Anda di halaman 1dari 14

Sinopsis Praktek Keterampilan

UJI KEETAHANAN BEGOMOVIRUS PADA BEBERAPA GALUR CABAI


LOKAL ACEH HASIL INDUKSI MUTASI

OLEH :

Afdhalul Fitra
1805101050069

JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2021
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas tanaman
hortikultura unggulan yang luas dibudidayakan karena nilai ekonomi dan kandungan
gizinya. Cabai digunakan dalam campuran makanan, obat-obatan dan beberapa spesies
dijadikan sebagai tanaman hias. Menurut Supriadi et al. (2018) permintaan akan cabai
semakin bertambah besar seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk. Terdapat dua
jenis cabai yang luas dibudidayakan di Indonesia, yaitu cabai besar atau keriting dan cabai
rawit. Produktivitas tanaman cabai sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca serta
gangguan hama dan penyakit. Penanaman cabai pada musim kemarau umumnya lebih
banyak gangguan oleh serangga hama. Salah satu kerugian besar pada usaha tani cabai
apabila tanaman cabai diserang oleh serangga hama seperti kutu kebul (Bemisia tabaci
Genn) yang menjadi vektor virus (Parining dan Dewi, 2018).

virus merupakan kendala produksi yang penting pada tanaman cabai. Jenisjenis
virus penting yang menginfeksi tanaman cabai di Indonesia meliputi Geminivirus,
Cucumber mosaic virus (CMV), Chili veinal mottle virus (ChiVMV), dan Tobacco mosaic
virus (TMV) (Duriat et al., 2007). Geminivirus dari famili Geminiviridae mempunyai
empat genus yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Topocuvirus dan Begomovirus yang dibedakan
berdasarkan tanaman inang yang terinfeksi, jenis serangga vektor dan organisasi genetik
serangga vektor. Genus Begomovirus meliputi virus-virus yang menginfeksi tanaman
dikotil. Pepper yellow leaf curl virus (PepYLCIV) yang menyebabkan penyakit kuning
keriting cabai termasuk ke dalam genus Begomovirus (Van Regenmortel et al., 1999).

Luas tambah serangan virus kuning keriting pada tanaman cabai di Indonesia pada
tahun 2016 seluas 4537,8 ha. Luas tambah serangan virus kuning terus meningkat pada
tahun 2017 seluas 4591,9 ha dan pada tahun 2018 luas tambah serangan virus kuning pada
seluas 4986,4 ha (Kementrian Pertanian, 2019). Hasil penelitian Koeda et al. (2016)
menyatakan sebanyak 500 sampai 3000 tanaman cabai yang ditanam pada areal lahan
petani,empat dari lima lahan menunjukkan gejala serangan virus 100%. Sulandari et al.
(2004) menyatakan epidemi penyakit tersebut dipengaruhi oleh peran aktif serangga
vektor, satu ekor saja kutu kebul mampu menularkan virus dan menyebabkan infeksi.
Kehilangan hasil akibat serangan B. tabaci yang menginfeksi Begomovirus pada tanaman
cabai merah berkisar antara 20% sampai 100% (Setiawati et al., 2007).

Petani menggunakan pestisida sebagai upaya pengendalian kutu kebul, namun tidak
efektif karena satu ekor kutu kebul sudah dapat menimbulkan infeksi. Pola tanam
tumpangsari cabai merah dengan kubis atau cabai merah dengan tomat dapat menekan
serangan B. tabaci berturut-turut 35.85% dan 32.36% (Setiawati et al., 2006). Penggunaan
varietas tahan masih menjadi cara yang tepat untuk mengatasi penyakit yang disebabkan
oleh Begomovirus. Ganefianti (2010) telah melakukan uji ketahanan beberapa genotipe
cabai terhadap infeksi Begomovirus, IPB C5 salah satu genotipe yang diuji. IPB C5
merupakan genotipe yang sangat rentan terhadap Begomovirus dengan intensitas penyakit
lebih dari 40%. Pada penelitian tersebut didapatkan IPB C12 merupakan genotipe yang
tahan terhadap infeksi Begomovirus. Genotipe potensial tersebut dapat digunakan dalam
perakitan varietas tahan.

