Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PRAKTIKUM

TEKNOLOGI PERLINDUNGAN TANAMAN

ACARA 1
PENGENALAN GEJALA DAN TANDA PENYAKIT TANAMAN

Disusun Oleh:
Tiara Dwi Krisjayanti
1810401011
Kelompok 6A

Asisten:
Annisa Aulia

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS TIDAR
2020
1.1 TUJUAN
Tujuan dari praktikum ini adalah:
 Mengenali gejala dan tanda penyakit tanaman yang disebabkan oleh jamur
 Mengenali gejala dan tanda penyakit tanaman yang disebabkan oleh bakteri
 Mengenali gejala dan tanda penyakit tanaman yang disebabkan oleh virus
1.2 TINJAUAN PUSTAKA
Pantogen busuk basah pada tanaman kubis adalah Erwina caratovora. Sel bakteri
berbentuk batang, dengan ukuran (1,5 - 2,0) x (0,6 0,9) mikron, umumnya membentuk rangkaian
sel-sel seperti rantai, tidak mempunyai kapsul, dan tidak berspora. Bakteri bergerak dengan
menggunakan flagela yang terdapat di sekeliling sel bakteri (flagela peritrichous). Bakteri
bersifat Gram negatif. Suhu optimal untuk perkembangan bakteri 27° C. Pada kondisi suhu
rendah dan kelembaban rendah bakteri terhambat pertumbuhannya. Patogen busuk lunak
Erwinia, termasuk dalam kelompok Enterobacteriaceae. Bakteri ini bersifat anaerobik fakultatif,
berflagela peritrik, dan Gram negatif (De Boer dan Kelman 2001). Erwinia spp. berukuran (0,5-
1) x (1,5-4) µm. Menurut Semangun (2006) bakteri ini memiliki karakteristik berbentuk batang
dan koloni berbentuk putih atau kuning.
Isolasi dari daun kubis yarig bergejala penyakit busuk lunak dihasilkan koloni bakteri
yang tumbuh pada media nutrient agar dengan ciri-ciri warna koloni putih kelabu, licin, bulat,
mengkilap dan sedikit timbul. Dari hasil pengujian didapatkan bakteri tersebut bersifat Gram
negatie bersifat fermentatif ditunjukkan dengan reaksi asam (warna kuning) pada media,
menyebabkan nekrotik pada daun tembakau, menyebabkan busuk lunak pada jaringan daun
kubis dan dapat membusukkan kentang
Tanaman di pesemaian juga dapat diserang bakteri busuk lunak yang dapat menyebabkan
kematian dalam waktu relatif singkat. Infeksi bakteri lebih banyak dijumpai pada tempat
penyimpanan atau pada waktu pengangkutan (pasca panen) dari pada di lapangan. Bakteri busuk
lunak merupakan parasit lemah yang dapat melakukan penetrasi pada inangnya hanya melalui
luka misalnya pada bercak yang diinfeksi oleh patogen lainnya, luka karena gigitan serangga,
atau luka karena alat pertanian yang digunakan untuk memanen kubis.
Penyebaran  melalui tanah, sisa-sisa tanaman di lapangan dan alat pertanian. Gejala awal
pada daun terjadi bercak-bercak yang berair yang  kemudian membesar dan berwarna coklat.
Pada serangan lanjut daun yang terinfeksi, melunak berlendir dan mengeluarkan bau yang khas,
bau tersebut merupakan gas yang dikeluarkan dari hasil fermentasi karbohidrat kubis.
Menurut Agrios (1997) E. carotovora telah diketahui menjadi penyebab busuk lunak pada
beberapa tanaman buah, sayuran dan tanaman hias. Gejala awal yang terlihat yaitu terbentuk
luka basah kecil, yang semakin membesar baik diameter maupun kedalamannya. Daerah yang
terinfeksi menjadi lunak sementara warna permukaannya memudar. Jaringan pada daerah yang
terinfeksi menjadi berwarna krem dan tipis, kemudian menjadi hancur. Permukaan luar bagian
tanaman bergejala akan terlihat utuh namun dibagian dalamnya berubah menjadi lunak, berair,
dan berwarna coklat.
Penggunaan perlakuan PGPR dan P. fluorescens secara tunggal belum efektif mengambat
perkembangan penyakit busuk lunak pada tanaman kubis bunga yang disebabkan oleh Erwinia
carotovora tetapi penggunaan kombinasi PGPR dan P. fluorescens efektif menghambat
perkembangan penyakit busuk lunak. Usaha pengendalian penyakit busuk lunak umumnya pada
taraf pencegahan antara lain dengan menghindari luka mekanis pada tanaman sewaktu di kebun
maupun saat panen. Cara pengendalian: Mencegah terjadinya pelukaan dan mencegah serangan
serangga hama. Krop yang terserang sebelum disimpan daun-daun yang terinfeksi dibuang dan
dimusnahkan serta batang bekas potongan diolesi dengan cairan klorin. Larutan stimulan berupa
manitol 10% dan seng 0,5 mM merupakan larutan stimulan terbaik untuk meningkatkan
kemampuan penghambatan pseudomonas pendar-fluor terhadap E. carotovora subsp.
carotovora. Terdapat satu jenis senyawa antimikrobia yang distimulasi oleh manitol dan seng.
Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis dan karakteristik senyawa
antimikrobia yang distimulasi
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi bakteri
patogen yaitu memperhatikan intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembapan pada lingkungan
budidaya. Patogen busuk lunak tidak dapat menginfeksi tanaman disekitarnya secara langsung.
Namun, patogen tersebut dapat bertahan pada jaringan terinfeksi di tanah. Sanitasi lingkungan
perlu diperhatikan agar tidak terdapat inokulum patogen.
Pengendalian lain yang dapat dilakukan yaitu dengan penyingkiran tanaman, modifikasi
kelembapan lingkungan, sanitasi lingkungan, menggunakan varietas yang resisten, serta
pengendalian secara kimia. Daun yang terinfeksi pada tanaman yang sehat mengindikasikan
adanya kontaminasi bakteri, sehingga tanaman tersebut harus dipisahkan dari tempat
pembudidayaan (Uchida 2010).

Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan
Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat Perlindungan
Hortikultura, 2010). Klasifikasi jamur Colletotrichum capsici menurut Singh (1998) adalah:
divisi: Ascomycotina, sub divisi: Eumycota, kelas: Pyrenomycetes, ordo: Sphaeriales, family:
Polystigmataceace, genus: Colletotrichum dan spesies: capsici. C. capsici semula disebut C.
nigrum yang diduga juga sama dengan Vermicularia capsici. Jamur ini mempunyai banyak
aservulus, tersebar, di bawah kutikula atau pada permukaan. Seta coklat tua, bersekat, kaku,
meruncing ke atas. Konidium hilain, berbentuk tabung (silindris), ujung-ujungnya tumpul, atau
bengkok seperti sabit (Semangun, 1989).
Siklus penyakit antraknosa diawali dari jamur pada buah masuk ke dalam ruang biji dan
menginfeksi biji. Jamur tersebut dapat menginfeksi semai yang tumbuh dari biji sakit. Kemudian
jamur menyerang daun, batang dan akhirnya menginfeksi buah. Jamur hanya sedikit sekali
mengganggu tanaman yang sedang 6 tumbuh, tetapi menggunakan tanaman ini untuk bertahan
sampai terbentuknya buah hijau. Selain itu jamur dapat bertahan pada sisa-sisa tanaman sakit,
seterusnya konidium disebarkan oleh angin (Semangun, 1989).
Gejala antraknosa sangat mudah dikenali dengan gejala awal pada buah cabai berupa
bercak kecil dan berair. Ukuran luka tersebut dapat mencapai 3 – 4 cm pada buah cabai yang
berukuran besar. Pada serangan lanjut yang sudah parah, gejala luka tersebut lebih jelas tampak
seperti luka terbakar matahari dan berwarna antara merah tua sampai coklat menyala hingga
warna hitam. Pada saat sudah parah, penyakit ini akan sangat merusak, dapat menyebabkan
nekrosis dan bercak pada daun, cabang atau ranting. Penyebab penyakit memencar melalui
percikan air dan jarak pemencaran akan lebih jauh jika disertai adanya hembusan angin. Penyakit
antarknosa telah menyebar luas di daerah-daerah pertanaman cabai yang kondisinya sangat
lembab atau daerah dengan curah hujan tinggi (Direktorat Perlindungan Tanaman Hortikultura,
2010).
Gejala awal penyakit antraknosa adalah bercak kecil seperti tersiram air dengan warna
bercak kehitaman pada permukaaan buah yang terinfeksi kemudian menjadi busuk lunak.
Ekspansi bercak yang maksimal membentuk lekukan dengan berwarna merah gelap. Serangan
yang berat menyebabkan seluruh buah keriput dan mengering. Gejala segera nampak berupa titik
gelap, sedikit cekung dan bergaris tengah 4 mm. Bercak akan segera berkembang hingga
mencapai seluruh permukaan buah. Patogen dapat menginfeksi buah melalui luka maupun secara
langsung. Sedangkan keadaan yang basah dan adanya air hujan sangat berperan dalam
penyebaran spora dari satu tanaman ke tanaman lain (Zen, et.al., 2002.)
Cendawan penyebab penyakit antraknosa berkembang dengan sangat pesat bila
kelembaban udara cukup tinggi yaitu bila lebih dari 80 % RH dengan suhu 320C. Serangan
jamur C. capsici pada biji cabai dapat menimbulkan kegagalan berkecambah atau bila telah
menjadi kecambah dapat menimbulkan rebah kecambah, sedangkan pada tanaman dewasa dapat
menimbulkan mati pucuk, infeksi lanjut ke bagian lebih bawah yaitu daun dan batang yang
menimbulkan busuk kering warna cokelat kehitam-hitaman (Yusuf, 2010).
Tindakan untuk membersihkan benih (sanitasi) serta pergiliran tanaman bukan inang
adalah bagian terpenting bagi pencegahan penyakit ini. Pemakaian fungisida yang tepat dan
akurat dapat digunakan untuk mengurangi penyakit ini. Tindakan kultur teknis lainnya yang
disarankan adalah menanam cabai pada musim kemarau, menghindari penanaman pada musim
banyak hujan, perbaikan drainase, membuat bedengan searah angin, sanitasi pertanaman dengan
membuang rumput-rumputan dan buah cabai yang terserang penyakit busuk buah, dan
penggunaan varietas tahan seperti “Hot Beauty” (Semangun, 1989).
Ada banyak cara pengendalian yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerugian akibat
serangan jamur patogen tersebut, diantaranya perbaikan sistem budidaya tanaman, penggunaan
bahan tanam yang bebas penyakit, pengendalian dengan fungisida, dan pengendalian secara
hayati (Rompas, 1997). Trichoderma spp. mampu menghambat pertumbuhan C. capsici pada
media PSA maupun pada buah Cabai. Salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan C.
capsici terhambat karena cendawan Trichoderma spp. dapat mengeluarkan toksin yang
menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan bahkan mematikan inangnya (Baharia, 2000
dalam Ismail dan Tenrirawe, 2012). Perlakuan TPT-1/KB-1 yang menggabungkan beberapa
komponen budidaya seperti penggunaan mulsa jerami, tumpang sari dengan bawang daun,
penggunaan pupuk hayati Trichoderma, penggunaan pupuk NPK sebesar 40% dan penerapan
manajemen pengendalian berdasarkan ambang kendali menunjukkan persentase kejadian
penyakit antraknosa pada buah cabai yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan
kombinasi budidaya lainnya.
Yustisiani et al. (2006) yang menyatakan bahwa karakter ketahanan tanaman cabai merah
terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen sederhana dengan rasio 13 : 3 (epistasis dominant
resesif). Menurut Prasath and Ponnuswami (2008), genotipe cabai yang tahan antraknosa
memiliki kandungan fenol dan enzim aktif (ortho dihydroxy phenol, peroxidase, poliphenol
oxidase dan phenylalanine ammonia-lyase) yang tinggi dibanding genotipe cabai yang tidak
tahan

(Alfi Inayati dan Kurnia Paramita Sari,2011) “Synchitrium psophocarpi (Rac.) Baumman
PENYEBAB KARAT PALSU PADA KECIPIR” Hasil penelitian menunjukkan adanya asosiasi
antara jamur S. psophocarpi dengan penyakit karat palsu yang ditemukan pada tanaman kecipir.
S. psophocarpi ternyata hanya menyerang tanaman kecipir dan tidak menimbulkan gejala pada
tanaman kacang-kacangan lain seperti kedelai, kacang tunggak (Vigna unguiculata,), kacang
gude (Cajanus cajan) dan kacang panjang (Vigna sesquipedalis).
Serangan S. psopocarphi pada tanaman kecipir ditandai dengan munculnya pustul
berwarna oranye cerah di sepanjang tulang daun yang masih muda, batang, polong dan mahkota
bunga. Pustul berwarna oranye cerah ini dinamakan karat palsu karena mirip dengan penyakit
karat yang benar yang disebabkan oleh jamur dari ordo Uredinales (Semangun 2007). Infeksi
lanjut menyebabkan terjadinya hiperplasia dan terbentuknya gal yang mengakibatkan
pertumbuhan daun, cabang abnormal, menggulung dan kering. S. psopocarphi juga ditemukan
menyerang batang, dan polong kecipir. Serangan S. psopocarphi pada tanaman kecipir di kebun
koleksi plasma nutfah mencapai 50% dari seluruh bagian tanaman yang meliputi daun, batang
dan polong.
S. psopocarphi dapat menginfeksi hampir seluruh bagian tanaman kecipir. Jamur ini
dapat menginfeksi kelopak bunga tapi tidak menginfeksi mahkota, menurut Semangun (2007)
hal ini mungkin disebabkan karena pada bagian tersebut tidak terdapat jaringan yang
berfotosintesis. Polong muda lebih mudah terinfeksi dan polong dapat tampak terpuntir dan
seluruhnya tertutup oleh pustul jamur. Namun sejauh ini belum terdapat artikel yang melaporkan
besarnya kehilangan hasil akibat serangan S. psopocarphi pada tanaman kecipir, sehingga perlu
penelitian lebih lanjut tentang kehilangan hasil kecipir akibat karat palsu yang disebabkan S.
psophocarpi.
Sporangium S. psopocarphi yang diamati di bawah mikroskop berbentuk bulat telur
dengan dinding tebal dan penuh dengan spora berwarna oranye cerah. Sporangium S.
psopocarphi berdiameter rata-rata 3,07 μm. S. psopocarphi termasuk ke dalam famili
Synhitriaceae, ordo Chytridiales dan klas Chytridiomycetes yang merupakan jamur parasitik
dengan organ reproduktif berupa sporangium (Alexopoulos & Mims 1979).

Bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Cercospora arachidicola adalah penyakit
yang cukup serius menyerang tanaman kacang tanah (McDonald et al., 1985). Penyakit bercak
daun dapat mengurangi fotosintesis daun yang berakibat berkurangnya produksi polong yang
berpengaruh terhadap bobot panen.
Siklus penyakit bercak daun awal dimulai dengan lepasnya spora dari permukaan atas
daun yang terinfeksi, kemudian menginfeksi daun yang sehat, miselium (benang-benang hifa
cendawan) masuk ke jaringan tanaman inang tanpa haustoria, sehingga daun yang terinfeksi
menunjukkan gejala bercak-bercak. Badan buah cendawan selain terdapat pada jaringan daun
yang terinfeksi juga pada sisa-sisa tanaman. Di daerah beriklim subtropis, pada musim dingin,
badan buah cendawan pada sisa-sisa tanaman langsung membentuk pseudotesium yang tahan
terhadap suhu rendah, dan di dalamnya terdapat masa spora yang disebut askospora, dan
askospora ini dapat langsung menginfeksi daun sehat. Siklus penyakit bercak daun lambat
hampir sama, hanya berbeda letak pertumbuhan cendawan berada pada permukaan daun bawah,
dan terbentuk haustoria saat infeksi (McDonald et al. 1985).
Penyakit bercak dan karat daun menyebabkan berkurangnya jumlah daun sehat,
menyebabkan daun gugur sebelum waktunya, dan mengganggu proses fotosintesis sehingga
berpengaruh pada berkurangnya jumlah polong dan proses pengisian polong (Cantonwine et al.
2006). Kehilangan hasil akibat kedua penyakit ini dapat mencapai 50–80% (Hassan dan Beute
1977; Subrahmanyam et al. 1985).
Penyakit bercak daun dan karat berpengaruh terhadap hasil dan komponen hasil
diantaranya jumlah polong isi, jumlah polong hampa, jumlah polong chipo, dan bobot polong.
Berkurangnya hasil dan komponen hasil kacang tanah disebabkan karena penyakit daun
mengurangi jumlah daun produktif untuk berfotosintesis. Akibatnya suplai fotosintat untuk
pembentukan polong terbatas dan menyebabkan hasil polong rendah. Selain itu, terbatasnya
fotosintat yang dihasilkan juga mendorong terbentuknya banyak polong hampa dan banyak
polong chipo berukuran kecil yang tidak memiliki biji. Kondisi ini sejalan dengan adanya
korelasi negatif antara tingkat defoliasi dengan hasil kacang tanah yang terserang penyakit daun.
Kehilangan hasil akibat penyakit bercak daun dan karat pada penelitian ini ialah 61–85% lebih
tinggi daripada yang dilaporkan Subrahmanyam et al. (1985) bahwa kehilangan hasil oleh
penyakit daun di daerah endemik di subtropik berkisar 50–80%.

