Anda di halaman 1dari 40

RELATIVITAS KHUSUS

IBRAHIM (I2E018010)
NI MADE YENI SURANTI (I2E018017)

Program Studi Pendidikan IPA


Pascasarjana Universitas Mataram
2019
A. Relativitas Klasik
Sebuah "teori relativitas" sebenarnya merupakan cara bagi pengamat dalam kerangka
acuan yang berbeda untuk membandingkan hasil pengamatan mereka. Misalnya, pengamat A di
mobil yang parkir di jalan raya dekat batu besar mengamati bahwa batu tersebut diam. Pengamat
B yang bergerak di sepanjang jalan raya dengan mobil, melihat batu melewatinya ketika mobil
lewat. Bagi pengamat B, batu itu tampaknya bergerak. Sebuah teori relativitas menyediakan
kerangka kerja konseptual dan matematis yang memungkinkan kedua pengamat untuk mengubah
pernyataan seperti "batu sedang diam" dalam satu kerangka acuan ke pernyataan "batu bergerak"
dalam kerangka acuan lain. Secara lebih umum, relativitas memberikan cara untuk
mengekspresikan hukum fisika dalam kerangka acuan yang berbeda.
Dasar matematis untuk membandingkan kedua deskripsi tersebut disebut transformasi.
Gambar 1 menunjukkan representasi abstrak dari situasi tersebut. Dua pengamat O dan O’
masing-masing diam dalam kerangka acuan masing-masing tetapi bergerak relatif satu sama lain
dengan kecepatan konstan u. (O dan O’ merujuk ke pengamat dan kerangka acuan mereka atau
sistem koordinat). Mereka mengamati peristiwa yang sama, yang terjadi pada titik tertentu dalam
ruang dan waktu tertentu, seperti tabrakan antara dua partikel. Menurut O, koordinat ruang dan
waktu dari peristiwa tersebut adalah x, y, z, t, sedangkan menurut O’ koordinat dari acara yang
sama adalah x’, y’, z’, t’. Perbedaan antara koordinat dari kedua peristiwa tersebut disebabkan
oleh kerangka acuan yang berbeda dan bukan karena proses pengukuran. Dengan
mengasumsikan bahwa kecepatan relatif u selalu terletak di sepanjang arah xx’, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1. u mewakili kecepatan O’ yang diukur dengan O (dan dengan
demikian O’ akan mengukur kecepatan u untuk O).
Gambar 1. Dua pengamat O dan O’ mengamati peristiwa yang sama. O’ bergerak relative
terhadap O dengan kecepatan konstan u.

Transformasi klasik atau transformasi Galilea berhubungan dengan koordinat x, y, z, t


hingga x’, y’, z’, t’. Kami menganggap sebagai postulat dari fisika klasik bahwa t = t, yaitu,
waktu untuk semua pengamat adalah sama. Kami juga mengasumsikan bahwa sistem
koordinat dipilih sehingga waktu awal yaitu pada t = 0. Seperti pada gambar 2, objek O’
pada koordinat x’, y’, z’ (Gambar 2).

Gambar 2. Sebuah objek atau peristiwa pada titik P berada dalam koordinat x’, y’, z’.

Menurut O, koordinat y dan z sama dengan yang ada di O’. Sepanjang arah x, O akan
mengamati objek pada 𝑥 = 𝑥 ′ + 𝑢𝑡. Karena itu transformasi koordinat Galilea menjadi
𝑥 ′ = 𝑥 − 𝑢𝑡 𝑦′ = 𝑦 𝑧′ = 𝑧 (1)

Transformasi kecepatan Galileo


𝑣𝑥 ′ = 𝑣𝑥 − 𝑢 𝑣𝑦 ′ = 𝑣𝑦 𝑣𝑧 ′ = 𝑣𝑧 (2)

Dengan cara yang sama, kita dapat mengambil turunan dari Persamaan (2) terhadap waktu
dan mendapatkan hubungan antara percepatan

𝑎𝑥 ′ = 𝑎𝑥 𝑎𝑦 ′ = 𝑎𝑦 𝑎𝑧 ′ = 𝑎𝑧 (3)
Contoh Soal
Dua mobil melaju dengan kecepatan konstan di sepanjang jalan dengan arah yang sama.
Mobil A bergerak dengan kecepatan 60 km/jam dan mobil B bergerak dengan kecepatan 40
km/jam, masing-masing diukur relatif terhadap pengamat di pinggir jalan. Berapa kecepatan
mobil A relatif terhadap mobil B?
Penyelesaian:

Gambar (a) yaitu pengamat O pada keadaan diam. Gambar (b) diamati oleh O’ dalam mobil
B.

O adalah pengamat yang mengamati mobil A bergerak dengan kecepatan vx = 60 km/jam.


Asumsikan bahwa O’ bergerak terhadap mobil B pada kecepatan u = 40 km/jam. Sehingga
𝑣𝑥 ′ = 𝑣𝑥 − 𝑢
𝑣𝑥 ′ = 60 𝑘𝑚/𝑗𝑎𝑚 − 40𝑘𝑚/𝑗𝑎𝑚 = 20 𝑘𝑚/𝑗𝑎𝑚
Contoh Soal
Seorang perenang yang mampu berenang dengan laju c dalam air tenang, berenang
mengarungi sebuah sungai yang laju arusnya u. Andaikan perenag ini berenang melawan
aliran arus sejauh L kemudian berbalik menuruti aliran arus ke titik awal berangkatnya.
Carilah waktu yang dibutuhkan si perenang untuk melakukan perenangabn pulang-balik ini,
dan bandingkan dengan waktu yang diperlukannya untuk berenang menyilangi aliran arus
sejauh jarak L kemudian kembali.

Penyelesaian
Misalkan kerangka acuan O adalah tanah dan kerangka acuan O’ adalah air, yang bergerak
dengan laju u. (gambar 3). Si perenang selalu bergerak dengan laju c relatif air, jadi v’ = -c
untuk arah renang melawan aliran arus. (u selalu mendefinisikan arah x positif). Menurut
persamaan (1a) v’ = v – u, sehingga v = v’ + u = u – c. (sebagaimana yang diperkirakan, laju
relatifnya terhadap tanah lebih kecil daripada c , juga bertanda negatif, karena perenang
sedang berenang dalam arah x negatif, maka │v│= c – u). Oleh karena itu, tlawan = L / (c –
u). Untuk arah renang yang menuruti aliran arus, v’ = c, jadi v = u + c, sehingga tturut = L/ (c
+u). Jadi waktu total yang dibutuhkan adalah
2𝐿𝑐 2𝐿 1
𝑡 = 𝑐 2 −𝑢2 = (4)
𝑐 1−𝑢2 /𝑐 2

Agar perenang dapat berenang dalam arah menyilang aliran arus, maka ia harus berenag
dalam arah gerak sedikit condong dari arah melawan arus agar ia dapat mengimbangi tarikan
arus (gbr b). Artinya dalam kerangka acuan O, kita inginkan vx = 0, yang mensyaratkan v’x =
- u menurut persamaan (1a). Karena laju relatifnya terhadap air selalu c, maka c, √v ’x2 + v’y2
= c; jadi v’y =√c2 – v’x2 = √c2 – u2, dan dengan demikian, waktu pulang –baliknya adalah

2𝐿 2𝐿 1
𝑡 = 2𝑡𝑙𝑎𝑤𝑎𝑛 = √𝑐 2 = (5)
−𝑢2 𝑐 √1−𝑢2 /𝑐 2

B. Eksperimen Michelson-Morley
Menurut transformasi Galileo, kecepatan yan teramati oleh dua kerangka acuan yang
saling bergerak relatif tersebut berbeda satu sama lainnya dan besarnya bergantung pada
kecepatan relatif. Pada tahun 1887 fisikawan Amerika Albert A. Michelson dan rekannya E. W.
Morle melakukan percobaan secara terperinci menggunakan interferometer Michelson yang
dirancang khusus.

