Anda di halaman 1dari 118

Optika

Tim Dosen Optika

Departemen Fisika
Fakultas Sains
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
SURABAYA

i
ii
Optika
Tim Dosen Optika

Departemen Fisika
Fakultas Sains
Institut Teknologi Sepuluh Nopember
SURABAYA

iii
Optika
Edisi Kesatu

ISBN: ..........

Penulis: Tim Dosen Optika, FSains-ITS

Editor:
Dr. Gatut Yudoyono
Nurrisma Puspitasari, M.Si.

Desain sampul dan Tata letak:


Dr. Gatut Yudoyono

Penerbit:
Departemen Fisika, FSains-ITS Surabaya

Redaksi:
Departemen Fisika, Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111
Telp./Fax: (031) 5943351
Email: fisika@its.ac.id

Cetakan pertama, Maret 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa ijin tertulis
dari penerbit.

iv
Pengantar

Buku ini disusun berdasarkan diktat ”Optika” yang telah dipergunakan sebagai acuan dalam
matakuliah ”Optika” yang diselenggarakan di Departemen Fisika, Fakultas Sains-ITS. Maksud
disusunnya buku ini untuk membantu mahasiswa sains dan teknik dalam mengikuti
perkuliahan di perguruan tinggi selain sebagai bacaan bagi masyarakat umum dalam
memahami pengertian-pengertian umum terkait dengan topik optik. Dalam buku ini dibahas
tentang kajian materi dasar tentang optik yaitu propagasi cahaya, superposisi sebagai dasar
dalam pembahasan tentang interferensi dan difraksi, fenomena polarisasi cahaya baik dari
kajian cahaya terpolarisasi maupun fenomena yang menyebabkan cahaya terpolarisasi,
koherensi sebagai karakteristik cahaya laser, dan tentang laser dan holografi.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyajian materi dalam buku ini, oleh
sebab itu kami penulis membuka jalan seluas-luasnya bagi saran dan kritik dari sidang pembaca
dan pemerhati optik untuk kelengkapan buku ini.

Semoga keberadaan buku ini membawa manfaat yang optimal bagi pembaca dan pemerhati
optik.

Surabaya, Januari 2019


Penulis

v
Daftar Isi
Pengantar a2antar.
Daftar isi

BAB 1 Propagasi Cahaya


1.1 Cahaya (1)
1.2 Hukum Pemantulan dan Pembiasan (4)
1.2.1 Prinsip Huygens (4)
1.2.2 Prinsip Fermat (7)
1.3 Pendekatan Medan Elektromagnetik (10)
1.3.1 Pemantulan dan Pembiasan pada bidang batas (10)
1.3.2 Persamaan Fresnel (12)
1.3.3 Reflekstansi dan Transmitansi (18)
1.4 Relasi Stokes (20)
Soal Latihan (21)
BAB 2 Superposisi
2.1 Jumlah Gelombang dengan Frekuensi Sama (23)
2.1.1 Metoda Aljabar (23)
2.1.2 Metoda Kompleks (27)
2.1.3 Phasor (28)
2.2 Jumlah Gelombang dengan Frekuensi Berbeda (29)
2.2.1 Layangan (29)
2.2.2 Kecepatan Grup (30)
2.2.3 Gelombang Periodik Tak Harmonik dengan Analisis Fourier (31)
Soal Latihan (34)
BAB 3 Polarisasi
3.1 Polarisasi Cahaya (35)
3.2 Pembentukan Cahaya Terpolarisasi (42)
3.2.1 Polarisator Linier (42)
3.2.2 Polarisasi oleh Refleksi (45)
3.2.3 Bias Rangkap (49)
3.3 Retardasi dan Keping gelombang (53)
3.4 Aktivitas Optik (58)
3.5 Tinjauan Matematis Cahaya terpolarisasi (61)
3.5.1 Parameter Stokes (61)
3.5.2 Vektor Jones (63)
3.5.3 Matriks Jones dan Mueller (63)
Soal Latihan (65)
vi
BAB 4 Koherensi
4.1 Fungsi Koherensi (68)
4.2 Visibilitas (69)
4.3 Koherensi Ruang dan Waktu (73)
BAB 5 Interferensi
5.1 Interferensi Dua Gelombang Monokromatik (80)
5.2 Interferensi Pembagian Muka Gelombang (84)
5.3 Interferensi Pembagian Amplitudo Gelombang (88)
5.3.1 Interferensi Berkas Ganda pada Keping Dielektrik (89)
5.3.2 Interferometer Michelson (95)
5.4 Interferensi Berkas Jamak (102)
5.5 Interferometer Fabry-Perot (106)
Soal Latihan (108)
BAB 6 Difraksi
6.1 Teori Difraksi Kirchoff (112)
6.2 Difraksi Fraunhofer (115)
6.3 Difraksi Fresnel (134)
Penurunan difraksi Fraunhofer dan Fresnel dengan teori difraksi Fresnel-
Kirchoff (140)
Soal Latihan (143)
BAB 7 Laser dan Holografi
7.1 Laser (145)
7.1.1 Sistem Laser (145)
7.1.2 Karakteristik Keluaran Laser (147)
7.1.3 Tipe Laser (149)
7.1.4 Aplikasi Laser (153)
7.2 Holografi (155)
7.2.1 Prinsip Holografi (155)
7.2.2 Syarat-syarat perekaman holografi (157)

Referensi/pustaka
Lampiran

vii
viii
Bab 1: Propagasi Cahaya | 1

Propagasi
Bab 1
Cahaya
1.1 Cahaya
Sampai pertengahan abad ke-17, umumnya dipercaya bahwa cahaya merupakan aliran
zarah (corpuscle). Zarah yang dimaksud dipancarkan oleh sumber cahaya, seperti matahari
atau nyala lilin, dan merambat keluar dari sumber cahaya dengan lintasan lurus. Cahaya
dapat menembus bahan bening/ transparan, dan akan dipantulkan oleh permukaan bahan
tak bening (opaque). Ketika zarah mengenai mata, akan merangsang syaraf-syaraf
penglihatan, sedemikian hingga mata dapat melihat. Teori corpuscular yang menyatakan
bahwa cahaya terdiri atas zarah-zarah yang merambat dalam lintasan lurus, dapat dengan
mudah menerangkan fenomena pantulan cahaya yang mengenai permukaan halus seperti
cermin, misalnya tentang kesamaan nilai sudut pantul dan sudut datang. Demikian pula
dengan hukum pembiasan / refraksi yang berlaku untuk perambatan cahaya yang
menembus bidang batas dua medium yang berbeda indeks bias, seperti pembiasan
sewaktu cahaya merambat dari udara menembus air atau dari udara masuk ke dalam kaca.
Pada pertengahan abad ke-17, Christian Huygens (1629-1695) pada tahun 1678
menunjukkan bahwa hukum pemantulan dan pembiasan dapat dijelaskan dengan teori
gelombang. Teori gelombang Huygens ini juga dapat menerangkan fenomena optis yang
terjadi dalam bahan kristal, yang disebut dengan bias rangkap (double re-fractions). Tetapi
teori gelombang ini kurang dapat diterima oleh sebagian ilmuwan saat itu, terutama
karena teori ini belum dapat menerangkan fenomena difraksi yang telah dikemukakan
sebelumnya oleh Grimaldi (1665) seperti halnya teori corpuscular.
Teori gelombang yang dikemukakan Huygens mulai dapat diterima setelah tahun 1801,
Thomas Young (1773-1829) dan tahun 1814, Augustin Jean Fresnel (1788-1829)
melakukan eksperimen tentang fenomena interferensi, serta Leon Foucault mempu
mengukur cepat rambat cahaya dalam cairan. Fenomena-fenomena optik ini tidak dapat
diterangkan dengan teori corpuscular yang menganggap cahaya sebagai partikel (zarah),
tetapi dapat dijelaskan bila cahaya dianggap sebagai gelombang seperti yang dikemukakan
dalam teori gelombang Huygens.
2 | Optika

Teori cahaya yang telah dikemukakan sebelumnya, mengalami kemajuan yang cukup
berarti setelah James Clerk Maxwell (1831-1879) pada tahun 1873 menunjukkan bahwa
osilasi medan listrik meradiasikan gelombang elektromagnetik. Kecepatan perambatan
gelombang yang dihitung dengan pengukuran medan listrik dan medan magnet diperoleh
nilai yang sama dengan cepat rambat cahaya dalam ruang hampa yakni 3x108 m/s. Pada
saat itu Maxwell menyatakan bahwa gelombang elektromagne-tik terdiri atas spektrum
infra merah, cahaya tampak (visible) dan spektrum ultraviolet. Delapan tahun setelah
Maxwell meninggal, eksperimen Heinrich Hertz mendapatkan gelombang dengan panjang
gelombang pendek yang memiliki sifat seperti sifat cahaya, yaitu dapat terpantul terbias,
terfokuskan oleh lensa, bahkan terpolarisasi. Dengan demikian rentang spektrum
gelombang elektromagnetik semakin lebar. Gambar 1.1 menunjukkan spektrum
gelombang elektromagnetik tersebut, mulai dari frekuensi radio hingga sinar gamma.

Gambar 1.1 Spektrum Gelombang Elektromagnetik.

Berikut keterangan singkat tentang sifat-sifat spektrum Gelombang Elektro-Magnetik


berdasar pada Gambar 1.1.

1. Gelombang Frekuensi Radio


Delapan tahun setelah Maxwell meninggal tepatnya tahun 1887, Heinrich Rudolf Hertz
(1857-1898) sukses membangkitkan dan mendeteksi gelom-bang elektromagnetik
lainnya yang termasuk dalam rentang spektrum frekuensi radio. Gelom-bang
elektromagnetik frekuensi radio ini mempu-nyai rentang panjang gelombang dari
beberapa kilometer hingga 0,3 meter atau pada frekuensi beberapa hertz hing-ga 109
Hz. Aplikasi gelombang ini banyak digunakan dalam bidang penyiaran (broadcasting) TV
dan radio.
Bab 1: Propagasi Cahaya | 3

2. Gelombang Mikro
Gelombang mikro mempunyai rentang panjang gelombang antara 30 cm hingga 1mm
atau frekuensi antara 109 Hz hingga 3x1011 Hz. Gelombang jenis ini mampu
menembus atmosfer bumi khususnya yang mempunyai panjang gelombang antara 1cm
hingga 30 cm, sehingga digunakan sebagai gelombang pembawa dalam komunikasi
(radio astronomi).

3. Inframerah (IR = Infra Red)


Spektrum IR yang mempunyai rentang panjang gelombang antara 1 mm hingga 780
nm, pertama kali dideteksi oleh astronom Sir William Herschel (1738 – 1822) tahun
1800. Spektrum IR seringkali dibagi menjadi 4 daerah, yakni Near IR yang dekat dengan
spektrum cahaya tampak dengan rentang panjang gelombang 780-3.000 nm,
Intermediate IR dengan rentang panjang gelombang 3.000-6.000 nm, Far IR dengan
rentang panjang gelombang 6.000-15.000 nm, Extreme IR dengan rentang panjang
gelombang antara 15.000 nm – 1 mm. Kadang-kadang spektrum infra merah hanya
dibagi menjadi dua daerah saja, yaitu daerah near IR dan far IR.

4. Cahaya Tampak (Visible Light)


Cahaya tampak merupakan bagian dari spektrum gelombang elektro-magnetik yang
mempunyai rentang paling sempit, yakni dari panjang gelombang 390 nm hingga 780
nm. Spektrum ini umumnya dipancarkan oleh transisi elektron terluar dalam atom
atau molekul. Spektrum cahaya tampak dapat direspon dengan baik oleh mata, yang
dinyatakan dalam istilah warna-warna, seperti ditunjukkan Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Panjang gelombang dan Frekuensi warna-warna


Warna o (nm)  (THz)
Merah 780 - 622 384 – 482
Orange 622 - 597 482 – 503
Kuning 597 - 577 503 – 520
Hijau 577 – 492 520 – 610
Biru 492 – 455 610 – 659
Violet 455 - 390 659 -769

5. Ultraviolet (UV)
Spektrum ultraviolet yang mempunyai rentang frekuensi (8 x1014-3 x1017 ) Hz,
ditemukan oleh Johann Wilhelm Ritter (1776 – 1810). Gelombang UV dari matahari
cukup mengionisasi atom-atom di atmosfer bagian atas dan membentuk lapisan
ionosfer. Gelombang ultraviolet tidak dapat dilihat oleh mata normal manusia karena
spektrum ini diserap oleh kornea mata, khususnya pada panjang gelombang yang
pendek, kecuali mata cacat lensa oleh sebab katarak yang dapat melihat spektrum
ultraviolet dengan panjang gelombang lebih besar dari 300 nm.
4 | Optika

6. Sinar-X
Sinar-X ditemukan pada tahun 1895 oleh Wilhelm Conrad Rontgen (1845 – 1923).
Spektrum ini mempunyai energi yang sangat tinggi (1,2x103 - 2,1x105) eV, dengan
frekuensi 2,4x1016 Hz hingga 5x1019 Hz. Panjang gelombang yang dipunyainya sangat
pendek lebih kecil dari ukuran suatu atom, sehingga cukup mampu untuk berinteraksi
dengan bahan.

7. Sinar 
Gelombang ini mempunyai energi paling besar (104 -1019 )eV, dengan panjang gelom-
bang yang paling pendek dari semua gelombang elektromagnetik. Sinar 
dipancarkan oleh partikel yang mengalami transisi dalam inti atomnya.

1.2 Hukum Pemantulan dan Pembiasan


Seberkas cahaya yang mengenai bidang batas dua medium transparan yang berbeda
indeks bias, maka sebagian cahaya akan dipantulkan dan sebagian yang lain akan
ditransmisikan dan dibiaskan ke dalam medium kedua. Ada tiga hukum dasar tentang
pemantulan dan pembiasan yang berbunyi
1. Sinar datang, sinar pantul, dan sinar bias membentuk satu bidang (yang disebut
dengan bidang datang atau bidang kejadian), yang arahnya tegak lurus terhadap
bidang batas kedua medium,
2. Sudut sinar terpantul (yang kemudian disebut dengan sudut pantul) nilainya sama
dengan sudut datang, dan dinyatakan secara matematis dengan 1 = 2. Hukum
kedua ini disebut juga dengan hukum refleksi.
3. Indeks bias medium pertama kali sinus sudut datang sama dengan indeks bias
medium ke-dua kali sinus sudut bias, n1 sin 1 = n2 sin 2, Pernyataan ini disebut
dengan hukum refleksi atau hukum Snell.

Ketiga hukum dasar ini dapat dijelaskan dengan beberapa macam cara, seperti dengan
prinsip Huygens, prinsip Fermat, atau Teori sinar. Pembahasan secara singkat tentang
pembuktian hukum pemantulan dan pembiasan dengan prinsip Huygens, prinsip Fermat,
dan menggunakan pendekatan gelombang elektromag netik dijelaskan pada bagian
berikut.

1.2.1 Prinsip Huygens


Prinsip Huygens yang dikemukakan oleh Christian Huygens (1629 – 1695) berbunyi :
Setiap titik pada muka gelombang primer bertindak sebagai sumber gelombang sferis
sekunder yang merambat dengan kecepatan dan frekuensi yang sama dengan
gelombang primer.
Bab 1: Propagasi Cahaya | 5

Gambar 1.2 Prinsip Huygens.

Penjelasan secara skematis dari prinsip Huygens diperlihatkan dalam Gambar 1.2.
Suatu sumber titik yang memancarkan gelombang sferis, pada satu muka gelombang titik-
titik yang ada padanya, akan bertindak sebagai sumber gelombang sferis sekunder yang
membentuk muka gelombang baru berfase sama dengan muka gelombang berikutnya.
Demikian seterus-nya titik-titik pada muka gelombang baru ini akan berfungsi sebagai
sumber gelombang baru bagi muka gelombang berikutnya.

Gambar 1.3 Skema pemantulan gelombang.

Penurunan hukum pemantulan dengan prinsip Huygens didasarkan pada Gambar 1.3.
Dari gambar tampak bahwa sinar yang melewati titik A akan terpantul pada titik A1 dan
melewati titik A2, demikian juga sinar yang melewati titik B dan C masing-masing terpantul
pada titik B2 dan C2. Pada saat cahaya lewat titik A1, pada bagian lain cahaya masih berada
di titik C1, dan ketika cahaya pantulan sampai di titik A2 sinar yang melewati jalur C
sampai di titik C2, sehingga A1A2 = C1C2 . Dari A1C1C2 didapatkan, sin i = (C1C2)/(A1C2)
sedangkan dari A1A2C2 diperoleh sin r = (A1A2)/(A1C2), sehingga dari perbandingan nilai
6 | Optika

sin  i C1C2
sinus kedua sudut ini didapatkan  , sin i = sin r,  i = r. Ini berarti
sin  r A1 A2
besarnya sudut pantul sama dengan sudut datang, yang dikenal dengan hukum refleksi.

Gambar 1.4 Skema Pembiasan Gelombang.

Sedangkan penurunan hukum pembiasan dengan prinsip Huygens didasarkan


Gambar 1.4. Jika pada penurunan hukum pemantulan didasarkan pada lintasan geometri
(karena kedua sinar merambat dalam medium yang sama sehingga kecepatan rambatnya
sama besar), maka pada penurunan hukum pembiasan cahaya didasarkan pada waktu
tempuh cahaya dalam medium. Tinjauan geometri penjalaran sinar pada Gambar 1.4
menunjukkan bahwa ketika sinar yang melewati lintasan A sampai di titik A1, sinar yang
melewati lintasan C baru sampai di titik C1. Selanjutnya ketika sinar yang melalui A
menembus medium kedua sampai di titik A2, sinar dalam lintasan C baru sampai di bidang
batas kedua medium yakni di C2. Waktu tempuh sinar sepanjang lintasan A1A2 di medium
kedua sama dengan waktu tempuh sinar yang melewati lintasan C1C2 dalam medium
pertama, dan dinyatakan dengan t A1 A2  tC1C 2 . Karena kecepatan rambat cahaya pada

kedua medium berbeda, maka didapatkan t A 1 A 2  t C1C 2


A1A 2 C1C 2 C1C 2 v i n t
 ;  
vt v i A1 A 2 v t n i
CC
Dari segitiga A1C1C2 diperoleh sin i  1 2 , dan dari segitiga A1C1C2 diperoleh
A1C2
A1A 2
sin t  , sehingga didapatkan
A1C2
sin i C1C 2 n t
  ni sin i = nt sin t
sin t A1A 2 n i
Persamaan di atas merupakan hukum refraksi atau hukum Snell.
Bab 1: Propagasi Cahaya | 7

1.2.2 Prinsip Fermat


Jauh sebelum Fermat menyatakan prinsipnya, Hero dari Alexandria yang diperkirakan
hidup pada rentang waktu 150 sebelum masehi sampai 250 setelah masehi telah
mengemukakan Prinsip Variasional yang merupakan hukum refleksi, yaitu:
Cahaya yang menjalar dari suatu titik S menuju titik P melalui permukaan
pemantul akan melewati lintasan yang terpendek.

Gambar 1.5. Beberapa kemungkinan jalannya cahaya yang terpantul permukaan datar.

Tinjau Gambar 1.5, sumber cahaya titik S memancarkan gelombang elektromagnetik


berupa gelombang sferis ke segala arah, dan akan diamati di titik P setelah melalui media
pemantul. Diantara sumber cahaya S dan titik pengamatan ditempatkan sebuah
penghalang yang akan menghalangi berkas cahaya merambat langsung dari sumber S
ke titik P, sehingga berkas yang teramati di titik P merupakan cahaya pantul. Banyak
kemungkinan lintasan yang dapat dilalui berkas cahaya merambat dari S ke P, mungkin
menjalar dan terpantul di titik A, B, C, D atau pada titik lainnya yang berada di permukaan
media pemantul. Tetapi menurut prinsip Variasional, hanya cahaya yang menjalar dengan
lintasan terpendek saja yang p lintasan terpendek, karena garis penghubung sumber
bayangan ke titik pengamatan P merupakan garis lurus dibandingkan dengan lintasan yang
lain.
Prinsip Fermat dikemukakan oleh Piere de Fermat (1601 – 1665) pada tahun 1658
yang kemudian disebut dengan prinsip waktu terpendek, berbunyi
Cahaya ,menjalar dari satu titik ke titik lainnya akan melalui lintasan yang
memerlukan waktu terpendek (panjang lintasan optik terpendek)

Prinsip ini lebih lengkap dibandingkan prinsip variasional yang dikemukakan Hero, karena
selain berlaku untuk penjalaran cahaya pada medium yang sama (seperti pada
pemantulan), juga dapat digunakan untuk menurunkan rumusan dan menjelaskan
penjalaran cahaya yang melalui medium dengan indeks bias yang berbeda.
8 | Optika

Pada kasus pertama tentang hukum pemantulan dan pembiasan, bahwa sinar datang,
sinar pantul dan sinar bias membentuk satu bidang dapat dijelaskan dengan merujuk pada
Gambar 1.6.

Gambar 1.6. Pemantulan berkas cahaya pada bidang datar.

Seberkas cahaya yang terpancar dari sumber cahaya di titik A dan akan diamati di titik
pengamatan pada B Berkas cahaya yang sampai ke titik B hanya berasal dari pemantulan
melalui media pemantul M yang sangat rata dan datar. Beberapa lintasan yang mungkin
terjadi, dan pada gambar hanya ditunjuk-kan dua kemungkinan saja, padahal masih
banyak kemungkinan-kemungkinan yang lain. Dari dua kemungkinan yang digam-barkan,
maka lintasan yang melalui titik D adalah lintasan yang mempunyai waktu tempuh
terpendek. Karena sinar datang dan sinar pantul berada dalam medium yang sama, maka
lintasan dengan waktu tempuh terpendek pasti merupakan lintasan yang secera tinjauan
geometri juga terpendek.
Sinar datang dan sinar pantul ini membentuk satu bidang dengan arah yang tegak
lurus bidang M. Dengan cara yang sama dapat dilajutkan untuk sinar terbias yang menjalar
melalui media yang berbeda secara optik (yakni mempunyai indeks bias yang berbeda)
akan terbentuk pula bidang sejenis yang tegak lurus bidang pantul atau bidang batas dua
medium.
Hukum refleksi dan refraksi dapat pula diturunkan dengan prinsip Fermat. Berikut ini
akan dibahas pembuktian hukum refraksi berdasarkan prinsip Fermat, sedangkan untuk
hukum refleksi dapat dilihat pada latihan soal. Berkas cahaya terpancarkan dari sumber
titik S yang berada dalam medium berindeks bias nI dan akan diamati di titik P yang berada
pada medium yang lain dengan indeks bias nt . Posisi sumber cahaya terhadap bidang
batas dua medium berjarak h sedangkan titik pengamatan P berjarak b dari bidang batas.
Beberapa kemungkinan lintasan yang dapat dilalui sinar dalam penjalarannya dari sumber
ke pengamat ditunjukkan Gambar 1.7. Salah satu kemungkinan itu adalah, bila sinar
menjalar melalui titik O yang berjarak x terhadap titik proyeksi sumber cahaya terhadap
bidang batas, dan berjarak (a-x) terhadap titik pengamatan P. Menurut prinsip Fermat,
berkas cahaya akan merambat melalui lintasan yang memerlukan waktu tempuh paling
sedikit. Misal waktu tempuh cahaya pada medium pertama adalah tI, dan waktu tempuh
Bab 1: Propagasi Cahaya | 9

dalam medium kedua adalah tt, maka waktu tempuh cahaya yang menjalar dari sumber S
ke titik pengamatan P adalah t = ti + tt. Oleh karena waktu tempuh adalah jarak tempuh
geometri dibagi dengan kecepatan rambat cahaya dalam medium itu, maka
SO OP
t 
vi vt
(1.1)
h2  x2 b 2  (a  x ) 2
 
vi vt

Gambar 1.7 Penjalaran sinar terbias (Prinsip Fermat).

Tampak dari Persamaan (1.1) bahwa waktu tempuh merupakan fungsi variabel x, dan nilai
x optimal adalah nilai x yang memenuhi harga nol dari hasil turunan pertama persamaan
waktu tempuh tersebut terhadap x.
dt x  (a  x ) dt
Dalam hal ini,   dan dari hasil  0 , didapatkan
dx v
i h2  x2 vt b 2  (a  x ) 2 dx
x (a  x )

2 2
vi h x vt b 2  (a  x ) 2
Sedangkan dari gambar tampak bahwa
x (a  x )
sin i  ; sin t 
h  x2
2
b  (a  x ) 2
2

sin  i sin  t c
Dengan demikian  , n
vi vt v
ni sin  i  n t sin  t
10 | Optika

Pada kasus di atas, berkas cahaya hanya menjalar melalui dua medium yang berbeda.
Dengan prinsip yang sama dapat pula diturunkan persamaan untuk penjalaran melalui
sejumlah medium dengan indeks bias yang berbeda. Bila berkas cahaya menembus bahan
berlapis dengan indeks bias berbeda, maka waktu tempuh yang dibutuhkan oleh cahaya
untuk merambat dari satu titik ke titik lainnya yang berada pada medium lapis ke m
merupakan jumlah waktu pada tiap-tiap lapisan, sehingga

S1 S 2 S3
t  t1  t2  t3  t4      
v1 v2 v3
m
(1.2)
S 1
  i   ni Si
i 1 vi c

dengan  n i Si  panjang lintasan optik (Optical Path Length/ OPL)

Besarnya panjang lintasan optik bila berkas cahaya merambat melalui sejumlah
medium yang berbeda indeks biasnya, bergantung pada struktur lapisannya. Untuk
struktur lapisan diskrit, panjang lintasan optik dinyatakan dengan

OPL   n i Si (1.3)

Sedangkan untuk struktur lapisan kontinyu dituliskan berupa integral


P
OPL   n (s) ds
S
(1.4)

Dari ketiga persamaan di atas, tampak bahwa panjang lintasan optik merupakan panjang
geometri dikalikan dengan indeks bias medium yang dilaluinya.

