Anda di halaman 1dari 62

BAB 2

OPTIK GEOMETRI

2-1. Pendahuluan

Perlakuan cahaya sebagai gerak gelombang memungkinkan suatu pendekatan dimana panjang
gelombang dapat diabaikan dibandingkan dibandingkan dengan dimensi komponen-komponen
yang relevan dengan sistem optik. Pendekatan ini disebut optik geometri. Ketika karakter
gelombang dari cahaya tidak bisa diabaikan, pendekatan ini disebut optik fisis. Karenanya optik
geometri merupakan sebuah kasus khusus dari optik fisis, hal ini dapat diringkas sebagai berikut:

limitoptik fisis  optik geometri


 0
Karena panjang gelombang cahaya lebih kecil dibandingkan dengan obyek biasa, pada
awalnya pengamatan tanpa filter tingkah laku berkas cahaya yang melewati celah atau
mengelilingi penghalang lintasanya dapat ditangani menggunakan optik geometri. Ingat bahwa
penampakan bayangan yang berbeda mempengaruhi Newton untuk menyatakan bahwa
perambatan lurus yang jelas dari cahaya disebabkan oleh aliran partikel-partikel (corpuscle)
bukanya gerak gelombang. Gerak gelombang yang dikarakterisasi oleh panjang gelombang lebih
panjang, seperti dalam gelombang air dan gelombang bunyi, diketahui menghasilkan lengkungan
mengelilingi penghalang yang berbeda. Model Newton mengenai perambatan cahaya, oleh
karena itu, terlihat tidak memungkinkan bagi keberadaan suatu gerak gelombang dengan

40
pangjang gelombang yang sangat kecil. Faktanya telah terdapat bukti mengenai beberapa derajat
kelengkungan, bahkan untuk gelombang-gelombang cahaya, pada masa Isaac Newton. Francesco
Grimaldi telah mengamati struktur halus di tepi suatu bayangan, suatu struktur yang tidak dapat
dijelaskan dalam konteks perambatan lurus cahaya. Kelengkungan gelombang cahaya ini
mengelilingi tepi-tepi sebuah penghalang disebut difraksi.
Dalam pendekatan yang dinyatakan oleh optik geometri, cahaya dipahami merambat
keluar dari sumbernya sepanjang garis lurus atau sinar (ray). Sinar ini merupakan lintasan
dimana energi cahaya ditransmisikan dari satu titik ke titik lain di dalam sebuah sistem optik.
Sinar ini merupakan suatu konstruk yang berguna, walaupun abstrak dalam arti bahwa seberkas
cahaya, dalam prakteknya, tidak dapat dipersempit secara tak terbatas mendekati sebuah garis
lurus. Seberkas laser seperti pensil mungkin pendekatan yang terbaik untuk sebuah sinar cahaya.
(Ketika sebuah celah dimana berkas melewatinya dibuat cukup kecil, bahkan seberkas laser
mulai menyebar keluar dalam suatu pola difraksi.) Ketika sebuah sinar cahaya melewati suatu
sistem optik dipantulkan atau dibiaskan. Hukum-hukum optik geometri yang mendeskripsikan
arah berurutan sinar-sinar adalah sebagai berikut:
Hukum Pemantulan: Ketika sebuah sinar cahaya dipantulkan di batas antara dua
medium uniform, sinar pantul tetap dalam bidang datang, dan sudut pantul sama dengan sudut
datang. Bidang datang melingkupi sinar datang dan normal pada titik datang.

Gambar 2-1. Ilustrasi hukum pemantulan dan pembiasan.

Hukum Pembiasan (Hukum Snell): Ketika sebuah sinar cahaya dibiaskan di batas
antara dua medium uniform, sinar transmisi tetap dalam bidang datang dan sinus sudut bias
proporsional dengan sudut datang.

41
Kedua hukum diringkas dalam Gambar 2-1, dimana sebuah sinar datang dipantulkan sebagian
dan ditransmisikan sebagian di bidang batas yang memisahkan dua medium transparan.

2-2. Prinsip Huygen

Fisikawan Belanda Christian Huygens memandang cahaya sebagai sederetan pulsa yang
dipancarkan dari setiap titik suatu benda bersinar dan dirambatkan secara berantai oleh partikel-
partikel eter, suatu medium elastik yang mengisis semua ruang. (Keberadaan eter ternyata tidak
terbukti berdasar hasil eksperimen Michelson-Morley ketika ia mengukur kecepatan cahaya.)
Konsiten dengan konsepsi, Huygen membayangkan setiap titik dari suatu gangguan yang
merambat merupakan sumber pulsa baru yang berkontribusi pada gangguan berikutnya. Untuk
menunjukkan bagaimana model perambatan cahayanya yang menyiratkan hukum-hukum optik
geometri, ia mengemukakan suatu prinsip yang dapat dinyatakan sebagai berikut: Masing-
masing titik pada permukaan depang suatu gangguan gelombangmuka gelombang (front
gelombang)  bisa dipandang sebagai sumber kedua dari gelombang sferis (atau wavelet), yang
mana mereka sendiri bergerak dengan kelajuan cahaya di dalam medium dan envelope-nya pada
waktu berikutnya merupakan muka gelombang baru. Aplikasi sederhana prinsi ini ditunjukkan
dalam Gambar 2-2 untuk sebuah gelombang bidang dan sferis. Dalam masing-masing kasus, AB
membentuk gangguan gelombang awal atau muka gelombang, A’B’ adalah muka gelombang
baru pada waktu t kemudian. Jejari masing-masing wavelet adalah ct, dimana c adalah kelajuan
cahaya di dalam medium. Perhatikan bahwa muka gelombang baru adalah garis singgung dari
masing-masing wavelet di sebuah titik. Menurut Huygen, sisa dari masing-masing wavelet
diabaikan dalam penerapan prinsip ini. Sebenarnya, apakah sisa dari wavelet yang ditinjau
efektif dalam perambatan gangguan cahaya, Huygen tidak dapat menurunkan hukum perambatan
linier dari prinsipnya. Untuk melihat ini lebih jelas, merujuk pada Gambar 2-3, yang
menunjukkan sebuah gangguang gelombang sferis yang berasal dari O dan datang pada sebuah
celah dengan suatu bukaan SS’. Sesuai denga konsep perambatan linier, garis-garis OA dan OB
membentuk tepi-tepi tajam bayangan di kanan celah. Beberapa wavelet yang berasal dari titik-
titik muka gelombang (busur SS’), namun demikian, overlap di dalam daerah bayangan. Menurut
Huygen, namun demikian, ini diabaikan dan muka gelombang baru berakhir secara tiba-tiba di
titik-titik P dan P’, secara presisi dimana wavelet ekstrem yang berasal dari S dan S’ adalah
menyinggung muka gelombang baru. Dengan mengabaikan keefektifan wavelet-wave let yang

42
bertindihan, Huygen menghidari kemungkinan difraksi cahaya ke dalam daerah bayangan
geometri. Huygen juga mengabaikan muka gelombang yang dibentuk oleh separuh belakang
wavelet, karena muka gelombang ini menyiratkan suatu gangguan cahaya yang bergerak dalam
arah berlawanan. Meskipun kelemahan model ini, diperbaiki kemudian oleh Fresnel dan lainya,
Huygen dapat menerapkan prinsipnya untuk membuktikan hukum-hukum pemantulan dan
pembiasan.
Gambar 2-4a mengilustrasikan konstruksi Huygen untuk sebuah berkas cahaya sejajar
sempit untuk membuktikan hukum pemantulan. Prinsip Huygen harus dimodifikasi sedikit untuk
mengakomodasi kasus dimana sebuah muka gelombang. Seperti AC, menabrak suatu bidang
batas, seperti XY, pada suatu sudut. Disini sudut datang sinar AD, BE, dan CF relatif pada tegak
lurus PD adalah i. Karena titik-titik sepanjang muka gelombang bidang tidak datang pada batas
antara medium secara serempak, suatu kelonggaran dibuat untuk perbedaan ini dalam menyusun
wavelet yang menentukan muka gelombang pantul. Jika batas XY tidak ada, konstruksi Huygen
akan menghasilkan muka gelombang GI pada saat sinar CF mencapai batas di I. Namun
demikian, pengacauan permukaan pantul berarti bahwa selama interval waktu yang sama
dipersyaratkan untuk sinar CF maju dari F ke I, sinar BE telah maju dari E ke J dan kemudian
suatu jarak ekivalen dengan JH setelah pemantulan. Karenanya sebuah wavelet berjari-jari JH
berpusat di J digambar di atas permukaan refleksi. Hal yang sama, sebuah wavelet berjejari DG
digambar berpusat di D untuk menyatakan perambatan setelah refleksi bagian bawah berkas.

Gambar 2-2. Ilustrasi prinsip Huygen untuk gelombang bidang dan sferis.

43
Gambar 2-3. Konstruksi Huygen untuk muka gelombang yang terhalang.

Muka gelombang baru, yang mana harus menyinggung wavelet ini di titik M dan N, dan
termasuk titik I, ditunjukkan sebagai KI dalam gambar tersebut. Normal PD digambarkan untuk
sinar ini digunakan untuk mendefinisikan sudut-sudut datang dan pantul untuk berkas.
Konstruksi ini membuat jelas ekivalensi antara sudut-sudut datang dan refleksi, seperti
diilustrasikan dalam Gambar 2-4a.

44
Gambar 2-4. (a) Konstruksi Huygen untuk refleksi. (b) Konstruksi Huygen untuk refraksi.

Hal yang sama, dalam Gambar 2-4b, konstruksi Huygen ditunjukkan yang menunjukkan
hukum pembiasan. Disini kita harus memperhitungkan perbedaan kelajuan cahaya dalam
medium atas dan bawah. Jika kelajuan cahaya di dalam vakum adalah c, kita menyatakan
kelajuan dalam medium atas dengan rasio c/ni, dimana ni adalah konstanta yang
mengkarakterisasi medium dan dirujuk sebagai indek bias. Hal yang sama, kelajuan cahaya di
dalam medium bawah adalah c/nt. Titik-titik D, E, dan F pada muka gelombang datang sampai di
titik-titik D, J, dan I bidang batas XY pada waktu berbeda. Tanpa adanya permukaan pembias,
muka gelombang GI dibentuk pada saat sinar CF mencapai I. Selama perambatan sinar CF dari
F ke I dalam waktu t, namun demikian, sinar AD telah memasuki medium bawah, dimana
kelajuannya lebih lambat. Karenanya jika jarak DG adalah vit, sebuah wavelet berjejari vtt
dikonstruksi dengan pusat di D. Jejari DM dapat juga dinyatakan sebagai

 DG   ni 
DM  v t t  vt      DG
 vi   nt 

45
Hal yang sama, sebuah wavelet berjejari (ni/nt)JH digambar berpusat di J. Muka gelombang baru
KI melibatkan titik I pada batas dan menyinggung kedua wavelet di titik M dan N, seperti
ditunjukkan. Relasi geometri antara sudut-sudut I dan t, dibentuk dengan menyatakan sinar
datang AD dan sinar bias DL, adalah hukum Snell, seperti diilustrasikan dalam Gambar 2-b.
Hukum Snell pembiasan bisa dinyatakan sebagai

ni sin i  nt sin  t (2-1)

2-3. Prinsip Fermat


Hukum-hukum optik geometri dapat juga diturunkan dari suatu hipotesis dasar yang berbeda. Ide
dasar yang telah diperkenalkan oleh Hero dari Aleksandria, yang hidup di abad kedua sebelum
masehi. Menurut Hero, ketika cahaya dirambatkan antara dua titik, ia mengambil lintasan
terpendek. Untuk perambatan antara dua titik dalam medium uniform yang sama, lintasan jelas
berupa garis lurus yang menghubungkan dua titik tersebut. Ketika cahaya dari titik pertama A,
Gambar 2-5, mencapai titik kedua B setelah pemantulan dari sebuah permukaan bidang, namun
demikian, prinsip yang sama memprediksi hukum pemantulan, sebagai berikut. Gambar 2-5
menunjukkan tiga lintasan yang mungkin dari A ke B, termasuk salah satu yang benar, ADB.
Tinjau lintasan sebarang ACB. Jika titik A’ dikontruksi pada tegak lurus AO sedemikian hingga
AO = OA’, segitiga siku-siku AOC dan A’OC adalah sama. Karenanya AC = A’C dan jarak yang
ditempuh oleh sinar cahaya dari A ke B melalui C adalah sama seperti jarak dari A’ ke B melalui
C. Jarak terpendek dari A’ ke B jelas berupa garis lurus A’DB, sehingga lintasan ADB adalah
pilihan yang benar yang diambil oleh sinar cahaya sebenarnya. Geometri dasar menunjukkan
bahwa untuk lintasan ini, i = r. Perhatikan juga bahwa untuk mempertahankan A’DB sebagai
sebuah garis lurus tunggal, sinar pantul haruslah tetap di dalam bidang datang, yaitu bidang
halaman ini.

46
Gambar 2-5. Kontruksi untuk membuktikan hukum pemantulan dari prinsip Hero.

Gambar 2-6. Konstruksi untuk membuktikan hukum pembiasan dari prinsip Fermat.

Matematikawan Perancis Pierre de Fermat menggeneralisir prinsip Hero untuk


membuktikan hukum pembiasan. Jika titik akhir B terletak di bawah permukaan medium kedua,
seperti dalam Gambar 2-6, lintasan yang benar secara tepat bukan lintasan terpendek atau garis
lurus AB, untuk itu akan membuat sudut bias sama dengan sudut pantul, melanggar hukum
pembiasan yang ditetapkan secara empirik. Mempertimbangkan efisiensi alam, Fermat
menganggap bahwa sinar cahaya menempuh lintasan waktu terpendek dari A ke B, sebuah
generalisasi yang melibatkan prinsip Hero sebagai kasus khusus. Jika cahaya merambat lebih
lambat di dalam medium kedua, seperti diasumsikan dalam Gambar 2-6, cahaya berbelok di
perbatasan untuk mengambil waktu lebih terpendek di dalam medium kedua, dengan demikian
meminimumkan waktu transit keseluruhan dari A ke B. Secara matematis, kita menghendaki
meminimumkan waktu total,

47
AO OB
t 
vi vt
dimana vi dan vt adalah kecepatan cahaya dalam medium datang dan transmisi. Dengan
menerapkan teorema Pitagoras dan jarak yang didefinisikan dalam Gambar 2-6, kita mempunyai
2
a2  x2 b 2  c  x 
t 
vi vt
Karena pilihan lintasan lain mengubah posisi titik O dan oleh karena itu jarak x, kita dapat
meminimumkan waktu dengan mengatur dt/dx = 0:
dt x cx
  0
dx vi a 2  x 2 v b 2  c  x 2
t

Sekali lagi dari Gambar 2-6, sudut-sudut datang dan bias dapat secara memadai dimasukkan ke
dalam syarat ini, yang menghasilkan
dt sin  i sin  t
  0
dx vi vt

sehingga vt sin i  vi sin  t . Dengan mengingat bahwa indeks bias medium adalah v = c/n, kita
sampai di hukum Snell,
ni sin i  nt sin t
Situasi dimana lintasan dari sebuah sinar cahaya bisa menyatakan waktu maksimum satu
lintasan dari banyak lintasan yang mungkin yang semuanya memerlukan waktu yang sama.
Seperti contoh kasus berikut, tinjau cahaya yang merambat dari satu fokus ke fokus lainnya di
dalam sebuah cermin elips, sepanjang satu dari sejumlah besar lintasan yang mungkin. Karena
elips adalah lokasi semua titik yang mengkombinasi jarak-jarak dari dua focus adalah suatu
konstanta, semua lintasan sebenarnya mempunyai waktu sama. Suatu pernyataan lebih tepat
mengenai prinsip fermat, yang mana mensyaratkan suatu ekstremum relative terhadap lintasan
didekatnya, bisa dinyatakan sebagai berikut : Lintasan sebenarnya dari sebuah sinar cahaya
yang merambatan antara dua titik tertentu di dalam sebuah sistem optik adalah sedemikian
hingga membuat lintasannya optiknya sama dengan lintasan lain yang berdekatan dengan
lintasan sebenarnya.
Dengan formulasi ini, prinsip Fermat jatuh dalam kelompok masalah yang disebut
kalkulus variasi, suatu teknik yang menentukan bentuk sebuah fungsi yang meminimumkan

48
suatu integral tertentu. Di dalam optik, integral tertentu merupakan ini integral waktu yang
diperlukan untuk transit sebuah sinar cahaya dari titik awal ke titik akhir.
Perlu dicatat disini bahwa suatu prinsip yang sama, disebut prinsip Hamilton mengenai
aksi terkecil di adalam mekanika yang menyatakan suatu minimum dari integral tertentu fungsi
Lagrangian (energy kinetic minus energy potensial), manyatakan sebuah formulasi alternative
dari hukum-hukum mekanik, yang berarti hukum Newton itu sendiri.