Gambar 3. Eksperimen Michelson-Morley

Pada gambar 3, bagian atas menunjukkan diagram cahaya dari interferometer Michelson.
Cahaya dari sumber S mengenai cermin perak di A, kemudian cahaya dipantulkan oleh cermin di
B dan yang lainnya dipantulkan pada C. Cahaya kemudian bergabung kembali dan teramati oleh
interferometer. Pada bagian bawah menggambarkan peralatan yang digunakan Michelson. Untuk
meningkatkan sensitivitas, sinar dipantulkan delapan kali, tidak hanya hanya dua kali. Untuk
mengurangi getaran dari lingkungan, interferometer dipasang pada lempengan batu 1,5 m persegi
yang mengapung di kolam merkuri.
Seperti Gambar 3 berkas cahaya monokromatik terbelah dua; kedua berkas menempuh
jalur yang berbeda dan kemudian bergabung kembali. Setiap perbedaan fasa antara berkas-berkas
cahaya yang menyatu menyebabkan pita-pita terang dan gelap atau "kisi" muncul, masing-
masing, secara berurutan, untuk interferensi konstruktif dan destruktif, seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 4.
Gambar 4. Pola Intereferensi yang diamati dengan Interferometer Michelson

Ada dua kontribusi pada perbedaan fase antara berkas cahaya. Kondisi pertama yaitu dari
perbedaan jalur AB - AC; salah satu berkas dapat menempuh jarak yang lebih jauh. Kondisi
kedua, yang masih akan ada meskipun panjang lintasan sama, berasal dari perbedaan waktu
antara lintasan hulu-hilir dan lintas-aliran (seperti pada Contoh 2) dan menunjukkan pergerakan
Bumi melalui eter. Michelson dan Morley menggunakan metode cerdas untuk mengisolasi
keadaaan yang kedua dan memutar seluruh aparatur 90o. Rotasi tidak mengubah keadaan
pertama ke perbedaan fase (karena panjang AB dan AC tidak berubah), tetapi kontribusi kedua
berubah tanda, karena apa yang merupakan jalur hulu-hilir sebelum rotasi menjadi jalur lintas-
aliran setelah rotasi. Ketika peralatan diputar hingga 90◦, pola interferensi harus berubah dari
terang ke gelap dan kembali lagi saat fasa perbedaan berubah. Setiap perubahan dari terang ke
gelap mewakili perubahan fase 180◦ (setengah siklus), yang sesuai dengan perbedaan waktu
setengah periode (sekitar 10-15 detik untuk cahaya tampak).
Ketika Michelson dan Morley melakukan percobaan mereka, tidak ada perubahan yang
dapat diamati dalam pola interferensi, mereka menyimpulkan bahwa pergeseran pola kurang dari
0,01, sesuai dengan kecepatan Bumi melalui eter paling banyak 5 km/s. Sebagai upaya terakhir,
mereka beralasan bahwa mungkin gerakan orbital Bumi kebetulan membatalkan gerakan
keseluruhan melalui eter. Jika hal ini benar, diperkirakan enam bulan kemudian (ketika Bumi
akan bergerak dalam orbitnya ke arah yang berlawanan) pembatalan seharusnya tidak terjadi.
Ketika mereka mengulangi percobaan enam bulan kemudian, mereka kembali mendapatkan hasil
nol. Dalam percobaan tidak ada Michelson dan Morley mampu mendeteksi gerakan Bumi
melalui eter.
Singkatnya, kita telah melihat bahwa ada rantai penalaran langsung yang mengarah dari
prinsip inersia Galileo, melalui hukum Newton dengan asumsi implisit mereka tentang ruang dan
waktu, yang berakhir dengan kegagalan percobaan Michelson-Morley. Bumi relatif terhadap
eter. Meskipun beberapa penjelasan diberikan untuk ketidakteraturan eter dan kegagalan terkait
kecepatan hulu dan hilir untuk menambahkan dengan cara yang diharapkan,paling baru,
revolusioner, dan akhirnya penjelasan yang berhasil diberikan oleh teori relativitas khusus
Einstei, yang membutuhkan penyesuaian serius dari konsep tradisional tentang ruang dan waktu,
dan karenanya mengubah beberapa dasar fisika.

C. Postulat Einstein
Albert Einstein (1879-1955), warga Jerman-Amerika Serikat). Seorang filsuf dan
pencinta damai yang ramah. Dia adalah guru intelektual bagi dua generasi fisikawan teori yang
meninggalkan sidik karyanya dalam hampir setiap bidang kajian fisika modern.
Permasalahan yang dimunculkan pada percobaan Michelso-Morley ini ternyata baru
berhasil terpecahkan oleh teori relativitas khusus, yang membentuk landasan bagi konsep –
konsep baru tentang ruang dan waktu. Einstein menyatakan bahwa semua pengamat yang tidak
mengalami percepatan seharusnya diperlakukan sama terhadap apapun. Teori ini didasarkan
pada dua postulat berikut, yang diajukan Albert Einstein pada tahun 1905.
1. Prinsip Relativitas
Hukum-hukum fisika tetap sama pernyataannya dalam semua system lembam.
2. Prinsip Kekonstanan Kecepatan Cahaya
Cahaya dapat merambat dalam vakum (misalnya, ruang vakum, atau ‘ruang bebas´),
kecepatan cahaya dinotasikan dengan c,yang konstan terhadap gerak benda yang memiliki
radiasi
Postulat pertama pada dasarnya menegaskan bahwa tidak ada satupun percobaan yang
dapat kita gunakan untuk mengukur kecepatan terhadap ruang mutlak , yang dapat kita ukur
hanyalah laju relative dari dua system lembamnya. Postulat pertama kelihatan lebih masuk akal,
tetapi bagaimanapun juga postulat kedua merupakan revolusi besar dalam ilmu fisika. Einstein
sudah memperkenalkan teori foton cahaya dalam makalahnya pada efek fotolistrik (yang
menghasilkan kesimpulan ketidakperluan eter).
Postulat kedua, adalah sebuah konsekuensi dari foton yang tak bermassa bergerak dengan
kecepatan c pada ruang hampa. Eter tidak lagi memiliki peran khusus sebagai kerangka acuan
inersia ‘mutlak´ alam semesta, jadi bukan hanya tidak perlu, tetapi juga secara kualitatif
tidak berguna di dalam relativitas khusus. Postulat kedua kelihatan tegas dan sederhana.
Percobaan Michelson Morley memang tampaknya menunjukan bahwa laju cahaya dalam arah
berlawanan adalah sama. Dan postulat kedua semata-mata menegaskan fakta ini : bahwa laju
cahaya adalah sama bagi semua pengamatan, sekalipun mereka dalam gerak relatif.

D. Akibat dari Postulat Einstein


Relativitas Waktu
Di antara banyak akibat, postulat Einstein memerlukan pertimbangan baru tentang sifat
dasar ruang dan waktu. Pada bagian ini kita membahas bagaimana postulat mempengaruhi
pengukuran interval waktu dan panjang oleh pengamat dalam kerangka acuan yang berbeda.

Gambar 5. Jam berdetak pada interval ∆𝑡0 yang ditentukan oleh waktu bagi cahaya untuk
menempuh jarak 2L0 dari sumber cahaya S ke cermin M dan kembali ke sumber tempat
terdeteksinya.

Untuk menunjukkan relativitas waktu, digunakan alat penghitung waktu yang


diilustrasikan pada Gambar 5. Ini terdiri dari sumber cahaya yang S yang berjarak jarak L0 dari
cermin M. Sebuah kilatan cahaya dari sumber dipantulkan oleh cermin, dan ketika cahaya
kembali ke S, jam berdetak dan memicu timbulnya gelombang lain. Interval waktu antar detik
adalah jarak 2L0 (dengan asumsi cahaya bergerak tegak lurus ke cermin) dibagi dengan
kecepatan c:
2𝐿0
∆𝑡0 = (6)
𝑐

Ini adalah interval waktu yang diukur ketika jam diam sehubungan dengan pengamat.
Kami mempertimbangkan dua pengamat: O diam pada permukaan tanah, dan O’
bergerak dengan kecepatan u. Setiap pengamat membawa alat penghitung waktu. Gambar 6
menunjukkan urutan peristiwa yang diamati O untuk jam yang dibawa oleh O’. Menurut O, sinar
dipancarkan ketika jam O’ berada di A, tercermin ketika berada di B, dan terdeteksi pada C.
Dalam interval ini ∆t, O mengamati jam untuk bergerak maju dengan jarak dari titik di mana
cahaya dipancarkan, dan O menyimpulkan bahwa berkas cahaya menempuh jarak 2L, di
𝑢∆𝑡 2
mana 𝐿 = √𝐿20 + ( ) , seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6. Karena O mengamati berkas
2

cahaya untuk bergerak dengan kecepatan c (seperti yang dipersyaratkan oleh postulat kedua
Einstein) interval waktu yang diukur oleh O adalah:
𝑢∆𝑡 2
√𝐿20 +( )
2𝐿 2
∆𝑡 = = (7)
𝑐 𝑐

Sehingga
∆𝑡0
∆𝑡 = (8)
√1−𝑢2 /𝑐 2

Gambar 6. Dalam kerangka acuan O, jam yang dibawa oleh O bergerak dengan kecepatan u.
Garis putus-putus, dengan panjang 2L, menunjukkan jalur berkas cahaya menurut O.

