Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN AKHIR PRAKTIK

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRAKTIK


PERHITUNGAN EFISIENSI PARTIKULAT PADATAN DENGAN ESP
(ELECTRIC STATIC PRECIPITATOR)
SIMULATOR

TANGGAL PRAKTIK : SENIN, 4 MARET 2024


DISUSUN OLEH :
NAMA : RIFALDY BKAY
NPM : 220107067
KELAS : 2C TPPL

DOSEN PENGAMPU : AYU PRAMITA, S.T., M.M., M.Eng.

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN


TEKNIK PENGENDALIAN PENCEMARAN LINGKUNGAN
POLITEKNIK NEGERI CILACAP
CILACAP
MARET 2024
I. TUJUAN PRAKTIKUM
1.1 Tujuan
Dapat dapat mengetahui efisiensi dari pertikulat padatan dari suatu bahan dari
berbagai jenis partikulat yang dihasilkan Industri dengan menggunakan ESP
SIMULATOR skala laboratorium

II. DASAR TEORI


2.1 Pencemaran Udara
Pencemaran udara adalah masuknya atau tercampurnya unsur-unsur berbahaya ke
dalam atmosfir yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan sehingga
menurunkan kualitas lingkungan. Dengan demikian akan terjadi gangguan pada
kesehatan manusia (Simandjuntak, 2007). Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No 22 Tahun (2021) pasal 1 ayat 49, yang mana Pencemaran udara adalah
masuk atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lainnya ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia sehingga melampaui Baku Mutu Udara Ambien yang
telah ditetapkan. Udara ambien merupakan udara bebas di permukaan bumi pada
lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia yang
dibutuhkan dan berpengaruh terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup, dan unsur
Lingkungan Hidup lainnya.
Sedangkan ada beberapa pengertian pencemaran udara dari beberapa sumber buku:
1.) Menurut Soemarno (1999), pencemaran udara merupakan masuknya zat pencemar
(gas beracun dan aerosol) ke dalam atmosfer sehingga melampaui batas ambangnya
dan mengganggu kehidupan, hewan, dan tumbuhan.
2.) Menurut Wardhana (2004), pencemaran udara adalah adanya bahan-bahan atau zat-
zat asing di dalam udara yang menyebabkan terjadinya perubahan susunan
komposisi udara dari susunan atau keadaan normalnya.
3.) Menurut Seinfeld dan Pandis (2006), pencemaran udara adalah kondisi atmosfer
ketika suatu substansi konsentrasi pencemar melebihi batas konsentrasi udara
ambien normal yang menyebabkan dampak terukur pada manusia, hewan tumbuhan
dan material.
4.) Menurut Mukono (2008), pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau
substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal yang mencapai
sejumlah tertentu, sehingga dapat dideteksi oleh manusia (yang dapat dihitung dan
diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material.

2.1.1 Jenis-Jenis Pencemaran Udara


Dijelaskan dalam Simandjuntak (2007), zat-zat pencemar udara utama yang berasal
dari kegiatan manusia adalah sebagai berikut:

1.) Karbon Monoksida (CO)


Gas buang kendaraan bermotor merupakan sumber utama bagi karbon monoksida
di berbagai perkotaan. Data mengungkapkan bahwa 60%-70% pencemaran udara di
Indonesia disebabkan karena benda bergerak atau transportasi umum yang berbahan
bakar solar terutama berasal dari Metromini [5]. Formasi CO merupakan fungsi dari
rasio kebutuhan udara dan bahan bakar dalam proses pembakaran di dalam ruang bakar
mesin diesel. Percampuran yang baik antara udara dan bahan bakar terutama yang
terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan Turbocharge merupakan salah satu
strategi untuk meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang meningkat di
berbagai perkotaan dapat mengakibatkan turunnya berat janin dan meningkatkan
jumlah kematian bayi serta kerusakan otak. Karena itu strategi penurunan kadar karbon
monoksida akan tergantung pada pengendalian emisi seperti pengggunaan bahan
katalis yang mengubah bahan karbon monoksida menjadi karbon dioksida dan
penggunaan bahan bakar terbarukan yang rendah polusi bagi kendaraan bermotor.

