Anda di halaman 1dari 35

PERBANDINGAN TINGKAT PENCEMARAN UDARA

DENGAN INDIKATOR BIOLOGI DAN KIMIA DI TERMINAL


MANDALIKA DAN HUTAN SURANADI

PROPOSAL PRAKTIKUM BIOLOGI

OLEH

DIANA ETIKA RAHMA UTAMI I2E017004


MAHDI I2E017014
P. AYU SUCI LESTARI I2E017024
WAWAN SAMUDERA I2E017031
YULI ANDRIANI I2E017032

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN IPA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MATARAM
2017
HALAMAN PENGESAHAN

Proposali dengan judul: Perbandingan Tingkat Pencemaran Udara Dengan


Indikator Biologi dan Kimia Di Terminal Mandalika
Dan Hutan Suranadi

Telah disetujui oleh dewan pembimbing sebagai salah satu persyaratan untuk

melakukan penelitian pada mata kuliah Praktikum IPA Program Studi Magister

Pendidikan IPA Program Pasca Sarjana Universitas Mataram.

Mataram, Nopember 2017

Dosen Pembina Dosen Pembimbing

Prof.Dr.Dwi Soelistya Dyah Jekti, M.Kes H. M. Liwa Ilhamdi, S.Pd.,M.Si


NIP. 194712091973022001 NIP. 197008101995121501

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat

dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan proposal ini tepat waktu

meski tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Proposal ini disusun guna

memenuhi tugas akademis bagi mahasiswa yang mengambil mata kuliah

Praktikum IPA tahun ajaran 2017. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan

terima kasih banyak kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

pembuatan proposal ini.

Mengingat kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam proposal ini,

baik dari segi penyajian isi maupun dalam ketatabahasaan, maka kami

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun demi

perbaikan selanjutnya. Demikian proposal ini kami susun, semoga dapat

dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Mataram, November 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul

Halaman Pengesahan .......................................................................................... ii

Kata Pengantar .................................................................................................... iii

Daftar Isi.............................................................................................................. iv

BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 3

1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 3

1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara............................................................................ 5

2.2. Sumber Pencemaran Udara .............................................................. 8

2.3. Komponen dan Dampak Pencemaran Udara.................................... 11

2.4. Bioindikator Pencemaran Udara ...................................................... 16

2.5. Jenis-jenis Tumbuhan Indikator Pencemaran Udara ........................ 18

2.6. Licheneses ........................................................................................ 20

2.7. Lumut (Bryophyta) ........................................................................... 22

2.8. Tumbuhan Tingkat Tinggi ............................................................... 23

BAB III. METODELOGI PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian .......................................................... 25

3.2. Alat dan Bahan ................................................................................. 25

3.3. Tekhnik Pengambilan Data .............................................................. 25

iv
3.4. Parameter Penelitian ......................................................................... 26

3.5. Tekhnik Analisis Data ...................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 29

v
BAB I. PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Udara merupakan faktor yang penting dalam hidup dan kehidupan.

Namun pada era modern ini, sejalan dengan perkembangan pembangunan

fisik kota dan pusat-pusat industri, serta berkembangnya transportasi, maka

kualitas udara pun mengalami perubahan yang disebabkan oleh terjadinya

pencemaran udara, atau sebagai berubahnya salah satu komposisi udara dari

keadaan yang normal yaitu masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan

partikel kecil) ke dalam udara dalam jumlah tertentu untuk jangka waktu

yang cukup lama, sehingga dapat mengganggu kehidupan manusia, hewan,

dan tanaman (Baskoro, 2011).

Menurut Sutardi (2008 dalam Prasetyo, 2017) salah satu cara

pemantauan kualitas udara ambien di Indonesia adalah dengan

mengoperasikan jaringan pemantau kontinyu otomatis yang dilakukan di 10

kota sejak tahun 2000 untuk memantau konsentrasi CO, debu (PM10), SO2,

NOx, dan O3. Namun demikian, penggunaan jaringan pemantau selain

memerlukan biaya investasi, operasional, dan perawatan yang tinggi,

pemantauan kualitas udara dengan cara ini juga memiliki beberapa kendala

lainnya antara lain terbatasnya alat pemantau, minimnya dana, serta

pengamatan yang hanya terfokus pada jalan raya sehingga pengambilan

sampel tidak mewakili lingkungan secara keseluruhan. Oleh karena itu

dibutuhkan alternatif lain yang lebih sederhana dan murah namun tetap

efektif untuk dilaksanakan serta dapat memberikan hasil yang akurat. Salah

1
satu alternatif yang dapat digunakan adalah dengan menggunakan

bioindikator.

Bioindikator merupakan organisme atau komuitas yang reaksinya

dianggap mampu mengevaluasi situasi atau kondisi yang memberitahukan

adanya “sesuatu” dalam suatu ekosistem. Bioindikator yang dapat digunakan

untuk mengetahui tingkat pencemaran udara yaitu tumbuhan. Menurut

Mulgrew dan Williams (2000) tumbuhan dapat memberikan respon yang

kurang baik terhadap adanya pencemaran di udara. Salah satu jenis

tumbuhan yang peka terhadap pencemaran adalah Lichen atau biasa dikenal

dengan lumut kerak.

Lumut kerak atau Lichen merupakan salah satu organisme yang

digunakan sebagai bioindikator pencemaran udara. Hal ini karena Lichen

mudah menyerap zat-zat kimia yang ada di udara dan dari air hujan. Talus

Lichen tidak memiliki kutikula sehingga mendukung Lichen dalam

menyerap semua unsur senyawa di udara termasuk SO2 yang akan

diakumulasikan dalam talusnya. Kemampuan tersebut menjadi dasar

penggunaan Lichen untuk pemantauan pencemaran udara. Lichen adalah

spesies indicator terbaik yang menyerap sejumlah zat kimia dan air hujan

dan polusi udara. Adanya kemampuan ini menjadikan Lichen sebagai

bioindikator yang baik untuk melihat adanya suatu kondisi udara pada suatu

daerah yang tercemar atau sebaliknya (Usuli et al., 2014).