Menurut Persamaan. 8, pengamat O mengukur interval waktu yang lebih lama daripada
pengukuran O’. Ini adalah hasil umum dari relativitas khusus, yang dikenal sebagai dilatsi waktu.
Seorang pengamat O’ pada keadaan diam relatif terhadap perangkat yang menghasilkan interval
waktu ∆t0. Untuk pengamat ini, awal dan akhir dari interval waktu terjadi di lokasi yang sama,
sehingga interval ∆t0 dikenal sebagai waktu mula-mula. Pengamat O, relatif terhadap siapa O’
bergerak, mengukur interval waktu ∆t yang lebih lama untuk perangkat yang sama. Interval
diltasi waktu ∆t selalu lebih lama dari interval waktu awal t0, tidak bergantung pada besarnya
atau arah u.

Contoh Soal
Muon adalah partikel elementer yang memiliki batas waktu 2,2 μs. Muon dihasilkan dari
kecepatan yang sangat tinggi di atas atmosfer ketika sinar kosmik (partikel berenergi tinggi dari
ruang angkasa) bertabrakan dengan molekul udara. Jika ketinggian L0 atmosfer menjadi 100 km
dalam kerangka acuan Bumi, temukan kecepatan minimum yang memungkinkan Muon untuk
menempuh perjalanan ke permukaan bumi.
Penyelesaian
Dengan menganggap muon bergerak dengan mendekati c. Untuk menempuh jarak 100 km,
mereka membutuhkan wakru sekitar Δt’= 100 km/(3x10)8 m/s = 3 x 10-4 .Dengan dengan
menggunakan persamaan dilatasi waktu maka diperoleh
𝐿0 100 𝑘𝑚
∆𝑡 = = = 333𝜇𝑠
𝑐 3.00 x 108 𝑚/𝑠
∆𝑡0
∆𝑡 =
√1 − 𝑢2 /𝑐 2
2.2 𝜇𝑠
333 𝜇𝑠 =
√1 − 𝑢2 /𝑐 2
Sehingga
𝑢 = 0.999978𝑐
Jika bukan karena efek dilatasi waktu, muon tidak akan bertahan untuk mencapai permukaan
bumi. Pengamatan muon ini adalah verifikasi langsung dari efek dilatsi waktu relativitas khusus.

Relativitas Panjang
Alat pengatur waktu O’ diputar ke samping, sehingga cahaya bergerak sejajar dengan
arah gerakan O. Gambar 7 menunjukkan urutan peristiwa yang diamati O untuk jam bergerak.
Menurut O, panjang jam (jarak antara sumber cahaya dan cermin) adalah L; seperti yang akan
kita lihat, panjang ini berbeda dari panjang L0 yang diukur oleh O’, relatif terhadap siapa jam itu
diam.
Gambar 7. Jam yang dibawa oleh O memancarkan cahaya ke arah gerakannya.
Cahaya yang dipancarkan ketika jam O’ berada di A dan mencapai cermin (posisi B) pada waktu
∆t1. Dalam interval waktu tersebut, cahaya menempuh jarak c ∆t1, sama dengan panjang L dari
jam ditambah dengan jarak tambahan u ∆t1 bahwa cermin bergerak maju dalam interval tersebut.
Maka,
𝑐∆𝑡1 = 𝐿 − 𝑢∆𝑡1 (9)

Aliran cahaya bergerak dari cermin ke detektor dalam waktu ∆t2 dan mencakup jarak c ∆t2, sama
dengan panjang L dari jam dikurangi jarak u∆t2 bahwa jam bergerak maju dalam interval ini:
𝑐∆𝑡2 = 𝐿 − 𝑢∆𝑡2 (10)
Sehingga waktu total menjadi
𝐿 𝐿 2𝐿 1
∆𝑡 = ∆𝑡1 + ∆𝑡2 = 𝑐−𝑢 + 𝑐+𝑢 = (11)
𝑐 1−𝑢2 /𝑐 2

Atau dari persamaan didapatkan


∆𝑡0 2𝐿0 1
∆𝑡 = = (12)
√1−𝑢2 /𝑐 2 𝑐 1−𝑢2 /𝑐 2

Sehingga didapatkan
𝐿 = 𝐿0 √1 − 𝑢2 /𝑐 2 (13)
Persamaan 13 dikenal sebagai kontraksi panjang. Pengamat O’, yang diam sehubungan dengan
objek, mengukur panjang pada saat diam L0 (juga dikenal sebagai panjang yang tepat, dalam
analogi dengan waktu yang tepat). Semua pengamat yang relatif terhadap siapa O’ bergerak
mengukur panjang yang lebih pendek, tetapi hanya sepanjang arah gerakan; pengukuran panjang
melintang ke arah gerakan tidak terpengaruh (Gambar 2.11).

Gambar 8. Beberapa benda yang mengalami kontaksi panjang


Kontraksi panjang menunjukkan bahwa benda yang diukur ketika bergerak memiliki
panjang yang lebih pendek daripada benda yang diukur pada saat pengamat diam. Benda-benda
itu sebenarnya tidak menyusut; hanya ada perbedaan panjang yang diukur oleh pengamat yang
berbeda. Misalnya, bagi pengamat di Bumi, sebuah kapal roket berkecepatan tinggi akan tampak
mengalami kontaksi sepanjang arah gerakannya (Gambar 10a), tetapi bagi seorang pengamat di
kapal roket itu tampak bahwa bumi yang bergerak dan mengalami kontaksi panjang (Gambar
10b ).

Gambar 10. (a) Bumi memandang roket yang lewat mengalami kontaksi panjang. (b) dari
kerangka acuan roket, bumi yang tampak mengalami kontaksi.
Contoh Soal
Pertimbangkan sudut pandang pengamat yang bergerak menuju Bumi memiliki kecepatan yang
sama dengan muon. Dalam kerangka acuan ini, berapakah ketebalan atmosfer Bumi yang
tampak?
Penyelesaian
Dalam kerangka acuan pengama, muon diam dan Bumi bergerak ke arah Muon dengan
kecepatan u = 0,999978c, seperti yang kita temukan dalam Contoh 3. Bagi seorang pengamat di
Bumi, ketinggian atmosfer adalah 100 km.
Untuk pengamat dalam kerangka acuan muon, Bumi yang bergerak memiliki ketebalan atmosfer
sesuai Persamaan 13.
𝐿 = 𝐿0 √1 − 𝑢2 /𝑐 2

𝐿 = 100 𝑘𝑚√1 − (0.999978)2 = 0.66 𝑘𝑚 = 660 𝑚


Jarak ini cukup kecil bagi muon untuk mencapai permukaan bumi dalam masa hidup mereka.

Penambahan Kecepatan Relativistik

Gambar 11, sebuah partikel dipancarkan oleh P pada kecepatan v. Ketika partikel mencapai F, ia
memicu cahaya yang bergerak ke detektor D.