2-4. Prinsip Reversibiltas


Merujuk kembali ke kasus pementulan dan pembiasan yang digambarkan dalam Gambar 2-5 dan
2-6. Jika peran titik-titik A dan B ditukar, sehingga B merupakan sumber sinar cahaya, prinsip
Fermat dari waktu terkecil mestinya memprediksi lintasan yang sama seperti ditentukan untuk
arah semula dari perambatan cahaya. Maka secara umum, sinar sebenarnya di dalam sebuah
sistem optik, jika dibalik arahnya, akan menempuh kembali laintasan arah balik yang sama.
Prinsip ini akan sangat berguna dalam berbagai variasi.

2-5. Pemantulan Pada Cermin Datar


Sebelum mendiskusikan formasi bayangan secara umum, kita mendiskusikan kasus paling umum
yaitu kasus bayangan yang dibentuk oleh cermin datar. Dalam konteks ini adalah penting
membedakan antara pemantulan biasa (specular reflection) dari sebuah permukaan halus
sempurna dan pemantulan baur (diffuse reflection) dari sebuah permukaan kasar. Dalam kasus
pertama, semua sinar dari berkas sejajar yang datang pada permukaan mematuhi hukum
pemantulan dari sebuah permukaan datar dan oleh karena itu memantul sebagai berkas sejajar;
dalam kasus kedua, walaupun hukum pemantulan dipatuhi secara local, permukaan kasar secara
mikroskopik menyebabkan arah yang bervariasi dan menyebabkan hamburan baur sinar-sinar
yang mulanya sejajar. Setiap permukaan bidang akan menghasilkan suatu hamburan seperti itu,
karena sebuah permukaan halus sempurna dalam prakteknya sulit dicapai. Pembahasan
selanjutnya berkaitan dengan pemantulan biasa.
Tinjau pemantulasan biasa sebuah sinar cahaya OP dari bidang xy dalam Gambar 2-7a.
Dengan hukum pemantulan, sinar pantul PQ tetap di dalam bidang datang, membentuk sudut
sama dengan normal di P. Jika lintasan OPQ diuraikan ke dalam komponen-komponen x, y, dan
z, jelas bahwa arah sinar OP diubah oleh pemantulan hanya sepanjang arah-z, dan kemudian

49
sedemikian hingga komponen z nya dibalik. Jika arah sinar datang dideskripsikan oleh vector
satuannya, rˆ1   x, y, z  , maka pemantulan menyebabkan

rˆ1  x, y, z   rˆ2  x, y, z 


Berarti bahwa jika sebuah sinar datang dari arah seperti itu memantul secara berurutan dari
ketiga bidang koordinat tegak lurus, seperti dalam “pemantul sudut” Gambar 2-7b,
rˆ1  x, y, z   rˆ2   x, y, z 
Dan sinar berbalik secara tepat sejajar dengan garis pendekatan asalnya. Sebuah jaringan
pemantul sudut seperti itu menjamin pembalikan pasti seberkas cahaya, sebagai contoh seberkas
sinar dari lampu besar dari pemantul lampu jalan atau seberkas laser dari bulan.

Gambar 1.7. Geometri sebuah sinar yang dipantulkan oleh sebuah bidang.

Pembentukan bayangan di dalam sebuah cermin datar diilustrasikan dalam Gambar 2-8a.
Sebuah obyek titik S mengirim sinar menuju sebuah cermin datar. Hukum pementulan menjamin
bahwa sepasang segitiga seperti SNP dan S’NP adalah sama, sehingga semua sinar pantul terlihat
berasal dari titik bayangan S’, yang mana berada sepanjang garis normal SN, dan di kedalaman
dimana jarak bayangan S’N sama dengan jarak obyek SN. Karena tak satupun sinar cahaya nyata
berada di bawah permukaan cermin, bayangan ini disebut bayangan maya. Bayangan S’
diproyeksikan pada layar seperti dalam kasus bayangan nyata. Semua titik dari sebuah benda
yang lebar, seperti sebuah panah dalam Gambar 2-8b, dibentuk bayangan oleh sebuah cermin
datar: Masing-masing titik obyek mempunyai titik bayangannya sepanjang normalnya terhadap
permukaan cermin dan berada di bawah permukaan pantul sejauh titik obyek berada di atas
permukaan. Perhatikan bahwa posisi bayangan tidak tergantung posisi mata. Lebih lanjut,
konstruksi Gambar 2-8b memperjelas bahwa ukuran bayangan adalah identik dengan ukuran

50
obyek, yang menghasilkan perbesaran satu. Tambahan lagi, orientasi transversal obyek dan
bayangan adalah sama. Sebuah obyek berorientasi kanan, namun demikian, tampak berorientasi
kiri dalam bayangannya. Dalam Gambar 2-8c, dimana cermin tidak berada tepat di bawah obyek,
bidang cermin bisa diperluas untuk menentukan posisi bayangan seperti dilihat oleh mata yang
diposisikan menerima sinar-sinar pantul yang berasal dari obyek. Gambar 2-8d mengilustrasikan
bayangan jamak sebuah obyek titik O yang dibentuk oleh dua cermin tegak lurus. Bayangan I1
dan I2 disebabkan pemantulan tunggal di dalam kedua cermin, tetapi sebuah bayangan ketiga I3
disebabkan pementulan beruntun kedua cermin.

Gambar 2-8. Pembentukan dalam suatu cermin datar

2-5. Pembiasan Melalui Permukaan Datar


Tinjau sinar cahaya (1) dalam Gambar 2-9a, datang dengan sudut 1 pada bidang batas yang
memisahkan dua medium transparan yang dicirikan secara berurut oleh indek bias n1 dan n2.
Misalkan sudut bias adalah 2
n1 sin 1  n2 sin  2 (2-2)

51
mensyaratkan sudut bias 2 sedemikian hingga sinar bias melengkung menjauh dari normal,
seperti dalam Gambar 2-9a, sinar 1 dan 2, ketika n2 < n1. Untuk n2 < n1, di lain pihak, sinar bias
dibelokkan menuju normal. Hukum ini juga mensyaratkan bahwa sinar 3, datang normal pada
permukaan (1 = 0), ditransmisikan tanpa berubah arah (2 = 0), tanpa memperhatikan rasio
indeks bias. Dalam Gambar 2-9a ketiga sinar berasal dari sebuah titik sumber S di bawah batas
antar medium dan memancar ke dalam medium bagian atas, seperti dalam kasus cahaya yang

Gambar 2-9. Geometri sinar yang dibiaskan oleh bidang batas.

memancar dari air (n1 = 1,33) ke dalam udara (n2 = 1,00). Suatu titik bayangan unik tidak
ditentukan oleh sinar-sinar ini karena mereka tidak terdapat perpotongan umum atau titik
bayangan maya di bawah permukaan dari mana mereka muncul karena pembiasan, seperti
ditunjukkan oleh perluasan garis putus-putus dari sinar bias. Namun demikian, untuk sinar-sinar
yang membuat suatu sudut kecil dengan normal terhadap permukaan, sebuah bayangan yang

52
sangat baik dapat dilokalisir. Dalam pendekatan ini, dimana kita mengijinkan hanya sinar-sinar
paraksial untuk membentuk bayangan, sudut-sudut datang dan bias keduanya kecil dan
pendekatan,
sin   tan    (dalam radian)
adalah valid. Dari persamaan (2-2), hukum Snell dapat didekati dengan
n1 tan 1  n2 tan  2 (2-3)
dan dengan mengambil tangen yang sesuai dari Gambar 2-9b, kita mendapatkan
 x x
n1    n2  
s  s' 
Titik bayangan terjadi di jarak vertikal s’ di bawah permukaan diberikan oleh
n 
s '  s  2  (2-4)
 n1 
dimana sadalah kedalaman obyek. Karenanya obyek di bawah air, dilihat tepat dari atas, terlihat
lebih dekat ke permukaan dari pada kedalaman sebenarnya, karena dalam kasus ini s’ = (1/1,33)s
= ¾ s. Bahkan ketika sudut pengamatan 2 adalah tidak kecil, bayangan sebuah benda dibawah
air terbentuk karena celah atau pupil mata memungkinkan hanya suatu bundel kecil sinar-sinar
saat pembentukan bayangan. Karena sinar-sinar ini berbeda sangat kecil arahnya, mereka akan
muncul dari secara pendekatan titik bayangan yang sama. Namun demikian, kedalaman
bayangan ini tidak akan ¾ kedalaman obyek, seperti untuk sinar-sinar paraksial, dan secara
umum akan bervariasi dengan sudut pengamatan.
Sinar dari obyek yang memperbesar sudut datang terhadap batas, menurut hukum Snell,
haruslah membiaskan dengan sudut lebih besar, seperti ditunjukkan dalam Gambar 2-9c. Suatu
sudut datang kritis c dicapai ketika sudut bias mencapai 90 o. Karenanya dari hukum Snell,

n  n
sin  c   2  sin 90  2
 n1  n1

atau
n 
sin  c  sin 1  2  (2-5)
 n1 
Untuk sudut-sudut datang 1 > c, sinar datang mengalami pemantulan internal total, sepert totali
ditunjukkan. Gejala ini mendasari transmisi cahaya sepanjang serat optik melalui sederetan

53
pemantulan internal total. Perhatikan bahwa gejala tersebut tidak terjadi kecuali n1 > n2, sehingga
dapat ditentukan dari persamaan (2-5).
Kita kembali ke sifat bayangan yang dibentuk oleh pembiasan di permukaan datar ketika
kita berhubungan dengan pembiasan ini sebagai kasus khusus pembiasan dari sebuah permukaan
sferis.

2-6. Pembentukan Bayangan Oleh Sebuah Sistem Optik


Kita mendiskusikan disini apa yang dimaksud dengan sebuah bayangan secara umum dan
menunjukkan faktor-faktor teoritis dan praktis yang membuat sebuah bayangan kurang dari
sempurna. Dalam Gambar 2-10, sistem optik meliputi: permukaan pemantul dan/atau pembias,
dengan kelengkungan sembarang, yang bisa mengubah arah sinar yang meninggalkan sebuah
titik obyek O. Daerah ini bisa meliputi sebarang media yang terlibat, tetapi kita akan
mengasumsikan bahwa masing-masing medium individual adalah homogen dan isotropik, dan
maka dicirikan oleh indek biasnya sendiri. Karenanya sinar-sinar menyebar keluar secara radial
ke semua arah dari titik Obyek O, seperti ditunjukkan, dalam ruang obyek nyata, yang mana
mendahului permukaan pemantul atau pembias pertama dari sistem optik. Keluarga dari
permukaan sferis normal terhadap sinar-sinar adalah muka gelombang, posisi dari titik-titik
sedemikian hingga masing-masing sinar yang berhubungan dengan suatu muka gelombang
menyatakan waktu transit yang sama dari cahaya dari sumber. Dalam ruang obyek nyata sinar-
sinar menyebar dan muka gelombang sferis mengembang. Sekarang anggap bahwa sistem optik
mengarahkan kembali sinar-sinar ini dengan cara pada saat meninggalkan sistem optik dan
memasuki ruang bayangan nyata, muka gelombang mengecil dan sinar-sinar konvergen ke suatu
titik yang didefinisikan sebagai titik bayangan, I. Dalam spirit prinsip Fermat, kita dapat
mengatakan bahwa karena setiap sinar mulai di O dan berakhir di I, setiap sinar mensyaratkan
waktu transit yang sama. Sinbar-sinar ini dikatakan isokron. Selanjutnya, dengan prinsip
reversibilitas, jika I adalah titik obyek, masing-masing sinar akan berbalik arah tetapi
mempertahankan lintasannya melalui sistem optik, dan O akan berhubungan dengan titik
bayangan. Titik O dan I dikatakan titik-titik konjugat untuk sistem optik. Di dalam sebuah
sistem optik ideal, setiap sinar dari O berpotongan dengan dengan sistemdan hanya sinar-sinar
inijuga lewat melalui I. Untuk membentuk suatu bayangan obyek sebenarnya, persyaratan ini
harus berlaku untuk setiap titik obyek dan titik bayangan kojugatnya.

