Anda di halaman 1dari 43

1

UNIVERSITAS INDONESIA

MODEL SPASIAL ESTIMASI KUALITAS UDARA BERDASARKAN


VOLUME KENDARAAN DI JALAN ARTERI KOTA BEKASI PROVINSI
JAWA BARAT

PROPOSAL SKRIPSI

DWI TAMARA
1806136971

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


PROGRAM STUDI GEOGRAFI
DEPOK
2021
i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI i

BAB I 1

PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Pernyataan Masalah & Pertanyaan Penelitian 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3
1.5. Definisi Operasional dan Lingkup Penelitian 3

BAB II 5

TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Pentingnya Udara Bersih 5
2.2. Zat-zat Polutan Udara 10
2.2.1. PM2,5 11
2.2.2. PM10 12
2.2.3. SO2 13
2.2.4. CO 14
2.2.5. O3 16
2.2.6. NO2 20
2.2.7. HC 22
2.3. Kota Bekasi 24
2.4. Metode Interpolasi: IDW 26

BAB III 31

METODOLOGI PENELITIAN 31
3.1. Alur Pikir 31
ii

3.2. Alur Kerja 32


3.3. Waktu dan Lokasi Penelitian 32
3.4. Pengumpulan Data 34
3.5. Pengolahan Data 35
3.5.1. Jalan Arteri 35
3.5.2. Volume Kendaraan 35
3.5.3. Konsentrasi Polutan 36
3.6. Analisis Data 37

DAFTAR PUSTAKA 38
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Udara merupakan salah satu komponen penting bagi kelangsungan makhluk
hidup, terutama manusia. Pasalnya, manusia dapat terus hidup tanpa makanan selama
lima minggu dan tanpa air selama 5 hari, namun tidak lebih dari beberapa menit tanpa
udara. Dalam sekali bernapas, tubuh manusia menghirup udara sekitar 500 ml, lalu
dalam satu menit manusia dapat bernapas sebanyak 20 kali. Oleh karena itu, apabila
kualitas udara yang dihirup buruk dan tidak sehat maka dapat dibayangkan potensi
kerugiannya bagi kesehatan tubuh manusia (Naddafi et al., 2006).
Kota Bekasi merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Hal tersebut ditandai
dengan penduduknya yang berjumlah 2,54 juta jiwa pada 2020 (Badan Pusat Statistik
Kota Bekasi, 2021). Selain itu, perannya sebagai kota besar di Indonesia juga dapat
dilihat dari jumlah komuter yang berkegiatan di Kota Bekasi. Menurut Badan Pusat
Statistik (2019), terdapat 166.197 komuter dari luar Kota Bekasi yang berkegiatan
utama di Kota Bekasi, dimana 62 persennya adalah komuter laki-laki dan 38 persennya
adalah perempuan. Sebagian besar komuter tersebut berkegiatan utama bekerja (63
persen), sisanya adalah sekolah (37 persen). Lalu berdasarkan jumlah kendaraan
bermotor, pada 2020 di Kota Bekasi terdapat 1.533.880 kendaraan bermotor. Angka
tersebut terdiri dari kendaraan bermotor milik pribadi, umum, dan pemerintah, serta
jenis kendaraan bermotor yang terdiri dari sedan, jeep, bus, microbus, truk, light truck,
alat berat, dan sepeda motor (Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, n.d.).
Jumlah kendaraan yang relatif besar tersebut berdampak terhadap kualitas udara
di Kota Bekasi. Pasalnya, menurut BPLH DKI Jakarta (2013) yang dikutip oleh Ismiyati
dkk. (2014) emisi gas buang oleh kendaraan transportasi mengandung timbah/timah
hitam (Pb), suspended particulate matter (SPM), oksida nitrogen (NOx), oksida sulfur
(SO2), hidrokarbon (HC), karbon monoksida (CO), dan oksida fotokimia (O x). Bahkan,
sektor transportasi berkontribusi sebesar 60-70% pencemaran udara di kota-kota,
termasuk di Kota Bekasi. Daniel (2019) mengukur kualitas udara di 30 titik Jalan Raya
Kota Bekasi menggunakan parameter PM10. Berdasarkan pengukuran kualitas udara
ambien pada 30 titik lokasi di Kota Bekasi, pada periode I (10-17 November 2016)
2

terdapat 9 titik lokasi yang kualitas udaranya tercemar. Kemudian, pada periode II (24
November-7 Desember 2016) masih terdapat titik lokasi yang kualitas udaranya
tercemar yakni berjumlah 5 titik lokasi.
Lebih lanjut, udara yang tercemar tersebut tidak hanya berdampak pada
lingkungan dan kesehatan, tetapi juga berdampak pada ekonomi. Pencemaran udara
dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, menghambat fotosistem, hingga
menghambat pertukaran gas dari permukaan bagian tanaman (Noh dkk., 2019). Selain
berdampak pada tanaman, pencemaran udara juga menimbulkan dampak pada hewan.
Pencemaran udara yang diakibatkan oleh PM 2,5 dapat meningkatkan peradangan sistem
saraf otonom jantung hewan. Pada manusia, pencemaran udara adalah penyebab utama
kematian dini dan penyakit secara global. Menurut data Badan Kesehatan Dunia atau
World Health Organization (WHO), pencemaran udara membunuh sekitar tujuh juta
orang di seluruh dunia setiap tahun. Data WHO menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang
menghirup udara yang melebihi batas standar WHO (World Health Organization,
2020.). Kemudian, secara ekonomi, penyakit dan kematian karena pencemaran udara
tersebut dapat mengakibatkan kerugian ekonomi. Hal tersebut berkaitan dengan ongkos
sosial dari kematian dini serta biaya kesehatan dan kerugian ekonomi akibat hilangnya
produktivitas karena penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara seperti ISPA,
jantung koroner, asma, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronis (Vital Strategies,
2020).

1.2. Pernyataan Masalah & Pertanyaan Penelitian


Mengingat udara bersih merupakan kebutuhan penting bagi makhluk hidup
terutama manusia, ditambah pencemaran udara yang berdampak bagi kesehatan,
lingkungan, dan ekonomi maka jaminan atas udara bersih menjadi penting untuk
dilaksanakan. Selanjutnya, Kota Bekasi sebagai salah satu kota besar di Indonesia
dengan jutaan penduduk yang menempati kota tersebut membuat kebutuhan udara
bersih semakin mendesak. Selain itu, sektor transportasi yang berpengaruh terhadap
kualitas udara di Kota Bekasi juga dapat menjadi pertimbangan dalam menganalisis
masalah pengendalian pencemaran udara. Berangkat dari permasalahan tersebut, ilmu
geografi dapat digunakan untuk menganalisis kualitas udara di Kota Bekasi dengan
membuat model spasial kualitas udara dari data sektor transportasi. Dengan demikian,
3

pendekatan tersebut dapat digunakan untuk menjawab pertanyan penelitian sebagai


berikut.
1. Bagaimana model spasial estimasi kualitas udara di Kota Bekasi?
2. Berdasarkan model spasial tersebut, dimana lokasi terjadinya pencemaran udara
di Kota Bekasi?
3. Mengapa pencemaran udara terjadi di lokasi yang demikian?

1.3. Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijelaskan sebelumnya,
penelitian ini bertujuan untuk membuat model spasial kualitas udara di Kota Bekasi.
Kemudian berdasarkan model spasial tersebut, penelitian ini juga bertujuan untuk
menganalisis lokasi terjadinya pencemaran udara serta menganalisis karakteristik lokasi
terjadinya pencemaran udara di Kota Bekasi.

1.4. Manfaat Penelitian


Manfaat utama penelitian ini adalah memperkaya tinjauan akademik disiplin
ilmu geografi terutama geografi fisik dan sistem informasi geografis (SIG). Hal tersebut
ditandai dengan adanya data volume kendaraan di suatu titik tertentu, dalam hal ini
adalah jalan arteri di Kota Bekasi dapat dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan
model spasial kualitas udara. Selanjutnya, model spasial kualitas udara tersebut dapat
bermanfaat bagi pemerintah sebagai dasar pengambilan keputusan untuk mengendalikan
pencemaran udara di Kota Bekasi sehingga diharapkan terpeliharanya kualitas udara
bersih tanpa harus menghambat aktivitas volume kendaraan di jalan arteri Kota Bekasi.

1.5. Definisi Operasional dan Lingkup Penelitian


Berikut merupakan definisi operasional dan ruang lingkup dalam penelitian ini.
1) Udara, dalam penelitian ini yang dimaksud mengenai “udara“ merujuk kepada
terminologi “udara ambien“. Adapun yang dimaksud udara ambien adalah udara
bebas di permukaan bumi yang dihirup oleh makhluk hidup.
2) Pencemaran udara adalah jika konsentrasi zat-zat polutan melebihi batas baku
mutu udara ambien.
4

3) Baku mutu udara ambien (BMUA) adalah batas maksimum zat-zat polutan
dalam udara ambien. Dalam penelitian ini, baku mutu udara ambien yang
digunakan adalah BMUA nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) Zat-zat pencemar, dalam penelitian ini zat-zat polutan yang diukur terdiri dari
PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, dan NO2.
5) Kendaraan adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik
berupa mesin (kendaraan yang berjalan di atas rel, sepeda, pesawat tidak
termasuk ke dalam pengukuran volume kendaraan).
6) Volume kendaraan adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik
pengamatan dalam satuan waktu tertentu.
7) Jalan arteri adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan dengan ukuran tidak
melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 milimeter dan muatan sumbu terberat 10 ton.
8) Interpolasi adalah metode memperkirakan nilai suatu titik yang tidak diukur atau
titik yang tidak memiliki nilai.
9) Inverse Distance Weighting (IDW) adalah salah satu metode interpolasi yang
didasarkan pada asumsi bahwa nilai titik yang tidak didata merupakan fungsi
jarak dari nilai rata-rata titik di sekitarnya.
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pentingnya Udara Bersih


Salah satu permasalahan lingkungan hidup yang sangat fatal bagi
keberlangsungan hidup manusia adalah pencemaran udara. Pasalnya kurang lebih 50
persen sumber penyakit berasal dari pencemaran udara (Badan Pusat Statistik, 2019b).
Selain itu, udara merupakan salah satu komponen penting bagi kelangsungan makhluk
hidup, terutama manusia. Kebutuhan udara bagi manusia lebih diutamakan daripada
kebutuhan terhadap makanan dan air. Rata-rata kebutuhan udara orang dewasa adalah
15 kg/hari, sedangkan kebutuhan makanan dan air orang dewasa masing-masing sebesar
1,5 kg/hari dan 2,5 kg/hari. Manusia dapat terus hidup tanpa makanan selama lima
minggu dan tanpa air selama 5 hari, namun tidak lebih dari beberapa menit tanpa udara.
Tubuh manusia menghirup udara sekitar 500 ml sekali bernapas, dalam satu menit
manusia dapat bernapas sebanyak 20 kali (Naddafi et al., 2006). Dengan demikian,
apabila kualitas udara yang dihirup buruk dan tidak sehat maka dapat dibayangkan
potensi kerugiannya bagi kesehatan tubuh manusia.

Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa udara merupakan komponen


lingkungan hidup yang penting untuk dijaga kualitasnya agar tidak mengalami
pencemaran. Kebutuhan atas udara bersih merupakan kebutuhan semua orang dan
menjadi hak setiap orang. Upaya penjaminan dan perwujudan hak tersebut tercantum
dalam UUD 1945 Pasal 28 H Ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak hidup
sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang
baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Kemudian, Pasal 5 Ayat
(1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Pasal 9 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia juga menyatakan setiap orang mempunyai hak yang sama
atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dalam konteks pengendalian pencemaran
udara berarti hak yang menjamin terpenuhinya kualitas udara yang baik dan sehat untuk
warga masyarakat. Penyebutan ketentuan yuridis tersebut menjamin bahwa hak atas
lingkungan hidup yang sehat yang mana dalam konteks pengendalian pencemaran udara
berarti sebagai hak atas udara bersih sudah menjadi kewajiban hukum bagi negara
6

untuk sungguh-sungguh menjaga dan menjunjung tinggi hak rakyat tersebut agar
dapat bertindak lebih adil. Konstitusi menjamin dan memerintahkan pelaksanaan hak
atas udara bersih sebagai hak asasi semua orang yang harus dihormati oleh siapapun.
Oleh karena itu, penjaminan hak atas udara bersih seharusnya menjadi pengingat kepada
pemerintah sebagai pemegang kendali kegiatan pengelolaan lingkungan hidup untuk
membuat kebijakan pengendalian pencemaran udara agar terpeliharanya kualitas udara
bersih bagi setiap orang.

Berkaitan dengan konteks kualitas udara, suatu udara dikatakan tercemar jika
konsentrasi zat-zat polutan udara tersebut melebihi baku mutu udara ambien (BMUA).
Adapun yang dimaksud dengan BMUA adalah batas maksimum zat-zat polutan dalam
udara ambien. Adapun yang dimaksud dengan udara ambien adalah udara bebas di
permukaan bumi yang sehari-hari dihirup oleh makhluk hidup. Dalam menetapkan
kualitas udara tercemar atau tidak, berlaku dua BMUA yaitu BMUA nasional dan
daerah. BMUA nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk
mencegah terjadinya pencemaran udara. Sedangkan BMUA daerah ditetapkan
berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan yang
dapat dibuat oleh pemerintah daerah, dalam hal ini adalah gubernur. BMUA daerah
ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari BMUA nasional serta
berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.
Apabila gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku
BMUA nasional. BMUA baik nasional maupun daerah dapat ditinjau kembali setelah
lima tahun (Quina & Erou, 2018). Penetapan angka BMUA nasional tercantum dalam
Lampiran VII Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam peraturan tersebut terdapat
tujuh parameter yang diatur dalam baku mutu udara ambien Indonesia yang berlaku
secara nasional.
7

Tabel 2.1. Baku Mutu Udara Ambien Nasional Menurut Lampiran VII Peraturan
Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup

No. Parameter Waktu Pengukuran Baku Mutu (µg/m3)

1 Sulfur dioksida (SO2) 1 jam 150

24 jam 75

1 tahun 45

2 Karbon monoksida 1 jam 10.000


(CO)
8 jam 4.000

3 Nitrogen dioksida 1 jam 200


(NO2)
24 jam 65

1 tahun 50

4 Oksidan fotokimia 1 jam 150


(Ox) sebagai ozon
8 jam 100
(O3)

1 tahun 35

5 Hidrokarbon non 3 jam 160


metana (NMHC)

6 Partikel debu < 100 24 jam 230


μm (TSP)

Partikel debu < 10 μm 24 jam 75


(PM10)
1 tahun 40

Partikel debu < 2,5 24 jam 55


8

μm (PM2,5)

1 tahun 15

7 Timbal (Pb) 24 jam 2

Dengan demikian, pencemaran udara terjadi saat zat-zat polutan udara melampaui baku
mutu udara ambien di atas. Sebagai contoh, jika lokasi X memiliki konsentrasi SO 2
dalam waktu pengukuran satu jam sebesar 145 µg/m3 maka di lokasi X tidak terjadi
pencemaran udara karena konsentrasi SO2 di lokasi tersebut di bawah batas BMUA
nasional. Sebaliknya, jika lokasi Y memiliki konsentrasi SO2 dalam waktu pengukuran
satu jam sebesar 155 µg/m3 maka di lokasi Y terjadi pencemaran udara karena
konsentrasi SO2 di lokasi tersebut melebihi batas BMUA nasional

Selanjutnya untuk memperoleh data konsentrasi zat-zat polutan udara diperlukan


sebuah alat yang berfungsi untuk mengukur konsentrasi zat-zat polutan udara ambien
yakni Stasiun Pemantau Kualitas Udara (SPKU). Dalam pemantauan kualitas udara
ambien, hal tersebut dapat dilakukan secara manual maupun otomatis. Pemantauan
secara manual dilakukan dilakukan dengan pengambilan sampel secara manual untuk
mendapatkan rata-rata jam maupun harian. Sedangkan, pemantauan secara otomatis
dilakukan menggunakan alat yang langsung menghasilkan data pengukuran sekaligus
mengirimkan datanya ke stasiun pengumpul data menggunakan SPKU (Erou dan
Fadhillah, 2019).

SPKU terdiri dari SPKU permanen dan bergerak (mobile station). SPKU
permanen dipasang di lokasi tertentu dan mengukur mutu udara ambien secara terus
menerus selama 24 jam sedangkan SPKU bergerak dipasang di lokasi tertentu dan
mengukur udara ambien minimal 7 hari secara terus-menerus. Menurut Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020, data kualitas udara yang disajikan oleh SPKU
berdasarkan parameter PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, NO2, dan HC. Kemudian berdasarkan
lokasi pemantauannya, SPKU biasanya dipasang di pusat kota, latar kota, sub-urban,
industri, pedesaan; dan, lokasi lainnya yang mengarah kepada sumber polutan tertentu.
9

Dalam penempatan peralatan SPKU terdapat kriteria yang perlu dipenuhi antara lain
ditempatkan pada udara terbuka dengan sudut terbuka 120° terhadap penghalang,
ketinggian sampling inlet dari permukaan tanah untuk partikel dan gas paling sedikit
dua meter, dan jarak alat pemantau kualitas udara dari sumber emisi terdekat paling
sedikit 20 meter. SPKU ini sangat penting dalam pemantauan mutu udara ambien
karena SPKU yang memberikan data secara kontinu sehingga peranannya sangat besar
dalam penyajian data mutu udara ambien.

Selanjutnya, hasil pemantauan kualitas udara oleh SPKU disajikan ke publik


dalam bentuk Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) yakni angka yang tidak
mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu
dan berdasarkan dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup
lainnya. Karena tidak disajikan dalam bentuk satuan, ISPU disajikan dalam kategori
kategori baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat, atau berbahaya. Dengan demikian,
nilai konsentrasi yang diperoleh dari pemantauan SPKU dikonversi menjadi bentuk
ISPU terlebih dahulu agar bisa disajikan ke publik. Dalam hal menyajikan ISPU ke
publik biasanya untuk PM2,5 disajikan ke publik setiap jam selama 24 jam, sedangkan
untuk PM10, SO2, CO, O3, NO2, dan HC disajikan ke publik paling sedikit dua kali
dalam satu hari.

Tabel 2.2. Konversi Nilai Konsentrasi Parameter ISPU Menurut Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020

ISPU 24 jam 24 jam 24 jam 24 jam 24 jam 24 jam 24 jam


PM10 PM2,5 SO2 CO O3 NO2 HC
µg/m3 µg/m3 µg/m3 µg/m3 µg/m3 µg/m3 µg/m3

0 - 50 50 15,5 52 4.000 120 80 45

51 - 100 150 55,4 180 8.000 235 200 100

101 - 350 150,4 400 15.000 400 1.130 215


200
10

201 - 420 250,4 800 30.000 800 2.260 432


300

>300 500 500 1200 45.000 1.000 3.000 648

Tabel 2.3. Kategori dan Penjelasan Nilai ISPU Menurut Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020

Kategori Status Angka Keterangan


Warna Rentang

Baik Hijau 1 - 50 Tingkat kualitas udara yang sangat baik,


tidak memberikan efek negatif terhadap
manusia, hewan, tumbuhan.

Sedang Biru 51 - 100 Tingkat kualitas udara masih dapat


diterima pada kesehatan manusia, hewan
dan tumbuhan.

Tidak Sehat Kuning 101 - 200 Tingkat kualitas udara yang bersifat
merugikan pada manusia, hewan dan
tumbuhan.

Sangat Tidak Merah 201 - 300 Tingkat kualitas udara yang dapat
Sehat meningkatkan risiko kesehatan pada
sejumlah segmen populasi yang terpapar.

Berbahaya Hitam > 301 Tingkat kualitas udara yang dapat


merugikan kesehatan serius pada populasi
dan perlu penanganan cepat.

Berdasarkan penjelasan di atas diketahui bahwa udara memiliki peran penting


terhadap keberlangsungan hidup makhluk hidup, terutama manusia. Berkaitan dengan
hal tersebut, pengukuran, pemantauan, dan penyajian kualitas udara kepada publik juga
11

menjadi hal penting untuk memberitahu publik mengenai kondisi kualitas udara di
lokasi mereka. Dengan diketahuinya informasi kualitas udara tersebut maka dapat
disusun langkah untuk memelihara kualitas udara tetap bersih dan sehat. Langkah
tersebut dapat berupa penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien (jika udara
tercemar) atau pertahanan dan peningkatan mutu udara ambien (jika udara tidak
tercemar). Oleh karena itu, informasi kualitas udara yang disajikan dalam bentuk model
spasial dapat menjadi pilihan bahkan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh
pemerintah untuk menentukan upaya pengendalian pencemaran yang terjadi di suatu
lokasi tertentu.