Sumber P memancarkan partikel yang bergerak dengan kecepatan v menurut pengamat O


pada keadaan diam. Bola lampu F dipicu untuk menyala ketika sebuah partikel mencapainya.
Cahaya bergerak kembali ke detektor D, dan jam berdetak. Interval waktu ∆t0 antara detaknya
diukur oleh O’ yang terdiri dari dua bagian: satu untuk partikel yang menempuh jarak L0 pada
kecepatan v’ dan lainnya untuk cahaya untuk menempuh jarak yang sama pada kecepatan c:
𝐿0 𝐿0
∆𝑡0 = + (14)
𝑣′ 𝑐
Partikel yang dipancarkan, bergerak dengan kecepatan v menurut O, mencapai F dalam interval
waktu ∆t1 setelah menempuh jarak v ∆t1 sama dengan panjang L ditambah jarak tambahan u ∆t1
yang digerakkan oleh jam dalam interval tersebut:
𝑣∆𝑡1 = 𝐿 + 𝑢∆𝑡1 (15)
Dalam interval ∆t2, cahaya menempuh jarak c ∆t2 sama dengan panjang L dikurangi jarak u ∆t2
digerakkan oleh jam dalam interval tersebut:
𝑐∆𝑡2 = 𝐿 − 𝑢∆𝑡2 (16)
Sehingga nilai v adalah
𝑣 ′ +𝑢
𝑣 = 1+𝑣′𝑢/𝑐 2 (17)

Persamaan tersebut adalah hukum penambahan kecepatan relativistik untuk komponen kecepatan
yang ada di arah u. Persamaan tersebut memberikan hasil penting ketika O’ mengamati berkas
cahaya. Untuk v’ = c, maka
𝑐+𝑢
𝑣 = 1+𝑐𝑢/𝑐 2 = 𝑐 (18)

Yaitu, ketika v’ = c, maka v = c, tidak bergantung pada nilai u. Semua pengamat mengukur
kecepatan c yang sama untuk cahaya, persis seperti yang disyaratkan oleh postulat kedua
Einstein.
Contoh Soal
Sebuah pesawat ruang angkasa bergerak menjauh dari Bumi dengan kecepatan 0,80c
menembakkan sebuah peluru yang sejajar dengan arah gerakannya (Gambar). Peluru bergerak
dengan kecepatan 0,60c relatif terhadap pesawat. Berapa kecepatan peluru yang diukur oleh
pengamat di Bumi?

Penyelesaian
𝑣′ + 𝑢 0.60𝑐 + 0.80𝑐
𝑣= 2
= = 0.95 𝑐
1 + 𝑣′𝑢/𝑐 1 + (0.60𝑐)(0.80𝑐)/𝑐 2
Menurut kinematika klasik, seorang pengamat di Bumi akan melihat peluru bergerak pada 0,60c
+ 0,80c = 1,40c, sehingga melebihi kecepatan relatif maksimum c yang diizinkan oleh teori
relativitas.
Relativitas Efek Doppler
Dalam efek Doppler klasik untuk gelombang suara, pengamat yang bergerak relatif ke sumber
suara mendeteksi frekuensi yang berbeda dari yang dipancarkan oleh sumber. Frekuensi f yang
didengar oleh pengamat O berhubungan dengan frekuensi f’ yang dipancarkan oleh sumber S
yaitu:
𝑣±𝑣
𝑓 ′ = 𝑓 𝑣±𝑣0 (19)
𝑠

di mana v adalah kecepatan gelombang dalam medium, vS adalah kecepatan sumber relatif
terhadap medium, dan vo adalah kecepatan pengamat relatif terhadap medium. Tanda-tanda atas
pada pembilang dan penyebut dipilih setiap kali S bergerak ke arah O atau O bergerak ke arah S,
sedangkan tanda-tanda yang lebih rendah berlaku setiap kali O dan S bergerak satu sama lain.
Relativitas efek Doppler memerlukan pendekatan yang berbeda yaitu yang tidak membedakan
antara gerakan sumber dan gerakan pengamat, tetapi hanya melibatkan gerakan relatif antara
sumber dan pengamat.
Jika sumber gelombang yang diam dalam kerangka acuan pengamat O. Pengamat O
bergerak relatif terhadap sumber dengan kecepatan u, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Sumber gelombang, dalam kerangka acuan O, bergerak dengan kecepatan u
menjauh dari pengamat O’. Dalam waktu ∆t’ (menurut O’), O bergerak menempuh jarak u∆t’
dan memancarkan gelombang N.

Misalkan O mengamati sumber untuk memancarkan gelombang N pada frekuensi f.


Menurut O, dibutuhkan interval ∆t0 = N/f untuk gelombang N yang akan dipancarkan; ini adalah
interval waktu yang tepat dalam kerangka referensi O. Interval waktu yang sesuai untuk O’
adalah ∆t’, di mana O bergerak menempuh jarak u∆t’. Panjang gelombang menurut O’ adalah
interval panjang total yang ditempati oleh gelombang-gelombang tersebut dan dibagi dengan
jumlah gelombang:
𝑐Δ𝑡 ′ −𝑢Δ𝑡 ′ 𝑐Δ𝑡 ′ −𝑢Δ𝑡 ′
𝜆′ = = (20)
𝑁 𝑓Δ𝑡0

Frekuensi menurut O’ adalah 𝑓 ′ = 𝑐/𝜆′, sehingga


∆𝑡 1
𝑓 ′ = 𝑓 ∆𝑡′0 1+𝑢/𝑐 (21)

Dengan menggunakan persamaan dilatasi waktu, dapat ditentukan bahwa


√1−𝑢2 /𝑐 2 1−𝑢/𝑐
𝑓′ = 𝑓 = 𝑓√1+𝑢/𝑐 (22)
1+𝑢/𝑐

Perhatikan bahwa, tidak seperti rumus klasik, relativitas efek Doppler tidak membedakan antara
gerakan sumber dan gerakan pengamat; efek Doppler relativistik hanya bergantung pada
kecepatan relative u antara sumber dan pengamat.

Contoh Soal
Sebuah galaksi bergerak menjauh dari Bumi dengan kecepatan tinggi sehingga garis hidrogen
biru pada panjang gelombang 434 nm terekam pada 600 nm, dalam rentang spektrum merah.
Berapa kecepatan galaksi relatif terhadap Bumi?
Penyelesaian
Karena 𝑓 = 𝑐/𝜆 dan 𝑓 ′ = 𝑐/𝜆′, maka

𝑐 𝑐 1 − 𝑢/𝑐
= √
𝜆′ 𝜆 1 + 𝑢/𝑐

𝑐 𝑐 1 − 𝑢/𝑐
= √
600𝑛𝑚 434𝑛𝑚 1 + 𝑢/𝑐

Sehingga
𝑢
= 0.31
𝑐
dengan demikian galaksi bergerak menjauh dari Bumi dengan kecepatan 0,31c = 9,4 × 107 m/s.
Hasil tersebut menunjukkan bahwa hampir semua galaksi tidak ada yang menjauh dari Bumi.
E. Transformasi Lorentz
Telah kita ketahui bahwa transformasi Galilean mengenai koordinat, waktu, dan
kecepatan tidak taat asas dengan kedua postulat einsten, meskipun transformasi Galileo sesuai
dengan akal sehat kita, ia tidaklah memberikan hasil yang sesuai dengan berbagai percobaan
pada laju tinggi , seperti yang akan kita ilustrasikan pada bagian akhir bab ini. Oleh karena itu,
kita memerlukan seperangkat persamaan transformasi baru yang dapat meramalkan berbagi efek
relativistic seperti penyusutan panjang, pemuluran waktu, dan efek Doppler relativistic. Kita
telah mengetahui bahwa transformais Galileo (1) berlaku baik pada laju rendah, transformasi
baru inilah haruslah memberikan hasil yang sama seperti transformasi galieo apabila laju
relative antara O dan O’ adalah rendah. Transformasi yang memenuhi semua persyaratan ini
dikenal sebagai transformasi Lorentz. Transformasi Lorentz pertama kali dikemukaan oleh
Hendrik A. Lorentz, seorang fisikawan dari Belanda pada tahun 1895.
Seperti halnya dengan transformasi Galileo, transformasi Lorentz mengaitkan koordinat
dari suatu peristiwa (x,y,z,t) sebagaimana diamati dari kerangka acuan S dengan koordinat
peristiwa yang sama (x‘, y’.z’ dan t’) yang diamati dari kerangka acuan S’ yang sedang bergerak
dengan kecepatan u terhadap S, yang ditunjukkan pada gambar berikut:

Gambar 1. Kerangka Acuan S dan S’

Kita menganggap bahwa gerak relatifya adalah sepanjang arah x ( atau x’) positif (S’ bergerak
menjauhi S).

