Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Udara merupakan salah satu unsur lingkungan, sehingga kualitasnya harus tetap
dijaga, karena di dalam udara mengandung sejumlah besar oksigen yang
merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup manusia. Pencemaran
udara pada umumnya dihasilkan dari aktivitas manusia. Salah satu sumber
pencemaran udara yang berkontribusi besar adalah kegiatan industri. Jenis
pengolahan, proses dan bahan baku akan menentukan jenis pencemaran udara
yang akan dihasilkan. Kegiatan industri pada umumnya melakukan proses
pembakaran untuk mengolah bahan baku yang akan menghasilkan pencemar
udara seperti partikulat dan gas.

PT. Koto Alam Sejahtera (PT. KAS) adalah perusahaan yang bergerak di bidang
industri pertambangan andesite dengan sistem tambang terbuka (surface mining)
dengan metoda penambangan Quarry. Pemberaian batuan andesite hanya bisa
dilakukan dengan kegiatan pemboran dan peledakan, karena material yang akan
diberai memiliki kekuatan yang sangat keras. Kegiatan utama produksi
pertambangan seperti peledakan dan pengangkutan batuan menghasilkan
partikulat dalam jumlah besar. Partikulat partikulat tambang mineral seperti debu
tambang mengandung berbagai bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia
salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah silika dalam bentuk SiO2 yang
dapat menyebabkan gangguan pernapasan hingga kanker jika terpapar ke
manusia. Berdasarkan data Yeuwei (2013) ada lebih dari 1,7 juta pekerja di
Amerika Serikat, lebih dari 2 juta pekerja di Eropa, dan lebih dari 23 juta pekerja
di China sudah terpapar debu silika saat bekerja.

Menurut International Agency for Research on Cancer (IARC) (1997), silika


tergolong dalam Grup 1 zat yang bersifat karsinogenik pada manusia. Silika
biasanya ditemukan dalam bentuk kristal dan jarang dalam keadaan amorf. Kristal
silika terinhalasi menyebabkan penurunan fungsi paru-paru, radang paru-paru
akut, gangguan autoimun, bahkan dapat menyebabkan kanker paru-paru
(Hamilton dkk, 2008). Kristal silika yang mengendap di paru-paru, akan
mengoksidasi dinding alveoli yang menyebabkan terjadinya fibrosis. Semakin
banyak kristal silika yang mengendap di paru-paru, maka fibrosis yang terjadi di
alveoli semakin parah dan menimbulkan penyakit yang dikenal dengan
pneumoconiosis silikosis (Yunus, 1997).

Menanggapi pentingnya peran pekerja dan perlunya penjaminan kesehatan bagi


para pekerja oleh perusahaan tambang, sangat diperlukan data terkait jumlah
paparan (exposure) debu yang diterima oleh pekerja serta analisa lebih lanjut akan
masa depan kesehatan pekerja tambang terkhususnya bagi perusahaan dengan
pekerjaan masif dan berbahaya. Hingga saat ini di Indonesia dengan jumlah
pekerja yang sangat besar dan kegiatan usaha penambangan, banyak belum
memiliki pusat data tentang paparan debu di tempat kerja, terlebih lagi masih
sangat jarangnya penelitian mengenai analisis risiko yang mungkin dialami
pekerja di sektor penambangan terkait bahaya paparan debu bagi pekerja.
Penelitian ini berusaha untuk mencari keterkaitan antara jumlah paparan pada
pekerjaan di lokasi penambangan, mencari seberapa besar risiko dari bahaya debu
tambang yang mengandung silika dengan risiko kematian akibat penyakit yang di
timbulkan terhadap para pekerja di masa depan.
1.2 Maksud dan Tujuan

1.2.1 Maksud

Maksud dari tugas akhir ini adalah untuk menganalisis risiko kesehatan akibat
pajanan debu silika di PT. KAS Kabupaten 50 Kota .

1.2.2 Tujuan

Adapun tujuan tugas akhir ini adalah:

1. Membandingkan konsentrasi pencemar PM2,5 di udara ambien dengan


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara;
2. Menganalisis kandungan silika dalam PM2,5;
3. Menganalisis risiko pajanan konsentrasi PM2,5 di kawasan pertambangan
PT. KAS Kabupaten 50 Kota.