Penyakit kudis pada kentang di sebabkan oleh Streptomyces scabies Lamb & Lor. Gejala
penyakit ini berupa; umbi sakit bergejala sisik-sisik dan bisul-bisul bergabus pada
permukaannya. Jaringan yang terdapat dibawah permukaan umbi bergejala biasanya berwarna
agak kecoklatan. Umbi yang berkudis pada umumnya juga lebih cepat busuk. Streptomyces
scabies Lamb & Lor biasanya menginfeksi umbi muda melalui lentisel yang belum mengalami
suberisasi (penggabusan). Bagian dalam umbi kentang bertepung dan keras.
Streptomyces scabies Lamb & Lor memiliki ciri khusus antara lain; miselium berdiameter
0,5- 1 mikro meter, bercabang banyak, bengkok dan bersekat tidak beraturan, cendawan ini juga
dapat membentuk hifa di udara yang dapat putus-putus menjadi gonidium atau sel-sel pendek
yang mirip dengan bakteri. Cendawan ini mudah terbawa benih dan bertahan di tanah.
Penyebaran dapat dibantu oleh percikan air hujan dan angin. Selanjutnya, perkembangan
penyakit akan meningkat pada tanah dengan pH 5,2-8,0. Organisme penyebab penyakit kudis
pada kentang merupakan pantogen tular tanah (soil borne) yang hanya menginfeksi tanaman
yang berada di bawah permukaan tanah. Selain kentang, pantogen ini bisa menginfeksi bit,
lobak, wootel.
Pengendalian, dengan menghindari luka pada umbi kentang, menyuci hamakan gudang
dengan formalin 4%, pemberantasan nematoda, menanam umbi yang sehat, membakar umbi
yang sakit. Menurut Dung et al, 2005, penaplikasian pupuk kalium dalam jumlah banyak dapat
menekan penyakit kudis pada kentang dan menguatkan hasil panen. Di Dieng penggunaan pupuk
amonium sulfat berpengaruh nyata dalam menekan keparahan penyakit kudis kentang.
Pengaplikasian pestisida seperti Pentachloronitrobenzene (PCNB), Maneb-Zink (Agrios, 2011)
dan Cloropicrin (Driscoll et al, 2005). Millard & Taylo (1927) dalam Mehrotra dan Aggarwal
2003) melaporkan bahwa bakteri saprofit S.praecox dapat menekan isolat S.scabies. Tanii et al
(1990) menunjukkan bahwa Isolat Pseudomonas flourescens, Enterobacter agglomerans,
Pseudomonas non-fluorescens, dan bakteri Coryneform mampu menekan kejadian penyakit
kudis di lapangan.

Sulandari et al. (2001) menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh virus Gemini.
Virus ini ditularkan oleh serangga vektor yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci). Penyakit ini banyak
terdapat pada cabai rawit, cabai besar, paprika dan juga pada tomat. Menurut Suseno et al.
(2003) luas serangan dan kejadian pada cabai rawit lebih besar dibandingkan pada cabai besar.
Hal ini mungkin terjadi karena proses budidaya cabai rawit kurang intensif dibandingkan dengan
budidaya cabai besar yang sangat intensif dengan pemupukan, penyiangan serta pengendalian
hama dan penyakit secara kimiawi.
Menurut Sudiono et al. (2001), virus ini dapat ditularkan melalui teknik penyambungan
dan melalui perantara kutu kebul. Secara mekanik virus ini tidak dapat ditularkan melalui biji.
Masa inkubasi virus ini antara 15-29 hari setelah inokulasi. Tanaman cabai yang terinfeksi berat
tidak dapat menghasilkan bunga dan buah. Bila serangan terjadi pada fase vegetatif jumlah tunas
menjadi lebih banyak namun pertumbuhan tanaman kerdil
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aeni (2007) menunjukkan bahwa pemberian pupuk
daun dan pupuk anorganik yang dilakukan oleh petani di daerah endemis virus kuning tidak
dapat menghindarkan tanaman dari infeksi virus tersebut. Tanaman yang sudah terinfeksi tidak
dapat lagi dikembalikan menjadi tanaman sehat meskipun dengan pemberian pupuk yang
melebihi dosis yang disarankan oleh Dinas Pertanian. Meskipun begitu berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Hartono, dkk (2006) serangan virus ini dapat dicegah dengan beberapa
teknik budidaya tertentu. Hal pertama yang harus dilakukan adalah menyelamatkan bibit cabai di
persemaian dengan menggunakan sungkup rapat (kain sifon) sehingga bibit akan terhindar dari
virus yang ditularkan oleh kutu kebul ini. Selain itu, sebaiknya lahan pertanaman ditanami
tanaman border (tanaman tepi) dengan pola tanam zigzag dan pengaturan waktu tanam yang baik
sehingga pertanaman cabai terlindungi baik selama fase fegetatif maupun fase generatif.
Mekanisme infeksi virus dalam tubuh tanaman terjadi hingga memunculkan gejala
berupa daun berwarna kuning, kerdil dan menggulung ke atas (cupping). Gejala menguningnya
daun terutama bagian atas (muda) mirip dengan gejala akibat kekurangan unsur mikro Fe. Semua
gejala yang muncul ini sebenarnya adalah merupakan akibat dari terhambatnya aliran nutrisi
(fotosintat) dari source ke sink karena virus yang ada di dalam tanaman menguasai floem (floem
limited virus). Tanaman yang terinfeksi pada awal pertumbuhan tidak akan menghasilkan buah
dan tanaman tidak dapat tumbuh dengan normal. Jika tanaman terinfeksi saat memasuki fase
generatif maka buah yang dihasilkan akan berbentuk kerdil dan bertekstur keras.
Salah satu faktor yang berperan sangat penting dalam epidemi penyakit kuning cabai
yang disebabkan oleh virus ini adalah keberadaan serangga vektor yang menyebarkan virus
tersebut yaitu kutu kebul (Bemisia tabaci). Serangga ini termasuk dalam kelompok serangga
penusuk penghisap. Kutu kebul dan hubungannya dengan virus kuning cabai ini bersifat
persisten. Kutu memperoleh virus ketika dia mengambil makanan dari tanaman yang telah
terinfeksi (akuisisi). Virus yang diambil dari tanaman sakit beredar melalui saluran pencernaan,
menembus dinding usus, bersirkulasi dalam cairan tubuh serangga (haemolymph) dan
selanjutnya kelenjar saliva.
Pada saat serangga menghisap makanan dari tanaman sehat, virus ikut masuk ke dalam
tubuh tanaman bersama dengan cairan dari mulut serangga tersebut. Retensi virus ini di dalam
tubuh serangga sangat lama bahkan bisa dipindahkan secara transovarial melalui telur ke tubuh
progeni (Eastop, 1977).
Virus yang menginfeksi tanaman melakukan replikasi sehingga menyebabkan
peningkatan aktivitas enzim anaplerotik, laju fotosintesis dan kandungan pati. Apabila sintesis
virus menurun, laju fotosintesis dan kandungan pati dalam daun akan menurun, sedangkan
glikolisis dan respirasi dalam mitokondria akan meningkat. Perubahan ini ditunjukkan dengan
terjadinya klorosis pada daun (Funayama dan Terashima, 2006)
Kloroplas merupakan organel utama yang diserang oleh virus tumbuhan. Penurunan laju
fotosintesis disebabkan karena bentuk kloroplas yang abnormal, dengan ukuran yang relatif lebih
kecil dan jumlah tilakoid pada setiap grana yang menurun akibat infeksi virus. Hasil penelitian
Funayama dan Terashima (2006) menyebutkan bahwa apabila tanaman terinfeksi virus maka
peningkatan kandungan klorofil setiap satuan daun akan terhenti ketika panjang daun mencapai
setengah dari panjang daun maksimum, yang mungkin merupakan bagian dari penghambatan
sintesis klorofil.
Klorosis atau warna daun menguning pada tanaman yang terinfeksi terjadi karena
beberapa sebab. Menurut Funayama dan Terashima (2006) klorosis pada daun tanaman yang
terinfeksi terjadi karena pembentukan klorofil terhambat sehingga laju pembentukan klorofil
sama atau lebih kecil dibandingkan dengan laju degradasi klorofil. Hal ini terjadi karena dua hal,
yaitu rasio klorofil a/b meningkat akibat dari laju pembentukan klorofil yang terhambat dan
jumlah membran tilakoid pada grana menurun sehingga terjadi defisiensi klorofil b yang
mengakibatkan laju pembentukan klorofil terhambat.
Tanaman yang terinfeksi virus kuning cabai akan mempunyai daun yang bentuknya tidak
normal, terutama apabila tanaman terinfeksi sebelum memasuki fase generatif. Hal ini tentu akan
berpengaruh terhadap indeks luas daun tanaman. Jika indeks luas daunnya rendah dan
kandungan klorofilnya juga rendah maka jumlah fotosintat yang dihasilkan untuk pertumbuhan
tanaman juga akan menurun. Dalam kondisi ini, hasil fotosintat tidak hanya digunakan oleh
tanaman untuk tumbuh namun juga sebagian besar energinya dipakai oleh virus untuk hidup dan
terus mereplikasi diri.
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Aeni (2007) memperlihatkan bahwa laju asimilasi
bersih tanaman sehat lebih tinggi dibandingkan dengan laju asimilasi bersih tanaman terinfeksi
virus kuning cabai. Hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil produksi tanaman. Buah cabai
yang dihasilkan oleh tanaman sehat memilki jumlah dan berat yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jumlah dan berat buah yang dihasilkan oleh tanaman terinfeksi virus.
Kinerja virus yang memanfaatkan mesin seluler tanaman sangat merugikan. Hal ini
dikarenakan, tanaman tidak dapat melakukan fungsi fisiologisnya dengan baik, namun tetap
dibiarkan hidup oleh virus. Oleh karena itu, infeksi virus kuning cabai menimbulkan banyak
kerugian terutama menurunnya produktivitas. Penurunan produtivitas ini dikarenakan nutrisi
yang dihasilkan pada saat proses fotosintesis terhambat translokasinya oleh keberadaan virus di
floem. Selain itu, proses fotosintesis tidak dapat berjalan dengan optimal karena jumlah klorofil
pada daun tidak mencukupi. Pentingnya kajian mengenai proses fisiologi tanaman yang terserang
penyakit terutama yang disebabkan oleh virus akan dapat menunjang penelitian-penelitian
lanjutan yang berkaitan dengan kegiatan meningkatkan daya tahan tubuh tanaman terhadap
serangan virus maupun usaha mengurangi infeksi virus dengan modifikasi kegiatan budidaya
yang lain.

