UNIVERSITAS INDONESIA
PROPOSAL SKRIPSI
DWI TAMARA
1806136971
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI i
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Pernyataan Masalah & Pertanyaan Penelitian 2
1.3. Tujuan Penelitian 3
1.4. Manfaat Penelitian 3
1.5. Definisi Operasional dan Lingkup Penelitian 3
BAB II 5
TINJAUAN PUSTAKA 5
2.1. Pentingnya Udara Bersih 5
2.2. Zat-zat Polutan Udara 10
2.2.1. PM2,5 11
2.2.2. PM10 12
2.2.3. SO2 13
2.2.4. CO 14
2.2.5. O3 16
2.2.6. NO2 20
2.2.7. HC 22
2.3. Kota Bekasi 24
2.4. Metode Interpolasi: IDW 26
BAB III 31
METODOLOGI PENELITIAN 31
3.1. Alur Pikir 31
ii
DAFTAR PUSTAKA 38
1
BAB I
PENDAHULUAN
terdapat 9 titik lokasi yang kualitas udaranya tercemar. Kemudian, pada periode II (24
November-7 Desember 2016) masih terdapat titik lokasi yang kualitas udaranya
tercemar yakni berjumlah 5 titik lokasi.
Lebih lanjut, udara yang tercemar tersebut tidak hanya berdampak pada
lingkungan dan kesehatan, tetapi juga berdampak pada ekonomi. Pencemaran udara
dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, menghambat fotosistem, hingga
menghambat pertukaran gas dari permukaan bagian tanaman (Noh dkk., 2019). Selain
berdampak pada tanaman, pencemaran udara juga menimbulkan dampak pada hewan.
Pencemaran udara yang diakibatkan oleh PM 2,5 dapat meningkatkan peradangan sistem
saraf otonom jantung hewan. Pada manusia, pencemaran udara adalah penyebab utama
kematian dini dan penyakit secara global. Menurut data Badan Kesehatan Dunia atau
World Health Organization (WHO), pencemaran udara membunuh sekitar tujuh juta
orang di seluruh dunia setiap tahun. Data WHO menunjukkan bahwa 9 dari 10 orang
menghirup udara yang melebihi batas standar WHO (World Health Organization,
2020.). Kemudian, secara ekonomi, penyakit dan kematian karena pencemaran udara
tersebut dapat mengakibatkan kerugian ekonomi. Hal tersebut berkaitan dengan ongkos
sosial dari kematian dini serta biaya kesehatan dan kerugian ekonomi akibat hilangnya
produktivitas karena penyakit yang berkaitan dengan pencemaran udara seperti ISPA,
jantung koroner, asma, pneumonia, dan penyakit paru obstruktif kronis (Vital Strategies,
2020).
3) Baku mutu udara ambien (BMUA) adalah batas maksimum zat-zat polutan
dalam udara ambien. Dalam penelitian ini, baku mutu udara ambien yang
digunakan adalah BMUA nasional sebagaimana tercantum dalam Lampiran VII
Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
4) Zat-zat pencemar, dalam penelitian ini zat-zat polutan yang diukur terdiri dari
PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, dan NO2.
5) Kendaraan adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik
berupa mesin (kendaraan yang berjalan di atas rel, sepeda, pesawat tidak
termasuk ke dalam pengukuran volume kendaraan).
6) Volume kendaraan adalah jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik
pengamatan dalam satuan waktu tertentu.
7) Jalan arteri adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan dengan ukuran tidak
melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 milimeter dan muatan sumbu terberat 10 ton.
8) Interpolasi adalah metode memperkirakan nilai suatu titik yang tidak diukur atau
titik yang tidak memiliki nilai.
9) Inverse Distance Weighting (IDW) adalah salah satu metode interpolasi yang
didasarkan pada asumsi bahwa nilai titik yang tidak didata merupakan fungsi
jarak dari nilai rata-rata titik di sekitarnya.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
untuk sungguh-sungguh menjaga dan menjunjung tinggi hak rakyat tersebut agar
dapat bertindak lebih adil. Konstitusi menjamin dan memerintahkan pelaksanaan hak
atas udara bersih sebagai hak asasi semua orang yang harus dihormati oleh siapapun.
Oleh karena itu, penjaminan hak atas udara bersih seharusnya menjadi pengingat kepada
pemerintah sebagai pemegang kendali kegiatan pengelolaan lingkungan hidup untuk
membuat kebijakan pengendalian pencemaran udara agar terpeliharanya kualitas udara
bersih bagi setiap orang.
Berkaitan dengan konteks kualitas udara, suatu udara dikatakan tercemar jika
konsentrasi zat-zat polutan udara tersebut melebihi baku mutu udara ambien (BMUA).