Bentuk persamaan transformasi Lorentz ini adalah sebagai berikut:

𝑥 − 𝑢𝑡 Persamaan (1a)
𝑥′ =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐
𝑦′ = 𝑦 Persamaan (1b)

𝑧′ = 𝑧 Persamaan (1c)


𝑡 − 𝑢⁄𝑐 2 𝑥 Persamaan (1d)
𝑡 =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

Bentuk transformasi Lorentz juga dapat dituliskan menjadi:

𝑥 ′ + 𝑢𝑡 Persamaan (2a)
𝑥=
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

𝑦 = 𝑦′ Persamaan (2b)

𝑧 = 𝑧′ Persamaan (2c)

𝑡 ′ + 𝑢⁄𝑐 2 𝑥 Persamaan (2d)


𝑡=
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

Jika S’ begerak menuju S, gantikan u dengan –u. untuk menerapkan transformasi Lorentz
ini, perlu diperhatikan catatan berikut: bila S mencatat suatu peristiwa yang diamatinya
memiliki koordinat (x,y,z,t), maka S’ yang sedang bergerak dengan laju u terhadap S, mencatat
peristiwa yang sama itu memiliki koordinat (x’,y’,z’ dan t’). System persamaan (1) dengan
demikian memperkenankan kita untuk membandingkan kedua peggambaran yang bersangkutan.
Mengenai hubungan antara S dan peristiwanya, kita tidak membuat anggapan-anggapan apapun.
Sebagai contoh , objek yang koordinatya sesaatnya diberikan oleh peristiwa ( x,y,z dan t) tidak
perlu berada dalam keadaan diam relatif terhadap S.

Kontraksi Panjang

Kontraksi panjang adalah penyusutan panjang suatu benda akibat gerak relatif pengamat
atau benda yang bergerak mendekati cepat rambat cahaya. Penyusutan panjang yang terjadi
merupakan suatu fenomena yang berhubungan dengan pemekaran waktu. Panjang benda yang
diukur dalam kerangka acuan di mana bendanya berada dalam keadaan diam disebut panjang
patut (panjang benda menurut pengamat), l. Kita tinjau sebatang tongkat dalam keadaan diam di
S' dengan satu ujung di x2' dan ujung lainnya di x1' , seperti pada Gambar 2. Panjang tongkat
dalam kerangka ini adalah l = x2' – x1'.

Gambar 2. Kontraksi Panjang

Dengan menerapkan transformasi Lorentz, kita bisa menentukan penyusutan panjang.


Sehingga bisa ditulis:

Peristiwa Pengamat S Pengamat S’


1 Xi=0 2
𝑥1 ′ = (𝑥1 − 𝑢𝑡1 )⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2
2
𝑡1 ′ = [𝑡1 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥1 ]⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2
pada t1
2 X2=L 2
𝑥2 ′ = (𝑥2 − 𝑢𝑡2 )⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2

2
𝑡2 ′ = [𝑡2 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥2 ]⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2

pada t2

Karena waktu pengukuran x1 sama dengan waktu pengukuran x2, maka t1= t2, sehingga,
sehingga, dapat ditulis

𝐿′ = 𝑥2 ′ − 𝑥1 ′

2 2
𝐿′ = (𝑥2 − 𝑢𝑡2 )⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2 − (𝑥1 − 𝑢𝑡1 )⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2

(𝑥2 − 𝑢𝑡2 ) − (𝑥1 − 𝑢𝑡1 )


𝐿′ =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

Disini kita telah mempergunakan 𝐿 = 𝑥2 − 𝑥1 , begitu muga dengan persamaan 𝑡1 ′ dan


𝑡2, ′ , maka:

𝑡2 ′ − 𝑡1 ′ = 0

2 2
[𝑡2 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥2 ]⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2 − [𝑡1 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥1 ]⁄√1 − 𝑢 ⁄𝑐 2 = 0

[𝑡2 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥2 ] − [𝑡1 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥1 ]


=0
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐
[𝑡2 − 𝑡1 ] − [(𝑢⁄ 2 ) 𝑥2 − (𝑢⁄ 2 ) 𝑥1 ]
𝑐 𝑐 =0
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

[𝑡2 − 𝑡1 ] [(𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥2 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥1 ]


− =0
2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐

[𝑡2 − 𝑡1 ] 𝑢 [𝑥2 − 𝑥1 ]
− =0
2 𝑐2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 𝑢
√1 − ⁄ 2
𝑐 𝑐

[𝑡2 − 𝑡1 ] 𝑢 𝐿
− =0
2 𝑐2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐

𝑢 𝐿 [𝑡2 − 𝑡1 ]
− =−
𝑐2 2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐

𝑢 𝐿 [𝑡2 − 𝑡1 ]
=
𝑐2 2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐

Penyisipan [𝑡2 − 𝑡1 ] dari peryataan ini kedalam persamaan 𝐿′ diatas, dan peggabungan
suku-sukunya maka diperoleh:

(𝑥2 − 𝑢𝑡2 ) − (𝑥1 − 𝑢𝑡1 )


𝐿′ =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

(𝑥2 −𝑥1 ) − (𝑢𝑡2 − 𝑢𝑡1 )


𝐿′ =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐
(𝑥2 −𝑥1 ) − 𝑢(𝑡2 − 𝑡1 )
𝐿′ =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

𝐿 − 𝑢(𝑡2 − 𝑡1 )
𝐿′ =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

𝐿 𝑢(𝑡2 − 𝑡1 )
𝐿′ = −
2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐


𝐿 𝑢2 𝐿
𝐿 = − 2
2 𝑐 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐


𝐿 𝑢2
𝐿 = (1 − 2 )
2 𝑐
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐


𝐿 𝑢2
𝐿 = (1 − 2 )
2 𝑐
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

𝑢2
(1 − )
𝑐2
𝐿′ = 𝐿
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

𝑢2
(1 − )
𝑐2
𝐿′ = 𝐿 1⁄2
𝑢2
(1 − 2 )
𝑐

𝑢2
(1 − )
𝑐2
𝐿′ = 𝐿 1⁄2
𝑢2
(1 − 2 )
𝑐

1⁄2

𝑢2
𝐿 = 𝐿 (1 − 2 )
𝑐
Sehingga didapatkan persamaan untuk kontraksi panjang adalah:

Persamaan (3)
𝑢2
𝐿 = 𝐿√1 − 2

𝑐

Transformasi Lorentz “Kecepatan”

Andaikan sebuah objek yang diamati oleh 𝑆 bergerak dengan kecepatan 𝑣 = (𝑣𝑥 , 𝑣𝑦 , 𝑣𝑧 ).
Untuk mencari kecepatannya 𝑣 ′ = (𝑣𝑥 ′ , 𝑣𝑦 ′ , 𝑣𝑧 ′ ) sebagaimana diamati oleh 𝑆 ′ , maka
trannsformasi Lorentz untuk kecepatan benda yang bergerak dinyatakan sebagai berikut;

𝑣𝑥 − 𝑢 Persamaan (4a)
𝑣𝑥 ′ =
1 − 𝑣𝑥 𝑢⁄𝑐 2

𝑢2 Persamaan (4b)
𝑣𝑦 √1 −
𝑐2
𝑣𝑦 ′ =
1 − 𝑣𝑥 𝑢⁄𝑐 2

𝑢2 Persamaan (4c)
𝑣𝑧 √1 −
𝑐2
𝑣𝑧 ′ =
1 − 𝑣𝑥 𝑢⁄𝑐 2

Ketiga persamaan di atas merupakan akibat langsung dari persamaan transformasi Lorentz.
Sebagai contoh, berikut akan diturunkan pernyataan transformasi bagi 𝑣𝑦 ′ .

