penyedap makanan maupun untuk pemenuhan gizi. Buah cabai keriting memiliki
kandungan gizi yang banyak, yaitu protein 1 g, lemak 0,3 g, karbohidrat 7,3 g,
kalsium 29 mg, fosfor 24 mg, zat besi 0,5 mg, vit A 470 mg, vit B1 0,05 mg, vit C
pada tanaman cabai sampai dengan 75%, menginfeksi buah mangga dihampir
semua negara penghasil mangga, dan juga menginfeksi tanaman kakao (Nurbailis,
2008).
diketahui memiliki gejala yang diawali dengan bintik-bintik kecil yang berwarna
kehitam-hitaman dan sedikit melekuk pada buah cabai. Serangan yang lebih lanjut
tanah. Umumnya Colletotrichum sp. muncul pada saat perkecambahan dan dapat
bertahan di tanah dan kemungkinan disebarkan melalui percikan air yang membawa
konidia dan penyebaran askospora melalui udara (Nicholson & Moraes, 1980).
1
Jamur Colletotrichum masuk ke dalam dinding sel tumbuhan inang dan
komponen dinding sel tumbuhan (Albersheim & Jones, 1969). Hal tersebut
mengakibatkan kerusakan pada dinding sel tumbuhan termasuk dinding sel buah
matinya organisme non target (Oka, 1995). Berdasarkan kenyataan tersebut maka
perlu adanya upaya untuk mencari alternatif fungisida yang ramah lingkungan salah
akar, produktifitas tanaman, resistensi terhadap stres abiotik serta penyerapan dan
tular tanah seperti Fusarium oxysforum f.sp. lycopercii (FOL) (Ambar, 2013),
mempunyai daya kompetisi yang tinggi, memiliki daya tahan hidup lama dan
Trichoderma sp. juga bersifat sebagai mikoparasit pada hifa dan tubuh patogen
tumbuhan.
2
Menurut Istikorini (2002 dalam Gultom, 2008) menyatakan bahwa
mekanisme antagonisme jamur Trichoderma sp. meliputi (a) kompetisi nutrisi atau
sesuatu yang lain dalam jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b)
antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain
oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi organisme pengganggu tanaman, dan (c)
tumbuh tanaman yang berdampak positif pada pertumbuhan tanaman serta sistem
juga berperan dalam proses penguraian bahan organik didalam tanah. Affandi et al.
(2001) menyatakan bahwa Trichoderma sp. memainkan peran kunci dalam proses
Di dalam tanah hidup berbagai spesies jamur yang bersifat antagonis terhadap
ketiga spesies jamur antagonis yang akan digunakan, ada kemungkinan terdapat
Trichoderma dalam mengendalikan jamur patogen dapat berbeda satu sama lain,
3
sehingga efektifitasnya sebagai pengendali hayati Colletotrichum sp. juga dapat
yang seringkali tidak sesuai dengan dosis anjuran dan waktu aplikasi, sehingga
tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi pengendalian jamur
patogen Collectotrichum sp. yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Penggunaan
(Rifai,1996).
Kegiatan praktek kerja profesi adalah salah satu bentuk emplementasi secara
satunya adalah Balai Penelitian Tanaman Sayur (BALITSA) yang ada di Bandung.
Tanaman Sayuran sebagai lokasi untuk melaksanakan praktek kerja profesi dan
4
Tanaman Cabai Secara In Vitro di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang,
1.2 Tujuan
Tujuan umum dari praktek kerja profesi ini adalah untuk meningkatkan
pengendalian penyakit pada tanaman cabai dengan agensia hayati baik secara teknis
5
II TINJAUAN PUSTAKA
batang berkayu dan bercabang banyak. Tinggi tanaman cabai bisa mencapai 120
cm dengan lebar tajuk tanaman sampai 90 cm (Cahyono, 2003). Daun cabai pada
umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung pada varietasnya.
Daun cabai yang ditopang oleh tangkai daun mempunyai pertulangan daun
menyirip. Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung
meruncing tergantung pada jenis dan varietasnya. Foto tanaman cabai besar
Selain sebagai penyedap makanan, cabai juga banyak digunakan untuk terapi
6
membantu menyembuhkan kejang otot, rematik, sakit tenggorokan dan alergi.
Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung. Selain itu,
cabai dapat digunakan untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan
encok karena bersifat analgesik. Khasiat cabai yang begitu banyak disebabkan oleh
Kapsaikin merupakan unsur aktif yang berkhasiat obat terdiri dari lima komponen
sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton
per tahun (DJBPH, 2013). Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 6,19
biologis yang diakibatkan oleh serangan patogen pada cabai masih merupakan
penyebab utama kegagalan panen, maka usaha untuk mengatasi penyakit pada
tanaman cabai akibat hama dan penyakit sangat perlu mendapat perhatian
cabai sampai dengan 75%, menginfeksi buah mangga dihampir semua negara
7
2.2 Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai
Salah satu jenis penyakit pada tanaman cabai besar adalah penyakit
antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp.. Adanya serangan jamur
Colletotrichum sp. pada tanaman cabai besar mempunyai arti ekonomi yang sangat
penting, karena dapat menurunkan hasil produksi cabai dan merugikan para petani
Penyakit antraknosa tersebar luas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok (Duriat,
1990).