Adapun yang dimaksud dengan BMUA adalah batas maksimum zat-zat polutan dalam
udara ambien. Adapun yang dimaksud dengan udara ambien adalah udara bebas di
permukaan bumi yang sehari-hari dihirup oleh makhluk hidup. Dalam menetapkan
kualitas udara tercemar atau tidak, berlaku dua BMUA yaitu BMUA nasional dan
daerah. BMUA nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien untuk
mencegah terjadinya pencemaran udara. Sedangkan BMUA daerah ditetapkan
berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan yang
dapat dibuat oleh pemerintah daerah, dalam hal ini adalah gubernur. BMUA daerah
ditetapkan dengan ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari BMUA nasional serta
berdasarkan pertimbangan status mutu udara ambien di daerah yang bersangkutan.
Apabila gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku
BMUA nasional. BMUA baik nasional maupun daerah dapat ditinjau kembali setelah
lima tahun (Quina & Erou, 2018). Penetapan angka BMUA nasional tercantum dalam
Lampiran VII Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam peraturan tersebut terdapat
tujuh parameter yang diatur dalam baku mutu udara ambien Indonesia yang berlaku
secara nasional.
7
Tabel 2.1. Baku Mutu Udara Ambien Nasional Menurut Lampiran VII Peraturan
Pemerintah No. 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
24 jam 75
1 tahun 45
1 tahun 50
1 tahun 35
μm (PM2,5)
1 tahun 15
Dengan demikian, pencemaran udara terjadi saat zat-zat polutan udara melampaui baku
mutu udara ambien di atas. Sebagai contoh, jika lokasi X memiliki konsentrasi SO 2
dalam waktu pengukuran satu jam sebesar 145 µg/m3 maka di lokasi X tidak terjadi
pencemaran udara karena konsentrasi SO2 di lokasi tersebut di bawah batas BMUA
nasional. Sebaliknya, jika lokasi Y memiliki konsentrasi SO2 dalam waktu pengukuran
satu jam sebesar 155 µg/m3 maka di lokasi Y terjadi pencemaran udara karena
konsentrasi SO2 di lokasi tersebut melebihi batas BMUA nasional
SPKU terdiri dari SPKU permanen dan bergerak (mobile station). SPKU
permanen dipasang di lokasi tertentu dan mengukur mutu udara ambien secara terus
menerus selama 24 jam sedangkan SPKU bergerak dipasang di lokasi tertentu dan
mengukur udara ambien minimal 7 hari secara terus-menerus. Menurut Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020, data kualitas udara yang disajikan oleh SPKU
berdasarkan parameter PM10, PM2,5, SO2, CO, O3, NO2, dan HC. Kemudian berdasarkan
lokasi pemantauannya, SPKU biasanya dipasang di pusat kota, latar kota, sub-urban,
industri, pedesaan; dan, lokasi lainnya yang mengarah kepada sumber polutan tertentu.
9
Dalam penempatan peralatan SPKU terdapat kriteria yang perlu dipenuhi antara lain
ditempatkan pada udara terbuka dengan sudut terbuka 120° terhadap penghalang,
ketinggian sampling inlet dari permukaan tanah untuk partikel dan gas paling sedikit
dua meter, dan jarak alat pemantau kualitas udara dari sumber emisi terdekat paling
sedikit 20 meter. SPKU ini sangat penting dalam pemantauan mutu udara ambien
karena SPKU yang memberikan data secara kontinu sehingga peranannya sangat besar
dalam penyajian data mutu udara ambien.
Tabel 2.2. Konversi Nilai Konsentrasi Parameter ISPU Menurut Peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020
Tabel 2.3. Kategori dan Penjelasan Nilai ISPU Menurut Peraturan Menteri Lingkungan
Hidup dan Kehutanan Nomor P.14/MENLHK/SETJEN/KUM.1/7/2020
Tidak Sehat Kuning 101 - 200 Tingkat kualitas udara yang bersifat
merugikan pada manusia, hewan dan
tumbuhan.
Sangat Tidak Merah 201 - 300 Tingkat kualitas udara yang dapat
Sehat meningkatkan risiko kesehatan pada
sejumlah segmen populasi yang terpapar.
menjadi hal penting untuk memberitahu publik mengenai kondisi kualitas udara di
lokasi mereka. Dengan diketahuinya informasi kualitas udara tersebut maka dapat
disusun langkah untuk memelihara kualitas udara tetap bersih dan sehat. Langkah
tersebut dapat berupa penanggulangan dan pemulihan mutu udara ambien (jika udara
tercemar) atau pertahanan dan peningkatan mutu udara ambien (jika udara tidak
tercemar). Oleh karena itu, informasi kualitas udara yang disajikan dalam bentuk model
spasial dapat menjadi pilihan bahkan sebagai dasar pengambilan keputusan oleh
pemerintah untuk menentukan upaya pengendalian pencemaran yang terjadi di suatu
lokasi tertentu.