1.3 ALAT DAN BAHAN


Alat yang digunakan pada praktikum ini antara lain: Buku Gambar, Pensil, Kaca objek
dan penutup, Mikroskop binokuler, Mikroskop stereo, Jarum ose, Aquades. Sedangkan bahan
yang digunakan adala Kubis bergejala busuk Erwinia sp, Cabai bergejala antraknosa, Daun
kecipir bergejala karat, Daun cabai bergejala virus gemini, Bercak pada daun kacang, Kudis pada
kentang.
1.4 CARA KERJA
Mula-mula disiapkan alat dan bahan. Tiap bagian tanaman diamati tanda dan gejala
penyakitnya. Masing-masing bagian tanaman digambar lengkap bagian sehat dan sakit dan diberi
keterangan mengenai penampakan tanda dan gejala penyakitnya. Pada tanaman yang diserang
oleh cendawan kemudian dikorek menggunkan jarum ose dan ditampung dalam kaca preparat
yang telah diberi akuades steril, lalu tutup dengan cover glass lalu amati dibawah mikroskop.
Gambarlah spora jamur yang didapat dibawah mikroskop lengkap dengan bagian-bagianya lalu
berilah keterangan bagian tersebut. Lengkapilah gambar yang telah selesai tersebut dengan
keterangan berikut: Nama Penyakit, Patogen, Tanaman Inang.
1.5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Busuk Basah pada kubis Penyakit Antraknosa pada Penyakit Karat pada daun
buah cabai kecipir

Bercak pada daun kacang Kudis pada kentang Gemini virus pada daun
cabai

Gambar 1 (busuk basah pada kubis) :


Pantogen busuk basah pada tanaman kubis adalah Erwina caratovora. Sel bakteri
berbentuk batang, dengan ukuran (1,5 - 2,0) x (0,6 0,9) mikron, umumnya membentuk rangkaian
sel-sel seperti rantai, tidak mempunyai kapsul, dan tidak berspora. Bakteri bergerak dengan
menggunakan flagela yang terdapat di sekeliling sel bakteri (flagela peritrichous). Bakteri
bersifat Gram negatif. Suhu optimal untuk perkembangan bakteri 27° C. Pada kondisi suhu
rendah dan kelembaban rendah bakteri terhambat pertumbuhannya.
Patogen busuk lunak Erwinia, termasuk dalam kelompok Enterobacteriaceae. Bakteri ini
bersifat anaerobik fakultatif, berflagela peritrik, dan Gram negatif (De Boer dan Kelman 2001).
Erwinia spp. berukuran (0,5-1) x (1,5-4) µm. Menurut Semangun (2006) bakteri ini memiliki
karakteristik berbentuk batang dan koloni berbentuk putih atau kuning.
Penyebaran  melalui tanah, sisa-sisa tanaman di lapangan dan alat pertanian. Gejala awal
pada daun terjadi bercak-bercak yang berair yang  kemudian membesar dan berwarna coklat.
Pada serangan lanjut daun yang terinfeksi, melunak berlendir dan mengeluarkan bau yang khas,
bau tersebut merupakan gas yang dikeluarkan dari hasil fermentasi karbohidrat kubis.
Menurut Agrios (1997) E. carotovora telah diketahui menjadi penyebab busuk lunak pada
beberapa tanaman buah, sayuran dan tanaman hias. Gejala awal yang terlihat yaitu terbentuk
luka basah kecil, yang semakin membesar baik diameter maupun kedalamannya. Daerah yang
terinfeksi menjadi lunak sementara warna permukaannya memudar. Jaringan pada daerah yang
terinfeksi menjadi berwarna krem dan tipis, kemudian menjadi hancur. Permukaan luar bagian
tanaman bergejala akan terlihat utuh namun dibagian dalamnya berubah menjadi lunak, berair,
dan berwarna coklat.
Larutan stimulan berupa manitol 10% dan seng 0,5 mM merupakan larutan stimulan
terbaik untuk meningkatkan kemampuan penghambatan pseudomonas pendar-fluor terhadap E.
carotovora subsp. carotovora. Terdapat satu jenis senyawa antimikrobia yang distimulasi oleh
manitol dan seng. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui jenis dan
karakteristik senyawa antimikrobia yang distimulasi.
Penggunaan perlakuan PGPR dan P. fluorescens secara tunggal belum efektif mengambat
perkembangan penyakit busuk lunak pada tanaman kubis bunga yang disebabkan oleh Erwinia
carotovora tetapi penggunaan kombinasi PGPR dan P. fluorescens efektif menghambat
perkembangan penyakit busuk lunak. Usaha pengendalian penyakit busuk lunak umumnya pada
taraf pencegahan antara lain dengan menghindari luka mekanis pada tanaman sewaktu di kebun
maupun saat panen. Cara pengendalian: Mencegah terjadinya pelukaan dan mencegah serangan
serangga hama. Krop yang terserang sebelum disimpan daun-daun yang terinfeksi dibuang dan
dimusnahkan serta batang bekas potongan diolesi dengan cairan klorin
Beberapa upaya pencegahan yang dapat dilakukan untuk menghindari infeksi bakteri
patogen yaitu memperhatikan intensitas cahaya matahari, suhu, dan kelembapan pada lingkungan
budidaya. Patogen busuk lunak tidak dapat menginfeksi tanaman disekitarnya secara langsung.
Namun, patogen tersebut dapat bertahan pada jaringan terinfeksi di tanah. Sanitasi lingkungan
perlu diperhatikan agar tidak terdapat inokulum patogen.
Pengendalian lain yang dapat dilakukan yaitu dengan penyingkiran tanaman, modifikasi
kelembapan lingkungan, sanitasi lingkungan, menggunakan varietas yang resisten, serta
pengendalian secara kimia. Daun yang terinfeksi pada tanaman yang sehat mengindikasikan
adanya kontaminasi bakteri, sehingga tanaman tersebut harus dipisahkan dari tempat
pembudidayaan (Uchida 2010).