Colletotrichum sp.. Hannden and Black (1989) mengungkapkan bahwa jenis jamur
coccodes. Menurut Kim et al. (1999) menyatakan bahwa penyakit antraknosa pada
tanaman cabai disebabkan oleh jamur Colletotrichum terdiri atas lima spesies yaitu
Menurut hasil penelitian Sudiarta dan Sumiartha (2012) penyakit antraknosa pada
8
Jamur Colletotrichum sp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo
aseksual pada jamur parasit, Gambar 2.2). Jamur dari Genus Colletotrichum
aseksual) dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik (bentuk seksual) masuk
dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam Genus Glomerella
Gambar 2.2 Struktur aservulus jamur Colletotrichum sp. (Barnett and Hunter, 1998)
Ciri-ciri umum jamur dari genus Colletotrichum yaitu memiliki hifa bersekat
dan menghasilkan konidia yang transparan dan memanjang dengan ujung membulat
atau meruncing panjangnya antara 10-16 µm dan lebarnya 5-7 µm. Massa dari
ujung spora tumpul, ukuran spora 16,1 x 5,6 m dengan kecepatan tumbuh 12,5 mm
ujung spora meruncing, ukuran spora 16,1 x 5,3 m dengan kecepatan tumbuh 6,8
9
ujung spora runcing, ukuran spora 14,9 x 4,2 m dengan kecepatan tumbuh 8,4 mm
per hari. Sedangkan jamur Colletotrichum capsici mempunyai bentuk spora seperti
bulan sabit, ujung spora runcing, ukuran spora 24,3 x 4,4 m dengan kecepatan
tumbuh 9,8 mm per hari (AVRDC, 2010). Bentuk spora beberapa jenis jamur
cabai. Infeksi pada buah cabai besar terjadi biasanya pada buah menjelang tua dan
sesudah tua. Gejala diawali dengan adanya bintik-bintik kecil berwarna kehitam-
hitaman dan sedikit melekuk pada permukaan buah. Gejala lebih lanjut buah
mengkerut, kering, membusuk dan jatuh (Rusli dan Zulpadli, 1997). Bercak
berbentuk bundar atau cekung dan berkembang pada buah yang belum
dewasa/matang dari berbagai ukuran. Biasanya bentuk bercak beragam pada satu
buah cabai dan ketika penyakit semakin parah, bercak akan bersatu. Gejala pada
buah cabai yang sudah menua tampak seperti pada Gambar 2.4. Spora terbentuk
10
dan memencar secara cepat pada buah cabai, sehingga mengakibatkan kehilangan
hasil sampai 100%. Penyakit dapat menginfeksi sampai ke tangkai buah cabai dan
menimbulkan bercak seperti bintik yang tidak beraturan berwarna merah tua
Gambar 2.4 Buah cabai besar terserang penyakit antraknosa dengan gejala berat
pada buah cabai besar dimulai dengan kulit buah akan tampak mengkilap, diikuti
dengan pelunakan jaringan, kemudian permukaan buah akan menjadi cekung dan
berwarna kecoklatan, sehingga terlihat adanya seperti luka atau lebih dikenal
dengan sebutan lesio. Lesio muncul sedikit demi sedikit kemudian pada akhirnya
dapat menutupi sebagian besar permukaan buah. Permukaan buah cabai yang
terserang penyakit antraknosa akan berair dan aservulus jamur Colletotrichum sp.
terlihat seperti bercak kehitaman yang kemudian meluas dan membusuk. Pada buah
cabai dengan gejala penyakit antraknosa berat buah mengering dan keriput,
sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami.
buah cabai besar secara umum hampir sama dengan gejala serangan jamur patogen
lainnya. Gejala serangan jamur Colletotrichum sp. diawali dengan adanya inokulasi
11
jamur Colletotrichum sp. pada buah cabai, kemudian diikuti dengan proses
atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang. Proses penetrasi
yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang. Kemudian setelah
organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka akan terjadi proses
berikut : pada mulanya spora patogen membentuk tabung kecambah (germ tube).
Bagian spora yang memproduksi germ tube bertambah panjang dan menembus
dinding sel inang. Kemudian germ tube akan termodifikasi menjadi apresorium
yang berfungsi untuk melekat dengan kuat pada permukaan jaringan inang
(Yudiarti, 2007). Proses infeksi terjadi setelah proses penetrasi yaitu patogen sudah
Proses kolonisasi tersebut akan merusak seluruh jaringan pada tubuh inang
dibutuhkan patogen sejak mulai inokulasi sampai timbul gejala penyakit. Bila
gejala penyakit telah timbul berarti patogen telah melakukan reproduksi inokulum
sekunder yang dihasilkan oleh patogen melalui agen penyebar seperti angin, air dan
Terdapat tiga cara yang digunakan oleh patogen dalam melakukan penetrasi
yaitu, luka, lubang alami dan penetrasi langsung. Luka yang ada pada tanaman
12
dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air hujan dan serangan
dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen untuk masuk ke dalam
tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan lenti sel. Sedangkan untuk
cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen antara lain dengan
memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang berfungsi untuk
mendegradasi dinding sel dan atau merubah permeabilitas membran sel tanaman.
Keadaan cuaca yang lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya
infeksi sehingga diameter lesio akan cepat membesar (Martinez et al. 2009).
Spora jamur Colletotrichum sp. dapat disebarkan oleh angin dan percikan air
hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman, 1993).
berwarna merah muda sampai coklat muda merupakan kumpulan massa konidia
(Rusli dan Zulpadli, 1997). Tahap awal infeksi Colletotrichum umumnya dimulai
kecambah. Setelah penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa, hifa intra dan
antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp.