Keragaman genetik yang tinggi akan memberikan peluang besar mendapatkan


kombinasi persilangan yang tepat. Suatu sifat dipengaruhi oleh faktor genetik atau
lingkungan dapat diketahui dengan menghitung nilai heritabilitas. Nilai heritabilitas yang
tinggi menunjukkan faktor genetik lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat
dibandingkan faktor lingkungan (Poehlman, 1979). Keragaman genetik dan heritabilitas
suatu sifat sangat tergantung pada faktor lingkungan. Lingkungan seperti cabai yang
diinfeksi Begomovirus sangat penting dilakukan pengukuran terhadap bahan pemuliaan
cabainya, dalam rangka pemuliaan ketahanan cabai terhadap Begomovirus (Ganefianti,
2010).

Varietas tahan dihasilkan oleh pemulia melalui serangkaian kegiatan pemuliaan


tanaman. Evaluasi ketahanan plasma nutfah cabai besar terhadap infeksi Begomovirus
perlu dilakukan serta mengevaluasi keragaman genetik, menduga nilai heritabilitas, dan
mendapatkan karakter seleksi ketahanan tanaman cabai terhadap Begomovirus.

1.2. Tujuan Praktek Keterampilan


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui parameter pengamatan yang efektif
untuk seleksi ketahanan beberapa galur tanaman cabai terhadap infeksi Begomovirus.

1.3. Manfaat Praktek Keterampilan


Penelitian ini dapat menghasilkan data genotipe cabai yang mengalami tingkat
serangan Begomovirus paling sedikit dan mengetahui karakter seleksi yang tepat untuk
ketahanan tanaman cabai terhadap Begomovirus.
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Dua, Sektor Timur, Fakultas


Pertanian, Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh mulai Mei 2021 sampai
dengan Agustus 2021. Pengamatan hasil produksi dilakukan di Laboratorium Genetika
dan Pemuliaan Tanaman Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Syiah
Kuala, Darussalam, Banda Aceh.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu cangkul, ajir, selang air, alat
tulis, tali plastik, plastik bening, meteran pita, penggaris, spidol, jangka sorong,
timbangan analitik, sprayer, tray, gunting, dan pinset.

3.2.2. Bahan
Bahan tanam yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai lokal Aceh varietas
odeng sebagai tanaman kontrol dan genotip uji. tujuh genotipe uji dan tiga varietas
pembanding. Genotipe uji yang digunakan yaitu M2-O10-D1,M2-O7-D2,M2-O9-D3,dan M2-
O16-D4. Varietas pembanding yaitu F1 Gada. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah
media tanam campuran kompos dan arang sekam (1:1), mulsa plastik hitam perak,
kawat yang digunakan dalam penutupan bedengan dengan mulsa, pupuk kandang, AB
mix dan insektisida Agrimec dengan bahan aktifnya Abamectin 8 g L -1 untuk hama
Thrips.

3.3. Metode Kerja

3.3.1. Metode Observasi

Benih cabai disemai terlebih dahulu didalam tray berukuran 50 lubang. Media
tanam yang digunakan untuk penyemaian, yaitu kompos dan arang sekam (1:1)
dicampur secara merata. Pengendalian hama dan penyakit pada penyemaian
menggunakan Agrimec. Konsentrasi yang dipakai untuk Agrimec 0.5 ml L-1. Tanaman
yang ada di persemaian dipupuk menggunakan AB mix dengan konsentrasi 5 ml L-1.

3.3.2. Persiapan Lahan

Persiapan lahan dilakukan satu bulan sebelum penanaman bibit dengan tujuan
untuk menggemburkan tanah, yaitu melalui pembajakan tanah dan pemberian pupuk
kandang. Bedengan dibuat dengan panjang 5 m dan lebar 1 m. Pupuk kandang diberikan
pada saat 2 minggu sebelum pindah tanam dengan dosis pupuk kandang 10 kg per
bedengan. Jarak antar petak percobaan yaitu 0.5 m dan jarak tanam 50 cm x 50 cm.