2.) Nitrogen Oksida (NOx)


Sampai tahun 2000 NOx yang berasal dari alat transportasi laut di Jepang
menyumbangkan 38% dari total emisi NOx (25.000 ton/tahun) [4]. Gas NOx terbentuk
atas tiga fungsi yaitu ; Suhu (T), Waktu Reaksi (t), dan konsentrasi Oksigen (O2), NOx
= f (T, t, O2). Ada 3 teori yang mengemukakan terbentuknya NOx, yaitu :
a) Thermal NOx (Extended Zeldovich Mechanism) : Proses ini disebabkan gas
nitrogen yang beroksidasi pada suhu tinggi pada ruang bakar (>1800 K).
Thermal NOx ini didominasi oleh emisi NO (NOx → NO + NO2).
b) Prompt Nox : Formasi NOx ini akan terbentuk cepat pada zona pembakaran.
c) Fuel NOx : Nox formasi ini terbentuk karena kandungan N dalam bahan bakar.
Kira-kira 90% dari emisi NOx adalah disebabkan proses thermal NOx, dan tercatat
bahwa dengan penggunaan HFO (Heavy Fuel Oil), bahan bakar yang biasa digunakan
di kapal, menyumbangkan emisi NOx sebesar 20-30%. Nitrogen oksida yang ada di
udara yang dihirup oleh manusia dapat menyebabkan kerusakan paru-paru. Setelah
bereaksi dengan atmosfir zat ini membentuk partikel-partikel nitrat yang amat halus
yang dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Selain itu zat oksida ini jika bereaksi
dengan asap bensin yang tidak terbakar dengan sempurna dan zat hidrokarbon lain akan
membentuk ozon rendah atau kabut berawan coklat kemerahan yang menyelimuti
sebagian besar kota di dunia.

3.) Sulfur Oxide (SOx)


Emisi SOx terbentuk dari fungsi kandungan sulfur dalam bahan bakar, selain itu
kandungan sulfur dalam pelumas, juga menjadi penyebab terbentuknya Sox emisi.
Struktur sulfur terbentuk pada ikatan aromatic dan alkyl. Dalam proses pembakaran
sulfur dioxide dan sulfur trioxide terbentuk dari reaksi :
S + O2 → SO2
SO2 + ½ O2 → SO3
Kandungan SO3 dalam SOx sangat kecil sekali yaitu sekitar (1-5)%. Gas yang berbau
tajam tapi tidak berwarna ini dapat menimbulkan serangan asma, gas ini pun apabila
bereaksi di atmosfir akan membentuk zat asam. Badan kesehatan dunia (WHO)
menyatakan bahwa tahun 1997-2003 jumlah sulfur dioksida di udara telah mencapai
ambang batas.

4.) HydroCarbon (HC)


Emisi Hidrokarbon (HC) terbentuk dari bermacam-macam mesin yang merupakan
sumber pencemar. Penyebabnya adalah karena tidak terbakarnya bahan bakar secara
sempurna dan tidak terbakarnya minyak pelumas silinder. Emisi HC pada bahan bakar
HFO yang biasa digunakan pada mesin-mesin diesel besar akan lebih sedikit jika
dibandingkan dengan mesin diesel yang berbahan bakar Diesel Oil (DO). Emisi HC ini
berbentuk gas methan (CH4). Jenis emisi ini dapat menyebabkan leukemia dan kanker.

5.) Partikulat Matter (PM)


Partikel debu dalam emisi gas buang terdiri dari bermacam-macam komponen.
Bukan hanya berbentuk padatan tapi juga berbentuk cairan yang mengendap dalam
partikel debu. Pada proses pembakaran debu terbentuk dari pemecahan unsur
hidrokarbon dan setelah proses oksidasi. Dalam debu tersebut terkandung debu sendiri
dan beberapa kandungan metal oksida. Dalam kelanjutan proses ekspansi di atmosfir,
kandungan metal dan debu tersebut membentuk partikulat. Beberapa unsur kandungan
partikulat adalah karbon, SOF (Soluble Organic Fraction), debu, SO4, dan H2O.
Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal, tetapi
yang paling berbahaya adalah butiran-butiran halus sehingga dapat menembus bagian
terdalam paru-paru. Diketahui juga bahwa di beberapa kota besar di dunia perubahan
menjadi partikel sulfat di atmosfir banyak disebabkan karena proses oksida oleh
molekul sulfur.

2.2 Partikulat Debu


Menurut Widiastuti (2018), Debu merupakan partikulat padat yang berukuran
antara 1 mikron sampai dengan 100 mikron. Debu didefinisikan sebagai suatu sistem
disperse (aerosol) dari partikulat padat yang dihasilkan secara mekanik seperti crushing
(penghancuran), handling (penghalusan) atau grinding (penggerindaan). Berdasarkan
ukurannya, partikulat debu dibagi menjadi tiga kelompok yakni:
1.) Partikulat debu inhalable, merupakan partikulat debu yang dapat terhirup ke dalam
mulut atau hidung serta berbahaya bila tertimbun dimanapun dalam saluran
pernafasan.
2.) Partikulat debu thoracic, merupakan partikulat debu yang dapat masuk ke dalam
saluran pernafasan atas dan masuk ke dalam saluran udara di paru-paru.
3.) Partikulat debu respirable, adalah partikulat airborne yang dapat terhirup dan dapat
mencapai daerah bronchiola sampai alveoli di dalam sistem pernafasan. Partikulat
debu jenis ini berbahaya bila tertimbun di alveoli yang merupakan daerah
pertukaran gas di dalam sistem pernafasan.
Selain itu menurut Pudjiastuti, 2003 dalam Primasanti & Herawati, (2022),
menjelaskan bahwa debu adalah salah satu bahan yang dianggap menjadi partikel yang
melayang pada udara (Suspended Particulate Matter/ SPM). SPM mempunyai ukuran
1 mikron hingga 500 mikron. Pencemaran udara pada luar ruangan, debu sering
dijadikan galat satu indikator pencemaran yang dipakai untuk menerangkan taraf
bahaya baik terhadap lingkungan juga keselamatan & kesehatan pekerja.