54
Gambar 2-10. Pembentukan bayangan oleh sebuah sistem optik.

Dalam prakteknya, bayangan nonideal terbentuk karena (1) hamburan cahaya, (2)
aberasi, dan (3) difraksi. Beberapa sinar yang meninggalkan O tidak mencapai I disebabkan
berkurangnya pemantulan di permukaan bias, pemantulan baur dari permukaan pantul, dan
hamburan oleh ketidakhomogenan dalam medium transparan. Berkurangnya sinar-sinar oleh hal
tersebut jelas meredupkan kecerahan bayangan; namun demikian. Beberapa sinar sinar ini
dihamburkan melalui I dari titik-titik obyek tak konjugat, menurunkan kualitas bayangan. Ketika
sistem optik ini tidak dapat menghasilkan relasi satu-satu antara sinar-sinar obyek dan bayangan
yang dipersyaratkan untuk pembentukan bayangan sempurna dari semua titik-titik obyek yang
sempurna, kita berbicara mengenai aberasi sistem. Akhirnya, karena setiap sistem optik
menangkap hanya sebagian dari muka gelombang yang memancar dari obyek, bayangan tidak
bisa tajam sempurna. Meskipun bayangan sempurna, efek penggunaan bagian terbatas dari muka
gelombang menyebabkan difraksi dan suatu bayangan yang kabur, yang mana dikatakan sebagai
difraksi terbatas. Sumber ketidaksempurnaan bayangan ini, yang didiskusikan lebih lanjut dalam
bab difraksi, menampilkan suatu batas ketajaman suatu bayangan yang tidak dapat diatasi secara
menyeluruh.
Permukaan pantul atau bias yang membentuk bayangan sempurna disebut permukaan
Cartesian. Dalam kasus pemantulan, permukaan seperti itu merupakan bagian konik, seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2-11. Dalam setiap gambar, peran dari titik obyek dan bayangan bisa
dibalik menggunakan prinsip reversibilitas. Perhatikan bahwa dalam Gambar 2-11b, bayangan
adalah maya. Dalam Gambar 2-11c, sinar-sinar pantul sejajar dikatakan membentuk suatu
bayangan di tak terhingga. Dalam masing-masing kasus, kita dapat menunjukkan bahwa prinsip
Fermat, yang mensyaratkan sinar-sinar isokron antara titik-titik obyek dan bayangan, mengarah
suatu syarat yang ekivalen dengan definisi geometri dari bagian konik yang terkait.

55
Gambar 2-11. Permukaan pantul Cartesian yang menunjukkan obyek dan bayangan konjugat.

Permukaan Cartesian yang mengahsilkan bayangan sempurna melalui pembiasan bisa


lebih rumit. Mari kita mencari persamaan permukaan pembias yang sesuai yang membentuk
bayangan titik obyek O di titik bayangan I, seperti diilustrasikan dalam Gambar 2-12. Terdapat
sebuah titik sebarang P dengan koordinat (x, y) pada permukaan yang dipersyaratkan .
Persyaratannya adalah bahwa setiap sinar dari O, seperti OPI, membelok dan melewati bayangan
I. Sinar seperti itu lainnya jelas adalah OVI, normal terhadap permukaan di titik verteknya V.
Dengan prinsip Fermat, ini merupakan sinar-sinar isokron. Karena media di sisi lain dari
permukaan pembias dicirikan oleh indek biayang berbeda, namun demikian, sinar-sinar isokron
tidak sama panjangnya. Waktu transit dari sebuah sinar melalui medium setebal x dengan indek
bias n adalah
x nx
t 
v c

56
Gambar 2-12. Permukaan pembias Cartesian yang membentuk bayangan titik obyek O di titik
bayangan I.

Oleh karena itu, waktu yang sama menyiratkan nilai perkalian nx yang sama, disebut panjang
lintasan optik. Dalam masalah ini, prinsip Fermat mensyaratkan bahwa
no d o  ni d i  no so  ni si  konstanta (2-6)
dimana jarak didefinisikan dalam gambar 2-12. Dalam koordinat (x, y) P, jumlahan pertama
persamaan (2-6) menjadi

no x 2  y 2 
1/ 2

 ni y 2  so  si  x  
2 1/ 2
 konstanta (2-7)

Konstanta dalam persamaan ditentukan oleh suku di tengah dari persamaan (2-6), yang mana
dapat dihitung begitu maslah khusus didefinisikan. Persamaan (2-7) mendeskripsikan Cartesian
ovoid dari revolusi yang ditunjukkan dlam Gambar 2-13a.

Gambar 2-13. Permukaan pembias Cartesian. (a) Cartesian ovoid membentuk bayangan O di I
melalui pembiasan. (b) Permukaan hiperbolik membentuk bayangan titik O di tak terhingga
ketika O berada di fokus dan ni > no. (c) Permukaan elips membentuk bayangan titik obyek O di
tak terhingga ketika O berada di fokus no > ni.

57
Dalam kebanyakan kasus, namun demikian, bayangan diinginkan dalam medium optik
yang sama seperti obyek. Tujuan ini dicapai dengan sebuah lensa yang membiaskan sinar cahaya
dua kali, sekali pada masing-masing permukaan, yang menghasilkan sebuah bayangan nyata di
luar lensa. Karenanya inilah tujuan menentukan permukaan Cartesian yang membuat setiap sinar
obyek sejajar setelah pembiasan pertama. Sinar-sinar seperti ini datang pada permukaan kedua
maka dapat dibiaskan sekali lagi untuk membentuk sebuah bayangan. Penyelesaian masalah ini
diilustrasikan dalam Gambar 2-13b dan c. Tergantung pada besar indek bias relatif, permukaan
pembias yang sesuai bisa sebuah hiperbolik (ni > no) atau sebuah elip (no > ni), seperti
ditunjukkan. Permukaan hiperbolik berhubungan dengan kasus biasa sebuah obyek di dalam
udara. Sebuah lensa hiperbolik ganda maka berfungsi seperti ditunjukkan dalam Gambar 2-14.
Perhatikan, namun demikian, bahwa pembentukan bayangan bebas aberasi yang dicapai dengan
menerapkan hanya pada titik obyek O di jarak yang benar dari lensa dan berada pada sumbu.
Untuk titik-titik yang dekat, pembentukan bayangan tidak sempurna. Semakin besar obyek nyata,
berkuran presisi bayangannya. Karena bayangan obyek-obyek aktual tidak bebas dari aberasi dan
karena permukaan hiperbolik sulit dibentuk secara tepat, kebanyakan permukaan optik sferis.
Aberasi sferis ditoleransi sebagai kompromi ketika mempertimbangkan kemudahan relatif
fabrikasi permukaan sferis. Dalam bagian akhir dari bab optik geometri, kita berkonsentrasi pada
kasus pemantulan dan pembiasan sferis dengan jejari kelengkungan R. Dalam batas R  , kita
berhubungan dengan kasus khusus sebuah permukaan datar.

Gambar 2-14. Pembentukan bayangan obyek titik O bebas aberasi menggunakan lensa hiperbolik
ganda.

2-8. Pemantulan Pada Sebuah Permukaan Sferis


Cermin sferis bisa cekung (concave) atau cembung (comvex) relative terhadap sebuah titik
obyek O, tergantung apakah kelengkungan pusat C berada pada sisi yang sama atau berlawanan

58
permukaan pemantul. Dalam Gambar 2-15 cermin adalah cembung, dan dua sinar cahaya yang
berasal dari O digambarkan, satu normal terhadap permukaan sferis dan verteksnya V dan
lainnya sebuah sinar sebarang datang pada P, yang memenuhi hukum pemantulan. Kedua sinar
pantul menyebar ketika meraka meninggalkan cermin. Perpotongan kedua sinar (diperpanjang ke
belakang) menentukan titik bayangan I konjugat dengan O. Bayangan maya, terletak di belakang
permukaan cermin. Jarak obyek dan bayangan dari vertek berturut-turut adalah s dan s’.

Gambar 2-15. Pemantulan pada permukaan sferis.

Suatu ketinggian h digambarkan dari P ke sumbu Q. Kita mencari relasi antara s dan s’ yang
tergantung hanya pada jejari kelengkungan R dari cermin. Seperti akan kita lihat, relasi seperti
itu mungkin hanya untuk pendekatan orde pertama dari ekspansi sinus dan cosines sudut-sudut
yang dibuat oleh sinar obyek dan bayangan pada permukaan sferis. Ini berarti bahwa dari
ekspansi
3 5
sin       ...
3! 5!
(2-8)
2 4
cos   1    ...
2! 4!
kita meninjau hanya suku pertama dan menuliskan
sin    dan cos  1 (2-9)
relasi yang cukup akurat jika sudut  adalah cukup kecil. Pendekatan ini mengantarkan ke
optika Gaussian, merujuk pada Karl Friederih Gauss, yang pada tahun 1841 mengembangkan
landasan optik. Sekarang kembali ke masalah cermin sferis, perhatikan bahwa dua relasi angular

59
bisa diperoleh dari Gambar 2-15, karena sudut luar dari sebuah segitiga sama dengan jumlah
sudut-sudut dalamnya. Kedua relasi angular tersebut adalah
    dan 2     '
yang mana kombinasi keduanya menghasilkan
   '  2 (2-10)
Dengan menggunakan pendekatan sudut kecil, sudut-sudut persamaan (2-10) dapat diganti
dengan tangennya, yang menghasilkan
h h h
  2
s s' R
dimana kita telah juga mengabaikan jarak sumbu VQ, kecil ketika sudut  adalah kecil.
Penghapusan h menghasilkan relasi yang diinginkan,
1 1 2
  (2-11)
s s' R
Jika permukaan sferis dipilih cekung, pusat kelengkungan akan berada di kiri. Untuk posisi
tertentu titik obyek O, maka adalah mungkin mendapatkan sebuah titik bayangan nyata juga di
kiri cermin. Dalam kasus ini, relasi geometri yang dihasilkan analog dengan persamaan (2-11)
terdiri suku-suku yang semuanya positif,
1 1 2
  (Rumus cermin cekung)
s s' R
Adalah mungkin, menggunakan suatu konvensi tanda, untuk menyatakan semua kasus oleh
sebuah persamaan tunggal
1 1 2
  (2-12)
s s' R
Konvensi tanda yang digunakan bersama dengan persamaan (2-12) adalah sebagai
berikut:
Asumsikan cahaya merambat dari kiri ke kanan:
1. Jarak obyek s adalah positif ketika O berada di kiri dari V, yang berhubungan dengan
sebuah obyek nyata. Ketika O di kanan, yang berhubungan dengan sebuah obyek maya, s
adalah negative.

60
2. Jarak bayangan s adalah positif ketika I berada di kiri V, yang berhubungan dengan
sebuah bayangan nyata, dan negative ketika I berada di kanan V, yang berhubungan
dengan sebuah cermin cekung.
3. Jejari kelengkungan R adalah positif ketika C berada di kanan V, yang berhubungan
dengan sebuah cermin cembung, dan negative ketika C berada di kiri V, yang
berhubungan dengan sebuah cermin cekung.
Aturan-aturan ini dapat diringkas dengan memperhatikan bahwa jarak obyek dan bayangan
positif berhubungan dengan obyek nyata dan bayangan nyata dan bahwa cermin cembung
mempunyai jejari kelengkungan positif. Dengan menerapkan aturan 2 ke Gambar 2-15, kita
melihat bahwa persamaan umum (2-12) menjadi identik dengan (2-11), sebuah kasus khusus
yang diturunkan bersama dengan Gambar 2-15. Obyek maya terjadi hanya dengan sederetan dua
atau lebih elemen-elemen pantul dan bias dan ditinjau kemudian.
Cermins sferis yang dideskripsikan oleh persamaan (2-12) menghasilkan, untuk sebuah
cermin datar dengan R  , s’ = s, seperti ditentukan sebelumnya. Tanda negative mensiratkan
sebuah bayangan maya untuk sebuah obyek nyata. Perhatikan juga dalam persamaan (2-12)
bahwa jarak obyek dan jarak bayangan Nampak simetri, dengan menyatakan ketertukarannya
sebagai titik-titik konjugat. Untuk sebuah obyek di tak terhingga, sinar-sinar datang sejajar dan s’
= R/2, seperti diilustrasikan dalam Gambar 2-16a dan b untuk cermin cekung (R < 0) dan
cermin cembung (R > 0). Jarak bayangan dalam masing-masing kasus didefinisikan sebagai
panjang focus cermin. Maka
R   0, cermin cekung
f   (2-13)
2  0, cermin cembung
Dan persamaan cermin dapat ditulis, secara lebih kompak, sebagai
1 1 1
  (2-14)
s s' f
Dalam Gambar 2-16c, sebuah konstruksi ditunjukkan yang memungkinkan menentukan
perbesaran transversal. Obyek merupakan sebuah obyek diperpanjang berdimensi transversal ho.
Bayangan bagian atas panah dibentuk oleh dua sinar pantul. Sinar datang di vertek harus
memantul membentuk sudut yang sama dengan sumbu. Sinar lain diarahkan menuju pusat
kelengkungan sepanjang garis normal dan maka harus memantul balik segaris sinar datang.

61
Perpotongan dua sinar pantul terjadi di belakang cermin dan membentuk sebuah bayangan maya.
Karena kesamaan ketiga sudut (ditunjukkan dalam gambar), maka disimpulkan bahwa
ho hi

so si

Gambar 2-16. Lokasi titik focus (a) dan (b) dan konstruksi untuk menentukan perbesaran (c) dari
sebuah cermin sferis.

Perbesaran lateral didefinisikan oleh rasio ukuran bayangan lateral dengan ukuran obyek lateral
yang terkait,
hi si
m  (2-15)
ho so
Konvensi tanda juga berlaku pada perbesaran, kita menentukan perbesaran (+) untuk kasus
dimana bayangan mempunyai orientasi sama seperti obyek dan perbesaran () ketika bayangan
terbalik relatif terhadap obyek. Untuk menghasilkan perbesaran (+) dalam konstruksi Gambar 2-
16c, dimana ‘ harus dengan sendirinya negatif, kita memodifikasi persamaan (2-15) untuk
menghasilkan bentuk umum
si
m (2-16)
so
Sekali titik-titik C dan F ditentukan, pembentukan bayangan oleh sebuah cermin sferis bisa
ditentukan secara pendekatan dengan metode grafis. Gambar 2-17 mengilustrasikan beberapa
contoh yang seharusnya dikaji secara teliti. Validitas masing-masing pemantulan sinar telah
ditetapkan dalam pembahasan di atas. Dalam masing-masing kasus bayangan bagian atas panah
ditentukan lokasinya oleh perpotongan tiga sinar pantul. Sifat bayangan yang dibentuk oleh
cermin diringkas dalam Tabel 2-1.

62
Gambar 2-17. Diagram sinar untuk cermin sferis. (a) Bayangan nyata, cermin cekung. (b)
Bayangan maya, cermin cekung. (c) Bayangan maya, cermin cembung.

Contoh 2-1
Sebuah obyek tinggi 3 cm ditempatkan 20 cm dari (a) sebuah cermin cembung, (b) sebuah
cermin cekung, masing-masing dengan panjang fokus 10 cm. Tentukan posisi dan sifat bayangan
dari masing-masing kasus.
Penyelesaian
(a) Cermin cembung: f =  10 cm dan s = + 20 cm.
1 1 1
  atau s ' 
fs

 1020  6,67 cm
s s' f s  f 20   10
s  6,67 1
m   0,333 
s' 20 3
Bayangan adalah maya (karena s’ adalah negative), 6,67 cm di kanan vertek cermin, atau 1
cm tingginya.
(b) Cermin cekung: f = + 10 cm dan s = +20 cm

63
s' 
fs

1020  20 cm
s  f 20   10
s' 20
m   1
s 20
Bayangan adalah nyata (karena s’ adalah positif), 20 cm di kiri vertek cermin, dan terbalik
(karena m negative) dan ukuran sama seperti obyek, atao 3 cm tingginya. Bayangan dan
obyek berada di 2f = 20 cm, pusat kelengkungan cermin.