Bedengan ditutup dengan mulsa plastik hitam perak (MPHP). Penutupan


bedengan dengan menggunakan MPHP dilakukan pada siang hari agar mulsa dapat
merenggang saat ditarik (Wijayanto, 2018). Mulsa ditarik hingga ketat, diberikan
bambu pada kedua ujungnya dan pada sisi samping digunakan kawat untuk menahan
mulsa.

3.3.3. Penanaman Cabai

Pemindahan bibit cabai ke lahan dilakukan pada lima minggu setelah semai
(MSS), dimana tinggi bibit ± 10 cm dan sudah mempunyai lima hingga tujuh helai daun
sejati. Pindah tanam dilaksanakan pada sore hari agar bibit tidak layu akibat terik
cahaya matahari. Satu bibit ditanam pada satu lubang tanam. Masing-masing plot
ditanam 20 tanaman. Pengajiran dan pemasangan tali dilakukan tiga hari setelah tanam.
Pemasangan ajir agar tanaman cabai yang baru dipindah tanam tidak terkena pastik
mulsa apabila tertiup angin, bila mengenai mulsa pada tanaman cabai baru pindah tanam
akan mengakibatkan daun cabai terbakar. Ajir dibuat dari bambu sepanjang ± 1.5 m
pada masing-masing lubang tanam.

3.3.4. Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman 2 kali sehari, penyiangan seminggu


sekali, pewiwilan, pemupukan, dan pengendalian hama penyakit. Penyulaman tanaman
dilakukan pada tanaman yang pertumbuhannya abnormal, mati dilahan dan layu diganti
dengan tanaman baru yang umurnya sama. Penyulaman dilakukan sampai tanaman
berumur 2 minggu setelah tanam. Pewiwilan dilakukan ketika adanya tunas air yang
tumbuh di percabangan utama tanaman cabai. Pewiwilan bertujuan agar nutrisi yang
terserap oleh tanaman cabai hanya terpusat pada batang utama, sehingga menghasilkan
buah yang baik. Pemupukan tanaman cabai menggunakan AB mix. AB mix digunakan
masing-masing 5 ml L-1 dan disiram pada tanaman disekitar akar sebanyak 200 ml per
tanaman. Pemupukan dilakukan tiga hari sekali hingga panen. Penyiangan gulma
diantara bedengan dilakukan dengan menggunakan cangkul, sedangkan penyiangan
gulma dalam bedengan dengan mencabut gulma tersebut. Pengendalian hama Thrips
pada tanaman cabai menggunakan Agrimec bahan aktif Abamectin 8 g L -1 dengan dosis
0.5 ml L-1, penyemprotan dilakukan hanya sekali diawal pindah tanam pada tanaman
cabai yang diserang oleh hama Thrips saja.

3.3.5. Panen

Pemanenan dapat dilakukan pada saat buah matang mencapai 75% hingga buah
matang penuh. Pemanenan dilakukan dengan cara memetik buah beserta tangkainya
serta dilakukan satu kali seminggu selama empat minggu.

3.4. Pengamatan Parameter Penyakit

3.4.1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi Begomovirus pada tanaman cabai diamati setiap hari setelah
tanam hingga tanaman menunjukkan gejala terinfeksi oleh Begomovirus yang ditandai
dengan menebalnya pertulangan daun dan terdapat kuning pada sebagian lamina daun.

3.4.2. Skor atau Tipe Gejala

Skor atau tipe gejala diamati dengan mencatat skor atau deskripsi gejala yang
muncul pada tiap tanaman cabai. Skor gejala infeksi Begomovirus berdasarkan
Ganefianti (2008) pada tabel 2.