1.3 Pendekatan Elektromagnetik


1.3.1 Pemantulan dan Pembiasan Pada Bidang Batas
Seberkas cahaya merambat dalam medium pertama dan mengenai bidang batas antara
medium pertama dan kedua, maka sebagian cahaya dipantulkan dan sebagian yang lain
dibiaskan. Bila gelombang datang dinyatakan dengan

Ei  Eoi cos(k i .r  i t )

maka gelombang bias dan pantul masing-masing dapat dinyatakan sebagai

E r  Eor cos(k r .r  r t ) ; E t  Eot cos(k t .r  t t )

Secara skematis, proses pemantulan dan pembiasan untuk kondisi indeks bias medium
pertama (n1) lebih renggang dibanding indeks bias medium kedua (n2), atau n1 < n2
Bab 1: Propagasi Cahaya | 11

ditunjukkan dalam Gambar 1.8. Proses pemantulan pada kondisi seperti ini dikenal dengan
sebutan refleksi eksternal, dan mematuhi hukum Snell karena didapatkan bahwa sudut
bias selalu mendekati garis normal, dengan kata lain sudut biasnya selalu lebih kecil bila
dibandingkan dengan sudut datangnya.

Gambar 1.8 Pemantulan dan pembiasan pada dua medium yang berbeda.

Tinjauan dari sifat gelombang yang terpantul dan terbias dengan


mempertimbangkan syarat batas antara dua medium, berlaku bahwa komponen
tangensial total medan listrik E pada medium pertama harus sama dengan medan listrik
pada medium kedua, dalam hal ini

Ûn  Ei  Ûn  Er  Ûn  Et

Uˆ n  Eoi cos(ki  r  i t )  Uˆ n  Eor cos(kr  r  r t ) (1.5)

 Uˆ  E cos(k  r   t )
n ot t t

Hal ini berlaku untuk sembarang waktu dan posisi, sehingga Ei , Er , dan Et merupakan
suatu fungsi dengan variasi posisi r dan waktu t yang sama.
Bila dianggap bahwa pada bidang batas kedua medium amplitudo ketiga gelombang
besarnya sama, maka berlaku
ki  r  k r  r  kt  r
sehingga ketiga bilangan gelombang k arah tangensial selalu tegak lurus arah normal,
U n  ki  U n  k r  U n  kt  1
Perbandingan gelombang datang dan terpantul diperoleh
U n  ( ki  k r )  0
ki sin  i  kr sin  r , k i  kr
i   r
Sedangkan untuk gelombang datang dengan gelombang terbias dinyatakan dengan
12 | Optika

U n  ( ki  kt )  0
 
k i sin  i  k t sin  t , k   n
v c
n i sin  i  n t sin  t
Dari keduanya didapatkan rumusan tentang hukum pemantulan dan pembiasan.

1.3.2 Persamaan Fresnel


Persamaan Fresnel menyatakan tentang perbandingan amplitudo gelombang terpantul
dan terbias terhadap amplitudo gelombang datang, yang dikenal dengan koefisien
amplitudo refleksi dan koefisien amplitudo transmisi. Karena arah getar medan listrik pada
gelombang cahaya meru-pakan besaran vektor, maka vektor medan listrik gelombang
cahaya dapat diuraikan menjadi dua vektor yang saling tegak lurus yaitu arah getar medan
listrik yang sejajar bidang datang dan yang tegak lurus bidang datang. Dari kenyataan ini
akan diperoleh empat Persamaan Fresnel yang berhubungan dengan koefisien amplitudo
refleksi dan transmisi baik untuk gelombang dengan arah getar medan listrik sejajar
maupun gelombang yang arah medan listriknya tegak lurus bidang datang.

Gambar 1.9 Gelombang datang dengan arah medan listrik tegak lurus bidang.

Pada kasus pertama, untuk medan listrik tegak lurus bidang datang dan medan
magnet sejajar bidang datang (karena arah getar medan magnet selalu tegak lurus arah
getar medan listrik), arah medan terpantul dan terbiasnya ditunjukkan Gambar 1.9. Pada
bidang batas, berlaku bahwa komponen tangensial total medan listrik di medium satu
sama dengan komponen medan pada medium kedua,dan berdasarkan Gambar 1.9
diperoleh komponen medan listrik dan medan magnet sebesar

Eoi  Eor  Eot


(1.6)
 Hi cos i  Hr cos r  Ht cos t
Bab 1: Propagasi Cahaya | 13

dan i = r, vi = vr serta i  r , maka


B E
Oleh karena H  , B
 v
Ei  E r Et
cos i  cos t
i vi t vt

ni
E i  E r cos  i  n t E t cos  t (1.7)
i t

Substitusi Persamaan (1.6) ke dalam Persamaan (1.7) dengan anggapan bahwa mediumnya
berupa bahan dielektrik ( dengan i   t ), maka koefisien amplitudo refleksi dan
koefisien amplitudo transmisi berturut-turut didapatkan

E r ni cos  i n t cos  t
r   (1.8)
E i ni cos  i n t cos  t

dan

Et 2 n1 cos i
t   (1.9)
Ei n1cos i  n 2 cos t
Dan dengan menggunakan bantuan hukum Snell, maka Persamaan (1.8) dan Persamaan
(1.9) dapat dituliskan menjadi
sin(i   t ) 2 n1 cos  i
r  dan t 
sin(i   t ) sin(  i   t )

Persamaan (1.8), dan Persamaan(1.9) berturut-turut adalah koefisien amplitudo refleksi


dan transmisi untuk medan listrik tegak lurus bidang datang.

Gambar 1.10 Gelombang datang dengan arah medan listrik sejajar bidang

Sedangkan untuk kasus kedua, dengan medan listrik sejajar bidang datang dan medan
listrik yang tegak lurus bidang datang, arah medan terpantul dan terbiasnya ditunjukkan
dalam Gambar 1.10. Perumusan untuk mendapatkan koefisien amplitudo refleksi dan
14 | Optika

transmisi untuk medan listrik yang sejajar dengan bidang datang dilakukan dengan cara
yang sepadan dengan untuk medan yang tegak lurus bidang datang, hasilnya adalah

n t cos  i n i cos  t tan(  i   t )


r//   (1.10)
n t cos  i n i cos  t tan(  i   t )
dan

2n1 cos i
t // 
n1 cos  t  n 2 cosi
(1.11)
2 sin  t cos i

sin( i  t ) cos(i   t )
Persamaan (1.8), (1.9), (1.10), (1.11) dikenal sebagai persamaan Fresnel tentang koefisien
amplitudo.
Pada proses pemantulan dan pembiasan, bila indeks bias medium pertama lebih
besar dibanding indeks bias medium ke-dua (n2 < n1 , berkebalikan kondisi di atas), maka
sinar yang terbias akan selalu menjauhi garis normal (sudut bias selalu lebih besar
dibanding sudut datang), dan fenomena pemantulannya disebut dengan refleksi internal.
Dengan memvariasi sudut datang dari 0o hingga 90o akan diperoleh dua macam sudut
istimewa, yakni sudut polarisasi dan sudut kritis. Pada saat sudut datang sama dengan
sudut polarisasi (i = p = /2 - t ), maka mengacu pada persamaan Fresnel didapatkan
bahwa r// = 0, yang berarti bahwa berkas cahaya yang dipantulkan menjadi berkas
terpolarisasi linier dengan arah medan tegak lurus bidang datang. Sedangkan sudut kritis
terjadi bila sudut bias berkas cahaya yang ditransmisikan adalah t = /2 rad, yang berarti
bahwa bila sudut datang sama dengan sudut kritis maka tidak ada berkas cahaya yang
ditransmisikan/diteruskan. Sudut kritis hanya terjadi pada pembiasan sinar yang datang
dari medium yang lebih rapat menuju medium yang lebih renggang. Besarnya sudut kritis
sebagai fungsi indeks bias kedua medium didapatkan dari hukum pembiasan Snell yaitu t
= /2, sehingga didapatkan

 n2 
 i   c  sin 1   (1.12)
 n1 

Bila sudut datang lebih besar atau sama dengan sudut kritis (i > c) akan terjadi
pemantulan dalam total (TIR = total internal reflection), yaitu semua berkas akan
dipantulkan (hal ini berlaku untuk medium tanpa absorbsi) dan tidak ada bagian yang
ditransmisikan ke dalam medium kedua. Sudut kritis hanya didapatkan bila indeks bias
medium pertama lebih besar dibanding medium kedua, namun demikian sudut polarisasi
dapat terjadi untuk kedua kondisi baik n2 < n1 maupun n2 > n1 ).
Bab 1: Propagasi Cahaya | 15

Gambar 1.11 Koefisien Amplitudo refleksi dan transmisi (Eksternal).

Nilai koefisien amplitudo refleksi dan transmisi bervariasi sebagai fungsi sudut datang
berkas cahaya. Bila nilai koefisien amplitudo diplot terhadap sudut datang, maka pada
istimewa tertentu (sudut polarisasi dan sudut kritis) nilai koefisien amplitudo refleksi r//
sama dengan nol (kurvanya memotong absis di  p ). Untuk refleksi eksternal hal ini
ditunjukkan Gambar 1.11 yang diplot dengan menggunakan nti = 1,5, sedangkan untuk
refleksi internal ditunjukkan dalam Gambar 1.12 dengan nti = 1/1,5.

Gambar 1.12 Koefisien Amplitudo refleksi dan transmisi (Internal)

Koefisien amplitudo (khusus nya refleksi) dapat bernilai negatif, yang berarti telah
terjadi pergeseran fase gelombang terpantul sebesar 180o ( rad) terhadap gelombang
datang. Tampak pada Gambar 1.11 bahwa gelombang terpantul dengan arah medan listrik
tegak lurus fasenya bergeser  rad untuk semua sudut datang, sedangkan untuk
gelombang terpantul medan tegak lurus akan mengalami pergeseran fase  rad hanya bila
16 | Optika

sudut datangnya lebih besar dari sudut polarisasi. Gambar 1.13.(a) menunjukkan
pergeseran fase terhadap sudut datang untuk refleksi eksternal, dan Gambar 1.13(b) dan
Gambar 1.13(c) masing-masing menggambarkan arah medan gelombang terpantul dan
terbias untuk sudut datang lebih kecil dari sudut polarisasi (i < p) dan untuk ( i > p).

(a)

(b)

(c)
Gambar 1.13.(a) Pergeseran fase refleksi eksternal, (b) Arah medan untuk (i < p), (c ) Arah
medan untuk (i > p).

Pergeseran fase sebesar  rad hanya dialami oleh gelombang terpantul dengan
arah medan yang sejajar bidang untuk sudut datang yang lebih kecil dari sudut polarisasi,
dan variasi koefisien amplitudonya berlangsung hanya pada sudut yang lebih kecil dari
sudut kritis. Sudut datang yang lebih besar dari sudut kritis akan menyebabkan koefisien
amplitudo refleksi untuk arah getar medan listrik sejajar dan tegak lurus bidang datang
berharga imaginer. Rumusan tentang ini dapat ditelurusi dari nilai cos t yang merupakan
salah satu argumen r dalam Persamaan (1.8) dan r// Persamaan (1.10). Dengan
menggunakan hubungan dalam rumus Snell yaitu sin t  n1 sin  i , maka nilai cos t
n2
tersebut dapat dituliskan sebagai
Bab 1: Propagasi Cahaya | 17

cos t  1  sin 2  t
2 (1.13)
n 
 1   1  sin 2  i
 n2 
n2
Bila sudut datang lebih besar dari sudut kritis (i > c ) maka nilai sin i > , sehingga nilai
n1
cos t menjadi imaginer. Karena itu pernulisan cos t yang tepat untuk maksud ini adalah
dalam bentuk bilangan kompleks, yaitu
2
 n1 
cos t  iB( i   c ), B    sin 2  i  1 (1.14)
 n2 
Dengan demikian, maka koefisien amplitudo refleksi dengan arah getar medan listrik tegak
lurus bidang datang dalam Persamaan (1.8) dapat dituliskan menjadi

A  iB n1
r  A cos i (1.15)
A  iB n2
dengan

B
Bila didefinisikan tan   , maka Persamaan (1.15) bila dituliskan dalam bentuk yang
A
lebih umum, yaitu

exp(i )
r   exp(i 2 ) (1.16)
exp( i )

Dari Persamaan (1.16) tampak bahwa 2 merupakan pergeseran phase untuk gelombang
terpantul dengan arah getar medan listrik tegak lurus terhadap bidang datang, atau sering
kali disebut dengan moda TE. Dengan mensubtitusi besaran A dan B, diperoleh bahwa
pergeseran phase gelombang terpantul dengan arah getar medan listrik tegak lurus
mematuhi hubungan

2
n  n2 
n2 ( 1 ) 2 sin 2  i  1 sin 2  i  
n 
 (1.17)
n2  1 
tan   
n1 cos  i cos  i

Sedangkan pergeseran fase () untuk gelombang terpantul dengan arah getar medan listrik
sejajar bidang datang (moda TM) dapat dicari dengan cara yang sepadan, yaitu diturunkan
dari Persamaan (1.10). Hubungan pergeseran fase antara gelombang terpantul arah getar
medan listrik sejajar dan yang tegak lurus bidang datang didapatkan sebagai

tan  = (n1 / n2)2 tan  (1.18)


18 | Optika

Bentuk grafik pergeseran fase untuk refleksi internal dapat dilihat pada Gambar 1.14, yang
digambarkan dari Persamaan (1.17) dan (1.18). Gambar (a) merupakan beda fase untuk
medan listrik sejajar bidang yang besarnya  radian untuk sudut datang lebih kecil dari
sudut kritis, dan bervariasi setelah lebih besar dari sudut kritis. Gambar (b) untuk medan
listrik tegak lurus bidang datang, sedangkan Gambar (c) merupakan beda fase antara
medan yang sejajar bidang dengan yang tegak lurus bidang datang.

(b)
(a)

Gambar 1.14 Pergeseran fase pada refleksi


internal

(c)

1.3.3 Reflekstansi dan Transmitansi


Salah satu sifat penting dari cahaya atau gelombang elektromagnetik adalah sebagai
pembawa energi. Gelombang elektromagnetik merambatkan energi dengan rapat energi
medan listrik U E dan rapat energi medan magnet U B
 
UE  o E 2 , UB  o B2
2 2
Rapat energi total adalah U yang besarnya ditetapkan sebagai U = UE + UB, dan dari
hubungan E =  B serta E = B didapatkan

B2
E  o E 2  (1.19)
o
Bab 1: Propagasi Cahaya | 19

Besarnya energi persatuan waktu yang menembus suatu luasan yang normalnya tegak
lurus terhadap S dinyatakan dengan suatu besaran yang disebut vektor Poynting,

S  c 2 o E  B
Rapat fluks radian atau irradians atau intensitasnya merupakan nilai rata-rata dari vektor
Poynting
co 2
I S  Eo (1.20)
2
Perbandingan fluks normal cahaya terpantul terhadap cahaya datang disebut
dengan reflekstansi. Bila berkas cahaya datang menembus permukaan seluas A dengan
sudut datang i maka besarnya fluks normal berkas datang, terpantul dan terbias
dinyatakan dengan (Ii A cos i ) , (Ir A cos r ), (It A cos t ). Reflekstansinya dapat
dituliskan berupa
2
I cos r I E 
R r  r   or   r 2 (1.21)
I i cos i Ii  Eoi 
Demikian pula untuk transmitansi yang didefinisikan sebagai perbandingan fluks normal
cahaya terbias terhadap cahaya datang dan dengan cara yang sama diperoleh

2
I cos t n cos t  E ot 
T t  t  
Ii cos i n i cos i  E oi  (1.22)
 n cos t  2
T   t  t
 n i cos i 
Dari hukum kekekalan energi yang berlaku pada bidang batas kedua medium, didapatkan
bahwa energi persatuan waktu persatuan luasan A sebesar
Ii A cos i  Ir A cos r  I t A cos t
Dengan mengalikan kedua suku persamaan di atas dan memanipulasinya akan didapatkan
2 2
E  n cos  t  E ot 
1   or   t  
 oi 
E n i cos i  oi 
E
yang selanjutnya disederhanakan menjadi R + T = 1. Hubungan ini berlaku baik untuk arah
medan yang sejajar maupun yang tegak lurus terhadap bidang datang

R //  T//  1 , R   T  1
dengan

R //  r//2 , R   r2
 n cos t  2  n cos t  2
T//   t t // , dan T   t t 
 ni cos i   ni cos i 
20 | Optika

1.4 Relasi Stokes


Fenomena refleksi dan transmisi dapat terjadi pada dua arah berkas datang, baik dari
medium satu kedua atau sebaliknya. Hubungan keduanya telah dikembangkan oleh Sir
George Gabriel Stokes (1819 – 1903). Seberkas cahaya datang dengan amplitudo gelom-
bang Eoi mengenai permukaan batas dua medium, maka akan terjadi fenomena
pemantulan dan pembiasan dengan amplitudo (Eor = Eoi r ) untuk cahaya terpantul, dan (Eor
= Eoi t ) untuk cahaya terbias, dengan r dan t adalah koefisien amplitudo refleksi dan
transmisi, seperti ditunjukkan Gambar 1.15.(a). Dari kebalikan prinsip Fermat didapatkan
Gambar (b) yang merupakan kebalikan dari Gambar (a). Tetapi dari fenomena yang terjadi,
seperti ditunjukkan G (c), bila cahaya datang dengan amplitudo (Eoi r) maka amplitudo
gelombang yang terpantul (Eoi r r) dan yang terbias (Eoi r t). Sedangkan dengan amplitudo
cahaya datang sebesar (Eoi t), maka amplitudo gelombang terpantul (Eoi t. r’) dan yang
terbias (Eoi t. t’), dengan r’ dan t’ adalah koefisien amplitudo refleksi dan transmisi bila
berkas menjalar dari medium dua ke medium pertama.
Perbandingan Gambar 1.15.(b) dan (c) dengan menganggap bahwa keduanya identik,
akan diperoleh
E oi .r  r  E oi t  t '  E oi
(1.23)
E oi .r  t  E oi t  r '  0
sehingga
t t'  1  r 2
(1.24)
r   r'
Persamaan (1.24) di atas disebut dengan relasi Stokes tentang refleksi dan transmisi.

(a) (b)

Gambar 1.15 Gambaran relasi Stokes


tentang refleksi dan transmisi

(c)
Bab 1: Propagasi Cahaya | 21

SOAL LATIHAN

1. Cahaya datang pada medium berindeks bias 1,682 dari udara. Tentukan sudut
Brewster/ sudut polarisasi!
2. Hitunglah sudut kritis dan sudut Brewster untuk medium air (n = 1,33) dan glass flinta
(n = 1,75) bila cahaya merambat dalam medium dan mengenai bidang batas dengan
udara.
3. Buktikan hukum refleksi dengan prinsip Fermat!
4. Buktikan dengan syarat batas dua medium dan persamaan Fresnel bahwa t// + r// = 1,
untuk sinar jatuh normal terhadap bidang batas.
5. Dengan persamaan Fresnel buktikan bahwa bila (i = 90o - t ) maka cahaya yang
terpantul terpolarisasi. Dan tentukan sudut polarisasi bila berkas cahaya merambat
dari glas ( n = 1,5) ke dalam air !
6. Tentukan koefisien amplitudo refleksi untuk cahaya yang datang dengan sudut 30o
pada bidang batas udara-glass ni= 1 dan nt=1,5. Tuliskan juga vektor Stokes dan Jones
untuk cahaya yang terefleksi.
7. Cermin yang digunakan pada optika X-ray didasarkan pada fenomena refleksi total.
Indeks bias vakum untuk X-ray 0,15 nm adalah 1, sedangkan untuk medium perak n =
0,99998. Tentukan sudut untuk pemantulan total.
8. Seberkas cahaya mengenai permukaan glas paralel yang mempunyai indeks bias 1,523
dengan sudut datang 70o.
a) Berapa bagian cahaya yang dipantulkan
b) Pada berkas cahaya yang terpantul, berapa perbandingan komponen medan listrik
yang tegak lurus terhadap bidang datang terhadap konponen medan listrik yang
sejajar bidang datang.
9. Suatu tangki yang terisi iar pada permukaan terlapisi lapisan minyak (n = 1,48) setebal
1 cm dan di atasnya berupa udara. Bila berkas cahaya merambat dari air dan
mengenai lapisan minyak, pada sudut datang berapa cahaya harus dijatuhkan
sehingga tidak ada cahaya yang keluar dari lapisan minyak ke medium udara. (Bila
berkas cahaya merambat dari udara, pada sudut datang berapa cahaya harus
dijatuhkan sehingga tidak ada cahaya yang menembus air.)
10. Suatu kontainer glass berindeks bias 1,65 berisi karbon tetrakloride yang berindeks
bias 1,48. Bila berkas cahaya datang scr normal terhadap kontainer, maka berapa
banyak cahaya yang ditransmisikan melalui kontainer?
11. Seberkas cahaya terpolarisasi linier sejajar bidang datang, mengenai bidang batas
glass- udara ni= 1,5 dan nt=1. Tentukan koefisien amplitudo refleksi dan pergeseran
fasenya bila berkas cahaya datang dengan sudut datang a). 30o, b).45o, c). 60o
22 | Optika
Bab 2: Superposisi | 23

Bab 2 Superposisi

Fenomena polarisasi, interferensi, dan difraksi cahaya yang merupakan dasar dari optika
fisis, dapat terjadi karena proses yang sama, yaitu penggabungan dua atau lebih
gelombang cahaya dalam ruang. Proses yang mendasari ketiga fenomena dimaksud
disebut dengan superposisi. Prinsip superposisi pertama kali dikemukakan oleh Thomas
Young pada tahun 1802, yang menyatakan bahwa resultan gangguan (gelombang) di
suatu titik karena adanya dua atau lebih gelombang yang saling berinteraksi,
merupakan jumlahan aljabar dari masing-masing gelombang. Pada bab ini akan dibahas
tinjauan matematis dari penggabungan dua atau lebih gelombang, baik yang mempunyai
frekuensi sama maupun berbeda.

2.1 Penjumlahan Gelombang dengan Frekuensi Sama


Bila dua atau lebih gelombang berfrekuensi sama mengalami superposisi, gelombang
resultan yang dihasilkan dapat ditentukan dengan beberapa cara. Misalnya dengan
metoda aljabar, metoda bilangan kompleks dan metode phasor, dan ketiganya akan
dibahas secara singkat pada sub bab ini.

2.1.1 Metoda aljabar


Tinjau superposisi dua buah gelombang berfrekuensi sama yang menjalar sepanjang
sumbu X. Bila persamaan perambatan masing-masing gelombang dinyatakan sebagai
E1 (x,t) = E01 sin (t + 1 )
(2.1)
E2 (x,t) = E02 sin (t + 2 )

dengan  (x, ) =  (kx + ) , dan dalam hal ini x adalah arah perambatan gelombang, serta
 merupakan phase awal gelombang, maka superposisi linier kedua gelombang dapat
dituliskan sebagai,
24 | Optika

E  E1  E2
 Eo1 sin  t cos1  cos t sin 1   Eo 2 sin  t cos 2  cos t sin  2 
 Eo1 cos1  Eo 2 cos 2 sin  t  Eo1 sin 1  Eo 2 sin  2  cos t
Tetapi biasanya dituliskan sebagai

E  Eo cos sin  t  Eo sin  cos t (2.2)

dengan E0 cos  = E01 cos 1 + E02 cos 2, dan E0 sin  = E01 sin 1 + E02 sin 2.
Oleh karena nilai E0 dan  adalah konstan, maka Persamaan (2.2) dapat ditulis dalam
persamaan matematis yang sederhana, yaitu

E  Eo sin  t    (2.3)

Dalam hal ini E 0 dan  masing-masing mematuhi hubungan

Eo2  Eo21  Eo22  2 E01 E02 cos 2  1  (2.4)

dan

E 01 sin 1 E 02 sin  2
tan  (2.5)
E 01 cos1 E 02 cos 2

Tampak bahwa gelombang resultan hasil superposisi mempunyai frekuensi yang sama
dengan frekuensi gelombang pembentuknya, hanya nilai phasenya saja yang berbeda.
Besarnya fase gelombang resultan sangat dipengaruhi oleh amplitudo dan fase gelombang
individu yang bersuperposisi. Suku ke-tiga ruas kanan dalam Persamaan (2.4) yakni 2 E01
E02 cos (2 - 1) disebut dengan suku interferensi gelombang resultan hasil superposisi.

Contoh 2.1
Tentukan resultan hasil superposisi dua gelombang yang merambat sejajar E1 (x,t) = E01 sin
(t + 1) , E2 (x,t) = E02 sin (t + 2 ) bila  = 120, E01 = 6, E02 = 8, 1 = 0, 2 = /2.

Penyelesaian:
Dengan menggunakan Persamaan (2.4) dan (2.5) diperoleh
E0 = E01 + E0 2 + 2 E01 E02 cos (2 - 1 ), 2 - 1 = 2 - 1
2 2 2

= 36 + 64 + 2.6.8 cos (/2)


= 100
E0 = 10

6 sin 0  8 sin
2 8
tan      53,1o  0,93 radian
 6
6 cos 0  8 cos
2
Bab 2: Superposisi | 25

Untuk kasus dengan kedua gelombang yang bersuperposisi beramplitudo sama


besarnya, E01 = E02 = E0 tetapi berbeda fase sebesar  = (2 - 1), maka akan dihasilkan
dua keadaan khusus Pertama, bila beda phase kedua gelombang merupakan kelipatan
phase satu gelombang ( = 0,  2,  4,....), maka diperoleh amplitudo hasil superposisi
maksimum. Kedua, bila beda phase kedua gelombang merupakan kelipatan phase
setengah gelombang ( =  ,  3 , ....), maka akan diperoleh amplitudo minimum.
Sebagai ilustrasi, Gambar 2.1 memperlihatkan hasil superposisi dua gelombang E1,
dan E2 dengan amplitudo berbeda baik yang sefase maupun yang berbeda fase 180o. Hasil
superposisi dua gelombang yang sephase ditunjukkan oleh Gambar 2.1.a, sedangkan
untuk yang berbeda phase 1800 ditunjukkan dalam Gambar 2.1.b. Jika amplitudo kedua
gelombang sama besar, maka amplitudo gelombang resultan hasil superposisi pada
Gambar 2.1.a) adalah mencapai nilai maksimum, sedangkan untuk Gambar 2.1.b)
mencapai nilai minimum (nol).

(a) (b)
Gambar 2.1 Superposisi dua gelombang dengan frekuensi sama.