Tabel 2-1. Karakteristik bayangan yang dibentuk Cermin Cekung dan Cembung.
Cermin Cekung
Obyek Bayangan
Lokasi Jenis Lokasi Orientasi Ukuran relatif

 > so > 2f Nyata f < si < 2f Terbalik Diperkecil

so = 2f Nyata si = 2f Terbalik Diperkecil


f < so < 2f Nyata  > si > 2f Terbalik Diperkecil
so = f 

so < f Maya si  so Tegak Diperkecil

Cermin Cembung
Obyek Bayangan
Lokasi Jenis Lokasi Orientasi Ukuran relatif
si  f
Dimanapun Maya Tgak Diperkecil
s o  si

2-9. Pembiasan Pada Sebuah Permukaan Sferis


Kita sekarang kembali ke perlakuan yang sama mengenai pembiasan pada sebuah permukaan
sferis, dengan memilih dalam kasus ini permukaan cekung gambar 2-18. Dua sinar ditunjukkan
berasal dari titik obyek O. Satu merupakan sinar aksial, normal terhadap permukaan di verteknya

64
dan maka dibiaskan tanpa berubah arah. Sinar lain adalah sinar sebarang datang di P dan
membelok menurut hukum Snell
n1 sin 1  n2 sin  2 (2-17)
Kedua sinar bias terlihat muncul dari perpotongan umumnya, titik bayangan I. Di dalam segitiga
CPO, sudut luar  = 1 + . Di dalam segitiga CPI, sudut luar ’ = 2 + . Pendekatan untuk
sinar-sinar paraksial dan dengan mensubstitusi 1 dan 2 dalam persamaan (2-17), kita
mempunyai
n1      n2  '  (2-18)
Selanjutnya, dengan menuliskan tangen untuk sudut-sudut dengan menganalisis Gambar 2-18,
dimana sekali lagi kita mengabaikan jarak QV dalam pendekatan sudut kecil,
h h  h h
n1     n2   
 s R  s' R 
atau
n1 n2 n1  n2
  (2-19)
s s' R

Gambar 2-18. Pembiasan pada permukaan sferis untuk mana n2 > n1.

Dengan menggunakan konvensi tanda yang sama seperti dikenalkan dalam cermin (yaitu, jarak
positif untuk nyata dan jarak negative untuk obyek dan bayangan maya), jarak bayangan maya s’

65
< 0 dan jejari kelengkungan R < 0. Jika tanda negative ini dipahami untuk kasus Gambar 2-18,
suatu bentuk umum persamaan pembiasan bisa ditulis sebagai
n1 n2 n2  n1
  (2-20)
s s' R
yang mana berlaku sama untuk permukaan cekung. Ketika R  , permukaan sferis menjadi
sebuah permukaan pembiasa datar, dan
n 
s '    2  s (2-21)
 n1 
dimana s’ adalah kedalaman yang terlihat yang ditentukan dalam sub bab sebelumnya. Untuk
sebuah obyek nyata (s > 0), tanda negative dalam persamaan (2-21) menunjukkan bahwa
bayangan adalah maya. Perbesaran lateral dari sebuah benda yang lebar secara ringkas
ditentukan dengan mengamati Gambar 2-19. Hukum Snell mensyaratkan, untuk sinar datang di
vertek dan dalam pendekatan sudut kecil, n11 = n22, atau menggunakan tangent untuk sudut-
sudut,
h  h 
n1  o   n2  i 
 s  s' 

Gambar 2-19. Konstruksi untuk menentukan perbesaran lateral pada suatu permukaan pembias
sferis.

Perbesaran lateral maka adalah


hi n s'
m  1 (2-22)
ho n2 s
dimana tanda negative diikutkan untuk menyatakan nilai negative bagi bayangan terbalik. Untuk
kasus sebuah permukaan pembias datar, persamaan (2-21) bisa digabungkan ke dalam persamaan
(2-22), yang menghasilkan m = + 1. Karenanya bayangan yang dibentuk oleh permukaan
pembias datar mempunyai dimensi dan orientasi lateral seperti obyek.

66
Contoh 2-2
Sebagai contoh pengembangan pembiasan oleh permukaan sferis, merujuk Gambar 2-20. Dalam
(a), sebuah obyek nyata diletakkan di udara, 30 cm dari sebuah permukaan sferis konvek
berjejari 5 cm. Di kanan batas, medium adalah air (n =1,33). Sebelum mengkonstruksi sinar-
sinar, kita pertama mendapatkan jarak bayangan dan perbesaran lateral bayangan, menggunakan
persamaan (2-20) dan (2-22). Persamaan (2-20) menjadi
1 1,33 1,33  1
 
30 s1' 5

Menghasilkan s1'  40 cm . Tanda negative menunjukkan bahwa bayangan adalah nyata dan
maka terletak di kanan permukaan, dimana sinar-sinar nyata cahaya dibiaskan. Persamaan (2-22)
menjadi

m
1 40  1
1,33 30

Gambar 2-20. Contoh pembiasan permukaan sferis. (a) Pembiasan oleh permukaan sferis
tunggal. (b) Pembiasan oleh sebuah lensa tebal. Subscript 1 dan 2 merujuk pada permukaan
pembiasan pertama dan kedua.

67
yang mununjukkan sebuah bayangan terbalik, sama ukuranya dengan obyek. Gambar 2-20a
menunjukkan bayangan begitu pula beberapa sinar, yang mana sekarang ditentukan. Dalam
contoh ini kita mengasumsikan bahwa medium di sebelah kanan permukaan yang membentang
cukup jauh sehingga bayangan terbentuk di dalamnya, tanpa pembiasan lebih lanjut. Misal kita
menganggap (Gambar 2-20b) bahwa medium kedua hanya setebal 10 cm, membentuk sebuah
lensa tebal, dengan permukaan sferis cekung kedua, juga berjejari 5 cm. Pembiasan oleh
permukaan pertama, sudah tentu, tidak dipengaruhi oleh perubahan ini. Di dalam lensa tersebut,
oleh karena itu, sinar-sinar diarahkan sebelumnya untuk membentuk sebuah bayangan 40 cm
dari permukaan pertama. Namun demikian, sinar-sinar ini berpotongan dan sekali lagi dibiaskan
oleh permukaan kedua untuk menghasilkan sebuah bayangan berbeda, seperti yang ditunjukkan
gambar. Karena konvergensi sinar-sinar mengenai permukaan kedua ditentukan oleh posisi
bayangan pertama, yang lokasinya menjelaskan jarak obyek dalam pembiasan kedua. Kita
menyebut bayangan nyata untuk permukaan (1) sebagai sebuah obyek maya untuk permukaan
(2). Maka, dengan konvensi tanda, kita membuat jarak obyek maya relative terhadap permukaan
kedua sebagai kuantitas negative ketika menggunakan persamaan (2-10) dan (2-22). Untuk
pembiasan kedua, persamaan (2-20) menjadi
1,33 1 1  1,33
 
 30 s2' 5
atau s’ = +9 cm. Permbesaran, menurut persamaan (2-22), adalah

m
 1,33 9    5
1 30 2
Bayangan akhir maka adalah (2/5) ukuran lateral dari obyek maya dan terlihat dengan orientasi
sama. Relatif terhadap obyek asli, bayangan akhir adalah (2/5) besarnya dan terbalik.
Secara umum, kapanpun sederetan permukaan pemantul atau pembias dilibatkan dalam
proses pembentukan bayangan akhir, pemantulan dan atau pembiasan individual ditinjau dalam
urutan dimana cahaya datang pada permukaan-permukaan tersebut. Jarak obyek langkah ke-n
ditentukan oleh jarak bayangan langkan ke-(n  1). Jika bayangan langkah ke (n - 1) tidak benar-
benar terbentuk, ia berfungsi sebagai obyek maya untuk langkah ke n.

68
2-10. Lensa Tipis
Sekarang kita menerapkan metode sebelumnya untuk menentukan persamaan lensa tipis. Seperti
dalam contoh Gambar 2-20, dua pembiasan permukaan sferis dilibatkan. Penyederhanaan dibuat
untuk mengabaikan ketebalan lensa dibandingkan dengan jarak obyek dan bayangan, sebuah
pendekatan yang dibenarkan dalam kebanyakan situasi praktis. Pada permukaan pembias
pertama, jejari R1,
n1 n2 n2  n1
  (2-23)
s1 s1' R1
dan di permukaan kedua, jejari R2,
n2 n1 n1  n 2
  (2-24)
s2 s2' R2
Kita telah mengsumsikan bahwa lensa menghadap medium yang sama n1 di kedua sisi. Sekarang
jarak obyek kedua, secara umum dinyatakan oleh
s2  t  s1' (2-25)
dimana t adalah ketebalan lensa. Perhatikan bahwa relasi ini menghasilkan tanda yang benar s2,
seperti dalam Gambar 2-20, dan juga ketika bayangan di tengah jatuh di dalam atau di kiri lensa.
Dalam pendekatan lensa tipis, mengabaikan t,
s2   s1' (2-26)
Ketika nilai s2 ini disubstitusi ke dalam persamaan (2-24) dan persamaan (2-23) dan (2-24)
ditambahkan, suku n2 s1' lenyap dan menghasilkan

n1 n1  1 1 
 '  n2  n1   
s1 s2  R1 R2 

Sekarang s1 adalah jarak obyek asli dan s2' adalah jarak bayangan akhir, maka kita bisa
membuang subscrip nya dan menuliskan secara ringkas

1 1 n 2  n1  1 1 
 '     (2-27)
s1 s 2 n1  R1 R2 

Panjang focus lensa tipis didefinisikan sebagai jarak bayangan untuk obyek di tak terhingga, atau
jarak obyek untuk suatu bayangan di tak terhingga, yang dinyatakan oleh

1 n2  n1  1 1 
    (2-28)
f n1  R1 R2 

69
Persamaan (2-28) disebut persamaan pembuat lensa karena ia memprediksi panjang focus sebuah
lensa yang difabrikasi dengan indek bias tertentu dan jejari kelengkungan tertentu dan digunakan
di dalam suatu medium berindek bias n1. Dalam kebanyakan kasus, medium sekitar adalah udara,
dan n1 = 1. Persamaan lensa tipis dalam panjang focus adalah
1 1 1
  (2-29)
s1 s2' f

Lensa Cembung Lensa Cekung

Bi-Konvek (Bi-convex) Bi-Konkaf (Bi-concave)

Plan-Konvek (Planar Plan-Konkaf (Planar


Convex) Convex)

Konvek Meniskus Konkaf Meniskus


(Meniscus Convex) (Meniscus Concave)

(c)
Gambar 2-21. Aksi lensa konvergen (a) dan divergen (b) pada muka gelombang bidang cahaya.
(c) Macam-macam lensa konvergen dan divergen.

Analisis muka gelombang untuk muka gelombang bidang, seperti ditunjukkan oleh
Gambar 2-21, menunjukkan bahwa sebuah lensa lebih tebal di tengah-tengah mengumpulkan
(konvergensi) sinar-sinar datang sejajar, sedangkan lensa yang lebih tipis ditengah menyebarkan
(divergensi) sinar-sinar datang sejajar. Bagian muka gelombang yang harus menembus bagian

70
lebih tebal tertunda relative terhadap bagian lainnya. Lensa konvergen dicirikan oleh panjang
fokus positif dan lensa divergen oleh panjang fokus negative, seperti ditujukkan oleh gambar
dimana bayangan berturut-turut adalah nyata dan maya.
Diagram sinar contoh untuk lensa konvergen (atau konvek) dan divergen (atau konkaf)
ditunjukkan dalam Gambar 2-22. Lensa tipis dinyatakan, untuk keperluan konstruksi sinar, oleh
sebuah garis vertical dengan ujung-ujung berupa bentuk umum lensa. Sinar (1) dari atas obyek
datang sejajar dengan sumbu dan mengumpul, dalam Gambar 2-22a, menuju titik fokus atau
menyebar, dalam Gambar 2-22b, seolah-olah berasal dari titik fokus. Sinar kedua secara ringkas
merupakan kebalikan dari yang pertama. Walaupun kedua sinar mencukupi untuk menentukan
bayangan, sinar ketiga mungkin juga digambarkan melalui pusat lensa tanpa membelok. Bagian
tengah lensa bertingkah laku seperti sebuah plat sejajar, yang mana tidak mengubah arah sinar
datang, dan karena lensa tipis, sedikit menggeser sinar. Dalam menggambar diagram sinar, amati
bahwa, kecuali untuk sinar sentral, setiap sinar dibiaskan oleh sebuah lensa konvek membelok
menuju sumbu dan setiap sinat yang dibiaskan oleh lensa konkaf membelok menjauh dari
sumbu. Dari salah satu diagram, sudut-sudut yang dibentuk oleh obyek dan bayangan di pusat
lensa terlihat sama. Baik untuk bayangan nyata dalam (a) maupun bayangan maya (b),
disimpulkan bahwa
ho hi

s s'
dan perbesaran lateral
hi s'
m 
ho s

71
Gambar 2-22. Diagram sinar untuk pembentukan bayangan oleh (a) sebuah lensa konvergen dan
(b) sebuah lensa divergen.

Sesuai dengan konvensi tanda, sebuah tanda negative harus ditambahkan ke ekspresi ini. Dalam
kasus (a), s > 0, s’ > 0, dan m < 0 karena bayangan terbalik; dalam kasus (b), s > 0, s’ < 0, dan m
> 0. Dalam kasus lain maka,
s'
m (2-30)
s
Lebih jauh diagram sinar untuk dua lensa diilustrasikan dalam Gambar 2-23. Tabel 2-2 dan
Gambar 2-24 memberi ringkasan karakterisitik dan rumus lensa dan cermin.

72
(b)
Gambar 2-23. (a) Formasi sebuah bayangan maya oleh dua sistem dua lensa, lensa konvergen (1)
dan lensa divergen (2). (b) Formasi sebuah bayangan nyata RI2 oleh dua lensa konvergen.
Bayangan perantara RI1 berfungsi sebagai obyek maya VO2 untuk lensa kedua.

Tabel 2-2.a. Karakteristik lensa dan cermin dalam pembentukan bayangan.


Permukaan Sferis Permukaan datar
Pemantulan 1 1 1 R s' s’ = s
  , f  ; m m = +1
s s' f 2 s
Cekung: R < 0
Cembung: R > 0
Pembiasan: n1 n2 n 2  n1 n s' n2
Permukaan tunggal   ; m 1 s'  s
s s' R n2 s n1
Cekung: f > 0, R < 0 m = +1
Cembung: f < 0, R > 0
Pembiasan: Lensa tipis
1 1 1 1 n2  n1  1 1 
  ,    
s s' f f n1  R1 R2 
s'
m
s
Cekung: f < 0
Cembung: f > 0

73
Tabel 2-2.b. Karakteristik lensa cembung dan lensa cekung dalam pembentukan
bayangan.
Lensa Cembung Lensa Cekung
OBYEK BAYANGAN OBYEK BAYANGAN
Lokasi Jenis Lokasi Orientasi Ukuran Lokasi Jenis Lokasi Orientasi Ukuran
 >so>2f Nyata f<si<2f Terbalik Perkecil Sebarang Maya s  f Tegak Perkecil
i
so = 2f Nyata si = 2f Terbalik sama
f >so>2f Nyata  >si>2f Terbalik Perbesar s o  si
so = f 
so < f Maya s  s Tegak Perbesar
i o

Gambar 2-24. Ringkasan formasi bayangan oleh cermin sferis dan lensa tipis. Lokasi, sifat,
perbesaran, dan orientasi bayangan ditunjukkan. (a) Cermin sferis. (b) Lensa tipis.