2.2. Zat-zat Polutan Udara

Dalam menyajikan kualitas udara ke publik terdapat beberapa parameter yang


digunakan untuk merepresentasikan kondisi kualitas udara tercemar atau tidak.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)
merupakan salah satu cara untuk menyajikan kualitas udara ke publik. Menurut
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020, ISPU meliputi parameter PM2,5, PM10, SO2,
CO, O3, NO2, dan HC. Berikut akan dijelaskan secara rinci mengenai parameter-
parameter tersebut.

2.2.1. PM2,5

PM2,5 merupakan partikel yang berukuran kurang dari 2,5 mikrometer


disebut juga fine particles. Menurut Lu (2016), emisi PM2,5 dari sumber bergerak
dihasilkan dari tiga proses umum yakni (1) langsung diemisikan dari knalpot
mobil, truk, dan kendaraan di jalan (2) berasal dari bahan yang ditemukan di jalan
raya, misalnya debu, dan (3) berasal dari proses pembentukan sekunder emisi
prekursor seperti sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), volatil senyawa
organik (VOC), dan amonia (NH3). Proses (1) dan (2) dikenal sebagai emisi utama
PM2,5. Emisi utama atau partikel primer dapat berupa partikel padat, cair atau gas
yang terbentuk karena pendinginan setelah dilepaskan ke atmosfer. Sedangkan,
12

partikel sekunder terjadi karena reaksi kimia di atmosfer, umumnya melawan arah
angin, dan jauh dari sumber emisi utama. Partikel sekunder terbentuk dari reaksi
partikel-partikel primer di atmosfer.

PM2,5 adalah penyebab utama berkurangnya jarak pandang (kabut). PM 2,5


dapat dibawa oleh angin ke jarak yang jauh dan kemudian menetap di tanah atau
air. Efek dari pengendapan ini meliputi membuat danau dan sungai menjadi asam,
mengubah keseimbangan nutrisi di perairan pantai dan daerah aliran sungai yang
besar, mengurangi nutrisi dalam tanah, merusak hutan dan tanaman pertanian
yang bersifat sensitif, memengaruhi keanekaragaman ekosistem, dan berkontribusi
terhadap efek hujan asam. Selain itu, PM 2,5 juga dapat menodai dan merusak batu
dan bahan lainnya, termasuk benda-benda penting seperti patung dan monumen.
Lalu, dampak PM2,5 terhadap hewan berupa peningkatan peradangan sistem saraf
otonom jantung. Paparan PM2,5 0,8 ppm selama 4 jam dapat mengakibatkan
peningkatan gangguan pernapasan pada tikus (Saxena dan Sonwani, 2019).

2.2.2. PM10

PM10 merupakan partikel yang memiliki diameter ≤ 10


mikrometer. PM10 terdiri dari padatan atau cairan halus seperti debu, fly ash,
jelaga, asap, aerosol, kabut, dan uap kondensasi yang dapat tersuspensi di udara
dalam waktu yang lama. PM10 dapat berasal dari berbagai sumber stasioner dan
bergerak serta dapat diemisikan secara langsung (emisi primer) atau terbentuk di
atmosfer (emisi sekunder) dengan transformasi emisi gas seperti oksida belerang
(SOx), oksida nitrogen (NOx), dan bahan organik yang mudah menguap seperti
senyawa VOC. Sifat kimia dan fisik PM 10 sangat bervariasi menurut waktu,
wilayah, kondisi meteorologi, dan sumber emisi. Partikel primer dan sekunder
dapat tetap berada di atmosfer hingga beberapa hari sebelum dihilangkan oleh
pengendapan gravitasi, rainout (menempel pada tetesan air saat jatuh ke tanah),
dan washout (diserap oleh molekul air di awan dan kemudian jatuh ke permukaan
tanah bersama hujan) (Sallis, 2016).
13

Pengaruh PM10 terhadap tanaman terutama adalah proses bergabungnya


dengan uap air atau air hujan gerimis yang akan membentuk kerak tebal pada
permukaan daun, dan tidak dapat tercuci dengan air hujan kecuali dengan
menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu proses fotosintesis pada
tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari dan mencegah pertukaran
CO2 dengan atmosfer. Kemudian, pengaruh PM10 terhadap hewan sama seperti
pengaruh yang ditimbulkan PM10 terhadap manusia (Gurjar et al., 2010). PM10
bersifat respirable sehingga dapat memicu terjadinya gangguan pernapasan yaitu
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA). Selain itu ada beberapa efek kesehatan
yang disebabkan oleh PM10 meliputi efek toksik oleh penyerapan bahan beracun
ke dalam darah (misalnya timah, kadmium, seng); efek alergi atau
hipersensitivitas (misalnya beberapa hutan, biji-bijian tepung, bahan kimia);
infeksi bakteri dan jamur (dari organisme hidup); fibrosis (misalnya asbes,
kuarsa); kanker (misalnya asbes, kromat); iritasi selaput lendir (misalnya asam
dan basa) (Phalen & Phalen, 2013).

2.2.3. SO2

SO2 adalah gas tidak berwarna dengan bau yang tajam. Gas tersebut
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak) dan
peleburan bijih mineral yang mengandung belerang. Sumber antropogenik utama
SO2 adalah pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung belerang untuk
pemanas rumah tangga, pembangkit listrik, dan kendaraan bermotor. Bahkan,
sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfer merupakan hasil kegiatan
manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2 (Sander dan More, 1984).
Pencemaran SOx menimbulkan dampak terhadap manusia dan hewan, serta
kerusakan tanaman pada kadar 0,5 ppm atau setara dengan 0,001 μg/Nm 3.
Pengaruh SO2 terhadap pigmen fotosintesis sangat besar. Kerusakan klorofil
terjadi pada lichenes setelah diberi pemaparan dosis SO2 5 ppm atau 0,01 μg/Nm3.
Pada lichenes yang sensitif, pemaparan kronis dengan konsentrasi SO2 rendah
(0,0286 μg/Nm3) menyebabkan hilangnya klorofil. Kemudian, pada tumbuhan
secara umum konsentrasi yang tinggi dengan paparan 5 ppm atau setara dengan
14

0,01 μg/Nm3 selama 24 jam, gas SO2 dapat menyebabkan kerusakan pada klorofil
(Compton, 2011).

Hampir sama dengan tumbuhan, pada dasarnya hewan resisten terhadap


SO2 konsentrasi rendah. Namun pada konsentrasi SO 2 yang cukup tinggi dan
kontinyu akan terjadi iritasi mata dan kelebihan air, pernapasan lebih cepat dan
pendek, emfisema, serta trakea terganggu. Pada konsentrasi SO 2 lebih dari 28,6
mg/m3 (10 ppm atau 0,0286 μg/Nm3) telah terbukti menghasilkan kerusakan pada
epitel saluran pernapasan hewan. Hal tersebut dapat diikuti oleh dampak lainnya
seperti hiperplasia epitel, peningkatan dosis dalam sel goblet dan hipertrofi
kelenjar submukosa. Perubahan tersebut mirip dengan yang terlihat pada bronkitis
kronis manusia (Singal, 2012). Selain perubahan morfologis yang disebutkan tadi,
perlambatan transportasi mukus siliaris juga telah ditunjukkan oleh hewan yang
terkena paparan konsentrasi SO2 yang tinggi (300 ppm atau 0,858 μg/Nm 3). Efek
tersebut juga terlihat pada paparan konsentrasi asam sulfat yang jauh lebih rendah.
Kemudian, studi berbagai spesies hewan telah menunjukkan bahwa paparan sulfur
dioksida dengan konsentrasi sekitar 715 μg/m 3 atau 0,25 ppm (0,0007 μg/Nm 3)
menghasilkan bronkokonstriksi dan asma (Hollingsworth dan Nadadur, 2015).

2.2.4. CO

Karbon dan oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon


monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran tidak sempurna dan karbon dioksida
(CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. CO merupakan senyawa yang tidak
berbau, tidak berasa, dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak
berwarna. Pada keadaan normal konsentrasinya di udara ±0,1 ppm, dan di kota
dengan lalu lintas padat ±10-15 ppm (Soedomo, 2009). Bagi tumbuhan, kadar CO
100 ppm pengaruhnya hampir tidak ada, khususnya tumbuhan tingkat tinggi.
Kadar CO 200 ppm atau 0,25 μg/Nm 3 dengan waktu kontak 24 jam dapat
memengaruhi kemampuan fiksasi nitrogen oleh bakteri bebas terutama yang
terdapat pada akar tumbuhan sehingga dapat mengganggu pengikatan oksigen
oleh akar tumbuhan (Wardhana, 2009). Paparan CO juga memengaruhi kesehatan
kardiopulmonari dan sistem saraf hewan. CO yang dihirup oleh hewan dapat
15

menyebabkan gangguan pada detak jantung dan konduksi pada hewan yang sehat
serta mengalami gangguan jantung. Paparan CO juga dapat meningkatkan
kandungan COHb (karboksihemoglobin) yaitu senyawa kompleks stabil yang
terdiri dari karbon monoksida (CO) dan hemoglobin (Hb). Karboksihemoglobin
terbentuk di sel darah merah setelah hemoglobin berinteraksi dengan CO. Jika
seseorang terpapar dengan CO dalam jumlah yang rendah, kemampuan
hemoglobin untuk mengangkut oksigen menjadi terhambat karena
karboksihemoglobin lebih mudah terbentuk daripada oksihemoglobin (HbO2).
Selanjutnya, pada kadar CO yang berlebihan dapat menyebabkan kematian pada
hewan (Raub, 1999).