Gambar 2 ( Penyakit Antraknosa pada buah cabai):


Jamur Colletotrichum ini dapat menginfeksi organ tanaman cabai merah terutama
buahnya. Infeksi jamur ini pada buah cabai merah ditandai dengan gejala awal berupa bintik
bintik kecil yang berwarna kehitam-hitaman dan sedikit melekuk. Serangan lebih lanjut
mengakibatkan buah mengkerut, kering dan membusuk (Syamsudin, 2007). Pada tahap awal
infeksi konidia Colletotrichum yang berada di permukaan kulit buah cabai merah akan
berkecambah dan membentuk tabung perkecambahan. Setelah tabung perkecambahan
berpenetrasi ke lapisan epidermis kulit buah cabai merah maka akan terbentuk jaringan hifa.
Kemudian hifa intra dan interseluler menyebar ke seluruh jaringan dari buah cabai merah
(Photita, et al., 2005).
Penyakit ini bergejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman sebelah bawah.
Daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai
aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat, et al.2007). Patogenitas Colletotrichum
sangat kuat sehingga dapat menurunkan produksi cabai. Sesuai dengan pendapat Semangun
(2007) bahwa jamur C. capsici yang menyerang buah dan ranting dapat masuk ke dalam buah
dan menginfeksi biji atau benih. Benih yang terinfeksi ini akan menghasilkan bibit dan tanaman
yang juga terinfeksi oleh jamur tersebut. Jamur Colletotrichum sp. ditandai dengan warna
miselium putih keabu-abuan sampai dengan hitam, arah pertumbuhan ke samping, struktur
miselium kasar, hifa tidak bersekat, konidiofor tidak bercabang serta konidia berbentuk bulan
sabit dan tidak bersekat
Genotipe IPB C15 merupakan cabai yang memiliki ketahanan paling baik terhadap tiga
isolat Colletotrichum acutatum. Genotipe ini merupakan salah satu sumber untuk sifat ketahanan
cabai terhadap penyakit antraknosa dan berpotensi untuk dijadikan tetua donor untuk sifat
tersebut. Genotipe introduksi lebih mendominasi untuk sifat ketahanan daripada genotipe lokal.
Dengan demikian perlu dilakukan eksplorasi untuk mendapatkan genotipe lokal yang tahan
antraknosa.

Gambar 3 (Penyakit Karat pada daun kecipir):


Penelitian Dahlan dan Deswita (1987) menyebutkan ukuran sporangium bervariasi
tergantung dari bagian tanaman yang terinfeksi, jenis tanaman, dan lingkungan. Lebih lanjut
disebutkan pengamatan menggunakan mikroskop electron menunjukkan dinding sorus berbentuk
heksagonal dengan dinding hialin yang tipis. Jamur ini menyerang daun, batang, polong dan
bunga kecipir. Tubuhnya obligat, berupa nyali berwarna laming berukuran 182 - 280 x 228 - 252
um dan hidupnya endobiotik. Pada daun, nyali dibentuk sepanjang vena dan cabang vena pada
kedua permukaan daun. Nyali berupa tonjolan berwarna kuning kejinggaan. Daun yang
terinfeksi seringkali berubah bentuk seperti mangkok diikuti penggulungan dan pengeriputan,
akhirnya mengering dan gugur. Tangkai daun dan batang akan memutar sedangkan bagian bunga
yang terinfeksi hanya bagian sepalnya. Polong muda yang terinfeksi pertumbuhannya akan
terganggu menjadi kerdil dan kurus.
Nyali berupa sorus berbentuk bulat sampai bulat telur, terbenam dalam jaringan daun
dan menyebabkan perubahan sel-sel di sekitarnya. Sorus dikelilingi oleh sel-sel parenkim yang
bentuknya memipih karena letaknya mengelilingi b"'atan yang dibentuk sorus. Ukuran sel
semakin jauh dan sorus semakin besar sampai parenkim yang berbatasan dengan jaringan
epidermis. Tebal daun aJdbat penyerangan jamur ini mencapai ukuran 432 nm. Hasil penelitian
Erskine (1978), Thompson and Haryono (1979) dalam Eagleton (2002) juga melaporkan bahwa
S. psophocarpi yang diinokulasikan pada tanaman P. scandens, P. grandiflorus tidak
menimbulkan gejala karat palsu. Penyakit karat palsu yang disebabkan oleh S. psopocarphi
berkembang baik pada daun yang masih muda di musim hujan.