2.2.1 Karakteristik Debu


Widiastuti, (2018) juga menambahkan karakteristik fisik partikulat yang paling
utama adalah ukuran dan distribusinya. Secara umum partikulat berdasarkan ukurannya
dibedakan atas dua kelompok, yaitu partikel halus (fine particles, ukuran kurang dari
2,5 μm) dan partikel kasar (coarse particles, ukuran lebih dari 2,5 μm). Perbedaan antara
partikel halus dan partikel kasar terletak pada sumber, asal pembentukan, mekanisme
penyisihan, sifat optiknya, dan komposisi kimianya. Partikel halus dan partikel kasar
ini dikelompokkan ke dalam partikel tersuspensi yang dikenal dengan Total Suspended
Particulate (TSP) yaitu partikel dengan ukuran partikel kurang dari 100 μm. Jumlah
partikel tersuspensi (TSP) adalah partikel kecil di udara seperti debu, fume, dan asap
dengan diameter kurang dari 100 μm yang dihasilkan dari kegiatan konstruksi,
pembakaran, dan kendaraan. Partikulat ini dapat terdiri atas zat organik dan anorganik.
Partikulat organik dapat berupa mikroorganisme seperti virus, spora dan jamur yang
melayang di udara.

2.2.2 Sifat-Sifat Debu


Debu adalah partikel yang dihasilkan oleh proses mekanis seperti penghancuran
batu, pengeboran, peledakan yang dilakukan pada tambang timah putih, tambang besi,
tambang batu bara, diperusahaan tempat menggerinda besi, pabrik besi dan baja dalam
proses sandblasting dan lain-lain. Debu yang terdapat dalam udara terbagi dua yaitu
deposit particulate matter yaitu partikel debu yang berada sementara di udara, partikel
ini segera mengendap akibat daya tarik bumi, dan suspended particulate matter yaitu
debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap. Deposit particulate metter
dan suspended particulate matter sering juga disebut debu total. Sifat-sifat debu adalah
:
1.) Sifat Pengendapan adalah sifat debu yang cenderung selalu mengendap karena gaya
gravitasi bumi. Namun karena kecilnya kadang-kadang debu ini relatif tetap berada
di udara. Debu yang mengendap dapat mengandung proporsi partikel yang lebih
dari pada yang ada diudara.
2.) Sifat Permukaan Basah sifat permukaan debu akan cenderung selalu basah, dilapisi
oleh lapisan air yang sangat tipis. Sifat ini penting dalam pengendalian debu dalam
tempat kerja.
3.) Sifat Penggumpalan Permukaan Permukaan debu yang selalu basah dapat
menjadikan debu menempel satu sama lain dan dapat menggumpal. Kelembaban di
bawah saturasi kecil pengaruhnya terhadap penggumpalan debu. Akan tetapi bila
tingkat humiditas di atas titik saturasi mempermudah penggumpalan. Oleh karena
partikel debu bisa merupakan inti dari air yang berkonsentrasi, partikel jadi besar.
4.) Sifat Listrik Statik Debu, Debu mempunyai sifat listrik statis yang dapat menarik
partikel lain yang berlawanan. Dengan demikian, partikel dalam larutan debu
mempercepat terjadinya proses penggumpalan.
5.) Sifat Opsis, Debu atau partikel basah/lembab lainnya dapat memancarkan sinar
yang dapat terlihat dalam kamar gelap. Debu tambang didefinisikan sebagai zat
padat yang terbagi halus. Partikel-partikel zat padat atau cairan yang berukuran
sangat kecil di dalam medium gas atau udara disebut aerosol misalnya asap, kabut
dan debu dalam udara. Agar dapat mengendalikan zat-zat berbutir dalam udara
tambang dengan baik, maka perlu dipahami sifat-sifat dasar sebagai berikut :
1. Zat-zat berbutir, baik cairan maupun padat yang menunjukkan kelakuan yang
serupa apabila dikandung dalam udara.
2. Butiran-butiran debu baik yang mengakibatkan penyakit maupun
ledakan/mudah terbakar berukuran <10mikron. Butiran-butiran yang berukuran
<5 mikron diklasifikasikan sebagai debu terhirup (respirable dust).
3. Butiran-butiran >10 tidak tinggal lama di dalam suspensi aliran udara.
4. Debu-debu tambang dan industri mempunyai karakteristik berukuran sangat
kecil, antara 0,5-3 mikron. Aktivitas kimianya meningkat dengan semakin
berkurangnya ukuran butir.
5. Debu di bawah ukuran 19 mikron yang menyebabkan akibat serius terhadap
kesehatan tidak mempunyai berat yang berarti atau lamban (inertia), dengan
demikian dapat tinggal sebagai suspensi dalam udara dan mustahil dapat
mengendap dari aliran udara.
6. Untuk mengendalikan debu halus tersebut (<10 mikron) yang telah mengapung
di dalam udara, memerlukan pengontrolan aliran udara dimana debu
bersuspensi.