Selanjutnya, pengaruh CO pada hewan hampir sama pengaruhnya dengan


manusia. Gas CO merupakan gas yang memiliki dampak kesehatan
membahayakan bagi masyarakat. CO akan masuk ke dalam tubuh lalu berikatan
dengan darah membentuk karboksihemoglobin (COHb) dan dapat mengurangi
jumlah oksigen yang dibawa oleh hemoglobin ke seluruh tubuh (tidak efektif
untuk mentransfer oksigen ke jaringan tubuh), kondisi ini dinamakan anoxemia.
Gas CO mampu berikatan dengan hemoglobin 210 kali lebih besar daripada
oksigen. Sifat CO tersebut menghasilkan pembentukan COHb yang 200 kali lebih
stabil dibandingkan oksihemoglobin (HbO2). Penguraian HbCO yang relatif
lambat menyebabkan terhambatnya kerja molekul sel pigmen yang berfungsi
membawa oksigen ke seluruh tubuh. Kondisi seperti ini bisa berakibat serius,
bahkan fatal, karena dapat menyebabkan keracunan. Selain itu, metabolisme otot
dan fungsi enzim intraseluler juga dapat terganggu dengan adanya ikatan CO yang
stabil tersebut. Dampak keracunan CO juga sangat berbahaya bagi orang yang
telah menderita gangguan pada otot jantung atau sirkulasi darah periferal yang
parah (Fardiaz, 1992). Menurut Hazsya (2018), kadar normal karboksihemoglobin
dalam darah adalah sampai 1% COHb pada bukan perokok dan 2-10% COHb
pada perokok. Pada kadar CO dalam darah (COHb) 7% sudah memberikan
pengaruh pusing-pusing, 45% mual dan kemungkinan hilang kesadaran. Kadar
CO 60% menyebabkan koma dan 95% menyebabkan kematian. Kadar CO 10%
dan 5% di udara setara dengan 80 dan 35 mg/m3.
16

2.2.5. O3

Ozon merupakan salah satu gas penyusun atmosfer yang terdiri dari tiga
atom oksigen (O3). Ozon terdapat di dua wilayah atmosfer bumi yaitu di stratosfer
dan troposfer. 90% ozon terdapat di stratosfer, ozon tersebut terbentuk secara
alamiah melalui interaksi antara sinar ultraviolet dengan oksigen (O2). Lapisan ini
berperan sebagai filter photon yang mengurangi jumlah radiasi berbahaya untuk
mencapai permukaan bumi. Lalu, 10% lainnya ditemukan di troposfer, ozon
tersebut terbentuk melalui reaksi kimia antara oksida nitrogen (gas NOx) dan
senyawa organik volatil (VOC) dengan sinar matahari. Lapisan ozon di troposfer
berperan sebagai polutan udara yang dapat berpengaruh berbahaya pada sistem
pernapasan manusia, hewan, dan metabolisme tumbuhan (Widowati dan Sutoyo,
2009).

Meskipun O3 tidak diemisikan dari mobil secara langsung, namun senyawa


yang tidak stabil ini terbentuk di atmosfer melalui reaksi kimia kompleks yang
melibatkan hidrokarbon, oksida nitrogen, dan sinar matahari. Salah satu
contohnya adalah terbentuknya smog (kabut). Asap kabut atau lebih dikenal
dengan smog (smoke dan fog) adalah sejenis kasus pencemaran udara berat yang
kerap terjadi dan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam kondisi cuaca
tertentu asap kabut dapat bertahan dalam jangka waktu cukup lama menutupi
suatu kota dengan penduduk yang padat. Asap kabut disebabkan oleh beberapa
jenis hasil pembakaran bahan kimia yang dikatalisasi oleh sinar matahari. Asap
kabut atau smog terjadi ketika sinar matahari bereaksi dengan emisi kendaraan,
industri, cat, pelarut, dan uap bensin. Ketika polutan tersebut bereaksi dengan
sinar matahari di musim panas maka akan membentuk ozone ground level,
komponen utama asap kabut (smog) (Robert, 2012). Smog fotokimia merupakan
koloid (aerosol) yang mengandung hasil oksidasi gas nitrogen misalnya nitrogen
dioksida (NO2), ozone tropospheric, VOCs (volatile organic compounds), dan
peroxyacetyl nitrate (PAN). Gas buang kendaraan bermotor umumnya
mengandung gas NO, CO, dan hidrokarbon. Gas-gas itu selanjutnya akan
mengalami reaksi fotokimia yaitu reaksi yang terjadi adanya foton (cahaya).
Reaksi fotokimia ini menghasilkan polutan sekunder yang mengandung gas NO2
dan O3 yang akhirnya membentuk smog (Fardiaz, 1992).
17

Gambar 2.1. Proses Pembentukan Kabut Asap (Smog) (Fardiaz, 1992)

Pengaruh O3 pada tanaman yaitu terjadi pemucatan pada daun karena


kematian sel-sel pada permukaan, dimana daun yang lebih tua lebih sensitif
terhadap kerusakan tersebut. Proses paparan O3 ke jaringan tanaman terjadi
melalui stomata daun terbuka. Tingkat sensitivitas tanaman terhadap paparan O3
sebagian dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan yang mengatur fungsi
stomata. Begitu masuk ke dalam daun, O3 menyerang membran dan komponen
lipid lainnya dari sel dan ketika aktif secara fisiologis maka akan merusak
kloroplas (Reis, 2005). Toksisitas O3 telah terbukti mempercepat penuaan dan
menyebabkan kerusakan yang tinggi pada dedaunan, bunga, dan buah. Kombinasi
serendah 0,03 ppm O3 dan 0,1 ppm SO2 dapat merusak tembakau yang bersifat
lebih sensitif. Pada paparan konsentrasi O3 per jam sebesar 0,22 ppm dapat
mengakibatkan tanaman kehilangan dedaunan 40 hingga 70 persen, diikuti oleh
organ tanaman yang tidak dapat berfungsi lagi (mati) (Heck, 1978). Lebih lanjut,
munculnya gejala “tipburn” terhadap tumbuhan dengan paparan 0,06 ppm O3
selama 4 jam. Selain itu, gejala mottling chlorotic telah terbukti terjadi dari
paparan 0,5 ppm O3 selama 9 jam selama periode 9 hingga 18 hari sementara
paparan 0,08 ppm O3 selama 12 jam atau lebih dalam sehari cukup untuk
mematikan tumbuhan (Taylor, 1980).
18

Gambar 2.2. Fenomena Tipburn (Ujung Gosok) pada Tanaman (Reis, 2005)

Gambar 2.3. Fenomena mottling chlorotic pada Tanaman (Reis, 2005)

O3 juga memiliki pengaruh terhadap hewan. Pada umumnya, paparan


mematikan untuk O3 disertai dengan dispnea dan kelesuan, serta edema paru-paru
pada hewan. Perubahan morfologis telah dilaporkan pada saluran pernapasan
hewan sebagai akibat paparan O3 pada 0,2-0,25 ppm. Pada konsentrasi tersebut
terjadi deskuamasi yang cukup besar dari sel-sel saluran udara bersilia. Kemudian,
vakuolisasi sitoplasma sel bersilia dan kondensasi mitokondria adalah perubahan
morfologis yang paling konsisten terjadi. Perubahan mitokondria terjadi setelah
terpapar 0,2-0,25 ppm Selain itu, perubahan enzim telah dilaporkan pada saluran
pernapasan berbagai hewan dengan konsentrasi 0,25, 0,5, dan 1,0 ppm selama 4,7-
6,6 jam yakni terjadi peningkatan aktivitas glutathione peroxidase, glutathione
reductase, dan peningkatan konsumsi oksigen mitokondria paru (Saxena dan
Sonwani, 2019.
19

Kemudian, dampaknya terhadap manusia, O3 dapat memperburuk


bronkitis, penyakit jantung, emfisema, asma, mengurangi kapasitas paru-paru,
iritasi pada sistem pernafasan, batuk, dan sesak yang mengarah ke peningkatan
penggunaan obat-obatan, rawat inap, dan kematian dini. Dampak kesehatan
tersebut muncul ketika terkena pajanan O3 100 μg/m3 dengan rata-rata harian
maksimum 8 jam. Kemudian, peningkatan jumlah kematian sebanyak 1-2% juga
terjadi pada konsentrasi O3 mencapai 70 μg/m3 sampai 100 μg/m3 atau lebih
(dengan waktu paparan selama 8 jam). Selain itu, konsentrasi O3 160 μg/m3
dengan waktu paparan selama 8 jam dapat menimbulkan gangguan fungsi dan
peradangan paru-paru pada orang dewasa muda yang sehat bahkan konsentrasi
tersebut dapat meningkat jumlah kematian sebanyak 3-5% (Wardoyo, 2016).

2.2.6. NO2

Nitrogen oksida (NOx) adalah senyawa kimia oksigen dan nitrogen yang
terbentuk melalui reaksi satu sama lain selama pembakaran pada suhu tinggi,
terutama pembakaran bahan bakar seperti minyak, solar, gas, dan bahan organik.
NOx adalah sebutan umum dari nitrogen oksida NO dan NO 2. Pada katalis
oksidasi, oksida nitrat (NO) dapat mudah bereaksi dengan oksigen berlebih
menjadi NO2. Dalam udara ambien, NO2 biasanya berasal dari pembakaran bahan
bakar. NO2 terbentuk dari emisi mobil, truk dan bus, pembangkit listrik, dan
peralatan off-road. NO2 adalah gas yang berbau tajam dan berwarna coklat
kemerahan. NO2 empat kali lebih berbahaya daripada NO (Wardoyo, 2016).

Bagi tumbuhan, oksida nitrogen dapat menyebabkan bintik-bintik pada


permukaan daun dan jika konsentrasinya tinggi dapat mengakibatkan nekrosis
(kerusakan jaringan daun) sehingga fotosintesis terganggu. Lalu, konsentrasi NO 2
sebanyak 1 ppm atau setara dengan 0,001882 μg/Nm3 dapat menyebabkan bintik-
bintik pada daun dan konsentrasi yang lebih tinggi yakni 3,5 ppm (0.007 μg/Nm 3)
atau lebih akan terjadi nekrosis atau kerusakan tanaman. Pada kondisi tersebut
daun tidak dapat berfungsi sempurna sebagai tempat terbentuknya karbohidrat
melalui proses fotosintesis (Pohan, 2002).
20

Kemudian bagi hewan, pada kadar NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm
dapat mematikan sebagian besar binatang dan 90% dari kematian tersebut
disebabkan oleh gejala pembengkakan paru (edema pulmonari). Kadar NO2
sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang
yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang (Fardiaz, 1992). Pengaruh NO 2
lainnya yang membahayakan adalah meningkatnya kepekaan terhadap radang
saluran pernafasan yang dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100
μg/m3. Selain itu, senyawa ini juga dapat menyebabkan gangguan saraf pada
konsentrasi tinggi (Schneider dan Grant, 2013).