Synchytrium psophocarpi telah sejak lama diketahui dapat menurunkan hasil panen
kecipir tetapi usaha yang dilakukan untuk mempelajari dan menanganinya baru dilakukan
bersamaan dengan dikembangkannya kecipir sebagai tanaman berpotensi tinggi bagi daerah
tropik. Jamur ini dipandang paling penting dalam melakukan perusakan tanaman kecipir baik
pada kecambah maupun tanaman dewasa. Pengamatan pada irisan daun menunjukkan sel-sel
parenkim sekitar parasit berada berubah bentuk dan susunannya. Hasil yang diperoleh
menyokong pendapat De Vera-Chaston (1977) yang menyatakan bahwa sel-selinang sekitar
parasit berada nemberi reaksi dengan cara mengadakan pembelahan cepat diikuti diferensiasi
selselnya.
Gambar 4 (Bercak daun Kacang):
Bercak yang disebabkan oleh C. arachidicola berwarna coklat muda hingga coklat tua
ditandai dengan warna kuning di sekitar bercak (halo kuning). Di daerah beriklim subtropis,
cendawan membentuk pseudotesium yaitu kantung askus (askokarp) dan di dalamnya terdapat
askus yang berisi askospora yang disebut Mycosphaerella arachidis. Biasanya cendawan C.
arachidicola menginfeksi kacang tanah pada fase pertumbuhan yang lebih awal daripada P.
personata. Berdasarkan waktu penyerangannya maka masing-masing sering disebut penyakit
bercak daun awal (early leaf spot) dan bercak daun akhir (late leaf spot).
Gejala tanaman yang terinfeksi cendawan bercak daun ditunjukkan oleh bercak kecil
pada daun-daun di bagian bawah, bercak kemudian melebar, dan bercak satu dengan lainnya
menyatu sehingga membentuk bercak besar, akhirnya daun mengering, dan rontok. Penyakit
umumnya terjadi pada fase generatif, dan serangan parah pada saat fase pengisian polong,
sehingga petani sering beranggapan bercak daun bukan suatu penyakit yang perlu dikendalikan,
tetapi hanya suatu tanda bahwa tanaman kacang tanah sudah waktunya dipanen. Umumnya
varietas kacang tanah lokal rentan terhadap penyakit bercak daun.
Beberapa cara pengendalian yang dapat diterapkan adalah penanaman varietas tahan, sanitasi,
penggunaan musuh alami, fungisida nabati, dan fungisida kimiawi. Dalam makalah ini diuraikan
gejala penyakit, penyebab penyakit, faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit,
dan cara-cara pengendaliannya.
Tangkai konidium (koniofor) berbentuk tabung panjang, dengan lekuk seperti lutut, tidak
berwarna (hialin), tumbuh berkelompok (rumpun). Konidium berbentuk seperti gada dan
bersekat, terdiri atas 3–4 ruas. Konidium cendawan P. personata lebih besar dan lebih panjang
daripada C. arachidicola. Cendawan Phaeoisariopsis personata mempunyai sinonim
Cercosporidium personatum, dan askosporanya disebut Mycosphaerella berkeleyii. Konidiofor
dibentuk di dalam stroma yang umumnya terdapat pada permukaan bawah daun.
Menurut Wadia dan Butler (1994) periode laten tergantung pada suhu. Untuk bercak
daun awal suhu minimal, optimal, dan maksimal untuk perkembangannya berturut-turut adalah
10, 25, dan 31oC, sedangkan untuk bercak daun akhir berturut-turut adalah 10, 35, dan 40oC.
Pada kisaran suhu 12–33oC periode laten untuk penyakit bercak daun awal dan akhir
masingmasing 13–39 hari dan 13–38 hari. Pada cuaca lembab penyakit berkembang cepat pada
saat tanaman berumur 40–45 hari, sedang pada cuaca kering pada umur 70 hari. Apabila
kelembaban udara sekitar 95% maka proses penetrasi terjadi selama 6–8 jam. Pada kelembaban
yang rendah proses penetrasi akan lebih lama (Semangun 1991).
Konidium cendawan C. arachidicola maupun P. personata dipencarkan oleh angin,
serangga, percikan air hujan, atau alat-alat pertanian. Infeksi dapat terjadi pada kedua permukaan
daun, meskipun infeksi melalui epidermis atas lebih banyak terjadi (Singh 1969).
Sebelum melakukan tindakan pengendalian, perlu dilakukan pemantauan. Penyakit
bercak daun termasuk penyakit yang tidak begitu cepat perkembangannya (dengan periode latent
13–39 hari), namun peluang kacang tanah terinfeksi penyakit bercak daun besar sekali, karena
spora dapat terbawa oleh angin, air, atau serangga yang dapat membantu penyebaran penyakit ke
segala arah didukung dengan cuaca yang sesuai sepanjang tahun. Pemantauan penyakit bercak
daun dimulai pada saat tanaman kacang tanah berumur tiga minggu. Pengendalian penyakit
dilakukan apabila intensitas serangan telah mencapai 5% untuk varietas unggul, sedangkan untuk
varietas yang rentan apabila terdapat satu bercak saja di dalam areal pertanaman sudah harus
dimulai pengendalian.
Penggunaan varietas Panter dan Domba tahan terhadap penyakit bercak dan karat daun,
varietas Bison, Jerapah, Kelinci, dan Badak agak tahan terhadap penyakit bercak daun, hanya
Pelanduk yang rentan terhadap penyakit bercak daun. Tindakan rotasi dilakukan dengan
menanam tanaman selain kacang tanah yang sesuai bagi lahan yang bersangkutan. Rotasi
dimaksudkan tidak memberi kesempatan bagi propagul cendawan (miselium, spora istirahat)
yang terbawa oleh sisa-sisa tanaman kacang tanah yang bercampur dengan tanah untuk
memperoleh inang.
Beberapa jenis bakteri atau cendawan dapat menjadi parasit atau musuh alami cendawan
Cercospora. Pengendalian hayati bercak daun P. personata dilakukan dengan menyemprotkan
suspensi Bacillus circulans GRS 243 atau Serratia marcescens. Aplikasi kedua macam bakteri
tersebut dapat menekan frekuensi bercak sebesar 60% di rumah kaca, dan menekan kehilangan
hasil masing-masing sebesar 62 dan 75% di lapangan (Kishore et al. 2005).Dari India dilaporkan
bahwa penggunaan minyak cengkeh (1%, v/v) yang disemprotkan ke daun-daun kacang tanah
yang terinfeksi P. personata dapat menurunkan intensitas serangan penyakit bercak daun sebesar
58% dibandingkan dengan tanpa perlakuan minyak cengkeh (Kishore 2007)
Beberapa fungisida yang efektif terhadap penyakit bercak daun sebagai berikut:
mancozeb dan carbendazim (Delsene), benomil (Benlate), bitertanol (Baycor), khlorotalonil
(Daconil), binomil dan bitertanol secara bergantian, propineb (Antracol), halakrinat (Tilt), atau
tiofanat metil (Topsin) (Anonim 2001).
Kitin merupakan bahan penginduksi ketahanan tanaman yang sudah dilaporkan efektif pada
berbagai interaksi antara tanaman dengan patogen (Benhamou, et al. 1994; Sinha, et al., 1991).
Sinha et al. (1991) melaporkan bahwa kitin efektif terhadap penyakit bercak coklat padi
(Helminthosporium oryzae) dan blast padi (Pyricularia oryzae), bercak daun kacang tanah
(Cercospora arachidicola), busuk batang kacang tanah (Sclerotium rolfsii), dan penyakit layu
pada kacang kapri (F. o. f.sp. ciceri). Benhamou, et al. (1994) dan Sinha, et al., (1991)
melaporkan bahwa mekanisme kitin sebagai fungisida adalah dengan cara menginduksi
ketahanan sistemik dan bukan karena efek langsung pada patogennya. Semangun (2001)
menyebutkan bahwa salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengelola panyakit bercak daun
ini adalah dengan menanam varietas tahan selain menggunakan pestisida sebagai pengendali
penyakit. Penggunaan varietas tahan dinilai lebih aman untuk dikonsumsi dan murah dari segi
biaya produksi. Selain itu, genotipe yang tahan mempunyai masa inkubasi dan periode laten
yang panjang, diameter bercak kecil, indeks sporulasi rendah, dan area kerusakan daun rendah
(Ricker et al. 1985; Anderson et al. 1990; Dwivedi et al. 2002; Cantonwine et al. 2008). Secara
morfologi, genotipe yang tahan mempunyai jaringan kutikula dan lapisan epidermis yang tebal,
jumlah sel epidermis sedikit, ukuran dan jumlah stomata yang besar, serta lapisan lilin yang lebih
tebal pada fase reproduktif (Sunkad dan Kulkarni 2006).
Penyebaran penyakit bercak daun disebabkan terutama oleh angin dan serangga. Akan
tetapi, angin memegang peranan yang lebih besar terutama dalam penyebaran konidium
Cercospora. C. personatum memiliki daya pencar yang lebih cepat dari C. arachidicola sehingga
dalam waktu tujuh hari, intensitas penyakit dapat meningkat sepuluh kali lipat, sedangkan untuk
C. arachidicola dibutuhkan waktu 23 hari (Semangun, 2001).
Gambar 5 (Kudis Pada Kentang):
Penyakit kudis pada kentang di sebabkan oleh Streptomyces scabies Lamb & Lor. Gejala
penyakit ini berupa; umbi sakit bergejala sisik-sisik dan bisul-bisul bergabus pada
permukaannya. Jaringan yang terdapat dibawah permukaan umbi bergejala biasanya berwarna
agak kecoklatan. Umbi yang berkudis pada umumnya juga lebih cepat busuk. Streptomyces
scabies Lamb & Lor biasanya menginfeksi umbi muda melalui lentisel yang belum mengalami
suberisasi (penggabusan). Bagian dalam umbi kentang bertepung dan keras.
Streptomyces scabies Lamb & Lor memiliki ciri khusus antara lain; miselium berdiameter
0,5- 1 mikro meter, bercabang banyak, bengkok dan bersekat tidak beraturan, cendawan ini juga
dapat membentuk hifa di udara yang dapat putus-putus menjadi gonidium atau sel-sel pendek
yang mirip dengan bakteri. Cendawan ini mudah terbawa benih dan bertahan di tanah.
Penyebaran dapat dibantu oleh percikan air hujan dan angin. Selanjutnya, perkembangan
penyakit akan meningkat pada tanah dengan pH 5,2-8,0. Organisme penyebab penyakit kudis
pada kentang merupakan pantogen tular tanah (soil borne) yang hanya menginfeksi tanaman
yang berada di bawah permukaan tanah. Selain kentang, pantogen ini bisa menginfeksi bit,
lobak, wootel.
Pengendalian, dengan menghindari luka pada umbi kentang, menyuci hamakan gudang
dengan formalin 4%, pemberantasan nematoda, menanam umbi yang sehat, membakar umbi
yang sakit. Menurut Dung et al, 2005, penaplikasian pupuk kalium dalam jumlah banyak dapat
menekan penyakit kudis pada kentang dan menguatkan hasil panen. Di Dieng penggunaan pupuk
amonium sulfat berpengaruh nyata dalam menekan keparahan penyakit kudis kentang.
Pengaplikasian pestisida seperti Pentachloronitrobenzene (PCNB), Maneb-Zink (Agrios, 2011)
dan Cloropicrin (Driscoll et al, 2005). Millard & Taylo (1927) dalam Mehrotra dan Aggarwal
2003) melaporkan bahwa bakteri saprofit S.praecox dapat menekan isolat S.scabies. Tanii et al
(1990) mnenunjukkan bahwa Isolat Pseudomonas flourescens, Enterobacter agglomerans,
Pseudomonas non-fluorescens, dan bakteri Coryneform mampu menekan kejadian penyakit
kudis di lapangan.
Gambar 6 (Gemini Virus pada daun cabai):
Penyakit kuning di Indonesia diketahui disebabkan oleh infeksi begomovirus, Pepper
yellow leaf curl virus (PepYLCV), family Geminiviridae, genus Begomovirus yang ditularkan
oleh serangga Bemisia tabaci secara persisten (De Barrow et al., 2008).Gejala awal yang
ditemukan umumnya muncul pada pucuk tanaman dimana daun muda memperlihatkan
perubahan warna belang hijau muda kekuningan diantara warna hijau normal atau hijau tua.
Bagian yang berwarna hijau muda biasanya lebih tipis, sedangkan yang berwarna hijau tua lebih
tebal dari normal. Seiring dengan perkembangan daun, bentuk daun menjadi berubah
(malformasi) seperti berkerut atau asimetris, dan ukurannya mengecil.
Gejala yang muncul antara lain helaian daun yang diserangnya mengalami “vein
clearing” dimulai dari daun-daun pucuk, kemudian berkembang menjadi warna kuning yang
jelas, tulang daun menebal dan daun-daunn menggulung ke atas dan apabila serangan nya sudah
lanjut (infeksi lanjut), menyebabkan daun-daunnya mengecil dan berwarna kuning terang,
tanaman kerdil dan tidak berbuah.Vektor dari virus ini (Bemisia tabaci) banyak dijumpai di
daerah tropis dan subtropik, yang terbersebar luas sampai jarak yang jauh dibawa oleh angin.
Priode makan akuisisi berkisar antara 24-48 jam pada tanaman yang sakit dan umumnya cukup
membuat serangga ini sangat infektif. Virus kuning memiliki periode laten dalam tubuh serangga
antara 4 sampai 20 jam, dan tetap infektif setelah makan sampai beberapa hari hingga 35 hari
atau lebih (Palukaitis et al. 1992).
Pertumbuhan tanaman menjadi terhambat dan oleh karenanya tanaman tampak kerdil.
Buah yang dihasilkan oleh tanaman sakit sangat menurun, bahkan pada tanaman yang sangat
kerdil tidak menghasilkan buah. Rata-rata tanaman yang sakit hanya mampu berproduksi 30%
dari tanaman sehat (Dolores, 1996; Duriat, 1997).
Penanaman bibit cabai bebas virus dilakukan dengan membuat bibit di rumah kaca kedap
serangga untuk menghindari bibit terinfeksi oleh virus. Di samping itu, dua pendekatan yang
mungkin dapat dilakukan agar kutudaun infektif tidak mendatangi pertanaman cabai yaitu
dengan pemasangan mulsa yang bersifat menolak (repellent) kedatangan kutudaun dan
menggunakan paranet (net) penghalang.
Penyakit virus pada tanaman cabai yang mempunyai banyak jenis tanaman inang, strategi
pengendaliannya didekati dengan pengendalian gulma sebagai tanaman inang, dan pencegahan
sumber inokulum primer di pertanaman cabai dilakukan dengan membuat bibit bebas virus
dengan melakukan pembibitan di rumah kaca kedap serangga, sedangkan untuk menghalau
kedatangan serangga vektor ke dalam pertanaman cabai dilakukan dengan pemasangan mulsa
plastik perak dan barier net.