3.4.3. Intensitas penyakit (%)

Intensitas penyakit terinfeksi Begomovirus dihitung dengan cara melakukan


skoring terhadap gejala penyakit yang diekspresikan tanaman cabai di lapangan setiap
15 hari sekali berdasarkan kriteria tertentu (Tabel 2). Berdasarkan respon ketahanan
tanaman cabai terhadap Begomovirus, ketahanannya dikelompokkan mengikuti kriteria
yang digunakan oleh Ganefianti (2010) dengan modifikasi (Tabel 3). Intensitas penyakit
digunakan untuk menentukan tingkat keparahan infeksi Begomovirus pada genotipe
dengan rumus:

Intensitas Penyakit (%) = ∑0i=5 (ni x zi) x 100%


NXZ

Keterangan:

ni = jumlah tanaman bergejala dengan nilai skor


tertentu zi = nilai skor gejala

N = jumlah total tanaman yang


diamati Z = nilai skor gejala
tertinggi

Tabel 2 Kriteria gejala infeksi Begomovirus untuk menentukan skor intensitas penyakit

Skor Gejala

1 Tanaman tidak bergejala


2 Terdapat kuning pada lamina, spot-spot kuning pada daun atau mosaik
3 Daun menguning dan keriting
4 Daun menguning, keriting melengkung ke bawah atau ke atas
5 Daun menguning, keriting melengkung ke bawah dan ke atas
6 Daun menguning, keriting, melengkung serta tanaman menjadi
kerdil (Sumber: Ganefianti, 2010)

Tabel 3 Kriteria ketahanan tanaman terhadap infeksi Begomovirus

Respon Gejala Intensitas penyakit (IP)


Intensitas
Penyakit

Tahan Ringan 1%<IP≤10%

Agak Tahan Sedang 10%<IP≤20%

Rentan Berat 20%<IP≤40%


Sangat Rentan Sangat Berat IP>40%

3.4.4. Kejadian penyakit (%)

Tingkat serangan virus pada berbagai fase pertumbuhan dapat diketahui dengan
menghitung kejadian penyakit, dilakukan sebanyak tujuh kali pengamatan dengan
interval waktu 15 hari sekali (umur 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 HST). Persentase serangan
virus dihitung dengan rumus kejadian penyakit sebagai berikut:

Jumlah tanaman bergejala

Kejadian penyakit (%) × 100%

=
Jumlah tanaman yang
diamati

3.5. Parameter Pengamatan Peubah Kuantitatif

3.5.1. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur pada umur 30 HST dan setelah panen kedua. Tinggi
tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung titik tumbuh tertinggi.
**

3.5.2. Diameter Batang (mm)

Diameter batang diukur pada pertengahan jarak antara permukaan tanah hingga
percabangan pertama. Pengukuran diameter batang dilakukan setelah panen kedua.

3.5.3. Panjang Buah (cm)

Pengamatan panjang buah dilakukan sebanyak empat kali pemanenan. Panjang


buah dihitung menggunakan benang dari pangkal sampai ujung buah, benang yang
digunakan untuk mengukur panjang buah diukur kembali menggunakan meteran pita.

3.5.4. Diameter Buah (mm)

Pengamatan diameter buah dilakukan sebanyak empat kali pemanenan. Diameter


buah diukur dekat dengan pangkal buah menggunakan jangka sorong.

3.5.5. Jumlah Buah per Tanaman

Pengamatan menghitung jumlah buah per tanaman dilakukan selama empat kali
pemanenan.

3.5.6. Bobot Buah per Tanaman (g tan-1)

Buah masak ditimbang yang ada selama panen dari 10 tanaman cabai per
bedengan.

Bobot buah per tanaman ditimbang menggunakan timbangan analitik.

3.5.7. Total Bobot Buah Selama Panen (g)

Pengamatan total berat buah selama panen dilakukan dengan menjumlahkan


total seluruh berat buah selama empat kali pemanenan. Total berat buah selama panen
ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik
Keterangan:

ni = jumlah tanaman bergejala dengan nilai skor


tertentu zi = nilai skor gejala

N = jumlah total tanaman yang


diamati Z = nilai skor gejala
tertinggi

Tabel 2 Kriteria gejala infeksi Begomovirus untuk menentukan skor intensitas penyakit