2.2.3 Jenis-jenis Debu


Jenis debu terkait dengan daya larut dan sifat kimianya. Adanya perbedaan daya
larut dan sifat kimiawi ini, maka kemampuan mengendapnya di paru juga akan berbeda
pula. Demikian juga tingkat kerusakan yang ditimbulkannya juga akan berbeda pula.
Mengelompokkan partikel debu menjadi dua yaitu debu organik dan anorganik yang
dapat dilihat pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Jenis Debu yang dapat Menimbulkan


Gangguan Kesehatan pada Manusia
2.3 Alat Eletrostatic Precipitator (ESP)
Menurut Amalia dan Rosmalisa, 2017 dalam Laporan Tugas Akhir Pradita, (2022),
Menjelaskan bahwa Electrostatic Precipitator (ESP), juga dikenal sebagai scrubber
kering, adalah jenis filter yang menggunakan listrik statis untuk menghilangkan debu,
abu, dan jelaga dari gas buang boiler sebelum gas dikeluarkan dari chimney. Teknologi
ESP ini menggunakan prinsip muatan listrik untuk menangkap abu dari proses
pembakaran. ESP bekerja dengan memberikan muatan negatif pada abu-abu melalui
beberapa elektroda yang dikenal sebagai discharge elecrode. Abu secara alami akan
ditarik ke pelat jika dilewatkan lebih jauh ke dalam kolom yang terbuat dari pelat
bermuatan lebih positif (collecting electrode). Sistem rapper khusus menyebabkan pelat
jatuh dari sistem ESP setelah abu menumpuk di atasnya
Sedangkan menurut Afrian et al., (2015) Electrostatic precipitator atau yang disebut
ESP adalah suatu alat yang berfungsi sebagai alat penangkap abu atau Ash collection
pada industri dan berfungsi untuk mengurangi polusi yang ditimbulkan oleh hasil
pembakaran batubara dalam furnace. Winarno, 2020 dalam (Rofandi & Irwanto, 2022)
menjelaskan pada dasarnya Electrostatic Precipitator (ESP) ada 3 sistem utama yang
bekerja. Pertama proses ionisasi abu yang terkandung dalam gas buang,selanjutnya
proses collection abu yang telah terionisasi dan terakhir proses rapping abu yang
menempel pada collecting plate agar jatuh ke area hopper. Berikut proses terjadinya
medan elektrostatik pada ESP; 1). Pada ESP ada dua jenis elektrode, yaitu discharge
electrode (DE) berupa kawat baja yang diberi muatan negatif dan collecting electrode
(CE) berupa plat pengumpul yang diberi muatan positif. 2). Discharge electrode
ditempatkan antara plat pengumpul atau collecting electrode (CE). 3). Pada Discharge
electrode diberi arus listrik searah (DC) dengan muatan negatif, pada tingkat tegangan
diantara 55–75 KvDC. (sumber listrik yang pada awalnya 380V AC, dinaikkan pada
trafo menjadi sekitar 55–75 KvDC dan disearahkan menjadi arus DC menggunakan
rectifier, lalu hanya diambil potensial negatif saja). 4). Plat pengumpul di-grounding
supaya memiliki muatan positif. 5). Dengan demikian, pada saat discharge electrode
diberi arus DC maka medan listrik terbentuk pada ruang yang berisi tirai-tirai elektroda
tersebut dan partikel debu akan tertarik pada pelat tersebut (Sepfitrah & Rizal, 2015).