2.2.1. PM2,5
partikel sekunder terjadi karena reaksi kimia di atmosfer, umumnya melawan arah
angin, dan jauh dari sumber emisi utama. Partikel sekunder terbentuk dari reaksi
partikel-partikel primer di atmosfer.
2.2.2. PM10
2.2.3. SO2
SO2 adalah gas tidak berwarna dengan bau yang tajam. Gas tersebut
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (batu bara dan minyak) dan
peleburan bijih mineral yang mengandung belerang. Sumber antropogenik utama
SO2 adalah pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung belerang untuk
pemanas rumah tangga, pembangkit listrik, dan kendaraan bermotor. Bahkan,
sepertiga dari jumlah sulfur yang terdapat di atmosfer merupakan hasil kegiatan
manusia dan kebanyakan dalam bentuk SO2 (Sander dan More, 1984).
Pencemaran SOx menimbulkan dampak terhadap manusia dan hewan, serta
kerusakan tanaman pada kadar 0,5 ppm atau setara dengan 0,001 μg/Nm 3.
Pengaruh SO2 terhadap pigmen fotosintesis sangat besar. Kerusakan klorofil
terjadi pada lichenes setelah diberi pemaparan dosis SO2 5 ppm atau 0,01 μg/Nm3.
Pada lichenes yang sensitif, pemaparan kronis dengan konsentrasi SO2 rendah
(0,0286 μg/Nm3) menyebabkan hilangnya klorofil. Kemudian, pada tumbuhan
secara umum konsentrasi yang tinggi dengan paparan 5 ppm atau setara dengan
14
0,01 μg/Nm3 selama 24 jam, gas SO2 dapat menyebabkan kerusakan pada klorofil
(Compton, 2011).
2.2.4. CO
menyebabkan gangguan pada detak jantung dan konduksi pada hewan yang sehat
serta mengalami gangguan jantung. Paparan CO juga dapat meningkatkan
kandungan COHb (karboksihemoglobin) yaitu senyawa kompleks stabil yang
terdiri dari karbon monoksida (CO) dan hemoglobin (Hb). Karboksihemoglobin
terbentuk di sel darah merah setelah hemoglobin berinteraksi dengan CO. Jika
seseorang terpapar dengan CO dalam jumlah yang rendah, kemampuan
hemoglobin untuk mengangkut oksigen menjadi terhambat karena
karboksihemoglobin lebih mudah terbentuk daripada oksihemoglobin (HbO2).
Selanjutnya, pada kadar CO yang berlebihan dapat menyebabkan kematian pada
hewan (Raub, 1999).
2.2.5. O3
Ozon merupakan salah satu gas penyusun atmosfer yang terdiri dari tiga
atom oksigen (O3). Ozon terdapat di dua wilayah atmosfer bumi yaitu di stratosfer
dan troposfer. 90% ozon terdapat di stratosfer, ozon tersebut terbentuk secara
alamiah melalui interaksi antara sinar ultraviolet dengan oksigen (O2). Lapisan ini
berperan sebagai filter photon yang mengurangi jumlah radiasi berbahaya untuk
mencapai permukaan bumi. Lalu, 10% lainnya ditemukan di troposfer, ozon
tersebut terbentuk melalui reaksi kimia antara oksida nitrogen (gas NOx) dan
senyawa organik volatil (VOC) dengan sinar matahari. Lapisan ozon di troposfer
berperan sebagai polutan udara yang dapat berpengaruh berbahaya pada sistem
pernapasan manusia, hewan, dan metabolisme tumbuhan (Widowati dan Sutoyo,
2009).
Gambar 2.2. Fenomena Tipburn (Ujung Gosok) pada Tanaman (Reis, 2005)
2.2.6. NO2
Nitrogen oksida (NOx) adalah senyawa kimia oksigen dan nitrogen yang
terbentuk melalui reaksi satu sama lain selama pembakaran pada suhu tinggi,
terutama pembakaran bahan bakar seperti minyak, solar, gas, dan bahan organik.
NOx adalah sebutan umum dari nitrogen oksida NO dan NO 2. Pada katalis
oksidasi, oksida nitrat (NO) dapat mudah bereaksi dengan oksigen berlebih
menjadi NO2. Dalam udara ambien, NO2 biasanya berasal dari pembakaran bahan
bakar. NO2 terbentuk dari emisi mobil, truk dan bus, pembangkit listrik, dan
peralatan off-road. NO2 adalah gas yang berbau tajam dan berwarna coklat
kemerahan. NO2 empat kali lebih berbahaya daripada NO (Wardoyo, 2016).
