortikultura 2019; (Syukur, et al.
2010).
Penyakit menjadi kendala utama yang menyebabkan rendahnya kualitas dan kuantitas
produksi cabai. Penyakit pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti
virus, nematoda, bakteri, cendawan, dan oomycetes (Majid, et al. 2016). Patogen-patogen
tersebut menyebabkan penyakit dengan gejala yang berbeda-beda, seperti tanaman kerdil,
daun menguning, tanaman layu, busuk akar, busuk batang, hawar daun, dan busuk buah.
Penyakit dapat terjadi pada fase pertumbuhan vegetatif dan generatif.
Penyakit busuk yang disebabkan oleh Phytophthora capsici merupakan salah satu
kendala utama pada pertanaman cabai di dunia (Granke & Quesada-Ocampo, 2012;
Barchenger, et al. 2018). Selain menyebabkan gejala busuk pada batang patogen ini juga
menyebabkan gejala hawar pada daun, busuk akar, dan busuk buah (Sy, et al. 2005;Monroy-
Barbosa & Boslan, 2010). Batang yang terserang oleh patogen ini menunjukkan bercak coklat
kehitaman dan selanjutnya mengering. Pada serangan berat bercak kehitaman menjalar ke
seluruh jaringan dan akhirnya tanaman mengalami kematian. Kehilangan hasil yang
disebabkan oleh penyakit ini dapat mencapai 90% (Jiang, et al. 2015). Di Indonesia kerugian
yang disebabkan oleh penyakit busuk belum diketahui secara pasti karena informasi
mengenai penyakit ini belum banyak diketahui.
Desa Ciampea Udik merupakan salah satu daerah pertanian yang berada di Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor. Komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan di daerah ini
adalah kacang panjang, buncis, timun, tomat, dan cabai. Untuk cabai, budidaya dilakukan
dengan pola monokultur atau tumpang sari. Jenis cabai yang sering ditanam adalah cabai
merah besar dan cabai keriting. Salah satu penyakit yang sering teramati pada pertanaman
cabai di daerah ini adalah penyakit busuk yang menyerang pada seluruh jaringan tanaman.
Sejauh ini, penyebab penyakit dan seberapa besar kerusakan tanaman, serta kehilangan hasil
yang disebabkan oleh penyakit busuk di daerah ini belum pernah dilaporkan.
Tujuan penelitian ini adalah menentukan insidensi penyakit dan tingkat kerusakan yang
disebabkan oleh penyakit busuk pada tanaman cabai di Desa Ciampea Udik, Ciampea,
Kabupaten Bogor.

Materi dan Metode


A. Tempat dan waktu
Penelitian dilakukan di kebun cabai milik petani yang berlokasi di Desa Ciampea Udik,
Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, yang berada pada ketinggian 320 mdpl. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Maret 2021.
E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1236
P-ISSN: 2620-8512
B. Pengamatan penyakit
Petak tanam berupa guludan dengan lebar 100 cm, tinggi 20 cm yang ditutup dengan
mulsa plastik perak, dengan jarak tanam 70 cm x 50 cm. Jenis cabai yang ditanam merah
keriting varietas Red Kriss yang ditanam secara monokultur. Luas lahan 2400 m2 yang
dibagi kedalam 4 petak (600 m2/petak), dan tiap petak dibagi lagi menjadi 3 sub petak seluas
200 m2. Pada tiap sub petak ditentukan 100 tanaman untuk menentukan tingkat insidensi
penyakit dan 5 tanaman untuk keparahan penyakitnya. Tanaman yang diamati adalah cabai
yang telah berumur 2.5 bulan. Pengamatan penyakit dilakukan 2 kali dengan interval 7 hari
yaitu pada minggu terakhir bulan Februari dan minggu pertama bulan Maret 2021. Insidensi
dan keparahan penyaki ditentukan berdasarkan rumus:
Insidensi penyakit:
a
IP = 100%
a+b
IP = insidensi penyaki
a = jumlah tanaman terserang
b = jumlah tanaman tidak terserang
Keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus :
ni.vi
KP =  x100%
N.V
KP = keparahan penyakit
ni = jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i
vi = nilai skor ke-i
N = jumlah tanaman yang diamati
V = nilai skor tertinggi
Skor penyakit mengikuti metode (Glosier, et al. 2008)dengan klasifikasi sebagai
berikut: 0 = tanaman sehat; 1 = daun agak menguning, tapi tidak ada nekrosis pada batang; 2
= terdapat nekrosis minor pada batang; 3 = terdapat nekrosis sedang pada batang dan
tanaman agak layu; 4 = terdapat nekrosis berat dan tanaman terlihat layu dengan jelas; dan 5
= tanaman mati.