13
Gambar 2.5 Siklus penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan oleh
jamur Colletotrichum sp. (Agrios 2005)
yang secara alami menyerang jamur patogen dan bersifat menguntungkan bagi
tanaman. Jamur Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis jamur yang banyak
dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan pada berbagai habitat yang merupakan
salah satu jenis jamur yang dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati pengendali
patogen tanah. Jamur ini dapat berkembang biak dengan cepat pada daerah
berfungsi sebagai agens hayati. Trichoderma sp. dalam peranannya sebagai agens
merupakan jamur parasit yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi dari jamur
lain. Kemampuan dari Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit jamur patogen
14
tanaman dan bersifat antagonis, karena memiliki kemampuan untuk mematikan
atau menghambat pertumbuhan jamur lain. Mekanisme yang dilakukan oleh agens
selain itu jamur Trichoderma sp. juga memiliki beberapa kelebihan seperti mudah
diisolasi, daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat dan
jamur ini juga memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat
patogen pada tanaman. Selain itu, mekanisme yang terjadi di dalam tanah oleh
aktivitas Trichoderma sp. yaitu kompetitor baik ruang maupun nutrisi dan sebagai
hayati adalah T. harzianum, T. viridae, dan T. koningii yang tersebar luas pada
15
berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung percabangan menjadi bertambah pendek.
Philia/cabang hifa tampak langsing dan panjang terutama pada apeks dari cabang
dan berukuran 18 x 2.5 µ, konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek,
Trichoderma jenis lain. T. harzianum dapat memproduksi enzim litik dan antibiotok
antifungal. Selain itu T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen dan
harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim
seperti urease, selulase, glukanase dan kitinase. Hasil metabolit ini dipengaruhi
kandungan nutrisi yang terdapat dalam media. Saat berada pada kondisi yang kaya
akan kitin, T. harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase. Enzim
ini berguna untu meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol terhadap patogen yang
tidak beraturan dan bercabang – cabang, fialid T.koningii dapat tunggal atau
membentuk bola pada ujung fialid. Klamidospora dapat dibentuk dekat ujung sel,
berdinding halus, hyaline berbentuk bola /elips. Konidia bersel satu dan ber bentuk
16
bulat, agak bulat sampai bulat telur pendek. Konidiofor T. koningii umum nya
dendroid yang ruwet berukuran panjang dan ramping tanpa perpanjangan hifa steril.
Pada media buatan tumbuh sangat cepat, berjumbai dengan warna putih sampai
hijau. Jamur T.koningii memiliki koloni yang berdiameter 3-5 cm pada umur 5 hari
dalam suhu 20 ̊C, konidia berdinding halus berukuran antara 3 – 4,8 x 1,9 – 2,8 μm,
keputihan sampai hijau tua. T. koningii merupakan jamur antagonis yang dapat
hidup baik secara saprofitik maupun parasit pada jamur lain (Nuryatiningsih, 2000).
mengatasi beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur akar pada tanaman
kakao. Jamur T. koningii ini dilaporkan sebagai bio Fungisida karena mampu
T. viridae merupakan salah satu jenis fungi yang bersifat selulolitik karena
dapat menghasilkan selulase. Banyak fungi yang bersifat selulolitik tetapi tidak
banyak yang menghasilkan enzim selulase yang cukup banyak untuk dapat dipakai
secara langsung bagi usaha dalam skala besar. Fungi selulolitik yang cukup baik
17
memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan
bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Ada juga yang
selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa. T. viridae
menghasilkan enzim kompleks selulase. Enzim ini berfungsi sebagai agen pengurai
yang spesifik untuk menghidrolisis ikatan kimia dari selulosa dan turunannya. T.
viridae merupakan kelompok fungi tanah sebagai penghasil selulase yang paling
tanah yang diakibatkan oleh dihasilkannya antibiotik. Beberapa antibiotik ini juga
fungisida sistemik karena antibiotic menembus jaringan tanaman secara merata dan
merupakan metabolic anti jamur dengan spectrum luas yang memiliki ciri khas
18
perkembangan populasi tanah yang saprofik yang berlawanan itu dapat mencapai
maksimum.
Trichoderma sp. merupakan jamur saprofik yang hidup dalam tanah, serasah,
cepat dan diantaranya mampu membunuh jamur lain. Trichoderma sp. dikenal
dengan satu atau banyak fialid, bersel satu, bulat telur dan terdapat juga ujung fialid
(Raja, 2003).
bertahan bila keadaan lingkungan baik, miskin unsur hara, atau kekeringan.
Propagul ini akan tumbuh dan berkembang biak kembali apabila lingkungan
kembali normal. Hal ini berarti dengan sekali aplikasi saja Trichoderma sp. akan
tinggal didalam tanah untuk selamanya. Disamping itu Trichoderma sp. adalah
mikroba yang tahan terhadap berbagai perlakuan pestisida sehingga dapat bertahan
hidup dalam kondisi dan jenis tanah pada saat mikroba lain tidak dapat hidup (Raja,
2003).
serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh
adanya pengaruh toksin yang dihasilkan oleh jamur ini. Selain itu Trichoderma sp.
19
Mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah
dinding sel dan masuk kedalam sel untuk mengambil zat makanan dari
sumber makanan.