Kemudian bagi hewan, pada kadar NO2 yang lebih tinggi dari 100 ppm
dapat mematikan sebagian besar binatang dan 90% dari kematian tersebut
disebabkan oleh gejala pembengkakan paru (edema pulmonari). Kadar NO2
sebesar 800 ppm akan mengakibatkan 100% kematian pada binatang-binatang
yang diuji dalam waktu 29 menit atau kurang (Fardiaz, 1992). Pengaruh NO 2
lainnya yang membahayakan adalah meningkatnya kepekaan terhadap radang
saluran pernafasan yang dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100
μg/m3. Selain itu, senyawa ini juga dapat menyebabkan gangguan saraf pada
konsentrasi tinggi (Schneider dan Grant, 2013).
2.2.7. HC
hasil buangan lainnya. Apabila berupa cair maka HC akan membentuk semacam
kabut minyak dan apabila berbentuk padatan akan membentuk asap yang pekat
dan akhirnya menggumpal menjadi debu (Ince dan Ince, 2019). Pada umumnya,
hidrokarbon yang sering menimbulkan masalah dalam pencemaran udara adalah
yang yang berbentuk gas pada suhu atmosfer normal atau hidrokarbon yang
bersifat sangat volatil (mudah berubah menjadi gas) pada suhu tersebut. Sebagian
besar komponen tersebut mempunyai struktur yang sederhana yaitu mengandung
12 atom karbon atau kurang per molekul (Fardiaz, 1992).
Kemudian, untuk dampak secara umum, menurut data Badan Kesehatan Dunia
atau World Health Organization (WHO), pencemaran udara membunuh sekitar tujuh
juta orang di seluruh dunia setiap tahun. Data WHO menunjukkan bahwa 9 dari 10
orang menghirup udara yang melebihi batas standar WHO. WHO juga memperkirakan
25% hingga 43% kematian dari penyakit tidak menular disebabkan oleh pencemaran
udara (World Health Organization, 2020). Pencemaran udara menyebabkan tiga juta
kematian dini di seluruh dunia dan di Indonesia diprediksi akan mencapai angka 15.700
jiwa/tahun. Estimasi biaya perawatan medis dari kasus-kasus tersebut mencapai Rp38,5
triliun. Bahkan, jika memasukkan perhitungan inflasi maka biaya tersebut akan setara
dengan Rp60,8 triliun pada tahun 2020 (Vital Strategies, 2020).
Panjang jalan di Kota Bekasi pada akhir tahun 2020 adalah 4.573,51 km. Jika
dirinci menurut jenis permukaan jalan maka sepanjang 4.542,87 km atau sebesar 99,33
persen sudah beraspal, 30,64 km atau 0,67 persen belum beraspal (Badan Pusat Statistik
Kota Bekasi, 2021). Selain itu, menurut Peraturan Walikota Bekasi No. 5 Tahun 2011
tentang Fungsi dan Kelas Jalan di Kota Bekasi, berdasarkan fungsinya pembagian jalan
meliputi jalan arteri (arteri primer dan sekunder), kolektor (kolektor primer dan
sekunder), serta jalan lokal. Jalan arteri adalah jalan yang dapat dilalui kendaraan
dengan ukuran tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter dan muatan sumbu terberat 10 ton.
Lalu, jalan kolektor yaitu jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan ukuran
tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 18.000 milimeter,
ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat sepuluh ton.
Selanjutnya, jalan lokal yaitu jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor dengan
ukuran tidak melebihi 2.500 milimeter, ukuran panjang tidak melebihi 12.000
milimeter, ukuran paling tinggi 4.200 milimeter, dan muatan sumbu terberat sepuluh
ton. Berdasarkan definisi tersebut terlihat bahwa jalan arteri memiliki peran penting
untuk memperlancar kegiatan perekonomian, memudahkan mobilitas penduduk dan
memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah ke daerah lain, serta menembus isolasi
suatu daerah untuk pemerataan pembangunan seluruh daerah. Berdasarkan Peraturan
Daerah Kota Bekasi No. 5 Tahun 2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi
24
Tahun 2015-2035, jalan arteri di Kota Bekasi meliputi Jalan Sudirman, Jalan Sultan
Agung, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Cut Meutia, Jalan M. Joyomartono, Jalan Siliwangi,
Jalan Jend. Ahmad Yani, Jalan I Gusti Ngurah Rai, Jalan Chairil Anwar, Jalan Noer Ali
utara, Jalan Noer Ali selatan, Jalan samping tol JORR Cikunir, Jalan Mayor Hasibuan,
Jalan Jati Asih-Bojong Menteng, Jalan Pahlawan, Jalan Pekayon Jaya, dan Jalan R. A
Kartini.