Menurut Richardson (1988) Lichen sangat berguna dalam

menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Komunitas

2
Lichen yang tumbuh di kulit pohon (spesies corticolous), dinding dan batuan

(spesies saxicolous) menunjukkan perubahan yang signifikan dalam

menanggapi polusi udara, khususnya sulfur dioksida (SO2), senyawa fluoro-

(F), deposisi senyawa nitrogen dan ozon (O3).

Dalam percobaan ini akan dilakukan pengamatan pada daerah yang

tingkat pencemarannya tinggi dan akan dibandingkan dengan daerah yang

lingkungannya bebas polusi. Sehingga dapat mengidentifikasi apakah udara

pada suatu daerah telah tercemar atau tidak, dengan melihat pertumbuhan

Lichen, lumut yang menempel di pohon-pohon atau batu dan tumbuhan

tingkat tinggi.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian

yaitu ”Bagaimana perbandingan tingkat pencemaran udara dengan indikator

Biologi dan Kimia di Terminal Mandalika dan hutan Suranadi? ”.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui perbandingan tingkat

pencemaran udara dengan indikator Biologi dan Kimia di Terminal

Mandalika dan Hutan Suranadi.

1.4.Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan mengenai

keanekaragaman Licheneses dan lumut.

3
2. Sebagai referensi dalam penelitian serupa mengenai penggunaan

Licheneses dan lumut sebagai indikator biologi pencemaran udara.

4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pencemaran Udara

Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

menghendaki agar setiap usaha pembangunan yang dilakukan tetap

memelihara kondisi lingkungan. Salah satu aspek lingkungan adalah udara,

dimana di dalamnya terkandung sejumlah oksigen yang merupakan

komponen esensial bagi kehidupan baik manusia maupun makhluk hidup

lainnya. Lebih jauh lagi udara juga sumber daya alam milik bersama yang

besar pengaruhnya pada ekosistem global khususnya menyangkut

pemanasan global yang terkait dengan masalah pencemaran udara (Dahlan

dan Umasda, 2009).

Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang

perbandingannya tidak tetap tergantung pada keadaan suhu, tekanan dan

lingkungan sekitarnya. Udara yang masih bersih dan bebas dari bahan

pencemar merupakan campuran berbagai gas dengan berbagai konsentrasi.

Nitrogen dalam bentuk N2 terdapat sebanyak 78%, oksigen dalam bentuk

O2 terdapat sebanyak 21% sementara argon (Ar) hanya 1% dari total gas.

Gas-gas karbondioksida (CO2), helium (He), neon (Ne), xenon (Xe) dan

kripton (Kr) masing-masing hanya terdapat sebanyak 0.01% dari total gas.

Beberapa jenis gas terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit dalam udara

bersih. Gas-gas tersebut seperti Metana (CH4), karbon monoksida (CO),

amoniak (NH3), dinitrogen monoksida (N2O), dan hidrogen sulfida (H2S).

5
Gas-gas ini berpotensi sebagai pencemar, karena meningkatnya jumlah gas-

gas ini di udara akan menyebabkan terjadinya pencemaran udara (Fardiaz,

1992).

Pencemaran udara saat ini telah menjadi salah satu masalah lingkungan

utama baik di negara berkembang maupun negara maju. Pencemaran udara

di daerah perkotaan merupakan fenomena baru dalam masalah perencanaan

kota yang mendapat perhatian yang terus meningkat. Hal ini terutama

disebabkan karena meningkatnya jumlah kendaraan bermotor di seluruh

dunia yang mendorong para pembuat kebijakan untuk melakukan

pengelolaan terhadap pencemaran udara yang berkaitan dengan isu-isu

lingkungan.

Pencemaran udara dapat didefinisikan sebagai kehadiran satu atau

lebih kontaminan atau polutan ke dalam atmosfer yang karena jumlah dan

lama waktu keberadaannya dapat mengakibatkan kerugian manusia,

tumbuhan, binatang dan atau properti/material serta menyebabkan gangguan

kenyamanan dalam melakukan aktivitas hidup (Fardiaz, 1992). Materi yang

diemisikan ke atmosfer oleh aktivitas manusia maupun secara alami

merupakan penyebab beberapa masalah lingkungan seperti hujan asam,

penurunan kualitas udara, pemanasan global, dan rusaknya infrastruktur

bangunan (Kanisius, 2004).

Pencemaran udara pada suatu tingkat tertentu dapat merupakan

campuran dari satu atau lebih bahan pencemar, baik berupa padatan, cairan

atau gas yang terdispersi ke udara dan kemudian menyebar ke lingkungan

6
sekitar. Kecepatan penyebaran akan tergantung pada keadaan geografis dan

meteorologis setempat. Udara yang tercemar dapat merusak lingkungan dan

kehidupan manusia. Terjadinya kerusakan lingkungan berarti berkurangnya

daya dukung alam yang selanjutnya akan mengurangi kualitas hidup

manusia.

Menurut Hadi (2015), sumber Pencemar udara umumnya

dikelompokkan dalam beberapa golongan antara lain: (1) sumber titik,

dimana yang termasuk dalam kelompok ini adalah titik cerobong asap

industri, (2) sumber garis, yang merupakan integrasi dari sumber-sumbe titik

yang tak terhingga banyaknya sehingga dapat dianggap menjadi sumber

garis yang seluruhnya memancarkan pencemar udara misalnya jalan raya,

dan (3) sumber area, yang merupakan integrasi dari banyak sumber titik dan

sumber garis misalnya pada kawasan industri yang sejenis.

Di samping itu menurut Fardiaz (1992) sumber pencemar udara

berdasarkan sifat kegiatannya ada 4 (empat), yaitu: (1) sumber tetap, yang

berasal dari kegiatan proses industri pengolahan, konsumsi bahan bakar dari

industri dan rumah tangga, (2) sumber tetap spesifik, yang berasal dari

kegiatan pembakaran hutan dan pembakaran sampah, (3) sumber bergerak,

yang berasal dari hasil pembakaran bahan bakar kendaraan bermotor, dan

(4) sumber bergerak spesifik yang berasal dari hasil pembakaran bahan

bakar kereta api, kapal laut, pesawat dan alat berat.

