Anda di halaman 1dari 55

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Cabai keriting (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas

sayuran yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, baik sebagai

penyedap makanan maupun untuk pemenuhan gizi. Buah cabai keriting memiliki

kandungan gizi yang banyak, yaitu protein 1 g, lemak 0,3 g, karbohidrat 7,3 g,

kalsium 29 mg, fosfor 24 mg, zat besi 0,5 mg, vit A 470 mg, vit B1 0,05 mg, vit C

460 mg dan air 90,9 g serta 31 Kal (Setiadi, 2011).

Budidaya tanaman cabai keriting mempunyai resiko tinggi akibat adanya

serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) yang dapat menyebabkan

kegagalan panen. Jamur Colletotrichum sp. merupakan patogen penyebab penyakit

antraknosa pada berbagai jenis komoditas, mulai dari komoditas hortikultura

sampai dengan komoditas perkebunan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian

melaporkan bahwa jamur Colletotrichum sp. dapat mengakibatkan kehilangan hasil

pada tanaman cabai sampai dengan 75%, menginfeksi buah mangga dihampir

semua negara penghasil mangga, dan juga menginfeksi tanaman kakao (Nurbailis,

2008).

Menurut Rusli, et al. (1997) penyakit antraknosa pada tanaman cabai

diketahui memiliki gejala yang diawali dengan bintik-bintik kecil yang berwarna

kehitam-hitaman dan sedikit melekuk pada buah cabai. Serangan yang lebih lanjut

mengakibatkan buah cabai mengerut, kering, membusuk dan akhirnya jatuh ke

tanah. Umumnya Colletotrichum sp. muncul pada saat perkecambahan dan dapat

bertahan di tanah dan kemungkinan disebarkan melalui percikan air yang membawa

konidia dan penyebaran askospora melalui udara (Nicholson & Moraes, 1980).

1
Jamur Colletotrichum masuk ke dalam dinding sel tumbuhan inang dan

menghidrolisis dinding sel menggunakan enzim hidrolitik untuk mendegradasi

komponen dinding sel tumbuhan (Albersheim & Jones, 1969). Hal tersebut

mengakibatkan kerusakan pada dinding sel tumbuhan termasuk dinding sel buah

cabai sehingga buah cabai membusuk.

Berbagai usaha telah dilakukan petani untuk mengatasi masalah penyakit

antraknosa ini salah satunya dengan pemakaian fungisida sintetis. Pengendalian

penyakit dengan menggunakan fungisida sintetik dapat menimbulkan dampak

negatif bagi lingkungan seperti resistensi patogen, pencemaran lingkungan dan

matinya organisme non target (Oka, 1995). Berdasarkan kenyataan tersebut maka

perlu adanya upaya untuk mencari alternatif fungisida yang ramah lingkungan salah

satu diantaranya adalah menggunakan jamur antagonis.

Trichoderma telah lama dikenal sebagai agensia hayati untuk mengendalikan

penyakit tanaman dan membantu meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan

akar, produktifitas tanaman, resistensi terhadap stres abiotik serta penyerapan dan

pemanfaatan nutrisi (Harman, 2000; Harman et al., 2004). Trichoderma sp.

merupakan jamur antagonis yang digunakan dalam pengendalian beberapa patogen

tular tanah seperti Fusarium oxysforum f.sp. lycopercii (FOL) (Ambar, 2013),

Sclerotium, Rhizoctonia (Papavizas, 1985) dan Aspergillus flavus karena selain

mempunyai daya kompetisi yang tinggi, memiliki daya tahan hidup lama dan

Trichoderma sp. juga bersifat sebagai mikoparasit pada hifa dan tubuh patogen

tumbuhan.

2
Menurut Istikorini (2002 dalam Gultom, 2008) menyatakan bahwa

mekanisme antagonisme jamur Trichoderma sp. meliputi (a) kompetisi nutrisi atau

sesuatu yang lain dalam jumlah terbatas tetapi tidak diperlukan oleh OPT, (b)

antibiosis sebagai hasil dari pelepasan antibiotika atau senyawa kimia yang lain

oleh mikroorganisme dan berbahaya bagi organisme pengganggu tanaman, dan (c)

predasi, hiperparasitisme dan mikroparasitisme.

Trichoderma sp. berperan dalam perbaikan lingkungan khususnya media

tumbuh tanaman yang berdampak positif pada pertumbuhan tanaman serta sistem

perakaran tanaman dimana keduanya memiliki peran dalam peningkatan laju

fotosintesis tanaman. Penambahan Trichoderma sp. dalam media tanam selain

berfungsi sebagai agensia pengendali penyakit antraknosa pada tanaman ternyata

juga berperan dalam proses penguraian bahan organik didalam tanah. Affandi et al.

(2001) menyatakan bahwa Trichoderma sp. memainkan peran kunci dalam proses

dekomposisi senyawa organik terutama dalam kemampuannya mendegradasi

senyawa-senyawa yang sulit terdegradasi seperti lignosellulose. Selanjutnya

menurut Hanafiah (2005) mengungkapkan bahwa keuntungan menggunakan

Trichoderma sp. yang berpotensi sebagai agen hayati adalah pertumbuhannya

cepat, mudah dikulturkan dalam biakan maupun kondisi alami.

Di dalam tanah hidup berbagai spesies jamur yang bersifat antagonis terhadap

jamur patogen, diantaranya: T. harzianum, T. viride, dan T.koningii. Di antara

ketiga spesies jamur antagonis yang akan digunakan, ada kemungkinan terdapat

perbedaan daya antagonismenya. Kemampuan masing-masing spesies

Trichoderma dalam mengendalikan jamur patogen dapat berbeda satu sama lain,

3
sehingga efektifitasnya sebagai pengendali hayati Colletotrichum sp. juga dapat

berbeda satu dengan yang lainnya.

Teknologi yang digunakan oleh petani dalam mengendalikan jamur patogen

Collectotrichum sp. masih sangat bergantung pada penggunaan fungisida kimia

yang seringkali tidak sesuai dengan dosis anjuran dan waktu aplikasi, sehingga

kurang efektif dalam pengendalian, berdampak negatif terhadap kesehatan dan

tidak ramah lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan solusi pengendalian jamur

patogen Collectotrichum sp. yang lebih efektif dan ramah lingkungan. Penggunaan

agensia hayati seperti Trichoderma sp. mampu menghambat perkembangan

patogen tular tanah melalui proses mikroparasitisme, antibiosis dan kompetisi

(Rifai,1996).

Kegiatan praktek kerja profesi adalah salah satu bentuk emplementasi secara

sistematis dan sinkron antara program pendidikan di perkuliahan dengan program

penguasaan keahlian yang diperoleh melalui kegiatan kerja secara langsung di

dunia kerja untuk mencapai tingkat keahlian tertentu.

Banyak tempat atau instansi yang membudidayakan tanaman cabai salah

satunya adalah Balai Penelitian Tanaman Sayur (BALITSA) yang ada di Bandung.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) merupakan salah satu balai

penelitian yang ada di Indonesia yang membudidayakan segala jenis tanaman

sayuran terutama tanaman cabai.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memilih Balai Penelitian

Tanaman Sayuran sebagai lokasi untuk melaksanakan praktek kerja profesi dan

menulis laporan dengan judul “Patogenesis Jamur Collectotrichum sp. Terhadap

Tricodherma sp. Sebagai Agen Hayati Pengendali Penyakit Antraknosa pada

4
Tanaman Cabai Secara In Vitro di Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang,

Bandung Jawa Barat”.

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari praktek kerja profesi ini adalah untuk meningkatkan

pengetahuan, memperoleh keterampilan kerja dan pengalaman lapangan dalam

pengendalian penyakit pada tanaman cabai dengan agensia hayati baik secara teknis

maupun secara manejerial. Sedangkan tujuan khusus adalah untuk mengetahui

pertumbuhan dan perkembangan dari jamur Trichoderma sp. dan jamur

Colletotrichum sp., untuk mengetahui efektivitas penghambatan dari jamur

Trichoderma sp. terhadap jamur Colletotrichum sp. dan mengetahui mekanisme

antagonisme antara Trichoderma sp. terhadap Collectotrichum sp. berdasarkan

pengamatan makroskopis dan mikroskopis.

5
II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Cabai ( Capsicum annum L)

Tanaman cabai merupakan tanaman semusim yang tumbuh tegak dengan

batang berkayu dan bercabang banyak. Tinggi tanaman cabai bisa mencapai 120

cm dengan lebar tajuk tanaman sampai 90 cm (Cahyono, 2003). Daun cabai pada

umumnya berwarna hijau muda sampai hijau gelap tergantung pada varietasnya.

Daun cabai yang ditopang oleh tangkai daun mempunyai pertulangan daun

menyirip. Bentuk daun umumnya bulat telur, lonjong dan oval dengan ujung

meruncing tergantung pada jenis dan varietasnya. Foto tanaman cabai besar

(Capsicum annuum L) disajikan pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Tanaman cabai (Capsicum annum L)

Menurut Tjitrosoepomo (2010) menyatakan bahwa cabai besar termasuk

dalam Famili Solanaceae, dengan klasifikasi adalah kerajaan; Plantae, divisi;

Magnoliophyta, kelas; Magnoliopsida, sub kelas; Asteridae, ordo; Solanales,

famili; Solanaceae, genus; Capsicum, dan spesies; Capsicum annuum L.

Selain sebagai penyedap makanan, cabai juga banyak digunakan untuk terapi

kesehatan. Berbagai hasil penelitian membuktikan bahwa buah cabai dapat

6
membantu menyembuhkan kejang otot, rematik, sakit tenggorokan dan alergi.

Cabai juga dapat membantu melancarkan sirkulasi darah dalam jantung. Selain itu,

cabai dapat digunakan untuk meringankan rasa pegal dan dingin akibat rematik dan

encok karena bersifat analgesik. Khasiat cabai yang begitu banyak disebabkan oleh

adanya senyawa kapsaikin (C18H27NO3) yang terkandung didalam buah cabai.

Kapsaikin merupakan unsur aktif yang berkhasiat obat terdiri dari lima komponen

kapsaikinoid, yaitu nordihidro kapsaikin, kapsaikin, dihidro kapsaikin, homo

kapsaikin dan homo dihidro kapsaikin (Cahyono, 2003).

Produksi cabai di Indonesia belum dapat memenuhi kebutuhan cabai nasional

sehingga pemerintah harus mengimpor cabai yang mencapai lebih dari 16.000 ton

per tahun (DJBPH, 2013). Rataan produksi cabai nasional baru mencapai 6,19

ton/ha, sementara potensi produksi cabai dapat mencapai 10 ton/ha. Kendala

biologis yang diakibatkan oleh serangan patogen pada cabai masih merupakan

penyebab utama kegagalan panen, maka usaha untuk mengatasi penyakit pada

tanaman cabai akibat hama dan penyakit sangat perlu mendapat perhatian

(Suryaningsih et al, 1996).