Contoh 2-3
Dapatkan dan deskripsikan bayangan perantara dan bayangan akhir yang dihasilkan oleh sebuah
sistem dua lensa seperti yang digambarkan dalam Gambar 2-23a. Misal f1 = 15 cm, f2 = 15 cm,
dan jarak pisahnya 60 cm. Misal obyek berada 25 cm dari lensa pertama, seperti ditunjukkan
gambar.
Penyelesaian
Lensa pertama adalah konvek: f1 = + 15 cm, s1 = 25 cm.
1 1 1
 '  atau s1'  1
s f

2515  37,5 cm
s1 s2 f s1  f 25  15

74
s1' 37,5
m1      1,5
s1 25

Karenanya bayangan pertama adalah nyata (karena s1' adalah positif), 37,5 cm di kanan lensa
pertama, terbalik (karena m adalah negative), dan 1,5 kali ukuran obyek.
Lensa kedua adalah konkaf: f2 = -15 cm. Karena sinar-sinar cahaya nyata menyebar dari
bayangan nyata pertama, ia berfungsi sebagai sebuah obyek nyata untuk lensa kedua, dengan s2 =
60 – 37,5 = +22,5 cm di kiri lensa. Maka

s2' 
s2 f

22,5 15    9 cm
s2  f 22,5   15

s 2' 9
m1     0,4
s2 22,5

Karenanya bayangan akhir adalah maya (karena s2' adalah negatif), 9 cm di kiri lensa kedua,
tegak terhadap obyeknya sendiri (karena m adalah positif), dan 0,4 kali ukurannya. Perbesaran
total adalah m = m1m2 = (1,5)(0,4) = 0,6. Karenanya bayangan akhir terbalik relative terhadap
obyek asli dan 6/10 ukuran lateralnya. Semua karakteristik ini ditunjukkan secara kualitatif
dalam diagram sinar Gambar 2-23a.

2-11. Vergence dan Daya Bias


Cara lain menafsirkan persamaan lensa tipis adalah berguna dalam beberapa aplikasi, termasuk
optometri. Penafsiran tersebut didasarkan pada dua pertimbangan. Di dalam persamaan lensa
tipis
1 1 1
  (2-31)
s s' f
perhatikan bahwa (1) jumlahan kebalikan dari jarak di ruas kiri menghasilkan kebalikan panjang
focus, dan (2) kebalikan dari jarak benda dan bayangan mendeskripsikan kelengkungan muka
gelombang yang datang pada lemsa dan terpusat di posisi obyek dan bayangan O dan I. Sebuah
muka gelombang bidang, sebagai contoh, mempunyai kelengkungan nol. Dalam Gambar 2-25
gelombang sferis mengembang dari titik obyek O dan mencapai suatu kelengkungan, atau
vergence, V, yang dinyatakan oleh 1/s, ketika mereka melewatu lensa tipis. Di lain pihak, ketika
dibiaskan oleh lensa, muka gelombang mengkerut, Gambar 2-25a, dan mengembang dalam
Gambar 2-25b, untuk menempatkan titik bayangan nyata dan maya yang ditunjukkan gambar.
75
Kelengkungan, atau vergence, V’, muka gelombang ketika mereka memancar dari lensa adalah
1/s’. Perubahan kelengkungan dari ruang obyek ke ruang bayangan disebabkan oleh daya
pembias P lensa, yang dinyatakan oleh 1/f. Dengan definisi ini, persamaan (2-31) bisa ditulis
V + V’ = P (2-32)
Satuan dari besaran dalam persamaan (2-32) adalah kebalikan panjang. Ketika panjang
dinyatakan dalam meter, maka kebalikannya mempunyai satuan dipotri (D). Karenanya
Daya pembias sebuah lensa dengan panjang focus 20 cm adalah 5 dipotri. Titik pandang
alternative ini menekankan derajat kelengkungan gelombang atau konvergensi sinar dari pada
jarak obyek dan bayangan. Maka, derajat konvergensi V sinar-sinar obyek dan daya pembias
lensa, persamaan (2-32) dapat juga digunakan pada kasus pembiasan di sebuah permukaan
tunggal, persamaan (2-30), dalam mana kasus indek bias di dalam ruang benda dan bayangan
tidak harus 1. Dalam peristiwa ini, daya permukaan pembias adalah (n1 – n2)/R.

Gambar 2-25. Perubahan kelengkungan muka gelombang pada pembiasan oleh sebuah lensa
tipis. (a) Lensa cembung. (b) Lensa cekung.

76
Pendekatan ini berguna untuk alas an lain. Ketika lensa tipis ditempatkan bersama-sama,
panjang focus f dari kombinasi, diperlakukan sebagai sebuah lensa tipis tunggal, dapat
dinyatakan dalam panjang focus f1, f2, … dari lensa-lensa individual. Sebagai contoh, dengan dua
lensa seperti itu saling membelakangi, kita menuliskan persamaan lensa
1 1 1 1 1 1
 '  dan  ' 
s1 s1 f1 s2 s2 f2
Kerena jarak bayangan untuk lensa pertama memainkan peran pada jarak benda pada lensa
kedua, kita bisa menuliskan: s2  s1' , dan menjumlahkan kedua persamaan,
1 1 1 1 1
 '   
s1 s1 f1 f 2 f
Kebalikan dari panjang focus individual, oleh karena itu, penjumlahan menghasilkan kebalikan
panjang focus total dari sistem. Secara umum, untuk beberapa lensa tip[is berlaku,
1 1 1 1
    ... (2-33)
f f1 f 2 f3
Dinyatakan dalam dipotri, daya pembias secara ringkas dijumlahkan.
P  P1  P2  P3  ... (2-34)
Dalam kasus mata penglihtan dekat, daya pembias (konvergensi) lensa terlalu besar,
sehingga sebuah bayangan nyata dibentuk di depan retina. Dengan mereduksi konvergensi
dengan sejumlah lensa divergen ditempatkan di depan mata sehingga sebuah obyek secara jelas
difokuskan, seorang optometris dapat menentukan spesifikasi dioptri total dari lensa koreksi
tunggal yang diperlukan dengan menjumlahkan dioptri dari lensa-lensa uji ini. Dalam mata
penglihatan jauh, daya konvergensi natural mata tidak cukup kuat, dan daya konvergensi
tambahan harus ditambahkan berupa kacamata dengan lensa konvergen.

2-12. Persamaan Newton Untuk Lensa Tipis.


Ketika jarak obyek dan bayangan diukur relative terhadap titik focus sebuah lensa, sebagai x dan
x’ dalam Gambar 2-26, suatu bentuk alternative persamaan lensa tipis dihasilkan yang disebut
bentuk Newtonian. Dalam gambar tersebut, kedua sinar yang ditunjukkan menentukan dua
segitiga siku-siku, yang dihubungkan oleh titik fokal, pada masing-masing sisi lensa.

77
Karenamasing-masing pasangan merupakan setiga yang sama, kita bisa menyusun proporsi
antara sisi-sisi yang menyatakan perbesaran lateral:
hi f hi x'
 dan 
ho x ho f
Dengan mengintroduksi tanda negative untuk perbesaran, disebabkan bayangan terbalik,
f x'
m  (2-35)
x f
Kedua bagian persamaan (2-35) juga merupakan bentuk Newtonian persamaan lensa tipis,
xx'  f 2 (2-36)
Persamaan ini agak lebih sederhana dari pada (2-29) dan ditemukan lebih sesuai dalam aplikasi
tertentu.

Gambar 2-26. Konstruksi yang digunakan untuk menurunkan persamaan Newtonian untuk lensa
tipis.

2-13. Mata
Seperti telah kita ketahui, mata normal secara biologis berbentuk hampir sferoid, berdiameter 22
mm dari kornea ke retina (Gambar 2-27). Permukaan optik yang berperan memfokuskan cahaya
ada tiga: interface udara-kornea, interface lensa-cairan mata (aqueous), dan interface lensa-
lapisan seperti kaca (vitreous). Secara keseluruhan mata dapat direpresentasikan, secara
sederhana, sebagai sebuah lensa positif tipis dengan panjang focus sama dengan 17 mm dalam
keadaan relaks (penglihatan jauh) atau 14 mm dalam keadaan tegang (pandangan dekat). Dalam
upaya menyatakan daya optik mata lebih memadai, skema mata digambarkan (Gambar 2-27a
dan 2-27b). Skema mata tersebut menyajikan suatu representasi yang valid mengenai mata
secara biologis.

78
Gambar 2-27. (a) Tampang lintang vertical mata, secara biologis. (b) Skema mata yang
dikembangkan oleh H.V. Helmhlotz dimodifikasi oleh L. Laurence. (Handbook of Optiks, New
York: McGraw-Hill, 1978)

Tabel 2-2. Konstanta Skema Mata


Jarak dari Jejari
Elemen atau Indek Daya Pembias
Simbol vertex Kelengkungan
permukaan optik Bias (Dioptri)
kornea (mm) permukaan (mm)
Kornea S1 - +8a - +41,6
Lensa (Unit) L - - 1,45 +30,5
- Permukaan depan S2 +3,6 +10b - +12,3
- Permukaan belakang S3 +7,6 6 - +20,5
Mata (Unit) - - - - +66,6
- Bid fokus depan F 13,04 - - -
- Bid fokus belakang F’ +22,38 - - -
- Bid utama depan H +1,96 - - -
- Bid utama belakang H’ +2,38 - - -
- Bid nodal depan N +6,96 - - -
- Bid Nodal belakang N’ +7,38 - - -
Ruang anterior AC - - 1,333 -
Ruang Vitreous VC - - 1,333 -
Pupil entrance EnP +3,04 - - -
Pupil exit ExP +3,72 - - -
Sumber: Mathew Alpem, “The eyes dan Vision, Table 1, Section 12, in Handbook of
Optiks, Handbook of Optiks, New York: McGraw-Hill, 1978

Skema mata (menurut H.V. Helmhlotz dan L. Laurence) yang menyatakan sebuah mata secara
biologis dengan akurasi yang memadai ditunjukkan dalam gambar 2-27b. Lokasi relative dari
permukaan pembias ditunjukkan, sebagai titik-titik Cardinal dari mata secara keseluruhan.
Skema mata yang ditunjukkan berkaitan dengan keadaan relaks. Untuk mata yang tegang penuh
(akomadasi maksimum) permukaan depan lensa lebih tajam kelengkungannaya antara 10 mm
sampai 6 mm. Tabel 2-2 mendaftar permukaan-permukaan optik yang penting, jaraknya dari
vertek kornea pada sumbu optik, beberapa jejari kelengkungan, indek bias, dan daya pembias

79
permukaan optik terkait dengan lornea dan lensa. Perhatikan secara teliti bahwa nilai indek bias
bagian cairan mata, begitu juga jejari kelengkungan permukaan, mungkin tidak sesuai dengan
nilai untuk mata secara biologi. Ketika diambil sebagai sebuah kesatuan, namun demikian nilai-
nilai optic yang mendeskripsikan mata skematik secara memadai menampil kinerja optik
manusia, mata biologis.

2-14. Funsgi Mata


Untuk beroperasi sebagai sistem optik yang efektif, mata harus membentuk bayangan suatu
obyek eksternal di retina. Untuk mencapai operasi yang efisien, mata memanfaatkan fungsi-
fungsi khusus. Untuk melihat obyek-obyek secara dekat dan jauh, mata berakomodasi. Untuk
memproses sinyal cahaya yang bervariasi ketajamannya, mata beradaptasi. Untuk merasakan
orientasi spasial pemandangan tiga dimensi, mata menggunakan penglihatan stereoskopis
(stereoscopic vision). Untuk membentuk suatu bayangan secara tepat mendetail obyek eksternal,
mata mengandalkan ketajaman visualnya (visual acuity). Dalam bagian ini kita akan
mendiskusikan masing-masing fungsi visual ini lebih mendetail.
Akomodasi. Tergantung pada jarak benda atau pemandangan dari mata, lensa
berakomodasitegang atau relakssewajarnya untuk memfokuskan bayangan di retina. Untuk
suatu benda yang jauh, otot ciliary yang menempel pada lensa mengendur (relaks) dan lensa
mengambil konfigurasi lebih datar, meningkatkan jejari kelengkungannya maka panjang
fokusnya bertambah. Ketika obyek bergerak mendekat ke mata, otot ciliary menegang atau
berkontraksi, menekan atau membengkakkan lensa dan mengakibatkan penurunan jejari
kelengkungan dan memperpendek pajang fokus. Semakin kecil jejari kelengkungan dan panjang
fokus, semakin tinggi daya bias daya membelokkan lensa, tepatnya syarat yang diperlukan untuk
membawa obyek mendekat ke fokus. Dalam mata normaldan sebelum proses penuaan mata
normal merusak elastisitas dan kemampuan mengembalikan bentuk lensaakomodasi
menghasilkan bayangan tepat di retina dari obyek di titik yang jauh (tak terhingga) ke titik dekat.
Titik dekat (titik terdekat dari akomodasi) mundur posisinya dari mata dengan bertambahnya
usia, mulai di posisi 7 ke 10 cm dari mata untuk usia belasan, meningkat ke 20 hingga 40 cm
untuk orang dewasa, dan mengembang sampai 200 cm untuk orang lebih tua lagi. Untuk orang
rerata, presbiopi (kehilangan kemampuan akomodasi) terjadi mulai usia 40 tahunan, yang