Hermana (2006), menyatakan bahwa 70% gas beracun yang ada di

udara terutama di kota-kota besar, berasal dari kendaraan bermotor,

7
sementara jumlah kendaraan di kota-kota besar terus meningkat hingga

mencapai 15% per tahun. Peningkatan jumlah kendaraan bermotor akan

meningkatkan pemakaian bahan bakar, dan hal itu akan membawa resiko

pada penambahan gas beracun di udara sementara 30% sumber pencemar

udara berasal dari kegiatan industri, rumah tangga, dan pembakaran sampah.

2.2. Sumber Pencemar Udara

Sumber pencemaran udara dapat berasal dari sumber yang bergerak

dan tidak bergerak. Contoh dari sumber yang tidak bergerak meliputi

industri, domestik, dan pertanian. Sementara itu sumber yang bergerak,

contohnya adalah kendaraan bermotor yang mencakup semua sektor

transportasi seperti transportasi berbasis jalan, rel kereta api, begitu juga

dengan yang berbasis air maupun udara.

Sumber-sumber polusi udara dapat dikategorikan berdasarkan jenis

sumber emisi, dan distribusi spasial emisi. Klasifikasi sumber polusi udara

oleh Henry (1994) membagi sumber polutan menjadi dua yaitu sumber

antropogenik dan alami.

1. Sumber Antropogenik

Polusi udara antropogenik berasal dari sumber stasioner besar

(industri, pembangkit listrik, dan tempat pembakaran), sumber tidak

bergerak kecil (rumah tangga dan boiler komersial kecil), dan sumber

bergerak (lalu lintas). Selain itu, sumber antropogenik dapat

diklasifikasikan ke dalam dua sumber utama sebagai berikut:

a. Sumber tidak bergerak: Point dan Non-point (Area)

8
b. Sumber bergerak: On-road dan Non-road

2. Sumber alamiah

Sumber emisi alamiah umumnya berasal dari sumber biologi dan

geologi, antara lain bersumber dari vegetasi, tanah, gunung berapi,

aktivitas geothermal, angin dan kebakaran hutan. Sumber alamiah dapat

dibagi menjadi 2 sumber, sebagai berikut:

a. Emisi biogenik berasal dari tanaman

b. Emisi geogenik berasal dari tanah, gunung berapi, dan aktivitas

geotermal.

Sumber pencemaran berdasarkan distribusi spasial dapat dibedakan

atas beberapa kategori, antara lain:

1. Sumber titik/menetap (point source)

Merupakan bagian sumber tidak bergerak dan biasanya berupa

industri manufaktur besar yang memiliki cerobong asap atau tumpukan

titik emisi yang tertutup. Di dalam sumber titik biasanya ada beberapa

unit pembakaran, seperti: beberapa ketel atau boiler. Di kota-kota kecil

di Asia, sumber titik bisa berupa tempat pembakaran sampah rumah

sakit, ketel rumah sakit, ketel hotel, tempat pembakaran jenazah

(krematorium), dan industri. Metode untuk memperkirakan emisi sumber

titik (point source) adalah: pemantauan emisi secara kontinu, uji sumber,

faktor emisi dikalikan faktor kegiatan, keseimbangan materi, analisis

bahan bakar dan menggunakan model emisi.

9
2. Sumber area/tersebar (area source/non-point)

Merupakan bagian sumber tidak bergerak yang didefinisikan terlalu

kecil atau terlalu besar untuk dianggap sebagai titik sumber. Wilayah

sumber area ini mencakup sumber berjangkauan luas, seperti aktivitas

memasak di kawasan perumahan, pom bensin, tempat konstruksi dan

pembongkaran. Di kota-kota kecil di Asia, wilayah sumber area bisa

berupa kawasan perumahan, pom bensin, terminal bus, kuil, tempat

servis mobil, dan tempat konstruksi. Metode untuk memperkirakan emisi

sumber area (area source) adalah: survei dan kuesioner, faktor emisi

dikalikan faktor kegiatan, keseimbangan materi, dan menggunakan

model emisi.

3. Sumber garis/ bergerak (line source/mobile)

Dijelaskan sebagai sumber bergerak, yang dalam hal ini adalah

kendaraan yang memancarkan pencemar udara. Sumber ini dibedakan

menjadi “sumber on-road”, yaitu kendaraan bermotor yang berada di

jalanan, misalnya: mobil pribadi, motor, bus umum, truk kecil dan besar,

bajaj dan taksi dalam berbagai bentuk, ukuran dan penggunaan bahan

bakar, dan “sumber off-road”, yaitu kendaraan bermotor seperti kapal,

kereta api dan pesawat. Metode untuk memperkirakan emisi sumber

garis (line source) adalah: menggunakan model emisi, faktor emisi

dikalikan faktor kegiatan, dan analisis bahan bakar.

10
2.3. Komponen dan Dampak Pencemar Udara

Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu,

aerosol, timbal), dan gas (CO, NO2, SO2, H2S, HC). Sedangkan berdasarkan

dari kejadian terbentuknya pencemar terdiri dari pencemar primer dan

pencemar sekunder. Menurut Fardiaz (1992), macam komponen pencemar

udara yaitu sebagai berikut:

1. Particulate Matter (PM10)

Partikulat adalah padatan atau likuid di udara dalam bentuk asap,

debu dan uap, yang dapat tinggal di atmosfer dalam waktu yang lama. Di

samping mengganggu estetika, partikel berukuran kecil di udara dapat

terhisap ke ke dalam sistem pernafasan dan menyebabkan penyakit

gangguan pernafasan dan kerusakan paru-paru. Partikulat juga

merupakan sumber utama kabut asap yang menurunkan visibilitas.