Selanjutnya, Kota Bekasi merupakan salah satu kota besar di Indonesia. Hal
tersebut ditandai dengan penduduknya yang berjumlah 2,54 juta jiwa pada 2020 (Badan
Pusat Statistik Kota Bekasi, 2021). Selain itu, perannya sebagai kota besar di Indonesia
juga dapat dilihat dari jumlah komuter yang berkegiatan di Kota Bekasi. Menurut Badan
Pusat Statistik (2019a), terdapat 166.197 komuter dari luar Kota Bekasi yang
berkegiatan utama di Kota Bekasi, dimana 62 persennya adalah komuter laki-laki dan
38 persennya adalah perempuan. Sebagian besar komuter tersebut berkegiatan utama
bekerja (63 persen), sisanya adalah sekolah (37 persen). Lalu berdasarkan jumlah
kendaraan bermotor, pada 2020 di Kota Bekasi terdapat 1.533.880 kendaraan bermotor.
Angka tersebut terdiri dari kendaraan bermotor milik pribadi, umum, dan pemerintah,
serta jenis kendaraan bermotor yang terdiri dari sedan, jeep, bus, microbus, truk, light
truck, alat berat, dan sepeda motor (Badan Pusat Statistik Kota Bekasi, n.d.).
Berdasarkan hal di atas dapat diketahui bahwa Kota Bekasi memiliki jumlah
komuter relatif tinggi dan jumlah kendaraan yang relatif tinggi juga. Hal tersebut akan
berdampak pada peningkatan aktivitas sektor transportasi darat dan pada akhirnya akan
berdampak pada kualitas udara di Kota Bekasi. Menurut Wibowo et al. (2012),
pencemaran udara di Kota Bekasi disebabkan oleh 70% sektor transportasi, 20% sektor
industri, dan 10% sektor domestik. Berdasarkan hasil pengujian kualitas udara ambien
di sepanjang tepi jalan Kota Bekasi selama tiga periode di tahun 2011 diketahui bahwa
parameter CO relatif meningkat. Hampir semua parameter CO di sepanjang titik
pengamatan meningkat sampai batas baku mutu yang ditentukan. Berdasarkan data
sekunder konsentrasi CO tahun 2010, konsentrasi CO tinggi pada pagi dan sore hari
serta lebih rendah pada siang dan malam hari. Kualitas udara ambien di Kota Bekasi
dari tahun 2009 sampai dengan tahun 2011 mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya jumlah konsentrasi polutan yang diuji terutama pada konsentrasi CO.
Kemudian, Daniel (2019) mengukur kualitas udara di 30 titik Jalan Raya Kota Bekasi
25
Interpolasi adalah suatu metode atau fungsi matematika yang menduga nilai
pada lokasi-lokasi yang datanya tidak tersedia. Interpolasi spasial mengasumsikan
bahwa atribut data bersifat kontinu di dalam ruang (space) dan atribut ini saling
berhubungan (dependence) secara spasial. Kedua asumsi tersebut mengindikasikan
bahwa pendugaan atribut data dapat dilakukan berdasarkan lokasi-lokasi di sekitarnya
dan nilai pada titik-titik yang berdekatan akan lebih mirip dari pada nilai pada titik-titik
yang lebih jauh. Dengan demikian, logika dalam interpolasi spasial adalah bahwa nilai
titik observasi yang berdekatan akan memiliki nilai yang sama (mendekati)
dibandingkan dengan nilai titik yang lebih jauh (McHaffie et al., 2018).
Salah satu metode interpolasi adalah Inverse Distance Weight (IDW). Metode
IDW memiliki pengaruh yang bersifat lokal yang berkurang terhadap jarak dan
memberikan bobot yang lebih besar pada sel yang terdekat dibandingkan sel yang lebih
jauh. Metode IDW mengasumsikan bahwa sesuatu yang saling berdekatan akan lebih
serupa dibandingkan dengan yang saling berjauhan (Lloyd, 2010). Untuk menaksir
sebuah nilai di setiap lokasi yang tidak diukur, IDW akan menggunakan nilai-nilai yang
mengitari lokasi yang akan ditaksir tersebut. Metode IDW mengasumsikan bahwa
tingkat korelasi dan kemiripan antara titik yang ditaksir dengan data penaksir adalah
26
proporsional terhadap jarak. Bobot akan berubah secara linier sebagai fungsi seper
jarak, sesuai dengan jaraknya terhadap data penaksir. Bobot ini tidak dipengaruhi oleh
posisi atau letak dari data penaksir dengan data penaksir yang lain. Faktor penting yang
memengaruhi hasil penaksiran antara lain adalah actor power dan radius di sekitar
(neighboring radius) atau jumlah data penaksir (Pasaribu dan Haryani, 2012).
Metode IDW umumnya dipengaruhi oleh inverse jarak yang diperoleh dari
persamaan matematika. Pada metode IDW nilai power action menentukan pengaruh
terhadap titik-titk input, dimana pengaruh akan lebih besar pada titik-titik yang lebih
dekat sehingga menghasilkan permukaan yang lebih detail. Sebaliknya, pengaruh akan
lebih kecil dengan bertambahnya jarak. Jika nilai power action diperbesar berarti nilai
ouput menjadi lebih terlokalisasi dan memiliki nilai rata-rata yang rendah, sedangkan
penurunan nilai power action akan memberikan nilai output dengan rata-rata yang lebih
besar karena akan memberikan pengaruh untuk area yang lebih luas (Shekhar dan
Xiong, 2008).