Produktivitas buah cabai merah baik secara kualitas maupun kuantitas

diantaranya diganggu karena adanya serangan penyakit antraknosa. Jamur

Colletotrichum sp. merupakan patogen penyebab penyakit antraknosa pada

berbagai jenis komoditas, mulai dari komoditas hortikultura sampai dengan

komoditas perkebunan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa

jamur Colletotrichum sp. dapat mengakibatkan kehilangan hasil pada tanaman

cabai sampai dengan 75%, menginfeksi buah mangga dihampir semua negara

penghasil mangga dan juga menginfeksi tanaman kakao (Nurbailis, 2008).

7
2.2 Penyakit Antraknosa pada Tanaman Cabai

Salah satu jenis penyakit pada tanaman cabai besar adalah penyakit

antraknosa yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp.. Adanya serangan jamur

Colletotrichum sp. pada tanaman cabai besar mempunyai arti ekonomi yang sangat

penting, karena dapat menurunkan hasil produksi cabai dan merugikan para petani

sampai 50% (Semangun, 2007). Menurut Suhardi (1989) menyatakan bahwa

penyakit antraknosa di Kabupaten Demak menyebabkan kerugian sebesar 50-65%.

Penyakit antraknosa tersebar luas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok (Duriat,

1990).

2.2.1 Penyebab penyakit antraknosa pada tanaman cabai

Penyakit antraknosa pada tanaman cabai besar disebabkan oleh jamur

Colletotrichum sp.. Hannden and Black (1989) mengungkapkan bahwa jenis jamur

Colletotrichum yang umum menyebabkan penyakit antraknosa pada buah cabai

terdiri atas empat spesies yaitu : C. gloeosporioides, C. capsici, C. Acutatum dan C.

coccodes. Menurut Kim et al. (1999) menyatakan bahwa penyakit antraknosa pada

tanaman cabai disebabkan oleh jamur Colletotrichum terdiri atas lima spesies yaitu

: C. gloeosporioides, C. capsici, C. acutatum, C. Dematium dan C. coccodes.

Menurut hasil penelitian Sudiarta dan Sumiartha (2012) penyakit antraknosa pada

tanaman cabai di Bali kebanyakan disebabkan oleh jamur Colletotrichum acutatum.

Menurut Alexopoulos et al (1996) mengungkapkan bahwa klasifikasi jamur

Genus Colletotrichum adalah kerajaan; Fungi, filum; Deuteromycota, kelas;

Deuteromycetes, subkelas; Coelomycetidae, ordo; Melanconiales, famili;

Melanconiaceae, genus; Colletotrichum dan spesies; Colletotrichum sp.

8
Jamur Colletotrichum sp. merupakan jamur parasit fakultatif dari Ordo

Melanconiales dengan ciri-ciri konidia (spora) tersusun dalam aservulus (struktur

aseksual pada jamur parasit, Gambar 2.2). Jamur dari Genus Colletotrichum

termasuk dalam Class Deuteromycetes yang merupakan bentuk anamorfik (bentuk

aseksual) dan pada saat jamur tersebut dalam telemorfik (bentuk seksual) masuk

dalam Class Ascomycetes yang dikenal dengan jamur dalam Genus Glomerella

(Alexopoulos et al. 1996). Struktur aservulus jamur Colletotrichum sp. disajikan

pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur aservulus jamur Colletotrichum sp. (Barnett and Hunter, 1998)

Ciri-ciri umum jamur dari genus Colletotrichum yaitu memiliki hifa bersekat

dan menghasilkan konidia yang transparan dan memanjang dengan ujung membulat

atau meruncing panjangnya antara 10-16 µm dan lebarnya 5-7 µm. Massa dari

konidia berwarna hitam dan hifanya berwarna abu-abu (Dickman, 1993).

Jamur Colletotrichum gloeosporioides mempunyai bentuk spora silendris,

ujung spora tumpul, ukuran spora 16,1 x 5,6 m dengan kecepatan tumbuh 12,5 mm

mm per hari. Jamur Colletotrichum acutatum mempunyai bentuk spora silendris,

ujung spora meruncing, ukuran spora 16,1 x 5,3 m dengan kecepatan tumbuh 6,8

mm per hari. Jamur Colletotrichum coccodes mempunyai bentuk spora silendris,

9
ujung spora runcing, ukuran spora 14,9 x 4,2 m dengan kecepatan tumbuh 8,4 mm

per hari. Sedangkan jamur Colletotrichum capsici mempunyai bentuk spora seperti

bulan sabit, ujung spora runcing, ukuran spora 24,3 x 4,4 m dengan kecepatan

tumbuh 9,8 mm per hari (AVRDC, 2010). Bentuk spora beberapa jenis jamur

Colletorichum sp. tersaji dalam Gambar 2.3.

C. gloeosporioides C. acutatum C. cocodes C. capsici


Gambar 2.3 Bentuk spora beberapa jenis jamur Colletotrichum sp.

2.2.2 Gejala penyakit antraknosa pada tanaman cabai

Jamur Colletotrichum dapat menginfeksi cabang, ranting, daun dan buah

cabai. Infeksi pada buah cabai besar terjadi biasanya pada buah menjelang tua dan

sesudah tua. Gejala diawali dengan adanya bintik-bintik kecil berwarna kehitam-

hitaman dan sedikit melekuk pada permukaan buah. Gejala lebih lanjut buah

mengkerut, kering, membusuk dan jatuh (Rusli dan Zulpadli, 1997). Bercak

berbentuk bundar atau cekung dan berkembang pada buah yang belum

dewasa/matang dari berbagai ukuran. Biasanya bentuk bercak beragam pada satu

buah cabai dan ketika penyakit semakin parah, bercak akan bersatu. Gejala pada

buah cabai yang sudah menua tampak seperti pada Gambar 2.4. Spora terbentuk

10
dan memencar secara cepat pada buah cabai, sehingga mengakibatkan kehilangan

hasil sampai 100%. Penyakit dapat menginfeksi sampai ke tangkai buah cabai dan

menimbulkan bercak seperti bintik yang tidak beraturan berwarna merah tua

(Damm et al. 2010).

Gambar 2.4 Buah cabai besar terserang penyakit antraknosa dengan gejala berat

Menurut Kim et al. (1984) menyatakan bahwa gejala penyakit antraknosa

pada buah cabai besar dimulai dengan kulit buah akan tampak mengkilap, diikuti

dengan pelunakan jaringan, kemudian permukaan buah akan menjadi cekung dan

berwarna kecoklatan, sehingga terlihat adanya seperti luka atau lebih dikenal

dengan sebutan lesio. Lesio muncul sedikit demi sedikit kemudian pada akhirnya

dapat menutupi sebagian besar permukaan buah. Permukaan buah cabai yang

terserang penyakit antraknosa akan berair dan aservulus jamur Colletotrichum sp.

terlihat seperti bercak kehitaman yang kemudian meluas dan membusuk. Pada buah

cabai dengan gejala penyakit antraknosa berat buah mengering dan keriput,

sehingga buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami.

2.2.3 Mekanisme terjadinya penyakit antraknosa pada tanaman cabai

Gejala serangan jamur Colletotrichum sp. penyebab penyakit antraknosa pada

buah cabai besar secara umum hampir sama dengan gejala serangan jamur patogen

lainnya. Gejala serangan jamur Colletotrichum sp. diawali dengan adanya inokulasi

11
jamur Colletotrichum sp. pada buah cabai, kemudian diikuti dengan proses

penetrasi, infeksi, kolonisasi dan diseminasi. Inokulasi merupakan proses deposisi

atau kontaknya inokulum (spora) pada permukaan jaringan inang. Proses penetrasi

yaitu proses masuknya organisme patogen ke dalam tubuh inang. Kemudian setelah

organisme patogen tersebut masuk ke dalam tubuh inang, maka akan terjadi proses

perkecambahan spora (Sinaga, 2006).

Proses perkecambahan spora pada tubuh inang dapat digambarkan sebagai

berikut : pada mulanya spora patogen membentuk tabung kecambah (germ tube).

Bagian spora yang memproduksi germ tube bertambah panjang dan menembus

dinding sel inang. Kemudian germ tube akan termodifikasi menjadi apresorium

yang berfungsi untuk melekat dengan kuat pada permukaan jaringan inang

(Yudiarti, 2007). Proses infeksi terjadi setelah proses penetrasi yaitu patogen sudah

berada pada jaringan inang dan memproleh makanan dari inangnya.

Kolonisasi merupakan proses kelanjutan dari infeksi yaitu patogen

melanjutkan pertumbuhan dan perluasan aktivitas patogen melalui jaringan inang.

Proses kolonisasi tersebut akan merusak seluruh jaringan pada tubuh inang

(Wharton dan Uribeondo, 2004). Periode inkubasi merupakan waktu yang

dibutuhkan patogen sejak mulai inokulasi sampai timbul gejala penyakit. Bila

gejala penyakit telah timbul berarti patogen telah melakukan reproduksi inokulum

sekunder. Sedangkan proses diseminasi merupakan proses penyebaran inokulum

sekunder yang dihasilkan oleh patogen melalui agen penyebar seperti angin, air dan

serangga (Sinaga, 2006).

Terdapat tiga cara yang digunakan oleh patogen dalam melakukan penetrasi

yaitu, luka, lubang alami dan penetrasi langsung. Luka yang ada pada tanaman

12
dapat disebabkan oleh manusia, faktor fisik seperti angin, air hujan dan serangan

dari hama. Lubang alami yang biasa digunakan oleh patogen untuk masuk ke dalam

tubuh tanaman inang antara lain, stomata, hidatoda dan lenti sel. Sedangkan untuk

cara penetrasi langsung, dibutuhkan usaha dari patogen antara lain dengan

memproduksi zat kimia berupa enzim atau toksin yang berfungsi untuk

mendegradasi dinding sel dan atau merubah permeabilitas membran sel tanaman.

Keadaan cuaca yang lembab sangat cocok untuk pembentukan spora dan terjadinya

infeksi sehingga diameter lesio akan cepat membesar (Martinez et al. 2009).

2.2.4 Siklus hidup jamur Colletotrichum sp.

Spora jamur Colletotrichum sp. dapat disebarkan oleh angin dan percikan air

hujan dan pada inang yang cocok akan berkembang dengan cepat (Dickman, 1993).