C. Identifikasi patogen
Tanaman yang menunjukkan gejala penyakit busuk diambil sebagian jaringan
tanamannya, kemudian dimasukkan dalam kantung plastik steril dan dibawa ke laboratorium
untuk segera diisolasi patogennya. Buah yang terserang patogen disterilisasi permukaannya
dengan merendam dalam alkohol 70% selama 30 detik diikuti dengan pencelupan dalam air
steril 1 menit dan dikeringanginkan di atas kertas tissue steril. Potongan jaringan buah
E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1237
P-ISSN: 2620-8512
sepanjang 0.5 cm ditanam pada media corn meal agar (CMA) yang telah diberi antibiotik
kloramfenikol 30 ppm. Biakan diinkubasi selama 2 hari dalam kondisi gelap dengan suhu 25
°C. Selanjutnya, koloni mikroba yang muncul dimurnikan dalam media yang sama. Pada 7
hari setelah inkubasi (hsi), biakan isolat diamati di bawah mikroskop untuk mengetahui
bentuk spora yang dihasilkan oleh isolat tersebut.
Untuk mengetahui bentuk koloni, isolat ditumbuhkan pada media potato dextrose broth
(PDA). Potongan isolat sebesar 0.5 cm2 diletakkan di tengah cawan petri yang berisi media
PDA. Selanjutnya, biakan diinkubasi pada kondisi gelap dengan suhu 25 °C selama 7 – 10
hari.

D. Uji patogenisitas
Pengujian dilakukan dengan metode Geven, et al., (2006) yang dimodifikasi,yaitu
dengan menginokulasi buah cabai yang sebelumnya telah disterilisasi permukaan
menggunakan potongan biakan isolat dari hasil isolasi. Potongan biakan sebesar 0.5 cm2
ditempelkan pada permukaan buah cabai yang telah dilukai menggunakan jarum.
Selanjutnya, buah cabai diletakkan pada kotak plastik bertutup yang dialasi kertas tissue
basah dan diinkubasi pada suhu ruang. Sebagai kontrol, buah ditempeli potongan media
CMA. Pengamatan gejala dilakukan pada 5 hari setelah inokulasi.

E. Analisis data
Data pengamatan dianalisis dengan menggunakan program SAS ver..9.1.3 untuk
menentukan sidik ragam.

Hasil Penelitian

A. Insidensi dan keparahan penyakit busuk


Serangan penyakit busuk pada penelitian ini terjadi ketika tanaman sedang berbuah
dengan 10% buah sudah matang atau setengah matang. Hasil pengamatan menunjukkan
bahwa gejala penyakit busuk terlihat pada semua petak dengan tingkat insidensi dan
keparahan penyakit yang merata (P>0.05). Gejala busuk pada tiap tanaman yang diamati
bervariasi, ada yang bergejala busuk pada sebagian jaringan dan busuk pada seluruh jaringan
aerial tanaman, yaitu pada batang, ranting, daun, dan buah (Gambar 1). Dalam
perkembangannya, tanaman yang terserang penyakit busuk batangnya menjadi kering dan
akhirnya mati. Gejala busuk yang merambat ke tangkai dan buah menyebabkan buah banyak

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1238


P-ISSN: 2620-8512
yang tidak bisa dipanen. Kehilangan hasil yang disebabkan oleh penyakit ini diperkirakan
mencapai lebih dari 50%.

Gambar 1. Gejala penyakit busuk pada tanaman cabai merah keriting di Desa Ciampea Udik,
Ciampea, Bogor. Serangan penyakit dalam satu gulud baris tanam (a), busuk pada seluruh
jaringan tanaman (b), dan busuk pada cabang dan buah cabai (c)

Perkembangan penyakit terjadi secara cepat, dimana tanaman yang terserang pada awal
pengamatan menunjukkan gejala layu, kemudian beberapa hari kemudian timbul bercak pada
batang bawah yang meluas hingga ke bagian ranting, daun, dan buah dengan tingkat
keparahan penyakit mencapai 87.0 – 89.7%. Penyakit menyebar dari satu tanaman ke
tanaman lain dan dari petak yang satu ke patak lain dengan insidensi penyakit berkisar antara
86.0 – 91.7% (Tabel 1).
Tabel 1. Insidensi dan keparahan penyakit busuk pada tanaman cabai di Desa Ciampea Udik,
Ciampea, Bogor
Petak Insidensi Intensitas
penyakit* penyakit*
(% + SE) (% + SE)
Petak-1 88.3 + 4.41 89.7 + 1.33
Petak-2 86.0 + 4.93 88.0 + 1.45
Petak-3 91.0 + 1.00 89.7 + 1.50
Petak-4 91.7 + 1.67 87.0 + 1.27
P>0.05 P>0.05
Keterangan: * data dari hasil pengamatan kedua, SE = standard error.