80
mengindikasikan perlunya kacamata baca untuk mengembalikan titik dekat pada posisi dekat 25
cm.
Adaptasi. Kemampuan mata merespon sinyal cahaya yang terentang dari cahaya sangat
redup sampai sangat terang, rentang intensitas cahaya yang dibedakan oleh faktor yang sangat
besar 105, dirujuk sebagai adaptasi. Jumlah cahaya (fluks atau jumlah foton) yang memasuki
mata pertama diatur oleh iris, dengan pembukaan atau celah (aperture) yang dapat diatur, pupil.
Pengaturan diameter pupil (dari 8 mm turun ke 2 mm) tidak dapat dengan sendirinya mengatur
rentang intensitas sangat besar yang diproses oleh mata. Adaptivitas yang luar biasa dari mata
dirunut ke fotoreseptor di dalam retina, rod dan cone, dan ke sensitivitasnya terhadap cahaya.
Unsur kunci adalah pigmen, yang disebut pigmen visual, yang mengandung rod dan cone. Rod,
yang dirangsang oleh sinyal cahaya level rendah (scotopic vision), mengandung pigmen hanya
satu jenis, disebut purple visual. Cone, sensitive terhadap sinyal cahaya intensitas tinggi dan
komposisi warna bervariasi (photopic vision), masing-masing mengandung satu dari tiga jenis
berbeda pigmen visual. Rod tipis yang banyak dihubungkan secara bercabang ke serat-serat
syaraf, yang memungkinkan untuk satu dari ratusan rod atau lebih untuk mengaktivasi sebuah
serat syaraf single. Sebaliknya cone lebih lebar yang tidak banyak dalam daerah macular, secara
individual dihubungkan ke serat-serat syaraf, dan karenanya diaktivasi secara individual.
Aktivasi serat-serat syarafpaling inti dari proses melihattergantung pada perubahan kimia
yang terjadi di dalam pigmen visual yang terkandung di dalam rod dan cone. Ketika cahaya jatuh
pada salah satu jenis fotoreseptor, pigmen visual berubah dari keadaan gelap ke keadaan lebih
terang, mengalami suatu proses bleaching (menjadi putih). Perubahan keadaan pigmen visual di
dalam rod atau cone ditransformasi ke dalam suatu output listrik atau impuls serat syarat. Impuls
listrik ini ditransmisikan ke syaraf optik dan ke otak, dengan merekam sebagai intensitas cahaya
sinyal perangsang. Ketika purple visual menjadi lebih putih (bleached out) secara keseluruhandi
dalam rod, sel-sel fotoreseptor menjadi tak sensitif terhadap sinyal cahaya; suatu regenerasi
pigmen di dalam rod harus terjadi sebelum mereka dapat merespon kembali. Nampaknya jenis
tunggal pigem visual di dalam rod jauh lebih sensitive terhadap cahaya dari pada yang manapun
dari tiga pigment di dalam cone. Maka, rod menjadi putih (bleach out) secara keseluruhan pada
tingkat cahaya jauh lebih rendah dari pada cone. Suatu perubahan dari cahaya level rendah
(scotopic vision) ke cahaya level tinggi (photopic vision) dalam proses adaptasi terdiri dari
pemutihan (bleaching out) pigmen rod dan mengakibatkan ketaksesitifan reseptor rod. Cahaya

81
terang maka diproses secara efisien oleh cone kurang sensitive (less-sensitive cone). Sebaliknya,
adaptasi dari cahaya sangat terang (dilakukan oleh cone) ke cahaya sangat redup melibatkan
regenerasi pigmen di dalam rod dan pemulihan penglihatan malam (night vision). Dalam proses
adaptasi penuh, respon scotopic adalah aktif pada level-level cahaya yang terentang dari cahaya
bintang pada saat terang, malam tanpa bulan untuk cahaya bulan dari seperempat bulan (a
quarter moon). Respons photopic (rod menjadi putih/bleache out sempurna dan tidak aktif)
beroperasi antara level-level cahaya yang terentang secara kasar dari sinar matahari redup ke
terang. Antara tingkat-tingkat cahaya seperempat bulan dan temaram, rod dan cone keduanya
menerima cahaya dan mentransmisi implus syaraf.
Penglihatan Stereoskopik (Stereoscopic Vision). Kemampuan untuk menilai
kedalaman dan posisi obyek secara akurat dalam suatu medan tiga dimensi disebut penglihatan
stereoskopik. Di dalam manusia, syaraf optik dari kedua mata menjadi satu di optic chiasma,
dekat otak. Dari optic chiasma, serat-serat syarat yang berasal disebelah kanan dari masing-
masing mata yang memanjang ke bagian kanan otak. Serat-serat syaraf yang berasal dari sebelah
kiri masing-masing mata berakhir di sebelah kiri otak. Karenanya, meskipun masing-masing
separuh otak menerima suatu bayangan dari kedua mata, otak membentuk sebuah bayangan
tunggal. Penyatuan oleh otak dua bayangan berbeda ke dalam sebuah bayangan tunggal dirujuk
sebagai penglihatan binocular (binocular vision). Namun demikian, perbedaan tipis antara kedua
bayangan dari mata kiri dan kanan memberi dasar untuk penglihatan stereoskopik manusia.
Harus dicatat bahwa penglihatan monocular lengkap bukan tanpa persepsi mendalam. Ini
disebabkan petunjuk-petunjuk visual seperti paralaks, bayangan, dan perpektif khusus obyek-
obyek yang dikenal.
Untuk mempunyai penglihatan binokular yang tepat tanpa penglihatan ganda (double
vision), bayangan-bayangan sebuah obyek harus jatuh di titik-titik yang terkait di retina mata.
Sudah tentu, ini adalah yang terjadi ketika bola mata bergerak sewajarnya untuk memfokuskan
sebuah obyek atau pemandangan, yang menyebabkan bayangan jatuh pada fovea centralis
masing-masing mata. Kebanyakan orang adalah mata kanan atau mata kiri, yang menunjukkan
suatu dominansi salah satu mata terhadap yang lain. Untuk menentukan yang mana mata yang
dominan, coba tes sederhana berikut. Pegang sebuah pensil di depan anda setinggi mata. Dengan
kedua mata terbuka luruskan pensil dengan tepi vertikal sebuah gambar, pintu, atau jendela di
dalm ruang. Pegang pensil diam, tutup salah satu mata sesaat. Yangmanapun mata terbuka,

82
ketika pensil tetap segaris dengan obyek acuan adalah mata dominanmu. Otak mencatat pesan
yang dilihat oleh mata dominan.
Akuitas Visual (Visual Acuity). Kemampuan melihat secara jelas dan untuk merasa
perbedaan orientasi spasial obyek terkait dengan akuitas visual. Kemampuan ini tergantung
secara langsung pada daya pisah mata atau sudut pisah minimumnya dua obyek yang berdekatan
atau titik-titik. Ringkasnya, akuitas visual didefinisikan sebagai kebalikan sudut pisah minimum.
Secara operasional, pengukuran daya pisah atau akuitas visual mata diukur dengan cara
berbeda. Dua titik diskriminasi dirujuk sebagai pemisahan minimum (minimum separable); sudut
pemisahan terkecil ditunjukkan oleh batang hitam pada sebuah layar putih disebut penglihatan
minimum (minimum visible), dan sudut paling kecil yang ditunjukkan oleh huruf tebal yang
dapat dibaca (pada sebuah charta mata) disebut keterbacaan minimum (minimum legible).
Karena sebagaian besar dari kita, pada suatu saat, mengharuskan membaca charta mata dalam
suatu tes penglihatan, kita membatasi diskusi kita mengenai akuitas visual pada daya pisah yang
terkait dengam keterbacaan minimum.
Charta mata dikembangkan oleh ahli mata Belanda Herman Snellen. Menurut Snellen,
huruf-huruf pada charta mata dikonstruksi sehingga ukuran utuh sebuah huruf, dari atas ke
bawah, atau sisi ke sisi, menunjukkan suatu sudut 5’ kelengkungan pada jarak uji. Garis-garis
detail di dalam suatu huruf, seperti batang vertikal dalam huruf T atau batang vertikal dalam
huruf H, semua dikonstruksi sehingga lebar dari masing-masing batang menunjukan sebuah
sudut 1’ kelengkungan di jarak uji. Kedua pilihan sudut menghasilkan data terbaik yang
memadai mengenai pemisahan minimum mata. Untuk Snellen, mata normal hanya dapat
memisahkan sebuah huruf pada 5’ kelengkungan di 20 ft, dengan 1’ kelengkungan yang
terkandung dalam detail huruf. Lihat Gambar 2-28. Dalam kasus ini mata dianggap normal, dan
akuitas visualnya dirujuk sebagai penglihatan 20/20.
Untuk mendeteksi cacat akuitas visual, huruf-huruf Snellen berbeda ukuran juga
dimasukkan pada charta mata. Sebagai contoh, sebuah huruf sangat besar sudutnya 5’ dan 1’
kelengkungan berlaku untuk suatu jarak uji, misalnya, 300 ft. Huruf lain dibuat berukuran sesuai,
sudutnya 5’ dan 1’ untuk jarak lain yang dipilih, seperti 200 ft, 100 ft, 80 ft, dan seterusnya, ke
bawah ke 15 bahkan 10 ft. Kemudian, ketika huruf-huruf dibaca oleh seorang yang diuji pad
suatu jarak 20 ft, akuitas visual diukur dalam fraksi Snellen. Pembilang dari fraksi Snellen
menyatakan jarak uji yang ditetapkan, dan penyebut menyatakan jarak dimana huruf terkecil

83
yang bisa dibaca dengan sudut 5’ kelengkungan. Sebagai contoh, jika huruf E besar yang
mempunyai sudut 5’ di jarak 300 ft tepat dapat dibaca oleh orang yang diuji yang duduk 20 ft
dari huruf, akuitas visual adalah 20/300. Fraksi Snellen 20/300 berarti bahwa orang yang diuji
penglihatannya kurang baik, pembacaan pada jarak 20 feet apa yang mata normal membaca
dengan baik pada jarak 300 ft. Sedangkan penglihtan normal 20/20, pembacaan akuitas visual
sebesar 20/15 adalah tidak umum.

Gambar 2-28. Konstruksi huruf H kartu mata Snellen untuk mengukur akuitas visual. Bagian
atas gambar menunjukkan bagian dari kartu mata (eye-chart) yang mengandung huruf H dan
lainya.

2-15 Kesalahan Pembiasan dan Koreksinya


Kesalahan pembiasan mata menyebabkan tiga cacat penglihtan: penglihatan dekat (miopi),
penglihatan jauh (hipermiopi), dan astimagtism. Dua pertama yang dapat dilacak penyebab bola
mata berbentuk tak normal, sumbunya terlalu panjang atau terlalu pendek. Setiap penyimpangan
dari panjang normal mengurangi kemampuan elemen-elemen pembias berkombinasi, kornea dan
lensa, untuk membentuk sebuah bayangan yang jelas dari obyek pada posisi jauh dan dekat.
Cacat ketiga, astimagtisma, disebabkan oleh kelengkungan yang tidak sama atau asimetri
permukaan kornea, dengan cara demikian membuat pemfokusan serentak dari semua cahaya
yang datang pada mata tidak mungkin. Apakah kesalahan terjadi secara tunggal atau kombinasi,
mereka umumnya dapat dikoreksi dengan alat optik eksternal yang sesuai (kacamata)

84
Sebagai titik acuan diskusi cacat penglihatan terhadap mata normal, rujuk mata normal
yang dijelaskan dalam Gambar 2-29 di sebelah kiri. Dengan akomodasi, mata normal
membentuk suatu bayangan yang jelas dari obyek yang berada antara titik jauhnya (F.P) di tak
terhingga dan titik dekatnya (N.P), normalnya sejauh 25 cm untuk orang muda. Ketika mata
normal difokuskan ke tak terhingga (obyek jauh), cahaya sejajar masuk mata relaks dan
membentuk suatu bayangan yang jelas dari obyek (Gambar 2-29a). Ketika difokuskan di titik
dekat, cahaya yang menyebar masuk mata yang tegang (alomodasi maksimum) dan sekali lagi
cahaya dibawa ke focus yang tajam pad retina (Gambar 2-29b).
Miopi. Ketika dibandingkan dengan mata normal, sebuah mata miopi atu mata
berpenglihatan dekat umum ditemukan lebih panjang jarak sumbunyadari korneaq ke retina
dari pada rentang yang biasa diterima 22 mm. Sebagai akibatnya, dan sebagai ilustrasi skematik
dalam Gambar 2-29c, mata miopi membentuk sebuah bayangan tajam dari benda-benda jauh di
depan retina, dan, sudah tentu, merupakan sebuah bayangan baur di retina. Bayangan di retina
yang jelas tidak terbentuk dengan mata miopi tak berakomodasi hingga obyek digeser dari tak
terhingga dan mencapai titik jauh mata miopi, titik paling jauh untuk penglihatan jelas (2-29d).
Dari titik jauh menuju ke dalam, dengan akomodasi yang sesuai, mata miopi melihat sangat
jelas, bahkan di titik yang lebih dekat dari pada titik dekat normal (Gambar 2-29e). Karena
perbesaran angular meningkat di dekat mata, mata miopi menikmati penglihatan lebih jelas
darim obyek yang diletakkan dekat mata. (Ini mungkin merupakan suatu keuntungan bagi
pembuat jam menjadi miopi, oleh karena itu, setidaknya selama bekerja berjam-jam) Secara
singkat maka, orang berpenglihatan dekat mempunyai medan penglihatan memendek, titik jauh
lebih dekat dan titik dekat lebih dekat. Titik dekat lebih dekat merupakan suatu keuntungan,
sedangkan titik jauh lebih dekat merupakan suatu kerugian dan memerlukan koreksi.
Penglihatan miopi secara biasanya dikoreksi dengan kacamata berdaya dioptik negative
(lensa divergen) yang secara efektif memindahkan titik jauh miopi dan titik dekat ke luar dari
posisi normal. Gambar 2-29f menunjukkan penglihatan yang dikoreksi untuk obyek jauh.
Perhatikan bahwa cahaya dari obyek jauh terlihat berasal dari titik jauh miopi. Hal yang sama,
Gambar 2-29g mengilustrasikan situasi untuk penglihatan dekat yang dikoreksi pada keadaan
akomodasi sebagian. Cahaya dari sebuah obyek di titik dekat normal sekarang terlihat berasal
dari suatu titik agak lebih dekat dari titik dekat sebenarnya dari mata miopi.

85
Gambar 2-29. Perbandingan penglihatan normal dan miopi, dengan koreksi optic. Perhatikan
bahwa pembiasan lensa mata tidak diperlihatkan.

Untuk meningkatkan pemahaman mengenai derajat daya lensa negative yang diperlukan untuk
mengoreksi penglihatan miopi, tinjau contoh berikut.

Contoh 2-4
Seorang penderita miopi (tanpa astimagtisma) mempunyai titik jauh 100 cm dan titik dekat 15
cm. (a) Koreksi apa yang harus disarankan ahli mata untuk menggeser titik jauh miopi ke tak

86
terhingga? (b) dengan koreksi ini, dapatkah penderita miopi juga membaca sebuah buku yang
diletakkan di titik dekat normal, 25 cm, dari mata?
Penyelesaian
(a) Merujuk pada Gambar 2-29f dan menggunakan persamaan lensa tipis, dengan s =  dan s’=
100 cm, maka diperoleh
1 1 1 1 1 1
  atau  
s s' f   100 f
Ini menghasilkan f = 100 cm. Maka, lensa kacamata koreksi seharusnya mempunyai panjang
fokus 100 cm. Ahli mata akan merekomendasikan kacamata dengan koreksi 1,00 dioptri
(1,00 D).
(b) Dengan mengacu Gambar 2-29g dan sekali lagi dengan menggunakan persamaan lensa tipis
dengan f = 100 cm dan s = 25 cm, bayangan maya diperoleh dari
1 1 1 1 1 1
  atau  
s s' f 25 s'  100
Maka diperoleh s’ = 20 cm. Karenanya bayangan maya dari buku yang berada di s = 25 cm
dibentuk oleh kacamata pada jarak 20 cm di depan mata. Karena penderita miopi melihat dengan
jelas obyek dibawa mendekat sampai 15 cm dari mata, bayangan maya dari buku yang dibentuk
oleh lensa di 20 cm dilihat tanpa kesulitan. Faktanya, dengan menggunakan (1/s) + (1/s’) = 1/f,
dengan s’ = 15 cm (titik dekat miopi untuk orang ini) dan f = 100 cm, dengan mencari s’ kita
dapat mendapatkan bahwa obyek dapat di bawa mendekat 17,6 cm dari mata dan masih terlihat
dengan jelas.
Hiperopik. Mata penglihatan jauh atau hiperopik umumnya lebih pendek dari pada mata
normal. Mata miopi yang lebih panjang dari pada normal mempunyai konvergensi telalu besar
dalam sistem optiknya dan memerlukan sebuah lensa divergen untuk mengoreksi pembiasan
yang lebih, sedangkan mata hiperopik yang lebih pendek dari normal mempunyai konvergensi
terlalu kecil dan memerlukan sebuah lensa konvergen untuk meningkatkan pembiasan. Ilustrasi
dalam Gambar 2-30, analog dengan Gambar 2-29, menunjukkan cacat dan koreksi yang
berkaitan dengan mata berpenglihatan jauh. Dalam Gambar 2-30a, cahaya dari sebuah obyek
jauh memasuki mata tak berakomodasi dan difokuskan di belakang retina, yang menyebabkan
penglihatan kabur. Titik fokus di belakang retina dipandang sebagai titik jauh hiperopik. Gambar
2-30b menunjukkan bahwa mata hiperopik berakomodasi untuk melihat obyek jauh secara jelas.