III. ALAT & BAHAN


3.1 Alat
1.) Dudukan dasar 6.) Kipas angin
2.) Catu daya HV 7.) Kabinet ESP
3.) VFD 8.) Nampan pengumpul
4.) Dua modul pengumpulan debu: A & B 9.) Timbangan
5.) Saluran 10.) Alat pengukuran jurusan angin

3.2 Bahan
1.) Kabel Penghubung 10 KV
2.) Serbuk uji: serbuk koolin 2 kg; serbuk talkum 1 kg; dan tepung jagung 2 kg.
3.) Kuas pembersih nomer 4
4.) Pompa peniup
IV. PROSEDUR PRAKTIKUM
4.1 Percobaan Pertama
1. Untuk percobaan media yang digunakan bubuk Kaolin. Ambil 50gms bubuk
kaolin dan masukkan ke dalam pengumpan.
2. Pasang pengumpan dengan tabung kompresor.
3. Sekarang, letakkan modul kolektor saluran ESP A di dalam kabinet ESP dengan
struktur yang dibersihkan.
4. Hubungkan kabel probe uji 'Merah' & 'Hitam' (positif dan negatif) masing-
masing ke pelat pengumpul dan elektroda.
5. Tutup pintu observasi transparan atas untuk memulai eksperimen.
6. Nyalakan sakelar listrik dan jalankan blower dengan menekan tombol RUN
pada VFD dan atur kecepatannya sekitar 350 RPM.
7. Nyalakan catu daya DC dengan memeriksa pembumian dan atur arus pada 0
mA dan tekan sakelar hijau (on). Tampilan menunjukkan 8 kv.
8. Deteksi korsleting mesin dengan mendengarkan dengan cermat suara percikan
api. Jika korsleting terjadi serius, pemutus sirkuit akan secara otomatis memutus
catu daya.
9. Nyalakan kompresor untuk memasukkan bubuk kaolin ke dalam saluran dan
biarkan bubuk mengalir selama 30 menit.
10. Setelah 30 menit, matikan kompresor dan matikan catu daya tegangan tinggi
dengan menekan tombol Merah (mati) dan kipas blower oleh PKS. (Kurangi
kecepatan nol dengan kenop dan tekan tombol stop). Matikan sakelar utama.
11. Lepaskan kabel 1 dan 2 (Merah dan Hitam) lalu buka pintu observasi transparan
atas kabinet ESP.
12. Biarkan pelat bebas muatan setelah pelepasan, lalu singkirkan partikel debu
dengan sikat dan kumpulkan ke dalam piring pengumpul dan timbang bubuk
yang dikumpulkan dan catat bacaan di meja observasi.
13. Hati-hati mengambil sisa bubuk tumpah dari saluran dan menimbang sama pada
timbangan analitis dan mencatat pembacaan di tabel observasi, saat melakukan
hal ini mencoba untuk mencegah partikel terperangkap jatuh ke tingkat
minimum.
14. Bersihkan modul kolektor saluran, dan kabinet ESP dan saluran udara dari
bubuk Kaolin.
15. Ulangi percobaan dengan tepung labirin, bedak dan tepung jagung, masing-
masing selama @ 15 ~ 30 menit.
16. Ulangi percobaan yang sama untuk kecepatan kipas @ 500 rpm & 700 rpm.
17. Menghitung efisiensi peralatan untuk berbagai jenis bubuk serta kecepatan yang
berbeda, dengan menggunakan bacaan yang diperoleh seperti di bawah ini.
4.2 Percobaan kedua
1. Untuk percobaan, media yang digunakan adalah bubuk kaolin. Ambil 50 gram
bubuk kaolin dan masukkan ke dalam pengumpan.
2. Pasang pengumpan dengan tabung kompresor.
3. Sekarang, letakkan modul pengumpul saluran ESP A di dalam kabinet ESP
dengan struktur yang sudah dibersihkan.
4. Hubungkan kabel probe uji 'Merah' & 'Hitam' (positif dan negatif) ke pelat
pengumpul dan elektroda masing-masing.
5. Tutup pintu pengamatan transparan bagian atas untuk memulai eksperimen.
6. Nyalakan sakelar listrik dan jalankan blower dengan menekan tombol RUN
pada VFD dan atur kecepatannya sekitar 350 RPM.
7. Nyalakan catu daya DC dengan memeriksa pembumian dan atur arus pada 0
mA dan dorong sakelar hijau (hidup). Layar menunjukkan 8 kv.
8. Mendeteksi adanya korsleting pada mesin dengan mendengarkan secara
seksama suara percikan api. Jika korsleting sirkuit terjadi secara serius,
pemutus sirkuit akan secara otomatis memutus catu daya.
9. Nyalakan kompresor untuk memasukkan bubuk kaolin ke dalam saluran dan
biarkan bubuk mengalir selama 30 menit.
10. Setelah 30 menit, matikan kompresor dan matikan catu daya tegangan tinggi
dengan menekan tombol Merah (mati) dan kipas blower dengan VFD.
(Kurangi kecepatan nol dengan kenop dan tekan tombol berhenti). Matikan
sakelar utama.
11. Lepaskan kabel 1 dan 2 (Merah dan Hitam) kemudian buka pintu observasi
transparan atas Kabinet ESP.