Kelebihan metode IDW adalah karakteristik interpolasi dapat dikontrol dengan
membatasi titik-titik input yang digunakan dalam proses interpolasi. Titik-titik yang
terletak jauh dari titik sampel dan yang diperkirakan memiliki korelasi spasial yang
kecil atau bahkan tidak memiliki korelasi spasial dapat dihapus dari perhitungan. Titik-
titik yang digunakan dapat ditentukan secara langsung atau ditentukan berdasarkan jarak
yang ingin diinterpolasi. Lalu, kelemahan metode IDW adalah tidak dapat mengestimasi
nilai yang lebih besar dari nilai maksimum dan nilai lebih rendah dari nilai minimum
dari titik-titik sampel (Pasaribu dan Haryani, 2012).
vegetasi. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah koordinat dari titik
lokasi pemantau kualitas udara di Kota Bekasi, batas administrasi, luas
penggunaan tanah, curah hujan, lokasi SPKU, konsentrasi polutan, suhu
permukaan daratan, kerapatan bangunan, dan kerapatan vegetasi. Kemudian,
pengolahan data menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.1, ENVI 5.1, SPSS
22, dan Microsoft Excel 2016. Lalu, analisis data menggunakan metode korelasi
statistik yaitu uji korelasi Pearson Product Moment untuk mengetahui seberapa
besar hubungan antara konsentrasi polutan (CO dan TSP) terhadap suhu
permukaan daratan, kerapatan vegetasi dan kerapatan bangunan, uji regresi
multipel sederhana untuk untuk mendapatkan model spasial konsentrasi polutan
yang berkorelasi dengan suhu permukaan, kerapatan bangunan dan kerapatan
vegetasi, serta metode IDW.
4. Pemodelan Spasial Distribusi Karbon Monoksida di Kota Bandung (Jurnal)
Penulis: Faza Arista, Ratna Saraswati, Adi Wibowo
Program studi: Geografi, FMIPA UI
Tahun publikasi: 2019
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara spasial distribusi polutan di
Kota Bandung dan hubungannya dengan pola persebaran suhu permukaan
daratan, kerapatan bangunan dan kerapatan vegetasi. Data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah suhu permukaan daratan, indeks vegetasi, kerapatan
bangunan, batas administrasi, dan konsentrasi polutan. Dalam pengolahan data
tersebut, penelitian ini menggunakan perangkat lunak ArcGIS 10.4 dan ENVI
5.1. Kemudian, analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode IDW,
metode korelasi statistik yaitu uji korelasi Pearson Product Moment untuk
mengetahui hubungan antara konsentrasi polutan (CO dan PM 10) dengan suhu
permukaan daratan, kerapatan bangunan dan kerapatan vegetasi, serta uji regresi
sederhana untuk mendapatkan model spasial konsentrasi polutan.
5. Analisis Pencemaran Udara di Kota Bekasi (Studi Kelembaban Terhadap
Konsentrasi Particulate Matter (PM10) Pada Titik Jalan Raya Kota Bekasi)
(Tesis)
Penulis: Arwin Gesyan Daniel
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Gusti Ngurah Rai, Jalan Chairil Anwar, Jalan Noer Ali utara, Jalan Noer Ali selatan,
Jalan samping tol JORR Cikunir, Jalan Mayor Hasibuan, Jalan Jati Asih-Bojong
Menteng, Jalan Pahlawan, Jalan Pekayon Jaya, dan Jalan R. A Kartini. Kemudian,
berdasarkan observasi melalui fitur Layer “Lalu Lintas” di Google Maps diketahui
bahwa terdapat beberapa jalan arteri yang memiliki kesamaan aktivitas lalu lintas.
Observasi tersebut berdasarkan keadaan lalu lintas biasanya di hari Senin pukul 08.00
pagi. Hasil observasi tersebut menunjukkan bahwa Jalan Siliwangi dan Jalan Jend.