Trichoderma sp. adalah jenis jamur yang tersebar luas di tanah dan
parasit jamur lain. Sifat inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap jenis
20
III METODOLOGI
selama 2 bulan mulai tanggal 02 Juli 2018–31 Agustus 2018. Adapun tempat
Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah : isolat lokal Trichoderma
sp, isolat patogen penyebab antraknosa, aquades, Potato Dekstrose Agar (PDA) dan
alkohol 95%.
timbangan analitik, rak kultur, cawan petri, cover glass, objek gelas, scalpel,
corkborer, silet, tabung reaksi, beker glass, mikropipet, schotbottle, plastik bening,
lampu spiritus, pinset, cutter, selotip, mikroskop, penggaris, kamera dan alat tulis
menulis.
latihan kerja dan pengarahan serta analisis sesuai dengan teori-teori yang dipelajari.
Pada pelaksanaan praktek kerja profesi mahasiswa mengikuti jadwal kantor yang
21
3.3.1. Sterilisasi alat
Lembang, Bandung. Alat yang digunakan untuk sterilisasi berupa autoclaf dan
Media yang digunakan untuk kegiatan ini adalah Potato Dextrose Agar
(PDA). PDA dibuat dengan cara menambahkan 39 gram PDA instan ke dalam 1
liter aquadest, Lalu panaskan diatas hot plate sambil diaduk hingga mendidih.
dengan suhu 121°C dan tekanan 2 atm. Medium yang telah steril disimpan pada
terserang penyakit antraknosa di lapang. Buah tanaman cabai dipotong pada bagian
sakit dan sehat dengan ukuran 1 cm kemudian dicelupkan ke dalam alkohol 70%
selama 30 detik dan direndam dalam air steril selama 1 menit, selanjutnya
ditiriskan. Setelah tampak kering potongan buah cabai ditanam di media PDA.
Biakan diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar dan dilakukan pengambilan
koloni Collectotrichum sp. dengan jarum ose untuk ditanam pada media PDA yang
baru. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan biakan murni Collectotrichum sp.
22
3.3.4 Isolasi jamur antagonis
Jamur Trichoderma sp. diisolasi dari jaringan tanaman cabai sehat. Contoh
tanaman sehat diambil dari lahan budidaya cabai yang endemik terserang penyakit
antraknosa. Tahapan dari isolasi jamur antagonis diawali dengan pencucian batang
laminar air flow cabinet (LAFC) untuk kegiatan isolasi. Potongan contoh tanaman
selama 1 menit, kemudian direndam dalam alkohol 70% selama 1 menit dan dibilas
dengan menggunakan aquades steril sebanyak dua kali. Setelah itu, potongan
dan kemudian ditanam pada media PDA. Isolat kemudian diinkubasi pada suhu 25-
30̊ C selama 5-7 hari atau sampai jamur tumbuh. Biakan jamur dengan ciri khusus
Anderson (1980).
antagonis Trichoderma sp. hasil isolasi dari jaringan tanaman dalam menghambat
berdiameter 0.5 cm yang berumur 7 hari masing- masing pada cawan petri
berdiameter 9 cm dengan jarak 3 cm. Cara yang sama juga dilakukan untuk
perlakuan kombinasi sehingga pada satu cawan petri terdapat dua titik biakan.
23
3.4 Pengamatan dan pengumpulan data
Tanaman dan Sayuran, yaitu pengamatan karateristik dan pengamatan daya hambat.
mengidentifikasi jamur endofit dan jamur patogen yang berhasil dibiakkan dari
Data-data yang diperoleh dari hasil identifikasi jamur endofit dan pengamatan
uji antagonis di analisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.
24
IV KEADAAN UMUM LOKASI PKP
teknis (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berada dibawah
naungan dan koordinasi serta bertanggung jawab langsung kepada Pusat Penelitian
dan Pengembangan Hortikultura. Pada tahun 1940 sampai 1962 BALITSA masih
(BPTP) yang berkedudukan di Bogor Jawa Barat. Pada tahun 1962 sampai 1973,
Jakarta Selatan. Tahun 1973 sampai 1980 Lembaga ini menjadi Cabang Lembaga
yang berkedudukan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pada tahun 1980 melalui
Pertanian (Balitsa, 2012). Pada Maret 1982 berdasarkan Surat Keputusan Menteri
25
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 613/Kpts/OT.210/8/1984 Balai Penelitian
tanaman hias. Pada saat itu Balihort Lembang memiliki dua Sub Balai Tanaman
Hias di Cipanas, Cianjur dan Sub Balai Hama dan Penyakit di Segunung, Cianjur.
Serpong merupakan salah satu Kebun Percobaaan di BALITSA yang berada di satu
Cipanas, Cianjur.
lahan 35 ha. Sejarah lahan dari lahan BALITSA KP Serpong adalah pada tahun
1980-an merupakan bekas lahan Perkebunan Karet milik PTP XI dengan luas total
26
Sedangkan luas lahan keseluruhan BALITSA Kantor Pembantu (KP)
Serpong adalah ±3 Ha, yang terdiri atas gedung kantor utama, gedung alat dan
bahan, tanaman atau halaman depan kantor, post jaga satpam, gudang
penyimpanan, laboratorium basah dan kering, kantin dan sisanya adalah petak-
petak atau blok lahan percobaan. Dengan batasan wilatah lahan pada sebelah utara
adalahan lahan BPP MEKTAN, sebelah selatan adalah lahan BALITHI, sebelah
barat adalah lahan BSD City, dan sebelah timur adalah lahan BPP MEKTAN.