KESIMPULAN
Beragam gangguan opt pada berbagai tanaman, diantaranya Kubis bergejala busuk
Erwinia sp, Cabai bergejala antraknosa, Daun kecipir bergejala karat, Daun cabai bergejala virus
gemini, Bercak pada daun kacang, Kudis pada kentang semua penyakit disebabkan oleh
organisme mikroskopis yang dipengaruhi pula oleh serangga. Misalnya serangga sebagai inang
atau pembawa penyakit ataupun menyebabkan luka pada tanaman yang digunakan oleh
mikroorganisme mikroskopis sebagai jalan masuk untuk menginfeksi tanaman. Gejala yang
dialami pada tanaman kubis melunak atau timbul bercak kecoklatan hingga bunga kubis
memiliki tekstur yang cenderung basah. Pada buah cabai yang terkena penyakit antraknosa,
bergejala mennimbulkan bercakpula dan berair, serangan terparah tampak seperti luka terbakar
matahari atau berwarna merah tua, coklat menyala hingga hitam. Selanjutnya, pada daun kecipir
yang bergejala karat disebabkan oleh Synchytrium posphocarpil, mikroorganisme ini hanya
menyerang tanaman kecipir. Gejalanya, muncul pustul berwarna oranye (biasa disebut karat
palsu) di sepanjang tulang daun yang masih muda, batang, polog dan mahkota bunga. Infeksi
terparah menyebabkan hiperplasia dan terbentuknya gal yang mengakibatkan pertumbuhan daun
cabang abnormal, menggulung dan kering.
Sedangkan pada daun cabai yang terinfeksi virus gemini, biasanya daun menguning yang
disedabkan oleh rusaknya kloroplas selanjutnya mempengarusi proses fotosintesi pada tanaman
yang terlihat dari warna daun kuning pada cabai. Kemudian, gejala bercak daun pada kacang,
biasanya timbul bercak kecil di bagian bawah, kemungkinan terparah yaitu daun mengering dan
rontok. Gejala lainnya biasanya bercak berwarna coklat muda hingga coklat tua yang ditandai
dengan warna kuning disekitar bercak (halo kuning). Terakhir kudis pada umbi kentang, umbi
yang sakit bergejala sisik-sisik dan bisul-bisul bergabus pada permukaannya, biasnya berwarna
agak kecoklatan. Pengendalian yang dapat dilakukan merupakan langkah preventif hingga
penggunaan pestisida, fungisida ataupun herbisida dimana hanya meminimalisir tingkat serangan
suatu mikroorganisme.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Pestisida untuk Pertanian dan Kehutanan. Direktorat Pupuk dan Pestisida.
Direktorat Jendral Bina Saranan Pertanian. Departemen Pertanian. 317 hlm
Anonim 2014b. Gejala bercak daun kacang tanah.
http://www.agronomers.com/2014/12/bercakdaun-cercospora-penyebaran.htm
Benhamou, N, PJ Lafontaine, and M Nicole. 1994. Induction of systemic resistance to fusarium
crown and root rot in tomato plants by seed treatment with chitosan.
Phytopathology 84:1432-1444
Campbell CL. 1985. Components of resistance in peanut to Cercospora arachidicolla. Plant
Disease. 69(12):1059–1064. DOI: http://dx.doi. org/10.1094/PD-69-1059. Ricker
MD, Beute MK, Campbell CL. 1985. Components of resistance in peanut to
Cercospora arachidicolla. Plant Disease. 69(12):1059–1064. DOI: http://dx.doi.
org/10.1094/PD-69-1059
Cantonwine EG, Culbreath AK, Stevenson KL, Kemerait RC, Brenneman TB, Smith NB,
Mullinix BG. 2006. Integrated disease management of leaf spot and ppotted wilt of
peanut. Plant Disease. 90(4):493–500. DOI: http://dx.doi.org/10.1094/PD-90-0493
Dahlan S, Deswita E. 1987. Beberapa segi biologi serangan Synchitrium spophocarpi pada
tanaman kecipir (Pshophocarpus tetragonolobus). Kongr. Nas. IX PFI. Surabaya :
340- 344.
Dawson, W., (1999). Tobacco Mosaic Virus Virulence and Avirulence. Phil. Trans.vol 354,
p.645-651. London: The Royal Society
De Barrow, P. J., S. H. Hidayat, D. Frohlich, S. Subandiyah, U. Shigenori. 2008. A Virus and its
Vector, Pepper Yellow Leaf Curl Virus and Bemisia tabaci, Two New Invaders of
Indonesia. Biological Invasions 10 (4): 411-433.
DE VERA-CHASTON, H.P. 1977. Synchytrium psophocarpi (Rac.) Gaumann, its development
and anatomy of infection on Psophocarpus tetragonolobus (L^ DC Kalikasan 6 (3):
1,83-19:8
Dolores LM. 1996. Management of pepper viruses. Proceeding of the A VNET II Final
Workshop Philippines 21-25 Februari 1995. AVRDC
Duriat AS. 1996. Cabai merah: Komoditas Prospektif dan Andalan. Di dalam: Duriat AS,
Widjaja W. Hadisoeganda A, Soetiarso TA dan Prabaningrum L, editor. Teknologi
Produksi Cabai Merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hlm 1-3
Duriat, A.S., N.Gunaeni., dan A.W.Wulandari. 2007. Penyakit Penting Pada Tanaman Cabai dan
Pengendaliannya. Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Bandung. 55 hlm.
Eastop, V. F. (1977). World Wide Importance of Aphids as Viruses Vectors. In Aphids as Viruse
Vectors. Kerry, F. H., Karl, M. Page 4-44. New York: Academic Press
Hirano, K., E. Budiyanto, dan S. Winarni. (1993). Biologocal Characteristics and Forecasting
Outbreaks of The Whitefly, Bemisia tabaci, a vector of Virus Disease in Soybean
Fields. Food Fertilizer and Technology Center.
Htpp://www.fffc.agnet.org/library/abstract/tb135.html.
Funayama, S. and Terashima, I. (2006). Effect of Eupatorium Yellow Vein Virus Infection on
Photosynthetic Rate, Chlorophyll Content and Chloroplast Structure in Leaves of
Euphatorium makinoi During Leaf Development. Functional Plant Biology. P.165-
175.
McDonald, D., P. Subrahmanyam, R. W. Gibbons, and D. H. Smith. 1985. Early and Late Leaf
Spots of Groundnut. Information Bulletin International Crops Research Institute for
the Semi-Arid Tropics. Vol. 21 : 1
Nur Aeni, A. (2007). Kajian Kestabilan Produktivitas Cabai Keriting Di Daerah Endemis Virus
Kuning dengan Optimalisasi Nutrisi Tanaman.Tesis: UGM.
Nyana, D. N. 2012. Isolasi dan Identifikasi Cucumber Mosaic Virus untuk Mengendalikan
Penyakit Mosaik pada Tanaman Cabai (Capsicum spp.). Disertasi Program
Pascasarjana Universitas Udayana
Kishore, G. Krishna., Suresh Pande, and A. R. Podile. 2005. Biological control of late leaf spot
of peanut (Arachis hypogaea) with chitinolytic bacteria. Phythopathology 95 (10):
1157 - 1165. The American Phythopathological Society. http://apsjournals.
apsnet.org/doi/pdf/10.1094/PHYTO-95-1157. Diakses tgl 16 Juli 2008
Kishore, G. Krishna. 2007. Evaluation of essensial oils and their components for broad spectrum
antifungal activity and control of late leaf spot and crown rot diseases in peanut.
Abstrak. Plant Disease 91(4):375– 379.
Palukaitis P, Roossinck MJ, Dietzgen RG, Francki RI. 1992. Cucumber mosaic virus. Adv Virus
Res 41: 281-348.
Pensuk V, Patanothai A, Jogloy S, Wongkaew S. 2003. Reaction of peanut cultivars to late
leafspot and rust. Songklanakarin J Sci Technol. 25(3):289–295
Prasath, D. and V. Ponnuswami. 2008. Screening of chilli (Capsicum annuum L.) genotypes
against Colletotrichum capsici and analysis of biochemical and enzymatic activities
in inducing resistance. Indian Jurnal Genetika. 68 (3) : 344-346
Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta. 449 hlm
Semangun, H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Semangun, H. 2001. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 754 hal.
Semangun H. 2007. Penyakit-penyakit tanaman hortikultura di Indonesia. Edisi II. Gadjah Mada
University Press. 845 hlm
Setiadi. 2008. Bertanam Cabai Cetakan XXV. Penebar Swadaya. Jakarta. 183 hal Menurut
Setiadi (2008),
Singh, R.S. 1969. Plant Diseases 2nd. Oxford and IBH Plublishing Co., Calcutta. 494 pp.