Skor Gejala

1 Tanaman tidak bergejala


2 Terdapat kuning pada lamina, spot-spot kuning pada daun atau mosaik
3 Daun menguning dan keriting
4 Daun menguning, keriting melengkung ke bawah atau ke atas
5 Daun menguning, keriting melengkung ke bawah dan ke atas
6 Daun menguning, keriting, melengkung serta tanaman menjadi
kerdil (Sumber: Ganefianti, 2010)

Tabel 3 Kriteria ketahanan tanaman terhadap infeksi Begomovirus

Respon Gejala Intensitas penyakit (IP)


Intensitas
Penyakit

Tahan Ringan 1%<IP≤10%

Agak Tahan Sedang 10%<IP≤20%

Rentan Berat 20%<IP≤40%

Sangat Rentan Sangat Berat IP>40%


3.5.8. Kejadian penyakit (%)

Tingkat serangan virus pada berbagai fase pertumbuhan dapat diketahui dengan
menghitung kejadian penyakit, dilakukan sebanyak tujuh kali pengamatan dengan
interval waktu 15 hari sekali (umur 15, 30, 45, 60, 75 dan 90 HST). Persentase serangan
virus dihitung dengan rumus kejadian penyakit sebagai berikut:

Jumlah tanaman bergejala

Kejadian penyakit (%) × 100%

=
Jumlah tanaman yang
diamati

3.6. Parameter Pengamatan Peubah Kuantitatif

3.6.1. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur pada umur 30 HST dan setelah panen kedua. Tinggi
tanaman diukur dari permukaan tanah hingga ujung titik tumbuh tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA

Duriat, A. S., Gunaeni, N., d a n Wulandari, A. W. 2007. Penyakit Penting pada Tanaman
Cabai dan Pengendaliannya. Balitsa. Bandung.

Ganefianti, D.W. 2010. Genetik Ketahanan Cabai Terhadap Begomovirus Penyebab Penyakit
Daun Keriting Kuning dan Arah Pemuliaannya. Disertasi. IPB. Bogor.

Kementrian Pertanian. 2019. Statistik Iklim, Organisme Pengganggu Tanaman dan Dampak
Perubahan Iklim. Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian. 76. Diakses dari:
http://epublikasi.setjen.pertanian.go.id/arsip-buletin/157-iklim-opt-dan-dpi/654-
buletin-data-iklim-opt-dan-dpi-triwulan-iv-2019

Koeda, S., Kesumawati, E., Tanaka, Y., Hosokawa, M., Doi, M., dan Kitajima, A. 2016.
Mixed Infection of Begomoviruses on Pepper Plants at Northern Sumatra, Indonesia.
Trop. Agr. Develop. 60(2): 59-64.

Parining, N., dan Dewi, R. K. 2018. Analisis risiko pendapatan cabai merah pada lahan sawah
dataran tinggi di Kabupaten Karangasem, Bali. J SOCA. 12(1): 109-117.

Poehlman, J. M. 1979. Breeding Field Crops. The AVI Publishing. Westport.

Setiawati, W., Udiarto, B. K., dan Soetiarso, T. A. 2006. Pengaruh varietas dan sistem tanam
cabai merah terhadap penekanan populasi hama kutu kebul. Jurnal Hortikultura
18(1):55-61.

Setiawati, W., Udiarto, BK., dan Soetiarso, TA. 2007. Selektivitas beberapa insektisida
terhadap hama kutu kebul (Bemisia tabaci Genn) dan predator Menochilus
sexmaculatus Fabr. Jurnal Hortikultura 17(2): 168-179.

Sulandari, S. 2004. Karakterisasi biologi, serologi, dan analisis sidik jari DNA virus penyebab
penyakit daun keriting kuning cabai. Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Supriadi D.R., Susila A.D., dan Sulistyono, E. 2018. Penetapan kebutuhan air tanaman
Van Regenmortel, Claude, M. F., Dave, H. L. B., Carsten, E. B., Estes, M. K., dan
Lemon, S. M. 1999. Virus Taxonomy. Seventh report of the international committee on
taxonomy of viruses. Academic Press. San Diego.

Anda mungkin juga menyukai