Kondisi tanah pada lahan BALITSA Kantor Pembantu (KP) Serpong ini
adalah jenis tanah latosol dan podsolik merah kuning yang sebenarnya jenis tanah
Balai Penelitian Tanaman Sayuran atau yang lebih dikenal dengan sebutan
sarana, dan prasarana yang telah lengkap. Adapun komoditas yang diteliti seperti
berikut :
buncis
1. Rumah Kasa
27
4. Rumah Kasa Ekofisiologi
c. Laboratorium
2. Laboratorium Bakteriologi
3. Laboratorium Mikologi
6. Laboratorium Tanah
7. Laboratorium Virologi
8. Laboratorium Entomologi
9. Laboratorium Nematologi
1. Gedung Koperasi
28
4. Gedung Bengkel
6. Gedung Administrasi
13. Masjid
prasarana yang lengkap pada balai tersebut juga dilengkapi bagian jasa pelayanan.
Jasa yang ditawarkan oleh BALITSA adalah jasa analisis terhadap bidang pertanian
diantaranya : analisis tanah, tanaman, pupuk, air, benih dan lain-lain. Selain itu,
BALITSA juga menyediakan berbagai benih sumber dan merupakan salah satu
fungisida dan perlakuan yang tepat untuk memperoleh hasil panen yang maksimal,
benih sayuran yang telah diproduksi. Benih varietas tanaman sayuran yang
29
dihasilkan oleh BALITSA disalurkan pada penangkar (perusahaan) untuk dikontrak
pada benih sayuran yang diproduksi oleh BALITSA sehingga dapat diketahui
panen sayurannya juga berkerjasama dengan beberapa pengempul dan juga bandar
sayur. PT. Bimandiri Lembang juga merupakan mitra BALITSA yang bergerak
Beberapa perusahaan benih besar seperti Panah Merah dan Riawan Tani
tersebut antara lain Ikamaja, Pasir Langu, Jaya Makmur, Lembang Agri, dan lain-
lain. Kelompok tani yang bermitra di BALITSA yaitu Mekar Tani Jaya yang
kolektif (berkelompok) Mekar Tani Jaya sendiri terdiri atas beberapa kelompok
seperti Lentera Asri, Madya Tani Sejahtera, Mekar Tani Jaya, Mekar Tani I, Mekar
Tani II, Gapura Tani Yan’s fruit, Jhotani, Bakti Mandiri, Mekar Rahayu, Mekar
Saluyu, Prima Tani, Jian Agro, Saung Organik, Warni Harum, dan Lembang Fresh
30
Selain dalam mitra pemasaran benih Balai Penelitian Tanaman Sayuran
bekerjasama pula dengan berbagai pihak dalam hal peneitian. Mitra kerjasama
lembaga bertaraf Internasional. Dimana fungsi dari CIP untuk menyediakan materi
Berkelanjutan”.
berintegrasi tinggi
31
lapangan agar mudah diakses oleh para pengguna untuk mendukung
32
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) memiliki letak geografis yang
ketinggian tempat ±1.250 mdpl pada 1070 30’ bujur timur dan 600 30’ lintang
dan Jalan Cibedung( Utara). Pada luasan areal ±40 hektar, BALITSA memiliki
topografi berbukit dengan jenis tanah Andisol, yang berasal dari abu vulkanik
Gunung Tangkuban Perahu dengan struktur tanah lemah dan gembur. Sedangkan
tekstur tanah debu, lempung berdebu, dan lempung. Warna tanah di lahan Balai
Penelitian Tanaman Sayuran adalah hitam, abu - abu, dan coklat dengan pH tanah
sebesar 5,5 - 6. Suhu rata - rata harian berkisar antara 19 - 240C, Kelembaban udara
berkisaran 34 - 90% dan rata - rata curah hujan 2.267,5 mm/tahun. Kecepatan air
tanah ditempat ini termasuk baik atau poros dan iklimnya tipe iklim B Schmidt
oleh bagian tata usaha, serta membawahi langsung 2 seksi yaitu seksi pelayanan
teknis dan seksi jasa penelitian. Struktur organisasi tersebut terdapat Gambar 4.2
sebagai berikut :
33
KEPALA BALAI
Dr. Ir. Catur Hermanto, MP.
34
5) Kelompok Komputer Pranara
6) Kelompok Pustakawan
Kebun yang dibawahnya terdapat 8 tenaga kerja, 2 tenaga kerja honorer masing-
masing bertugas sebagai bagian administrasi dan keamanan atau satpam dan 6
Tenaga Kerja Lepas (THL) yang diberikan sebuah tanggung jawab untuk
mengkoordinasi petakan lahan atau blok lahan. Namun dalam keseharian untuk
aktivitas di lapang, baik Kepala Kebun maupun tenaga kerja saling membantu dan
KEPALA BALAI
35
V PELAKSANAAN KEGIATAN PKP
tanaman sayuran
pelengkapan
a. Sterilisasi alat
36
d. Isolasi Collectotrichum sp.
(Collectotrichum sp.)
37
VI PEMBAHASAN
tanggal 3 Juli 2018. Presentasi pertama disampaikan oleh ketua Jaslit (jasa
penelitian) yaitu, Andi Supriadi, S.T di kantor Jaslit dan kedua disampaikan oleh
ketua penerimaan peserta magang Dr. Uum Sumpena, S.P., M.P di gedung Aula.
