Senyawa penyusun bau sebagian telah ada dalam bahan mentah, kadang terbentuk
selama proses pengolahan makanan atau pada saat penyimpanan seperti pada
pembuatan kopi atau teh (Wiyarno & Widyastuti, 2009). Bau sebenarnya adalah
senyawa kimia yang dalam kondisi normal berwujud gas, baik yang berasal dari uap
cairan maupun hasil sublimasi padatan. Bau dapat berupa senyawa tunggal, seperti
hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH3), maupun berupa gabungan berbagai
senyawa, seperti misalnya bau parfum (gabungan bermacam-macam senyawa) atau
aroma kopi yang merupakan gabungan kompleks yang terdiri lebih dari 670 senyawa
(Yuwono, 2008). Sedangkan menurut Soedomo dalam Triyoga et al., (2015)
mengungkapkan bahwa bau yang tidak sedap biasanya timbul akibat senyawa-senyawa
organik dan sulfurik. Karakterisitik bau dapat diterangkan dengan menggunakan
deskriptor bau yang diterima. Kosentrasi bau umumnya dikenal dengan olfactory
threshold atau ambang bau. Intensitas bau merupakan ukuran stimulus yang dihasilkan
dari ambang bau dari suatu kosentrasi odoran tertentu. Intensitas bau akan naik secara
logaritmik dengan semakin tingginya kosentrasi odoran.
2.1.2 Molekul-Molekul Bau
Gardner dan Bartlett, 1999 dalam Yuwono, (2008) menjelaskan bahwa Bau
termasuk dalam senyawa kimia mudah menguap (volatile) yang terbawa dalam udara
yang masuk sampai pada daerah olfaktori (epithelium olfaktori) yang berlokasi dalam
rongga hidung manusia tepat dibawah dan diantara kedua mata. Agar bau dapat
dideteksi oleh hidung maka bau harus memenuhi sifat-sifat molekuler tertentu. Sifat-
sifat tersebut meliputi kelarutannya dalam air, tekanan uap yang cukup tinggi, polaritas
yang rendah, kemampuan larut dalam lemak (lipophilicity), dan aktivitas permukaan.
Molekul-molekul bau umumnya memiliki satu atau dua gugus fungsional dalam
strukturnya. Ini yang membuat molekul tersebut bersifat lebih polar serta
mengakibatkan interaksi antar molekul yang lebih kuat. Pada Gambar 1.2 tertera gugus
fungsional yang umum dan sering dijumpai dalam bermacam-macam senyawa bau.
Diungkapkan oleh Gunawan F, 1991 dalam Hamzah et al., (2014) Sumber bau dapat
berasal dari kawasan pembuangan sampah, kawasan perindustrian, kawasan
perniagaan, sistem peparitan yang tidak lancer dan tersumbat. Tempat pembuangan
sampah-sampah yang diambil dan dikutip di kawasan perumahan dikumpulkan di pusat
pelupusan sampah menimbulkan bau busuk yang mengganggu aktivitas masyarakat
sekitar. Kawasan perindustrian yang melepaskan asap kimia yang mengeluarkan bau
yang kurang menyenangkan. Selain itu juga, kilang pemeliharaan ternak seperti ayam
yang mengeluarkan kotoran yang menyebabkan bau busuk. Kawasan perniagaan yang
membuang sisa makanan dan lebihan jualan di kawasan perniagaan yang tidak diurus
oleh pihak pembersihan menimbulkan bau busuk. Dan sistem peparitan yang tidak
diurus dengan baik, misalnya pembuangan sampah pada parit yang menyebabkan
saluran tersumbat dan mengakibatkan bau busuk.
Karlik & Yüksek, (2007) juga menambahkan untuk Handheld Odor Meter
digunakan untuk memperoleh data bau. Ini sepenuhnya diproduksi oleh FiS sebagai
produk OEM. Sensor OMX-GR menunjukkan dua faktor bau, “kekuatan” dan
“klasifikasi”, dengan nilai numerik. Alat ini sangat berguna untuk berbagai aplikasi
yang berkaitan dengan deteksi dan pengukuran bau. Selain itu, data berkelanjutan
waktu nyata dapat disimpan ke dalam komputer pribadi melalui antarmuka RS-232C.
Kekuatan dan klasifikasi bau dapat diidentifikasi dengan menggunakan dua sensor gas
yang berbeda:
Pengambilan sampel memori pengukur bau ini cocok untuk menyimpan 16 pola
pengambilan sampel bau yang berbeda.
VI. DOKUMENTASI
Tabel 1.6 Gambar Pada Saat Praktikum Pengukuran Uji Sampel Kebauan
Gambar Praktikum Keterangan
12
10
7,7
8 6
6
4 3
2 0,87
0
0
Feses Ikan Busuk Limbah Urine Sampah Nasi Basi
kambing Domestik Kambing Daun Kering
Uji sampel
Pada Gambar 2.4 terdapat grafik uji kebauan yang menggunakan alat Odor Meter.