Selanjutnya bagi manusia, studi epidemiologis telah menunjukkan bahwa


adanya kaitan peningkatan gejala bronkitis pada anak asma dengan konsentrasi
NO2 tahunan dan penurunan fungsi paru-paru pada anak-anak berkorelasi dengan
peningkatan konsentrasi NO2. NO2 juga menimbulkan gejala pernapasan pada
bayi dengan konsentrasi NO2 di bawah 40 μg/m3. Sejumlah studi toksikologi
mengenai eksperimental manusia terhadap paparan NO2 dalam jangka pendek
telah membuktikan efek kesehatan akut setelah paparan konsentrasi NO 2 lebih
dari 500 μg/m3 dalam satu jam. Sedangkan, tingkat terendah paparan NO2 yakni
560 μg/m3 menunjukkan efek langsung fungsi paru pada penderita asma (Kuo,
2018). Kemudian, studi mengenai respon bronkial di antara penderita asma juga
menunjukkan peningkatan responsif pada tingkat konsentrasi lebih dari 200 μg/m 3
(World Health Organization, 2006).

2.2.7. HC

Hidrokarbon (HC) merupakan senyawa yang terdiri dari unsur hidrogen


dan karbon. Sifat fisiknya dipengaruhi oleh jumlah atom karbon yang menyusun
molekul HC. Dalam konteks pencemaran udara, HC adalah bahan polutan udara
yang dapat berbentuk gas, cairan maupun padatan. Semakin tinggi jumlah atom
karbon, unsur ini akan cenderung berbentuk padatan. Hidrokarbon dengan
kandungan unsur C antara 1 sampai 4 atom karbon akan berbentuk gas pada suhu
kamar, sedangkan apabila senyawa HC mengandung karbon di atas 5 akan
berbentuk cairan. Padatan HC yang berupa gas akan bercampur dengan gas-gas
21

hasil buangan lainnya. Apabila berupa cair maka HC akan membentuk semacam
kabut minyak dan apabila berbentuk padatan akan membentuk asap yang pekat
dan akhirnya menggumpal menjadi debu (Ince dan Ince, 2019). Pada umumnya,
hidrokarbon yang sering menimbulkan masalah dalam pencemaran udara adalah
yang yang berbentuk gas pada suhu atmosfer normal atau hidrokarbon yang
bersifat sangat volatil (mudah berubah menjadi gas) pada suhu tersebut. Sebagian
besar komponen tersebut mempunyai struktur yang sederhana yaitu mengandung
12 atom karbon atau kurang per molekul (Fardiaz, 1992).

Hidrokarbon bereaksi dengan NO2 dan O2 menghasilkan PAN (Peroxy


Acetyl Nitrates). Campuran PAN dengan gas CO dan O3 disebut kabut foto kimia
yang dapat merusak tanaman. Salah satu contoh senyawa hidrokarbon adalah
etilen. Konsentrasi etilen (C2H2) 115 μg/Nm3 (0,1 ppm) menghambat
perpanjangan kacang polong. Kemudian, berbagai kelainan pertumbuhan telah
dikaitkan dengan paparan etilen terhadap etilen. Etilen merupakan satu-satunya
hidrokarbon yang mengakibatkan kerusakan tanaman pada konsentrasi ambien
satu ppm atau kurang (Hayakawa, 2018). Asetilen dan propilen juga bersifat racun
terhadap tanaman, tetapi konsentrasi yang dibutuhkan adalah 60-500 kali
sebanyak etilen. Pengaruh etilen terhadap tanaman terutama adalah menghambat
pertumbuhan, perubahan warna daun, dan kematian bagian-bagian bunga. Gas
yang mengandung sekitar 1,145 μg/Nm3 (1 ppm) etilen menyebabkan
perpanjangan elongasi, pertumbuhan miring, dan pembengkakan radial atau
penebalan batang pada tanaman semai. Selain itu, paparan 115 μg/Nm3 (0,1 ppm)
etilen selama 3 hari mencegah bunga dari proses pemekaran lalu paparan 575
μg/Nm3 (0,5 ppm) selama 12 jam menyebabkan bunga tidak mekar. Kemudian,
paparan 115 μg/Nm3 (0,1 ppm) etilen selama 6 jam dan 115 μg/Nm3 (0,1 ppm)
selama beberapa jam dapat menginduksi jatuhnya kuncup bunga pada tanaman
tomat dan lada. Semua varietas dari beberapa spesies dalam famili bunga lili juga
mengalami keterlambatan pertumbuhan ketika diberikan paparan 855 μg/Nm3
(0,75 ppm) etilen selama 7 hari (Hewitt, 1998). Sedangkan, pengaruh senyawa
hidrokarbon terhadap hewan ditunjukkan ketika paparan konsentrasi melebihi 300
μg/Nm3 (Koenig, 2012).
22

Selain berdampak terhadap tanaman dan hewan, hidrokarbon juga


memiliki dampak lain terhadap lingkungan antara lain terhambatnya difusi
oksigen dan cahaya matahari ke permukaan perairan akibat polutan dari tumpahan
minyak oleh kapal-kapal niaga dan kapal-kapal tanker mencemari laut. Emulsi
lemak dari minyak yang mana juga merupakan senyawa hidrokarbon juga
menghambat difusi oksigen dari atmosfer dalam badan air laut dan menghambat
penetrasi sinar matahari ke permukaan perairan, yang akhirnya mengakibatkan
kematian fatal bagi biota. Selain itu, hidrokarbon juga mampu melarutkan
beberapa senyawa penting dalam material sehingga akan mengubah tidak hanya
sifat fisik, tetapi juga kimia sebuah material. Kemudian, hidrokarbon juga
menimbulkan noda kehitaman sehingga mengurangi estetika bangunan ataupun
struktur lain akibat dari jelaga yang dihasilkan dari proses pembakaran
hidrokarbon (Fardiaz, 1992).

Kemudian, untuk dampak secara umum, menurut data Badan Kesehatan Dunia
atau World Health Organization (WHO), pencemaran udara membunuh sekitar tujuh
juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Data WHO menunjukkan bahwa 9 dari 10
orang menghirup udara yang melebihi batas standar WHO. WHO juga memperkirakan
25% hingga 43% kematian dari penyakit tidak menular disebabkan oleh pencemaran
udara (World Health Organization, 2020). Pencemaran udara menyebabkan tiga juta
kematian dini di seluruh dunia dan di Indonesia diprediksi akan mencapai angka 15.700
jiwa/tahun. Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp38,5
triliun. Bahkan, jika memasukkan perhitungan inflasi maka biaya tersebut akan setara
dengan Rp60,8 triliun pada tahun 2020 (Vital Strategies, 2020).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapat diketahui bahwa pencemaran


udara memiliki dampak terhadap lingkungan, kesehatan, bahkan ekonomi. Dengan
demikian, pemenuhan dan jaminan atas udara bersih menjadi penting dan semakin
mendesak untuk dilakukan. Adanya pemodelan spasial kualitas udara yang dapat
mengestimasikan kondisi kualitas udara berdasarkan parameter tertentu dapat
membantu pemerintah dalam mengambil kebijakan pengendalian pencemaran udara
sehingga udara yang bersih dan sehat terjamin.
23

2.3. Kota Bekasi

Secara astronomi, Kota Bekasi terletak antara 106°48'28"-107°27'29" Bujur


Timur dan 6°10'6"-6°30'6" Lintang Selatan. Luas wilayah Kota Bekasi adalah 210,49
km2. Tahun 2020, wilayah administrasi Kota Bekasi terdiri dari 12 wilayah kecamatan,
luas daratan masing-masing kecamatan, yaitu: Pondokgede (15,92 km 2), Jatisampurna
(19,54 km2), Pondok Melati (11,80 km2), Jatiasih (24,27 km2), Bantargebang (18,44
km2), Mustika Jaya (26,42 km2), Bekasi Timur (14,63 km2), Rawalumbu (16,85 km2),
Bekasi Selatan (16,06 km2), Bekasi Barat (14,93 km2), Medan Satria (11,88 km2), serta
Bekasi Utara (19,75 km2). Selanjutnya, wilayah Kota Bekasi bagian utara dan bagian
timur berbatasan dengan Kabupaten Bekasi, bagian selatan berbatasan dengan
Kabupaten Bogor, dan bagian barat berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta (Badan
Pusat Statistik Kota Bekasi, 2021).

Panjang jalan di Kota Bekasi pada akhir tahun 2020 adalah 4.573,51 km. Jika
dirinci menurut jenis permukaan jalan maka sepanjang 4.542,87 km atau sebesar 99,33
persen sudah beraspal, 30,64 km atau 0,67 persen belum beraspal (Badan Pusat Statistik
Kota Bekasi, 2021). Selain itu, menurut Peraturan Walikota Bekasi No. 5 Tahun 2011
tentang Fungsi dan Kelas Jalan di Kota Bekasi, berdasarkan fungsinya pembagian jalan
meliputi jalan arteri (arteri primer dan sekunder), kolektor (kolektor primer dan
sekunder), serta jalan lokal. Jalan arteri adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan
dengan ukuran tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter dan muatan sumbu terberat 10 ton.
Lalu, jalan kolektor yaitu jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran
tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat sepuluh ton.
Selanjutnya, jalan lokal yaitu jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan
ukuran tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat sepuluh
ton. Berdasarkan definisi tersebut terlihat bahwa jalan arteri memiliki peran penting
untuk memperlancar kegiatan perekonomian, memudahkan mobilitas penduduk dan
memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain, serta menembus isolasi
suatu daerah untuk pemerataan pembangunan seluruh daerah. Berdasarkan Peraturan
Daerah Kota Bekasi No. 5 Tahun 2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi
24

Tahun 2015-2035, jalan arteri di Kota Bekasi meliputi Jalan Sudirman, Jalan Sultan
Agung, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Cut Meutia, Jalan M. Joyomartono, Jalan Siliwangi,
Jalan Jend. Ahmad Yani, Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jalan Chairil Anwar, Jalan Noer Ali
utara, Jalan Noer Ali selatan, Jalan samping tol JORR Cikunir, Jalan Mayor Hasibuan,
Jalan Jati Asih-Bojong Menteng, Jalan Pahlawan, Jalan Pekayon Jaya, dan Jalan R. A
Kartini.