Contoh
Turunkan transformasi kecepatan Lorentz bagi 𝑣𝑦
Penyelesaian:
𝑑𝑦 ′
Komponen 𝑣𝑦 ′ adalah 𝑑𝑡 ′

𝑦′ = 𝑦 𝑑𝑦 ′ = 𝑑𝑦

𝑡−(𝑢⁄ 2 )𝑥 𝑑𝑡−(𝑢⁄ 2 )𝑑𝑥


𝑐 𝑐
𝑡′ = 2
𝑑𝑡 ′ = 2
𝑢
√1− ⁄ 2 𝑢
√1− ⁄ 2
𝑐 𝑐

Jadi,


𝑑𝑦 ′ 𝑑𝑦
𝑣𝑦 = ′ =
𝑑𝑡 𝑑𝑡 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑑𝑥
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐
𝑑𝑦 ′ 2 𝑑𝑦
𝑣𝑦 ′ = ′
= √1 − 𝑢 ⁄𝑐 2
𝑑𝑡 𝑑𝑡 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑑𝑥
𝑑𝑦⁄
2
𝑣𝑦 = √1 − 𝑢 ⁄𝑐 2
′ 𝑑𝑡
𝑢
𝑑𝑡 − ( ⁄𝑐 2 ) 𝑑𝑥
𝑑𝑡
𝑑𝑦⁄
′ 𝑢
𝑣𝑦 = √1 − ⁄𝑐 2
2 𝑑𝑡
𝑑𝑥
1 − (𝑢⁄𝑐 2 )
𝑑𝑡
2 𝑣𝑦
𝑣𝑦 ′ = √1 − 𝑢 ⁄𝑐 2
1 − (𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑣𝑥

2
𝑣𝑦 √1 − 𝑢 ⁄𝑐 2
𝑣𝑦 ′ = 𝑢𝑣
1 − 𝑥⁄𝑐 2

Latihan
Sebuah pesawat tempur yang bergerak dengan kecepatan 0,8c relative terhadap
bumi menembakkan roket dengan kecepatan 0,6c. Berapakah kecepatan roket
tersebut menurut pengamat yang diam di bumi?
F. Keserempakan dan Paradox Kembar
Dalam hal ini, kita akan meninjau dua dari sekain banyak akibat teori relativitas khusus
yang menantang, yaitu terkait keserempakan dan pensinkronan jam dan paradox kembar.

Keserempakan

Masalah mensinkronkan arloji atau jam bukanlah suatu proses yang sulit, sebagai contoh
dalam pengaturan jam dapat diatur dengan melihat jam yang berada disekitar dengan
menyamakan angkanya. Akan tetapi metode ini mengabaikan waktu yang dibutuhkan cahaya
dari jarum jam untuk merambat ke mata. Jika sebuah jam berada pada jarak 1 m dari arloji maka,
arloji tersebut akan terlambat sekitar 3 ns (3 x 10-9 s). Meskipun keterlambatan pada arloji sangat
kecil tapi bagi seorang fisikawan eksperimen itu merupakan hal yang serius, karena pengukuran
selang waktu yang lebih kecil dari 1 ns merupakan hal yang biasa.

Andaikanlah kita membuat sebuah piranti (device) mirip seperti pada gambar berikut:

Gambar 3.

Berdasarkan gambar di atas, ketika 𝑥 = 0 dan 𝑥 = 𝐿, masing-masing terletak sebuah jam,


sedangkan di 𝑥 = 𝐿/2 terletak sebuah bola lampu kamera. Kedua jam tersebut dibuat
sedemikian rupa sehingga baru berdetak bila jam tersebut menerima kilatan cahaya lampu
tersebut. Karena rambatan cahaya membutuhkan waktu yang sama untuk mencapai kedua jam
tersebut, maka keduanya akan mulai berdetak secara bersamaan pada saat 𝐿/2𝑐 setelah kilatan
cahaya dipancarkan. Jadi kedua jam tersebut benar-benar tersinkronkan.
Sekarang kita akan meninjau situasi yang sama ini dari sudut pandang pengamat yang
bergerak 𝑂′. Dalam kerangka auan O, terjadi dua peristiwa yaitu (1) penerimaan sinyal cahaya
oleh jam 1 di 𝑥1 = 0, 𝑡1 = 𝐿/2𝑐, dan oleh jam 2 di 𝑥2 = 𝐿, 𝑡2 = 𝐿/2𝑐. Dengan menggunakan
transformasi Lorentz, kita dapati bahwa O’ mengamati jam 1 menerima sinyal tersebut pada
saat

(𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥1 𝐿/2𝑐
𝑡′1 = 𝑡1 − =
2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐

Sedangkan jam 2 pada saat:

𝐿
(𝑢⁄𝑐 2 ) 𝑥2 (− 𝑢⁄𝑐 2 )𝐿
𝑡 ′
= 𝑡2 − = 2𝑐
2
2 2
√1 − 𝑢 ⁄ 2 √1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐 𝑐

Dari persamaan di atas diketahui bahwa 𝑡 ′ 2 lebih kecil daripada 𝑡 ′1 sehingga jam 2
tampak menerima sinyal lebih dulu daripada jam 1. Oleh karena itu, kedua jam tersebut
berdetak pada dua saat yang berbeda dengan selang waktu sebesar:

∆𝑡 ′ = 𝑡 ′1 − 𝑡 ′ 2

Sehinnga:


𝑢𝐿/𝑐 2 Persamaan (5)
∆𝑡 =
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

Berdasarkan persamaan di atas kita memperoleh kesimpulan bahwa dua peristiwa yang
terjadi serempak dalam satu kerangka acuan tidaklah serempak dalam kerangka acuan lain yang
bergerak relative terhadap yang pertama, kecuali jika kedua peristiwa itu terjadi pada tempat
yang sama. Dalam contoh seperti yang tadi, yaitu ketika 𝐿 = 0, sehingga kedua jam terletak pda
titik yang sama dalam ruang, maka keduanya akan sinkron dalam semua kerangka acuan. Jadi,
jam-jam yang sinkron dalam satu kerangka acuan tidaklah perlu tetap sinkron dalam kerangka
acuan lain yang dalam keadaan gerak relatif.
Paradox Kembar

Kita tinjau dua orang saudara kembar yang bermukim di Bumi yang bernama Budi dan
Badu. Andaikanlah salah-satunya, yaitu Budi, tetap berdiam di Bumi, sedangkan suadara
kembarnya yang bernama Badu, melakukan perjalanan antariksa dengan sebuah pesawat roket
menuju sebuah planet jauh. Budi, yang memahami teori relativitas khusus, mengetahui bahwa
jam saudara kembarnya akan berjalan lambat relative terhadap jam miliknya. Karena itu, Badu
akan lebih muda daripadanya ketika ia tiba di Bumi. Ini tidak lain adalah apa yang tersirat dari
bahasan kita tentang efek pemuluran waktu. Namun, dengan mengingat kembali bahasan tadi,
kita ketahui bahwa bagi dua pengamat yang bergerak relative, masing-masing akan berpendapat
bahwa jam sudara kembarnya yang berjalan lambat.

Permasalahan ini juga dapat kita tinjau dari sudut pandang Badu, yang berpendapat bahwa
Budi dan Bumilah (bersama dengan system tata surya dan galaksi) yang melakukan perjalanan
pulang-pergi menjauhinya dan kemudian kembali lagi. Dalam keadaan seperti itu, Badu akan
berpendapat bahwa jam suadara kembarnya (yang sekarang bergerak relative terhadapnya) yang
berjalan lambat, sehingga bagi Badu saudara kembarnya Budi yang lebih muda daripadanya
ketika mereka bertemu kembali.

Dari dua permsalahan di atas, timbul ketidaksepahaman tentang jam siapakah yang
berjalan lambat terhadap jam milik masing-masing saudar kembar ini, namun ini hanyalah
masalah pemilihan kerangka acuan.