B. Identifikasi dan patogenisitas isolat patogen


Identifikasi merupakan hal penting yang perlu dilakukan untuk menentukan penyebab
penyakit dan tindakan pengendalian. Isolat patogen yang diisolasi dari jaringan tanaman sakit
menunjukkan koloni berwarna putih, berkapas, dengan pola seperti petal bunga dan pola yang
tidak beraturan (Gambar 2a dan 2b). Karakterisasi lebih lanjut dengan mengamati
mikromorfologi menunjukkan bahwa isolat yang diisolasi dari jaringan sakit menghasilkan

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1239


P-ISSN: 2620-8512
hifa yang tidak bersekat dan memproduksi sporangia dengan bentuk dan ukuran yang
bervariasi (Gambar 2c).

Gambar 2. Bentuk koloni patogen penyebab busuk pada tanaman cabai, Desa Ciampea Udik,
Ciampea, Bogor. Bentuk koloni seperti petal bunga (a), bentuk koloni tidak beraturan (b), dan
mikromorfologi patogen (pembesaran 200x) (c)
Berdasarkan pengamatan bentuk koloni miselium, hifa, serta kemampuan menghasilkan
sporangia menjadi indikasi bahwa patogen yang menyebabkan penyakit busuk pada tanaman
cabai di lokasi penelitian adalah Phytophthora sp. Menurut Erwin & Ribeiro (1996), ciri
spesifik Phytophthora adalah mempunyai hifa hialin yang tidak bersekat dan menghasilkan
sporangium sebagai bentuk reproduksi aseksualnya. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya
dilaporkan bahwa spesies Phytophthora yang menyerang tanaman cabai di Indonesia adalah
P. capsici dan belum ditemukan adanya spesies Phytophthora lain (Wartono, 2020). P.
capsici merupakan salah satu patogen penting pada tanaman cabai yang menyerang pada
semua jaringan dan fase pertumbuhan tanaman (Majid, et al. 2016).

Gambar 3. Patogenisitas patogen penyebab busuk pada tanaman cabai,


Desa Ciampea Udik, Ciampea, Bogor

Hasil uji patogenisitas menunjukkan bahwa isolat Phytophthora yang diisolasi dari
jaringan tanaman cabai sakit asal lokasi penelitian menyebabkan gejala busuk pada buah
cabai uji. Permukaan buah cabai yang diinokulasi oleh isolat Phytophthora tersebut

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1240


P-ISSN: 2620-8512
menunjukkan gejala yang sama seperti gejala busuk pada buah cabai yang diisolasi
patogennya, yaitu daging buahnya keriput dan lunak serta permukaan buahnya banyak
ditumbuhi oleh masa hifa (Gambar 3).