Ahmad Yani memiliki kecepatan lalu lintas berwarna hijau (tidak ada kemacetan lalu
lintas). Kemudian, Jalan Sudirman, Jalan Sultan Agung, Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Noer
Ali utara, Jalan Noer Ali selatan, Jalan Pahlawan, Jalan Pekayon Jaya, dan Jalan R. A
Kartini memiliki kecepatan lalu lintas berwarna oranye (lalu lintas agak padat). Lalu,
Jalan Cut Meutia, Jalan M. Joyomartono, Jalan Chairil Anwar, Jalan samping tol JORR
Cikunir, Jalan Mayor Hasibuan, dan Jalan Jati Asih-Bojong Menteng memiliki
kecepatan lalu lintas berwarna merah (terjadi kemacetan lalu lintas), serta Jalan I Gusti
Ngurah Rai memiliki kecepatan lalu lintas berwarna merah gelap (terjadi kemacetan
lalu lintas dan semakin lambat). Mengingat beberapa jalan memiliki kecepatan lalu
lintas yang sama maka penelitian ini dilakukan di beberapa ruas jalan arteri saja yakni
Jalan Sultan Agung (wilayah utara), Jalan Ir. H. Juanda (wilayah timur), Jalan Noer Ali
utara (wilayah barat), Jalan Pekayon Jaya (wilayah selatan), dan Jalan I Gusti Ngurah
Rai (wilayah utara). Penelitian dilakukan selama 1 November 2021 hingga 31 Januari
2022.
33
Lokasi SPKU Kota Bekasi, SPKU Kelapa BPLH Kota Bekasi dan DLH DKI Jakarta
Gading (Jakarta Utara), dan SPKU Lubang
Buaya (Jakarta Timur)
Konsentrasi polutan (PM10, PM2,5, SO2, CO, Hasil pengukuran Stasiun Pemantau
O3, NO2, dan HC) dalam waktu pengukuran Kualitas Udara (SPKU) BPLH Kota
satu jam Bekasi dan DLH DKI Jakarta
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa data primer dalam penelitian ini antara
lain lokasi SPKU dan volume kendaraan, sedangkan data sekunder terdiri dari batas
administrasi, jaringan jalan, dan konsentrasi polutan. Data primer diperoleh dengan
survei lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah terkait
melalui teknik studi literatur/instansional.
Setelah diperoleh dari Badan Informasi Geospasial (2021), data jalan arteri
diolah menggunakan perangkat lunak ArcMap. Perlu diketahui bahwa, data
jaringan jalan dari Badan Informasi Geospasial (2021) terdiri dari jalan arteri,
jalan kolektor, jalan lain, jalan lokal, jalan setapak, jalan tol dua jalur dengan
pemisah fisik, jalan tol dua jalur dengan pemisah fisik, dan jalan tol layang.
Namun, penelitian ini hanya menggunakan jalan arteri saja. Setelah diolah
menggunakan ArcMap, data jalan arteri divalidasi menggunakan Google Earth
dan daftar ruas jalan arteri menurut Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 5 Tahun
2016 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota Bekasi Tahun 2015-2035 untuk
mengetahui kesesuaian data jalan arteri dengan kondisi di lapangan. Setelah itu,
pengolahan data dilanjutkan dengan membuat peta jalan arteri di Kota Bekasi
menggunakan perangkat lunak ArcMap.
DAFTAR PUSTAKA
Hollingsworth, J.W., Nadadur, S.S. (2015). Air Pollution and Health Effects. London:
Springer.
Ince, M., Ince, O.K. (2019). Hydrocarbon Pollution and Its Effect on the Environment.
London: IntechOpen.
Ismiyati, Marlita, D., Saidah, D. (2014). Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang
Kendaraan Bermotor. Jurnal Manajemen Transportasi dan Logistik, 1(3), 241-
248.
Koenig, J.Q. (2012). Health Effects of Ambient Air Pollution: How Safe is the Air We
Breathe?. New York City: Springer.
Kuo, Jeff. (2018). Air Pollution Control: Fundamentals and Applications. Boca Raton:
CRC Press.
Lloyd, C.D. (2010). Spatial Data Analysis: An Introduction for GIS Users. New York
City: Oxford University Press.
Lu, Yougeng. (2016). Traffic-related PM2.5 Air Pollution and Schools in Proximity to
Major Roadways in Shanghai, China. Seattle: University of Washington
Libraries.
McHaffie, P., Hwang, S., Follett, C. (2018). GIS: An Introduction to Mapping
Technologies. London: CRC Press.
Naddafi, K., Nabizadeh, R., Soltanianzadeh, R., Ehrampoosh, M.H. (2006). Evaluation
of Dustfall in The Air of Yazd, Iran. Journal of Environmental Health Science
and Engineering, 3(3), 161-168.
Noh, Kyungdeok., dkk. (2019). Particulate Matter in The Cultivation Area May
Contaminate Leafy Vegetables with Heavy Metals Above Safe Levels in
Korea. Environmental Science and Pollution Research, 26, 25762–25774.
Phalen, R.F., Phalen, R.N. (2013). Introduction to Air Pollution Science: A Public
Health Perspective. Burlington: Jones & Bartlett Learning.
Raub, J. A. (1999). Health Effects of Exposure to Ambient Carbon Monoxide. Global
Change Science, 1, 331-351.