87
Dalam Gambar 2-30c, untuk penglihatan jelas, titik dekat hiperopik adalah lebih jauh dari pada
titik dekat normal. Akibatnya, obyek yang diletakkan lebih dekat dari pada titik dekat hiperopik
akan di luar focus, bahkan dengan akomodasi maksimum. Kedua pengukuran koreksi dua titik
ujung, dengan lensa kacamata positif yang sesuai ditunjukkan dalam Gambar 2-30d dan e. Mata
yang dikoreksi sekarang melihat obyek secara jelas, dengan akomodasi maksimum.
Untuk memahami bagaimana ahli mata menghitung daya kacamata yang diperlukan
untuk mengoreksi penglihatan hiperopik. Tinjau contoh berikut.

Gambar 2-30 Penglihatan normal dan hiperopik dengan koreksi.

88
Contoh 2-5
Seorang berpenglihtan jauh didiagnosa mempunyai titik dekat 150 cm. Berapakah daya koreksi
yang diperlukan untuk kacamata agar memungkinkan orang ini melihat obyek di titik dekat
normal, 25 cm dari mata?
Penyelesaian
Merujuk Gambar 2-30e dan dengan menggunakan persamaan lensa tipis, dengan s = 25 cm dan
s’ = 150 cm, kita dapat menyelesaikan untuk panjang fokus lensa yang diperlukan sebagai
berikut:
1 1 1 1 1 1
  atau  
s s' f 25  150 f
Perhitungan menghasilkan f = + 30 cm. Karena daya dalam dioptri dinyatakan oleh 1/f (meter),
kita menentukan suatu daya 3,3 D. Dengan lensa mata dibentuk untuk daya +3,3 dioptri, orang
hiperopik sekarang dapat melihat dengan jelas obyek yang dibawa sedekat 25 cm dari mata.
Astigmatisme. Mata astimagtisme menderita karena kelengkungan yang tidak sama dari
permukaan elemen pembias, kornea. Secara umum, jejari kelengkungan permukaan kornea yang
dinyatakan dalam dua bidang meridional (yaitu yang mengandung sumbu optik) adalah tidak
sama. Asimetri seperti ini menyebabkan daya pembias berbeda dan, konsekuensinya,
memfokuskan cahaya pada jarak berbeda dari kornea, menyebabkan penglihatan kabur. Jika
kedua bidang adalah ortogonal satu sama lain, satu horizontal dan lainnya vertical, cacat dirujuk
sebagai astigmatisma reguler, sebuah keadaan yang dapat dikoreksi dengan kacamata yang
sesuai. Astigmatisma reguler dihilangkan dengan permukaan silindris yang dilapiskan pada
permukaan belakang lensa kacamata yang diperlukan.

Asumsikan bahwa daya pembias dalam meridian vertikal kornea lebih besar 1 dioptri dari
pada daya meridian horisontal. Keadaan ini berarti bahwa permukaan kornea secara tajam lebih
lengkung dalam meridian vertikal dan bahwa detail terorientasi vertikal suatu obyek dibawake
89
fokus yang lebih dekat kornea dari pada detail terorientasi horisontal. Tinjau sebuah permukaan
silindris dengan daya negatif 1 dioptri dalam meridian vertikal. Karena sebuah silinder tidak
mempunyai kelengkungan sepanjang sumbunya, permukaan ini tidak mempunyai daya dalam
arah meridian silinder. Jika permukaan ini diperhitungkan dalam desain kacamata, ia akan
menghapus secara tepat distorsi yang diintroduksikan oleh kornea dan menyeimbangkan daya
dalam kedua meridian. Sebagai akibatnya, detail vertikal dan horizontal dalam obyek
pemandangan yang dibentuk di jarak yang sama dari kornea, dan astimagtisma yang buram tidak
terjadi.
Untuk kebanyakan kita, pemandangan buram adalah disebabkan astigmastisma yang
bercampur dengan miopi dan hiperopi. Jika astigmatisma miopi terjadi, penglihatan gagal dalam
kedua aspek. Miopi sendiri menyebabkan suatu buram yang menyeluruh dari obyek jauh ;
astigmatisme melipatkan gandakan masalah dengan menambah keburaman dalam salah satu
meridian dari pada yang lain. Dengan mengoreksi untuk kedua cacat diatasi dengan lensa sferis
silindris, permukaan sferis untuk mengkoreksi untuk miopi dan permukaan silindris untuk
mengkoreksi astigmatisma.
Ketika dokter mata merekomendasikan kacamata korektif untuk keadaan miopi atau
astigmastisma, mereka secara umum mengidentifikasi tiga bilangan. Untuk astigmastisma miopi,
tiga bilangan, yang ditulis dalam resep adalah
Rx: 2,00 1,00  180
Untuk astigmatisma hiperopia, resep adalah
Rx: +2,00 1,00  180
Angka pertama merujuk pada daya sferis, daya yang diperlukan dalam dioptri dari permukaan
sferis pada lensa kacamata yang mengkoreksi untuk miopi atau hiperopia. Bilangan kedua
merujuk pada daya silindris, daya yang diperlukan dari permukaan silindris yang dilapiskan pada
permukaan belakang lensa kacamata untuk mengkoreksi astigmatisma. Angka ketiga merujuk
pada orientasi sumbu silinder, yang menjelaskan apakah sumbu silinder adalah vertical,
horizontal atau di antara keduannya. Dalam notasi ahli mata, sumbu horisontal dirujuk sebagai
sumbu 180o, atau secara ringkas  180, dan sumbu vertical  90.
Gambar 2-31 menunjukkan kondisi optik yang berkaitan dengan resep koreksi yang
dirujuk untuk astigmatisma miopi dan hiperopia. Untuk kasus astigmatisma miopi, Gambar 2-
31a, permukaan kornea jelas kelengkungan lebih kecil dalam meridiam horizontal (daya = 45,00

90
D) dari pada dalam vertical (daya = 46,00 D). Koreksi miopi, selalu diukur dalam meridian dari
daya pembias terkecil, didapatkan dalam contoh ini 2,00 D, sepanjang meridian horizontal.
Koreksi astigmatisma, dengan horisontal sumbu silinder ( 180), ditentukan sebesar 1,00 D

Gambar 2-31. Kondisi dari astigmatisma miopi dan hiperopik dengan resep kacamata korektif.
(a) Pembiasan dalam meredian 180o menghasilkan 2,00 D miopi. Resep kacamata adalah
Rx: 2,00 1,00 180. (b) Pembiasan dalam meridian 180o menghasilkan +2,00 D
hiperopia. Resep kacamata adalah Rx: +2,00 1,00 180.

Dengan permukaan silinder yang sesuai ditempel pada bagian belakang lensa kacamata, koreksi
1,00 D mereduksi daya dalam meridian vertical dari 46,00 D ke 45,00 D, dengan cara demikian
menyamakan daya pembias dalam kedua meridian dan dengan meniadakan astigmatisma kornea.

Gambar 2-31b menunjukkan suatu syarat kondisi dan resep untuk astigmatisma
hiperopik. Perhatikan bahwa sebuah koreksi daya sferis +2,00 D diperlukan untuk mengoreksi
hiperopia, dan koreksi daya silindris 1,50 D diperlukan sepanjang meridian vertical ( 180)
untuk menyamakan daya pembias dalam kedua meridian orthogonal.

91
SOAL-SOAL LATIHAN
1. Dua cermin datar membentuk sudut siku-siku. Seberkas laser mengenai salah satu cermin
(lihat gambar) di suatu titik 11,5 cm dari titik potong kedua cermin. Berapa sudut datang pada
cermin pertama dimana sinar ini menabrak titik tengah cermin kedua (yang mana 28,0 cm
panjang) setelah memantul dari cermin pertama?

Penyelesaian:
Identifikasi masalah: r = a.
Strategi: lintasan sinar yang diinginkan dilukiskan dalam gambar:
14,0 cm
Penyelesaian: tan   , maka  = 50,6o. r = 90o   = 39,4o dan r = a = 39,4o
11,5 cm
Analisis: Sudut datang diukur dari normal permukaan.

2. Tiga cermin datar membentuk sudut siku-siku. Seberkas cahaya laser menabrak cermin
pertama dengan sudut  terhadap normal (lihat gambar). (a) Tunjukkan bahwa sinar ini
dipantulkan dari dua cermin yang lain dan bersilangan dengan sinar pertama, sudut  = 180o 
2. (b) Untuk sudut  berapa kedua sinar akan tegal lurus ketika besilangan?

Penyelesaian

Identifikasi masalah: Untuk pemantulan: r = a.


Strategi: Sudut datang dan pantul pada masing-masing pemantulan ditunjukkan dalam gambar.
Untuk-untuk sinar yang tegak lurus ketika mereka bersilangan,  = 90o.
Penyelesaian:
(a)  +  = 90o dan  +  = 90o, maka  = , /2 +  = 90o dan  = 180o  2.
(b)  = ½ (180o  ) = ½ (180o 90o) = 45o

92
Analisis: ketika  0o,   180o. Ini berhubungan dengan sinar datang dan sinar pantul yang
merambat dalam arah hampir sama.  90o,   0o. Ini berhubungan dengan sinar datang dan
sinar pantul yang merambat dalam arah berlawanan.

3. Seberkas laser mempunyai panjang gelombang 650 nm dalam vakum. (a) Berapakah kelajuan
cahaya ini di dalam zat cair yang indeks biasnya pada panjang gelombanh ini adalah 1,47? (b)
Berapakah panjang gelombang dari gelombang ini di dalam zat cair ?

Penyelesaian:
c c 2,998  108 m/s
(a) n  maka v    2,04  108 m/s
v n 1,47
 650 nm
(b)   0   442 nm
n 1,47
Analisis: Cahaya lebih lambat di dalam zat cair dari pada di dalam vakum. Dengan v = f,
ketika v lebih kecil,  lebih lecil.

4. Seberkas cahaya bererak dengan kelajuan 1,94  108 m/s dalam kuarsa. Panjang gelombang
cahaya dalam kuarsa adalah 335 nm. (a) Berapakah indeks bias kuarsa pada panjang
gelombang ini? (b) Jika cahaya yang sama ini merambat menembus udara, berapakah panjang
gelombangnya?
Penyelesaian:
c 
Identifikasi masalah: n  ,   0 , dimana o = adalah panjang gelombang dalam vakum.
v n
8
Strategi: c  3  10 m/s , n untuk udara adalah sedikit lebih besar dari satu.
Penyelesaian:
c 3,00  108 m/s
(a) n    1,54
v 1,94  108 m/s
(b) o  n  1,54 3,55  10 7 m   5,47  10 7 m
Analisis: Di dalam kuarsa kelajuan lebih kecil dan panjang gelombang lebih pendek dari pada
di udara.

5. (a) Sebuah tangki yang berisi methanol mempunyai dinding setebal 2,50 cm terbuat dari gelas
berindek bias 1,550. Cahaya dari luar udara mengenai gelas pada sudut 41,3o terhadap normal
dari gelas. Dapatkan sudut yang dibuat cahaya dengan normal di dalam methanol. (b) Tangki
adalah dikosongkan dan diisi kembali dengan zat cair yang tidak diketahui. Jika cahaya
datang dengan sudut yang sama seperti dalam bagian (a) memasuki zat cair dalam tangki pada
sudut 20,2o dari normal, berapakah indek bias zat cair yang tidak dikethui ini.
Penyelesaian
Identifikasi masalah: Menerapkan hukum Snell di kedua interface.
Strategi: Lintasan sinar digambarkan dalam Gambar di bawah. n = 1,329 untuk methanol.
Penyelesaian:

93
(a) Interface udara-kaca (1,00) sin 41,3o = nkaca sin . Di interface kaca-metanol nkaca sin  =
(1,329) sin . Dengan mengkombinasi kedua persamaan ini menghasilkan sin 41,3o =
1,329 sin  dan  = 29,8o.
(b) Gambar yang sama berlaku seperti untuk bagian (a), kecuali  = 20,2o. (1,00) sin 41,3o =
n sin 20,2o dan n = 1,91.
Analisis: Sudut  adalah 25,2o. Indek bias methanol adalah lebih kecil dari kaca dan sinar
dibelokkan menjauhi normal di interface kaca-metanol. Zat cair yang tidak diketahui
mempunyai indek bias lebih besar dari pada indek bias gelas, maka sinar dibelokkan
mendekati normal di interface kaca-zat cair.

6. (a) Cahaya menembus tiga plat sejajar berbeda ketebalan dan indek bias. Cahaya datang pada
plat pertama dan akhirnya membias ke dalam plat ketiga. Tunjukkan bahwa plat yang di
tengah tidak mempunyai efek pada arah akhir cahaya. Yaitu tunjukkan bahwa arah cahaya di
dalam plat ketiga adalah sama seolah-olah cahaya lewat lansung dari plat pertama ke dalam
plat ketiga. (b) Generalisasi arah hasil ini pada tumbukan N plat. Apa yang menentukan arah
akhir cahaya di dalam plat terakhir ?
Penyelesaian :
Identifikasi masalah : Hukum Snell pada masing-masing pembiasan
Strategi: Misalkan cahaya mula-mula berada di dalam bahan dengan indek bias na dan
misalkan plat terakhir mempunyai indek bias nb. Dalam nagian (a) misalkan plat yang
ditengah mempunyai indek bias n1.
Penyelesaian:
(a) Interface pertama: na sin a n1 sin 1 , interface kedua n1 sin 1 nb sin  b . Dengan
mengkombinasi kedua persamaan menghasilkan na sin a nb sin  b . Ini adalah persamaan
yang akan berlaku jika plat di tengah tidak ada.
(b) Untuk N plat, na sin a n1 sin 1 , n1 sin 1 n2 sin  2 , …, n N 2 sin N 2 nb sin  b . Dengan
mengkombinasi semua persamaan ini menghasilkan na sin a nb sin  b .
Analisis:Arah akhir perambatan tergantung pada sudut datang pada plat pertama dan indek
bias plat pertama dan terakhir.