C. Pembahasan
Tingginya tingkat serangan penyakit busuk pada pertanaman cabai di lokasi penelitian
ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor cuaca dan sanitasi lingkungan. Curah hujan yang
tinggi pada periode Februari sampai dengan awal Maret 2021, diduga menjadi pemicu
ledakan penyakit busuk pada tanaman cabai di lokasi penelitian. Berdasarkan data BMKG
2021, dilaporkan bahwa curah hujan rata-rata pada Februari 2021, untuk wilayah Bogor
adalah 450 mm. Menurut BMKG, curah hujan dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu curah
hujan rendah (0 – 100 mm), sedang (100 – 300 mm), tinggi (300 – 500), dan sangat tinggi
(>500 mm) (Supriyati, et al. 2018). Menurut Ristaino (1991), curah hujan >200 mm memicu
meningkatnya perkembangan penyakit yang disebabkan oleh P. capsici. Tingginya tingkat
serangan penyakit busuk di lokasi penelitian juga didukung oleh sanitasi lingkungan yang
kurang baik, dimana di lokasi penelitian parit yang berada diantara guludan banyak
ditumbuhi oleh gulma, seperti bandotan (Ageratum conyzoides), patikan kebo (Euphorbia
hirta), dan krokot (Portulaca oleracea) yang menghambat aliran air hujan sehingga terjadi
genangan air. Menurut Bowers & Mitchell (1990) dan Reeksting, et al. (2014) air yang
menggenang dapat mempercepat perkembangan dan penyebaran P. capsici. Kondisi
lingkungan berair memudahkan penyebaran zoospora yang keluar dari sporangium dan
kontak dengan jaringan tanaman. Pada permukaan jaringan tanaman, zoospora berkembang
menjadi struktur cyst dan berkecambah membentuk hifa, selanjutnya hifa melakukan
penentrasi ke dalam jaringan dan bermultiflikasi dengan cepat di dalam jaringan tanaman
(Safdar, et al. 2017).
Insidensi dan keparahan penyakit di lokasi penelitian ini kemungkinan juga dipengaruhi
oleh riwayat lahan, dimana petani di daerah ini umumnya melakukan pergiliran dengan
menggunakan jenis tanaman seperti tomat, buncis, timun, dan cabai yang merupakan inang
dari P.capsici (Granke & Quesada-Ocampo, 2012). Hausbeck & Lamour (2004) melaporkan
bahwa selain menyerang cabai P. capsici juga menyerang 44 spesies tanaman lain dari 14
famili.
Hasil penelitian ini memberikan informasi tentang pentingnya penyakit busuk yang
disebabkan oleh Phytophthora dalam menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil pada
tanaman cabai. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit busuk (Phytophthora sp.) perlu

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1241


P-ISSN: 2620-8512
dilakukan untuk meminimalisir kerugian yang ditimbulkannya. Menurut Majid, et al. 2016),
pengendalian penyakit yang disebabkan P. capsici dapat dilakukan dengan sanitasi
lingkungan, perbaikan saluran air, aplikasi agen hayati, dan fungisida sintetik. Upaya
pencegahan dan pengendalian penyakit busuk lainnya adalah dengan melakukan rotasi
menggunakan jenis tanaman yang bukan inang patogen yang sama. Tanaman tahan juga
dapat digunakan untuk menekan kerusakan, namun sejauh ini belum ada varietas cabai
komersial yang benar-benar tahan terhadap multi ras P. capsici yang menjadi penyebab
penyakit busuk (Wartono, et al. 2019).

Kesimpulan

Penyakit busuk pada pertanaman cabai di lokasi penelitian yang berada di Desa
Ciampea Udik, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor menyebabkan kerusakan tanaman
dengan tingkat kejadian dan keparahan penyakit yang tinggi, yaitu masing-masing mencapai
91.7% dan 89.7%. Penyakit busuk pada tanaman cabai di lokasi penelitian disebabkan oleh
P. capsici. Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit busuk dapat dimulai dari sanitasi
lngkungan dan perbaikan saluran air untuk mencegah terjadinya genangan air. Varietas cabai
yang tahan terhadap multi ras P. capsici diperlukan untuk mengurangi kerusakan dan
kehilangan hasil.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan pada Bapak Erwin atas izin penggunaan lahan.
Terimakasih juga disampikan kepada Ibu Dr. Alina Akhdia, Ketua Kelompok Peneliti
Biokimia atas izin penggunaan laborarium serta Bapak Juanda dan Bapak Ade Akhmad yang
membantu penelitian.

Daftar Pustaka

Barchenger, D.W., Lamour, K.H., & Bosland, P. W. (2018). Challenges and strategies for
breeding resistance in Capsicum annuum to the multifarious pathogen, Phytophthora
capsici. Frontiers in Plant Science, 9, 1–6. https://doi.org/10.3389/fpls.2018.00628
Bowers, J.H., & Mitchell, D. J. (1990). Effect of soil-water matric potential and periodic
flooding on mortality of pepper caused by Phytophthora capsici. Phytopathology, 80,
1447–1450. https://doi.org/DOI:10.1094/Phyto-80-1447