Pertumbuhan awal jamur Colletotrichum sp. membentuk koloni miselium yang

berwarna putih dengan miselium yang timbul di permukaan. Kemudian perlahan-

lahan berubah menjadi hitam dan akhirnya berbentuk aservulus. Aservulus

berwarna merah muda sampai coklat muda merupakan kumpulan massa konidia

(Rusli dan Zulpadli, 1997). Tahap awal infeksi Colletotrichum umumnya dimulai

dari perkecambahan spora pada permukaan jaringan tanaman, menghasilkan tabung

kecambah. Setelah penetrasi maka akan terbentuk jaringan hifa, hifa intra dan

interseluler menyebar melalui jaringan tanaman (Yudiarti, 2007). Siklus penyakit

antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan oleh jamur Colletotrichum sp.

disajikan pada Gambar 2.5.

13
Gambar 2.5 Siklus penyakit antraknosa pada tanaman cabai yang disebabkan oleh
jamur Colletotrichum sp. (Agrios 2005)

2.3 Trichoderma sp.

Jamur Trichoderma sp. merupakan mikroorganisme tanah bersifat saprofit

yang secara alami menyerang jamur patogen dan bersifat menguntungkan bagi

tanaman. Jamur Trichoderma sp. merupakan salah satu jenis jamur yang banyak

dijumpai hampir pada semua jenis tanah dan pada berbagai habitat yang merupakan

salah satu jenis jamur yang dapat dimanfaatkan sebagai agens hayati pengendali

patogen tanah. Jamur ini dapat berkembang biak dengan cepat pada daerah

perakaran tanaman (Gusnawaty, 2014).

Spesies Trichoderma sp. disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula

berfungsi sebagai agens hayati. Trichoderma sp. dalam peranannya sebagai agens

hayati bekerja berdasarkan mekanisme antagonis yang dimilikinya Trichoderma sp.

merupakan jamur parasit yang dapat menyerang dan mengambil nutrisi dari jamur

lain. Kemampuan dari Trichoderma sp. ini yaitu mampu memarasit jamur patogen

14
tanaman dan bersifat antagonis, karena memiliki kemampuan untuk mematikan

atau menghambat pertumbuhan jamur lain. Mekanisme yang dilakukan oleh agens

antagonis Trichoderma sp. terhadap patogen adalah mikoparasit dan antibiosis

selain itu jamur Trichoderma sp. juga memiliki beberapa kelebihan seperti mudah

diisolasi, daya adaptasi luas, dapat tumbuh dengan cepat pada berbagai substrat dan

jamur ini juga memiliki kisaran mikroparasitisme yang luas dan tidak bersifat

patogen pada tanaman. Selain itu, mekanisme yang terjadi di dalam tanah oleh

aktivitas Trichoderma sp. yaitu kompetitor baik ruang maupun nutrisi dan sebagai

mikoparasit sehingga mampu menekan aktivitas patogen tular tanah .

Kemampuan masing-masing spesies Trichoderma sp. dalam mengendalikan

jamur patogen berbeda-beda, hal ini dikarenakan morfologi dan fisiologinya

berbeda-beda. Beberapa spesies Trichoderma sp. telah dilaporkan sebagai agens

hayati adalah T. harzianum, T. viridae, dan T. koningii yang tersebar luas pada

berbagai tanaman budidaya (Gusnawaty, 2014).

Klasifikasi Trichoderma sp. adalah kerajaan; Fungi, divisi; Ascomycota,

upadivisi; Pezizomycotina, kelas; Sordariomycetes, ordo; Hypocreales, famili;

Hypocreaceae, genus; Trichoderma.

2.3.1. Trichoderma harzianum

Klasifikasi T. harzianum menurut Semangun (2000) adalah sebagai berikut

kerjaan; Fungi, filum; Ascomycota, kelas; Ascomycetes, subkelas;

Hypocreomycetidae, ordo; Hypocreales, famili; Hypcreaceae, genus; Trichoderma

dan spesies: Trichoderma harzianum.

Morfologi T. harzianum terdiri dari konidia yang terdapat struktur konidiofor.

Konidiofor dapat bercabang menyerupai piramida berupa cabang lateral yang

15
berulang-ulang, sedangkan ke arah ujung percabangan menjadi bertambah pendek.

Philia/cabang hifa tampak langsing dan panjang terutama pada apeks dari cabang

dan berukuran 18 x 2.5 µ, konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek,

berukuran (2.8-3.2) x (2.5-2.8) µ dan berdinding halus.

T. harzianum memiliki aktivitas antifungal yang tinggi dibanding

Trichoderma jenis lain. T. harzianum dapat memproduksi enzim litik dan antibiotok

antifungal. Selain itu T. harzianum juga dapat berkompetisi dengan patogen dan

dapat membantu pertumbuhan tanaman. Jamur ini juga memiliki kisaran

penghambat yang luas karena dapat menghambat berbagai jenis jamur. T.

harzianum memproduksi metabolit seperti asam sitrat, etanol, dan berbagai enzim

seperti urease, selulase, glukanase dan kitinase. Hasil metabolit ini dipengaruhi

kandungan nutrisi yang terdapat dalam media. Saat berada pada kondisi yang kaya

akan kitin, T. harzianum memproduksi protein kitinolitik dan enzim kitinase. Enzim

ini berguna untu meningkatkan efisiensi aktivitas biokontrol terhadap patogen yang

mengandung kitin (Shela, 2011).

2.3.2. Trichoderma koningii

Menurut Barnet dalam Hunter (1972), klasifikasi T. Koningii adalah

kerajaan; Fungi, divisi; Eumycota, kelas; Deuteromycotina, ordo; Mononiliales,

famili; Monoliaceae, genus; Trichoderma, spesies; Trichoderma koningii.

T. koningii memiliki struktur morfologi antara lain: konidiofor hyalin, tegak

tidak beraturan dan bercabang – cabang, fialid T.koningii dapat tunggal atau

berkelompok, fialospora tidak bersekat dan bersel satu, seringkali berkumpul

membentuk bola pada ujung fialid. Klamidospora dapat dibentuk dekat ujung sel,

berdinding halus, hyaline berbentuk bola /elips. Konidia bersel satu dan ber bentuk

16
bulat, agak bulat sampai bulat telur pendek. Konidiofor T. koningii umum nya

hiyaline dan bercabang-cabang. Konidiofornya mempunyai system percabangan

dendroid yang ruwet berukuran panjang dan ramping tanpa perpanjangan hifa steril.

Pada media buatan tumbuh sangat cepat, berjumbai dengan warna putih sampai

hijau. Jamur T.koningii memiliki koloni yang berdiameter 3-5 cm pada umur 5 hari

dalam suhu 20 ̊C, konidia berdinding halus berukuran antara 3 – 4,8 x 1,9 – 2,8 μm,

T. koningii mempunyai warna yang bervariasi mulai dari kekuningan, hijau

keputihan sampai hijau tua. T. koningii merupakan jamur antagonis yang dapat

hidup baik secara saprofitik maupun parasit pada jamur lain (Nuryatiningsih, 2000).

T. koningii merupakan jamur antagonis yang sangat berperan membantu

mengatasi beberapa jenis penyakit yang disebabkan oleh jamur akar pada tanaman

kakao. Jamur T. koningii ini dilaporkan sebagai bio Fungisida karena mampu

berkompetisi dalam mengambil nutrisi dengan jamur lain dilapangan sehingga

jamur-jamur patogen pembawa penyakit mati terinfeksi oleh jamur T. koningii.

2.3.3. Trichoderma viridae

Klasifikasi T.viride adalah kerjaan; Fungi, divisi; Amastigomycota, subdivisi;

Deuteromycotina, kelas; Deuteromycetes, ordo; Moniliales, famili; Moniliaceae,

genus; Trichoderma dan spesies; Trichoderma viridae.

T. viridae merupakan salah satu jenis fungi yang bersifat selulolitik karena

dapat menghasilkan selulase. Banyak fungi yang bersifat selulolitik tetapi tidak

banyak yang menghasilkan enzim selulase yang cukup banyak untuk dapat dipakai

secara langsung bagi usaha dalam skala besar. Fungi selulolitik yang cukup baik

memproduksi enzim selulolitik adalah T. viridae. T. viridae bisa juga dikatakan

sebagai mikroorganisme yang mampu menghancurkan selulosa tingkat tinggi dan

17
memiliki kemampuan mensintesis beberapa faktor esensial untuk melarutkan

bagian selulosa yang terikat kuat dengan ikatan hidrogen. Ada juga yang

mengatakan bahwa T. viridae merupakan fungi yang potensial memproduksi

selulase dalam jumlah yang relatif banyak untuk mendegradasi selulosa. T. viridae

merupakan kelompok fungi selulolitik yang dapat menguraikan selulosa dengan

menghasilkan enzim kompleks selulase. Enzim ini berfungsi sebagai agen pengurai

yang spesifik untuk menghidrolisis ikatan kimia dari selulosa dan turunannya. T.

viridae merupakan kelompok fungi tanah sebagai penghasil selulase yang paling

efisien (Ganik, 2013)

2.4. Pengaruh Antagonisme

Antagonisme diantara mikroorganisme merupakan gejala umum di dalam

tanah yang diakibatkan oleh dihasilkannya antibiotik. Beberapa antibiotik ini juga

berperan dalam pengendalian penyakit tanaman. Sebagai contoh antibiotik jamur

yang bermanfaat untuk pengendalian penyakit tanaman,dapat di rujuk dua hasil

yang mencolok yaitu Griseofulvin dan Aerofungin. Griseofulvin merupakan

fungisida sistemik karena antibiotic menembus jaringan tanaman secara merata dan

membentuk suatu penghalang bagi masuknya jamur patogen. Aerofungin

merupakan metabolic anti jamur dengan spectrum luas yang memiliki ciri khas

menghambat fitopatogen (Raja, 2003).

2.4.1. Mikroorganisme yang berperan sebagai agen antagonis

Pengendalian biologis pada berbagai tanah yang menjadi tempat

berkembangnya penyakit itu dilakukan dalam menggunakan beberapa metoda.

Metoda ini tercapainya karena pemodifikasian tanah dilakukan agar mendorong

18
perkembangan populasi tanah yang saprofik yang berlawanan itu dapat mencapai

maksimum.

Trichoderma sp. merupakan jamur saprofik yang hidup dalam tanah, serasah,

kayu mati dan hidup diberbagai tempat. Mudah ditemukan,berkembang dengan

cepat dan diantaranya mampu membunuh jamur lain. Trichoderma sp. dikenal

sebagai konidia berwarna hijau dan mengelompok. Konidiophore banyak cabang

dengan satu atau banyak fialid, bersel satu, bulat telur dan terdapat juga ujung fialid

(Raja, 2003).

Trichoderma sp. akan membentuk klamidospora sebagai propagul untuk

bertahan bila keadaan lingkungan baik, miskin unsur hara, atau kekeringan.