Sinha, AK, AK Chowdhury, and AR Das. 1991. Chitosan induced resistance in crop plants
against their fungal pathogens. Indian Phytopathol. 20:411-414.
Subrahmanyam P, Reddy LJ, Gibbons RW, McDonald D. 1985. Peanut rust: a major threat to
peanut production in the semiarid tropics. Plant Disease. 69(9):813–819. DOI:
http://dx.doi.org/10.1094/PD-69-813
Sudiono, S. S. Hidayat., Rusmilah, S. and Soemartono, S. (2001). Deteksi Molekuler dan Uji
Kisaran Inang Virus Gemini Asal Tanaman Tomat. Prosid. Konggres Nasional
XVI. PFI. Bogor. 22-24 Agustus
Sulandari, S., Rusmilah, S., S. S. Hidayat, Jumanto, H., dan Sumartono, S. (2001). Deteksi Virus
Gemini pada Cabai di Daerah Istimewa Jogjakarta. Prosid. Konggres Nasional
XVI. PFI. Bogor. 22-24 Agustus.
Sunkad G, Kulkarni S. 2006. Studies on structural and biochemical mechanism of resistance in
groundnut to Puccinia arachidis. Indian Phytopathol. 59(3):323– 328
Syukur, M., S. Sujiprihati, J. Koswara, dan Widodo. 2007. Pewarisan ketahanan cabai
(Capsicum annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh Collectotricum
acutatum. Jurnal Agronomi. 35:112- 117
Widodo. 2007. Status of Chili Antrachnose in Indonesia. p-27. In First International Symposium
and Chili Anthracnose. National Horticultural Research Institute, Rural
Development of Administration. Republic of Korea. 67
Wadia, K. D. R. dan D. R. Butler. 1994. The relationships between temperature and latent period
of rust dan leaf spot disease of groundnut. Plant Pathology 43 (1):121–129
Yudiwanti, B. Wirawan dan D. Wirnas. 2006. Korelasi antara kandungan klorofil, ketahanan
terhadap penyakit bercak daun dan daya hasil pada kacang tanah. Prosiding
Seminar Nasional Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman, 1-2 Agustus 2006. Hal
329-334.
Zen, K., R. Setiamihardja, Murdaningsih, T. Suganda. 2002. Aktivitas enzim peroksidase pada
lima genotip cabai yang mempunyai ketahanan berbeda terhadap penyakit
antraknosa. Jurnal Agronomi. Zuriat 13(2):97-105
Zheu, Z.; J. Chen and T. Wang. 2007. Application of ITS-RFLP Analysis for Identifying
Colletotrichum Species Associated with Pepper Anthracnose in Taiwan.
http://www.avrdc.org/anthracnose/index. html. 27 April 2011

Anda mungkin juga menyukai