Proses superposisi yang ditunjukkan Gambar 2.1 adalah superposisi antara dua
gelombang yang merambat pada lintasan yang sama. Bila kedua gelombang yang
bersuperposisi di suatu titik menjalar dengan lintasan yang berbeda, yaitu x1 dan x2,
masing-masing berfase awal 1 dan 2, maka perbedaaan fase di titik pengamatan
disebabkan oleh perbedaan panjang lintasan kedua gelombang. Dengan demikian besar
beda fase tersebut dapat dituliskan sebagai

   2  1
 (kx 1   1 )  (kx 2   2 )
(2.6)
2
 ( x 1  x 2 )  ( 1   2 )

Bila phase awal kedua gelombang besarnya sama (1 = 2), maka beda phase kedua
gelombang setelah merambat sejauh x1 dan x2 adalah
26 | Optika

2
  ( x1  x 2 )

(2.7)
2 n
 ( x1  x 2 )
0
dengan n = 0 /  (indeks bias medium), 0 = panjang gelombang di udara, dan  =
panjang gelombang di medium. Perkalian indeks bias medium dengan beda lintasan
geometri n.(x1- x2) disebut beda lintasan optik (OPD = optical path difference), dan
dilambangkan dengan  (lambda). Dua gelombang yang beda phase awalnya selalu
konstan (1 - 2 = C) dinamakan dengan gelombang koheren.
Proses superposisi mungkin terjadi pada lebih dari dua gelombang berfrekuensi sama.
Bila persamaan gelombang dari gelombang individu yang mengalami superposisi
dinyatakan sebagai

Ei = E0i cos (i  t)


maka hasil superposisi dari N buah gelombang adalah
N
E  E 0i cos( i  t )
(2.8)
i1

 E 0 cos(  t )
dengan :
N N N
E 20   E 20i  2
i0
E
j 1 i  1
0i E 0 j cos ( i   j ) (2.9)

dan
N

E 0i sin  i
tan   i 1
N
(2.10)
E
i 1
0i cos  i

Dari Persamaan (2.8) tampak bahwa superposisi sejumlah harmonik koheren dengan
frekuensi dan arah perambatan yang sama, akan menghasilkan gelombang harmonik
dengan frekuensi yang sama pula. Gambar 2.2 menunjukkan superposisi tiga gelombang
harmonik koheren,dengan beda fase yang relatif kecil, hasil superposisinya juga berupa
gelombang harmonik.
Bab 2: Superposisi | 27

Gambar 2.2 Superposisi Tiga Gelombang Harmonik.

2.1.2 Metoda kompleks


Gelombang yang bersuperposisi tidak hanya terbatas pada gelombang berbentuk
sinusoidal, bentuk lainpun tetap dapat disuperposisikan. Persamaan resultan hasil
superposisi gelombang-gelombang sinusoidal dengan frekuensi berbeda adalah dalam
bentuk bilangan kompleks. Dengan demikian secara umum persamaan gelombang hasil
superposisi dapat dinyatakan dalam bentuk bilangan kompleks. Suatu persamaan
gelombang sinusoidal

E1 = E01 cos (kx  t + 1 ) = E01 cos (1  t)


bila dituliskan dalam bentuk bilangan kompleks menjadi

E1  E 01 ei (    t ) (2.11)

Sejumlah N buah gelombang berfrekuensi sama yang merambat ke arah sumbu X positif
dan bersuper-posisi di suatu titik, gelombang resultannya adalah berbentuk

 N  it
  E0 j e j
i( t ) i
E  E0 e e (2.12)
 j 1 
dengan
N

E
i
E 0 ei   0j e j
(2.13)
j 1

Persamaan (2.13) disebut amplitudo kompleks suatu gelombang.


28 | Optika

Bentuk bilangan kompleks sangat bermanfaat bila gelombang yang bersuperposisi


berasal dari sumber cahaya putih (polikromatik), yakni superposisi gelombang-gelombang
dengan frekuensi berbeda. Walaupun demikian metode ini berlaku pula untuk gelombang
dengan frekuensi sama.

Contoh 2.2
Gunakanlah bentruk kompleks untuk menentukan resultan E = E 1 + E2 bila E1 = E1 cos (kx
+ t) , E2 = - E0 cos (kx - t)

Penyelesaian:
E1  E o ei ( kx  t ) , E 2   E o ei ( kx  t )
E  E1  E 2  E o (ei ( kx  t )  E o ei ( kx  t ) )

 E o .eikx eit  e it 
 E o .eikx 2 i sin t
 E o 2i cos kx sin t - 2 sin kx cos t 
Resultannya adalah bagian riil dari persamaan di atas, sehingga
E  - 2E o sin kx sin t

2.1.3 Phasor
Pada metoda phasor, gelombang dinyatakan dalam besaran amplitudo dan phase.
Resultan gelombang dari gelombang yang bersuperposisi dapat ditentukan dengan cara
menjumlahkan amplitudo-amplitudo gelombang secara vektor. Gelombang-gelombang
yang akan disuperposisikan masing-masing dinyatakan dalam amplitudo dan phasenya,
yaitu
E1  E 01 sin( t  1 )  E 01 e i ( 1 t )
 E 01 1
E 2  E 02 sin( t   2 )  E 02 e i (  2 t )
dan
 E 02  2
Resultan gelombang hasil superposisinya dituliskan sebagai

E  E 0 sin(t  )  E 0 e i (   t )
(2.14)
 E 0 

dengan nilai Eo dan seperti ditunjukkan oleh Persamaan (2.9) dan Persamaan (2.10).
Bab 2: Superposisi | 29

(b)
(a)
Gambar 2.3 Penjumlahan phasor.

Pada Gambar 2.3(a), masing-masing gelombang E1 dan E2 dinyatakan sebagai besaran


amplitudo E01 dan E02 yang besarnya ditunjukkan dengan panjang garis, sedangkan dan
phase awal gelombang dinyatakan sebagai besaran sudut  dan  Phase gelombang
resultan ditunjukkan oleh sudut t yang dihitung dari sumbu datar (sebagai acuan) ke arah
kanan. Sedangkan Gambar 2.3(b), menunjukkan hasil penjumlahan kedua gelombang
dalam bentuk phasor. Hasil superposisi dinyatakan dengan amplitudo Eo dan phase
gelombang 

2.2 Penjumlahan Gelombang dengan Frekuensi Berbeda


Uraian di atas hanya membahas superposisi gelombang yang mempunyai frekuensi
yang sama. Pada bagian ini dibahas superposisi gelombang gelombang dengan frekuensi
berbeda.

2.2.1 Layangan
Superposisi dari dua gelombang dengan frekuensi yang berbeda sedikit (perbedaan
frekuensi yang cukup kecil) menghasilkan bentuk gelombang baru yang disebut layangan.
Misalkan masing-masing gelombang dinyatakan dengan persamaan

E1 = E01 cos (k1 x - 1 t) dan E2 = E02 cos (k2 x - 2 t)


saling bersuperposisi, maka resultan gelombangnya dinyatakan sebagai
E = E01 { cos (k1 x - 1 t ) + cos (k2 x - 2 t )}
= 2 E01 cos 1/2 {(k1 + k2)x - (1 + 2 )t} cos 1/2 {(k1 - k2 ) x - (1 - 2) t}
𝐸 = 2 𝐸01 cos 𝑘𝑚 𝑥 − 𝜔𝑚 cos 𝑘𝑥 − 𝜔𝑡 (2.15)
30 | Optika

dengan   1 (1   2 ) , frekuensi anguler rata-rata


2
1
 m  (1   2 ) , frekuensi modulasi
2
1
k  ( k1  k 2 ) , bilangan gelombang rata-rata
2
1
km  (k1  k2 ) , bilangan gelombang modulasi
2
Persamaan (2.15) dapat ditulis dalam bentuk yang lebih sederhana, yaitu
𝐸(𝑥, 𝑡) = 𝐸0 (𝑥, 𝑡) cos 𝑘𝑥 − 𝜔𝑡 (2.16)

dengan E0 (x,t) = 2 E01 (x,t) cos (km x - m t). Bila beda frekuensi kedua gelombang sangat
kecil sehingga hampir mendekati sama (1  2), maka diperoleh frekuensi anguler rata-
rata jauh lebih besar dibanding frekuensi modulasi (  m ). Besarnya irrandians
(intensitas) hasil layangan untuk kondisi ini adalah
E02 (x,t) = 4 E012 cos2 (km x - m t) = 2 E012 {1 + cos 2 (km x - m t)}
dengan 2 m = (1 - 2 )  frekuensi layangan.

Peristiwa layangan pertama kali dikemukakan oleh Forrester, Gudmundsen,


Johnson tahun 1955. Untuk mendapatkan dua gelombang dengan perbedaan frekuensi
yang kecil digunakan efek Zeeman. Hasil superposisi dua gelombang dengan frekuensi
yang berbeda ditunjukkan pada Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Superposisi dua gelombang dengan frekuensi yang berbeda.

2.2.2 Kecepatan Grup


Suatu gelombang yang merambat sejajar sumbu X yang dinyatakan dengan persamaan
E (x,t) = E0 (x,t) cos ( kx   t ) , mempunyai kecepatan phase sebesar
Bab 2: Superposisi | 31

  
 t  x 
v ,  (k x   t )  (2.17)
   k
 x t
Bila dua gelombang E1 (x,t) , E2 (x,t) mempunyai kecepatan phase yang sama, tetapi
frekuensi dan panjang gelombangnya () berbeda, maka hasil superposisi kedua
gelombang mempunyai kecepatan phase yang sama, dengan amplitudo gelombang yang
bervariasi tetapi tetap periodik. Laju modulasi bentukan kedua gelombang disebut
kecepatan grup (vg ). Hasil layangan kedua gelombang adalah
E0 (x,t) = 2 E01 cos (km x - m t)
dengan kecepatan gugus (group) sebesar:

m  
vg   
km k k
dv
 vk (2.18)
dk
c kc dn
  2
n n dk
Kecepatan gugus dapat dituliskan pula sebagai
k dn
v g  v(1  )
n dk
dengan ng = c / vg  indeks bias gugus.

2.2.3 Gelombang Periodik Tak Harmonik dengan Analisa Fourier


Hasil superposisi dua gelombang sinus membentuk gelombang sinus pula, demikian pula
sebaliknya suatu gelombang sinus dapat diuraikan menjadi beberapa gelombang sinus
harmoniknya. Menurut teorema Fourier, suatu gelombang tidak sinus (periodik tapi
tidak harmonik), dapat diuraikan menjadi banyak gelombang sinus. Suatu gelombang
periodik dengan fungsi f(x) dapat diuraikan sebagai jumlahan daripada fungsi-fungsi
harmonik.
2𝜋𝑥 2𝜋𝑥
𝑓 𝑥 = 𝐶𝑜 + 𝐶1 cos 𝜆
+ 𝜖1 + 𝐶2 cos 2𝜆
+ 𝜖2 + ⋯ (2.19)

dengan C adalah suatu konstanta yang berupa


Cm cos (mkx + m ) = Am cos mkx + Bm sin mkx
32 | Optika

2
dan berturut-turut k  , Am = Cm cos m, dan Bm = - Cm sin m. Dari konstanta-

konstanta yang didapat diperoleh fungsi f(x)
~ ~
1
f ( x )  A 0   A m cos mkx   Bm sin mkx (2.20)
2 m1 m1

Koefisien A0 , Am , dan Bm dapat ditentukan dengan menggunakan analisis Fourier, yaitu


dengan cara mengintegralkan fungsi di atas, sehingga diperoleh
 

 sin mkx dx   cosmkx dx


0 0

2
 0
A0  f ( x )dx

Dalam menentukan koefisien Am , Bm digunakan sifat orthogonalitas fungsi sinus, yaitu


 sin (akx )
0
cos ( bkx ) dx  0



 sin (akx )
0
cos ( bkx ) dx 
2
 ab (2.21)



 cos (akx )
0
cos ( bkx ) dx 
2
 ab

0 , a  b
dengan  ab   , delta krone ker . Dan dengan manipulasi persamaan di atas
1 , a  b
diperoleh

2
 0
Am  f (x) cos mkx dx


(2.22)
2
Bm   f (x) sin mkx dx
 0
Kondisi kesimetrian gelombang akan memudahkan perhitungan dengan analisa Fourier.
Bila f(x) merupakan fungsi genap dengan f(-x) = f(x), maka deret Fourier hanya berisi suku
cosinus (karena Bm = 0 untuk semua m). Sebaliknya bila f(x) merupakan fungsi ganjil
dengan f(-x) = - f(x), maka deret Fourier hanya berisi suku sinus (karena Am = 0 untuk
semua m).
Bab 2: Superposisi | 33

Gambar 2.5 Gelombang Persegi Periodik.

Sebagai contoh diambil gelombang persegi, seperti ditunjukkan oleh Gambar 2.5,
yang dinyatakan dalam deret Fourier. Fungsi gelombang persegi dituliskan sebagai
  1, untuk 0  x  /2
f (x)  
 1, untuk  / 2  x  
Karena f(x) merupakan fungsi ganjil, maka Am = 0, sehingga
/2 
2 2
Bm 
  (1) sin mkx dx    (1) sin mkx dx
0 /2


1
 cos mkx 0 / 2  1 cos mkx  / 2
m m

2
1  cos mx 
m
Dan nilai koefisien Fourier terhitung
4 4 4
B1  , B2  0, B3  , B4  0, B5  ,
 3 5
Dengan demikian deret Fourier yang terbentuk adalah
4 1 1 
f ( x)   sin kx  sin 3kx  sin 5kx  
 3 5 
Gambar 2.6 menunjukkan grafik fungsi f(x) terhadap x untuk sejumlah suku dari deret
Fourier. Gambar 2.6(a), hanya bila diambil satu suku, Gambar 2.6(b). dengan dua suku
pertama, sedangkan untuk Gambar 2.6(c) dengan 3 suku pertama, serta Gambar 2.6(d).
untuk 4 suku. Tampak dari gambar bahwa semakin banyak suku yang dilibatkan maka
diperoleh hasil yang semakin mendekati fungsi asalnya.
34 | Optika

(a) (b)

(c )
(d)
Gambar 2.6 Sintesa Gelombang Persegi Periodik.

SOAL LATIHAN

1. Tunjukkan bahwa bila dua gelombang (Persamaan 2.1) yang bersuperposisi


mempunyai fase yang sama maka amplitudo kuadrat gelombang resultannya sebesar
(E01 + E02 )2 , sedangkan bila fasenya berbeda 180o, maka amplitudo kuadratnya (E01 -
E02 )2.

2. Tunjukkan bahwa resultan kedua gelombang


E1 = E01 sin ( t - k ( x - x)) dan E2 = E01 sin ( t - k x )
Adalah E = 2 E01 cos ( k x /2) sin ( t - k ( x + x/2))

3. Suatu gelombang dinyatakan dengan E  100 sin  2 x  cos 5t  , tentukan dua
3 
gelombang yang bila bersuperposisi menghasilkan gelombang di atas.
Bab 3: Polarisasi | 35

Bab 3 Polarisasi

3.1 Polarisasi Cahaya

Menurut pandangan Maxwell, cahaya dipandang sebagai gelombang elektromagnetik


yang medan listrik dan medan magnet pembentuknya berosilasi dengan frekuensi sama
tetapi dalam arah getar yang saling tegak lurus satu. Vektor medan listrik dari gelombang
cahaya yang ditunjukkan Gambar 3.1 diberikan oleh

E ( z, t )  Eox sin  t  kz    (3.1)

Bila cahaya merambat sepanjang sumbu Z dengan arah getar medan listrik ke arah sumbu
X, maka arah getar medan magnetnya berlangsung ke arah sumbu Y, dan vektor medannya
dituliskan sebagai

H ( z, t )  H ox sin  t  kz    (3.2)

Gambar 3.1 Gelombang terpolarisasi.

Gelombang cahaya yang ditunjukkan pada Gambar 3.1 ini merupakan cahaya
terpolarisasi bidang ke arah sumbu X. Disebut demikian, karena arah getar medan
listriknya selama menjalar sepanjang sumbu Z sejajar dengan sumbu X. Pada umumnya
arah getar dari cahaya terpolarisasi disesuaikan dengan resultan medan listriknya, karena
36 | Optika

interaksi cahaya dengan molekul-molekul bermuatan, medan listrik memberikan efek


yang lebih besar dibandingkan medan magnet.
Pada cahaya terpolarisasi bidang, arah getar medan listrik sembarang yang berada
pada bidang XY dapat diuraikan menjadi dua komponen, yaitu ke arah sumbu X dan Y,
seperti ditunjukkan Gambar 3.2. Demikian pula sebaliknya, bila terdapat dua cahaya yang
merambat sepanjang sumbu Z, cahaya pertama terpolarisasi ke arah X dan dinyatakan
dengan

E x  Eox sin  t  kz  o i (3.3)

dan cahaya kedua terpolarisasi ke arah Y dengan medan listrik



Ey  Eoy sin  t  kz  o  j (3.4)

maka resultan gelombangnya merupakan jumlahar vektor dari kedua medan listrik di atas
yakni

E  Ex  Ey  Eoy i  Eoy j sin  t  kz  o 


 
(3.5)

Gambar 3.2 Gelombang terpolarisasi linier dengan arah getar medan listrik pada bidang XY.

Amplitudo kedua gelombang yang saling tegak lurus ini (Eox dan Eoy) menentukan
sudut dari arah getar medan listrik dari cahaya resultannya. Polarisasi bidang ini terbentuk
hanya bila frekuensi  dan fase awal dari kedua gelombang sama. Sedangkan bila
frekuensi dan fasenya tidak sama, maka akan diperoleh cahaya terpolarisasi bentuk lain.
Cahaya terpolarisasi bidang dapat terbentuk hanya bila fase dari komponen
gelombang X dan Y adalah sama atau berbeda fase sebesar kelipatan dari  radian.
Sedangkan bila beda fase antara kedua gelombang sebesar (/2 +2m), m = 0,1, 2 ,... dan
amplitudo kedua komponennya sama akan dihasilkan gelombang terpolarisasi lingkaran
(putar), sehingga didapatkan
Bab 3: Polarisasi | 37

^
ER = Eo { sin (t - kz + o ) î + sin (t - kz + o + /2 ) j }
^
(3.6)
= Eo { sin (t - kz + o ) î + cos (t - kz + o ) j }

atau
^
EL = Eo { sin (t - kz + o ) î + sin (t - kz + o - /2 ) j }
^
(3.7)
= Eo { sin (t - kz + o ) î - cos (t - kz + o ) j }

Persamaan (3.6) menunjukkan gelombang yang merambat sepanjang sumbu Z,


dengan vektor medan listrik yang besarnya konstan, tetapi arahnya berubah terhadap
waktu. Bila vektor medan listrik ini diproyeksikan terhadap bidang yang tegak lurus sumbu
Z yakni bidang XY, akan didapatkan lintasan berupa lingkaran memutar kekanan, cahaya
yang demikian disebut cahaya terpolarisasi lingkaran putar kanan. Sedangkan persamaan
(3.7) merupakan persamaan cahaya terpolarisasi lingkaran putar kiri. Pernyataan
lingkaran didapatkan dari proyeksi arah getar medan listrik pada bidang tegak lurus arah
perambatan gelombang. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3.3. yang menyatakan
cahaya terpolarisasi lingkaran putar kanan bila dilihat dari arah sumber.

Gambar 3.3 Cahaya terpolarisasi lingkaran putar kiri.

Pernyataan cahaya terpolarisasi lingkaran ditinjau dari sisi yang lain dinyatakan oleh Clarke
sebagai :
Cahaya dikatakan terpolarisasi lingkaran putar kiri bila pengamat melihat
arah getar medan listrik sepanjang arah perambatan-nya berputar sesuai
dengan arah jarum jam

Pemutaran searah jarum jam bila dilihat oleh pengamat yang berada pada posisi yang
dituju oleh berkas cahaya, akan tampak berputar ke kanan bila pengamat berada di daerah
38 | Optika

sumber gelombang. Sehingga dua definisi tentang arah pemutaran dari cahaya
terpolarisasi lingkaran mempunyai arti yang sama.
Cahaya terpolarisasi lingkaran dapat dipandang sebagai resultan dari cahaya bidang
saling tegak lurus dengan beda fase relatif /2 rad. Sebaliknya cahaya terpolarisasi
bidang dipandang sebagai superposisi gelombang terpolarisasi lingkaran putar kanan dan
kiri seperti dinyatakan dalam persamaan berikut.
Ex = 1/2 ( ER + EL ) = EO sin (t - kz + o ) i
atau
Ey = 1/2 ( ER - EL ) = EO cos (t - kz + o ) j

Bentuk polarisasi yang paling umum berupa polarisasi elips, yakni polarisasi
cahaya dengan proyeksi arah medan listrik pada bidang tegak lurus arah perambatan
setelah merambat minimal satu panjang gelombang berupa elip. Bentuk ini terjadi dari
superposisi dua gelombang saling tegak lurus dengan frekuensi sama tetapi amplitudonya
berbeda, dan dengan beda fase relatif selain kelipatan /2 radian. Persamaan umumnya
dituliskan sebagai

E 2y E 2x Ey Ex
2
 2
 2 cos   sin 2  (3.8)
E oy E ox E oy E ox

dengan   beda fase relatif antara gelombang sejajar sumbu X dan sejajar sumbu Y.

Gambar 3.4 Proyeksi arah getar medan listrik pada cahaya terpolarisasi elips.

Persamaan eliptik ini mempunyai sumbu mayor yang membentuk sudut  pada
sistem koordinat (Ex , Ey) seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4, yang besarnya dinyatakan
sebagai

2 E ox E oy cos 
tg2  (3.8a)
E 2ox  E 2oy
Polarisasi elips dikatakan bentuk umum karena dengan memasukkan syarat- syarat
tertentu akan didapatkan bentuk polarisasi bidang atau lingkaran. Sehingga cahaya
Bab 3: Polarisasi | 39

terpolarisasi bidang atau lingkaran merupakan keadaan khusus dari bentuk elips. Dengan
mengambil  = 2m + /2 , maka Persamaan (3.8) menjadi
E 2y E 2x
 1
E 2ox E 2oy
Bila Eoy = Eox = Eo , maka

E y2  Ex2  Eo2 (3.9)

Persamaan (3.9) merupakan persamaan lingkaran yang digunakan untuk menyatakan


persamaan cahaya terpolarisasi lingkaran dengan jari-jari lingkaran Eo.
Bila beda fase relatif  merupakan kelipatan genap dari  radian, maka diperoleh
persamaan garis lurus:

E oy
Ey  Ex (3.10)
E ox
Sedangkan untuk beda fase relatif  yang besarnya kelipatan ganjil dari  radian
didapatkan persamaan

E oy
Ey   Ex (3.11)
E ox
Persamaan (3.10) dan Persamaan (3.11) merupakan persamaan untuk cahaya terpolarisasi
bidang dengan kemiringan  Eoy /Eox.
Telah ketahui bahwa bermacam-macam bentuk polarisasi cahaya dapat dinyata-kan
sebagai kombinasi linier komponen orthogonal bentuk yang lain. Orthogonal disini
berarti arah polarisasi cahaya yang dikombinasikan saling tegak lurus untuk cahaya
terpolarisasi bidang, sedangkan untuk cahaya terpolarisasi lingkaran atau elip merupakan
kombinasi putar kanan dan putar kiri. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa
bentuk polarisasi orthogonal terjadi bila kedua cahaya terpolarisasi mempunyai eliptisitas
yang sama tetapi arah putarnya berlawanan serta mempunyai arah sumbu utama yang
bergeser 90o .
Selain cara matematis dengan menggunakan persamaan gelombang, kombi-nasi
linier untuk mendapatkan bentuk polarisasi cahaya dapat dilakukan dengan cara
geometrik. Tetapi sebelum membahas hal tersebut marilah perhatikan gambaran masing-
masing bentuk polarisasi cahaya yang ditunjukkan Gambar 3.5.
Gambar 3.5(a) menunjukkan jenis gelombang cahaya yang amplitudonya dinyatakan
sebagai fungsi waktu. Bentuk alternatifnya ditunjukkan Gambar 3.5(b), yang menyatakan
proyeksi cahaya terpolarisasi bidang pada bidang tegak lurus terhadap arah
perambatannya berupa garis lurus, yang mana titik-titik 1 sampai 4 menyatakan amplitudo
titik-titik pada Gambar 3.5(a). Garis lurus ini dapat digambarkan ke arah horisontal,
40 | Optika

vertikal, atau membentuk sudut  sembarang, tergantung dari sumbu polarisasi


cahaya. Misalkan cahaya terpolarisasi bidang +45o digambarkan dengan garis lurus yang
membentuk sudut 45o terhadap vertikal. Walaupun gambaran ini tidak memberikan
informasi tentang frekuensi gelombang, tapi berguna dalam menganalisis karakteristik
polarisasi cahaya, terutama dalam hal kombinasi linier atau dalam perhitungan dengan
komponen optis.

(a) (b)
(c)

Gambar 3.5 Geometrik cahaya terpolarisasi.