Partikel yang terhisap ke dalam sistem pernapasan akan disisihkan

tergantung dari diameternya. Partikel berukuran besar akan tertahan pada

saluran pernafasan atas, sedangkan partikel kecil (inhalable) akan masuk

ke paru-paru dan bertahan di dalam tubuh dalam waktu yang lama.

Partikel inhalable adalah partikel dengan diameter di bawah 10 µm

(PM10). PM10 diketahui dapat meningkatkan angka kematian yang

disebabkan oleh penyakit jantung dan pernafasan, pada konsentrasi 140

µg/m3 dapat menurunkan fungsi paru-paru pada anak-anak, sementara

pada konsentrasi 350 µg/m3 dapat memperparah kondisi penderita

bronchitis.

11
Toksisitas dari partikel inhalable tergantung dari komposisinya.

Partikel yang terhirup juga dapat merupakan partikulat sekunder, yaitu

partikel yang terbentuk di atmosfer dari gas-gas hasil pembakaran yang

mengalami reaksi fisik-kimia di atmosfer, misalnya partikel sulfat dan

nitrat yang terbentuk dari gas SO2 dan NOx. Umumnya partikel

sekunder berukuran 2.5 mikron atau kurang. Proporsi cukup besar dari

PM2.5 adalah amonium nitrat, ammonium sulfat, natrium nitrat dan

karbon organik sekunder. Partikel-partikel ini terbentuk di atmosfer

dengan reaksi yang lambat sehingga sering ditemukan sebagai pencemar

udara lintas batas yang ditransportasikan oleh pergerakan angin ke

tempat yang jauh dari sumbernya. Partikel sekunder PM2.5 dapat

menyebabkan dampak yang lebih berbahaya terhadap kesehatan bukan

saja karena ukurannya yang memungkinkan untuk terhisap dan masuk

lebih dalam ke dalam sistem pernafasan tetapi juga karena sifat

kimiawinya.

Partikel sulfat dan nitrat yang inhalable serta bersifat asam akan

bereaksi langsung di dalam sistem pernafasan, menimbulkan dampak

yang lebih berbahaya daripada partikel kecil yang tidak bersifat asam.

Partikel logam berat dan yang mengandung senyawa karbon dapat

mempunyai efek karsinogenik, atau menjadi carrier pencemar toksik

lain yang berupa gas atau semi-gas karena menempel pada

permukaannya. Partikel inhalable adalah partikel Pb yang diemisikan

dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar mengandung

12
Pb. Timbal adalah pencemar yang diemisikan dari kendaraan bermotor

dalam bentuk partikel halus berukuran lebih kecil dari 10 dan 2.5 µm.

Partikulat diemisikan dari berbagai sumber, termasuk pembakaran

bahan bakar minyak, (gasoline, diesel fuel), pencampuran dan

penggunaan pupuk dan pestisida, konstruksi, proses-proses industri

seperti pembuatan besi dan baja, pertambangan, pembakaran sisa

pertanian (jerami), dan kebakaran hutan. Hasil data pemantauan udara

ambien di 10 kota besar di Indonesia menunjukan bahwa PM10 adalah

parameter yang paling sering muncul sebagai parameter kritis.

2. Carbon Monoxide (CO)

CO adalah gas yang dihasilkan dari proses oksidasi bahan bakar

yang tidak sempurna. Gas ini bersifat tidak berwarna, tidak berbau, tidak

menyebabkan iritasi. Gas karbon monoksida memasuki tubuh melalui

pernafasan dan diabsorpsi di dalam peredaran darah. Karbon monoksida

akan berikatan dengan haemoglobin (yang berfungsi untuk mengangkut

oksigen ke seluruh tubuh) menjadi carboxyhaemoglobin. Gas CO

mempunyai kemampuan berikatan dengan haemoglobin sebesar 240 kali

lipat kemampuannya berikatan dengan O2. Secara langsung kompetisi ini

akan menyebabkan pasokan O2 ke seluruh tubuh menurun tajam,

sehingga melemahkan kontraksi jantung dan menurunkan volume darah

yang didistribusikan. Konsentrasi rendah (<400 ppm ambien) dapat

menyebabkan pusing-pusing dan keletihan, sedangkan konsentrasi tinggi

(>2000 ppm) dapat menyebabkan kematian.

13
CO diproduksi dari pembakaran bakan bakar fosil yang tidak

sempurna, seperti bensin, minyak dan kayu bakar. Selain itu juga

diproduksi dari pembakaran produk-produk alam dan sintesis, termasuk

rokok. Konsentrasi CO dapat meningkat di sepanjang jalan raya yang

padat lalu lintas dan menyebabkan pencemaran lokal. CO kadangkala

muncul sebagai parameter kritis di lokasi pemantauan di kota-kota besar

dengan kepadatan lalu lintas yang tinggi seperti Jakarta, Bandung dan

Surabaya, tetapi pada umumnya konsentrasi CO berada di bawah

ambang batas Baku Mutu PP.41 tahun 1999 (10 000 µg/m3/24 jam).

Walaupun demikian CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara

dalam ruang (indoor air pollution) pada ruang-ruang tertutup seperti

garasi, tempat parkir bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang

buruk, bahkan mobil yang berada di tengah lalulintas.

3. Nitrogen Oxide (NOx)

NOx adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NOx

bereaksi dengan senyawa organic volatile membentuk ozon dan oksidan

lainnya seperti peroksiasetilnitrat (PAN) di dalam smog fotokimia dan

dengan air hujan menghasilkan asam nitrat dan menyebabkan hujan

asam. Smog fotokimia berbahaya bagi kesehatan manusia karena

menyebabkan kesulitan bernafas pada penderita asma, batuk-batuk pada

anak-anak dan orang tua, dan berbagai gangguan sistem pernafasan,

serta menurunkan visibilitas. Deposisi asam basah (hujan asam) dan

kering (bila gas NOx membentuk partikel aerosol nitrat dan terdeposisi

14
ke permukaan Bumi) dapat membahayakan tanam-tanaman, pertanian,

ekosistem perairan dan hutan. Hujan asam dapat mengalir memasuki

danau dan sungai lalu melepaskan logam berat dari tanah serta

mengubah komposisi kimia air. Hal ini pada akhirnya dapat menurunkan

dan bahkan memusnahkan kehidupan air. NOx diproduksi terutama dari

proses pembakaran bahan bakar fosil, seperti bensin, batubara dan gas

alam.