Selanjutnya, Kota Bekasi merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Hal
tersebut ditandai dengan penduduknya yang berjumlah 2,54 juta jiwa pada 2020 (Badan
Pusat Statistik Kota Bekasi, 2021). Selain itu, perannya sebagai kota besar di Indonesia
juga dapat dilihat dari jumlah komuter yang berkegiatan di Kota Bekasi. Menurut Badan
Pusat Statistik (2019a), terdapat 166.197 komuter dari luar Kota Bekasi yang
berkegiatan utama di Kota Bekasi, dimana 62 persennya adalah komuter laki-laki dan
38 persennya adalah perempuan. Sebagian besar komuter tersebut berkegiatan utama
bekerja (63 persen), sisanya adalah sekolah (37 persen). Lalu berdasarkan jumlah
kendaraan bermotor, pada 2020 di Kota Bekasi terdapat 1.533.880 kendaraan bermotor.
Angka tersebut terdiri dari kendaraan bermotor milik pribadi, umum, dan pemerintah,
serta jenis kendaraan bermotor yang terdiri dari sedan, jeep, bus, microbus, truk, light
truck, alat berat, dan sepeda motor (Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, n.d.).

Berdasarkan hal di atas dapat diketahui bahwa Kota Bekasi memiliki jumlah
komuter relatif tinggi dan jumlah kendaraan yang relatif tinggi juga. Hal tersebut akan
berdampak pada peningkatan aktivitas sektor transportasi darat dan pada akhirnya akan
berdampak pada kualitas udara di Kota Bekasi. Menurut Wibowo et al. (2012),
pencemaran udara di Kota Bekasi disebabkan oleh 70% sektor transportasi, 20% sektor
industri, dan 10% sektor domestik. Berdasarkan hasil pengujian kualitas udara ambien
di sepanjang tepi jalan Kota Bekasi selama tiga periode di tahun 2011 diketahui bahwa
parameter CO relatif meningkat. Hampir semua parameter CO di sepanjang titik
pengamatan meningkat sampai batas baku mutu yang ditentukan. Berdasarkan data
sekunder konsentrasi CO tahun 2010, konsentrasi CO tinggi pada pagi dan sore hari
serta lebih rendah pada siang dan malam hari. Kualitas udara ambien di Kota Bekasi
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya jumlah konsentrasi polutan yang diuji terutama pada konsentrasi CO.
Kemudian, Daniel (2019) mengukur kualitas udara di 30 titik Jalan Raya Kota Bekasi
25

menggunakan parameter PM10. Berdasarkan pengukuran kualitas udara ambien pada 30


titik lokasi di Kota Bekasi, pada periode I (10-17 November 2016) terdapat 9 titik lokasi
yang kualitas udaranya tercemar. Kemudian, pada periode II (24 November-7 Desember
2016) masih terdapat titik lokasi yang kualitas udaranya tercemar yakni berjumlah 5
titik lokasi. Lalu, berdasarkan hasil pemantauan yang telah dilakukan BPLH pada tahun
2018 menunjukkan bahwa nilai CO tertinggi pada periode I (bulan Mei) dan periode II
(bulan Agustus) terjadi di Terminal Bus Kota Bekasi dengan nilai CO secara berturut
turut 3895 dan 4239 μg/Nm3 (Apriani et al., 2018). Selanjutnya dalam hal pemantauan
kualitas udara, di Kota Bekasi hanya memiliki satu SPKU. Menurut Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (n.d.), SPKU Kota Bekasi berlokasi di Jalan Ahmad
Yani, Kota Bekasi, Jawa Barat. SPKU tersebut memberikan informasi kualitas udara
melalui ISPU dengan parameter PM2,5 dalam waktu pengukuran satu jam.

2.4. Metode Interpolasi: IDW

Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai
pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan
bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan atribut ini saling
berhubungan (dependence) secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan
bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitarnya
dan nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip dari pada nilai pada titik-titik
yang lebih jauh. Dengan demikian, logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai
titik observasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati)
dibandingkan dengan nilai titik yang lebih jauh (McHaffie et al., 2018).
Salah satu metode interpolasi adalah Inverse Distance Weight (IDW). Metode
IDW memiliki pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak dan
memberikan bobot yang lebih besar pada sel yang terdekat dibandingkan sel yang lebih
jauh. Metode IDW mengasumsikan bahwa sesuatu yang saling berdekatan akan lebih
serupa dibandingkan dengan yang saling berjauhan (Lloyd, 2010). Untuk menaksir
sebuah nilai di setiap lokasi yang tidak diukur, IDW akan menggunakan nilai-nilai yang
mengitari lokasi yang akan ditaksir tersebut. Metode IDW mengasumsikan bahwa
tingkat korelasi dan kemiripan antara titik yang ditaksir dengan data penaksir adalah
26

proporsional terhadap jarak. Bobot akan berubah secara linier sebagai fungsi seper
jarak, sesuai dengan jaraknya terhadap data penaksir. Bobot ini tidak dipengaruhi oleh
posisi atau letak dari data penaksir dengan data penaksir yang lain. Faktor penting yang
memengaruhi hasil penaksiran antara lain adalah actor power dan radius di sekitar
(neighboring radius) atau jumlah data penaksir (Pasaribu dan Haryani, 2012).
Metode IDW umumnya dipengaruhi oleh inverse jarak yang diperoleh dari
persamaan matematika. Pada metode IDW nilai power action menentukan pengaruh
terhadap titik-titk input, dimana pengaruh akan lebih besar pada titik-titik yang lebih
dekat sehingga menghasilkan permukaan yang lebih detail. Sebaliknya, pengaruh akan
lebih kecil dengan bertambahnya jarak. Jika nilai power action diperbesar berarti nilai
ouput menjadi lebih terlokalisasi dan memiliki nilai rata-rata yang rendah, sedangkan
penurunan nilai power action akan memberikan nilai output dengan rata-rata yang lebih
besar karena akan memberikan pengaruh untuk area yang lebih luas (Shekhar dan
Xiong, 2008).
Kelebihan metode IDW adalah karakteristik interpolasi dapat dikontrol dengan
membatasi titik-titik input yang digunakan dalam proses interpolasi. Titik-titik yang
terletak jauh dari titik sampel dan yang diperkirakan memiliki korelasi spasial yang
kecil atau bahkan tidak memiliki korelasi spasial dapat dihapus dari perhitungan. Titik-
titik yang digunakan dapat ditentukan secara langsung atau ditentukan berdasarkan jarak
yang ingin diinterpolasi. Lalu, kelemahan metode IDW adalah tidak dapat mengestimasi
nilai yang lebih besar dari nilai maksimum dan nilai lebih rendah dari nilai minimum
dari titik-titik sampel (Pasaribu dan Haryani, 2012).

2.5. Penelitian Terdahulu


Berikut adalah ringkasan beberapa penelitian yang membantu peneliti
menyelesaikan penelitian ini.
1. Keterkaitan Polutan Udara dan Suhu Permukaan Daratan serta Distribusinya di
DKI Jakarta (Tesis)
Penulis: Nurkhamila Risala
Program studi: Geografi, FMIPA UI
Tahun publikasi: 2011
27

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keterkaitan konsentrasi polutan udara


dengan suhu permukaan daratan dan mengetahui distribusi spasial polutan udara
dengan membuat model spasial distribusi polutan udara di DKI Jakarta. Data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah koordinat sebagian lokasi SPKU di
DKI Jakarta, data administrasi, jaringan jalan, jaringan sungai, suhu permukaan
daratan, konsentrasi polutan, curah hujan, dan luas penggunaan tanah.
Selanjutnya, analisis data menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment,
uji regresi sederhana, dan analisis keruangan berbasis grid.
2. Pengujian Kualitas Udara Ambien Jalan Raya Kota Bekasi (Tesis)
Penulis: Wibowo, Teguh Bambang Setyo Suharsono, Heny Sulong, Dzulfiqar
Khaidir
Program studi: Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB
Tahun publikasi: 2012
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualitas udara ambien di sepanjang
tepi jalan Kota Bekasi selama tiga periode di tahun 2011. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa terdapat dua parameter yang relatif meningkat yaitu
TSP/debu dan CO. Untuk hampir semua parameter CO sepanjang titik
pengamatan meningkat sampai batas baku mutu yang ditentukan. Parameter TSP
mengalami peningkatan yang sangat tinggi sepanjang tahun 2011. Hampir titik
TSP melebihi baku mutu. Berdasarkan data sekunder konsentrasi CO tahun
2010, konsentrasi CO tinggi pada pagi dan sore hari serta lebih rendah pada
siang dan malam hari. Kualitas udara ambien di kota Bekasi dari tahun 2009
sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan seiring dengan meningkatnya
jumlah konsentrasi polutan yang diuji terutama pada konsentrasi CO dan TSP.
3. Pemodelan Spasial Kualitas Udara di Kota Bekasi (Jurnal)
Penulis: Khairunnisa Apriani, Adi Wibowo, Sobirin
Program studi: Geografi, FMIPA UI
Tahun publikasi: 2018
Penelitian bertujuan untuk menciptakan model spasial kualitas udara yang dapat
menggambarkan distribusi konsentrasi polutan udara di Kota Bekasi. Pemodelan
tersebut didasarkan pada analisis spasial uji korelasi antara polutan udara (CO
dan TSP) dengan suhu permukaan daratan, kerapatan bangunan dan kerapatan
28

vegetasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah koordinat dari titik
lokasi pemantau kualitas udara di Kota Bekasi, batas administrasi, luas
penggunaan tanah, curah hujan, lokasi SPKU, konsentrasi polutan, suhu
permukaan daratan, kerapatan bangunan, dan kerapatan vegetasi. Kemudian,
pengolahan data menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1, ENVI 5.1, SPSS
22, dan Microsoft Excel 2016. Lalu, analisis data menggunakan metode korelasi
statistik yaitu uji korelasi Pearson Product Moment untuk mengetahui seberapa
besar hubungan antara konsentrasi polutan (CO dan TSP) terhadap suhu
permukaan daratan, kerapatan vegetasi dan kerapatan bangunan, uji regresi
multipel sederhana untuk untuk mendapatkan model spasial konsentrasi polutan
yang berkorelasi dengan suhu permukaan, kerapatan bangunan dan kerapatan
vegetasi, serta metode IDW.
4. Pemodelan Spasial Distribusi Karbon Monoksida di Kota Bandung (Jurnal)
Penulis: Faza Arista, Ratna Saraswati, Adi Wibowo
Program studi: Geografi, FMIPA UI
Tahun publikasi: 2019
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara spasial distribusi polutan di
Kota Bandung dan hubungannya dengan pola persebaran suhu permukaan
daratan, kerapatan bangunan dan kerapatan vegetasi. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah suhu permukaan daratan, indeks vegetasi, kerapatan
bangunan, batas administrasi, dan konsentrasi polutan. Dalam pengolahan data
tersebut, penelitian ini menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4 dan ENVI
5.1. Kemudian, analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode IDW,
metode korelasi statistik yaitu uji korelasi Pearson Product Moment untuk
mengetahui hubungan antara konsentrasi polutan (CO dan PM 10) dengan suhu
permukaan daratan, kerapatan bangunan dan kerapatan vegetasi, serta uji regresi
sederhana untuk mendapatkan model spasial konsentrasi polutan.
5. Analisis Pencemaran Udara di Kota Bekasi (Studi Kelembaban Terhadap
Konsentrasi Particulate Matter (PM10) Pada Titik Jalan Raya Kota Bekasi)
(Tesis)
Penulis: Arwin Gesyan Daniel
29