7. Buktikan bahwa sebuah sinar yang dipantulkan dari sebuah cermin datar berotasi sejauh 2
ketika cermin berotasi sejauh sudut  terhadap sumbu yang tegak lurus pada bidang datang.
Penyelesaian:

94
Identifikasi masalah: Hukum Pemantulan
Strategi: Cermin dalam posisi awalnya dan setelah dirotasi sejuah  ditunjukkan dalam
gambar di bawah,  adalah sudut dimana sinar pantul berotasi ketika cermin berotasi. Kedua
sudut yang dilabeli  adalah sama dan kedua sudut yang dilabeli ’ adalah sama dikarenakan
hukum pemantulan. Kedua sudut yang dilabeli  adalah sama karena garis-garis yang
membentuk satu sudut adalah tegak lurus terhadap garis yang membentuk sudut yang lain.
Penyelesaian: Dari diagram dibawah,   2 '2  2 '  dan    ' .   2 .
Analisis: Hasil ini tidak tergantung pada sudut datang awal.

8. Cahaya memasuki sebuah pipa pejal terbuat dari plastik yang mempunyai indek bias 1,60.
Cahaya bergerak sejajar terhadap bagian atas pipa (lihat ganbar). Anda ingin memotong
permukaan AB sehingga semua cahaya akan memantul balik ke dalam pipa setelah ia
mengenai pertama kali permukaan AB. (a) Berapakah sudut  terbesar yang mungkin jika
pipa di udara? (b) Jika pipa dicelupkan di dalam air berindek bias 1,33, berapakah sudut 
terbesar yang mungkin?
Penyelesaian:

Identifiaksi masalah: sudut kritis untuk pemantulan internal total adalah a yang
menghasilkan b = 90o dalam hukum Snell.
Strategi: dalam gambar di atas sudut datang a terkait dengan sudut  melalui  a    90o .
Penyelesaian:
(a) Hitunglah a yang menghasilkan b = 90o. na = 1,60, nb = 1,00 maka
1,00
na sin a nb sin  b menghasilkan 1,60 sin a  1,00 sin 90 o . sin  a  dan a = 38,7o.
1,60
o o
  90   a  51,3

95
1,333
(b) na = 1,60, nb = 1,333. 1,60 sin a  1,333 sin 90o sin  a  dan a = 56,4o.
1,60
  90o   a  33,6 o
Analisis: Sudut kritis meningkat ketika rasio na nb meningkat.

9. Sudut kritis untuk pemantulan internal total pada interface zat cair – udara adalah 42,5o. (a)
Jika sebuah sinar cahaya yang merambat di dalam zat cair mempunyai sudut datang di
interface 35,0o, berapakah sudut bias yang dibentuk sinar bias di udara dengan normal? (b)
Jika sebuah sinar cahaya yang merambat di udara mempunyai sudut datang di interface 35,0o,
berapakah sudut bias yang dibentuk sinar bias di dalam zat cair dengan normal?
Penyelesaian:
Identifikasi masalah: Gunakan sudut kritis untuk mendapatkan indek bias zat cair.
Strategi: Pemantulan internal total mensyaratkan bahwa cahaya datang pada bahan dengan n
lebih besar, dalam kasus ini zat cair ini. Terapkan na sin a nb sin  b dengan a = zat cair, b =
udara, maka na = nzc dan nb = 1,0.
Penyelesaian:
1 1
a = kritis ketika a = 90o, maka n zc sin kritis 1,00  sin 90o . n zc    1,48 .
sin  kritis sin 42,5o
n a sin  a 1,48sin 35,0 o
(a) na sin a nb sin  b ( a = zat cair, b = udara) sin  b    0,8489 dan
nb 1,0
b = 58,1o
n sin  a 1,00 sin 35,0o
(b) na sin a nb sin  b ( a = udara, b = zat cair) sin  b  a   0,3876 dan
nb 1,48
b = 22,8o
Analisis: Untuk cahaya yang merambat di dalam zat cair  udara cahaya dibelokkan menjauh
normal. Untuk cahaya yang merambat udara  zat cair cahaya dibelokkan mendekati normal.

10. Cahaya datang sepanjang normal pada permukaan AB sebuah prisma berindek bias 1,52,
seperti ditunjukkan gambar. Dapatkan nilai  terbesar sehingga tidak ada sinar yang dibiaskan
keluar permukaan AC jika (a) prisma berada di udara dan (b) prisma diceplupkan di dalam
air.

Penyelesaian:

96
Identifikasi masalah: Jika tidak ada cahaya membias keluar gelas pada interface gelas-udara,
maka sudut datang di interface adalah kritis.
Strategi: Sinar mempunyai sudut datang 0o pada permukaan pertama, maka memasuki gelas
tanpa membelok, seperti ditunjukkan dalam gambar. Gambar menunjukkan bahwa  +kritis =
90o.
Penyelesaian:
(a) untuk interface gelas-udara a = kritis, na = 1,52, nb = 1,333, na sin a nb sin  b menghasilkan

sin  kritis 
1,00  sin 90o .  = 41.1o.  = 90o   = 48,9o.
kritis kritis
1,52
(a) untuk interface gelas-air dan, nb = 1,333, na sin a nb sin  b menghasilkan

sin  kritis 
1,333 sin 90o .  = 61.3o.  = 90o  kritis = 28,7o.
kritis
1,52
Analisis: Sudut kritis meningkat ketika udara diganti oleh air dan sinar-sinar berbelok ketika
mereka membias keluar gelas.
11. Seberkas cahaya menabrak selembar gelas pada susut 57,0o terhadap normal di udara. Anda
mengamati bahwa cahaya merah membentuk sudut 38,1o dengan normal di dalam gelas,
sedangkan cahaya ungu membentuk sudut 36,7o. (a) Berapakah indek bias gelas ini untuk
warna-warna cahaya ini? Berapakah kelajuan cahaya merah dan ungu di dalam gelas?
c
Identifikasi masalah: Hukum Snell adalah na sin a nb sin  b ; v 
n
Strategi: a = udara, b = kaca
Penyelesaian:
n sin  a 1,00  sin 57,0o
(a) Merah: nb  a   1,36 ;
sin  b sin 38,1o
na sin  a 1,00  sin 57,0 o
Ungu: nb    1,40
sin  b sin 36,7 o
c 3,00  108 m/s
(b) Merah: v    2,21  108 m/s ;
n 1,36
c 3,00  108 m/s
Unguh: v    2,14  108 m/s
n 1,40

Analisis: n lebih besar untuk cahaya ungu dan oleh karena itu cahaya melengkung mendekati
normal, dan cahaya ungu mempunyai kelajuan lebih kecil di dalam gelas dari pada cahaya
merah.
12. Sebuah pensil yang panjangnya 16,0 cm diletakkan membentuk sudut 45,0o, dengan
pusatnya berada 15,0 cm di atas sumbu optik dan 45,0 cm dari sebuah lensa yang panjang
fokusnya seperti ditunjukkan dalam Gambar di bawah. (Catat bahwa gambar ini digambar
tanpa skala). Asumsikan bahwa diameter lensa adalah cukup besar sehingga pendekatan
paraksial valid. (a) Dimana bayangan pensil? (Tentukan lokasi bayangan dari titik A, B, dan

97
C pada obyek, yang berturut-turut berada di bagian penghapus, titik ujung, dan pusat pensil.)
(b) Berapakah panjang bayangan (yaitu, jarak antara bayangan titik A dan B)? (c) Tunjukkan
orientasi bayangan dalam sketsa.

Jawab:

1 1 1
Identifikasi masalah dan Stretegi: Gunakan   untuk menghitung s’ (jarak setiap titik
s s' f
dari lensa), untuk titik A, B, dan C. Obyek dan lensa ditunjukkan dalam
Gambar (a) di bawah.
Penyelesaian:
1 1 1 1 1 1
(a) Untuk titik C :       s '  36,0 cm
s s' f 45,0 cm s ' 20,0 cm
s' 36,0
y'   y   15,0 cm   12,0 cm , maka bayangan titik C adalah 36,0 cm di kanan
s 45,0
lensa, dan 12,0 cm di bawah sumbu.

Untuk titik A : s = 45,0 cm + 8,00 cm (cos 45o) = 50,7 cm.


1 1 1 1 1 1
      s '  33,0 cm
s s' f 50,7 cm s ' 20,0 cm
s' 33,0
y'   y  
s 45,0
  
15,0 cm - 8,00 cm sin 45 o  6,10 cm

maka bayangan titik A adalah 33,0 cm di kanan lensa, dan 6,10 cm di bawah sumbu.
Untuk titik B : s = 45,0 cm  8,00 cm (cos 45o) = 39,3 cm.
1 1 1 1 1 1
      s '  40,7 cm
s s' f 39,3 cm s ' 20,0 cm
s' 40,7
y'   y  
s 39,3
  
15,0 cm  8,00 cm sin 45 o  21,4 cm

maka bayangan titik B adalah 40,7 cm di kanan lensa, dan 21,4 cm di bawah sumbu.
Bayangan ditunjukkan dalam gambar (b) di bawah.

98
Analisis: Bayangan berada di bawah sumbu optik dan lebih besar dari pada obyek.

13. Dua cermin diletakkan bersamaan seperti ditunjukkan dalam gambar di bawah. (a)
Tunjukkan bahwa sebuah sumber titik di depan cermin-cermin ini dan kedua bayangannya
berada pada sebuah lingkaran. (b) Tentukan pusat lingkaran tersebut. (c) Di dalam diagram,
tunjukkan dimana pengamat seharusnya berada sehingga dapat melihat kedua bayangan?

Jawab:
Identifikasi maslah dan strategi: Untuk sebuah cermin datar: s’ = s.
Penyelesaian:
(a) Menggunakan sifat kesimetrian pembentukan bayangan, sebarang bayangan seharusnya
berjarak sama D seperti obyek terhadap titik perpotongan cermin. Tetapi bayangan dan obyek
berjarak sama dari perpotongan cermin, mereka berada pada suatu lingkaran berjejari sama
dengan D
(b)Pusat lingkaran berada di perpotongan kedua cermin.

(c) Diagram ditunjukkan dalam gambar di bawah ini.

99
Analisis: Untuk melihat bayangan tersebut, cahaya dari benda haruslah dapat dipantulkan dari
setiap cermin dan mencapai mata pengamat.

14. Sebuah lensa mematuhi hukum Snell, sinar cahaya yang melengkung di setiap permukaan
ditentukan oleh indeks bias lensa dan indeks medium dimana klensa berada. (a) Persamaan
n a nb nb  n a
  mengasumsikan bahwa lensa dikelilingi udara. Ditinjau sebuah lensa tipis
s s' R
dicelupkan di dalam suatu cairan dengan indeks bias nzc. Buktikan bahwa panjang fokus f’
n a nb nb  n a
adalah dinyatakan oleh persamaan   dengan mengganti n dengan n/nzc. (b)
s s' R
sebuah lensa tipis dengan indeks n mempunyai panjang fokus f di dalam vakum. Gunakan
hasil bagian (a) untuk menunjukkan bahwa ketika lensa ini dicelupkan di dalam suatu cairan
berindeks bias nzc ia akan mempunyai panjang fokus baru yang dinyatakan oleh
 n n  1 
f '   zc f
 n  n zc 
Penyelesaian
n a nb n b  n a n n n  nb
Identifikasi masalah : Terapkan dua persamaan  '  dan b  c'  c
s1 s1 R1 s2 s2 R2

Strategi: na = nzc = nc, nb = n, dan s1'   s 2 .


Penyelesaian:

n zc n n  n zc n n n n 1 1 1 1 1  n  1 1 
(a)  '  dan '  zc'  zc .  '       1  
s1 s1 R1 s1 s 2 R2 s1 s 2 s s ' f '  n zc  R1 R2 
(b) Dengan membandingkan untuk panjang fokus masuk dan keluar dari udara kita
 n  n zc   n n  1 
mempunyai: f n  1  f ' n n zc  1  f '    f '   zc f
 n zc   n  n zc 
Analisis: Jika nzc = 1, f’ = f.
15. Orang-orang dengan penglihatan normal tidak dapat memfokuskan matanya di dalam air
jika mereka tidak memakai kacamata air dan ada air bersentuhan dengan matanya. (a)
Mengapa begitu? (b) Dengan model mata yang disederhanakan yang dideskripsikan dalam
soal di atas, lensa korektisi yang bagaimana (dicirikan oleh panjang fokus yang diukur di
udara) yang diperlukan agar orang di dalam air dapat memfokuskan sebuah benda jauh tak
terhingga? (Hati-hatipanjang fokus sebuah lensa di dalam air tidak sama dengan di udara!

100
Asumsikan bahwa lensa koreksi mempunyai indeks bias 1,62 dan bahwa lensa digunakan
sebagai kaca mata, bukan kaca mata air, maka terdapat air pada kedua sisi lens. Asumsikan
bahwa kacamata adalah 2,00 cm di depan mata)

Jawab
n a nb nb  n a
Identifikasi masalah dan Strategi: Gunakan   pada pembiasan di kornea untuk
s s' R
mendapatkan dimana obyek untuk kornea seharusnya agar bayanga jatuh di retina.
1 1 1
Kemudian gunakan   untuk menghitung f sehingga lensa menghasilkan sebuah
s s' f
bayangan dari sebuah benda jauh di titik ini. Untuk pembiasan di kornea, na = 1,33 dan nb
= 1,40. Jarak dari kornea ke retina dalam model mata ini adalah 2,60 cm. Dari soal di atas,
R = 0,71 cm.
Penyelesaian:
(a) Orang ddengan penglihtan normal tidak dapat fokus pada benda-benda di dalam air karena
bayangan tidak dapat difokuskan dalam suatu jarak cukup pendek untuk membentuknya di
retina. Begitupula jejari kelengkungan mata normal berkisar lima atau enam kali terlalu besar
untuk pemfokusan di retina terjadi.
(b)Ketika kaca disisipkan, pertama ditinjau apa yang terjadi di mata:
na nb nb  na 1,33 1,40 0,07
 '      s 2  3,02 cm . Yaitu, benda untuk kornea
s2 s2 R s2 2,6 cm 0,71 cm
harus 3,02 cm di belakang kornea. Sekarang, asumsikan kacamata berada 2,00 cm di depan
mata, maka s1'  2,00 cm  s 2  5,02 cm.
1 1 1 1 1 1
  menghasilkan   ' dan f1'  5,02 cm . Ini adalah panjang fokus di
s s' f  5,02 cm f 1
dalam air, tetapi untuk mendapatkannya di udara, kita menggunakan rumus:
 n  n zc   1,52  1,333 
f1  f 1'    5,02 cm    1,35 cm
 nzc n  1  1,3331,52  1 
Analisis: Diperlukan sebuah lensa konvergen.

101

Anda mungkin juga menyukai