Propagul ini akan tumbuh dan berkembang biak kembali apabila lingkungan

kembali normal. Hal ini berarti dengan sekali aplikasi saja Trichoderma sp. akan

tinggal didalam tanah untuk selamanya. Disamping itu Trichoderma sp. adalah

mikroba yang tahan terhadap berbagai perlakuan pestisida sehingga dapat bertahan

hidup dalam kondisi dan jenis tanah pada saat mikroba lain tidak dapat hidup (Raja,

2003).

2.4.2. Mekanisme antagonis Trichoderma sp.

Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai

pengaruh yang merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan

berasosiasi dengannya. Inokulasi Trichoderma sp. ke dalam tanah dapat menekan

serangan penyakit layu yang menyerang di persemaian, hal ini disebabkan oleh

adanya pengaruh toksin yang dihasilkan oleh jamur ini. Selain itu Trichoderma sp.

mempunyai kemampuan berkompetisi dengan patogen tanah terutama dalam

mendapatkan Nitrogen dan Karbon (Nurmasita dkk 2010).

19
Mekanisme utama pengendalian patogen tanaman yang bersifat tular tanah

dengan menggunakan jamur Trichoderma sp. dapat terjadi melalui :

a. Mikroparasit (memarasit miselium cendawan lain dengan menembus

dinding sel dan masuk kedalam sel untuk mengambil zat makanan dari

dalam sel sehingga cendawan akan mati)

b. Menghasilkan antibiotik seperti alametichin, paracelsin, trichotoxin, yang

dapat menghancurkan sel cendawan melalui pengrusakan terhadap

permeabilitas membrane sel, dan enzim chitinase, laminarinase yang dapat

menyebabkan lisis dinding sel

c. Mempunyai kemampuan berkompetisi memperebutkan tempat hidup dan

sumber makanan.

d. Mempunyai kemampuan melakukan interfensi hifa. Hifa Trichoderma sp.

akan mengakibatkan perubahan permeabilitas dinding sel

Trichoderma sp. adalah jenis jamur yang tersebar luas di tanah dan

mempunyai sifat mikroparasitik. Mikroparasitik adalah kemampuan untuk menjadi

parasit jamur lain. Sifat inilah yang dimanfaatkan sebagai biokontrol terhadap jenis

jenis jamur fitopatogen (Nurmasita et al. 2010).

20
III METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Waktu pelaksanaan Praktek Kerja Profesi (PKP) ini yaitu dilaksanakan

selama 2 bulan mulai tanggal 02 Juli 2018–31 Agustus 2018. Adapun tempat

pelaksanaan Praktek Kerja Profesi (PKP) di BALITSA (Balai Penelitian Tanaman

dan Sayuran) di Lembang, Bandung.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah : isolat lokal Trichoderma

sp, isolat patogen penyebab antraknosa, aquades, Potato Dekstrose Agar (PDA) dan

alkohol 95%.

Sedangkan alat yang digunakan adalah : Autoclave, Laminar Air Flow,

timbangan analitik, rak kultur, cawan petri, cover glass, objek gelas, scalpel,

corkborer, silet, tabung reaksi, beker glass, mikropipet, schotbottle, plastik bening,

lampu spiritus, pinset, cutter, selotip, mikroskop, penggaris, kamera dan alat tulis

menulis.

3.3 Metode Pelaksanaan

Metode pelaksanaan praktek lapangan terdiri dari pengamatan tanaman di

lapangan, pengumpulan data tanaman, wawancara dengan karwayan dan staff,

latihan kerja dan pengarahan serta analisis sesuai dengan teori-teori yang dipelajari.

Pada pelaksanaan praktek kerja profesi mahasiswa mengikuti jadwal kantor yang

telah ditetapkan oleh BALITSA Bandung.

21
3.3.1. Sterilisasi alat

Sterilisasi alat dilakukan di Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA)

Lembang, Bandung. Alat yang digunakan untuk sterilisasi berupa autoclaf dan

hotplate and magnetic stirer.

3.3.2 Pembuatan media

Media yang digunakan untuk kegiatan ini adalah Potato Dextrose Agar

(PDA). PDA dibuat dengan cara menambahkan 39 gram PDA instan ke dalam 1

liter aquadest, Lalu panaskan diatas hot plate sambil diaduk hingga mendidih.

Kemudian masukkan ke dalam erlenmeyer dan tutup rapat menggunakan

aluminium foil dan medium disterilkan menggunakan autoklaf selama 15 menit

dengan suhu 121°C dan tekanan 2 atm. Medium yang telah steril disimpan pada

suhu dingin (lemari es).

3.3.3 Isolasi jamur patogen

Patogen Collectotrichum sp. diisolasi dari batang tanaman cabai yang

terserang penyakit antraknosa di lapang. Buah tanaman cabai dipotong pada bagian

sakit dan sehat dengan ukuran 1 cm kemudian dicelupkan ke dalam alkohol 70%

selama 30 detik dan direndam dalam air steril selama 1 menit, selanjutnya

ditiriskan. Setelah tampak kering potongan buah cabai ditanam di media PDA.

Biakan diinkubasi selama 3 hari pada suhu kamar dan dilakukan pengambilan

koloni Collectotrichum sp. dengan jarum ose untuk ditanam pada media PDA yang

baru. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan biakan murni Collectotrichum sp.

untuk tahapan identifikasi.

22
3.3.4 Isolasi jamur antagonis

Jamur Trichoderma sp. diisolasi dari jaringan tanaman cabai sehat. Contoh

tanaman sehat diambil dari lahan budidaya cabai yang endemik terserang penyakit

antraknosa. Tahapan dari isolasi jamur antagonis diawali dengan pencucian batang

di air mengalir. Kemudian batang yang telah dipotong ± 5 cm dan dibawa ke

laminar air flow cabinet (LAFC) untuk kegiatan isolasi. Potongan contoh tanaman

kemudian disterilkan dengan cara merendam potongan batang dalam NaOCl 1%

selama 1 menit, kemudian direndam dalam alkohol 70% selama 1 menit dan dibilas

dengan menggunakan aquades steril sebanyak dua kali. Setelah itu, potongan

sampel dikeringkan diatas tissue steril, potongan diperkecil dengan ukuran ± 1 cm

dan kemudian ditanam pada media PDA. Isolat kemudian diinkubasi pada suhu 25-

30̊ C selama 5-7 hari atau sampai jamur tumbuh. Biakan jamur dengan ciri khusus

Trichoderma berdasarkan karakter morfologi dengan panduan Domsch, Gams dan

Anderson (1980).

3.3.5 Uji antagonis

Uji ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan penghambatan jamur

antagonis Trichoderma sp. hasil isolasi dari jaringan tanaman dalam menghambat

pertumbuhan jamur Collectotricum sp. Pengujian dilakukan dengan cara

menumbuhkan potongan biakan murni Collectotrichum sp. dan Trichoderma sp.

berdiameter 0.5 cm yang berumur 7 hari masing- masing pada cawan petri

berdiameter 9 cm dengan jarak 3 cm. Cara yang sama juga dilakukan untuk

perlakuan kombinasi sehingga pada satu cawan petri terdapat dua titik biakan.

23
3.4 Pengamatan dan pengumpulan data

Terdapat dua tahap pengamatan yang akan dilakukan di Balai Penelitian

Tanaman dan Sayuran, yaitu pengamatan karateristik dan pengamatan daya hambat.

Pengamatan karateristik bertujuan untuk mengamati karateristik dan

mengidentifikasi jamur endofit dan jamur patogen yang berhasil dibiakkan dari

sampel tanaman. Sedangkan pengamatan daya hambat bertujuan untuk mengetahui

daya hambat jamur endofit terhadap pertumbuhan jamur patogen.

3.5. Analisis Data dan Informasi

Data-data yang diperoleh dari hasil identifikasi jamur endofit dan pengamatan

uji antagonis di analisis secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel.

24
IV KEADAAN UMUM LOKASI PKP

4.1 Letak Geografi atau Letak Wilayah Administrasi

4.1.1 Sejarah Instansi

Balai penelitian tanaman sayuran (BALITSA) merupakan unit pelaksana

teknis (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian yang berada dibawah

naungan dan koordinasi serta bertanggung jawab langsung kepada Pusat Penelitian

dan Pengembangan Hortikultura. Pada tahun 1940 sampai 1962 BALITSA masih

berstatus sebagai kebun percobaan dengan nama Balai Penyelidikan Pertanian

Kebun Percobaan Margahayu di bawah Balai Penyelidikan Teknik Pertanian

(BPTP) yang berkedudukan di Bogor Jawa Barat. Pada tahun 1962 sampai 1973,

lembaga ini mengalami perubahan menjadi Kebun Percobaan Margahayu di bawah

Lembaga Penelitian Hortikultura (LPH) Pusat yang berkedudukan di Pasar Minggu

Jakarta Selatan. Tahun 1973 sampai 1980 Lembaga ini menjadi Cabang Lembaga

Penelitian Hortikultura dibawah Lembaga Penelitian Hortikultura (LPH) Pusat

yang berkedudukan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Pada tahun 1980 melalui

surat keputusan Menteri Pertanian No. 861/Kpts/Org/12/1980 tertanggal 2

Desember 1980, Cabang Lembaga Penelitian Hortikultura berubah menjadi Balai

Penelitian Tanaman Pangan (BALITAN) Lembaga yang bertanggung jawab

langsung kepada Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan di Bogor di

bawah lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen

Pertanian (Balitsa, 2012). Pada Maret 1982 berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian No. 550/Kpts/Org/1982, Balai Penelitian Tanaman Pangan (BALITAN)

Lembang berubah menjadi Balai Penelitian Hortikultura (BALIHORT) Lembang.

25
Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 613/Kpts/OT.210/8/1984 Balai Penelitian

Tanaman Hortikultura (BALIHORT) Lembang merupakan salah satu Unit

Pelaksana Teknis (UPT) Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Bidang

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Hortikultura yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Adapun tugas yang diemban oleh Balai Penelitian Tanaman Hortikultura

Lembang, yaitu melaksanakan penelitian dan pengembangan tanaman sayuran dan

tanaman hias. Pada saat itu Balihort Lembang memiliki dua Sub Balai Tanaman

Hias di Cipanas, Cianjur dan Sub Balai Hama dan Penyakit di Segunung, Cianjur.

Kemudian pada tanggal 1 April 1995, berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Pertanian No. 796/Kpts/OT/210/12/94, Balihort Lembang berubah /OT/210/12/94,

Balihort Lembang berubah menjadi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa)

dengan tugas pokok melaksanakan Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Sayuran (Balitsa, 2012).

Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) Kantor Pembantu (KP)

Serpong merupakan salah satu Kebun Percobaaan di BALITSA yang berada di satu

lingkup dengan wilayah Balai Pengembangan Mekanisasi Pertanian (BBP

MEKTAN) dengan Balai Penelitian Tanaman Hias (BALITHI) cabang dari

Cipanas, Cianjur.

Secara adminitratif wilayah BBP MEKTAN terlatak di desa Situgadum,

Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten dengan total luas

lahan 35 ha. Sejarah lahan dari lahan BALITSA KP Serpong adalah pada tahun

1980-an merupakan bekas lahan Perkebunan Karet milik PTP XI dengan luas total

di seluruh wilayah serpong adalah 1.131 Ha.

26
Sedangkan luas lahan keseluruhan BALITSA Kantor Pembantu (KP)

Serpong adalah ±3 Ha, yang terdiri atas gedung kantor utama, gedung alat dan

bahan, tanaman atau halaman depan kantor, post jaga satpam, gudang

penyimpanan, laboratorium basah dan kering, kantin dan sisanya adalah petak-

petak atau blok lahan percobaan. Dengan batasan wilatah lahan pada sebelah utara

adalahan lahan BPP MEKTAN, sebelah selatan adalah lahan BALITHI, sebelah

barat adalah lahan BSD City, dan sebelah timur adalah lahan BPP MEKTAN.

Kondisi tanah pada lahan BALITSA Kantor Pembantu (KP) Serpong ini

adalah jenis tanah latosol dan podsolik merah kuning yang sebenarnya jenis tanah

ini tersebar dan mendominasi seluruh wilayah di Kabupaten Tangerang.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran atau yang lebih dikenal dengan sebutan

BALITSA, Intansi Pemerintah tersebut memiliki beberapa komoditas yang di teliti,

sarana, dan prasarana yang telah lengkap. Adapun komoditas yang diteliti seperti

berikut :

a. Komoditas yang diteliti di BALITSA yaitu :

1. Komoditas Unggulan : kentang cabai merah, bawang merah dan

buncis

2. Komoditas Prioritas : kubis, kacang panjang, tomat, dan jamur

3. Komoditas Protektif : terong, mentimun dan komoditas trensenter

sayuran asli Indonesia

b. Sarana dan prasarana yang ada di BALITSA adalah sebagai berikut:

1. Rumah Kasa

2. Rumah Kasa Plasmah Nutfah

3. Rumah Kasa Hama Penyakit

27
4. Rumah Kasa Ekofisiologi

5. Rumah Kasa Agronomi

6. Rumah Kasa Pemuliaan

7. Rumah Kasa Virologi.

c. Laboratorium

1. Laboratorium Kultur Jaringan

2. Laboratorium Bakteriologi

3. Laboratorium Mikologi

4. Laboratorium Fisiologi Hasil

5. Laboratorium Fisiologi Tanaman

6. Laboratorium Tanah

7. Laboratorium Virologi

8. Laboratorium Entomologi

9. Laboratorium Nematologi

10. Laboratorium Benih

11. Laboratorium Sentral Gams

12. Laboratorium Pemuliaan

13. Laboratorium Biologi Molekuler.

d. Gedung atau bangunan

Terdapat beberapa gedung atau bangunan di BALITSA, yaitu :

1. Gedung Koperasi

2. Gedung Jasa Penelitian

3. Gedung Serbaguna (Aula)

28
4. Gedung Bengkel

5. Gedung Rencana Kerja

6. Gedung Administrasi

7. Gedung Sekretariat UPBS

8. Gedung UPBS Lab. Fermentasi

9. Gedung Preparation Room

10. Gedung Ekofisiologi

11. Gedung Laboratorium Virologi

12. Gedung Peralatan

13. Masjid

Balai Penelitian Tanaman Sayuran selain dilengkapi dengan sarana dan

prasarana yang lengkap pada balai tersebut juga dilengkapi bagian jasa pelayanan.

Jasa yang ditawarkan oleh BALITSA adalah jasa analisis terhadap bidang pertanian

diantaranya : analisis tanah, tanaman, pupuk, air, benih dan lain-lain. Selain itu,

BALITSA juga menyediakan berbagai benih sumber dan merupakan salah satu

tempat yang dijadikan sebagai kawasan agrowisata yang memberikan pengetahuan

kepada para wisatawan tentang dunia pertanian.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran memiliki kegiatan yang fokus mengarah

ke penemuan Teknologi Pertanian seperti perbenihan, persitida, herbisida,

fungisida dan perlakuan yang tepat untuk memperoleh hasil panen yang maksimal,

sehingga BALITSA tidak memiliki kewenangan dalam memasarkan secara

langsung benih varietas tanaman sayuran. Dalam penyebaran benih produksi

BALITSA bekerjasama dengan beberapa mitra kerja yang memasarkan benih-

benih sayuran yang telah diproduksi. Benih varietas tanaman sayuran yang

29
dihasilkan oleh BALITSA disalurkan pada penangkar (perusahaan) untuk dikontrak

dan dipasarkan. Benih varitas tanaman sayur dihasilkan BALITSA digunakan

hampir seluruh BPTP di Indonesia. BPTP melakukan pengujian terlebih dahulu

pada benih sayuran yang diproduksi oleh BALITSA sehingga dapat diketahui

kesesuaiannya dengan daerah tersebut.

Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) dalam memasarkan hasil

panen sayurannya juga berkerjasama dengan beberapa pengempul dan juga bandar

sayur. PT. Bimandiri Lembang juga merupakan mitra BALITSA yang bergerak

dibidang packaging sayuran dan juga merupakan pelatihan dan pengembangan

sayuran di Bimandiri sendiri menjual hasil panen petani langsug ke supermarket

seperti Hero, Hypermart, Giant, Carreffour, Lottemart untuk kawasan Jakarta,

Bandung, Cirebon, Pekalongan dan Semarang. Produk yang dipasarkan oleh

Bimandiri adalah produksi sayuran yang memiliki grade A.

Beberapa perusahaan benih besar seperti Panah Merah dan Riawan Tani

Mitra BALITSA. Selain perusahaan besar, kelompok-kelompok tani disekitar

Lembang juga menggunakan benih-benih sayuran dari BALITSA. Kelompok tani

tersebut antara lain Ikamaja, Pasir Langu, Jaya Makmur, Lembang Agri, dan lain-

lain. Kelompok tani yang bermitra di BALITSA yaitu Mekar Tani Jaya yang

bergerak dalam bidang agribisnis dan dalam pelaksanaannnya diusahakan secara

kolektif (berkelompok) Mekar Tani Jaya sendiri terdiri atas beberapa kelompok

seperti Lentera Asri, Madya Tani Sejahtera, Mekar Tani Jaya, Mekar Tani I, Mekar

Tani II, Gapura Tani Yan’s fruit, Jhotani, Bakti Mandiri, Mekar Rahayu, Mekar

Saluyu, Prima Tani, Jian Agro, Saung Organik, Warni Harum, dan Lembang Fresh

sampai sekarang jumlah keanggotaannya adalah 372 orang.

30
Selain dalam mitra pemasaran benih Balai Penelitian Tanaman Sayuran

bekerjasama pula dengan berbagai pihak dalam hal peneitian. Mitra kerjasama

internasional Balai Penelitian Tanaman Sayuran antara lain CIP (Centro

International De Potatoes atau International Potato Center) merupakan sebuah

lembaga bertaraf Internasional. Dimana fungsi dari CIP untuk menyediakan materi

genetik kentang, HORTIN, dan ACIAR (Australian Center For International

Agricultural Research) yang merupakan kerjasama yang dilakukan BALITSA dan

BALITBIO dan Queenlands University di Australia JIRCAS.

4.1.2 Visi dan misi Balai Penelitian Tanaman Sayuran

Visi Balai Penelitian Tanaman Sayuran adalah “Menjadi Lembaga Penelitian

Tanaman Sayuran Terkemuka dalam Mewujudkan Sistem Pertanian-Bioindustri

Berkelanjutan”.

Misi Balai Penelitian Tanaman Sayuran yaitu :

a. Membangun lembaga penelitian tanaman sayuran terkemuka yang

menjadi referensi bagi penyelesaian masalah pengembangan sayuran

dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan dan gizi, meningkatkan

nilai tambah dan daya saing serta mewujudkan kesejahteraan petani

b. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya penelitian dan

memanfaatkannya secara efisien, efektif untuk mewujudkan kinerja

lembaga penelitian yang transparan, akuntabel, professional dan

berintegrasi tinggi

c. Menghasilkan, mengolah, mendayagunakan dan mengembangkan

instansi teknologi secara mendukung penyediaan logistik inovasi di

31
lapangan agar mudah diakses oleh para pengguna untuk mendukung

pengenmbangan sayuran nasional

d. Menerapkan corporate management dalam pinata kelolaan,

penyelengaraan penelitian, dan menerapkan pradigma scientific

recognition dan impact recognition

e. Mengembangan jaringan kerjasama nasional melalui penguatan

penelitian, pengkajian pengembangan, penyuluhan dan penerapan

(LITKAJIBANGLUHRAP) dan kerjasama internasional menuju

peningkatan kompetensi agar mampu menghasilkan terobosan inovasi

guna menjawab permasalahan dalam pengembangan industri sayuran

nasional dan peningkatan dan kesejahteraan petani

4.1.3 Kondisi wilayah

Gambar 4.1. Peta wilayah Balai Penelitian Tanaman Sayuran

32
Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) memiliki letak geografis yang

berada di Desa Cikole, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Provinsi

Jawa Barat. BALITSA berada di kaki Gunung Tangkuban Perahu dengan

ketinggian tempat ±1.250 mdpl pada 1070 30’ bujur timur dan 600 30’ lintang

selatan. BALITSA memiliki batas-batas wilayah, yaitu : Jalan Raya Bandung-

Subang (Timur), Sungai Kampung Cibedug (Barat), Kampung Cibogo (selatan),

dan Jalan Cibedung( Utara). Pada luasan areal ±40 hektar, BALITSA memiliki

topografi berbukit dengan jenis tanah Andisol, yang berasal dari abu vulkanik

Gunung Tangkuban Perahu dengan struktur tanah lemah dan gembur. Sedangkan

tekstur tanah debu, lempung berdebu, dan lempung. Warna tanah di lahan Balai

Penelitian Tanaman Sayuran adalah hitam, abu - abu, dan coklat dengan pH tanah

sebesar 5,5 - 6. Suhu rata - rata harian berkisar antara 19 - 240C, Kelembaban udara

berkisaran 34 - 90% dan rata - rata curah hujan 2.267,5 mm/tahun. Kecepatan air

tanah ditempat ini termasuk baik atau poros dan iklimnya tipe iklim B Schmidt

Ferguson, sehingga wilayah tersebut cocok sebagai pusat penelitian dan

pengembangan tanaman sayuran.