Program studi: Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Bhayangkara


Jakarta Raya
Tahun publikasi: 2019
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil analisis korelasi kelembaban
terhadap nilai konsentrasi PM10 di Kota Bekasi. Pengambilan sampel udara
ambien dilakukan dua periode yaitu periode I pada 10-17 November 2016 dan
periode II pada 24 November-7 Desember 2016. Kedua periode tersebut
dilakukan pada kondisi yang sama yakni saat tidak terjadi hujan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif korelasional dengan
pendekatan kuantitatif serta metode regresi linier sederhana.
30

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Alur Pikir


Penelitian ini berangkat dari peran Kota Bekasi sebagai salah satu kota besar di
Indonesia yang ditandai dengan jumlah komuter dan kendaraan yang relatif banyak.
Akibatnya, kualitas udara di Kota Bekasi menjadi rentan untuk tercemar. Bahkan,
beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa di Kota Bekasi terjadi pencemaran
udara (nilai konsentrasi polutan udara melebihi batas baku mutu udara atau BMUA).
Untuk mengatasi pencemaran udara tersebut maka perlu diketahui sumber-sumber
pencemaran udara, salah satunya adalah sektor transportasi. Dengan diketahuinya data
konsentrasi polutan udara serta volume kendaraan maka dapat diketahui persamaan
untuk mengestimasi kualitas udara di Kota Bekasi. Dari persamaan tersebut nantinya
akan dibuat model spasial kualitas udara di Kota Bekasi sehingga dapat dijadikan dasar
bagi pemerintah untuk memutuskan kebijakan pengendalian pencemaran udara.

Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian


31

3.2. Alur Kerja


Berikut merupakan alur kerja dalam penelitian ini.

Gambar 3.2. Alur Kerja Penelitian

3.3. Waktu dan Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kota Bekasi. Penelitian ini dilakukan di sepanjang
jalan arteri di Kota Bekasi. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 5 Tahun
2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2015-2035, jalan arteri di
Kota Bekasi meliputi Jalan Sudirman, Jalan Sultan Agung, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan
Cut Meutia, Jalan M. Joyomartono, Jalan Siliwangi, Jalan Jend. Ahmad Yani, Jalan I
32

Gusti Ngurah Rai, Jalan Chairil Anwar, Jalan Noer Ali utara, Jalan Noer Ali selatan,
Jalan samping tol JORR Cikunir, Jalan Mayor Hasibuan, Jalan Jati Asih-Bojong
Menteng, Jalan Pahlawan, Jalan Pekayon Jaya, dan Jalan R. A Kartini. Kemudian,
berdasarkan observasi melalui fitur Layer “Lalu Lintas” di Google Maps diketahui
bahwa terdapat beberapa jalan arteri yang memiliki kesamaan aktivitas lalu lintas.
Observasi tersebut berdasarkan keadaan lalu lintas biasanya di hari Senin pukul 08.00
pagi. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa Jalan Siliwangi dan Jalan Jend.
Ahmad Yani memiliki kecepatan lalu lintas berwarna hijau (tidak ada kemacetan lalu
lintas). Kemudian, Jalan Sudirman, Jalan Sultan Agung, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Noer
Ali utara, Jalan Noer Ali selatan, Jalan Pahlawan, Jalan Pekayon Jaya, dan Jalan R. A
Kartini memiliki kecepatan lalu lintas berwarna oranye (lalu lintas agak padat). Lalu,
Jalan Cut Meutia, Jalan M. Joyomartono, Jalan Chairil Anwar, Jalan samping tol JORR
Cikunir, Jalan Mayor Hasibuan, dan Jalan Jati Asih-Bojong Menteng memiliki
kecepatan lalu lintas berwarna merah (terjadi kemacetan lalu lintas), serta Jalan I Gusti
Ngurah Rai memiliki kecepatan lalu lintas berwarna merah gelap (terjadi kemacetan
lalu lintas dan semakin lambat). Mengingat beberapa jalan memiliki kecepatan lalu
lintas yang sama maka penelitian ini dilakukan di beberapa ruas jalan arteri saja yakni
Jalan Sultan Agung (wilayah utara), Jalan Ir. H. Juanda (wilayah timur), Jalan Noer Ali
utara (wilayah barat), Jalan Pekayon Jaya (wilayah selatan), dan Jalan I Gusti Ngurah
Rai (wilayah utara). Penelitian dilakukan selama 1 November 2021 hingga 31 Januari
2022.
33

Gambar 3.3. Peta Wilayah Penelitian

3.4. Pengumpulan Data


Dalam mencapai tujuan penelitian ini diperlukan data primer dan data sekunder.
Berikut merupakan pengumpulan data penelitian ini.

Tabel 3.1. Pengumpulan Data

Jenis Data Sumber

Lokasi SPKU Kota Bekasi, SPKU Kelapa BPLH Kota Bekasi dan DLH DKI Jakarta
Gading (Jakarta Utara), dan SPKU Lubang
Buaya (Jakarta Timur)

Volume kendaraan Survei lapangan

Batas administrasi Peta RBI Skala 1:25.000 dari BPN Kota


Bekasi

Jaringan jalan Peta Kota Bekasi 25K Badan Informasi


Geospasial (2021)
34

Konsentrasi polutan (PM10, PM2,5, SO2, CO, Hasil pengukuran Stasiun Pemantau
O3, NO2, dan HC) dalam waktu pengukuran Kualitas Udara (SPKU) BPLH Kota
satu jam Bekasi dan DLH DKI Jakarta

Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa data primer dalam penelitian ini antara
lain lokasi SPKU dan volume kendaraan, sedangkan data sekunder terdiri dari batas
administrasi, jaringan jalan, dan konsentrasi polutan. Data primer diperoleh dengan
survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah terkait
melalui teknik studi literatur/instansional.

3.5. Pengolahan Data


3.5.1. Jalan Arteri

Setelah diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (2021), data jalan arteri
diolah menggunakan perangkat lunak ArcMap. Perlu diketahui bahwa, data
jaringan jalan dari Badan Informasi Geospasial (2021) terdiri dari jalan arteri,
jalan kolektor, jalan lain, jalan lokal, jalan setapak, jalan tol dua jalur dengan
pemisah fisik, jalan tol dua jalur dengan pemisah fisik, dan jalan tol layang.
Namun, penelitian ini hanya menggunakan jalan arteri saja. Setelah diolah
menggunakan ArcMap, data jalan arteri divalidasi menggunakan Google Earth
dan daftar ruas jalan arteri menurut Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 5 Tahun
2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2015-2035 untuk
mengetahui kesesuaian data jalan arteri dengan kondisi di lapangan. Setelah itu,
pengolahan data dilanjutkan dengan membuat peta jalan arteri di Kota Bekasi
menggunakan perangkat lunak ArcMap.

3.5.2. Volume Kendaraan

Volume kendaraan adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik


pengamatan dalam satuan waktu. Untuk menghitung volume kendaraan dapat
dilakukan dengan persamaan berikut.
n
V = . . . (1)
t
35

V = volume kendaraan yang melewati suatu titik (kendaraan/menit)


n = jumlah kendaraan yang melewati suatu titik dalam satuan waktu tertentu
t = interval waktu pengamatan (menit)

Untuk memperoleh data volume kendaraan dilakukan survei lapangan di beberapa


jalan arteri di Kota Bekasi. Jalan tersebut antara lain Jalan Sultan Agung (wilayah
utara), Jalan Ir. H. Juanda (wilayah timur), Jalan Noer Ali utara (wilayah barat),
Jalan Pekayon Jaya (wilayah selatan), dan Jalan I Gusti Ngurah Rai (wilayah
utara). Pengukuran volume kendaraan dilakukan dengan menghitung jumlah
kendaraan yang melewati jalan. Pengukuran dilakukan selama 15 menit pada
setiap jam sibuk (07.00-09.00 dan 17.00-19.00) di hari kerj. Pengukuran volume
kendaraan dilakukan secara manual menggunakan alat tulis (buku, pulpen), alat
pengukur waktu (stopwatch, jam tangan), dan alat perekam volume kendaran
(kamera). Setelah itu, data diolah dengan Microsoft Excel dan ArcMap untuk
menghasilkan peta rata-rata harian volume kendaraan di Kota Bekasi.