Reis, Stefan. (2005). Costs of Air Pollution Control: Analyses of Emission Control
Options for Ozone Abatement Strategies. Stuttgart: Springer.
Guderian, Robert. (2012). Air Pollution by Photochemical Oxidants: Formation,
Transport, Control, and Effects on Plants. Berlin: Springer.
39
Pasaribu, J.M., Haryani, N.S. (2012). Perbandingan Teknik Interpolasi DEM SRTM
dengan Metode Inverse Distance Weighted (IDW), Natural Neighbor, dan
Spline. Jurnal Penginderaan Jauh, 9(2), 126-139.
Pohan, Nurhasmawaty. (2002). Pencemaran Udara dan Hujan Asam. Program Studi
Teknik Kimia, Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara.
Risala, N. (2011). Keterkaitan Polutan Udara dan Suhu Permukaan Daratan serta
Distribusinya di DKI Jakarta. Tesis, Universitas Indonesia.
Saxena, Pallavi., Sonwani, Saurabh. (2019). Criteria Air Pollutants and Their Impact
on Environmental Health. Gateway East: Springer Singapore.
Sallis, Philip. (2016). Air Quality: Measurement and Modeling. Rijeka: IntechOpen.
Sander, U.H.F., More, A.I. (1984). Sulphur, Sulphur Dioxide, and Sulphuric Acid: An
Introduction to Their Industrial Chemistry and Technology. London: British
Sulphur Corporation.
Schneider, T., Grant, L. (2013). Air Pollution by Nitrogen Oxides. Amsterdam: Elsevier
Science.
Shekhar, S., Xiong, H. (2008). Encyclopedia of GIS. New York City: Springer.
Singal, S.P. (2012). Air Quality Monitoring and Control Strategy. New Delhi: Alpha
Science International Limited.
Soedomo, M. (2009). Pencemaran Udara. Bandung: ITB.
Taylor. (1980). Oxidant Air Pollutant Effects on A Western Coniferous Forest
Ecosystem. Riverside: University of California.
Wardhana, W. (2009). Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI Offset.
Wardoyo, Arinto Y. P. (2016). Emisi Partikulat Kendaraan Bermotor dan Dampak
Kesehatan. Malang: Universitas Brawijaya Press.
Wibowo, Suharsono, T.B.S., Sulong, H., Khaidir, D. (2012). Pengujian Kualitas Udara
Ambien Jalan Raya Kota Bekasi. Tesis, Institut Pertanian Bogor.
Widowati, W., Sutoyo, S. (2009). Upaya Mengurangi Penipisan Lapisan Ozon. Buana
Sains, 9(2), 141-146.
World Health Organization. (2006). WHO Air Quality Guidelines for Particulate
Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide, and Sulfur Dioxide. Geneva: WHO Press.
40
Publikasi Elektronik
Badan Informasi Geospasial. (2021). Peta Kota Bekasi 25K. Retrieved from
https://tanahair.indonesia.go.id/portal-web/download/perwilayah/downloadFile
Zip/download?namaFile=KOTABEKASI.zip
Badan Pusat Statistik (2019a). Statistik Komuter Jabodetabek 2019. Retrieved from
https://www.bps.go.id/publication/2019/12/04/eab87d14d99459f4016bb057/
statistik-komuter-jabodetabek-2019.html
Badan Pusat Statistik Republik Indonesia. (2019b). Statistik Lingkungan Hidup
Indonesia 2019. Retrieved from
https://www.bps.go.id/publication/2019/12/13/e11bfc8ff8392e5e13a8cff3/
statistik-lingkungan-hidup-indonesia-2019.html
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. (n.d.). Daftar Kendaraan Bermotor 2018-2020.
Retrieved from https://bekasikota.bps.go.id/indicator/17/70/1/daftar-kendaraan-
bermotor.html
Badan Pusat Statistik Kota Bekasi. (2021). Kota Bekasi Dalam Angka 2021. Retrieved
from
https://bekasikota.bps.go.id/publication/2021/02/26/d93e792ac92f8b00b513ea
2b/kota-bekasi-dalam-angka-2021.html
Erou, A., Fadhillah, F. (2019). Inventarisasi & Status Mutu Udara Ambien. Retrieved
from https://icel.or.id/wp-content/uploads/Revisi-Brief-ICEL-Inventarisasi-
dan-status-mutu-udara-ambien1-1.pdf
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (n.d.). Indeks Standar Pencemar
Udara. Retrieved from http://iku.menlhk.go.id/74/aqms/web/site/map
Vital Strategies. (2020). Menuju Udara Bersih Jakarta. Retrieved from
https://www.vitalstrategies.org/wp-content/uploads/Menuju-Udara-Bersih-
Jakarta.pdf
World Health Organization. (2020). Retrieved from
https://www.who.int/health-topics/air-pollution#tab=tab_1