(d)

Cahaya terpolarisasi lingkaran ditunjukkan pada Gambar 3.5.(c), dengan vektor


medan listrik cahaya yang amplitudonya konstan tetapi berputar terhadap waktu bila
dipandang dari sumbu penjalaran gelombang. Titik-titik 1 sampai dengan 4 seperti
halnya pada Gambar 3.5(b), menyatakan posisi amplitudo gelombang sebagai fungsi
waktu, yang arahnya melingkar kanan atau kiri tergantung pada bentuk cahaya
terpolarisasi lingkaran putar kanan atau kiri. Hal ini terjadi pula pada cahaya
terpolarisasi elip seperti ditunjukkan Gambar 3.5(d).
Jejak lintasan pada Gambar 3.5. dikenal sebagai pola penampang melintang (cross-
section) dari polarisasi elip. Bentuk polarisasi cahaya yang lain ditentukan oleh besaran
sudut azimuth, eliptisitas, dan perputaran arah polarisasi elip. Azimuth  merupakan
sudut yang dibentuk oleh sumbu utama penampang melintang elip terhadap sumbu
horisontal (X), besarnya positif bila diukur dengan arah kebalikan arah perputaran jarum
jam terhadap sumbu X. Eliptisitas adalah ukuran ketebalan (fatness) dari pola elip yang
didefinisikan sebagai perbandingan panjang sumbu semi minor terhadap panjang sumbu
semi major. Bila merujuk Gambar 3.4, maka eliptisitas besarnya sama dengan b/a, dan
didefinisikan selalu positif dengan rentang antara 0 dan 1. Eliptisitas 0 (nol) adalah untuk
cahaya terpolarisasi bidang (linier) , dan nilai 1 (satu) untuk cahaya terpolarisasi lingkaran.
Sedangkan untuk cahaya terpolarisasi elip nilainya berkisar antara 0 dan 1.
Bab 3: Polarisasi | 41

Kombinasi orthogonal komponen linier atau lingkaran dapat membentuk polarisasi


yang lain, seperti Gambar 3.6. Gambar (a) menunjukkan bagaimana penjumlahan vektor
dua komponen linier menghasilkan cahaya terpolarisasi bidang dengan arah getar lain.
Pada Gambar 3.6.(b) jumlah vektor amplitudo medan listrik untuk cahaya terpolarisasi
lingkaran putar kanan dan kiri dengan amplitudo, frekuensi, dan fase awal sama yang
menghasilkan cahaya terpolarisasi bidang. Cahaya terpolarisasi elip dapat dihasilkan
dengan kombinasi komponen orthogonal cahaya terpolarisasi bidang atau lingkaran.
Kombinasi komponen orthogonal linier dengan fase awal yang berbeda diperoleh cahaya
terpolarisasi elip seperti ditunjukkan Gambar 3.6.(c). Sedangkan yang dengan beda fase
/4 radian dan mempunyai amplitudo yang sama didapatkan cahaya terpolarisasi
lingkaran. Bila kembali ke Gambar 3.6.(b) yang dihasilkan cahaya terpolarisasi bidang dari
jumlah komponen polarsasi lingkaran putar kanan dan polarisasi lingkaran putar kiri,
maka pada Gambar 3.6.(d) akan memberikan bentuk elip jika amplitudo kedua komponen
tidak sama. Dengan amplitudo komponen lingkaran kanan lebih besar dibanding dengan
komponen lingkaran kiri, maka akan dihasilkan bentuk polarisasi elip putar kanan.
Sebaliknya bila amplitudo komponen lingkaran kiri lebih besar, maka polarisasi elip putar
kiri yang didapat. Arah sumbu elip yang didapatkan dari penjumlahan ini tergantung pada
fase relatif komponen- komponennya.

= =

a) b)

= =

c) d)
Gambar 3.6 Kombinasi orthogonal beberapa bentuk polarisasi

Seperti ditunjukkan Gambar 3.7, kombinasi komponen lingkaran kanan yang


mempunyai fase awal sama, akan menghasilkan cahaya terpolarisasi elip putar dengan
arah sumbu horisontal. Tetapi bila beda fase awal antara kedua komponen 45o , akan
diperoleh cahaya terpolarisasi elip putar kanan yang arah sumbunya membentuk sudut
22,5o terhadap horisontal.
42 | Optika

Gambar 3.7 Kombinasi dengan fase berbeda.

3.2 Pembentukan Cahaya Terpolarisasi


Cahaya yang dipancarkan oleh sumber cahaya tidak selalu merupakan cahaya
terpolarisasi. Cahaya terpolarisasi dapat dihasilkan dari komponen optik yang disebut
dengan polarisator. Pada Subbab ini akan dibahas tentang polarisator dan komponen yang
mampu merubah bentuk polarisasi tertentu menjadi bentuk yang lain.

3.2.1 Polarisator Linier


Polarisator linier merambatkan berkas cahaya dengan arah getar medan listrik berosilasi
dalam satu bidang. Polarisator ini kadang-kadang disebut dengan polarisator bidang.
Arah bidang tersebut, dalam ruang dapat divariasi dengan memutar sumbu transmisi
polarisator. Bila sumbu transmisi polarisator horisontal, maka cahaya yang keluar
merupakan cahaya terpolarisasi bidang arah horisontal atau terpolarisasi horisontal.
Bila cahaya terpolarisasi bidang mengenai polarisator dengan sumbu transmisi arah tegak
lurus cahaya datang, maka tidak ada berkas cahaya yang keluar dari polarisator .
Sepasang polarisator dengan sumbu transmisi antara keduanya membentuk
sudut  seperti ditunjukkan Gambar 3.8, maka intensitas yang ditransmisikan mengikuti
aturan yang dikemukakan oleh Etienne Louis Malus (1775 - 1812) pada tahun 1809, yang
dinyatakan sebagai

I = I// cos2  (3.12)

dengan I = intensitas yang ditransmisikan, I// = intensitas yang ditransmisikan bila kedua
sumbu transmisi sejajar. Persamaan (3.12) dikenal dengan hukum Malus.
Bab 3: Polarisasi | 43

Gambar 3.8 Sepasang Polarisator- Analisator Untuk penerapan hukum Malus.

Dengan menggunakan hukum Malus, bila sudut antara polarisator dan analisator
sebesar /2 radian, maka intensitas yang keluar dari analisator sama dengan nol. Tetapi
pada kenyataannya, tidak ada sepasang polarisator dengan sumbu transmisi saling tegak
lurus yang memberikan intensitas keluaran nol, karena masih ada intensitas yang keluar.
Dari fenomena ini hadirlah besaran yang disebut dengan extinction ratio, yakni
perbandingan intensitas I┴ (intensitas keluaran bila kedua sumbu transmisi saling tegak
lurus) terhadap intensitas I//, yang nilainya berkisar antara 10-2 - 10-7.

Contoh 3.1
Suatu polarisator linier diputar dengan frekuensi  diantara pasangan polarisator yang
saling tegak lurus. Tentukan intensitas relatif yang keluar dari analisator terhadap
intensitas dari polarisator pertama.

Penyelesaian:
Anggap polarisator pertama vertikal dengan intensitas I1, polarisator kedua dengan sudut
yang berubah  I2 , analisator horisontal I3, seperti gambar. Dengan Hukum Malus
I2 = I1 cos ,  = t
2

I3 = I2 cos  = I2 sin 
2 2

= I1 cos  sin 
2 2

2
= (I1/4) sin (t)
44 | Optika

Ada beberapa macam bahan yang dapat digunakan untuk membuat polarisator.
Misalnya polarisator dikroik atau polarisator lempeng yang bekerja berdasarkan gejala
dikroisme linier, yakni absorbsi secara selektif terhadap medan listrik arah sejajar sumbu,
sedangkan yang arah tegak lurus akan diteruskan. Sifat dikroik ini dimiliki bahan karena
mempunyai indeks bias kompleks yang besarnya tergantung pada arah kristalografi.
Fenomena dikroisme pertama kali diamati oleh Jean Baptise Biot (1774 - 1862) pada tahun
1815. Mekanisme absorbsi pada kristal dikroik ditunjukkan pada Gambar 3.9.

Gambar 3.9 Kristal dikroik.

Contoh bahan kristal dikroik adalah pada kristal Tourmalin (Borosilicate yang mem-
punyai rumus kimia NaFe3B3Al6Si6O27 (OH)4), dan herapathite (Iodosulfat) yang
mengabsorpsi cahaya tampak, serta bahan pyrolytic graphite untuk spektrum infra merah.
Karena sifat bahan, maka pada kristal dikroik, proses absorpsi dipengaruhi frekuensi
(panjang gelombang) cahaya datang. Polarisator jenis ini mempunyai extin-ction ratio
sekitar 10-5 untuk spektrum cahaya tampak. Bila spektrum ultraviolet dekat dikenakan
pada polarisator ini, maka extinction rationya lebih besar dari 10-2.

Gambar 3.10 Polarisator grid.

Polarisator yang paling sederhana adalah polarisator kisi (Grid), yang terbuat dari
kawat-kawat sejajar membentuk sebuah kisi, seperti ditunjukkan Gambar 3.10.Heinrich
Hertz pada tahun 1888, menggunakan polarisasi jenis ini sebagai polarisator linier untuk
spektrum gelombang mikro (micro wave). Mekanisme terjadinya polarisasi cahaya adalah
sebagai berikut. Polarisator kisi dikenai cahaya, maka komponen medan listrik cahaya
Bab 3: Polarisasi | 45

yang sejajar kisi akan menyebabkan kawat timbul arus, sehingga menjadi panas karena
adanya tumbukan elektron dengan atom kisi.Elektron hanya bergerak sepanjang
kisi,sehingga menghilangkan berkas cahaya sejajar kisi. Akibatnya hanya meneruskan
berkas cahaya dengan komponen medan tegak lurus kawat kisi. Polarisator kisi ini dapat
beroperasi dalam rentang sudu datang yang cukup lebar yakni antara 0 - 45o, dan
mempunyai daerah panjang gelombang yang cukup lebar. Panjang gelombang minimum
yang dapat digunakan dengan polarisator kisi sama dengan 2 kali jarak antar garis kisi yang
berdekatan.
Polarisator berupa lembaran polaroid yang mirip dengan polarisator dikroik dibuat
dan digunakan oleh Edwin Herbert Land pada tahun 1928 saat berusia 19 tahun. Land
memakai bahan sintetis dikroik berupa herapathite untuk membentuk polarisator linier
yang dikenal dengan plaroid J-Shett. Pada tahun 1938, Land mengembangkan polaroid H-
Sheet berupa polarisator liner yang sepadan (analog) dengan polarisator kisi. Polaroid H-
sheet menggunakan bahan polyvinyl Alohol yang dipanasi dan direntangkan ke arah
tertentu sehingga molekul hidrokarbin rantai panjang membentuk lajur-lajur kisi, dan
kemudian dicelupkan ke dalam larutan iodine. H-sheet merupakan polarisator yang efektif
untuk spektrum cahaya tampak kecuali warna biru. Perkembangan berikutnya dengan
memvariasi konsentrasi iodine diperoleh polaroid HN-50, yakni polaroid H-sheet yang
mempunyai warna netral (neutral-color, N) dengan menyerap 50% cahaya natural yang
datang dan mentransmisikan 50% lainnya. Demikian pula dengan polaroid HN-46, HN-32,
HN - 22.
Bentuk lain dari polaroid adalah K-sheet yang cukup tahan terhadap kelembaman dan
panas medium sekitarnya, yang dikembangkan menggunakan bahan polyvinyl hidro
karbon. Dan juga kombinasi dari H- dan K-sheet, dan dikenal dengan sebutan polaroid HR-
sheet yang cukup baik untuk polarisator pada spektrum infra merah. Sebagai perbandi-
ngan, besarnya extinction ratio beberapa macam polarisasi ditunjukkan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Extinction ratio dari polarisator


Bahan Extintion ratio Bahan Extintion ratio
Polaroid 10-3 - 10-5 Tourmaline 10- 2
Kalsit 10-7 Kisi 10-2 - 10-3

3.2.2 Polarisasi Oleh Refleksi


Sumber cahaya terpolarisasi yang paling banyak dijumpai berupa proses refleksi dari
medium dielektrik. Cahaya terpolarisasi sebagian dapat diperoleh dari cahaya yang
terefleksi oleh permukaan kaca jendela, lembar kertas, permukaan gagang telepon,
sampul buku, dan dari genangan air di jalan setelah turun hujan.
Cahaya terpolarisasi yang terjadi karena proses refleksi, dapat ditinjau dari
persamaan Fresnel tentang koefisien amplitudo refleksi, yaitu
46 | Optika

sin( i   t )
r  
sin( i   t )
tan( i   t )
dan r/ / 
tan( i   t )
Dengan menggunakan sudut datang i , sehingga (i + t ) = /2 radian, maka
r// = 0
r = - sin(i - t ) = cos (2 i)
Bila tidak terdapat amplitudo medan listrik yang sejajar bidang datang, maka cahaya yang
dipantulkan hanya berupa gelombang dengan arah getar medan listrik yang tegak lurus
bidang datang. Pada kondisi ini sudut datang disebut dengan sudut polarisasi atau sudut
Brewster. Dengan memanfaatkan hukum Snell

ni sin i = nt sin t

dan menggunakan sudut datang sama dengan sudut polarisasi i = p , p - t = /2


sehingga t = /2 - p, maka
ni sin  p  nt cos p
nt n  (3.13)
tan p    p  tan 1  t 
ni  ni 

Persamaan (3.13) dikenal dengan hukum Brewster, setelah Sir David Brewster (1781 -
1868) menemukan rumusan ini secara empirik.

Contoh 3.2
Pada sudut berapa terhadap horisontal sinar matahari yang mengenai permukaan air yang
tenang menghasilkan cahaya terpolarisasi bidang.

Penyelesaian:
Berkas cahaya tak terpolarisasi dari sinar matahari akan terpantul menjadi cahaya
terpolarisasi bidang bila datang dengan sudut polarisasi. Bila indeks bias udara nu = 1,
indeks bias air na = 4/3, maka sudut polarisasinya
n   4/3
p  tan 1  t   tan1 
   53,13o
 ni   1 

Dari besaran reflektansi cahaya (besaran yang diperoleh dari kuadrat koefisien
amplitudo refleksi) yang dinyatakan sebagai fungsi sudut datang khususnya untuk cahaya
yang mempunyai arah getar medan listrik sejajar bidang datang, didapatkan satu sudut
yang mempunyai reflekstansi sebesar nol, yakni sudut polarisasi, seperti ditunjuk-kan
Gambar 3.11(a)). Artinya, dalam proses pemantulan hanya cahaya yang arah getar medan
listrik tegak lurus bidang datang saja yang direfleksikan. Sehingga bila berkas cahaya
datang pada bidang batas dua medium dengan indeks bias yang berbeda, dengan sudut
Bab 3: Polarisasi | 47

datang sama dengan sudut polarisasi/ Brewster, maka cahaya yang terefleksi dikatakan
sebagai cahaya terpolarisasi. Fenomena ini terjadi baik cahaya merambat dari medium
yang lebih rapat ke medium yang kurang rapat (medium yang mempunyai indeks bias yang
lebih besar ke medium yang indeks biasnya lebih kecil, ni > nt), atau sebaliknya, seperti
ditunjukkan Gambar 3.11(b)).

(a) (b)
Gambar 3.11 Reflekstansi cahaya terhadap sudut datang.

Polarisator berdasar fenomena refleksi dapat dikembangkan menjadi polarisator


interferensi dengan permukaan pemantul berupa bahan dielektrik. Polarisator interferensi
ideal dibuat dengan pelapisan dielektrik lapis jamak. Pada bagian ini dibahas polarisator
interferensi dari bahan dielektrik lapis tunggal, seperti ditunjukkan Gambar 3.12.

Gambar 3.12 Polarisator Interferensi dari dielektrik lapis tunggal.

Besarnya reflektansi dari lapisan dielektrik tunggal, seperti Gambar 3.12, dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan

r12  r22  2r1r2 cos 2


R 1 T  (3.14)
1  r12 r22  2r1r2 cos 2
48 | Optika

dengan r1 , r2  koefisien amplitudo refleksi permukaan pertama, dan permukaan kedua


r2 = r 1 r2
  beda fase antara dua sinar yang berdekatan
4n1d cos t1
  (2m  1) 

d  ketebalan lapisan


2m  1 , m = orde interferensi
4n1 cos t1
Besarnya reflektansi komponen polarisasi arah normal permukaan lapisan dielektrik
adalah

R
n 2
1 
 1 sin 2 i  cos i n 22  sin 2 i
n  1sin
(3.15)
2
1
2
i  cos i n 22  sin 2 i

Polarisator interferensi banyak diaplikasikan dalam sistem laser.

Bila cahaya tak terpolarisasi datang pada bidang batas dua medium berindeks bias
berbeda, maka cahaya ini dapat diuraikan menjadi 2 cahaya terpolarisasi linier saling te-
gak lurus dengan amplitudo yang sama, Ii // = Ii  = Ii /2. Dengan reflekstansi medan sejajar
I I
dan tegak lurus R  Ir // , dan R   r , maka didapatkan I r //  R // Ii , I r  R  i .
// 2 2
Ii // Ii
Reflekstansi cahaya natural dituliskan dengan

I r //  I r 
R 
1
R //  R   (3.16)
Ii 2

Dari Gambar 3.11(a) tampak bahwa dengan ni = 1 dan nt = 1,5 dan sudut datang sama
dengan sudut polarisasi, maka hanya 7,5 % cahaya datang yang direfleksikan. Cahaya yang
direfleksikan termasuk jenis cahaya terpolarisasi lengkap dengan derajad polarisasi 1.
Sedangkan cahaya yang ditransmisikan dikategorikan sebagai cahaya terpolarisasi
sebagian.
Besarnya derajad polarisasi cahaya yang merupakan perbandingan intensitas cahaya
terpolarisasi dengan cahaya tak terpolarisasi dapat dinyatakan dengan rumusan

Ip
V (3.17)
Ip  Iu

dengan Ip  intensitas cahaya terpolarisasi, Iu  intensitas cahaya tak terpolarisasi.


Bentuk lain derajad polarisasi dituliskan sebagai
Bab 3: Polarisasi | 49

I max  I min
V (3.18)
I max  I min

Persamaan (3.18) dapat diperoleh dengan analogi pemanfaatan polarisator linier. Seberkas
cahaya yang dilewatkan pada polarisator linier pada posisi sumbu polarisator tertentu
sedemikian hingga cahaya yang diteruskan berintensitas maksimum. Dengan memutar
polarisator linier sehingga posisi sumbu polarisator tegak lurus terhadap keadaan semula
akan didapatkan intensitas minimum. Derajad polarisasi seperti dirumuskan dalam bentuk
Persamaan (3.18) sering dikenal dengan istilah visibilitas frinji dalam bahasan tentang
interferometri, yakni nilai kekontrassan frinji hasil interferensi. Tentang visibilitas akan
dibahas pada bab 5.

3.2.3 Bias Rangkap


Polarisator jenis lain adalah yang bekerja berdasar pada fenomena optik yang disebut
dengan bias rangkap (double refraction/ birefringence) yang dimiliki oleh bahan kristal.
Suatu kristal uniaxial mempunyai dua indeks bias, ne untuk sinar terpolarisasi sejajar
sumbu optik kristal (disebut sinar ekstraordinari, yang merambatkan gelombang elipsoid),
dan no untuk sinar terpolarisasi tegak lurus sumbu (disebut sinar ordinari, yang
merambatkan gelombang sferis). Polarisator jenis ini dibagi menjadi dua kategori, yakni
prisma Wollaston yang menghasilkan dua berkas cahaya yang terpisah dengan sudut yang
relatif kecil dan masing-masing berisi cahaya terpolarisasi. Kategori kedua berupa prisma
Glan yang lebih efektif dibanding kategori pertama, karena kedua berkas terpisah dengan
sudut yang relatif besar sehingga akan relatif mudah dalam pemakaiannya.

Gambar 3.11 Gambar elipsoida Fresnel.

Fenomena bias rangkap pertama kali diamati oleh Erasmus Bartholinus (1625 - 1692)
pada tahun 1669, dengan menggunakan kristal kalsit (mineral CaCo3, yang juga sering
50 | Optika

disebut dengan iceland). Bias rangkap terjadi pada media anisotropik optik, yakni media
yang mempunyai sifat optik (indeks bias) tergantung pada arah. Berdasarkan pada
besarnya indeks bias masing-masing arah, kristal anisotropik dibagi menjadi 2 yakni kristal
uniaxial dan biaxial. Bila n2 = n3  n1 , maka kristal demikian disebut dengan kristal uniaxial,
dengan sumbu X (n1) sebagai sumbu optik. Sedangkan untuk n2  n3  n1 kristalnya
disebut dengan kristal biaxial. Gambaran arah kristal yang berhubungan dengan sifat optik
ditunjukkan Gambar 3.11 tentang elipsoida Fresnel. Misal gambar ini untuk kristal uniaxial,
maka komponen medan CO selalu n2 dengan kecepatan Vo = V2 = c/n2 dan arahnya tegak
lurus U (arah berkas cahaya) serta sumbu optik X. Gelombang dengan arah ini disebut
dengan gelombang ordinari (“O”). Komponen CE berbentuk elip yang bervariasi terhadap
n2 dan n1 , dengan kecepatan Ve bervariasi antara V1 dan V2, arahnya tegak lurus U , dan
tidak tegak lurus sumbu optik. Gelombang yang terjadi merupakan gelombang
ekstraordinari (“e”).

Gambar 3.12 Pemisahan gelombang “o” dan “e”.

Dua kasus khusus berhubungan dengan arah berkas cahaya U terhadap sumbu
optik kristal menunjukkan, bahwa bila arah berkas cahaya yang mengenai kristal sejajar
sumbu optik kristal, maka kedua gelombang (“e” dan “o”) akan merambat dengan
kecepatan yang sama V2. Sedangkan bila arah tegak lurus, maka kecepatan gelombang
ordinay Vo = V2 = V dan kecepatan gelombang ekstraordi-nari Ve = V1 = V//. Berkas cahaya
yang merambat mengenai kristal dengan arah rambat yang tidak sejajar atau tidak tegak
lurus sumbu optik kristal, maka fenomena bias rangkap yang terjadi.Pemisahan gelombang
ordinari dan ekstraordinari dalam kristal kalsit secara skematis ditunjukkan Gambar 3.12.
Dari perbandingan besarnya indeks bias masing-masing arah dalam kristal,
didapatkan dua macam kristal, yakni kristal negatif (n2 > n1) dan kristal positif (n1 > n2),
dengan bentuk proyeksi elipsoid Fresnel seperti ditunjukkan Gambar 3.13. Pada gambar
tampak bahwa kecepatan rambat gelombang ekstraordinari selalu lebih kecil atau sama
dengan kecepatan gelombang ordinari bila gelombang cahaya merambat dalam kristal
negatif. Tetapi sebaliknya bila yang dilalui cahaya adalah kristal positif, maka gelombang
ekstraordinari akan merambat dengan kecepatan yang lebih besar dibanding gelombang
ordinari, kecuali berkas itu merambat sejajar sumbu optik kristal.
Bab 3: Polarisasi | 51

(a) (b)
Gambar 3.13 Bentuk Proyeksi elipsoid Fresnel untuk kristal a). Negatif, b). positif.

Berikut ini Tabel 3.2 menunjukkan beberapa contoh material kristal anisotropis uniaxial,
dan anisotropis biaxial dengan indeks bias terukur pada panjang gelombang garis-D
spektrum natrium (Na-D).

Tabel 3.2 Contoh material kristal anisotropis


Uniaxial Biaxial
Material n1 (ne) n2 (no) Material n1 n2 n3
Es (H2O) 1,313 1,309 Tridymite 1,469 1,47 1,473
Sellaite (MgF2) 1,390 1,378 Turquoise 1,61 1,62 1,65
Wurtzite (ZnS) 2,378 2,356 Topaz 1,619 1,62 1,627
Rutile (TiO2) 2,903 2,616 Sulfur 1,95 2,043 2,240
Cinnabar (HgS) 3,201 2,854 Borax 1,447 1,47 1,472
Sapphire 1,7599 1,7681 Aragonite 1,5301 1,6816 1,6859
Tourmalin 1,638 1,669 Lantanite 1,52 1,587 1,613
Calcite 1,4864 1,6584 Stibnite 3,194 4,303 4,46
(CaO-CO2) (Sb2S3)
Quartz 1,5534 1,5443 Gypsum 1,5206 1,5227 1,5297
Sodium Nitrat 1,3369 1,5854 Mica 1,5601 1,5036 1,5977
(musco-vite)

Polarisator prisma mempunyai extinction ratio tinggi yaitu 10-6 , terutama untuk
prisma Glan-Thompson. Dibanding dengan polarisator lempeng prisma lebih unggul pada
spektrum cahaya tampak dan efektif pada infra merah 2,2 m. Sedangkan spektrum ultra
violet nilai extinction rationya banyak dipengaruhi oleh semen perekat antara dua
prisma. Juga rentang spektrum cahaya yang digunakan, untuk memberikan extinction
ratio yang baik , dipengaruhi oleh bahan pembuat prisma. Polarisator bias rangkap meru-
pakan polarisator yang berdasarkan pada pemanfaatan bahan kristal beam splitter/
birefringent. Beberapa contoh polarisator bias rangkap yang berbentuk prisma seperti
prisma Nicol, prisma Glan-Foucault (Glan-Air), prisma Glan-Johnson, prisma Wollaston.
52 | Optika

Gambar 3. 14 Polarisator bias rangkap prisma Nicol.

Prisma Nicol, yang dibuat oleh William Nicol (1768 - 1857), terdiri dari dua prisma
yang terbuat dari bahan kristal calcite yang dipotong dan direkatkan kembali dengan
balsam canada, seperti ditunjukkan Gambar 3.14. Perekat kedua prisma dipilih sehingga
berkas cahaya ordinari mengalami pemantulan dalam total karena indeks bias perekat,
sedangkan gelombang extraordinari dapat terus ditrans-misikan kedalam prisma
berikutnya. Polarisator Nicol akan dapat dioperasi-kan hanya bila berkas cahaya datang
dengan sudut datang yang lebih kecil atau sama dengan masukan sebesar 24o. Sudut
masukan polarisator tipe ini ditentukan oleh perbedaan sudut kritis antara sinar ordinari
dan ekstraordinari.

Gambar 3.15 Polarisator bias rangkap prisma Glan-Foucault.

Polarisator berupa prisma Glan-Foucault mempunyai rancangan yang lebih modern,


tetapi dengan prinsip kerja yang sama dibanding prisma Nicol. Polarisator ini terbuat dari
bahan kristal calcite yang dipotong menjadi dua prisma dan disusun kembali tanpa
perekat, dengan susunan seperti ditunjukkan Gambar 3.15. Kelebihan prisma Glan-
Bab 3: Polarisasi | 53

Foucault selain tidak memerlukan perekat juga dapat beroperasi dengan rentang spektrum
yang lebar yakni antara 0,23 hingga 5 m, walaupun mempunyai sudut masukan yang kecil
yakni hanya 7o. Bila kedua prisma dalam polarisator Glan-Foucault direkatkan bersama-
sama menggunakan semen, maka piranti yang terbentuk ini disebut dengan polarisator
Glan-Thompson. Desain ini menambah sudut masukan menjadi 30o tetapi tidak dapat
digunakan untuk spektrum ultra violet. Umumnya perekat yang digunakan berupa
glyserine atau minyak mineral.

Gambar 3.16 Polarisator bias rangkap: a). prisma Wollaston, b). Prisma Rochon.