Kegiatan ini dilakukan pada minggu kedua setelah berada di Balitsa selama
sehari pada tanggal 10 Juli 2018. Kegiatan ini diadakan di kantor kebun, mahasiswa
memperkenalkan diri kepada kepala kebun dan para staffnya begitu juga
untuk para mahasiswa magang sesuai dengan komoditi yang diambil oleh
38
mahasiswa. Setelah mengetahui pembimbing lapangan masing-masing kemudian
mahasiswa yang didampingi mandor kebun melakukan survey kebun yang luasnya
±36 ha untuk mengetahui nama dan tata letak tanaman yang ada dikebun.
5 blok. Setiap satu blok dibagi menjadi beberapa sub blok untuk blok A terdiri atas
43 sub blok, blok B terdiri atas 49 sub blok, Blok C terdiri atas 35 sub blok, blok D
terdiri atas 20 sub blok dan blok E terdiri atas 30 sub blok, setiap sub blok ditanami
beberapa macam tanaman sayuran yang dibudidayakan sesuai dengan luasnya. Luas
setiap sub blok berbeda–beda, jika luasnya hanya 1000m2 maka hanya ditanami
karung dan kelereng dan membersihkan lapangan sepak bola, selain membantu
tersebut. Ada beberapa perlombaan yang mahasiswa ikuti dapat dilihat pada yaitu:
panjat pinang, sepak bola, jalan santai, balap karung, senam, membawa kelereng
dengan sendok dan memancing. Acara ini diselenggarakan dari tanggal 14 sampai
16 agustus.
di BALITSA. Upacara tersebut wajib dihadiri oleh seluruh staff, karyawan dan
39
peserta magang dengan menggunakan seragam dari Universitas atau sekolah
masing masing.
Peserta magang yang sudah selesai melakukan kegiatan magang baik yang
dikantor maupun di lapangan harus membuktikan hasil dari kegiatan yang telah
dilakukan tersebut yaitu dengan cara mempresentasikan apa yang telah dilakukan
kegiatan magang selesai atau sebelum perpulangan dari BALITSA. Presentasi hasil
kegiatan ini dihadiri oleh kepala kebun, pembimbing lapangan, staff jaslit dan
seluruh peserta magang di Aula Balitsa. Pada kegiatan ini ada dua metode yang
dilakukan yaitu:
bertanya tentang apayang belum diketahui atau yang belum paham dari
ini dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2018 yaitu presentasi dari mahasiswa
kepada seluruh peserta yang hadir serta menjawab seluruh pertanyaan dan
40
Sebelum melakukan seminar mahasiswa membuat dan menyusun laporan
kegiatan magang serta mencari data yang masih belum lengkap di perpustakaan
di lapangan yaitu meliputi: Metode pelaksanaan dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
a. Sterilisasi alat
cawan petri hasil percobaan dengan cara direbus dengan menggunakan hotplate and
magnetic stirer. Hal ini bertujuan agar jamur patogen mati. Kemudian hasil isolat
uji coba yang telah direbus diambil dengan menggunakan pinset. Isolat hasil uji
coba dimasukkan kedalam plastik dan dibuang. Kemudian cawan petri di sterilkan
dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit dengan suhu 121̊C dan tekanan 2
atm. Setelah itu cawan petri di bungkus dengan menggunakan kertas buram dan
dalam laci.
41
Tujuan dari proses sterilisasi adalah untuk mematikan atau memusnahkan
semua jenis organisme hidup seperti protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus)
yang akan digunakan. Kemudian kentang dikupas lalu dicuci hingga bersih.
yang lebih kecil. Potongan kentang ditimbang sebanyak 200 gram. Potongan-
potongan kentang direbus dengan air sampai volumenya 1000 ml. Kemudian
kemudian ditambahkan agar-agar 20 gram dan gula 15 gram. Bahan PDA yang
terdiri dari ekstrak kentang, agar-agar, gula dan air dalam tabung erlenmeyer diaduk
secara merata sampai homogen. Setelah itu tabung erlenmeyer yang telah berisi
bahan PDA ditutup dengan alumunium foil dan selotip. Bahan PDA dalam tabung
yang kemudian di perbanyak kembali pada media PDA untuk mendapatkan biakan
murni. Isolat jamur Trichoderma sp. dapat tumbuh dengan cepat pada media PDA
dan pada awal pertumbuhannya mula – mula memiliki koloni berwarna putih
42
kehijauan yang setelah hari ke-5 warna koloni berubah menjadi hijau terang dan
akhirnya menjadi hijau gelap. Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek
Barat yang menunjukan gejala terserang antraknosa pada buah kemudian diambil
dan dimasukan ke dalam kantong plastik dan diberi label sebagai bahan untuk
menggunakan aquadest, dipotong dadu ukuran 1cm³, dan kemudian dicuci dengan
air steril. Sampel ini selanjutnya dikering anginkan di atas kertas saring steril dan
ditanam pada media PDA (potato dextrose agar) menggunakan pinset secara
aseptis.