1.3 Manfaat Penulisan


Manfaat penulisan tugas akhir ini adalah memberikan informasi konsentrasi PM2,5
dan kandungan silika dalam PM2,5 di kawasan pertambangan PT. KAS Kabupaten
50 Kota;

1.4 Ruang Lingkup


Ruang lingkup pada tugas akhir ini adalah:
1. Penelitian ini dilakukan di kawasan pertambangan PT. KAS Kabupaten 50
Kota;
2. Pengukuran dilakukan di udara ambien (Outdoor air);
3. Parameter yang diukur adalah konsentrasi PM2,5 selama 24 jam dengan
menggunakan alat Low Volume Air Sampler (LVAS);
4. Pengukuran konsentrasi PM2,5 dilakukan dengan metode gravimetri;
5. Konsentrasi PM2,5 di luar ruang dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran
Udara;
6. Menghintung konsentrasi silika dalam PM2,5;
7. Menganalisis risiko menggunakan metode Analisis Risiko Kesehatan
Lingkungan (ARKL) berdasarkan Direktorat Jenderal PP dan PL Kementerian
Kesehatan Tahun 2012.

1.5 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan uraian garis besar tugas akhir ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan latar belakang, maksud dan tujuan penelitian,
manfaat penelitian, batasan masalah penelitian dan sistematika
penulisan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


Bab ini berisi tentang dasar-dasar teori dan standar serta peraturan
yang digunakan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini menjelaskan tahapan penelitian yang dilakukan, metode
analisis data serta lokasi dan waktu penelitian.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN


Bab ini berisikan hasil penelitian disertai dengan pembahasannya.

BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan simpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang
telah diuraikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara

Pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau


komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu
udara ambien turun sampai ketingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien
tidak dapat memenuhi fungsinya (PP No.41 tahun 1999). Polusi udara dapat
didefinisikan sebagai kondisi atmosfer dimana konsentrasi substansi yang terdapat
di dalamnya cukup tinggi, melebihi kondisi normal udara ambien sehingga dapat
menimbulkan dampak yang terukur bagi manusia, hewan, vegetasi maupun
material lainnya (Seinfeld, 1986). Pencemaran udara dapat menimbulkan dampak
terhadap kesehatan, harta benda, ekosistem maupun iklim. Umumnya gangguan
kesehatan sebagai akibat pencemaran udara terjadi pada saluran pernapasan dan
organ penglihatan. Salah satu dampak kronis dari pencemaran udara adalah
bronchitis dan emphysema (Mulia, 2005).

2.2 Sumber Pencemaran Udara

Sumber pencemaran yang utama berasal dari transportasi, dimana hampir 60%
dari polutan yang dihasilkan terdiri dari karbon monoksida dan sekitar 15% terdiri
dari hidrokarbon. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya pembakaran, proses
industri, pembuangan limbah dan lainnya (Agusnar, 2008).
Sumber pencemar udara dapat dikelompokkan menjadi sumber bergerak dan
sumber tidak bergerak (Sarudji, 2010).

1. Sumber Bergerak
Sumber pencemar udara bergerak dapat dikelompokkan menjadi:
(a). Kendaraan bermotor,
(b). Pesawat terbang
(c). Kereta api dan

(d). Kapal, (Sarudji, 2010).


2. Sumber tak bergerak (menetap)

Menurut (Sarudji, 2010), yang termasuk sumber pencemar dari bahan bakar
bersumber menetap adalah pembakaran beberapa jenis bahan bakar yang
diemisikan pada suatu lokasi yang tetap. Bahan bakar tersebut terdiri atas batu
bara, minyak bakar, gas alam, dan kayu destilasi minyak. Berbeda dengan sarana
transportasi, sumber pencemar udara menetap mengemisikan polutan pada udara
ambien tetap, sehingga dalam pengelolaan lingkungannya perlu perencanaan yang
matang, misalnya harus dipertimbangkan keadaan geografi dan tofografi,
metereologi, serta rencana tata ruang di wilayah tersebut.