Dapat dilihat bahwa tingkat kebauan pada urine kambing memiliki nilai kebauan yang
sangat tinggi dibandingkan dengan yang lain yaitu sebesar 12,3 ppm. Hal ini
disebabkan pada urine kambing memiliki bau yang sangat menyengat dan juga berbau
tajam. Dikarenakan hal ini terdapat senyawa yang terkandung pada urine kambing yaitu
Amoniak yang cukup pekat. Sedangkan pada uji sampel Sampah daun kering memiliki
nilai kebauan yang sangat minim yaitu 0 ppm. Hal ini disebabkan kandungan senyawa
yang terdapat pada daun kering ialah stirena (C6H5CHCH2) yang tidak terlalu memiliki
bau. Yang dimana Senyawa stirena sendiri tergolong senyawa aromatik (Ameilia et al.,
2021). Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 50 tahun 1996, pada uji
sampel urine kambing telah melebihi baku tingkat kebauan yang dimana baku tingkat
kebauan pada senyawa amonia itu berada pada 2,0 ppm seperti yang dilihat pada
Gambar 2.5.
VIII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Dari identifikasi hasil pengamatan yang dilakukan, didapatkan hasil kesimpulannya
1. Pengukuran kebauan pada uji sampel yang dilakukan hanya pada sampel Feses
kambing, Ikan Busuk, Limbah Domestik, Urine Kambing dan Makanan Nasi
Basi yang sesuai pada tabel 1.5 Hasil pengukuran kebauan menggunakan
Handheld Odor Meter.
2. Pada Grafik rata-rata Uji kebauan menggunakan Odor Meter uji sampel yang
memiliki tingkat kebauan tertinggi ialah sampel urine kambing yang memiliki
nilai 12,3 ppm.Sedangkan pada uji sampel yang memiliki nilai tingkat kebauan
terendah ialah pada sampel sampah daun kering yang memiliki nilai 0 ppm.
3. Uji sampel pada urine kambing telah melewati baku tingkat kebauan pada
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.50 Tahun 1996.
7.2 Saran
1. Pada saat melakukan pengukuran harus dilakukan dengan teliti agar tidak terjadi
kesalahan data yang akan diambil.
2. Sebelum melakukan pengukuran alangkah baiknya alat Odor Meter di lakukan
pengecekan fungsi pada alat tersebut agar bisa digunakan pada saat praktikum.
DAFTAR PUSTAKA
Ameilia, A., Rajfan, R., Aisha, N., & Aulia, S. (2021). Identifikasi Polimer Tekstil. Jurnal
Teknologi Rekayasa Proses, 1(1), 1–28.
Astuti, A. D. (2015). PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP KEBERADAAN INDUSTRI
TEPUNG IKAN DITINJAU DARI TINGKAT KEBAUAN, BAU DAN AIR LIMBAH
(Studi Kasus di Desa Purworejo Kecamatan Pati). Jurnal Litbang: Media Informasi
Penelitian, Pengembangan Dan IPTEK, 11(2), 113–123.
https://doi.org/10.33658/jl.v11i2.67
Hamzah, A., Sefiani, A. D., & Waruwu, E. S. (2014). PENGENALAN POLUSI KEBAUAN
BERDASARKAN PARAMETER BAU DENGAN SAMPEL LIMBAH DI LINGKUNGAN
SEKITAR.
Karlik, B., & Al-Bastaki, Y. (2004). Real time monitoring odor sensing system using OMX-
GR sensor and neural network. WSEAS Transactions on Electronics, vol.1, no., 337–342.
Karlik, B., & Yüksek, K. (2007). Fuzzy clustering neural networks for real-time odor
recognition system. Journal of Automated Methods and Management in Chemistry, 2007,
1–6. https://doi.org/10.1155/2007/38405
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No . 50 Tahun 1996 Tentang : Baku Tingkat
Kebauan, Pub. L. No. 1–2, Program 5 (1996).
https://baristandsamarinda.kemenperin.go.id/download/KepMenLH49(1996)-
Baku_Tingkat_Getaran.pdf
Triyoga, H. S., Andaerri, H. K., & Rumaga, K. (2015). Pengenalan Polusi Kebauan Dengan
Parameter Menteri Lingkungan Hidup Nomor 50/MENLH/11/1996 TENTANG BAKU
TINGKAT KEBAUAN Introduction To the Parameters of Pollution Odor Based
Keputusan Menteri Lingkungan HIDUP NOMOR 50/MENLH/11/1996 REGARDING
ODOR STANDAR.
Wiyarno, Y., & Widyastuti, S. (2009). ISOLASI DAN IDENTIFIKASI KOMPONEN
SENYAWA PENYUSUN BAU PADA LIMBAH PABRIK TAPIOKA. Jurnal Ilmiah
Teknik Lingkungan, 1(2), 59–66.
Yuwono, A. S. (2008). Kuantifikasi Bau dan Polusi Bau di Indonesia ( Odour Quantification
and Odour Pollution in Indonesia ). Purifikasi, 9(2), 1–24.