Sedangkan polarisator berupa prisma Wollaston dan Rochon terbuat dari kristal
calcite atau quartz yang dipotong membentuk prisma dan direkatkan dengan glyserine,
dengan susunan seperti Gambar 3.16. Pada prisma Rochon, prisma pertama mempunyai
sumbu optik kristal sejajar arah peram batan berkas cahaya, sedangkan prisma kedua
dengan sumbu optik yang tegak lurus sumbu optik prisma pertama tetapi tidak tegak lurus
atau sejajar arah perambatan berkas cahaya karena permukaan miring prisma sehingga
terjadi pembiasan rangkap pada prisma ini.
Gelombang cahaya yang mempunyai arah polarisasi tegak lurus sumbu optik prisma
kedua akan merambat seolah-olah tidak ada batas antara kedua permukaan prisma,
sehingga gelombang ordinari tidak terdeviasi pada prisma Rochon. Sedangkan pada
prisma Wollaston, dengan sumbu optik prisma pertama tegak lurus arah perambatan dan
prisma kedua seperti halnya pada prisma Rochon, maka terjadi dua kali deviasi untuk
masing-masing gelombang karena antara gelombang ordinari dan ekstra-ordinari terjadi
deviasi pada masing-masing prisma bergantian.

3.3 Retardasi dan Keping gelombang


Retarder merupakan komponen optik yang mampu merubah bentuk polarisasi cahaya.
Prinsip kerja dari retarder ini sangat sederhana, yakni bila seberkas cahaya mengenai
kristal uniaxial dengan sumbu optik kristal tegak lurus terhadap cahaya datang maka
gelombang / sinar ordinari dan gelombang ekstraordinari menjalar dengan kecepatan
berbeda tergantung pada indeks bias ne dan no. Kecepatan gelombang yang berbeda
mengakibatkan adanya beda fase relatif antara gelombang ordinari dan gelombang
54 | Optika

ekstraordinari saat keluar dari kristal. Sehingga bentuk polarisasi gelombang keluaran
tergantung beda fase relatif antara gelombang “o" dan "e". Misalkan beda fase relatif yang
terjadi sebesar / 2 rad dengan amplitudo kedua gelombang yang sama, maka gelombang
terpolarisasi lingkaran yang keluar retarder.
Kristal uniaxial positif mempunyai karakteristik bahwa indeks bias ekstraordinari
lebih besar dibanding indeks bias gelombang ordinari ne < no , sehingga bila gelombang
monokromatik mengenainya dengan arah tegak lurus sumbu optik kristal maka dida-
patkan vo > ve , dan setelah menjalar sepanjang kristal dengan tebal "d" akan memberi-
kan beda lintasan optik relatif sebesar

  d( no  ne ) (3.19)

dan beda fase relatifnya :

2
  d  n0  ne  (3.20)
0
dengan  = panjang gelombang cahaya dalam vakum, dan n = (ne - no)  ukuran
birefringence. Dari persamaan (3.20) didapatkan hal-hal menarik. Bila  =2 , retardasi
relatifnya satu gelombang, maka polarisasi gelombang yang keluar kristal sama dengan
polarisasi gelombang yang masuk dalam hal bentuk polarisasinya. Keadaan demikian ini
kompo-nen optiknya disebut dengan keping gelombang penuh.
Keping retardasi dengan beda fase relatif  rad disebut dengan keping setengah
gelombang. Cahaya yang dihasilkan berupa cahaya terpolarisasi bidang dengan arah getar
medan listrik berbeda 90o terhadap arah getarmedan listrik cahaya datang, seperti
ditunjukkan Gambar 3.17. Ketebalan keping setengah gelombang untuk cahaya yang
mempunyai panjang gelombang o dapat dicari dengan rumusan

 1 0
d  m   m  0, 1, ..
2  n0  ne 
, (3.21)

Sedangkan untuk beda fase relatif /2 rad memberikan gelombang terpolarisasi
lingkaran bila amplitudo gelombang ordinari dan ekstraordinari sama besarnya, dan
bentuknya elips bila tidak sama. Komponen optik ini disebut keping seperempat
gelombang (keping /4). Ketebalan kristal yang digunakan untuk membentuk keping /4
dinyatakan dengan

 1 0
d  m   m  0, 1, ..
4  n0  ne 
, (3.22)

Bab 3: Polarisasi | 55

Gambar 3.17 Keping setengah gelombang

Bahan yang umum dipakai pada keping /4 berupa mika atau kuarsa. Pada kristal kuarsa
setebal 13,7 m dapat menghasilkan fase retardasi /4, sedangkan pada mika perlu
ketebalan yang lebih besar yakni 22,3 m untuk memberikan pengaruh yang sama bila
keduanya disinari dengan berkas cahaya yang mempunyai panjang gelombang  = 500 nm.

Contoh 3.3
Selembar celophane bertindak sebagai keping setengah gelombang bila cahaya yang
melaluinya mempunyai panjang gelombang 400 nm. Dengan menganggap bahwa variasi
indeks bias terhadap panjang gelombang diabaikan, apa jenis polarisasi cahaya yang keluar
dari celophane bila panjang gelombangnya 800 nm.

Penyelesaian:
Beda fase keping setengah gelombang sebesar  rad , sehingga dari Persamaan (3.20)
dengan panjang gelombang 400 nm diperoleh
4 x10 7
d n 0  n e    0   2 x10  7 meter
2 2
Bila digunakan panjang gelombang 800 nm, maka besarnya beda fase relatif
2 2 
 d n 0  n e   7
2x10 7  radian
0 8x10 2
sehingga keping setengah gelombang ini berlaku seperti keping seperempat gelombang.
Jenis polarisasi cahaya yang melaluinya tergantung pada amplitudo gelombang yang
merambat sejajar sumbu cepat dan lambat dari keping gelombang.
56 | Optika

Contoh 3.4.
Keping /4 diletakkan diantara 2 polarisator linier dengan sumbu optik kedua
polarisator seja-jar. Cahaya tak terpolarisasi mengenai sistem, tentukan jenis polarisasi
cahaya yang keluar bila sumbu optik keping gelombang membentuk sudut terhadap
sumbu polarisator sebesar a) 0o, b) 45 o, c) 90 o

Penyelesaian:
Dengan susunan komponen optik seperti soal di atas, maka cahaya yang keluar sistem
selalu merupakan cahaya terpolarisasi linier dengan arah getar medan listrik sejajar
sumbu analisator. Tetapi intensitas yang keluar dari analisator, tergantung pada sudut
yang dibentuk oleh keping gelombang terhadap polarisator. Anggap bahwa sumbu
polarisasi linier dalam arah horisontal. Bila sumbu cepat keping gelombang
membentuk sudut 0o terhadap sumbu polarisator, maka gelombang akan merambat
sepanjang sumbu cepat dan tidak ada gelombang yang merambat tegak lurus sumbu
cepat. Sehingga intensitas yang keluar dari analisator sama dengan intensitas yang
keluar dari polarisator, bila sistem-nya dianggap ideal tanpa absorpsi. Dengan sudut
90o, gelombang hanya merambat arah vertikal sehing-ga intensitas ygkeluar sama
dengan nol. Sedangkan dengan sudut 45o , berarti amplitudo gelombang yang
merambat saling tegak lurus sama besarnya, dan karena keping /4 mempunyai beda
fase relatif /2 rad sehingga cahaya terpolarisasi lingkaran yang keluar dari keping
gelombang. Intensitas yang keluar dari analisator hanya setengahnya.

Pada keping gelombang dikenal istilah sumbu cepat dan sumbu lambat. Keping
gelombang yang terbuat dari kristal kuarsa dengan ne > no , maka arah getar medan listrik
gelombang ekstraordinari disebut dengan sumbu cepat dari keping gelombang, sebaliknya
untuk gelombang ordinari merupakan sumbu lambatnya. Dengan melihat bentuk proyeksi
elipsoid Fresnel kristal positif (kuarsa dengan ne > no termasuk kristal positif), maka
dengan berkas cahaya yang mengenai kristal datang dengan arah perambatan tegak lurus
arah sumbu optik kristal (sebagai dasar pembentukan keping gelombang) akan tampak
bahwa gelombang ekstraordinari merambat dengan kecepatan yang lebih besar dibanding
gelombang ordinari.
Cahaya terpolarisasi lingkaran dapat dibentuk dari keping /4 bila berkas cahaya yang
mengenainya merupakan cahaya terpolarisasi linier dengan arah getar medan listrik
membentuk sudut 45o terhadap sumbu cepat keping gelombang. Sudut 45o memberikan
amplitudo gelombang searah sumbu cepat dan sumbu lambat keping gelombang yang
besarnya sama. Cahaya terpolarisasi linier dapat dibentuk dari polarisator linier, sehingga
dengan sistem optik yang terdiri atas polarisator linier dan keping /4 dengan sumbu
polarisator membentuk sudut 45o terhadap sumbu cepat keping gelombang maka akan
diperoleh cahaya terpolarisasi lingkaran. Piranti optik yang terdiri atas polarisator linier
Bab 3: Polarisasi | 57

dan keping /4 untuk menghasilkan cahaya terpolarisasi lingkaran disebut dengan polari-
sator lingkaran (circular polarizer). Polarisator lingkaran yang banyak digunakan terbuat
dari polaroid HN dan retarder 90o polyvinyl alcohol, yang dikenal dengan CP-HN.
Gelombang terpolarisasi lingkaran dapat pula dibentuk dari proses pemantulan
dalam total seperti yang telah diperkenalkan oleh Fresnel. Pada pemantulan dalam total
terjadi beda fase relatif antara dua komponen medan yang saling tegak lurus. Dalam glas
(n = 1,51) pergeseran fase 45o pada pemantulan dalam (internal reflaction) terjadi pada
54,6o atau 48,6o. Sehingga bila dipantulkan dua kali akan diperoleh pergeseran fase relatif
90o , dan cahaya yang keluar berupa cahaya terpolarisasi lingkaran, seperti ditunjukkan
Gambar 3.18. Bentuk retarder seperti Gambar 3.18 ini dikenal dengan sebutan retarder
tipe Romb. Tipe romb yang lain didesain oleh Mooney. Semua tipe romb dibuat dengan
bahan yang homogen dan isotropik.

54,6o

(a) (b)
Gambar 3.18 Retarder tipe romb , a) Fresnel , b). Mooney.

Retarder yang telah disebutkan di atas mempunyai retardasi relatif konstan. Fase
retardasi hanya dihasilkan untuk panjang gelombang tunggal, sehingga retarder ini terlalu
tebal untuk panjang gelombang pendek dan terlalu tipis untuk panjang gelombang
panjang. Retarder dalam bentuk baji (wedge) akan memperbesar spektrum cahaya (tidak
hanya satu panjang gelombang), tetapi pada retarder ini tidak akan diperoleh retardasi nol
sehingga dibentuk retarder dari dua buah baji. Alat optik yang dapat diatur sehingga
retardasi relatifnya dapat diubah disebut Compensator. Contohnya kompensator
Babinet seperti ditunjukkan Gambar 3.19.a)., yang terdiri atas dua baji dari kristal kalsit
atau kuarsa dengan arah sumbu optik kristal yang saling tegak lurus (pada gambar
ditunjukkan dengan titik-titik). Beda fase relatif gelombang ordinari dan ekstraordinari
pada baji pertama sebesar d1 , sedangkan untuk baji kedua
2 . (| n o  n e |)

d2
 2. (| n o  n e |)

58 | Optika

(a) (b)
Gambar 2.19 Kompensator: a). Babinet, b). Soleil.

Beda fase pada kedua baji mempunyai tanda yang berlawanan karena arah sumbu optik
kristal saling tegak lurus. Pada baji pertama, gelombang ekstraordinari lebih cepat
dibanding gelombang ordinari, sedangkan pada baji kedua gelombang ekstraordinari akan
merambat dengan kecepatan gelombang ordinari dan sebaliknya. Beda fase relatif total
yang terjadi pada gelombang yang merambat pada kompensator sebesar

2
  .(d1  d 2 ) (| no  ne |) (3.23)
o
Tebalnya d1 dan d2 diukur sejajar sinar cahaya masuk .

Fase retardasi pada kompensator Babinet tidak merata pada seluruh permukaan
baji. Struktur kompensator Soleil dapat mengatasi ketidakrataan fase retardasi.
Kompensator Soleil umumnya terbuat dari kristal kuarsa (untuk spektrum infra nerah
digunakan MgF2 dan CdS), yang terdiri dari dua baji dengan arah sumbu optik kristal sejajar
dan sebuah keping/ balok plane-paralel dengan sumbu optik kristal tegak lurus sumbu baji,
seperti ditunjukkan Gambar 2.19.b). Ketebalan d1 merupakan tebal total dari kedua baji.

3.4 Aktivitas Optik


Aktivitas optik merupakan fenomena pemutaran bidang polarisasi cahaya oleh bahan optik
aktif. Gelombang terpolarisasi linier mengenai bahan optik aktif sejajar sumbu optik maka
arah polarisasi akan diputar oleh bahan sejauh . Pertama kali fenomena optik aktif
diamati oleh Dominique FJ Arago (1786 - 1853) pada tahun 1811 dengan menyata-kan
bahwa arah polarisasi cahaya terputar bila cahaya terpolarisasi linier merambat melalui
kuarsa dengan arah sejajar sumbu kristal. Sedangkan tahun 1815, Jean Baptise Biot (1774
- 1862) memperoleh pengaruh yang sama bila berkas cahaya dilewatkan pada bahan
dalam fase uap/gas atau cair seperti turpentine. Bahan optik aktif dapat dikelompok-kan
menjadi 2, yakni Dextrorotatory (d-rotatory ) bila arah perputaran searah jarum jam, dan
Bab 3: Polarisasi | 59

Levorotatory (l- rotatory) bila arah perputaran bidang polarisasi cahaya berlawanan arah
jarum jam.
Fresnel mengembangkan tinjauan teoritis sifat optik aktif berdasarkan hasil ekspe-
rimen yang menunjukkan bahwa cahaya terpolarisasi bidang dapat diuraikan menjadi
gelombang terpolarisasi lingkaran putar kanan dan kiri. Sehingga pemutaran bidang
polarisasi oleh bahan optik aktif dianggap sebagai superposisi gelombang terpolarisasi
lingkaran putar kanan dan kiri, yang yang diturunkan dari persamaan berikut. Gelombang
terpolarisasi lingkaran putar kanan dan kiri dinyatakan dengan


E R  E o î cosk R z  t   ĵ sin k R z  t 
1
2

1 ˆ ˆ 
EL  Eo i cosk L z  t   j sin k L z  t 
2  
dengan kR = kO nR ; kL = kO nL, dan mengalami superposisi, maka resultannya berupa

E  ER  EL
  z (3.24)
 E o cosk R  k L   t  î cosk R  k L   ĵsin k R  k L  
z z
 2  2 2
Dari Persamaan (3.24) tampak bahwa medan E di posisi sejauh z membentuk sudut
  k R  k L  terhadap posisi awal. Bila medium optik aktif mempunyai tebal "d",
z
2
maka besarnya pemutaran bidang polarisasi, seperti ditunjukkan Gambar 3.20.
  (k R  k L ) d2  k o d2 (nR  nL )
2
dengan k
o

d
 (n R  n L ) (3.25)
o

Pada umumnya besaran bias rangkap lingkaran   n R  n L   bahan optik aktif dalam
orde 10-4 atau kurang. Sehingga untuk menyatakan karakteris-tik dari bahan optik aktif
dikenalkan satu besaran yang disebut dengan specific rotation (atau rotatory [power).
Specific rotation didefinisikan dengan besarnya sudut pemutaran bidang polarisasi oleh
bahan optik aktif setebal 1 mm bila dilewatkan cahaya dengan panjang gelombang 589,3
nm. Tabel 3.3. menyatakan specific rotation untuk bahan optik aktif fase padat.
60 | Optika

Gambar 3.20 Superposisi Keadaan R dan L pada z = d dalam bahan optik aktif.

Tabel 3.3 Specific rotation untuk bahan optik aktif fase padat

Specific Rotation  Specific Rotation 


Bahan Bahan
[deg/mm] [deg/mm]
HgS + 32,5 Quartz + 21,684
Lead hyposulfate + 5,5 NaBrO3 + 2,8
Potassium hyposulfate + 8,4 NaClO3 + 3,13

Specific rotation pada bahan cair dan larutan nilainya lebih kecil dibanding dengan
kristal padat, sehingga besaran ini didefinisikan untuk panjang lintasan/ bahan 10 cm. Pada
bahan larutan, bila konsentrasi larutan dalam m gr/cc, maka pemutaran sudut polarisasi 
oleh larutan optik aktif sebesar

md
 (3.26)
10

Untuk fluida murni, besaran m menyatakan densitas fluida. Besarnya specific rotation
untuk beberapa benda cair / liquid ditunjukkan pada Tabel 3.4.
Bab 3: Polarisasi | 61

Tabel 3.4 Specific rotation

Bahan optik aktif fase cair Bahan optik aktif larutan

Specific Rotation  Specific Rotation 


Bahan Terlarut Pelarut
[deg/dm] [deg/dm]
Amyl - 5,7 Camphor Alcohol + 54,4
alcohol
Camphor + 70,33 Camphor Benzene + 56
Mentol - 49,7 Camphor Ether + 57
Nicotine - 162 Galactose Water + 283,9
Turpentine - 37 d-Glucose Water + 52,5
(dextrose)
l-Glucose Water - 51,4
Lactose Water + 52,4
Maltose Water + 138,48
Nicotine Water - 77
Nicotine Benzene - 164
Sucrose Water + 66,412

3.5 Tinjauan Matematis Proses Polarisasi


3.5.1 Parameter Stokes
George Gabriel Stokes (1819 - 1903) pada tahun 1852 menyatakan cahaya terpo-
larisasi dalam 4 besaran yang kemudian disebut dengan parameter Stokes. Keempat
besaran tersebut menggambarkan filter bagi cahaya alami (natural). Filter-filter tersebut
berupa
 Filter 1 : berupa medium isotropik, yang mengakibatkan semua cahaya
terlawatkan dengan kondisi serupa, dan intensitas cahaya keluarannya
dilambangkan dengan Io
 Filter 2 : berupa polarisator linier dengan sumbu optik horisontal, dan intensitas
cahaya keluarannya dilambangkan dengan I1
 Filter 3 : berupa polarisator linier dengan sumbu optik +45o (diagonal kuadran I
dan III), dan intensitas cahaya keluarannya dilambangkan dengan I2
 Filter 4 : berupa polarisator lingkaran putar kiri (L-state), dan intensitas cahaya
keluarannya dilambangkan dengan I3
62 | Optika

Keempat filter di atas digunakan untuk mendefinisikan parameter-parameter Stokes,


yakni
So = 2 Io S1 = 2 I1 - 2 Io
(3.27)
S2 = 2 I2 - 2 Io S3 = 2 I3 - 2 Io
Seberkas cahaya quasi monokromatik yang merambat sepanjang sumbu Z dinyatakan
dengan persamaan gelombang
E (t) = Ex (t) + Ey (t)
dengan Ex (t) = Eox cos (( k z - t) + x(t)), dan Ey (t) = j Eoy cos ((k z - t) + y(t)). Jika
gelombang tersebut dinyatakan dalam parameter Stokes, menjadi
So = < Eox 2 > + <Eoy2 > S1 = < Eox 2 > - <Eoy2 >
S2 = < 2 Eox Eoy cos  > S3 = < 2 Eox Eoy sin  > ;  = y - x

Bila cahaya quasi monokromatik berupa cahaya tak terpolarisasi maka nilai < Eox 2 > =
<Eoy2 >, sehingga parameter-parameter Stokesnya adalah So = < Eox 2 > + <Eoy2 > , S1 = S2
= S3 = 0. Penulisan vektor Stokes adalah dalam bentuk ternormalisasi, sehingga vektor
Stokes untuk cahaya tak terpolarisasi dalam vektor baris berbetuk S = [ S0 S1 S2 S3] = [1 0 0
0]. Vektor Stokes untuk cahaya tak terpolarisasi tersebut dapat pula dinyatakan dalam
bentuk vektor kolom, yaitu
SO  1
S  0
S   
1

 S2  0
   
 S3  0
Cara lain untuk menyatakan parameter Stokes dari cahaya terpolarisasi, adalah dengan
menggunakan filter yang terdiri atas sepasang polarisator, yakni
So = 1 , yang menyatakan intensitas total sistem.
S1 = I0 - I90 , yang menyatakan intensitas cahaya yang keluar dari polarisator linier
horisontal dikurangi dengan intensitas cahaya yang keluar dari polarisator linier
vertikal.
S2 = I+45o - I-45o , yang menyatakan intensitas cahaya yang keluar dari polarisator linier
dengan sumbu optik +45o dikurangi dengan intensitas cahaya yang keluar dari
polarisator linier dengan sumbu optik -45o
S3 = IR - IL , yang menyatakan intensitas cahaya yang keluar dari polarisator lingkaran
putar kanan dikurangi dengan intensitas cahaya yang keluar dari polarisator
lingkaran putar kiri
Bab 3: Polarisasi | 63

3.5.2 Vektor Jones


Parameter Stokes menyatakan bentuk matematis dari tingkat polarisasi cahaya yang
didasarkan pada intensitas keluaran masing-masing filter. Sedangkan vektor yang berisi
komponen medan listrik cahaya terpolarisasi disebut dengan vektor JONES, yang
dikemukakan oleh R Clark Jones pada tahun 1941. Bentuk vektor Jones dituliskan dengan

E x (t )
E (3.28)
E y (t )

Ex(t) = Eox exp(ix) dan Ey(t) = Eoy exp(iy) dengan  fase gelombangmerupakan
komponen skalar medan listrik E.

Beberapa contoh penulisan gelombang terpolarisasi dengan vektor Jones adalah


 Cahaya terpolarisasi linier horisontal (P-State Horisontal)
E ox exp(i x ) 1
EH   E ox exp(i x ) , dengan bentuk normalisasi E  1 .
0 0 H
0
 Cahaya terpolarisasi linier +45o (P-State +45o ), yang komponen vektor medan listrik ke
arah x dan ke arah sama besar (Eox = Eoy) dan fasa awal yang sama (x = y).
E ox exp( i x ) 1
E  45o   E ox exp( i x ) , dengan bentuk normalisasi
E oy exp( i y ) 1
1 1
E  45 o 
2 1
 Cahaya terpolarisasi lingkaran putar kanan (R-State), yang mempunyai vektor medan
listrik ke-arah x dan y yang sama Eox = Eoy dan beda fase awal sebesar /2 rad,x = y -
/2
E ox exp(i x ) 1 1
ER    E ox exp(i x )   E ox exp(i x )
E ox exp(i( x  )) exp( i ) i
2 2
1 1
dengan bentuk normalisasi ER  .
2 i
Vektor Jones dapat pula dinyatakan dalam bentuk vektor baris.

3.5.3 Matriks Jones dan Mueller


Vektor Stokes dan Jones menyatakan bentuk matematis untuk menyatakan keadaan /
tingkat polarisasi cahaya. Sedangkan untuk menuliskan bentuk matematis dari komponen
optik yang berhubungan dengan cahaya terpolarisasi, digunakan bentuk matriks yang
disebut dengan matriks Mueller dan Jones. Matriks Jones berhubungan dengan cahaya
64 | Optika

terpolarisasi yang dinyatakan dengan vektor Jones, sedangkan matriks Mueller


berhubungan dengan vektor Stokes. Bila cahaya terpolarisasi Ei yang dinyatakan dalam
bentuk vektor Jones mengenai komponen optik, maka gelombang yang keluar dari
komponen optik tersebut Et dapat dituliskan dengan Et = Et. Matrik  merupakan
matriks sistem komponen optik yang dituliskan dengan matriks Jones. Bila dinyatakan
dalam bentuk matriks sebagai berikut
E tx   a11 a12  E ix 
E     
 ty  a 21 a 22  E iy 
E tx  a11 E ix  a12 E iy
E ty  a 21 E ix  a 22 E iy
Bentuk perkalian matriks di atas pertama kali dinyatakan oleh Perrin pada tahun 1942,
setelah Soleillet pada tahun 1929 menyatakan bahwa komponen optik membentuk
transformasi linier terhadap gelombang yang mengenainya.
Contoh perhitungan dengan menggunakan vektor dan matriks Jones, misal
gelombang datang Ei berupa gelombang cahaya terpolarisasi P-State +45o dengan vektor
Jones E  1 melewati keping seperempat gelombang (/4) , maka gelombang yang
i 
1
keluar keping /4 (Et) berupa gelombang terpolarisasi lingkaran putar kanan (R-State)
1  1  a a  1  a11 a12  1 0 
dengan vektor Jones E t    , sehingga     11 12    , nilai
a  
 i   i a 21 a 22  1  21 a 22  0  i
adalah matriks Jones untuk keping /4.

Bila sistem optik yang dilalui gelombang cahaya terdiri atas sederetan komponen
optik yang berbeda, maka gelombang yang keluar sistem dituliskan sebagai

Et = n ... 3 2 1 Ei (3.29)

dengan Ei dan Et adalah vektor kolom Jones dari gelombang datang dan yang
ditransmisikan. Bila gelombang terpolarisasi dituliskan dalam bentuk vektor baris, maka
Persamaan (3.29) dituliskan sebagai

Et = Ei 1 2 3 ... n (3.30)

Bentuk matriks dari komponen optik yang polarisasi cahayanya dinyatakan dalam
vektor Stokes, dikemukakan oleh Hans Mueller (1943). Karena vektor Stokes terdiri dari 4
elemen, maka matriks Mueller merupakan matriks 4X4 dengan 16 elemen matriks. Dari 16
elemen yang ada, hanya 7 elemen yang merupakan parameter bebas. Persamaan yang
digunakan untuk menyelesaikan problem tentang cahaya terpolarisasi secara matematis
dalam bentuk perkalian vektor kolom Stokes dan matriks Mueller adalah
It = Mn ... M3 M2 M1 Ii (3.31)
Bab 3: Polarisasi | 65

Sedangkan bila vektor Stokesnya berbentuk vektor baris, maka


It = Ii M1 M2 M3 ... Mn (3.32)
Bentuk umum dan beberapa contoh vektor Stokes, Jones serta matriks Mueller dan Jones
terdapat pada Lampiran A.