4.2 Struktur Organisasi dan Ketenagakerjaan

4.2.1 Struktur organisasi


Struktur organisasi Balai Penelitian Tanaman Sayuran (BALITSA) :
Struktur organisasi di Balitsa dikepalai oleh seorang Kepala Balai yang di bantu

oleh bagian tata usaha, serta membawahi langsung 2 seksi yaitu seksi pelayanan

teknis dan seksi jasa penelitian. Struktur organisasi tersebut terdapat Gambar 4.2

sebagai berikut :

33
KEPALA BALAI
Dr. Ir. Catur Hermanto, MP.

SUBBAG TATA USAHA PELAYANAN TEKNIS KASIE JASLIT


Mastur, S.P Fahmi Aprianto,S,Si Andi Supriadi.S.T

KELTI ENTOMOLOGI DAN KELTI PEMULIAAN,PLASMA


KELTI EKOFIOLOGI
FITOPATOLOGI NUTFAH DAN PEMBENIHAN
Dr. Ali Asgar,M.S
Dr. Ahsol Hasyim,M.S Dr. Joko Pinilih,S.P.,M.P

Gambar 4.2 Struktur organisasi BALITSA kantor pembantu Margahayu


(www.balitsa.litbang.pertanian.go.id)

Setiap bagian memiliki tugas sebagai berikut:

1. Kepala sub bagian tata usaha, bertugas melaksanakan urusan kepegawaian,

keuangan, perlengkapan, surat menyurat, dan rumah tangga

2. Bagian pelayanan teknisi, bertugas menyiapkan bahan penyusun rencana

program pemantauan evaluasi laporan dan layanan selama penelitian

3. Bagian jasa penelitian, bertugas menyiapkan lahan kerjasama informasi dan

dokumentasi serta penyebaran luasan dan pendayagunaan hasil penelitian

4. Penjabat fungsional, bertugas untuk menanggung jawab kegiatan masing-

masing, dibagi menjadi 7 pejabat fungsional atau penanggung jawaban yaitu:

1) Kelompok Penelitian Ekofisiologis

2) Kelompok Hama dan Penyakit

3) Kelompok Pemuliaan dan Plasma Nutfah

4) Kelompok Pasca Panen

34
5) Kelompok Komputer Pranara

6) Kelompok Pustakawan

7) Kelompok Teknis Litkayasa

4.2.2 Struktur organisasai Balai Penelitian Tanaman Sayuran


(BALITSA) KP Serpong

Struktur Organisasai di Balitsa KP Serpong di kepalai oleh seorang Kepala

Kebun yang dibawahnya terdapat 8 tenaga kerja, 2 tenaga kerja honorer masing-

masing bertugas sebagai bagian administrasi dan keamanan atau satpam dan 6

Tenaga Kerja Lepas (THL) yang diberikan sebuah tanggung jawab untuk

mengkoordinasi petakan lahan atau blok lahan. Namun dalam keseharian untuk

aktivitas di lapang, baik Kepala Kebun maupun tenaga kerja saling membantu dan

bekerja sama untuk menyelesaikan kegiatan produksi di lapang. Struktur organisasi

tersebut terdapat pada Gambar 4.3 sebagai berikut;

KEPALA BALAI

ADMINITRASI TENAGA HARIAN LEPAS KEAMANAN

Gambar 4.3 Struktur organisasi BALITSA kantor pembantu Serpong

35
V PELAKSANAAN KEGIATAN PKP

5.1 Aspek Manajerial

Tugas pokok BALITSA yaitu melaksanakan penelitian tanaman sayuran.

Adapun fungsi-fungsi manajemen BALITSA sebagai berikut :

a. Pelaksanaan penyusunan progam, encana kerja, anggaan evaluasi, dan

laporan penelitian tanaman sayuran

b. Pelaksanaan penelitian genetika, pemuliaan, perbenihan dan pemanfaatan

plasma nutfah tanaman sayuran

c. Pelaksanaan penelitian morfologi, fisiologi, ekologi, entomologi dan

fitopatologi tanaman sayuran

d. Pelaksanaan penelitian komponen teknologi system dan usaha agribisnis

tanaman sayuran

e. Pelaksanaan penelitian penanganan hasil tanaman sayuran

f. Pemberian pelayanan teknis penelitian tanaman sayuran

g. Penyiapan kerjasama, infomasi dan dokumentasi serta penyebarluasan dan

pendayagunaan hasil penelitian tanaman sayuran

h. Pelaksanaan urusan kepegawaian, keuangan, rumah tangga dan

pelengkapan

5.2 Aspek Teknis

Aspek teknis dari pelaksanaan praktek kerja profesi di BALITSA meliputi :

a. Sterilisasi alat

b. Pembuatan media PDA

c. Isolasi Trichoderma sp.

36
d. Isolasi Collectotrichum sp.

e. Pengamatan secara makrosksopis

f. Uji pengaruh antagonis Trichoderma terhadap penyakit antraknosa

(Collectotrichum sp.)

g. Pengamatan laju pertumbuhan koloni Collectotrichum sp.

h. Pengamatan persentase hambatan pertumbuhan koloni Collectotrichum sp.

37
VI PEMBAHASAN

6.1 Kegiatan Umum di Lokasi PKP

Kegiatan kantor yang dilakukan mahasiswa yaitu mengikuti prosedur yang

sudah diterapkan oleh BALITSA diantaranya:

a). Perkenalan diri dan diskusi tentang profil BALITSA


b). Perkenalan dengan kepala kebun dan staff
c). Ikut serta dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia dan
d). Mengikuti melakukan presentasi hasil magang.
Kegiatan kantor dilakukan pada tanggal 02 Juli sampai 31 Agustus 2018,

dengan pelaksanaannya yang tidak sistematis atau berurut.

6.1.1 Diskusi tentang profil BALITSA

Mahasiswa yang baru datang ke Balitsa memperkenalkan diri kepada staff

kantor BALITSA kemudian mendengarkan presentasi dan berdiskusi tentang profil

BALITSA. Presentasi profil BALITSA dilaksanakan selama 1 hari yaitu pada

tanggal 3 Juli 2018. Presentasi pertama disampaikan oleh ketua Jaslit (jasa

penelitian) yaitu, Andi Supriadi, S.T di kantor Jaslit dan kedua disampaikan oleh

ketua penerimaan peserta magang Dr. Uum Sumpena, S.P., M.P di gedung Aula.

6.1.2 Perkenalan dengan kepala kebun dan staff

Kegiatan ini dilakukan pada minggu kedua setelah berada di Balitsa selama

sehari pada tanggal 10 Juli 2018. Kegiatan ini diadakan di kantor kebun, mahasiswa

memperkenalkan diri kepada kepala kebun dan para staffnya begitu juga

sebaliknya. Setelah perkenalan, kepala kebun menentukan pembimbing lapangan

untuk para mahasiswa magang sesuai dengan komoditi yang diambil oleh

38
mahasiswa. Setelah mengetahui pembimbing lapangan masing-masing kemudian

mahasiswa yang didampingi mandor kebun melakukan survey kebun yang luasnya

±36 ha untuk mengetahui nama dan tata letak tanaman yang ada dikebun.

Luas kebun percobaan BALITSA adalah 36 Ha yang dibagi – bagi ke dalam

5 blok. Setiap satu blok dibagi menjadi beberapa sub blok untuk blok A terdiri atas

43 sub blok, blok B terdiri atas 49 sub blok, Blok C terdiri atas 35 sub blok, blok D

terdiri atas 20 sub blok dan blok E terdiri atas 30 sub blok, setiap sub blok ditanami

beberapa macam tanaman sayuran yang dibudidayakan sesuai dengan luasnya. Luas

setiap sub blok berbeda–beda, jika luasnya hanya 1000m2 maka hanya ditanami

satu jenis tanaman saja.

6.1.3 Memperingati hari kemerdekaan Indonesia

Dalam memperingati hari kemerdekaan Indonesia jasa penelitian membuat

beberapa acara perlombaan, mahasiswa membantu jasa penelitian dalam

menyiapkan perlengkapan yang dibutuhkan seperti mencari pohon pinang, membeli

karung dan kelereng dan membersihkan lapangan sepak bola, selain membantu

menyiapkan perlengkapan mahasiswa juga ikut serta dalam memeriahkan acara

tersebut. Ada beberapa perlombaan yang mahasiswa ikuti dapat dilihat pada yaitu:

panjat pinang, sepak bola, jalan santai, balap karung, senam, membawa kelereng

dengan sendok dan memancing. Acara ini diselenggarakan dari tanggal 14 sampai

16 agustus.

Pada tanggal 17 agustus mahasiswa menghadiri upacara 17an yang diadakan

di BALITSA. Upacara tersebut wajib dihadiri oleh seluruh staff, karyawan dan

39
peserta magang dengan menggunakan seragam dari Universitas atau sekolah

masing masing.

6.1.4 Mengikuti dan melakukan presentasi hasil magang

Peserta magang yang sudah selesai melakukan kegiatan magang baik yang

dikantor maupun di lapangan harus membuktikan hasil dari kegiatan yang telah

dilakukan tersebut yaitu dengan cara mempresentasikan apa yang telah dilakukan

selama berada di BALITSA. Umumnya kegiatan ini dilakukan 4 hari sebelum

kegiatan magang selesai atau sebelum perpulangan dari BALITSA. Presentasi hasil

kegiatan ini dihadiri oleh kepala kebun, pembimbing lapangan, staff jaslit dan

seluruh peserta magang di Aula Balitsa. Pada kegiatan ini ada dua metode yang

dilakukan yaitu:

1) Mengikuti atau menghadiri presentasi hasil magang dari peserta magang

yang lain, Mahasiswa yang menghadiri seminar ini mendengarkan dan

bertanya tentang apayang belum diketahui atau yang belum paham dari

presentasi tersebut. Kegiatan menghadiri atau mengikuti presentasi magang

ini dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2018 yaitu presentasi dari mahasiswa

UNILA, Lampung dan presentasi dari Mahasiswa UNSOED, Purwokerto.

2) Melakuan presentasi hasil magang, kegiatan ini dilakukan pada tanggal 31

Agustus 2018 Mahasiswa menjelaskan tentang patogenesis Trichoderma

sp. terhadap Collectotrichum sp. yang telah dilakukan. Selain

menyampaikan hasil kegiatan magang mahasiswa juga melakukan diskusi

kepada seluruh peserta yang hadir serta menjawab seluruh pertanyaan dan

masukkan dari pembimbing dan lainnya.