Biakan murni jamur diremajakan pada media PDA, jamur yang telah tumbuh
pada media diamati ciri-ciri makroskopisnya yaitu ciri koloni seperti tumbuh hifa,
(Collectotrichum sp.) dengan cara meletakkan agen antagonis dan pathogen dalam
43
3. Pengamatan
sp. dengan agen antagonis bersinggungan. Pengamatan ini dilakukan selama 1-7
hari .
antagonisme adalah:
Keterangan:
P = persentase penghambatan
R1 = jari-jari koloni kapang patogen yang menjauhi kapang antagonis
R2 = jari-jari koloni kapang patogen yang mendekati kapang antagonis.
44
Gambar 5.1. Cara meletakkan potongan cakram miselium jamur patogen
Collectotrichum sp. dan jamur antagonis Trichoderma sp. pada
permukaan medium (Szekeres et al.,2006).
Keterangan:
6.2.1 Hasil uji antagonis jamur Trichoderma sp. terhadap jamur patogen
Collectotrichum sp.
Tabel 1. Hasil pengamatan uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap jamur
patogen Collectotrichum sp.
Jenis Hari Pengamatan Ke-HSI
Jamur 1 2 3 4 5 6 7
a.v 9,82 7,56 27,36 42,08 47,44 42,39 42,35
a.h 12,5 9,46 28,07 35,36 29,51 33,84 39,8
a.k 0 23,06 40,23 36,25 45,66 62,88 66,13
c.v 17,09 37,66 34,29 31,98 33,68 28,94 18,2
c.h 16,56 27,01 29,15 33,18 37,23 25,9 26,63
c.k 19,74 18,76 25,17 54,84 59,41 17,05 24,65
45
Keterangan :
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
1 2 3 4 5 6 7
A.V A.H A.K C.V C.H C.K
Jenis perlakuan
Gambar 6.1. Grafik pertumbuhan daya hambat jamur Trichoderma sp. terhadap
jamur patogen Collectotrichum sp.
Penghitungan daya antagonisme dari tiga spesies jamur Trichoderma sp. yaitu
sp. dilakukan dengan menghitung selisih antara jari-jari koloni jamur patogen
Collectotrichum sp. yang menjauhi jamur Trichoderma sp. (R1) dan jari-jari koloni
jamur patogen Collectotrichum sp. yang mendekati koloni jamur Trichoderma (R2)
pada medium Potato Dextrose Agar (PDA), kemudian dibagi dengan jari-jari
46
koloni jamur patogen Collectotrichum sp. yang menjauhi koloni jamur
Trichoderma sp.
faktor, salah satu diantaranya adalah perbedaan kecepatan tumbuh dan adanya
ruang/tempat dan nutrisi lebih cepat sehingga patogen akan tersisih dan selanjutnya
lebih banyak, sehingga dalam waktu 4 x 24 jam tersebut jamur T. harzianum dapat
47
Angka persentase daya hambat jamur Collectotrichum sp.
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
A.V A.H A.K C.V C.H C.K
Jenis perlakuan
antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya. Perbedaan daya
harzianum yang dapat dilihat dari pertumbuhan jamur patogen yang paling rendah
yaitu 26,93 mm pada perlakuan C.acutatum + T. harzianum sp. dan 27,95 mm pada
48
VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
pertumbuhan jamur patogen yang paling rendah yaitu 26,93 mm dan 27,95 mm
meliputi hifa jamur antagonis Trichoderma sp. menempel, membelit dan menembus
7.2 Saran
Saran yang dapat diberikan yaiu diperlukan penelitian atau aplikasi langsung
kelapangan agar hasil yang telah didapat selama dilaboratorium dapat terbukti
kebenarannya.
49
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. Dan Usman M. T. 2002. Fisiologi hewan air. Unri Press: Pekanbaru
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5 th ed. Academic Press. California.
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims., and M. Blackwell. 1996. Introductory mycology.
Fourth edition. John Wiley and Sons. New York, USA.
Ambar, A.A., Priyatmojo, A., Hadisutrisno, B., dan Pusposendjojo, N. 2010.
Virulensi 9 Isolat Fusarium oxysporum f.sp. Lycopersici dan
perkembangan gejala layu fusarium pada dua varietas tomat di rumah
kaca. Jurnal Agrin 14(2): 89-96
AVRDC (Asian Vegetable Research and Development Center). 2003. Evaluation
of phenotypic and molecular criteria for the identification of
Colletotrichum species causing pepper anthracnose in Taiwan.
AVRDC Report 2003. Taiwan.
Cahyono, B. 2003. Teknik dan strategi budidaya sawi hijau (Pai-Tsai). Hal 12- 62.
Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama.
Chandler, L.A. and Schwartz, S.J. 1988. Isomerization and losses of trans-carotene
in sweet potatoes as affected by processing treatments. J .Agric, Food
Chem.
Dickman, B.M. 1993. Colletotrichum gloeosporioides. http:// www.extento.
hawaii.edu/kbase/crop/Type/c_gloeo.htm. Department of Plant
Pathology. University of Hawaii. Hawaii. Diakses 2 Desember 2018.
DJBPH (Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura). 2013. Luas panen, rata-
rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Duriat, A, S. 1990. Cabai merah : Komoditas prospektif dan andalan. Dalam Duriat
A, S., Widjaja W, H., Soetiarso T, A., Prabaningrum L (ed). Teknologi
produksi cabai merah. Lembang, Bandung: Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Gultom, J.M., 2008. Pengaruh pemberian beberapa jamur antagonis dengan
berbagai tingkat konsentrasi untuk menekan perkembangan jamur
Phytium sp. penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau
(Nicotiana tabaccum L.) http://repository.usu.ac.id.pdf diakses pada 2
Desember 2018.