4. Sulfur Dioxide (SO2)

SO2 adalah gas yang tidak berbau bila berada pada konsentrasi

rendah tetapi akan memberikan bau yang tajam pada konsentrasi pekat.

Sulfur dioksida berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, seperti

minyak bumi dan batubara. Pembakaran batubara pada pembangkit

listrik adalah sumber utama pencemaran SO2. Selain itu berbagai proses

industri seperti pembuatan kertas dan peleburan logam-logam dapat

mengemisikan SO2 dalam konsentrasi yang relatif tinggi.

SO2 adalah kontributor utama hujan asam. Di dalam awan dan air

hujan SO2 mengalami konversi menjadi asam sulfur dan aerosol sulfat di

atmosfer. Bila aerosol asam tersebut memasuki sistem pernafasan dapat

terjadi berbagai penyakit pernafasan seperti gangguan pernafasan hingga

kerusakan permanen pada paruparu. Pencemaran SO2 pada saat ini baru

teramati secara lokal di sekitar sumbersumber titik yang besar, seperti

pembangkit listrik dan industri, meskipun sulfur adalah salah satu

senyawa kimia yang terkandung di dalam bensin dan solar. Data dari

15
pemantauan kontinu pada jaringan pemantau nasional pada saat ini

jarang mendapatkan SO2 sebagai parameter kritis, kecuali pada lokasi-

lokasi industri tertentu.

2.4. Bioindikator Pencemaran Udara

Konsep biondikator adalah sangat penting dalam pemantauan biologis.

Spesies tanaman tertentu sangat sensitif terhadap polusi udara tertentu dan

menunjukkan respon spesifik untuk efek polusi (misalnya pembentukan

spekel atas permukaan coklat oleh ozon). Respon tanaman akibat

peningkatan konsentrasi kontaminan udara dimodifikasi oleh faktor

lingkungan lainnya dan status fisiologis tanaman itu sendiri. Tingey (1989)

menekankan bahwa "tidak ada indikator yang lebih baik daripada spesies

atau sistem itu sendiri". Menurut Tingey (1989) bioindikator adalah

organisme atau respon biologis yang mengungkapkan adanya atau tidak

adanya polutan udara dengan terjadinya gejala khas atau tanggapan terukur.

Menurut Kovacs (1992b) indikator biologis adalah organisme (atau

populasi) yang keberadaan, vitalitas dan tanggapannya berubah di bawah

pengaruh kondisi lingkungan. Berbagai spesies merespon pada skala yang

bervariasi, dengan cara yang paling sensitif, sensitif atau kurang peka

(resisten). Spesies yang tahan (resisiten) seringkali dapat dianggap sebagai

indikator akumulasi. Respon tanaman terhadap polutan tergantung pada:

1. Faktor genetik

2. Tahap pertumbuhan

3. Kondisi lingkungan dan

16
4. Konsentrasi polutan

Syarat-syarat yang dapat digunakan dalam pemilihan tumbuhan

indikator apabila dianalogikan dengan kriteria indikator menurut Susanto

(2004) adalah SMART yaitu sebagai berikut :

1. Spesific

Tumbuhan yang digunakan sebagai indikator harus jelas sehingga

tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.

2. Measureable

Tumbuhan indikator harus mudah diukur dan menggambarkan

tanggapan terhadap pencemaran udara pada tingkatan pemaparan

konsentrasi polutan pencemar yang jelas. Kejelasan pengukuran akan

menunjukkan bagaimana cara mendapatkan datanya.

3. Attributable

Tumbuhan indikator harus memiliki respon yang berbeda yang

mampu memprediksi bagaimana spesies atau ekosistem akan merespon

stres. Sehingga jenis polutan pencemar dapat diidentifikasi.

4. Relevant

Tumbuhan indikator harus sesuai dengan ruang lingkup pemantauan

dan dapat ggambarkan hubungan sebab-akibat antar indikator.

5. Timely

Pengumpulan data dari tumbuhan indikator harus dilakukan secara

periodik sehingga diperoleh gambaran dari kondisi lingkungan terhadap

kualitas udara di daerah yang dipantau

17
Tidak semua tumbuhan merupakan bioindikator dari pencemaran

udara. Beberapa tumbuhan bahkan memiliki peran dalam mereduksi

pencemaran udara. Menurut Normaliani (2011) tumbuhan dapat menimbun

pencemar udara berbahaya tanpa merusak tumbuhan tersebut. Tumbuhan

tersebut dapat mempertahankan hidupnya meski menyerap udara tercemar

yang berbahaya.

Menurut Normaliani (2011) karakter umum tanaman yang mempunyai

kemampuan tinggi menyerap polutan indoor maupum outdoor, secara umum

serupa. Tanaman memiliki tajuk rimbun, tidak gugur daun, tanamannya

tinggi. Karakter khusus tanaman yang mempunyai kemampuan tinggi

mengurangi polutan partikel memiliki ciri daun, memiliki bulu halus,

permukaan daun kasar, daun bersisik, tepi daun bergerigi, daun jarum, daun

yang permukaannya bersifat lengket, ini efektif untuk menyerap polutan.

Ciri spesifik pada tanaman sansevieria diantaranya mampu hidup pada

rentang suhu dan cahaya yang luas, sangat resisten terhadap gas udara yang

berbahaya (polutan).

2.5. Jenis-jenis Tumbuhan Indikator Pencemaran Udara

Sifat-sifat tumbuhan merupakan pencerminan yang ada di dalam

tumbuhan itu (hereditas), tetapi selain itu pertumbuhannya juga dipengaruhi

lingkungan. Jadi fenotipe yang terjadi merupakan paduan dari hereditas dan

lingkungan itu. Tumbuhan dapat hidup dengan baik di lingkungan yang

menguntungkan. Suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan dapat berperan

sebagai pengukur kondisi lingkungan tempat tumbuhnya, disebut indikator

18
biologi atau bioindikator atau fitoindikator. Atau dengan istilah lain

tumbuhan yang dapat digunakan sebagai indikator kekhasan habitat tertentu

disebut tumbuhan indikator.