40
Sebelum melakukan seminar mahasiswa membuat dan menyusun laporan

kegiatan magang serta mencari data yang masih belum lengkap di perpustakaan

seminggu sebelum melakukan presentasi, kemudian berkonsultasi dengan

pembimbing guna untuk memperjelas data yang sudah diperoleh. Setelah

melakukan seminar hasil magang di BALITSA selanjutnya mahasiswa

menyerahkan laporan magang kepada jaslit dan pembimbing pada tanggal 31

Agustus 2018, selanjutnya mahasiswa diberi borang penilaian oleh pembimbing

sebagai hasil dari kegiatan yang telah dilakukan.

6.2 Kegiatan Khusus Sesuai Topik PKP

6.2.1 Kegiatan khusus

Pelaksanaan praktek kerja profesi dari beberapa kegiatan yang dilaksanakan

di lapangan yaitu meliputi: Metode pelaksanaan dilakukan dalam dua tahap, yaitu:

1. Isolasi dan pengamatan secara makroskopis

a. Sterilisasi alat

Kegiatan sterilisasi alat yang dilakukan selama PKP yaitu membersihkan

cawan petri hasil percobaan dengan cara direbus dengan menggunakan hotplate and

magnetic stirer. Hal ini bertujuan agar jamur patogen mati. Kemudian hasil isolat

uji coba yang telah direbus diambil dengan menggunakan pinset. Isolat hasil uji

coba dimasukkan kedalam plastik dan dibuang. Kemudian cawan petri di sterilkan

dengan menggunakan autoklaf selama 15 menit dengan suhu 121̊C dan tekanan 2

atm. Setelah itu cawan petri di bungkus dengan menggunakan kertas buram dan

kemudian dimasukkan kedalam oven. Setelah selesai cawan petri disimpan ke

dalam laci.

41
Tujuan dari proses sterilisasi adalah untuk mematikan atau memusnahkan

semua jenis organisme hidup seperti protozoa, fungi, bakteri, mycoplasma, virus)

yang terdapat dalam suatu benda (Pratiwi, 2006).

b. Pembuatan media PDA

Kegiatan pembuatan media dimulai dengan mempersiapkan alat dan bahan

yang akan digunakan. Kemudian kentang dikupas lalu dicuci hingga bersih.

Selanjutnya kentang yang telah dicuci kemudian dipotong-potong menjadi bagian

yang lebih kecil. Potongan kentang ditimbang sebanyak 200 gram. Potongan-

potongan kentang direbus dengan air sampai volumenya 1000 ml. Kemudian

kentang dengan cairannya (ekstrak) dipisahkan untuk diambil cairannya (ekstrak)

saja. Selanjutnya cairan kentang (ekstrak) dimasukkan ke dalam tabung erlenmeyer

kemudian ditambahkan agar-agar 20 gram dan gula 15 gram. Bahan PDA yang

terdiri dari ekstrak kentang, agar-agar, gula dan air dalam tabung erlenmeyer diaduk

secara merata sampai homogen. Setelah itu tabung erlenmeyer yang telah berisi

bahan PDA ditutup dengan alumunium foil dan selotip. Bahan PDA dalam tabung

erlenmeyer disterilkan menggunakan autoklaf. Bahan PDA yang telah steril

diangkat dan didinginkan.

c. Isolasi Trichoderma sp.

Isolat Trichoderma sp. diperoleh dari Laboratorium Fitopatologi dan

Entomologi di Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Lembang, Bandung, Jawa Barat

yang kemudian di perbanyak kembali pada media PDA untuk mendapatkan biakan

murni. Isolat jamur Trichoderma sp. dapat tumbuh dengan cepat pada media PDA

dan pada awal pertumbuhannya mula – mula memiliki koloni berwarna putih

42
kehijauan yang setelah hari ke-5 warna koloni berubah menjadi hijau terang dan

akhirnya menjadi hijau gelap. Konidia berbentuk semi bulat hingga oval pendek

(Samson et al. 1995).

d. Isolasi Collectotrichum sp.

Bahan tanaman diperoleh dari Pasar Panorama, Lembang, Bandung, Jawa

Barat yang menunjukan gejala terserang antraknosa pada buah kemudian diambil

dan dimasukan ke dalam kantong plastik dan diberi label sebagai bahan untuk

diisolasi dan menentukan penyebab penyakit. Tubuh buah dibersihkan dengan

menggunakan aquadest, dipotong dadu ukuran 1cm³, dan kemudian dicuci dengan

air steril. Sampel ini selanjutnya dikering anginkan di atas kertas saring steril dan

ditanam pada media PDA (potato dextrose agar) menggunakan pinset secara

aseptis.

e. Pengamatan secara makrosksopis

Biakan murni jamur diremajakan pada media PDA, jamur yang telah tumbuh

pada media diamati ciri-ciri makroskopisnya yaitu ciri koloni seperti tumbuh hifa,

dan warna koloni. Pengamatan makroskopis ini dilakukan pada biakan

Collectotrichum sp , T. harzianum, T. koningii, T. viridae.

2. Uji pengaruh antagonis Trichoderma terhadap penyakit antraknosa


(Collectotrichum sp.)

Setelah diperoleh agen antagonis (T. harzianum, T. koningii, T. viridae)

kemudian dilakukan uji antagonis Trichoderma sp. Terhadap Penyakit antraknosa

(Collectotrichum sp.) dengan cara meletakkan agen antagonis dan pathogen dalam

Petridis yang sama dengan jarak yang telah ditentukan.

43
3. Pengamatan

Pengamatan ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pengaruh

Trichoderma sp terhadap penghambatan penyakit antraknosa.

4. Laju pertumbuhan koloni Collectotrichum sp.

Pengamatan laju pertumbuhan koloni dilakukan setiap hari setelah

penginokulasian agen antagonis tersebut sampai pinggiran koloni Collectotrichum

sp. dengan agen antagonis bersinggungan. Pengamatan ini dilakukan selama 1-7

hari .

5. Persentase hambatan pertumbuhan koloni Collectotrichum sp.

Pengamatan persentase hambatan pertumbuhan Collectotrichum sp.

dilakukan setelah koloni Collectotrichum sp. tidak berkembang lagi. Menurut

Dharmaputra (1999), rumus yang digunakan untuk mengetahui persentase daya

antagonisme adalah:

Keterangan:

P = persentase penghambatan
R1 = jari-jari koloni kapang patogen yang menjauhi kapang antagonis
R2 = jari-jari koloni kapang patogen yang mendekati kapang antagonis.

44
Gambar 5.1. Cara meletakkan potongan cakram miselium jamur patogen
Collectotrichum sp. dan jamur antagonis Trichoderma sp. pada
permukaan medium (Szekeres et al.,2006).

Keterangan:

P = Cakram miselium jamur patogen


A = Cakram miselium jamur antagonis

6. Waktu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan


Collectotrichum sp. (hari)

Pengamatan waktu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan

Collectotrichum sp. dilakukan setelah penginokulasian agen antagonis tersebut

sampai pinggiran koloni Collectotrichum sp dengan agen antagonis bersinggungan.

6.2.1 Hasil uji antagonis jamur Trichoderma sp. terhadap jamur patogen
Collectotrichum sp.
Tabel 1. Hasil pengamatan uji antagonisme jamur Trichoderma sp. terhadap jamur
patogen Collectotrichum sp.
Jenis Hari Pengamatan Ke-HSI
Jamur 1 2 3 4 5 6 7
a.v 9,82 7,56 27,36 42,08 47,44 42,39 42,35
a.h 12,5 9,46 28,07 35,36 29,51 33,84 39,8
a.k 0 23,06 40,23 36,25 45,66 62,88 66,13
c.v 17,09 37,66 34,29 31,98 33,68 28,94 18,2
c.h 16,56 27,01 29,15 33,18 37,23 25,9 26,63
c.k 19,74 18,76 25,17 54,84 59,41 17,05 24,65

45
Keterangan :

ck = Collectotrichum capsici + T.koningii


cv = Collectotrichum capsici + T.viride
ch = Collectotrichum capsici + T.harzianum
ak = Collectotrichum acutatum + T.koningii
av = Collectotrichum acutatum + T.viride
ah = Collectotrichum acutatum + T.harzianum
Angka pertumbuhan daya hambat jamur Collectotrichum sp.

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
1 2 3 4 5 6 7
A.V A.H A.K C.V C.H C.K

Jenis perlakuan

Gambar 6.1. Grafik pertumbuhan daya hambat jamur Trichoderma sp. terhadap
jamur patogen Collectotrichum sp.

Penghitungan daya antagonisme dari tiga spesies jamur Trichoderma sp. yaitu

T. harzianum, T. viride, dan T. koningii terhadap jamur patogen Collectotrichum

sp. dilakukan dengan menghitung selisih antara jari-jari koloni jamur patogen

Collectotrichum sp. yang menjauhi jamur Trichoderma sp. (R1) dan jari-jari koloni

jamur patogen Collectotrichum sp. yang mendekati koloni jamur Trichoderma (R2)

pada medium Potato Dextrose Agar (PDA), kemudian dibagi dengan jari-jari

46
koloni jamur patogen Collectotrichum sp. yang menjauhi koloni jamur

Trichoderma sp.

Grafik pada Gambar 6.1 menunjukkan bahwa pertumbuhan jamur

Collectotrichum sp. yang telah diberi perlakuan dengan Trichoderma sp.

mengalami fluktuasi setiap harinya. Perbedaan daya antagonisme spesies

Trichoderma sp. terhadap jamur Collectotrichum sp. disebabkan adanya beberapa

faktor, salah satu diantaranya adalah perbedaan kecepatan tumbuh dan adanya

mekanisme antagonisme Trichoderma sp. terhadap jamur Collectotrichum sp.

Menurut Soesanto (2008), bila pertumbuhan jamur antagonis berlangsung cepat

maka dapat menyebabkan pengurangan kepadatan populasi atau koloni jamur

patogen, yang disebabkan oleh beberapa jenis mekanisme antagonis. Tingkat

kompetisi Trichoderma sp. yang tinggi menyebabkan penguasaan terhadap

ruang/tempat dan nutrisi lebih cepat sehingga patogen akan tersisih dan selanjutnya

akan mengalami kematian.

Menurut Matroudi et al. (2009), jamur T. harzianum mempunyai

pertumbuhan miselium yang lebih cepat sehingga sangat baik dalam

mengendalikan pertumbuhan jamur patogen. Dalam waktu 4 x 24 jam miselum

jamur T. harzianum dapat tumbuh lebih cepat jika dibandingkan dengan

pertumbuhan miselium jamur T. viride dan T. koningii. Hal tersebut menyebabkan

produksi enzim hidrolitik dan metabolit sekunder yang dihasilkan T. harzianum

lebih banyak, sehingga dalam waktu 4 x 24 jam tersebut jamur T. harzianum dapat

menunjukkan daya antagonisme yang lebih besar terhadap jamur Collectotrichum

dengan cara menekan pertumbuhan jamur Collectotrichum sp. dibandingkan

dengan jamur T. viride dan T. koningii.