SOAL LATIHAN

1. Cahaya tak terpolarisasi melalui polarisator linier dan plat /4 dengan sumbu cepat
vertikal. Apa jenis polarisasi cahaya yang keluar bila sudut azimuth polarisator linier 0o,
30 o, 45 o, 60 o, 90 o, 120 o, 135 o, 150 o.
2. Bila cahaya terpolarisasi lingkaran datang tegak lurus terhadap keping seperdelapan
gelombang, apa jenis polarisasi cahaya yang keluar dari keping gelombang?
3. Seberkas cahaya sodium (panjang gelombang 5893 A) terpolarisasi bidang mengenai
kristal kuarsa (quartz) setebal 10 cm. Bila kristal ini mampu memutar bidang polarisasi
sebesar 2172o, tentukan ukuran bias rangkap lingkaran (circular birefringence)
4. Cahaya tak terpolarisasi melalui polarisator linier horisontal dan vertikal .
a). Apa jenis polarisasi cahaya yang keluar sistem
b). Apa yang terjadi bila antara polarisator disisipkan plat /4 horisontal
5. Cahaya terpolarisasi R-state melalui polarisator lingkaran putar kanan dan kiri.
Tentukan jenis polarisasi cahaya yang keluar dengan vektro Stokes dan matriks
Mueller bila :
a. putar kanan di depan putar kiri
b. putar kiri di depan putar kanan
6. Sebuah berkas cahaya natural mengenai permukaan gelas-udara (nti = 1,5) dengan
sudut datang 40o. Hitung derajad polarisasi dari cahaya yang direfleksikan.
7. Seberkas cahaya dikenakan pada bidang batas udara - glas (n = 1,5) dengan sudut
datang tertentu. Bila diperoleh cahaya terpantul terpolarisasi bidang, berapa sudut
datang yang harus dibuat, dan berapa prosen reflektansinya ?
8. Cahaya tak terpolarisasi datang pada glass (n = 1,5) dengan sudut datang 30 o, berapa
prosentase energi cahaya yang dipantulkan dengan komponen terpolarisasi sejajar
dan tegak lurus, tentukan derajad polarisasinya?
9. Cahaya terpolarisasi lingkaran putar kiri dengan panjang gelombang 655 nm melalui
retarder kuarsa (no= 1,54 , ne = 1,551). Tentukan ketebalan minimum retarder bila
cahaya yang keluar terpolarisasi putar kanan.
10. Seberkas cahaya kuning mengenai keping kalsite dengan sudut datang 50o terhadap
normal. Bila keping dipotong sehingga sumbu optik sejajar bidang batas/permukaan ,
tentukan sudut yang dibentuk oleh kedua sinar bila no= 1,66 , ne = 1,49.
66 | Optika
Bab 4: Koherensi | 67

Bab 4 Koherensi

Pengamatan pola interferensi (materi interferensi akan diberikan pada bab berikutnya)
biasanya berhubungan dengan dimensi yang relatif kecil, seperti jarak dua celah yang
hanya dalam orde milimeter, atau ketebalan lapisan tipis yang tebalnya juga dalam orde
milimeter. Dimensi sekecil ini akan menghasilkan frinji interferensi dari berkas cahaya
alami. Kebutuhan akan dimensi kecil ini tidak ada sangkut-pautnya dengan panjang
gelombang cahaya yang menghasilkan pola frinji interferensi. Umumnya pola interferensi
yang diperoleh dengan menggunakan cahaya alami relatif lebih sukar daripada yang
diperoleh dengan menggunakan berkas cahaya laser. Kemampuan teramatinya pola
interferensi berkaitan erat dengan sifat gelombang yang disebut dengan koherensi, yaitu
keseragaman fase gelombang yang dipancarkan oleh sumber cahaya.
Dalam pembahasan tentang interferensi, pengertian sumber koheren dan tidak
koheren berhubungan dengan ada atau tidaknya pola interferensi yang terbentuk. Dua
gelombang dikatakan koheren bila suku interferensi
E1  E 2  2 I1I 2 cos 
tidak berharga nol. Sehingga dua gelombang adalah koheren bila E1 dan E2 mempunyai
beda fase yang tidak berubah/konstan. Mengukur sifat koherensi artinya membandingkan
fase relatif dari dua gelombang cahaya atau dua gelombang yang sama. Sehingga
perbandingannya dapat merupakan fungsi ruang atau waktu.
Koherensi secara eksperimental pertama kali diperkenalkan oleh Emile Verdet,
ketika mengukur panjang koherensi spatial dari sumber cahaya berdimensi (extended,
bukan sumber titik) pada th 1865. Verdet mampu menunjukkan pola frinji interferensi dari
eksperimen Young dengan menggunakan sumber cahaya tidak koheren, seperti sinar
matahari, dengan menggunakan pin hole yang sangat rapat ( jarak antara keduanya < 0,05
mm). Kemudian pada tahun 1890 Michelson mengembangkannya dengan
menghubungkan distribusi spektrum sumber cahaya dengan kualitas frinji, yang kemudian
disebut dengan visibilitas frinji interferensi.
68 | Optika

4.1 Fungsi Koherensi


Interferensi dua atau lebih gelombang akan menghasilkan amplitudo dan fase yang
bervariasi terhadap waktu secara acak. Dua medan E1 dan E2 yang berinterferensi akan
menghasilkan intensitas sebesar

  
I  E  E *  E1  E 2  E1*  E 2* 
(4.1)
 2 Re E  E 
2 2
 E1  E1 1
*
2

dengan tanda kurung <> menyatakan rata-rata waktu (time average) yang dinyatakan
dengan
1T
f  lim
T  T
 f (t ) dt
0

Pada pembahasan berikut dianggap bahwa semua besaran yang terlibat berada dalam
keadaan stasioner, yang berarti bahwa nilai rata-rata waktu tidak terpengaruh oleh
keadaan awal, sehingga Persamaan (4.1) dapat dinyatakan sebagai

I  I1  I 2  2 Re( E1  E2* ) (4.2)


2 2
dengan I1  E1 , dan I 2  E2 .

Pada eksperimen interferensi dua medan E1 dan E2 umumnya berasal dari sumber
yang sama, dan keduanya dibedakan karena lintasannya. Skema sederhana dari
interferensi dua medan yang melalui lintasan berbeda ditunjukkan oleh Gambar 4.1. Bila
waktu tempuh lintasan satu adalah t, dan lintasan kedua memerlukan waktu (t + ), maka
Pers.(4.2) menjadi

I  I1  I 2  2 Re 12 ( ) (4.3)

dengan

12 ( )  E1 (t ) E*2 (t   ) (4.4)

Gambar 4.1 Interferensi dengan dua lintasan.


Bab 4: Koherensi | 69

Fungsi 12 ( ) disebut dengan fungsi koherensi mutual atau fungsi korelasi dua medan E1

dan E2. Sedangkan fungsi 11 ( )  E1 (t ) E1* (t   ) dikenal dengan fungsi koherensi diri
atau fungsi autokorelasi. Dari definisi ini dapat diperoleh bahwa

11 (0)  I1 ; 22 (0)  I 2


Sering kali diperlukan nilai ternormalisasi dari fungsi koherensi, dinyatakan sebagai fungsi
korelasi ternormalisasi 12(), yang disebut juga dengan derajad koherensi parsial, yaitu

12 ( ) 12 ( )
 12 ( )   (4.5)
11 (0) 22 (0) I1I 2

Sehingga intensitas interferensi bila dinyatakan sebagai fungsi derajad koherensi


dituliskan sebagai

I  I1  I 2  2 I1I 2 Re ( 12 ( )) (4.6)

Koherensi berkas cahaya dalam hubungannya dengan derajad koherensinya dapat dibagi
menjadi
 12 ( )  1 , untuk koherensi sempurna
0   12 ( )  1 , untuk koherensi parsial
 12 ( )  0 , untuk tidak koherensi sempurna
Pada pola frinji interferensi, intensitas bervariasi diantara dua batas yakni intensitas maksi-
mum dan intensitas minimum. Dari Persamaan (4.6) kedua intensitas ini bernilai

I max  I1  I 2  2 I1I 2  12
(4.7)
I min  I1  I 2  2 I1I 2  12

4.2 Visibilitas
Kualitas frinji yang dihasilkan dari sistem interferometri dapat digambarkan dalam suatu
besaran yang disebut dengan visibilitas yang dinyatakan sebagai

I max  I min
V (r )  (4.8)
I max  I min
seperti Persamaan (3.18), dengan Imax dan Imin menyatakan intensitas maksimum dan mini-
mum pada sistem frinji. Bila dinyatakan dalam derajad koherensi maka rumusan visibilitas
menjadi
70 | Optika

2 I1I 2  12
V (r )  (4.9)
I1  I 2
Untuk kasus intensitas kedua sumber sama I1 = I2 , maka nilai visibilitas sama dengan nilai
derajad koherensi V = |12|.
Pada perangkat eksperimen Young dua pin hole S1 S2 berjarak “a” yang disinari
dengan berkas cahaya yang berasal dari sumber garis dengan panjang “b” dengan arah
sejajar kedua pin hole, menghasilkan pola frinji interferensi yang bertumpuk, seperti
ditunjukkan pada Gambar 4.2. Perangkat ini dilengkapi dengan sebuah lensa L untuk
melokalisir pola frinji dari difraksi sehingga lebih efektif dan saling tumpang tindih di
bidang pengamatan o.

Gambar 4.2 Eksperimen Young dengan sumber garis.

Suatu sumber titik S’ yang berada pada pusat sumber garis, menghasilkan pola frinji
dengan intensitas

 Ya 
I  4I o cos2   (4.10)
 s 
Demikian pula sumber titik S’’ akan menghasilkan pola frinji yang serupa, hanya saja
keduan posisi frinji orde nolnya berbeda. Bila letak sumber S’ simetri terhadap kedua pin
hole S1 S2 , maka pusat frinjinya berada pada titik yang seporos dengan S’ dan pusat kedua
pin hole (titik P’), tetapi untuk sumber S’’ yang berada di bawah titik pusat kedua pin hole,
frinji pusatnya terletak di atas garis poros (titik P’’). Beda lintasan S1P' '  S2P' '

merupakan besarnya pergeseran titik dari pusat frinji orde nol kedua sumber P' P' ' .
Dari Persamaan (4.10) dapat ditentukan perubahan intensitas yang disebabkan
perubahan jarak P' P' ' , yaitu
Bab 4: Koherensi | 71

 a 
dI  A dYo cos2  Y  Yo  (4.11)
 s 
dengan A merupakan suatu konstanta. Hasil integrasi untuk semua jarak bayangan dari
pin hole w adalah
w / 2
 a 
I (Y )  A  cos2  Y  Yo  dYo (4.12)
w / 2  s 
Setelah dilakukan manipulasi trigonometri diperoleh

Aw A s  a   a 
I (Y )   sin w  cos 2 Y  (4.13)
2 2 a  s   s 
A
Bila intensitas rata-rata I  , maka
2

  a  
 sin  w 
I (Y )   s    a   a   a 
 1 cos 2 Y   1  sin c w  cos 2 Y  (4.14)
I   a    s   s    s 
  w 
  s  
Intensitas maksimum dan minimum dapat dinyatakan dengan
I max  a 
 1  sin c w
I  s 
(4.15)
I max  a 
 1  sin c w
I  s 

Ketika w jauh lebih kecil dibanding lebar frinji (s/a), maka fungsi sinc nilainya
mendekati 1, sehingga Imax/ I =2 dan Imin/ I =0, seperti ditunjukkan Gambar 4.2.(atas).
Dengan bertambahnya w, nilai Imin/ I semakin meningkat, yang mengakibatkan
berkurangnya kekontrasan frinji dan akhirnya. Ketika w = s/a intensitas maksimum dan
minimum sama besarnya, sehingga frinji interferensi tidak terbentuk, seperti ditunjukkan
Gambar 4.3. (kanan bawah). Gambar 4.3 tampak jelas menunjukkan bahwa semakin besar
nilai visibilitas, maka pola frinji yang terbentuk akan semakin kontras. Hal ini ditunjukkan
dengan perbandingan intensitas maksimum dan intensitas minimum yang semakin besar.
72 | Optika

Gambar 4. 3 Frinji dengan variasi ukuran celah sumber.

Dari intensitas maksimum dan intensitas minimum Persamaan (4.15) diperoleh nilai
visibilitas sebesar

 aw   ab 
V  sin c   sin c  (4.16)
 s   l 
dengan b merupakan panjang sumber garis, dan l adalah jarak sumber terhadap apertur
(pin hole). Grafik yang menggambarkan Persamaan (4.16) di atas ditunjukkan Gambar 4.4.
Bab 4: Koherensi | 73

Gambar 4. 4 Visibilitas.

4.3 Koherensi Ruang dan Waktu


4.3.1 Koherensi Waktu
Bila dua sumber identik memancarkan gelombang dan saling berinterferensi, maka fungsi
korelasinya dinyatakan sebagai

 (S1,S2,) = 12() = 11() , dan 12() = 11()

dengan 11()  derajad koherensi temporal dua titik yang terpisah dengan waktu . Tetapi
bila kedua sumber tidak identik, maka  (S1,S2,) = 12(), dan pada frinji pusat dengan
beda lintasan geometri dari kedua berkas yang sama besarnya (r1 – r2) = 0, beda waktu
tempuh juga nol  = 0, sehingga nilai 12(0) dan 11(0) dapat ditentukan. Besaran 12(0)
menyatakan derajad koherensi temporal dua titik yang terpisah pada jarak yang sama.
Besaran lain yang berhubungan dengan koherensi temporal adalah waktu koherensi
(coherence time). Tinjau suatu sumber quasimonocromatics dengan sifat medan yang
dipancarkan bervariasi secara sinusoidal untuk rentang waktu tertentu o, dan akan
berubah fasenya untuk rentang waktu o berikutnya, yang selalu berulang secara periodik,
seperti ditunjukkan Gambar 4.5. Besaran o disebut dengan waktu koherensi sumber, dan
perubahan fasenya terjadi setelah masing-masing waktu koherensi.

Gambar 4.5 Grafik fase sumber quasimonokromatik


74 | Optika

Suatu medan listrik yang dipancarkan oleh sumber quasimonokromatik mempunyai


persamaan tergantung waktu, yang dinyatakan sebagai

E (t )  E o e it e i (t ) (4.17)

dengan sudut fase (t) merupakan fungsi tangga (step) yang acak. Seberkas cahaya yang
dinyatakan dengan Persamaan (4.17) dibagi menjadi dua berkas, dan keduanya saling
berinterferensi. Bila dianggap bahwa amplitudo kedua berkas sama, |E1| = |E2| = |E|,
maka nilai derajad koherensi parsial dari fungsi autokorelasi adalah

E (t ) E  (t   )
 ( )  2 (4.18)
E

Dari substitusi Persamaan (4.17) didapatkan

 ( )  e i e i (t )  (t  )
(4.19)
1 T i  (t )  (t  ) 
 ( )  e i lim e dt
T  T
0

Besaran (t)- (t+) dapat digambarkan sebagai fungsi waktu seperti ditunjukkan pada
Gambar 4.6. Dari gambar tampak bahwa pada interval waktu koherensi pertama 0< t < o
teramati beda fase [(t)- (t+) = 0] terjadi pada saat 0 < t < o - , sedangkan pada waktu
yang lain o - < t < o beda fasenya bervariasi acak antara nilai 0 dan 2. Berdasar Gambar
4.5 yang digunakan untuk menyelesaikan Persamaan (4.19) untuk interval pertama
diperoleh
o  o  o
1 i  ( t )  ( t  )  1 1 i
o e dt 
o  dt 
o e dt
0 0  o 
(4.20)
   i
 o  e
o o
dengan  menyatakan beda fase bernilai acak.

Gambar 4.6 Grafik beda fase fungsi waktu.


Bab 4: Koherensi | 75

Cara yang sama dapat digunakan untuk menentukan untuk semua interval , kecuali pada
daerah dengan nilai  yang berbeda untuk masing-masing interval. Karena  bernilai acak,
maka suku yang melibatkan besaran ei mempunyai nilai rata-rata yang sama dengan nol.
Sedangkan suku yang lain bernilai sama untuk semua interval. Dari pembahasan ini
didapatkan fungsi autokorelasi untuk sumber quasimonokromatik, yaitu
  
 1   ei ,   o
 ( )     o 
 0 ,   o

dengan nilai mutlak (absolut)
  
 1   ,   o
 ( )     o 
 0,   o

Grafik fungsi derajad koherensi |()| sebagai fungsi  ditunjukkan Gambar 4.7. Seperti
telah dijelaskan di depan dari Persamaan (4.9), bahwa visibilitas frinji akan bernilai sama
dengan derajad koherensi sumber, bila kedua sumbernya mempunyai amplitudo yang
sama. Dari gambar tampak bahwa visibilitas frinji akan turun menjadi nol bila  lebih besar
dari waktu koherensi o.
Hal ini berarti bahwa frinji interferensi dua sumber akan terbentuk bila kedua berkas
yang berinterferensi mempunyai beda lintasan yang tidak boleh lebih besar dari panjang
koherensi sumber lc, yang dinyatakan sebagai

lc = c o (4.21)

Gambar 4.7 Grafik fungsi derajad koherensi |()| sebagai fungsi .

Sumber cahaya nyata (riil), tidak ada yang merupakan sumber monokro-matik yang hanya
memancarkan satu panjang gelombang. Sumber-sumber ter-sebut selalu mempunyai
rentang frekuensi di sekitar frekuensi pusatnya. Dari teorema integral Fourier yang
menguji tentang hubungan antara pelebaran frekuensi atau lebar garis sumber cahaya
terhadap koherensi sumber didapatkan
76 | Optika

2 1
  ,   (4.22)
o o
Sehingga panjang koherensi sumber cahaya dengan Persamaan (4.21) dapat dinyatakan
sebagai fungsi frekuensi sebagai

c
lc  c  o  (4.23)


Sedangkan dalam hubungan dengan panjang gelombang (yang nyata berlaku / = /)
didapatkan

2
lc  (4.24)

dengan  menyatakan lebar garis spektrum dengan skala panjang gelombang, dan 
adalah panjang gelombang pusat dengan intensitas terbesar dari spektrum yang
dipancarkan oleh sumber cahaya.
Suatu sumber cahaya berupa tabung lucutan (discharge tubes) yang mempunyai lebar
garis spektral dalam orde Å pada daerah spektrum cahaya tampak dengan panjang
gelombang pusat 5000 Å , akan diperoleh panjang koherensi sekitar 2 mm. Sehingga bila
sumber ini digunakan dalam eksperimen interferensi maka visibilitas frinji akan hilang bila
beda lintasan kedua berkas yang berinterferensi lebih besar dari 2 mm.
Dalam eksperimen interferensi dengan sumber cahaya putih dan pola interferensinya
diamati dengan menggunakan mata, maka perlu mempertimbangkan rentang spektrum
terhadap sensitivitas mata. Mata manusia umumnya sensitif terhadap spektrum cahaya
tampak (pusat sensitif pada panjang gelombang 5500 Å), dan akan menjadi tidak sensitif
bila panjang gelombang lebih kecil dari 4000 Å atau lebih besar dari 7000 Å. Sumber
cahaya putih yang mempunyai lebar spektral 1500 Å akan mempunyai panjang koherensi
sekitar 3 atau 4 panjang gelombang. Tetapi untuk sumber cahaya yang lebar spektralnya
sangat tajam, seperti laser gas dengan lebar spektral kurang dari 103 Hz akan mempunyai
panjang koherensi dari perbandingan frekuensi / = 1014/103 = 1011 panjang
gelombang atau dalam orde 50 km. Dari kenyataan ini tidak hanya efek interferensi yang
dapat dihasilkan dengan beda lintasan yang sangat panjang, tetapi juga dapat diperoleh
frinji interferensi dari dua sumber laser yang berbeda. Pola interferensi dengan dua laser
berbeda akan terbentuk tidak dalam keadaan tunak, tetapi berfluktuasi dengan pola acak,
sesuai waktu koherensi sumber laser.
Bab 4: Koherensi | 77

4.3.2 Koherensi Ruang (Spatial Coherence)


Sumber titik tunggal memancarkan gelombang sferis. Tinjau tiga titik P1, P2, P3 dalam ruang
seperti ditunjukkan Gambar 4.8. yang mempunyai medan listrik E1, E2, dan E3. Titik P1 dan
P3 berada pada arah yang sama dari sumber, tetapi dengan jarak yang berbeda. Koherensi
antara medan E1 dan E3 merupakan ukuran koherensi spatial longi tudinal. Pada sisi
yang lain, titik P2 berada pada jarak yang sama dengan P1 terhadap sumber S tetapi
mempunyai arah yang berbeda. Koherensi antara P1 dan P2 disebut dengan koherensi
spatial transversal.

Gambar 4.8 Koherensi spatial longitudinal dan transversal.

Sifat koherensi longitudinal sangat bergantung pada seberapa nisbah (rasio) jarak antara
titik P1 dan P3 (r13) terhadap panjang koherensi sumber, atau pada nilai t13 = r13 /c bila
dibandingkan dengan waktu koherensi o. Bila t13 << o maka akan didapatkan sifat
koherensi yang tinggi antara E1 dan E3 , tetapi bila t13 >> o maka bersifat koherensi
sebagian atau tidak koheren. Sedangkan pada koherensi transversal, bila sumber S
merupakan sumber titik sempurna dan waktu tempuh antara medan E1 dan E2 tepat sama
maka akan diperoleh koheren sempurna. Koherensi parsial antara E1 dan E2 akan terjadi
bila sumbernya bukan merupakan sumber titik dan padanya ada dimensi ruang.
Suatu sumber berdimensi (bukan sumber titik) dapat dianggap sebagai sekumpulan
sumber titik yang saling bebas dan tidak saling mempengaruhi. Tinjau dua sumber titik
quasimonokromatik Sa dan Sb , seperti ditunjukkan Gambar 4.9, yang merupakan dua
sumber yang identik, kecuali tidak identik pada variabel fase yang bervariasi secara acak
dan tidak saling mempengaruhi. Resultan medan di titik P1 dan P2 dinyatakan sebagai
E1 = E1a + E1b
(4.25)
E2 = E2a + E2b
dengan E1a menyatakan medan di titik P1 yang berasal dari sumber Sa , dan yang lainnya.
Fungsi korelasi ternormalisasi dari dua titik tinjau diberikan oleh
E1 (t ) E2* (t   )
 12 ( ) 
I1I 2
atau
78 | Optika

E1a (t )  E1b (t ) E2*a (t   )  E2*b (t   )


 12 ( ) 
I1I 2
(4.26)
E1a (t ) E2*a (t   ) E1b (t ) E2*b (t   )
 
I1I 2 I1I 2
Dari kenyataan bahwa kedua sumber Sa dan Sb merupakan sumber yang saling tidak
koheren, maka suku-suku <E1a E2b*> dan <E1b E2a*> dapat dihilangkan. Bila diasumsikan
bahwa medan kedua sumber dinyatakan seperti Persamaan (4.17) dan memanfaatkan
korelasi Persamaan (4.20) akan diperoleh hubungan

 12 ( )  12  ( a )  12  ( b ) (4.27)

it   
dengan fungsi autikorelasi masing-masing sumber dinyatakan sebagai  ( )  e 1  
  o 
r2 a  r1a r r
dan  a    ,  b  2b 1b   , sehingga
C C

 1  cos ( b   a )   a   b 


 12 ( )  
2
1  1   (4.28)
 2   o   o 
Dari Persamaan (4.28) tampak bahwa koherensi saling (mutual) antara medan pada dua
titik tinjau tidak hanya tergantung pada waktu koherensi masing-masing sumber, tetapi
juga tergantung pada besaran b - a.

Gambar 4.9 Koherensi lateral dari dua sumber.

Bila dianggap bahwa titik P1 pada Gambar 4.9 berada pada sumbu simetri kedua
sumber sehingga r1a = r1b dan karena b - a = (r2b - r1b)/c , maka

sl
b  a  (4.29)
2cr

dengan s menyatakan jarak antara kedua sumber, l merupakan jarak antara kedua titik
pengamatan, r menyatakan jarak rata-rata dari sumber ke titik pengamatan.
Bab 5: Interferensi | 79

Bab 5 Interferensi

Interferensi optikal adalah interaksi antara dua atau lebih gelombang cahaya yang
intensitas resultan-nya bervariasi terhadap komponen pembentuknya. Pada interferensi
berlaku prinsip superposisi, dan menghasilkan pita cahaya terang dan gelap yang disebut
dengan frinji. Pita terang terjadi ketika sejumlah gelombang bersama-sama menghasilkan
intensitas maksimum dan disebut dengan interferensi konstruktif. Sebaliknya pita gelap
terjadi bila sejumlah gelombang cahaya menghasilkan intensitas minimum dan disebut
dengan interferensi destruktif. Secara keseluruhan, distribusi frinji yang dihasil-kan dari
fenomena interferensi dikenal dengan pola interferensi. Pola interferensi ini terbentuk bila
dua atau lebih gelombang berasal dari sumber yang sama. Tapi bila gelombang-gelombang
tersebut berasal dari sumber cahaya yang berbeda, maka interferensi tidak akan terjadi,
walaupun fenomena super-posisi tetap berlangsung. Hal ini berhubungan dengan
koherensi gelombang-gelombang yang berinterferensi.
Interferensi pertama kali diamati oleh Robert Boyle (1627 - 1691) pada tahun 1663,
pola interferensi yang dilihatnya dinamakan dengan cincin Newton. Robert Hooke (1635 -
1703) juga mengamati fenomena yang sama. Sedangkan Newton, yang namanya
diabadikan sebagai bentuk pola interferensi adalah ilmuwan mashur yang mengerjakan
sejumlah eksperimen tentang pola interferensi. Eksperimen tentang efek interferensi
pertama kali dilakukan oleh Thomas Young (1773 - 1829) pada tahun 1802.
Berdasar berkas cahaya yang berinterferensi, dikenal dua macam pola interferensi
yakni interferensi berkas ganda (two-beam / double-beam) dan berkas jamak (multiple -
beam). Untuk mendapatkan dua berkas cahaya pada pola interferensi berkas ganda
dapat dilakukan dengan cara pembagian muka gelombang atau pembagian amplitudo
gelombang dari sumber .

5.1 Interferensi Dua Gelombang Monokromatik


80 | Optika

Dua sumber cahaya titik S1 dan S2 yang berjarak "a" memancarkan gelombang
monokromatik dengan frekuensi yang sama dalam medium homogen, yang persamaan
medan listriknya masing-masing dituliskan sebagai berikut
𝐸1 (𝑟, 𝑡) = 𝐸01 cos 𝑘1 ∙ 𝑟 − 𝜔𝑡 + 𝜀1
𝐸2 (𝑟, 𝑡) = 𝐸02 cos 𝑘2 ∙ 𝑟 − 𝜔𝑡 + 𝜀2

Gambar 5.1 Interferensi dua gelombang dari sumber S1 dan S2.