Pengetahuan tentang tumbuhan indikator dapat membantu mencirikan

sifat tanah setempat, dengan demikian dapat untuk menentukan tanaman apa

atau apa yang dapat diusahakan di bagian tanah itu atau seluruh tanah di situ.

Indikator tumbuhan juga digunakan untuk memperkirakan kemungkinan

lahan sebagai sumber daya untuk hutan, padang rumput atau tanaman

pertanian. Bahkan beberapa jenis logam dapat dideteksi dengan

pertumbuhan tumbuhan tertentu di suatu areal.

Banyaknya tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai indikator suatu

lingkungan. Dalam suatu komunitas tumbuhan beberapa diantaranya

dominan dengan jumlah yang melimpah. Tumbuhan semacam ini

merupakan indikator yang penting karena mereka sudah sangat erat

hubungan dengan habitatnya. Dengan demikian dapatlah dinyatakan bahwa

komunitas atau setidak-tidaknya kebanyakan tumbuhan merupakan indikator

yang lebih baik daripada tumbuhan yang tumbuh secara individual.

Mulgrew dan Williams (2000), membagi klasifikasi tumbuhan

indikator yang mencakup semua jenis tumbuhan yang memiliki potensi

sebagai biomonitor/bioindikator dari polusi udara yaitu lumut (Bryophyta),

Licheneses, dan tumbuhan tingkat tinggi.

19
2.6. Licheneses

Menurut Richardson (1988) lichenes sangat berguna dalam

menunjukkan beban polusi yang terjadi dalam waktu yang lama. Komunitas

lichenes yang tumbuh di kulit pohon (spesies corticolous), dinding dan

batuan (spesies saxicolous) menunjukkan perubahan yang signifikan dalam

menanggapi polusi udara, khususnya sulfur dioksida (SO2), senyawa fluoro-

(F), deposisi senyawa nitrogen dan ozon (O3).

Efek toksik dari pemaparan belerang dioksida dipengaruhi oleh nilai

dari pH substrat dimana lichenes tersebut tumbuh. Lumut terjadi pada

berbagai substrat (tanah, batu, tembok rumah, kulit pohon). Untuk indikasi

biologis, lumut epifit yang hidup di kulit pohon dapat digunakan sebagai

indikator. Pohon-pohon yang tumbuh di tanah asam yang terbentuk dari

batuan vulkanik, kulit kayunya memiliki nilai pH berkisar antara 2-4.

Spesies lichenes yang hidup pada kulit pohon dengan pH di bawah 7 dapat

dianggap sebagai indikator biologis. Lichenes yang hidup pada kulit pohon

yang asam jauh lebih peka pada efek beracun dari belerang dioksida.

Pada lokasi di mana sulfur dioksida udara melebihi 170 tidak ada

lumut yang dapat bertahan hidup atau kelangsungan hidup mereka hanya

dapat diamati ketika permukaan kulit terbentuk oleh debu kapur, sehingga

meningkatkan nilai pH di atas 7. Salah satu koloni spesies lumut yang dapat

bertahan hidup di kulit pohon ini adalah Lecanora conizaeoides, yang tetap
-3
hidup bahkan ketika konsentrasi belerang dioksida sangat tinggi μg.m

Spesies lumut yang paling sensitif terhadap sulfur dioksida adalah

20
Lobaria dan Usnea spp. Penurunan jumlah species Lichenes corticolous

sejalan dengan peningkatan konsentrasi sulfur dioksida. Atas dasar ini

dimungkinkan untuk menilai kualitas udara dan konsentrasi sulfur dioksida.

Dengan konsentrasi sulfur dioksida tinggi, spesies lumut berikut memiliki

nilai yang kurang dalam indikasi yaitu Xanthoria parietina, Grimmia

pulvinata, Parmelia saxatilis, P.sulcata, P. physodes. Akumulasi sulfur

dapat dideteksi dalam beberapa spesies lumut yaitu Cladonia sylvatica, C.

arbuscula, C. mitis, Hypogymnia physodes, Pseudovernia furfuracea,

Peltigera aphthosa.

Indikasi pencemaran hidrogen fluorida pada Lichenes diamati dengan

warna lumut yang menjadi putih keabu-abuan, ukuran koloni berkurang dan

kemudian terpisah-pisah. Spesies sensitif fluorida yaitu antara lain

Pseudoevernia furfuracea, Parmelia physodes, dan P.sulcata. Sedangkan

spesies yang kurang sensitif adalah Parmelia acetabulum.

Gambar Lichenes

21
2.7. Lumut (Bryophyta)

Bryophyta dapat menunjukkan adanya unsur-unsur dan gradien

konsentrasi pada jaringan tubuh mereka ketika berada pada kondisi

lingkungan yang terpapar oleh polusi udara. Penggunaan Bryophyta

merupakan metode yang efektif dalam memantau polusi udara karena

berbagai alasan sebagai berikut:

1. Jumlah spesies yang banyak dan tumbuh di berbagai habitat.

2. Bryophyta kecil dan mudah dalam penanganannya.

3. Kebanyakan dari mereka adalah selalu hijau (evergreen) dan dapat

disurvei sepanjang tahun

4. Bryophyta tidak memiliki kutikula dan sistem akar serta memperoleh

nutrisi dalam bentuk partikel dan larutan langsung dari deposisi

atmosfer.

5. Perbandingan sampel segar dengan spesimen herbarium memungkinkan

analisis retrospektif pencemaran logam.

6. Peningkatan pertumbuhan tahunan biasanya lebih mudah dideteksi

dalam lumut daripada lichenes

7. Lumut sering diyakini lebih tepat digunakan untuk studi

temporal/sementara (hal ini terutama berlaku untuk Hylocomium

splendens).