V. DATA HASIL PENGAMATAN


Lokasi : Gedung GTIL Politeknik Negeri Cilacap Lab. Teknologi Limbah
Hari/Tanggal : Senin/4 Maret 2024
Waktu : 13.00-15.30 WIB

5.1 Pengamatan Module A

Tabel 1. Hasil Pengamatan Module A


Sr Media Speed Flow Input Trapped Collected Efficiency
No. (RPM) rate (gram) (gram) output (%)
(m3/min) (gram)
1. Kaolin 350 139 50 20 12 40 %
500 209 50 18 14 43.75 %
700 280 50 6 11 25 %
2. Fine 350 139 50 15 17 48.57 %
flour 500 209 50 13 8 21.62 %
700 280 50 10 6 15 %
3. Talc 350 139 50 12 11 28.94 %
flour 500 209 50 11 8 20.51 %
700 280 50 5 5 11.11 %
4. Corn 350 139 50 9 17 41.46 %
flour 500 209 50 7 12 27.9 %
700 280 50 4 10 21.73 %

5.2 Pengamatan Module B

Tabel 2. Hasil Pengamatan Module B


Sr Media Speed Flow Input Trapped Collected Efficiency
No. (RPM) rate (gram) (gram) output (%)
(m3/min) (gram)
1. Kaolin 350 139 50 25 6 24 %
500 209 50 8 4 9.52 %
700 280 50 2 3 6.25 %
2. Fine 350 139 50 10 15 37.5 %
flour 500 209 50 8 8 19.04 %
700 280 50 6 6 13.63 %
3. Talc 350 139 50 7 5 11.62 %
flour 500 209 50 8 4 9.52 %
700 280 50 5 3 6.52 %
4. Corn 350 139 50 8 10 23.8 %
flour 500 209 50 6 9 20.45 %
700 280 50 3 7 14.89 %

VI. PERHITUNGAN
Perhitungan efisiensi dari tabel modul A dan modul B adalah sebagai berikut:
Rumus :
𝑃𝑜𝑤𝑑𝑒𝑟 𝐶𝑜𝑙𝑙𝑒𝑐𝑡𝑒𝑑
ղ=
𝑃𝑜𝑤𝑑𝑒𝑟 𝐷𝑒𝑙𝑖𝑣𝑒𝑟𝑒𝑑 − 𝑃𝑜𝑤𝑑𝑒𝑟 𝑇𝑟𝑎𝑝𝑝𝑒𝑑

6.1 Perhitungan Module A


• Kaolin flour
12 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 𝑥 100% = 40%
50 𝑔𝑟𝑎𝑚−20 𝑔𝑟𝑎𝑚

14 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−18 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 43,75%

11 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−6 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 25%

• Fine flour
17 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 𝑥 100% = 48,57%
50 𝑔𝑟𝑎𝑚−15 𝑔𝑟𝑎𝑚
8 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−13 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 21,62%

6 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−10 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 15%

• Talc powder
11 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−12 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 28,94%

8 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−11 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 40%

5 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−5 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 11,11%

• Corn powder
17 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−9 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 41,46%

12 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−7 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 27,9%

10 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−4 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 21,73%

6.2 Perhitungan Module B


• Kaulin Flour
6 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−25 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 24%

4 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−8 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 9,52%

3 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−2 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 6,25%

• Fine flour
15 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−10 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 37,5%

8 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−8 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 19,04%

6 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−6 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 13,63%

• Talc powder
5 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−7 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 11,62%
4 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−8 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 9,52%
3 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−5 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 6,52%

• Corn powder
10 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 350 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−8 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 23,8%

9 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 500 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−6 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 20,45%

7 𝑔𝑟𝑎𝑚
RPM 700 ղ = 50 𝑔𝑟𝑎𝑚−3 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 100% = 14,89%