47
Angka persentase daya hambat jamur Collectotrichum sp.

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
A.V A.H A.K C.V C.H C.K

Jenis perlakuan

Gambar 6.2. Persentase daya hambat jamur Collectotrichum sp.

Berdasarkan diagram pada Gambar 6.2 menunjukkan bahwa rata-rata

pertumbuhan dan perkembangan jamur Collectotrichum sp. mengalami perbedaan

antara perlakuan yang satu dengan perlakuan yang lainnya. Perbedaan daya

antagonisme spesies Trichoderma sp. terhadap jamur Collectotrichum sp.

disebabkan adanya beberapa faktor, salah satu diantaranya adalah perbedaan

kecepatan tumbuh dan adanya mekanisme antagonisme Trichoderma sp. terhadap

jamur Collectotrichum sp.

Jamur Trichoderma sp. yang mempunyai daya antagonisme tertinggi

terhadap jamur Collectotrichum adalah pada perlakuan dengan menggunakan T.

harzianum yang dapat dilihat dari pertumbuhan jamur patogen yang paling rendah

yaitu 26,93 mm pada perlakuan C.acutatum + T. harzianum sp. dan 27,95 mm pada

perlakuan C.capsici + T.harzianum.(Gambar 6.4)

48
VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan kegiatan yag telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa ada

pengaruh perbedaan spesies Trichoderma sp. terhadap Collectotrichum sp. Jamur

antagonis Trichoderma sp. yang memiliki daya antagonisme tertinggi terhadap

jamur Collectotrichum sp. adalah T. harzianum yang dilihat dari rata-rata

pertumbuhan jamur patogen yang paling rendah yaitu 26,93 mm dan 27,95 mm

dan mekanisme antagonisme secara in vitro yang ditunjukkan oleh jamur

Trichoderma sp. berdasarkan pengamatan makroskopis adalah kompetisi, serta

melalui pengamatan mikroskopis menunjukkan mekanisme mikoparasit yang

meliputi hifa jamur antagonis Trichoderma sp. menempel, membelit dan menembus

hifa jamur patogen Collectotrichum sp.

7.2 Saran

Saran yang dapat diberikan yaiu diperlukan penelitian atau aplikasi langsung

kelapangan agar hasil yang telah didapat selama dilaboratorium dapat terbukti

kebenarannya.

49
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, R. Dan Usman M. T. 2002. Fisiologi hewan air. Unri Press: Pekanbaru
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5 th ed. Academic Press. California.
Alexopoulos, C.J., C.W. Mims., and M. Blackwell. 1996. Introductory mycology.
Fourth edition. John Wiley and Sons. New York, USA.
Ambar, A.A., Priyatmojo, A., Hadisutrisno, B., dan Pusposendjojo, N. 2010.
Virulensi 9 Isolat Fusarium oxysporum f.sp. Lycopersici dan
perkembangan gejala layu fusarium pada dua varietas tomat di rumah
kaca. Jurnal Agrin 14(2): 89-96
AVRDC (Asian Vegetable Research and Development Center). 2003. Evaluation
of phenotypic and molecular criteria for the identification of
Colletotrichum species causing pepper anthracnose in Taiwan.
AVRDC Report 2003. Taiwan.
Cahyono, B. 2003. Teknik dan strategi budidaya sawi hijau (Pai-Tsai). Hal 12- 62.
Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama.
Chandler, L.A. and Schwartz, S.J. 1988. Isomerization and losses of trans-carotene
in sweet potatoes as affected by processing treatments. J .Agric, Food
Chem.
Dickman, B.M. 1993. Colletotrichum gloeosporioides. http:// www.extento.
hawaii.edu/kbase/crop/Type/c_gloeo.htm. Department of Plant
Pathology. University of Hawaii. Hawaii. Diakses 2 Desember 2018.
DJBPH (Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura). 2013. Luas panen, rata-
rata hasil dan produksi tanaman hortikultura di Indonesia. Departemen
Pertanian, Jakarta.
Duriat, A, S. 1990. Cabai merah : Komoditas prospektif dan andalan. Dalam Duriat
A, S., Widjaja W, H., Soetiarso T, A., Prabaningrum L (ed). Teknologi
produksi cabai merah. Lembang, Bandung: Balai Penelitian Tanaman
Sayuran Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Gultom, J.M., 2008. Pengaruh pemberian beberapa jamur antagonis dengan
berbagai tingkat konsentrasi untuk menekan perkembangan jamur
Phytium sp. penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau
(Nicotiana tabaccum L.) http://repository.usu.ac.id.pdf diakses pada 2
Desember 2018.
Gultom, JM 2008. Pengaruh pemberian beberapa jamur antagonis dengan berbagai
tingkat konsentrasi untuk menekan perkembangan jamur phytum sp.
penyebab rebah kecambah pada tanaman tembakau (Nicotiana
tabaccum L.). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Medan.

50
Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-dasar ilmu tanah. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Harman, G.E. 1996. Trichoderma for biocontrol of plant pathogen: from basic
research to comerciallization products. Departments of Horticultural
Science and of Plant Pathology. Cornell University Geneva.
Hs, Gusnawaty., Muhammad Taufik, Leni Triana, Dan Asniah. 2014. Karakterisasi
morfologis Trichoderma sp. indigenus sulawesi tenggara. Jurnal
Agroteknos 4(2).
Jones and Jones. 1969. Pests of field crops. Ed ke-3. USA: Edward Arnold
Kim et al. 2004. Characterization of antihypertensive angiotensin i-converting
enzyme inhibitor from Saccharomyces cereviseae. J Microbiol
Biotechnol.
Kim, K. D., B. J. Oh, and J. Yang. 1999. Differential interactions of a
Colletotrichum gloeosporiodes iolate with green and red paper fruit.
Phytoparasitica.
Nicholson, R. L. (1992). Colletotrichum graminicola and anthracnose diseases of
maize and sorghum. in Colletotrichum - Biology, Pathology and
Control, pp. 186-202. Edited by J. A. Bailey & M. J. Jeger.
Wallingford: CAB International.
Nurbailis dan Martinius. 2015. Pemanfaatan jamur antagonis indigenus rizosfer
cabai untuk pengendalian hayati penyakit antrakosa yang disebabkan
oleh Colletotrichum gloeosporioides. Laporan Penelitian (Tidak
dipublikasikan) Hibah Bersaing 2015. Fakultas Pertanian Universitas
Andalas.
Nurbailis dan Martinus.2008. Karakteristik genetik Trichoderma sp. indigenus
rizosfer pisang yang berpotensi pengendalian layu Fusarium pada
pisang. J.Saintek 6(1).
Oka, Ida Nyoman.1995.Pengendalian hama terpadu dan implementasinya di
Indonesia. Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.
Papavizas, G.C. 1985. Trichoderma and Gliocladium: Biology, Ecology, and
Potential for Biocontrol. US Departement of Agriculture. Maryland.
Rifai, M., Mujim, S., dan Aeny, T.N., 1996. Pengaruh lama investasi Trichoderma
viride terhadap intensitas serangan Pythium sp. pada kedelai. Jurnal
Penelitian Pertama 7(8): 20-25.
Rusli, I., Mardinus, dan Zulpadli, 1997. Penyakit antraknosa pada buah cabai di
Sumatera Barat. Prosiding Kongres Nasional XIV dan Seminar Ilmiah
Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, Palembang.
Semangun, H., 1994. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

51
Semangun, Haryono. 2000. Pengantar ilmu penyakit tumbuhan. Gadjah Mada
University. Yogyakarta.
Setiadi. 2011. Bertanam cabai. Jakarta : Penebar Swadaya.
Sinaga MS. 2006. Dasar-dasar ilmu penyakit tumbuhan. Ed ke-2. Jakarta (ID):
Penebar Swadaya
Sinaga SW. 2006. Pengaruh pemberian insektisida nabati terhadap serangan hama
polong pada tanaman kedelai (Glycine max L. Merill) di lapangan.
Skripsi (Tidak dipublikasikan). Universitas Sumatera Utara, Medan.
Soesanto L, Rokhlani & Prihatiningsih N. 2008. Penekanan beberapa
mikroorganisme antagonis terhadap penyakit layu fusarium gladiol.
Agrivita 30(1).
Suardi. 2013. Efektifitas lima isolat cendawan endofit dalam menekan pertumbuhan
cendawan (Phytophthora palmivora butler) pada tanaman kakao
(Theobroma cacao). Skripsi (Tidak dipublikasikan). Makassar:
Universitas Hasanuddin.
Suhardi, 1989. Mikoriza vesikular arbuskular. Bioteknologi Universitas Gajah
Mada.
Suryaningsih, E., R. Sutarya dan A.S Duriat. 1996. Penyakit tanaman cabai merah
dan pengendaliannya. Hal 64-84. Dalam A.S. Duriat, A. Widjada, W.
Hadisoeganda, T.A. Soetriarso dan L. Purbaningrum (eds). Teknologi
produksi cabai merah. Balitsa. Lembang.
Syukur, M., S. Sujiprihati, J.Koswara, and Widodo. 2007. Inheritance of resistance
to anthracnose caused by Collectotricum acutatum in pepper
(Capsicum annuum L.)Bul. Agron 35 (2).
Tjitrosoepomo, G. 2007. Taksonomi tumbuhan (Spermatohyta). Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
Yudiarti, T. 2007. Ilmu penyakit tumbuhan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

52
LAMPIRAN

Lampiran 1. Pengambilan sampel dilapangan

a b c
Keterangan :
a = Pengambilan sampel tanah yang terkena penyakit antraknosa
b = Pengambilan sampel tanah dari tanaman sehat
c = Pengambilan sampel tanaman cabai yang terserang penyakit
antraknosa

Lampiran 2. Pembuatan preparat

53
Lampiran 3. Identifikasi jamur penyakit Collectotrichum sp.

Keterangan :
a = Pengamatan dengan menggunakan mikroskop
b = Hasil pengamatan Collectotrichum acutatum
c = Hasil pengamatan Collectotrichum capsici

54
Lampiran 4. Isolasi dan inokulasi jamur untuk uji antagonis

a b c

e d

Keterangan :
a = Sterilisasi alat
b = Proses pembuatan PDA
c = Isolasi jamur Collectotrichum sp.
d = Inokulasi jamur Trichoderma sp.
e = Hasil inokulasi
= Pertumbuhan Collectotrichum sp.
= Pertumbuhan Trichoderma sp.

55

Anda mungkin juga menyukai