Gultom, JM 2008. Pengaruh pemberian beberapa jamur antagonis dengan berbagai
tingkat konsentrasi untuk menekan perkembangan jamur phytum sp.
penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau (Nicotiana
tabaccum L.). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Medan.
50
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar ilmu tanah. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harman, G.E. 1996. Trichoderma for biocontrol of plant pathogen: from basic
research to comerciallization products. Departments of Horticultural
Science and of Plant Pathology. Cornell University Geneva.
Hs, Gusnawaty., Muhammad Taufik, Leni Triana, Dan Asniah. 2014. Karakterisasi
morfologis Trichoderma sp. indigenus sulawesi tenggara. Jurnal
Agroteknos 4(2).
Jones and Jones. 1969. Pests of field crops. Ed ke-3. USA: Edward Arnold
Kim et al. 2004. Characterization of antihypertensive angiotensin i-converting
enzyme inhibitor from Saccharomyces cereviseae. J Microbiol
Biotechnol.
Kim, K. D., B. J. Oh, and J. Yang. 1999. Differential interactions of a
Colletotrichum gloeosporiodes iolate with green and red paper fruit.
Phytoparasitica.
Nicholson, R. L. (1992). Colletotrichum graminicola and anthracnose diseases of
maize and sorghum. in Colletotrichum - Biology, Pathology and
Control, pp. 186-202. Edited by J. A. Bailey & M. J. Jeger.
Wallingford: CAB International.
Nurbailis dan Martinius. 2015. Pemanfaatan jamur antagonis indigenus rizosfer
cabai untuk pengendalian hayati penyakit antrakosa yang disebabkan
oleh Colletotrichum gloeosporioides. Laporan Penelitian (Tidak
dipublikasikan) Hibah Bersaing 2015. Fakultas Pertanian Universitas
Andalas.
Nurbailis dan Martinus.2008. Karakteristik genetik Trichoderma sp. indigenus
rizosfer pisang yang berpotensi pengendalian layu Fusarium pada
pisang. J.Saintek 6(1).
Oka, Ida Nyoman.1995.Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di
Indonesia. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Papavizas, G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium: Biology, Ecology, and
Potential for Biocontrol. US Departement of Agriculture. Maryland.
Rifai, M., Mujim, S., dan Aeny, T.N., 1996. Pengaruh lama investasi Trichoderma
viride terhadap intensitas serangan Pythium sp. pada kedelai. Jurnal
Penelitian Pertama 7(8): 20-25.
Rusli, I., Mardinus, dan Zulpadli, 1997. Penyakit antraknosa pada buah cabai di
Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang.
Semangun, H., 1994. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
51
Semangun, Haryono. 2000. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Setiadi. 2011. Bertanam cabai. Jakarta : Penebar Swadaya.
Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar ilmu penyakit tumbuhan. Ed ke-2. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya
Sinaga SW. 2006. Pengaruh pemberian insektisida nabati terhadap serangan hama
polong pada tanaman kedelai (Glycine max L. Merill) di lapangan.
Skripsi (Tidak dipublikasikan). Universitas Sumatera Utara, Medan.
Soesanto L, Rokhlani & Prihatiningsih N. 2008. Penekanan beberapa
mikroorganisme antagonis terhadap penyakit layu fusarium gladiol.
Agrivita 30(1).
Suardi. 2013. Efektifitas lima isolat cendawan endofit dalam menekan pertumbuhan
cendawan (Phytophthora palmivora butler) pada tanaman kakao
(Theobroma cacao). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Suhardi, 1989. Mikoriza vesikular arbuskular. Bioteknologi Universitas Gajah
Mada.
Suryaningsih, E., R. Sutarya dan A.S Duriat. 1996. Penyakit tanaman cabai merah
dan pengendaliannya. Hal 64-84. Dalam A.S. Duriat, A. Widjada, W.
Hadisoeganda, T.A. Soetriarso dan L. Purbaningrum (eds). Teknologi
produksi cabai merah. Balitsa. Lembang.
Syukur, M., S. Sujiprihati, J.Koswara, and Widodo. 2007. Inheritance of resistance
to anthracnose caused by Collectotricum acutatum in pepper
(Capsicum annuum L.)Bul. Agron 35 (2).
Tjitrosoepomo, G. 2007. Taksonomi tumbuhan (Spermatohyta). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Yudiarti, T. 2007. Ilmu penyakit tumbuhan. Graha Ilmu. Yogyakarta.
52
LAMPIRAN
a b c
Keterangan :
a = Pengambilan sampel tanah yang terkena penyakit antraknosa
b = Pengambilan sampel tanah dari tanaman sehat
c = Pengambilan sampel tanaman cabai yang terserang penyakit
antraknosa
53
Lampiran 3. Identifikasi jamur penyakit Collectotrichum sp.
Keterangan :
a = Pengamatan dengan menggunakan mikroskop
b = Hasil pengamatan Collectotrichum acutatum
c = Hasil pengamatan Collectotrichum capsici
54
Lampiran 4. Isolasi dan inokulasi jamur untuk uji antagonis
a b c
e d
Keterangan :
a = Sterilisasi alat
b = Proses pembuatan PDA
c = Isolasi jamur Collectotrichum sp.
d = Inokulasi jamur Trichoderma sp.
e = Hasil inokulasi
= Pertumbuhan Collectotrichum sp.
= Pertumbuhan Trichoderma sp.
55