VII. PEMBAHASAN HASIL PENGAMATAN


7.1 Perbandingan antara effisiensi module A dengan module B
Pada bagian pembahasan kali ini kami melakukan Praktikum Pengukuran Efisiensi
Media Embien dengan menggunakan alat Electrostatic Precipitator. Kelompok kami
melakukan praktik di Gedung GTIL Laboraturium Teknologi Limbah yang berada di
Politeknik Negeri Cilacap dengan hasil pengukuran pada berikut dibawah ini :
Dalam Modul A, pengujian dilakukan pada berbagai kecepatan putaran (RPM)
untuk bahan "Kaolin", "Fine Flour", "Talc Flour", dan "Corn Flour". Efisiensi
pengumpulan partikel pada RPM 350, 500, dan 700 untuk setiap jenis bahan di Modul
A adalah 40%, 43,75%, dan 25% untuk Kaolin, 48,57%, 21,62%, dan 15% untuk Fine
Flour, 28,94%, 20,51%, dan 11,11% untuk Talc Flour, dan 41,46%, 27,9%, dan 21,73%
untuk Corn Flour. Namun, pada Modul B dengan RPM yang sama, terdapat perbedaan
efisiensi yang signifikan, yaitu 24%, 9,52%, dan 6,25% untuk Kaolin, 37,5%, 19,04%,
dan 13,63% untuk Fine Flour, 11,62%, 9,52%, dan 6,52% untuk Talc Flour, dan 23,8%,
20,45%, dan 14,89% untuk Corn Flour. Selain itu, terdapat perbedaan yang mencolok
dalam jumlah partikel yang terkumpul dan terperangkap antara Modul A dan B untuk
setiap jenis bahan.
Ada empat jenis tepung yang akan digunakan dalam praktikum ini, yaitu fine flour,
corn flour, talc powder, dan kaolin powder. Fine flour memiliki tekstur padat yang
mudah hancur saat digenggam, dengan sedikit bintik hitam di dalam wadah. Corn flour,
atau yang dikenal juga sebagai tepung jagung, memiliki tekstur mirip dengan maizena
yang umumnya dijumpai di pasaran. Kaolin powder memiliki tekstur yang kasar dan
padat, mirip dengan bubuk deterjen atau sabun cuci. Sedangkan talc powder memiliki
tekstur yang halus seperti bedak dan cenderung mudah hancur saat disentuh.

7.2 Pengaruh Kecepatan dengan Efisiensi pada masing Module A dan Module B
Berdasarkan Hasil dari tabel Module A dan Module B, kecepatan tidak
berpengaruh terhadap efisiensi. Dapat dilihat pada tabel A dan tabel B bahwa semakin
tinggi kecepatan nya hasil dari efisiensinya semakin kecil. Dapat diketahui bahwa
dengan Kecepatan 350 RPM lebih besar nilai efisiensinya dibandingkan dengan
kecepatan 700 RPM. Dan menurut pengamatan saya terhadap kedua module tersebut
bahwa yang mempengaruhi nilai efisiensi menjadi tinggi ialah di Trapped dan Collected
Output nya. Dapat dilihat juga bahwa nilai Trapped yang besar dengan ditambah ouput
yang dikeluarkan itu besar maka mempengaruhi nilai efisiensinya menjadi meningkat.
Sebagai contoh yaitu di module A pada media Kaolin bahwa nilai Trapped yang
dihasilkan yaitu sebesar 18 gram dan ditambah dengan Collected Output nya yaitu 14
gram yang menghasilkan nilai Efisiensinya yaitu sebesar 43,75 %. Sedangkan pada
module B pada media Kaolin diketahui nilai Trapped nya sebesar 25 gram dan ditambah
nilai Collected Output nya sebesar 6 gram yang menghasilkan nilai efisiensi nya sebesar
24 %.

7.3 Perbedaan Grafik pada Module A dan Module B

Module A
Hubungan antara Kecepatan dengan Effisiency
60
50
Effisiency (%)

40
30
20
10
0
350. 500. 700.
Kaolin 40 43,75 25
Fine Flour 48,57 21,62 15
Talc Flour 28,94 20,51 11,11
Corn Flour 41,46 27,9 21,73

Kaolin Fine Flour Talc Flour Corn Flour

Gambar 1.2 Grafik Hubungan Kecepatan dengan Effisiency pada Module A

Module B
Hubungan antara Kecepatan dengan Effisiency
40
35
Effisiency (%)

30
25
20
15
10
5
0
350. 500. 700.
Kaolin 24 9,52 6,25
Fine Flour 37,5 19,04 13,63
Talc Flour 11,62 9,52 6,52
Corn Flour 23,8 20,45 14,89
Axis Tle

Kaolin Fine Flour Talc Flour Corn Flour

Gambar 1.3 Grafik Hubungan Kecepatan dengan Effisiency pada Module B


Dapat dilihat pada kedua grafik tersebut, bahwa grafik pada modul A ditemukan
data efisiensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan module B. Hal ini dapat
disebabkan oleh pengaruh Trapped dan juga Collected Output. Pengaruh kecepatan
terhadap nilai efisiensi tidak terlalu berpengaruh, sehingga walaupun kecepatan RPM
yang didapatkan lebih tinggi itu tidak akan mempengaruhi nilai efisiensinya.