Jumlah spesies Bryophyta telah jauh berkurang di daerah perkotaan,

dan pusat-pusat industri karena sensitifitas tanaman ini terhadap polusi

udara. Sejumlah besar spesies telah punah, sementara yang lainnya yang

22
sebelumnya umum dan luas, telah berkurang jumlahnya dan sekarang jarang

ditemukan.

Efek berbahaya dari SO2 pada lichenes dan Bryophyta pertama kali

teramati oleh adanya kerusakan parah pada klorofil dan penurunan struktur

sel serta fungsi melalui plasmolisis, ketika konsentrasi belerang dioksida

melebihi 5 ppm. Kehancuran kloroplas berarti penghentian asimilasi yang

akhirnya akan menyebabkan kematian seluruh organisme. Ketika belerang


+
dioksida masuk pada tanaman, akan terjadi peningkatan konsentrasi H

bebas yang pada gilirannya akan memfasilitasi transformasi dari klorofil-a

ke phaeophytin-a. Ketika belerang dioksida berubah menjadi asam sulfat

dalam kondisi lembab, maka keadaan tersebut akan merusak tanaman dan

dapat menentukan tingkat kerusakan klorofil. Menurut Kovacs (1992b)

polusi SO2 awalnya membuat pernapasan tanaman lebih intensif, akan tetapi

setelah munculnya bintik nekrotik pada daun, perlahan intensitas tersebut

akan berkurang. Gejala umum pencemaran belerang dioksida adalah

terjadinya pemudaran warna tumbuhan. Pertama, daun apikal, yang lebih

terbuka, dan kemudian bagian-bagian basal juga bisa berubah warna. Lumut

yang sepenuhnya telah berubah warna biasanya tidak dapat dipulihkan,

bahkan setelah ditempatkan dalam lingkungan udara ambien yang bersih.

2.8. Tumbuhan Tingkat Tinggi

Bioindikator tumbuhan telah digunakan untuk menunjukkan kualitas

udara dalam bidang dan daerah tertentu sehingga dapat memberikan

23
informasi yang unik untuk kualitas udara ambien dalam wilayah tertentu

tersebut.

Metode yang paling umum dilakukan apabila menggunakan tumbuhan

tingkat tinggi sebagai indikator dalam biomonitoring kualitas udara adalah

dengan melihat adanya luka daun. Luka daun yang terlihat biasanya tidak

spesifik dan dapat mengindikasikan berbagai tekanan pada tanaman. Hal ini

menyebabkan peningkatan pada penggunaan efek fisiologis, struktural dan

biokimia dalam studi biomonitoring. Respon ini tidak hanya terjadi sebelum

cedera terlihat dan merupakan detektor awal sehingga dianggap sebagai

parameter yang lebih tepat dan obyektif.

Sebagai contohnya adalah seperti yang dikemukakan oleh

Mangkoedihardjo dan Samudro (2010) dimana tanaman tembakau yang

dapat digunakan sebagai indikator dari polutan pencemar SOx dan NOx.

Apabila tanaman tembakau terpapar SOx yang melebihi baku mutu (0,01 μg
-3
m ) maka warna daun tembakau berubah dari hijau menjadi kuning. Dan
-3
apabila terpapar NOx yang melebihi baku mutu (0,01 μg m ), maka daun

tembakau akan bernoktah cokelat. Dan apabila terpapar oleh keduanya yang

melampaui baku mutu maka daun tembakau akan bewarna kuning dan

coklat.

24
BAB III. METODELOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2017 di dua tempat

yaitu; daerah yang diperkirakan memiliki tingkat pencemaran udara tinggi

dan daerah yang pencemaran udaranya rendah sebagai pembanding. Daerah

yang tingkat pencemarannya tinggi berada di Terminal Mandalika dan

daerah yang pencemaran udaranya rendah berada di Hutan Suranadi.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pH meter, garisan,

Beaker gelas, kertas saring, Erlenmeyer, Corong gelas, Thermometer,

Hygrometer, pisau, plastik, alat tulis dan kamera ponsel.

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu air hujan dan

lumut kerak.

3.3 Tekhnik Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode jelajah

(Cruise Method). Menurut Suryabrata (2003), teknik penjelajahan

bermanfaat untuk memperoleh data yang lebih banyak yang terdapat di

tempat penelitian. Sampel dalam penelitian ini adalah air hujan dan lumut

kerak (Lichenes) yang terdapat di Terminal Mandalika dan di kawasan hutan

25
Suranadi. Sampel lumut kerak diambil dengan menggunakan metode jelajah.

Semua jenis lumut kerak (Licheneses ) yang dijumpai di lokasi penelitian

didokumentasi menggunakan kamera ponsel, dicatat kemudian

diidentifikasi. Sedangkan sampel air hujan diperoleh dengan menampung air

hujan pada beaker gelas yang dilengkapi dengan corong dan kertas saring

yang diletakkan pada posisi yang memungkinkan untuk mendapatkan air

hujan.

3.4 Parameter Penelitian

Menurut Baron (1999) Ada beberapa parameter yang bisa digunakan

untuk menentukan tingkat pencemaran udara menggunakan bioindikator

Licheneses diantaranya :

1. Keanekaragaman, untuk melihat jenis Licheneses menempel di substrat

yang diamati. Pada daerah dimana pencemaran telah terjadi jumlah jenis

lichenes yang ada sedikit dan jenis-jenis yang peka sekali akan hilang.

2. Warna, untuk melihat warna talus Licheneses. Di daerah yang tercemar

warna talusnya akan terlihat lebih pucat atau berubah.

3. Ukuran pertumbuhan, untuk melihat pertumbuhan Licheneses dengan

mengamati keadaan morfologi. Di daerah tercemar pertumbuhannya

akan kurang baik.

4. Luas penutupan, untuk melihat luas penutupan Licheneses yang

menempel pada substrat.

5. Mengukur pH dan kesadahan air hujan yang tertampung dalam gelas

26
beaker dan mengukur partikulat yang tertampung pada kertas saring.