Bila ditinjau di titik pengamatan P yang berjarak r1 dari sumber S1 dan r2 dari sumber S2
(seperti ditunjukkan Gambar 5.1), maka akan terjadi proses interferensi, yang nilai
medan listrik resultannya merupakan hasil superposisi kedua gelombang yang berasal dari
sumber S1 dan S2.
𝐸𝑝 = 𝐸1 + 𝐸2
Intensitas cahaya di titik P sebagai hasil superposisi:
𝐼 = 𝜀𝑣 𝐸 2
dengan

𝐸 2 = 𝐸 ∙ 𝐸 = 𝐸1 + 𝐸2 ∙ 𝐸1 + 𝐸2

𝐸 2 = 𝐸12 + 𝐸22 + 2𝐸1 𝐸2


Karena yang dapat diamati di titik pengamatan P dengan menggunakan detektor adalah
besaran intensitas yang nilainya merupakan gabungan intensitas cahaya pembentuknya,
maka
𝐼𝑝 = 𝐼1 + 𝐼2 + 𝐼12 (5.1)

dengan I1 ≡ intensitas di titik P oleh sumber S1


𝐼1 = 𝐸12 = 12𝐸01
2
Bab 5: Interferensi | 81

I2 ≡ intensitas di titik P oleh sumber S2


𝐼2 = 𝐸22 = 12𝐸02
2

𝐼12 = 2 𝐸1 ∙ 𝐸2

Besaran I12 dikenal dengan sebutan suku interferensi, karena dari suku inilah intensitas
bervariasi antara nilai minimum (pita gelap) hingga nilai maksimum (pita terang).

Sedangkan dari tinjauan gelombang,


𝐸1 ∙ 𝐸2 = 𝐸01 ∙ 𝐸02 cos 𝑘1 ∙ 𝑟 − 𝜔𝑡 + 𝜀1 cos 𝑘2 ∙ 𝑟 − 𝜔𝑡 + 𝜀2
𝐸1 ∙ 𝐸2 = 12 𝐸01 ∙ 𝐸02 cos 𝑘1 ∙ 𝑟 + 𝜀1 − 𝑘2 ∙ 𝑟 − 𝜀2
maka, 𝐼12 = 𝐸01 𝐸02 cos 𝛿
dengan   beda fase kedua gelombang
= k1 r + 1 - k2 r - 2
Bila 𝐼1 = 𝐸12 = 12𝐸01
2
, 𝐼2 = 𝐸22 = 12𝐸02
2
, I12  2 I1I2 cos
maka Persamaan (5.1) dapat diubah menjadi

I p  I1  I 2  2 I1I 2 cos (5.2)

Besarnya intensitas cahaya di suatu titik adalah bervariasi, tergantung pada beda fase
kedua gelombang yang berinterferensi. Untuk cos  = 1 , bila  = 0, 2 , 4, ...maka
terjadi pola konstruktif dengan intensitas:

I max  I1  I2  2 I1I2
Sedangkan untuk cos  = 0, yaitu bila  =  , 3, ... maka terjadi pola destruktif dengan
intensitas,

I min  I1  I 2  2 I1I 2
Bila amplitudo kedua gelombang sama besar E01 = E02 sehingga intensitas cahaya di titik
pengamatan yang berasal dari kedua sumber juga sama besar dan dimisalkan sebesar Io ,
atau I1 = I2 = Io , maka besarnya intensitas I = 2 Io (1 + cos) = 4 Io cos2 /2 yang berarti
menghasilkan intensitas maksimum Imax = 4 Io dan intensitas minimum Imin = 0. Sumber
cahaya S1 dan S2 yang memancarkan gelombang sferis:
_ ^
E1 ( r1 , t )  E 01 ( r ) exp[ i ( kr1   t  )]
_ ^
E 2 ( r2 , t )  E 02 ( r ) exp[ i ( kr2   t   2 )]

dengan r1, r2 adalah radius sumbu terhadap titik uji P, sedangkan  = k (r1 - r2) + (1 - 2)

Jika E01 = E02 , I1 = I2 = Io , maka I = 4 Io cos2 1/2 [k (r1 - r2 ) + (1 - 2)] = 4 Io cos2 /2
Intensitasnya akan maksimum bila  = 2m, m = 0, 1 , 2,...atau
82 | Optika

r1  r2   2m  1   2   m  


1   2 
k 2
Sedangkan intensitas minimum terjadi bila  = (2m+1), atau

r1  r2   2m  1  1   2    m  1    1   2 


k  2 2
Bila fase awal kedua gelombang sama 1 - 2 = 0, maka
n(r1 - r2 )= m,  = m (maksimum )
(5.3)
n(r1 - r2 )=( m + 1/2) ,  = (m + 1/2)  (minimum )

dengan  = panjang gelombang di medium


n = indeks bias medium
  opd (Optical Path Deference) / beda lintasan optik = n (r1 - r2 )

Dengan menempatkan sebuah layar pada titik P, maka akan diperoleh pola gelap terang
dalam variasi intensitas. Pola gelap terang pada layar di daerah interferensi dikenal
dengan frinji interferensi.
Fresnel dan Arago telah mempelajari kondisi-kondisi yang terjadi dari fenomena
interferensi gelombang terpolarisasi dan menyimpulkannya dalam hukum Fresnel-Arago
yang berbunyi sebagai berikut:
1. dua gelombang orthogonal koheren terpolarisasi bidang, tidak menimbulkan frinji
karena tidak dapat berinterferensi
2. dua gelombang paralel koheren terpolarisasi bidang dapat berinterferensi
3. dua gelombang terpolarisasi bidang yang saling tegaklurus tidak membentuk pola
interferensi.

Fenomena interferensi dapat diklasifikasikan menjadi 4 macam yaitu:


1. Kromatisme frinji, bila sumber cahaya yang digunakan adalah cahaya polikromatik,
maka frinji yang terjadi merupakan gabungan atas frinji-frinji yang teratur dari
panjang gelombang pembentuk cahaya polikromatik, seperti ditunjukkan Gambar 5.2.
Bab 5: Interferensi | 83

1

2

3

123

Gambar 5.2 Frinji dengan sumber polikromatik.

Garis-garis terang (pada gambar ditunjukkan dengan warna gelap) yang ditimbulkan
dari fenomena interferensi untuk panjang gelombang 1 , 2 , dan 3 bergabung
menjadi satu bila cahaya yang digunakan terdiri atas panjang gelombang tersebut.

2. Pembagian gelombang
Dua sumber cahaya yang melakukan interferensi berasal dari sumber tunggal.
Pembentukan kedua sumber cahaya dari satu sumber asal dapat dilakukan berdasar
pada pembagian muka gelombang atau pembagian amplitudo gelombang.
Digunakannya dua sumber dari satu sumber dimaksud-kan karena kestabilan frinji
akan terbentuk bila kedua sumber merupakan sumber koheren. Pembagian amplitudo
gelombang, yang biasanya dilakukan dengan mengggunakan permukaan glas yang
dilapisi logam atau dielektrik yang berfungsi untuk memperbesar reflektansi. Piranti
seperti ini disebut dengan pembagi berkas (beam splitter).

3. Lokasi frinji,
adalah posisi pengamatan pola frinji yang terbentuk, yang dapat dilakukan di
tempat yang lain dengan menambahkan komponen optik lain dalam sistem tersebut.
Contoh skematis dari klasifikasi lokasi frinji adalah pengamatan pola interferensi yang
dihasilkan dari perangkat cincin Newton seperti ditunjukkan Gambar 5.3.

4. Multiplisitas,
frinji interferensi yang dihasilkan oleh sejumlah berkas cahaya, yang kemudian disebut
interfe-rensi multiple-beam, Gambar 5.4.
84 | Optika

Gambar 5.3 frinji oleh cincin Newton dilihat dari dua tempat.

S lensa
pemfokus

Gambar 5.4 Interferensi berkas jamak.

Fenomena interferensi dapat dimanfaatkan untuk menentukan / mengukur besaran-


besaran optik, antara lain indeks bias, panjang gelombang sumbu cahaya. Peralatan untuk
maksud ini disebut interferometer, yang cara kerjanya didasarkan pada ke 4 macam
klasifikasi di atas.

5.2 Interferensi Pembagian Muka Gelombang


Eksperimen yang pertama kali dilakukan untuk membentuk pola interferensi
dikemukakan oleh Young (Thomas Young, 1773-1829). Cahaya dari sumber titik
monokromatik S mengenai dua pinhole S1 dan S2 dengan keduanya dalam posisi simetri
terhadap sumber S dan bersama-sama membentuk pola interferensi pada layar. Kesime-
trian kedua sumber mengakibatkan fase awal kedua gelombang sama 1 = 2. Secara
skematis eksperimen Young ditunjukkan pada Gambar 5.5. Berdasar tinjauan geometri
dari Gambar 5.5 diperoleh bahwa

S1 B  S1 P  S 2 P  r1  r2
Kondisi di atas berlaku bila jarak antara layar/bidang pengamatan dengan apertur (2 pin
hole) jauh lebih besar dibandingkan dengan jarak antara dua pin hole ("a"), sehingga
BP  S2 P dan r1  r2  S1B . Dari segi tiga S1 S2 B didapatkan
Bab 5: Interferensi | 85

𝑟1 − 𝑟2 = 𝑎 sin 𝜃𝑚

Gambar 5.5 Eksperimen Young

Bila posisi frinji orde m jauh lebih kecil dibanding jarak antara layar dan apertur (ym ≪ D)
maka sin m  tan m  m , sehingga
a ym
r1  r 2  y m , sin  m 
D D
Interferensi konstruktif terjadi bila n (r1 - r2 ) = mo. Posisi pola konstruktif terhadap
pusat ditunjukkan dengan jarak
D
ym  m
a
(5.4)
m
m 
an

Posisi dua sumber S1 S2 yang simetri terhadap sumber S maka pada layar pengamatan
dengan posisi seporos dengan sumber S diperoleh intensitas maksimum orde nol. Inten-
sitas maksimum yang terjadi pada pusat ini disebut dengan frinji orde nol. Tetapi bila dua
sumber S1 S2 tidak simetri terhadap sumber S, maka posisi frinji orde nol bergeser ke atas
atau ke bawah tergantung pada posisi kedua sumber S1 S2. Pola interferensi pada kondisi
ini tetap terjadi dengan stabil, karena beda fase awal kedua sumber konstan walaupun
besarnya tidak sama (1 - 2  0).
Pola frinji yang terjadi tergambar sebagai bentuk pengulangan pita terang dan gelap.
Beda posisi 2 titik maksimum yang berdekatan pada layar dapat ditentukan sebagai berikut

s s
y m 1  y m   ( m  1)   m
a a (5.5)
s
y  
a
Persamaan (5.5) berlaku tidak hanya untuk sumber dua sumber S1 S2 yang simetri tetapi
juga untuk kondisi sumber yang tidak simetri.
Pengaturan besarnya diameter pin hole dua sumber S1 dan S2 akan mempengaruhi
intensitas yang dipancarkan dari masing-masing sumber. Dengan menganggap bahwa
86 | Optika

intensitas yang diradiasikan dari kedua sumber sama besarnya I1 = I2 = Io , maka intensitas
di titik pengamatan P dapat dicari dengan
I  4Io cos 2 2 ;  k (r1  r2 )
a
(r1  r2 )  y
s
atau
 ya 
I  4Io cos2   (5.6)
 s 

Contoh 5.1
Dalam eksperimen Young, jarak antara kedua celah 1 mm, panjang gelombang yang
digunakan 550 nm. Bila antara maksimum orde pertama dan orde ke-tiga berjarak 3 mm,
tentukan :
a). jarak layar pengamatan terhadap celah
b). jarak frinji maksimum orde 5 terhadap orde nol.

Jawab:
Dengan menggunakan Persamaan (5.4) dan diketahuinya jarak pita terang ke-tiga dan
pertama maka dapat dicari jarak layar pengamatan terhadap celah
D
y3  y1  (m3  m1)
a
a 1x103
D  ( y3  y1)  3x103  2,727 m
(m3  m1) 550 x109 (3  1)
sedangkan jarak frinji maksimum orde 5 terhadap orde nol didapatkan
D
y5  y 0   ( m5  m 0 )
a
2,727
 550x109 (5  0)  0,0075 m  7,5 mm
-3
1x10

Interferometer berupa eksperimen Young (seperti dijelaskan di atas) merupakan


salah satu contoh interferometer yang didasarkan pada sumber pembagian muka
gelombang. Beberapa contoh lain yang menggunakan prinsip yang sama, antara lain:
1. Cermin rangkap dari Fresnel (Fresnel’s Double mirror)
Cermin rangkap dari Fresnel terdiri atas dua buah cermin dengan susunan seperti
ditunjukkan pada Gambar 5.6. Berkas cahaya dari sumber titik S memancarkan
gelombang sferis, sebagian berkas menjalar dan dipantulkan oleh cermin pertama dan
bagian yang lain dipantulkan oleh cermin kedua. Suatu pola interferensi diamati pada
bidang layar di titik P yang merupakan hasil superposisi kedua berkas cahaya yang
terpantul dari kedua cermin. Dua berkas terpantul yang mengalami superposisi di titik
Bab 5: Interferensi | 87

P dapat dianggap berasal dari dua sumber cahaya S1 dan S2 sebagai bayangan dari
sumber S. Dari Gambar 5.6 tampak bahwa SA  S1A , SB  S2 B sehingga diperoleh
SA  AP  r1 , SB  BP  r2 .
Beda panjang lintasan optik kedua berkas cahaya (r1 –r2), dan intensitas maksimum
pada saat posisi kedua berkas r1–r2 = m. Jarak antara dua pita terang yang berdekatan
adalah y  D  , dengan D adalah jarak antara bidang yang dibentuk dua sumber
a
bayangan (S1 , S2) terhadap layar.

Gambar 5.6 Cermin rangkap Fresnel.

2. Biprisma dari Fresnel (Fresnel’s Biprism atau Fresnel’s Double Prism)


Biprisma dari Fresnel terdiri dari dua prisma yang digabungkan sisinya, seperti Gambar
5.7. Seberkas gelombang cahaya silindrik dipancarkan dari sumber S, ditransmisikan
oleh oleh prisma atas menuju bagian bawah dari sumber S, sedangkan oleh prisma
bawah ditransmisikan ke bagian atas sumber. Pada daerah superposisi (pada gambar
ditun-jukkan dengan bagian terarsir) terjadi proses interferensi.

Gambar 5.7 BiPrisma Fresnel.


88 | Optika

Pola interferensi yang terjadi pada layar seolah-olah berasal dari dua sumber
bayangan S1 dan S2 yang dipisahkan dengan jarak a, yang dapat dinyatakan sebagai
fungsi sudut prisma  dengan persamaan a  2d(n  1) , bila D >> a.

3. Cermin Lloyd
Cermin Lloyd terbuat dari sebuah balok dielektrik atau logam yang berlaku seperti
cermin, yang berfungsi untuk memantulkan sebagian berkas cahaya yang berasal dari
sumber pemancar gelombang silindrik S. Pola interferensi terbentuk dari superposisi
antara gelombang yang dipantulkan oleh cermin dan gelombang yang langsung berasal
dari sumber S, seperti ditunjukkan Gambar 5.8. Gelombang yang berasal dari pantulan
cermin seolah-olah berasal dari sumber bayangan S1 yang berjarak a dari sumber S.
Berkas cahaya yang terpantul sebagian mengalami pergeseran fase 180o. Karena
datang dengan sudut yang rela-tif besar, maka beda fase kedua gelombang sebesar  =
k (r1 – r2)   , sehingga intensitas maksimum terjadi pada
 a y
I  4Io sin2   (5.7)
 D 
Pola frinji dari cermin Lloyd kebalikan dari frinji yang dihasilkan dari interfero-meter
Young. Posisi maksimumnya berada pada y tertentuyang berhubungan dengan nilai
minimum pola interferensi dari interferometer yang lain.

Gambar 5.8 Cermin Lloyd.


5.3 Interferensi Pembagian Amplitudo Gelombang
Bila berkas cahaya yang datang pada permukaan bahan dielektrik, maka sebagian berkas
akan diteruskan dan sebagian yang lain direfleksikan. Intensitas cahaya yang dipantulkan
dan dibiaskan tentunya lebih kecil dibanding intensitas cahaya datang. Perbandingan
intensitas cahaya yang direfleksikan dengan intensitas cahaya yang ditransmisikan dapat
dibuat dengan perbandingan yang diinginkan, yaitu dengan menambahkan lapisan tipis
logam di atas permukaan bahan dielektrik. Ketika kedua gelombang disuperposisikan pada
suatu titik pengamatan, berkas cahaya yang ditransmisikan dan direfleksikan mempunyai
beda lintasan tidak lebih dari panjang koherensi sumber, karena itu pola interferensi dapat
diamati.
Bab 5: Interferensi | 89

5.3.1 Interferensi Berkas Ganda Pada Keping Dielektrik


Bagian pertama subbab ini akan dibahas fenomena interferensi berkas ganda (dua berkas)
yang berasal dari lapisan tipis bahan dielektrik. Interferensi pada lapisan tipis dielektrik
sudah lama dikenal, seiring dengan penemuan teknik pelapisan dengan vakum.
Pembahasan dibagi menjadi dua bagian, pertama untuk bahan dielektrik yang kedua
permukaannya sejajar, dan pembahasan kedua adalah untuk dielektrik dengan permukaan
yang tidak sejajar.

Frinji Kemiringan Sama (equal inclination)


Keping dielektrik paralel transparan dengan tebal d, dan bersifat tidak menyerap foton
(non-absorbing), dikenai berkas cahaya dari sumber titik monokromatik, seperti
ditunjukkan Gambar 5.9.

Gambar 5.9 Frinji kemiringan sama.

Berkas cahaya datang dengan amplitudo Eo yang mengenai permukaan sisi kanan
bahan dielektrik sejajar kedua permukaannya, sebagian dipantulkan dengan koefisien
amplitudo refleksi E1r , dan sebagian lainnya ditransmisikan. Bagian yang ditransmisikan
akan dipantulkan oleh permukaan kiri dan ditransmisikan oleh permukaan kanan dan
dianggap sebagai cahaya refleksi kedua dengan koefisien amplitudo refleksi E2 r.
Demikian pula sinar-sinar yang lain akan terpantulkan dan ditrasnmisikan menjadi
cahaya refleksi ke-tiga, ke-empat, …. dst. Pada kasus ini hanya diambil dua cahaya
refleksi dengan koefisien amplitudo refleksi E1r , E2 r (dengan E3 r , ... dst relatif kecil
sehingga diabaikan), sehingga didapatkan 2 sumber titik koheren dari sumber yang
sama. Beda panjang lintasan 2 berkas refleksi setelah mencapai teleskop atau retina
adalah
 
  n f AB  BC  n1 AD
Karena AB  BC  d , maka
cos t
90 | Optika

2 nf d
  n1 AD (5.8)
cos t

Dari gambar tampak bahwa AD  AC sin i , AC  2 d tan t dan dengan bantuan


hukum Snell diperoleh
nf
AD  AC sin  t
n1
sehingga dapat dituliskan bahwa


2 nf d
cos  t
1  sin  
2
t
(5.9)
 2 n f d cos t
Pergeseran fase sebesar  radian yang terjadi saat pemantulan internal permukaan kiri
mengakibatkan beda fase relatif kedua berkas refleksi pertama dan kedua bernilai
 k  
4 n f
 d cos t  
o (5.10)
4 d 2
 n f  n12 sin 2  i  
o
Pola interferensi di bidang pengamatan bernilai maksimum (terbenyuk pita terang) bila
beda fase relatifnya  = 2m , atau

d cos  t  (2m  1) f , m  0,1,2, (5.11)
4
f menyatakan panjang gelombang cahaya yang merambat dalam medium berindeks
bias nf , dan berlaku f = 0 / nf. Sedangkan intensitas minimum terjadi bila beda fase
relatifnya  = (2m  1) , atau
f
d cos t  2m , m  0,1,2, (5.12)
4
Rumusan di atas berlaku bila indeks bias film lebih besar dibanding indeks bias medium
satu dan medium dua (nf > n1 dan nf > n2). Tetapi bila (n1 > nf > n1 atau n1 < nf < n2),
maka rumusan ini perlu adanya koreksi.
Sudut i atau ekuivalen dengan t ditentukan oleh posisi P, yang akan
menen-tukan besarnya beda fase relatif . Dengan i yang berbeda akan diperoleh P1
,P2 , .... yang kemudian disebut dengan frinji kemiringan sama. Frinji ini sering disebut
dengan frinji Haidinger setelah Wilhelm Karl Haidinger (1795 – 1871) mampu
mengamatinya pada bahan dielektrik yang cukup tebal, dengan susunan peralatan
seperti ditunjukkan pada Gambar 5.10.a). Gambar 5.10.b). merupakan bentuk pola
frinji yang teramati pada layar.
Bab 5: Interferensi | 91

a). b).
Gambar 5.10 Frinji lingkaran Haidinger

Frinji Ketebalan Sama (equal thickness)


Substrat transparan yang tidak paralel dan bersifat tidak menyerap foton
(nonabsorbing), dikenai cahaya dari sumber titik monokromatik. Dua sinar dari
sumber S yakni SAP dan SBCDP (Gambar 5.11) mencapai titik sembarang P pada sisi
yang sama, sehingga terjadi pola frinji interferensi di daerah ini. Beda lintasan kedua
sinar adalah

  
  n1 SB  DP  SA  AP  n f BC  CD  (5.13)

Nilai  cukup sulit dihitung secara eksak, tetapi bila substrat /lapisan cukup tipis maka
n1SA  n1SB  n f BN 1
n1 AP  n1 DP  n f N 2 D
Sehingga dengan sudut diantara permukaan  kecil,
N1C  CN 2  N1' C  CN '2
N1 ' C  CN '2  d cos'
didapatkan beda lintasan dan beda fase di titik P sebesar

  2n f d cos ' (5.14)

4 (5.15)
 n f d cos '  
o
92 | Optika

Gambar 5.11 Frinji ketebalan sama.

Pola interferensi yang terjadi memberikan intensitas maksimum bila


o
2n f d cos '   m o , m  0, 1, 2,  (5.16)
2
dan intensitas minimum bila

o 1
2n f d cos '   ( m  ) o , m  0, 1, 2,  (5.17)
2 2
dengan cos  ' adalah nilai rata-rata cos ' dari titik sumber. Bila cos  ' konstan frinji
menempati titik pada lapisan dengan ketebalan optikal konstan, dan pola demikian
disebut frinji ketebalan sama. Frinji ini sering dikenal sebagai frinji Fizeau ( Armand
Hippolyte Louis Fizeau, 1819 – 1896). Pada frinji Fizeau yang dihasilkan dari lapisan
udara berbentuk baji yang berada diantara dua permukaan pemantul (seperti
ditunjukkan Gambar 5.12) yang mempunyai sudut antara dua permukaan  yang cukup
kecil. Beda panjang lintasan optik antara dua berkas yang direfleksikan oleh dua
permukaan dapat dinyatakan dengan pendekatan seperti Persamaan (5.9). Karena
ketebalan bahan adalah
d  x (5.18)
dengan sudut datang yang kecil, maka interferensi maksimum diperoleh bila

 1
 m   o  2 n f d m  2 n f  x m (5.19)
 2
Bab 5: Interferensi | 93

Gambar 5.12 Frinji dari lapisan berbentuk baji.

0
Karena n f  , maka
f

 1
m 
xm   2
f (5.20)
 2 
 
 

Frinji maksimum terjadi pada jarak dari pusat sebesar  f , 3 f , , sehingga


4 4
jarak antara dua frinji maksimum yang berdekatan adalah
f
x  (5.21)
2
Frinji yang disebut dengan cincin Newton merupakan contoh lain dari frinji
ketebalan sama. Pembentukan frinji ini seperti ditunjukkan Gambar 5.13. dapat
diuraikan sebagai berikut. Bila R adalah radius kurva OC permukaan lensa, maka
ketebalan lapisan pada jarak x dari C adalah:
x2
dR R x 
2 2

2R
94 | Optika

Gambar 5.13 Pembentukan cincin Newton.

Dengan sinar arah normal / tegak lurus terhadap permukaan balok kaca, interferensi
terjadi karena superposisi antara berkas cahaya yang terpantul oleh permukaan bawah
lensa dan cahaya yang terpantul oleh permukaan atas balok kaca.Pemantulan cahaya
pada permukaan bawah lensa menyebabkan pergeseran fase sebesar  radian karena
terjadi refleksi internal. Dengan demikian pola interferensi maksimum terbentuk bila

2 d  (m  12 ) ,  o
n
Sedangkam frinji minimum terbentuk bila
2 d  m
Cincin Newton hasil interferensi berupa frinji lingkaran dengan jari-jari lingkaran gelap
dan terang seperti dituliskan sebagai

x  mR , frinji gelap


, m = 0, 1, 2,.... (5.22)
x  (m  12 )R , frinji terang

Rumusan pada Persamaan (5.22) berlaku bila permukaan bawah lensa berimpit dengan
permukaan atas balok kaca dengan sempurna. Tetapi bila antara keduanya terdapat
jarak, maka rumusan ini tidak berlaku, perhatikan hal ini pada latihan soal.

Contoh 5.2
Radius kelengkungan permukaan cembung dari lensa plano-convex adalah 30 cm. Lensa
ditempatkan di atas keping glass pada sisi lengkungnya, dan disinari dengan cahaya
monokromatik 650 nm dari sisi atas. Berapakah diameter cincin terang orde ke-tiga dalam
pola interferensi yang terbentuk.

Jawab
Diameter cincin terang pola interferensi dapat dicari dengan Persamaan (5.22), sehingga
diperoleh untuk orde ke-tiga
Bab 5: Interferensi | 95

D  2 (m  12 )R

 2 (3  12 ).0,3.650x109
 1,65x10 -3 m
 1,65 mm

5.3.2 Interferometer Michelson


Interferometer pembagian amplitudo gelombang yang paling penting secara historis
adalah interferometer Michelson yang didesain oleh Albert Abraham Michelson (1825 –
1931) pada tahun 1881. Pada interferometer ini, seberkas cahaya dipecah menjadi dua
berkas dengan menggunakan pembagi berkas (beam splitter BS atau half mirror), yang
akan disuperposisikan dengan bantuan cermin (M1 dan M2) untuk membentuk pola
interferensi. Skema interferometer Michelson ditunjukkan oleh Gambar 5.14. Dua berkas
dari pembagi berkas diarahkan dengan lintasan yang tegak lurus, sehingga pembagi
berkas (BS) diarahkan dengan membentuk sudut 45o terhadap arah sinar. Biasanya
lintasan pada interferometer ini dikenal dengan sebutan lengan interferometer.