VIII. PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Pada praktikum yang kelompok kami lakukan didapatkan kesimpulannya yakni:
1.) Efisiensi Modul A secara umum lebih tinggi dibandingkan Modul B untuk
semua jenis dan kecepatan media. Misal pada 350 rpm, efisiensi Tepung Kaolin
pada Modul A adalah 37,5%, sedangkan pada Modul B hanya 24%. Hal ini
mungkin disebabkan oleh perbedaan desain dan parameter pengoperasian kedua
modul.
2.) Grafik hubungan kecepatan dan efisiensi untuk setiap jenis media dapat diplot
menggunakan data dari tabel. Sumbu x melambangkan kecepatan, sedangkan
sumbu y melambangkan efisiensi. Setiap jenis media dapat diwakili oleh warna
atau simbol berbeda pada grafik. Pengaruh kecepatan terhadap efisiensi dapat
dilihat dari tabel dan grafik. Umumnya, efisiensi setiap jenis media meningkat
seiring dengan meningkatnya kecepatan. Namun, tingkat peningkatannya
bervariasi antara jenis media dan modul. Misalnya pada 350 rpm efisiensi
Tepung Kaolin pada Modul A adalah 37,5%, sedangkan pada 500 rpm adalah
48,57%. Perbedaan efisiensi antar kecepatan dapat disebabkan oleh perubahan
pola aliran dan kuat medan listrik di dalam ESP.

8.2 Saran
1.) Sebelum melakukan praktikum sebaikan mahasiswa praktikan diajarkan praktik
menggunakan alat Electrostatic Presipitator agar mahasiswa dapat
mengaplikasikan alat tersebut saat sudah masuk ke dunia industri
2.) Dalam melakukan praktikum sebaiknya dilakukan perhitungan dan
pengambilan data dengan teliti agar tidak terjadi kesalahan pada data
DAFTAR PUSTAKA
Afrian, N., Firdaus, & Ervianto, E. (2015). Analisa Kinerja ElectrostaticPrecipitator (Esp)
Berdasarkan BesarnyaTegangan Dc Yang Digunakan TerhadapPerubahan Emisi Di
Power Boiler IndustriPulp and Paper. Jurnal Jom FTEKNIK, 2(2), 1–12.
Mukono, H.J. 2008. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran
Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press. Diakses pada 22/3/2024,
dari https://www.kajianpustaka.com/2019/05/pencemaran-udara.html
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2021
TENTANG PENYELANGGARAAN PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP, Pub. L. No. 22, bpkp.go.id 1 (2021).
http://www.theseus.fi/handle/10024/341553%0Ahttps://jptam.org/index.php/jptam/articl
e/view/1958%0Ahttp://ejurnal.undana.ac.id/index.php/glory/article/view/4816%0Ahttps
://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/23790/17211077 Tarita Syavira
Alicia.pdf?sequen
Pradita, I. A. (2022). ANALISA KINERJA ELECTROSTATIC PRECIPITATOR (ESP)
BERDASARKAN BESAR ARUS SEKUNDER TRANSFORMER DI PLTU TANJUNG JATI
B UNIT 3. UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG.
Primasanti, Y., & Herawati, V. D. (2022). ANALISIS PAPARAN DEBU PADA
DEPARTEMEN PEMINTALAN BENANG PT. PBTS. JIKI, 15(1), 14–20.
https://doi.org/10.56304/s0040363622080021
Rofandi, M. N., & Irwanto. (2022). Sistem Kerja Electrostatic Precipitator (ESP) Untuk
Menangkap Abu Hasil Proses Pembakaran di PLTU PT. Dian Swastatika Sentosa Serang
Power Plant. G-Tech: Jurnal Teknologi Terapan, 6(2), 376–386.
https://doi.org/10.33379/gtech.v6i2.1743
Sepfitrah, & Rizal, Y. (2015). Analisis Electrostatic Precipitator (Esp) Untuk Penurunan Emisi
Gas Buang Pada Recovery Boiler. Jurnal APTEK, 7(1), 53–64. www.flowvision-
energy.com
Seinfeld, J.H dan Pandis, S.N. 2006. Atmospheric Chemistry And Physics: From Air
Pollution To Climate Change. New Jersey: John Wiley & Sons. Diakses pada 22/3/2024,
dari https://www.kajianpustaka.com/2019/05/pencemaran-udara.html
Simandjuntak, A. G. (2007). Pencemaran Udara. Buletin Limbah, 11(1), 34–40.
Soemarno, Sri Hartati. 1999. Meteorologi Pencemaran Udara. Bandung: ITB. Diakses
pada 22/3/2024, dari https://www.kajianpustaka.com/2019/05/pencemaran-udara.html
Wardhana, Wisnu. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.
Diakses pada 22/3/2024, dari https://www.kajianpustaka.com/2019/05/pencemaran-
udara.html
Widiastuti, R. (2018). Kadar Debu Industri Pembuatan Briket X Sebagai Faktor Risiko
Kejadian ISPA pada Jarak 150 M dan 200 M ke Permukiman di Kulon Progo. Poltekkes
Yogyakarta, 4(80), 1–120.
LAMPIRAN

Gambar 1.4 Alat ESP dari samping Gambar 1.5 Alat ESP dari depan

Gambar 1.5 Foto Kelompok D

Anda mungkin juga menyukai