6. Mengukur suhu udara dan kelembaban udara harian rata-rata.

3.5 Teknik Analisis Data

1. Identifikasi Jenis Lumut Kerak

Identifikasi dilakukan dengan mencocokkan data hasil pengamatan

karakteristik morfologis menggunakan referensi acuan Lichenes Genera

of Bogor, Cibodas and Singapore (Sipman, 2003), The Licheness of

British Columbia (Goward et al., 1996), Fascinating Lichenes of Sri

Lanka (Weerakon, 2015), dan Common Licheness Of Cypress Hill

Interprovincial Park Saskathewan, Canada : A Field Guide (de Vries

dan de Vries, 2008).

2. Analisis Persentase Luas Penutupan Licheneses

Persentase penutupan adalah persentase luas area yang ditutupi

oleh lichenes. Nilai persentase penutupan Licheneses diperoleh dari hasil

sebagai berikut:

Luas permukaan lichen


Persentase Penutupan  x 100%
Luas permukaan pohon

3. Suhu Udara Harian Rata-Rata

Suhu udara pada masing-masing lokasi pengamatan dilakukan

pengukuran 3 kali sehari yaitu pada pukul 07.30, 13.00, dan 17.00

WITA, dengan menggunakan rumus.

(2 x T pagi)  (T siang)  T sore


Suhu udara (T) 
4

27
4. Kelembaban Udara Harian Rata-Rata

Kelembaban udara pada masing-masing lokasi pengamatan

dilakukan pengukuran 3 kali sehari . dengan menggunakan rumus:

(2 x KU pagi)  (KU siang)  KU sore


Kelembaban Udara (KU) 
4

5. Nilai pH

Penentuan nilai pH dilakukan dengan metode pH meter

(Amrinola, 2005) prosedur sebagai berikut:

a. Siapkan sampel yang akan di ukur pH

b. Hidupkan pH meter, kemudian di celupkan ke larutan sampel.

c. Diamkan sejenak hingga pengukurannya stabil, catat angka yang

tertera di layar pH meter.

6. Kesadahan Air Hujan

Pengukuran kesadahan air hujan hasil tampungan dilakukan

dengan metode titrasi sebagai berikut :

a. Masukkan 10 ml sampel kedalam erlenmeyer

b. Tambahkan 2 ml larutan buffer

c. Tambahkan 50 mg indikator EBT

d. Titrasi dengan larutan baku EDTA hingga warna berubah menjadi

violet.

28
DAFTAR PUSTAKA

Agusnar. 2007. Dampak Pencemaran Lingkungan. Andi Offset. Yogyakarta

Baskoro, B. 2011. Analisis Tingkat Pencemaran Udara Akibat Kendaraan


Bermotor Dengan Metode Nalareksa (Studi Kasus Kota Yogyakarta).
e-journal.uajy.ac.id/1505/3/2TS10944.pdf [ diakses 25 Nopember 2017]

Indrayani. 2009. Pencemaran Udara dan Permasalahannya. Institut Pertanian


Bogor

Dahlan, Endles N. Ontaryo, Y. Dan Umasda. 2009. Kandungan Timbal Pada


Beberapa Jenis Pohon Pinggir Jalan Sudirman Bogor. Media
Konservasi Vol. II (4), Desember 1989 : 45-50

Dmuchowski, W. And Bytnerowicz, A. 1995. Monitoring environmental


Pollution in Poland by chemichal analysis of scots Pine (Pinus-
Sylvestris L.)

Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Hadi, Wahyono. 2015. Pengetahuan Lingkungan. Jurusan Teknik Penyehatan


FTSP ITS. Surabaya

Henry, C. Perkins. 1974. Air Pollution. McGrawHill Book Company. New York.

Hermana, Joni., Voijant, B.,Samodra, A. 2006. Penuntun Praktikum: Metoda


Analisis Pencemar Lingkungan. Laboratorium Teknologi Lingkungan,
Jurusan Teknik Lingkungan, FTSP ITS. Surabaya

Kanisius Farida. 2004. Pencemaran Udara dan Permasalahannya. Institut


PertaniaN Bogor

Kovacs, M. 1992b. Biological Indicators in Environmental Protection. Ellis


Horwood Limited Englan.

Mangkoedihardjo,S dan Samudro,G. 2010. Fitoteknologi Terapan. Graha


Ilmu. Yogjakarta

Mulgrew, Angela and Peter Williams(2000). Biomonitoring of Air Quality


Using Plants. [Online] WHO Collaborating Centre for Air Quality
Management and Air Pollution Control <URL:
http://umweltbundesamt.de/ whocc/ AHR10/ I-Introd. htm>[diakses 25
Nopember 2017]

29
Mukono.2006. Pengelolaan Lingkungan Hidup. Djambatan. Jakarta

Normaliani. 2011. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

Prasetio, W.J. 2017. Penggunaan Tumbuhan Sebagai Bioindikator Dalam


Pemantauan Pencemaran Udara.
ejournal.upnjatim.ac.id/index.php/plumula/article/download/777/652.
[diakses 25 Nopember 2017]

Richardson, DHS. 1988. Understanding the pollution sensitivity of lichens.


Botanical Journal of the Linnean Society, 96, 31-43

Sunu. 2001. Pencemaran Udara, Respon Tanaman Dan Pengaruhnya Pada


Manusia. Fakultas Pertanian Program Studi Kehutanan USU Sumatera
Utara

Tingey,DT. 1989. Bioindicators in Air Pollution Research-Applications and


constraints. In: Biologic Markers of Air Pollution Stress and Damage in
Forest, Committee on Biological Markers of Air Pollution Damage in
Trees. National Research Council, National Academy Press. Washington
DC.

Usuli, Yuliani., Uno.D, Wirnangsi dan Baderan, Dewi W. K. 2014. Lumut Kerak
Sebagai Bioindikator Pencemaran Udara. Universitas Negeri
Gorontalo, Gorontalo. http://eprints.ung.ac.id/5108/. [diakses tanggal 24
Nopember 2017.

30

Anda mungkin juga menyukai