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1242


P-ISSN: 2620-8512
[Ditjenhortikultura] Direktorat Jendral Hortikultura. (2019). Data produksi sayuran.
https://doi.org/http://hortikultura2. pertanian.go.id.
Erwin, D.C., & Ribeiro, O. K. (1996). Phytophthora Diseases Worldwide. St. Paul, (US):
American Phytopathological Society.
Geven, A.J., Lamour, K.H., Grumet, R., & Hausback, M. K. (2006). Development of a
detached cucumber fruit assay to screen for resistance and effect of fruit age on
susceptibility to infection by Phytophthora capsici. Plant Disease, 90(10), 1276–1282.
Glosier, B.R., Ogundiwin, E.A., Sidhu, G.S., Sischo, D.R., & Prince, J. P. (2008). A
differential series of pepper (Capsicum annuum) lines delineates fourteen physiological
races of Phytophthora capsici. Euphytica, 162, 23–30.
Granke, L.L., & Quesada-Ocampo, L. (2012). Advances in research on Phytophthora capsici
on vegetable crops in the United States. Plant Disease, 95(11), 1588–1600.
Hausbeck, M.K., & Lamour, K. H. (2004). Phytophthora capsici on vegetable crops:
Research progress and management challenges. Plant Dis., 88, 1292–1303.
Jiang, L., Sanogo, S., & Boslan, P. W. (2015). Using recombinant inbred lines to monitor
changes in the race structure of Phytophthora capsici in chili pepper in New Mexico.
Plant Health Progress, 16(4), 235–240. https://doi.org/10.1094/PHP-RS-15-0034
Majid, M.U., Awan, M.F., Fatima, K., Tahir, M.S., Ali, Q., Rashid, B., Rao, A.Q., Nasir,
I.A., & Husnain, T. (2016a). Phytophthora capsici on chilli pepper (Capsicum annuum
L.) and its management through genetic and bio-control: A review. Zemdirbyste.
Zemdirbyste, 103, 419–430. https://doi.org/10.13080/z-a.2016.103.054.
Majid, M.U., Awan, M.F., Fatima, K., Tahir, M.S., Ali, Q., Rashid, B., Rao, A.Q., Nasir,
I.A., & Husnain, T. (2016b). Phytophthora capsici on chilli pepper (Capsicum annuum
L.) and its management through genetic and bio-control: A review. Zemdirbyste.
103(4), 419‒430. https://doi.org/10.13080/z-a.2016.103.054
Monroy-Barbosa, A., & Boslan, P. W. (2010). A Rapid Technique for Multiple-race Disease
Screening of Phytophthora Foliar Blight on Single Capsicum annuum L. Plants.
HORTSCIENCE, 45(10), 1563–1566.
Reeksting, B.J., Taylor, N.J., & van den Berg, N. (2014). Flooding and Phytophthora
cinnamomi: Effects on photosynthesis and chlorophyll fluorescence in shoots of non-
grafted Persea americana (Mill.) rootstocks differing in tolerance to Phytophthora root
rot. South African Journal of Botany, 95, 40–53.
Ristaino, J. B. (1991). Influence of rainfall, drip irrigation, and inoculum density on the
development of Phytophthora root and crown rot epidemics and yield in bell pepper.
Phytopathology, 81(8), 922–929.
Safdar, A., Li, Q., Shen, D., Chen, L., He, F., Wang, R., Zhang, M., Mafurah, J.J., Khan,
S.A., & Dou, D. (2017). An LRR receptor kinase regulates growth, development and

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1243


P-ISSN: 2620-8512
pathogenesis in Phytophthora capsici. Microbiological Research, 198(2017), 8–15.
Sekjen, & Kemtan. (2016). Outlook: Komoditas Pertanian Sub Sektor Hortikultura. Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian.
Supriyati, Thjahjono, B., & Effendy, S. (2018). Analisis pola hujan untuk mitigasi aliran
lahar hujan gunung api Sinabung. J.Il. Tan. Lingk., 20(20), 95–100.
Sy, O., R. Steiner, & P. W. B. (2005). Inheritance of Phytophthora stem blight resistance as
compared to Phytophthora root rot and Phytophthora foliar blight resistance in
Capsicum annuum L. J. Amer. Hort. Soc., 130, 75–78.
Syukur, M., Sujiprihati, S., Yunianti, R., & Kusumah, D. A. (2010). Evaluasi daya hasil cabai
hibrida dan daya adaptasinya di empat lokasi dalam dua tahun. Jurnal Agronomi
Indonesia, 38(1), 43–51.
Wartono, Wiyono, S., Syukur, M., Giyanto, & Lestari, P. (2019). Resistance of Capsicum
annuum genotypes against various isolates of Phytophthora capsici from Java,
Indonesia. BIODIVERSITAS, 20(12), 3723–3730.
Wartono. (2020). Keragaman Phytophthora sp. patogen asal cabai dan seleksi ketahanan
inang. Disertasi. Institut Pertanian Bogor, Bogor (ID).

E-ISSN: 2615-7721 Vol 5, No. 1 (2021) 1244


P-ISSN: 2620-8512

Anda mungkin juga menyukai