Latihan
Si kembar A melakukan perjalanan pulang pergi dengan kelajuan 0,6c ke suatu bintang yang
beerjarak 12 tahun cahaya, sedangkan si kembar B tinggal di bumi. Masing-masing mengirimkan
sinyal setiap satu tahun menurut perhitungannya masing-masing. (a) berapa banyak sinyal yang
dikirim A selama perjalanan? Berapa banyak yang dikirim B? (b) berapa banyak sinyal yang
diterima A? Berapa banyak yang diterima B?
G. Dinamika Relativistik
Kita telah melihat bagaimana kedua postulat Einstein menuntun kita kepada suatu
penafsiran “relatif” baru terhadap konsep-konsep mutlak yang dianut sebelumnya seperti
panjang dan waktu. Juga darinya kita berkesimpulan bahwa konsep klasik tentang laju relative
tidak lagi benar. Dengan demikian, cukup beralasan bagi kita untuk menanyakan sejauh
manakah revolusi konsep ini mengubah tafsiran kita terhadap berbagai konsep fisika. Oleh
karena itu, kita akan membahas ulang besaran-besaran dinamika seperti massa, energy,
momentum dan gaya. Agar kita dapat mengkajinya dari sudut pandang teory relativitas khusus.
Apakah hubungan yang lazim kita kenal , seperti 𝑝 = 𝑚𝑣, 𝐾 = 1⁄2𝑚𝑣 2 , 𝐹 = 𝑚𝑎 atau lebih
tepat 𝐹 = 𝑑𝑝⁄𝑑𝑡 tetap berlaku, ataukah harus mempunyai konsep baru lagi untuk besaran
dinamika ini?
Bagaimana halnya dengan hukum-hukum kekekalan dasar dari fisika klasik, seperti
kekekalan energy dan kekekalan momentum linear? Kedua hukum kekekalan ini bersama
dengan hukum kekekalan momentum sudut dapat diperlihatkan akibat dari kehomogenan dan
keisotropian alam semesta. Kita akan beranggapan bahwa alam semesta ini memiliki semacam
struktur yang sangat serasi, dan bahwa hukum-hukum kekekalan ini tetap berlaku, namun
dengan catatan bahwa relativitas khusus mungkin menghendaki suatu pendefinisian ulang
terhadap besaran-besaran dinamika dasar.
Andaikan jika dikenakan suatu gaya 𝐹 pada sebuah benda bermassa 𝑚 yang memeiliki
percepatan 𝑎 = 𝐹 ⁄𝑚. Jika gaya tersebut kemudian dikenakan selang suatu yang cukup lama,
maka dinamika klasik meramalkan bahwa partikelnya akan terus betambah lajunya hingga
melampaui laju cahaya. Tetapi diketahui bahwa transformasi Lorentz memberikan hasil yang
tidak bermakna bila 𝑢 ≥ 𝑐. Jadi, diperlukan himpunan hukum dinamika baru yang mencegah
benda mengalamai percepatan sehingga melaju melampaui laju cahaya.

Relativitas Massa
Sekarang mari kita tinjau dua buah partikel A dan B bertumbukan elastic/lenting masing-
masing berada pada system koordinat S dan S’, seperti pada gambar:
Gambar 4.

Sebelum tumbukan, partikel A dalam keaadaan diam tehadap kerangka S dan partikel B
terhadap S’. Pada saat yang sama A dilemparkan dalam arah +y dengan kelajuan 𝑉𝐴 , sedangkan
B dalam arah –y dengan kelajuan '𝑉′𝐵 dengan

𝑉𝐴 = 𝑉′𝐵

Jadi kelakuan A sama seperti terlihat dari S sama benar dengan kelakuan B seperti terlihat
dari S’. Ketika kedua partikel bertumbukan, A memantul dalam arah –y dengan kelajuan 𝑉𝐴
sedangkan B memantul ke arah +y dengan kelajuan 𝑉′𝐵 . Jika partikel tersebut dilemparkan dari
kedudukan yang berjarak y, pengamat di S menemukan bahwa tumbukannya terjadi pada

1
𝑦= 𝛾
2

Dan pengamat pada S’ menemukan tumbukannya terjadi pada

1
𝑦′ = 𝛾
2

Waktu pulang pergi To untuk A diukur dari kerangka S menjadi

𝛾
𝑇𝑜 =
𝑉𝐴

Dan untuk B oleh kerangka S’ adalah


𝛾
𝑇𝑜 =
𝑉𝐵

Tumbukan yang terjadi adalah kekal dalam kerangka S, maka berlaku

𝑚𝐴 𝑉𝐴 = 𝑚𝐵 𝑉𝐵

Dalam kerangka acuan S, 𝑉𝐵 didapat dari

𝛾
𝑉𝐵 =
𝑇

T = waktu yang diperlukan B untmuk melakukan pulang-pergi diukur dari S. Dalam S’


perjalanan b memerlukan waktu 𝑇𝑜 dengan

𝑇𝑜
𝑇=
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

𝛾
Dengan melakukan subsitusi persamaan 𝑉𝐵 = , maka:
𝑇

𝛾
𝑉𝐵 =
𝑇

𝛾
𝑉𝐵 =
𝑇𝑜
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

Dan

𝛾
𝑉𝐴 =
𝑇𝑜

Sehingga:

𝑚𝐴 𝑉𝐴 = 𝑚𝐵 𝑉𝐵
𝛾 𝛾
𝑚𝐴 = 𝑚𝐵
𝑇𝑜 𝑇𝑜
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐

2
𝑚𝐴 = 𝑚𝐵 √1 − 𝑢 ⁄𝑐 2

Dalam kerangka acuan S, dimana 𝑚𝐴 = 𝑚𝑜 dan 𝑚𝐵 = 𝑚 sehingga persamaan di

atas menjadi

𝑚𝑜 Persamaan (6)
𝑚=
2
√1 − 𝑢 ⁄ 2
𝑐
𝑚0 disebut massa diam dan ia diukur terhadap kerangka acuan yang terhadap benda diam.
Dalam kerangka acuan lainnya, massa relativistic 𝑚 akan lebih besar daripada 𝑚0 . (perhatikan
bagaimana konsep ini mengatasi masalah tentang objek yang mencapai atau melampaui laju
cahaya atau ketika laju objek mendekati laju cahaya, massanya menjadi lebih besar, sehingga
gaya yang bekerja menjadi kurang efektif untuk menghasilkan percepatan . pada saatnya menjadi
tak hingga, maka tidak ada lagi percepatan yang dhasilkan oleh suatu gaya, dengan demikian
maka tidak akan pernah dapat mencapai atau melampaui laju cahaya.

Relativitas Momentum
Marilah tinjau persoalan berikut yang telah dipelajari dengan menggunakan dinamika
Newton. Andaikan dua massa identik saling mendekati, masing-masing denga laju 𝑣. Setelah
bertumbukkan, diperoleh sebuah massa 2𝑚 dalam keadaan diam. Inilah gambaran menurut
pengamat 𝑂 seperti yang ditunjukkan oleh gambar berikut:
Gambar

Kita beralih ke kerangka acuan yang bergerak dengan laju 𝑣 ke kanan. Menurut
mekanika klasik, massa 1 akan tampak diam sedangkan massa 2 akan tampak mendekati dengan
laju 2𝑣. Tetapi transformasi Lorentz ternyata memberikan hasil yang berbeda. Misalnya 𝑂′
bergerak kekanan dengan laju 𝑢 = 𝑣, maka menurut 𝑂′ kecepatan massa 1 adalah:

𝑣1 − 𝑢
𝑣 ′1 =
1 − 𝑣1 𝑢⁄𝑐 2

𝑣−𝑣
𝑣 ′1 =
1 − 𝑣1 𝑢⁄𝑐 2

𝑣 ′1 = 0

Karena semua kecepatan searah sumbu x, maka abaikan indeks bawah 𝑥, dan kecepatan
massa 2 adalah (dengan 𝑣2 = −𝑣 menurut 𝑂).

𝑣2 − 𝑣
𝑣′2 =
1 − 𝑣1 𝑢⁄𝑐 2

(−𝑣) − 𝑣
𝑣′2 =
1 − (−𝑣) 𝑣⁄𝑐 2

−2𝑣
𝑣 ′2 =
1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Kecepatan massa gabungan 2𝑚 adalah

𝑉−𝑢
𝑉′ =
1 − 𝑉𝑢

0−𝑢
𝑉′ =
1 − 0 𝑢 ⁄𝑐 2

0−𝑣
𝑉′ =
1 − 0 𝑣⁄𝑐 2

𝑉 ′ = −𝑣
Berikui ini adalah ilustrasi percobaan tersebut sebagaimana dilihat oleh 𝑂′

Menurut 𝑂, momentum linear sebelum dan setelah tumbukkan adalah

𝑝𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚1 𝑣1 + 𝑚2 𝑣2

𝑝𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚𝑣 + 𝑚(−𝑣)

𝑝𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = (2𝑚)(𝑉)

𝑝𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 0

Menurut 𝑂′:

𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚1 𝑣 ′1 + 𝑚2 𝑣 ′ 2

−2𝑣
𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚1 (0) + 𝑚2
1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

−2𝑚𝑣
𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 =
1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 2𝑚𝑉 ′

𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 2𝑚(−𝑣)

𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = −2𝑚𝑣

Karena menurut pengukuran 𝑂′, 𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 ≠ 𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 , maka bagi 𝑂′ momentum linear tidak
kekal.