Gambar 5.14 Interferometer Michelson.

Berkas cahaya dari pembagi berkas diarahkan pada cermin, dan dipantulkan kembali ke
pemba-gi berkas untuk berinterferensi menuju detektor D. Pada peralatan ini, dipasang
keping kompensator C yang mempunyai ketebalan dan jenis yang sama dengan bahan
yang dgunakan untuk membuat pembagi berkas, yang berfungsi untuk menyama kan
lintasan optik kedua cahaya yang akan diinterferensikan. Posisi kompensator tergantung
pada posisi lapisan reflektor yang ada pada pembagi berkas. Untuk lebih dapat memahami
bagaimana frinji pada interferometer Michelson ini terbentuk, dapat diikuti keterangan
berikut ini dengan melihat Gambar 5.15. dengan keterangan gambar
M1 '  bayangan M1 terhadap beam splitter, posisinya tergantung jarak relatif
terhadap pembagi berkas sehingga mungkin berada di depan M2 .
1 , 2  bayangan sumber  pada M1 dan M2
96 | Optika

2 d n cos   beda lintasan optik kedua cahaya dengan beda fase = (k2d cos ).
d  jarak antara cermin M2 terhadap bayangan cermin M1`

d
S2 S1
S

O’ 

M1 M2 1 2

so si
so’ si’
Gambar 5.15 Susunan peralatan interferometer secara konsepsi.

Adanya refleksi internal pada pembagi berkas, mengakibatkan pergeseran fase 


radian bagi berkas cahaya yang menuju cermin 2, sehingga interferensi destruktif terjadi
bila
2 𝑑 𝑛 cos 𝜃𝑚 = 𝑚𝜆 (5.23)
Hal ini menunjukkan bahwa m tergantung , yang artinya bila sumber polikromatik yang
digunakan maka timbul frinji untuk masing-masing . Untuk menghasilkan frinji yang
stabil, maka (2d cos  ) harus lebih kecil daripada panjang koherensi sumber. Bila M2
bergerak mendekati M1 ', d berkurang dan (cos  ) bertambah. Bila kondisi d = 0
tercapai maka frinji pusat akan menyebar.
Pada frinji pusat dalam keadaan gelap berarti m = 0, maka dari Persamaan (5.23)
diperoleh orde frinji pusat

2d
mo  (5.24)

Sehingga bila jarak cermin M2 dengan bayangan cermin M1` ,d = 10 cm dan panjang
gelombang berkas cahaya yang digunakan o = 500 nm maka pada gelap pusat mempu-
nyai orde mo ~ 4000.000. Dengan nilai d tetap, frinji gelap terjadi bila :
2d cos 1 = (m - 1) o
2d cos 2 = (m - 2) o
 
2d cos p = (m - p) o

Sehingga frinji lingkaran ke-p dapat ditentukan dengan


Bab 5: Interferensi | 97

2 𝑑 1 − cos 𝜃𝑝 = 𝑝𝜆𝑜 (5.25)


Karena m  p , maka orde m = mo – p. Dari contoh di atas dengan d = 10 cm, cincin gelap
ke-enam mempunyai orde m = 2999.994. Bila p sangat kecil maka cos p = 1 - (p /2),
dengan

𝑝𝜆𝑜
𝜃𝑝 = (5.26)
𝑑
Bentuk frinji (frinji garis atau frinji lingkaran) yang terjadi tergantung pada posisi kedua
sumber cahaya terhadap posisi layarseperti ditunjukkan oleh Gambar 5.16. Pada Gambar
5.16(a) memperlihatkan superposisi dua gelom bang sferis yang dipancarkan sumber S1
dan S2. Posisi dalam ruang yang mempu nyai intensitas maksi mum terhadap posisi kedua
sumber ditunjukkan Gambar 5.16(b). Jika sebuah layar ditempat kan pada posisi PQ, yang
sejajar terhadap garis peng hubung S1 dan S2 , maka pada layar akan timbul frinji dengan
bentuk frinji garis, seperti pada frinji interferensi interferometer Young yang mempunyai
posisi kedua sumber sejajar dengan bidang pengamatan / layar. Sedangkan dengan posisi
AB diperoleh frinji lingkaran pada layar.
Pada interferometer Michelson, perubahan bentuk frinji dapat dilakukan dengan
mengatur jarak M1 dan M2 terhadap pembagi berkas, serta mengatur arah M1 untuk
menda patkan ketidaksejajaran M1 dan M2. Bila kedua cermin M1’ dan M2 membentuk
sudut , seperti ditunjukkan Gambar 5.17.a), dan titik P merupakan titik potong sinar dari
M1’ dengan bidang M2, maka beda lintasan optik kedua berkas adalah 2 d cos  dengan d
adalah jarak titik P terhadap bidang M1’. Dari bentuk geometri tampang atas posisi kedua
cermin (Gambar 5.17.b), diperoleh
2

OP  x 2  y 2  z 2 
z
cos  
x 2  y2  z 2
d  e  x tan 

(a) (b)
98 | Optika

Gambar 5.16 (a). Superposisi dua gelombang sferis, (b). distribusi posisi dengan intensitas
maksimum

Interferensi destruktif terjadi bila 2 d cos  = m, sehingga 2(e  x tan )z  m
x 2  y2  z2
Pada kasus z >> x dan y, sehingga e  0, maka
m  = 2 x tan  ,  <<
=2x
Ini merupakan persamaan garis lurus. Sehingga frinji yang terbentuk merupakan frinji garis
yang sejajar sumbu x. Sedangkan untuk kasus M2 sejajar M1, sehingga  = 0, maka
diperoleh persamaan
2e z
 m
x  y2  z2
2

4e2  m22 2
x2  y 2  z
m22
yang merupakan persamaan lingkaran dengan jari-jari 
z  2 2 2
 4e  m  , dengan pusat
 m  
lingkaran di titik R dan frini yang terbentuk merupakan frinji lingkaran.

(a). (b).
Gambar 5.17 Interferometer Michelson cermin tak sejajar.

Interferometer lain yang mengguna kan fenomena ini antara lain interferometer
Mach-Zehnder, yang terdiri atas dua pembagi berkas (beam splitter) dan dua cermin
datar, seperti ditunjukkan Gambar 5.18., dan interferometer Sagnac dengan satu pembagi
berkas dan dua atau tiga cermin datar, seperti ditunjukkan Gambar 5.19.
Bab 5: Interferensi | 99

Gambar 5.18 Skema Interferometer Mach-Zehnder.

Gambar 5.19 Interferometer Sagnac


Aplikasi Interferometer Michelson
Interferometer Michelson dapat digunakan antara lain untuk mengukur meter standar,
mengukur muai panjang bahan logam atau mengukur pertambahan panjang suatu logam
karena temperaturnya bertambah, dan dapat pula digunakan untuk meng-analisa getaran.
Dasar teori yang digunakan adalah sebagai berikut. Suatu perangkat interferometer
Michelson yang salah satu cerminnya dapat digerakkan maju atau mudur, misalkan
cermin 1 yang kemudian disebut dengan cermin uji, seperti ditunjukkan pada Gambar
5.20. Bila cermin uji bergeser sebesar x, maka beda lintasan optik antara kedua berkas
cahaya yang terpantul oleh cermin uji dan cermin referensi bertambah atau berkurang 2d,
sehingga beda fasenya
2
 2x   4 x (5.27)
 
100 | Optika

Gambar 5.20 Interferometer Michelson sebagai perangkat uji.

Bila intensitas dinyatakan dengan I  I1  I2  2 I1I 2 cos  , maka perubahan frinji


interfe-rensi dari intensitas maksimum menjadi intensitas minimum terjadi saat cermin uji
sudah bergeser sebesar /4. Pemanfaatan perangkat frinji counter yang mencatat jumlah
perubah-an intensitas maksimum ke-maksimum atau intensitas minimum ke-minimum
sejumlah N perubahan, maka cermin uji sudah bergeser sebesar


xN (5.28)
2
Pengukuran meter standar menggunakan interferometer Michelson dengan berkas cahaya
dari spektrum garis merah Cadmium berpanjang gelombang = 6438,4722Å diperoleh
bahwa 1 meter sama dengan 1.553.163,5 , sedangkan dengan spektrum Kripton-86 garis
orange-red 1 meter sama dengan 1.650.763,73 .

Contoh 5.3
Interferometer Michelson digunakan untuk menentukan muai panjang suatu logam besi
dengan menggunakan  = 0,6328 m. Bila dengan penambahan temperatur tertentu pada
besi, detektor dapat menghitung 5.000 garis terang, tentukan :
a) penambahan panjang besi saat frinji berubah dari terang menjadi gelap
b) penambahan panjang besi total karena perubahan temperatur.

Penyelesaian:
Perubahan frinji dari terang menjadi gelap bila besi telah memanjang /4 sehingga
x1 = /4 = (0,6328/4) m = 0,1582 m
Sedangkan penambahan panjang total x2 = N /2
= (5000x 0,6328)/2 = 1582 m
= 1,582 mm
Bab 5: Interferensi | 101

Perubahan intensitas pada pemanfaatan interferometer Michelson sebagai fungsi


persamaan getaran x  A sin 2 t  . Bila intensitas berkas cahaya yang melalui lintasan
 T 
referensi dan lintasan uji sama besaranya (I1 = I2 = Io), maka

  4  2  
I  2 Io 1  cos A sin  t   (5.29)
    T  
Contoh analisis getaran dengan interferometer Michelson seperti ditunjukkan Gambar
5.21. Gambar 5.21(a) menunjukkan getaran cermin uji dengan ampitudo 1 m, periode 8
s, dan Gambar 5.21(b) dan 5.21(c) merupakan bentuk sinyal yang ditangkap detektor
dengan intensitas maksimum 4Io dan dianggap intensitas I1 = I2 = Io dengan menggunakan
panjang gelom-bang berkas cahaya 1 = 0,8 m untuk Gambar b). dan panjang gelombang
1 = 0,8 m untuk Gambar 5.21(c). Tampak dalam gambar bahwa perubahan sebesar /4
mengakibat-kan perubahan intensitas maksimum menjadi minimum dan sebaliknya,
sehingga dengan menggunakan panjang gelombang cahaya yang berbeda akan diperoleh
bentuk pola gelombang yang berbeda.

Gambar 5.21 Analisa getaran dengan interferometer Michelson.

Interferometer Twyman-Green yang mempunyai susunan optik yang sama dengan


interferometer Michelson dengan memanfaatkan berkas cahaya terkolimasi digunakan
untuk menguji komponen optik seperti lensa, prisma, atau cermin. Cacat lensa seperti
aberasi, coma , astig-matik dapat diamati dengan interfe-rometer ini. Skema
interferometer Twyman-Green dapat dilihat pada Gambar 5.22.
102 | Optika

Gambar 5.22 Interferometer Twyman-Green sebagai perangkat uji.

5.4 Interferensi Berkas Jamak (Multiple-beam)


Pada subbab yang lalu, ketika membahas tentang interferensi berkas ganda pada keping
dielektrik, selalu dianggap bahwa gelom-bang terpantul orde tinggi mempunyai
amplitudo yang kecil, sehingga diabaikan. Tetapi kali ini gelombang-gelombang terse-but
diperhitungkan. Prinsip terjadinya interfe-rensi berkas jamak dapat dilihat pada Gambar
5.23. Pada gambar, Eo adalah amplitudo gelombang datang, notasi E1r , E2r , E3 r , ....
menyatakan gelombang terpantul yang masing-masing mempunyai amplitudo Eo r , Eo
tr't', Eo tr' t',.... , {r = -r' (pergeseran fase)}.

Gambar 5.23 Interferensi multiple beam.

Sedangkan gelombang yang dibiaskan dinotasikan dengan E1t , E2 t , E3 t ,... yang masing-
masing beramplitudo Eo tt', Eo tr' t', Eo tr' t', ... . Bila gelombang-gelombang yang
dipantulkan dikumpulkan dan difokuskan pada titik P maka terjadi interferensi. Beda
panjang lintasan optik antara sinar-sinar yang berdekatan tersebut adalah  = 2nf d cost.
Pada refleksi internal, komponen sejajar bidang berubah sebesar fase 0 atau 
Bab 5: Interferensi | 103

tergantung pada i , apakah i < c. Sedangkan komponen tegak lurus bidang tidak
mengalami perubahan fase sekalipun i < c.
 Kasus khusus pertama,  = m, gelombang ke-2,3,4,... akan mempunyai fase yang
sama di titik P, sedangkan gelombang pertama berbeda . Sehingga amplitudo
refleksi total adalah
𝐸𝑜𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟 − 𝐸𝑜 𝑟𝑡𝑡 ′ + 𝐸𝑜 𝑡𝑟 3 𝑡 ′ + ⋯
𝐸𝑜𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟 − 𝐸𝑜 𝑡𝑟𝑡 ′ 1 + 𝑟 2 + 𝑟 4 + ⋯
𝐸𝑜 𝑡𝑟𝑡 ′
Bila r2 << 1 maka 𝐸𝑜𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟 − 1−𝑟 2
, dan dari relasi Stokes: tt' = 1 - r2 diperoleh
bahwa Eor = 0. Ini berarti, intensitas cahaya di titik pengamatan yang berasal dari
cahaya yang refleksi sama dengan nol, atau keadaan gelap.

 Kasus khusus kedua, Λ = 𝑚 + 12 𝜆. Pada kasus ini, sinar pertama dan kedua sefase,
sedangkan gelombang berikutnya saling berubah fase sedemikian hingga amplitudo
resultannya adalah
𝐸𝑜𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟 + 𝐸𝑜 𝑡𝑟𝑡 ′ − 𝐸𝑜 𝑡𝑟 3 𝑡 ′ + ⋯
𝐸𝑜𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟 + 𝐸𝑜 𝑡𝑟𝑡 ′ 1 − 𝑟 2 + 𝑟 4 − ⋯
𝑡𝑡′ 2𝑟
𝐸𝑜𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟 1 + 2
= 𝐸𝑜
1+𝑟 1 + 𝑟2
Sehingga intensitasnya adalah

4r 2 E2
Ir  ( o) (5.30)
(1  r )
2 2
2
Berikut pembahasan kasus di atas dengan metoda kompleks. Medan optik pada titik P
dinyatakan dengan:

𝐸1𝑟 = 𝐸𝑜 𝑟𝑒 𝑖𝜔𝑡

𝐸2𝑟 = 𝐸𝑜 𝑡𝑟′𝑡′𝑒 𝑖 𝜔𝑡 −𝛿

𝐸3𝑟 = 𝐸𝑜 𝑡 𝑟′ 3 𝑡′𝑒 𝑖 𝜔𝑡 −2𝛿 (5.31)


2𝑁−3
𝐸𝑁𝑟 = 𝐸𝑜 𝑡 𝑟′ 𝑡′𝑒 𝑖 𝜔𝑡 −(𝑁−1)𝛿

dengan 𝐸𝑜 𝑒 𝑖𝜔𝑡  gelombang datang. Dengan demikian gelombang refleksi total adalah
𝐸𝑟 = 𝐸1𝑟 + 𝐸2𝑟 + ⋯ + 𝐸𝑁𝑟
Bila r'2 ei  < 1, maka
104 | Optika

 r ' tt ' e  i 
E r  E o eit r   (5.32)
 1  r '2 e  i 
Dalam hal tidak ada absorbsi, berlaku r = -r' , tt' = 1 - r , sehingga

 r (1  e  i ) 
E r  E o eit   i 
(5.33)
1  r ' e
2

Intensitas gelombang refleksi total adalah

 E 2 r 2 (1  e  i )(1  e i ) 
Ir   o 2  i 2 i 
 2(1  r e )(1  r e ) 
(5.34)
2 r 2 (1  cos  )
 Ii
(1  r 4 )  2 r 2 cos  )
dengan Ii = Eo2 / 2.

Untuk gelombang yang ditransmisikan:

𝐸1𝑡 = 𝐸𝑜 𝑡𝑡′𝑒 𝑖𝜔𝑡

𝐸2𝑡 = 𝐸𝑜 𝑡𝑡′ 𝑟′ 2 𝑒 𝑖 𝜔𝑡 −𝛿

4
𝐸3𝑡 = 𝐸𝑜 𝑡𝑡′ 𝑟′ 𝑒𝑖 𝜔𝑡 −2𝛿 (5.35)


2 𝑁−1
𝐸𝑁𝑡 = 𝐸𝑜 𝑡 𝑟′ 𝑡′𝑒 𝑖 𝜔𝑡 −(𝑁−1)𝛿

dengan Eo eit  gelombang datang. Medan gelombang total yang ditransmisikan berikut
intensitas-nya, berturut-turut didapatkan dalam bentuk

 tt ' 
E t  E o e i t   i  (5.36)
1  r ' e 
2

dan

 tt ' 
I t  Ii   (5.37)
 (1  r )  2 r cos  
4 2

Dengan menggunakan identitas trigonometri cos  = 1 - 2 sin ( / 2), dan dengan asumsi
tidak terjadi absorbsi energi (dalam hal ini tt' + r2 = 1), maka intensitas gelombang
refleksi dan transmisi masing-masing adalah

  2r 
2

   sin (  / 2) 
2

  1 r2  
Ir  Ii   (5.38)
2r
1  ( ) 2
sin 2
(  / 2 ) 

 1 r2 

dan
Bab 5: Interferensi | 105

 
 1 
It  Ii   (5.39)
2r
1  ( ) 2
sin 2
(  / 2 ) 
 1  r2 
Dari Persamaan (5.38) dan Persamaan (5.39) diperoleh bahwa
Io = Ir + It
Dan padanya terdapat besaran baru yang disebut koefisien finesse F , yang menyatakan
ukuran ketajaman frinji interferensi
2
 2r 
F 2
(5.40)
1  r 
Sehingga berturut-turut dapat dituliskan
Ir F sin 2 (  / 2 )

Ii 1  F sin 2 (  / 2 )
dan

It 1
 (5.41)
Ii 1  F sin 2 ( / 2)
Suku : {1 + F sin2 (/2)}-1 = Ã ()  fungsi Airy, yang menyatakan rapat fluks yang
ditransmisikan. Plot secara grafik hubungan antara beda fase  terhadap perbandingan It
/Ii ditunjukkan Gambar 5.24(a). Gambar 5.24(b) merupakan grafik (1 – fungsi Airy). Tampak
pada gambar bahwa semakin besar koefisien amplitudo refleksi maka semakin
tajam/kontras frinji yang terbentuk.

Gambar 5.24 (a). Fungsi Airy, (b). (1 – Fungsi Airy).

5.5 Interferometer Fabry - Perot


106 | Optika

Interferometer multiple-beam pertama kali dibuat oleh Marie Paul Auguste Charles
Fabry (1867 – 1945) dan Jean Baptise Guspard Gustave Alfred Perot (1863 – 1925) pada
akhir abad 19, yang merupakan bagian penting dalam optika modern. Prinsip-nya alat ini
terdiri atas 2 keping paralel dengan refleksi tinggi dan dipisahkan dengan jarak d. Bila
salah satu keping dapat digerakkan maka disebut dengan interferometer. Meski
demikian untuk mendapatkan sistem semacam ini tidaklah mudah, karena diperlukan
penggerak dengan presisi tinggi. Jika kedua keping relatif tetap terhadap yang lain, maka
disebut dengan etalon Fabry - Perot .

Gambar 5.25 Etalon Fabry – Perot.

Pada Gambar 5.25 sinar dari sumber S1 mengenai etalon dan akan direfleksikan serta
transmisikan secara berulang-ulang pada keping pemantul. Sinar bias dikumpulkan dan
difokuskan oleh lensa pada layar sehingga terjadi interferensi untuk membentuk titik
gelap atau terang. Demikian pula dari sumber S2 akan terjadi hal yang sama.
Gelombang cahaya yang merambat melalui lapisan tipis, akan mengalami pergeseran
fase sebesar 0 atau , sehingga beda fase (i ) antara dua gelombang yang ditransmisikan
adalah   4  n d cos  2 . Dalam kondisi i << , dan nilai  konstan, jika nilai d adalah
o
t

besar dan o kecil, maka  dapat diabaikan. Sehingga dapat dituliskan

It T2
 (5.42)
I i 1  R 2  2 R cos
atau
2
It  T  1
 
I i 1  R   4R 
2

1   sin ( / 2 )
2

 1  R  
Bila faktor absorpsi lapisan logam diperhitungkan (T + R + A) = 1 , maka
2
It  A 
 1   Ã() (5.43)
Ii  (1  A) 
Intensitas maksimu untuk transmisi < Ii , sehingga terjadi transmisi puncak yang
didefinisikan dengan:
Bab 5: Interferensi | 107

2
I t .max  A 
 1   (5.44)
It  1 R 
Puncak terjadi pada nilai tertentu dengan beda fase max = 2m. Intensitas frinji turun
menjadi setengahnya (Ã () = 1/2) bila  = max  1/2 , Ã () = ½, dalam hal ini

1 1

  2
1  F sin 2  1/ 2 
 2  (5.45)
 1 
1/ 2  2 sin 1  
 F

Karena F umumnya besar, sin  1   1 , dan tebal paruh (half -width)  = 21/2 ,
 F F
maka
4
  (5.46)
F
Terdapat besaran yang berhubungan dengan tebal paruh  yakni besaran reflecting
finesse (atau finesse) ƒ  2/, yang manyatakan perbandingan jarak pisah frinji
maksimum terhadap tebal paruh.

f  (5.47)
2 F

Gambar 5.26. Frinji Fabry - Perot .

Salah satu fungsi interferometer Fabry-Perot adalah untuk menguji struktur garis spektral
secara detail (spektroskopi Fabry - Perot). Fungsi yang lain misalnya untuk mengukur
panjang gelombang dengan presisi tinggi, menentukan indeks bias gas, mengukur
pergeseran yang kecil.
108 | Optika

CONTOH 5.4
Diketahui cermin pada interferometer Fabry-Perot mempunyai koefisien refleksi amplitudo
r = 0,8944. Hitung besarnya Koefisien Finesse, Half width,, Finesse

Penyelesaian:
Koefisien Finesse dapat dicari dengan menggunakan Persamaan (5.40), dengan r = 0,8944,
2
 2 x 0,8944 
diperoleh, F 2
 79,96
1  (0,8944) 
sedangkan half width dan finesse dapat dihitung dengan Persamaan (5.46) dan (5.47), dan
didapatkan
4 
   0,447 f   0,176
79,96 dan 2 79 ,96

Soal Latihan

1. Dalam eksperimen Young, jarak antara kedua celah 1 mm, panjang gelombang yang
digunakan 550 nm. Bila antara maksimum orde pertama dan ketiga adalah 3 mm,
tentukan :
a). jarak layar pengamatan terhadap celah
b). jarak frinji maksimum orde 5 terhadap orde nol.
2. 8 frinji interferensi berada dalam rentang 2 cm pada layar yang berjarak 100 cm dari
celah ganda. Bila jarak kedua celah 0,2 mm, berapa panjang gelombang yang
digunakan?
3. Dalam eksperimen Young, jarak antara kedua pin hole 1,5 mm. Bila sumber cahaya
yang digunakan berupa sebuah sumber titik berjarak 1 cm dari kedua pin hole, dengan
posisi seporos dengan pin hole bagian atas (dua sumber cahaya berupa pin hole tidak
simetri terhadap sumber titik) dengan panjang gelombang yang digunakan 550 nm.
Tentukan posisi frinji orde nol.
4. Jelaskan perbedaan antara “fringes of equel thickness” dan “fringes of equel
inclination”. Berikan contoh-contohnya.
5. Bila keping glas dengan n = 1,517 ditempatkan pada salah satu lengan interferometer
Michelson, maka terjadi pergeseran sebanyak 18,5 frinji. Berapa tebal keping glass bila
panjang gelombang 589,3 nm?

6. Buktikan bahwa posisi pita garis terang untuk sumber cahaya yang tidak simetri pada
eksperimen
Bab 5: Interferensi | 109

Young dinyatakan dengan

ym 
D

m  (r2`  r1` 
a

7. Interferometer Michelson digunakan untuk menentukan muai panjang suatu logam


besi dengan menggunakan  = 0,6328 m. Bila dengan penambahan temperatur
tertentu pada besi, detektor dapat menghitung 5.000 garis terang, tentukan :
a). penambahan panjang besi saat frinji berubah dari terang menjadi gelap
b). penambahan panjang besi total karena perubahan temperatur.
8. Interferometer Michelson digunakan untuk mengukur meter standar. Bila detektor
mencatat 750.000 garis terang pada pengukuran ini, tentukan :
a). panjang gelombang berkas cahaya yang digunakan
b). pergeseran meter standar saat frinji berubah dari terang menjadi gelap.
9. Pada interferometer Michelson tampak frinji lingkaran gelap pada pusat yang
dikelilingi frinji terang dan gelap yang konsentris. Selisih jarak kedua cermin terhadap
beam splitter 2 cm, dan panjang gelombang 500 nm. Berapa orde frinji pusat dan frinji
gelap ke-6?
10. Radius kelengkungan permukaan cembung dari lensa plano-convex adalah 30 cm.
Lensa ditempatkan di atas keping glass pada sisi lengkungnya, dan disinari dengan
cahaya monokromatik 650 nm dari sisi atas. Berapakah diameter cincin terang orde
ke-tiga dalam pola interferensi yang terbentuk.
11. Turunkan tentang jari-jari frinji gelap untuk cincin Newton bila permukaan kontak
antara lensa dengan cermin tidak sempurna dan mempunyai jarak do.
12. Suatu lensa silindrik plano-convex (radius 50 cm) diletakkan di atas suatu lensa plano-
concave (radius 1 m). Diantaranya diisi cairan dengan indeks bias 1,8, sedangkan
indeks bias glas 1,5. Kalau sinar sejajar monokromatik dengan  = 500 nm dijatuhkan
normal dari atas, jelaskan pola frinji yang akan nampak apabila dilihat dari atas dan
bila dilihat dari bawah. Tentukan jarak antara frinji-frinji orde 10.
13. Cermin-cermin pemantul pada suatu interferometer Fabry-Perot mempunyai
koefisien pantul R = 0,8. Tentukan
a). Koefisien Finesse
b). Reflecting finesse
c). Half width (tebal paruh) frinji yang terjadi (orde 1000,  = 6000 A)
(I t / Io ) maks
d). Faktor kontras C bila koefisien serapannya diabaikan. C 
(I t / Io ) min
110 | Optika

Anda mungkin juga menyukai