3.5.3. Konsentrasi Polutan

Data konsentrasi polutan diperoleh dari pengukuran SPKU Kota Bekasi,


SPKU Kelapa Gading (Jakarta Utara), dan SPKU Lubang Buaya (Jakarta Timur).
Konsentrasi polutan terdiri dari PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, NO2, dan HC dalam
waktu pengukuran satu jam. Kemudian, data tersebut diolah menggunakan
Microsoft Excel untuk menjadi data rata-rata harian dan dilanjutkan dengan
pembuatan peta kualitas udara menggunakan perangkat lunak ArcMap. Dalam
proses pembuatan peta tersebut digunakan interpolasi dengan metode IDW. Hal
tersebut karena dalam penelitian ini hanya menggunakan tiga lokasi pengumpulan
data yakni SPKU Kota Bekasi, SPKU Kelapa Gading (Jakarta Utara), dan SPKU
Lubang Buaya (Jakarta Timur) sehingga terdapat titik yang tidak diukur kualitas
udaranya dalam wilayah penelitian. Oleh karena itu, interpolasi dapat digunakan
untuk memprediksi data di titik yang tidak diukur.
36

3.6. Analisis Data


Penelitian ini menggunakan tiga metode analisis yaitu metode IDW, metode
korelasi dan regresi sederhana, serta deskriptif spasial. Sebagaimana telah dijelaskan di
atas, metode IDW digunakan untuk membuat peta rata-rata harian volume kendaraan
dan peta rata-rata harian konsentrasi polutan udara (PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, NO2, dan
HC). Hal tersebut karena lokasi pengambilan sampel volume kendaraan hanya di lima
lokasi pengukuran, sedangkan lokasi pengambilan data konsentrasi polutan udara
berasal dari tiga SPKU saja. Oleh karena itu, untuk memprediksi nilai titik yang tidak
diukur dapat digunakan metode IDW.
Penelitian ini juga menggunakan metode korelasi untuk mengetahui hubungan
antara volume kendaraan dengan konsentrasi polutan udara di Kota Bekasi. Penelitian
ini menggunakan uji korelasi Pearson Product Moment dengan konsentrasi polutan
udara sebagai variabel Y dan volume kendaraan sebagai variabel X. Setelah diketahui
hubungan antara volume kendaraan dan konsentrasi polutan udara di Kota Bekasi,
analisis data dilanjutkan dengan metode regresi sederhana untuk memperoleh
persamaan sehingga dapat diketahui estimasi kualitas udara berdasarkan persamaan
tersebut.
Model spasial kualitas udara yang dihasilkan lalu dianalisis menggunakan
metode deskriptif spasial. Secara singkat, metode deskriptif digunakan untuk
memberikan gambaran dan makna serta menginterpretasikan lokasi terjadinya
pencemaran udara di Kota Bekasi. Selain itu, metode deskriptif spasial juga digunakan
untuk mengetahui dimana lokasi terjadinya pencemaran udara di daerah Bekasi serta
mengidentifikasi karakteristik lokasi tersebut dengan mempertimbangan kondisi volume
kendaraan.
37

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Jurnal Penelitian


Adedeji, O.H., Oluwafunmilayo, O., Oluwaseun, T.A.O. (2016). Mapping of Traffic-
Related Air Pollution Using GIS Techniques in Ijebu-Ode, Nigeria. Indonesian
Journal of Geography, 48(1), 73-83.
Apriani, K., Wibowo, A., Sobirin. (2018). Pemodelan Spasial Kualitas Udara di Kota
Bekasi. Seminar Nasional Geografi dan Pembangunan Berkelanjutan.
Departemen Geografi, FMIPA UI.
Arista, F., Saraswati, R., Wibowo, A. (2019). Pemodelan Spasial Distribusi Karbon
Monoksida di Kota Bandung. Jurnal Geografi Lingkungan Tropik, 3(1), 21-31.
Compton, B.W. (2011). Sulfur Dioxide: Properties, Applications and Hazards. New
York City: Nova Science Publisher's.
Daniel, Arwin Gesyan (2019). Analisis Pencemaran Udara di Kota Bekasi (Studi
Kelembaban Terhadap Konsentrasi Particulate Matter (PM10) Pada Titik
Jalan Raya Kota Bekasi). Tesis, Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.
Fardiaz, Srikandi. (1992). Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisus.
Gurjar, B.R., Molina, L.T., Ojha, C.S.P. (2010). Air Pollution: Health and
Environmental Impacts. London: CRC Press.
Hadi, Bambang Syaeful. (2013). Metode Interpolasi Spasial dalam Studi Geografi
(Ulasan Singkat dan Contoh Aplikasinya). Majalah Ilmiah dan Informasi
Kegeografian, 11(2), 235-252.
Hayakawa, Kazuichi. (2018). Polycyclic Aromatic Hydrocarbons: Environmental
Behavior and Toxicity in East Asia. Gateway East: Springer Singapore.
Hazsya, Muttia., Nurjazuli., D., Hanan Lanang. (2018). Hubungan Konsentrasi CO dan
Faktor-Faktor Resiko Dengan Konsentrasi COHb Dalam Darah Pada
Masyarakat Berisiko Sepanjang Jalan Setiabudi Semarang. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 6(6), 241-250.
Heck, W. W. (1978). Methodology for The Assessment of Air Pollution Effect on
Vegetation. Pittersbugh: Air Pollution Control Association.
Hewitt, C.N. (1998). Reactive Hydrocarbons in the Atmosphere. London: Academic
Press.
38

Hollingsworth, J.W., Nadadur, S.S. (2015). Air Pollution and Health Effects. London:
Springer.
Ince, M., Ince, O.K. (2019). Hydrocarbon Pollution and Its Effect on the Environment.
London: IntechOpen.
Ismiyati, Marlita, D., Saidah, D. (2014). Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor. Jurnal Manajemen Transportasi dan Logistik, 1(3), 241-
248.
Koenig, J.Q. (2012). Health Effects of Ambient Air Pollution: How Safe is the Air We
Breathe?. New York City: Springer.
Kuo, Jeff. (2018). Air Pollution Control: Fundamentals and Applications. Boca Raton:
CRC Press.
Lloyd, C.D. (2010). Spatial Data Analysis: An Introduction for GIS Users. New York
City: Oxford University Press.
Lu, Yougeng. (2016). Traffic-related PM2.5 Air Pollution and Schools in Proximity to
Major Roadways in Shanghai, China. Seattle: University of Washington
Libraries.
McHaffie, P., Hwang, S., Follett, C. (2018). GIS: An Introduction to Mapping
Technologies. London: CRC Press.
Naddafi, K., Nabizadeh, R., Soltanianzadeh, R., Ehrampoosh, M.H. (2006). Evaluation
of Dustfall in The Air of Yazd, Iran. Journal of Environmental Health Science
and Engineering, 3(3), 161-168.
Noh, Kyungdeok., dkk. (2019). Particulate Matter in The Cultivation Area May
Contaminate Leafy Vegetables with Heavy Metals Above Safe Levels in
Korea. Environmental Science and Pollution Research, 26, 25762–25774.
Phalen, R.F., Phalen, R.N. (2013). Introduction to Air Pollution Science: A Public
Health Perspective. Burlington: Jones & Bartlett Learning.
Raub, J. A. (1999). Health Effects of Exposure to Ambient Carbon Monoxide. Global
Change Science, 1, 331-351.
Reis, Stefan. (2005). Costs of Air Pollution Control: Analyses of Emission Control
Options for Ozone Abatement Strategies. Stuttgart: Springer.
Guderian, Robert. (2012). Air Pollution by Photochemical Oxidants: Formation,
Transport, Control, and Effects on Plants. Berlin: Springer.
39

Pasaribu, J.M., Haryani, N.S. (2012). Perbandingan Teknik Interpolasi DEM SRTM
dengan Metode Inverse Distance Weighted (IDW), Natural Neighbor, dan
Spline. Jurnal Penginderaan Jauh, 9(2), 126-139.
Pohan, Nurhasmawaty. (2002). Pencemaran Udara dan Hujan Asam. Program Studi
Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Risala, N. (2011). Keterkaitan Polutan Udara dan Suhu Permukaan Daratan serta
Distribusinya di DKI Jakarta. Tesis, Universitas Indonesia.
Saxena, Pallavi., Sonwani, Saurabh. (2019). Criteria Air Pollutants and Their Impact
on Environmental Health. Gateway East: Springer Singapore.
Sallis, Philip. (2016). Air Quality: Measurement and Modeling. Rijeka: IntechOpen.
Sander, U.H.F., More, A.I. (1984). Sulphur, Sulphur Dioxide, and Sulphuric Acid: An
Introduction to Their Industrial Chemistry and Technology. London: British
Sulphur Corporation.
Schneider, T., Grant, L. (2013). Air Pollution by Nitrogen Oxides. Amsterdam: Elsevier
Science.
Shekhar, S., Xiong, H. (2008). Encyclopedia of GIS. New York City: Springer.
Singal, S.P. (2012). Air Quality Monitoring and Control Strategy. New Delhi: Alpha
Science International Limited.
Soedomo, M. (2009). Pencemaran Udara. Bandung: ITB.
Taylor. (1980). Oxidant Air Pollutant Effects on A Western Coniferous Forest
Ecosystem. Riverside: University of California.
Wardhana, W. (2009). Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI Offset.
Wardoyo, Arinto Y. P. (2016). Emisi Partikulat Kendaraan Bermotor dan Dampak
Kesehatan. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Wibowo, Suharsono, T.B.S., Sulong, H., Khaidir, D. (2012). Pengujian Kualitas Udara
Ambien Jalan Raya Kota Bekasi. Tesis, Institut Pertanian Bogor.
Widowati, W., Sutoyo, S. (2009). Upaya Mengurangi Penipisan Lapisan Ozon. Buana
Sains, 9(2), 141-146.
World Health Organization. (2006). WHO Air Quality Guidelines for Particulate
Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide, and Sulfur Dioxide. Geneva: WHO Press.
40

Publikasi Elektronik
Badan Informasi Geospasial. (2021). Peta Kota Bekasi 25K. Retrieved from
https://tanahair.indonesia.go.id/portal-web/download/perwilayah/downloadFile
Zip/download?namaFile=KOTABEKASI.zip
Badan Pusat Statistik (2019a). Statistik Komuter Jabodetabek 2019. Retrieved from
https://www.bps.go.id/publication/2019/12/04/eab87d14d99459f4016bb057/
statistik-komuter-jabodetabek-2019.html
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2019b). Statistik Lingkungan Hidup
Indonesia 2019. Retrieved from
https://www.bps.go.id/publication/2019/12/13/e11bfc8ff8392e5e13a8cff3/
statistik-lingkungan-hidup-indonesia-2019.html
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. (n.d.). Daftar Kendaraan Bermotor 2018-2020.
Retrieved from https://bekasikota.bps.go.id/indicator/17/70/1/daftar-kendaraan-
bermotor.html
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. (2021). Kota Bekasi Dalam Angka 2021. Retrieved
from
https://bekasikota.bps.go.id/publication/2021/02/26/d93e792ac92f8b00b513ea
2b/kota-bekasi-dalam-angka-2021.html
Erou, A., Fadhillah, F. (2019). Inventarisasi & Status Mutu Udara Ambien. Retrieved
from https://icel.or.id/wp-content/uploads/Revisi-Brief-ICEL-Inventarisasi-
dan-status-mutu-udara-ambien1-1.pdf
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (n.d.). Indeks Standar Pencemar
Udara. Retrieved from http://iku.menlhk.go.id/74/aqms/web/site/map
Vital Strategies. (2020). Menuju Udara Bersih Jakarta. Retrieved from
https://www.vitalstrategies.org/wp-content/uploads/Menuju-Udara-Bersih-
Jakarta.pdf
World Health Organization. (2020). Retrieved from
https://www.who.int/health-topics/air-pollution#tab=tab_1

Anda mungkin juga menyukai