Mari periksa bagaimana definisi massa relativistic denga mempertahankan kekekalan


momentum dalam kerangka acuan 𝑂 dan 𝑂′. Nyatakan massa yang diukur oleh 𝑂 dengan 𝑚1 , 𝑚2
dan 𝑀 (massa gabungan) dan 𝑂′ dengan 𝑚′1 , 𝑚′ 2 dan 𝑀′. Anggaplah kedua objek ini memiliki
massa diam 𝑚0 yang sama. Maka menurut 𝑂, kedua massa itu adalah:

𝑚0 𝑚0
𝑚1 = dan 𝑚2 =
√1−𝑣 2 ⁄𝑐 2 √1−𝑣 2 ⁄𝑐 2
Karena 𝑣1 = 𝑣2 = 𝑣, juga

𝑀 = 𝑚1 + 𝑚2

𝑚0 𝑚0
𝑀= +
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2 √1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

2𝑚0
𝑀=
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Karena massa gabungan ini diam dalam kerangka acuan 𝑂, maka massa 𝑀 adalah massa
diamnya, yang selanjutnya dinayatakan dengan 𝑀0 . Menurut 𝑂′, 𝑚′1 diam, jadi 𝑚′1 = 𝑚0 .
Karena 𝑚′ 2 bergerak denga laju 𝑣 ′ 2 = −2𝑣⁄1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2 , maka

𝑚0
𝑚′ 2 =
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

𝑚0
𝑚′ 2 =
2
√1 − ( −2𝑣
) ⁄𝑐 2
1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

𝑚0
𝑚′ 2 =
2
√1 − 12 ( −2𝑣 )
𝑐 1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2
𝑚 ′ 2 = 𝑚0 ( )
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Massa gabungan 𝑀′ bergerak dengan laju 𝑉 ′ = −𝑣, jadi:

𝑀0
𝑀′ =
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Jika kita substitusikan hasil yang mita peroleh bagi 𝑀0 , yaitu:

2𝑚0
𝑀0 =
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2
2𝑚0
𝑀′ =
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Tampak bahwa definisi massa yang baru ii berhasil mempertahankan kekekalan momentum
menurut 𝑂, karena 𝑝𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚1 𝑣1 + 𝑚2 𝑣2 tetap sama dengan nol, seperti 𝑝𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 . Selanjutnya
mari periksa pernyataan momentum awal dan akhir dalam kerangka acuan 𝑂′

𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚′1 𝑣 ′1 + 𝑚′ 2 𝑣 ′ 2


1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2 −2𝑣
𝑝 𝑎𝑤𝑎𝑙
= 𝑚0 (0) + 𝑚0 ( ) ( )
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2 1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2 −2𝑣
𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚0 ( 2 2
)( )
1 − 𝑣 ⁄𝑐 1 + 𝑣 2 ⁄𝑐 2

−2𝑣
𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑚0 ( )
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

−2𝑚0 𝑣
𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 =
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Dan

𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = 𝑀′ 𝑉 ′

2𝑚0
𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 = (−𝑣)
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

−2𝑚0 𝑣
𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 =
1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Karena 𝑝′ 𝑎𝑤𝑎𝑙 = 𝑝′ 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 maka definisi tentang massa relativistic telah memungkinkan
untuk mempertahankan berlakunya kekekalan momentum dalam kedua kerangka acuan.

Selanjutnya mendefinisikan ulang momentum relativistic sebagai berikut.

𝑚0 𝑣 Persamaan (6)
𝑝=
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2
Relativitas Energi Kinetik

Kita dapat memperoleh ekspresi relativistik untuk energi kinetik suatu partikel
menggunakan prosedur dasar yang biasa digunakan untuk menurunkan ekspresi klasik, dimulai
dengan bentuk partikel dari teorema energi-kerja. Untuk energy kinetic dalam fisika klasik
didefinisikan sebagai usaha sebuah gaya luar yang mengubah laju suatu objek. Definsi yang
sama tetap kita pertahankan berlaku pula dalam mekanika relativistik. Perubahan energy kinetik
∆𝐾 = 𝐾𝑓 − 𝐾𝑖 adalah

∆𝐾 = 𝑊 = ∫ 𝐹 𝑑𝑥

Jika benda bergerak dari keadaan diam, 𝐾𝑖 = 0, maka energy kinetic akhir 𝐾 adalah

∆𝐾 = ∫ 𝐹 𝑑𝑥

𝑑𝑝
∆𝐾 = ∫ 𝑑𝑥
𝑑𝑡

𝑑𝑥
∆𝐾 = ∫ 𝑑𝑝
𝑑𝑡

∆𝐾 = ∫ 𝑣 𝑑𝑝

Dengan

𝑑 (𝑝𝑣) = 𝑣 𝑑𝑝 + 𝑝 𝑑𝑣

Maka

𝑣=𝑣
𝐾 = 𝑝𝑣 − ∫ 𝑝 𝑑𝑣
𝑣=0

𝑣=𝑣
𝑚0 𝑣 𝑚0 𝑣
𝐾= 𝑣−∫ 𝑑𝑣
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2 𝑣=0 √1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2
𝑚0 𝑣 2
𝐾= 𝑣 + 𝑚0 𝑐 2 √1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2 − 𝑚0 𝑐 2
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2

Sehingga energy kinetic relativitasnya adalah:

𝐾 = 𝛾𝑚𝑐 2 − 𝑚𝑐 2 Persamaan (7)

Relativitas Energi Total dan Energi Diam

Besar energy kinetik yang partikel diam adalah

𝐸0 = 𝑚0 𝑐 2

Jika partikel bergerak, maka besar energy total relativitasnya adalah

𝐸 = 𝐸0 + 𝐾

𝐸 = 𝑚0 𝑐 2 + 𝐾

𝐸 = 𝑚0 𝑐 2 + 𝛾𝑚𝑐 2 − 𝑚0 𝑐 2

𝐸 = 𝛾𝑚𝑐 2 Persamaan (8)

Contoh
Carilah energy total, energy kinetic dan momentum sebuah proton (𝑚0 𝑐 2 =
938 𝑀𝑒𝑉) yang bergerak dengan laju 𝑣⁄𝑐 = 0,800?
Penyelesaian:
Energy total kita dapati dari persamaan:

𝐸 = 𝛾𝑚𝑐 2
𝑚0 𝑐 2
𝐸=
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2
938 𝑀𝑒𝑉
𝐸=
√1 − (0,8)2
938 𝑀𝑒𝑉
𝐸=
√1 − 0,64
938 𝑀𝑒𝑉
𝐸=
√0,36
938 𝑀𝑒𝑉
𝐸=
0,6
𝐸 = 1563 𝑀𝑒𝑉
Dan energy kinetic relativistic, diperoleh dari persamaan:

𝐸 = 𝑚0 𝑐 2 + 𝐾
𝐾 = 𝐸 − 𝑚0 𝑐 2
𝐾 = 1563 𝑀𝑒𝑉 − 938 𝑀𝑒𝑉
𝐾 = 625 𝑀𝑒𝑉
Momentum dapat dicari , menggunakan persamaan:
𝑚0 𝑐 2 = 938 𝑀𝑒𝑉
938 𝑀𝑒𝑉
𝑚0 =
𝑐2
(938 × 106 𝑒𝑉)(1,6 × 10−19 𝐽/𝑒𝑉)
𝑚0 =
(3 × 108 𝑚⁄𝑠)2
(938 × 106 𝑒𝑉)(1,6 × 10−19 𝐽/𝑒𝑉)
𝑚0 =
9 × 108 𝑚2 ⁄𝑠 2
𝑚0 = 1,67 × 10−27 𝑘𝑔
Sehingga, momentumnya adalah:
𝑚0 𝑣
𝑝=
√1 − 𝑣 2 ⁄𝑐 2
1,67 × 10−27 𝑘𝑔𝑥(0,8𝑐)
𝑝=
√1 − (0,8𝑐)2 ⁄𝑐 2

1,336 𝑘𝑔𝑐
𝑝=
0,6
𝑝 = 2,27𝑐 𝑘𝑔

Anda mungkin juga menyukai