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Udara

Ada beberapa keadaan cuaca yang dapat mempengaruhi kualitas udara, yaitu
(DepKes RI,2005):
1. Suhu
Suhu dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara. Suhu udara yang tinggi
menyebabkan udara makin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi
makin rendah. Sebaliknya pada suhu yang dingin keadaan udara makin padat
sehingga konsentrasi pencemar di udara tampaknya makin tinggi.
2. Kelembaban
Kelembaban udara juga dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar di udara. Pada
kelembaban yang tinggi maka kadar uap air di udara dapat bereaksi dengan
pencemar udara, menjadi zat lain yang tak berbahaya atau menjadi pencemar
sekunder.
3. Tekanan udara
Tekanan udara tertentu dapat mempercepat atau menghambat terjadinya suatu
reaksi kimia antara pencemar dengan zat pencemar di udara atau zat-zat yang ada
di udara, sehingga pencemar udara dapat bertambah ataupun berkurang.
4. Angin
Angin merupakan udara yang bergerak. Akibat pergerakan udara maka akan
terjadi suatu proses penyebaran sehingga dapat mengakibatkan pengenceran dari
bahan pencemaran udara, sehingga kadar suatu pencemar pada jarak tertentu dari
sumber akan mempunyai kadar yang berbeda. Demikian juga halnya dengan arah
dan kecepatan angin dapat mempengaruhi kadar bahan pencemar setempat.
5. Sinar matahari
Sinar matahari juga mempengaruhi kadar pencemar udara di udara karena dengan
adanya sinar matahari tersebut maka beberapa pencemar di udara dapat dipercepat
atau diperlambat reaksinya dengan zat-zat lain di udara sehingga kadarnya dapat
berbeda menurut banyaknya sinar matahari yang menyinari bumi. Demikian juga
halnya mengenai banyaknya panas matahari yang sampai ke bumi, yang dapat
mempengaruhi kadar pencemar udara.
6. Curah hujan

Adanya hujan yang merupakan suatu partikel air di udara yang bergerak dari atas
jatuh ke bumi, dapat menyerap pencemar gas tertentu ke dalam partikel air, serta
dapat menangkap partikel debu baik yang inert maupun partikel debu yang lain,
menempel pada partikel air dan dibawa jatuh ke bumi. Dengan demikian
pencemar dalam bentuk partikel dapat berkurang konsentrasinya akibat jatuhnya
hujan.

2.4 Particullate Matter 2,5 (PM2,5)

2.4.1 Definisi PM2,5

Particulate Matter merupakan salah satu bahan pencemar yang terdiri atas
campuran kompleks partikel seperti debu, kotoran, jelaga, asap, dan tetesan cairan
yang ditemukan di udara dengan ukuran cukup. PM 2,5 adalah debu respirabel yang
dapat tertahan mulai dari bronchiolus terminalis sampai alveolus sehingga
termasuk debu yang paling berbahaya (Sumakmur, 2009). PM 2,5 dapat membawa
berbagai zat beracun, melewati penyaringan bulu hidung, mencapai bagian dalam
saluran pernafasan melalui aliran udara kemudian menumpuk dan merusak bagian
tubuh lain melalui pertukaran udara di paru-paru (Xing, 2016).

Partikulat biasanya berdiameter kecil dari 0,0002 µm dan lebih kecil dari 500 µm.
Partikulat merupakan salah satu jenis polutan yang keberadaannya di udara
ambien terus meningkat, seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia.
Partikulat mempunyai waktu tinggal di udara selama beberapa detik hingga
beberapa bulan. Menurut (EPA,2013), PM2,5 adalah partikel debu yang berukuran
≤ 2,5 mikrometer atau lebih kecil 1/30 bagian dari diameter rambut manusia.

Gambar 2.1 Perbandingan Ukuran Particulate Matter


Sumber: US EPA,2016

2.4.2 Dampak PM 2,5

Kegiatan industri berperan vital dalam pertumbuhan ekonomi, tetapi juga


berdampak negatif besar bagi kesehatan dan lingkungan. Salah satu dampak
negatif tersebut adalah emisi partikulat di udara dari tungku industri dan industri
pengolahan yang menurut penelitian Wiguna, merupakan penyumbang terbesar
sekitar 51,27%. Namun, yang menjadi perhatian penting adalah partikulat dengan
ukuran di bawah 2,5 mikron (PM2,5). Hal tersebut disebabkan oleh PM2,5 dapat
secara leluasa masuk ke dalam saluran pernapasan dan mengendap di alveoli.
PM2,5 yang berasal dari kegiatan industri biasanya mengeluarkan berbagai
material logam berat dan sulfur dioksida. Environmental Protection Agency dalam
World Bank, mengestimasikan 90% dari PM2,5 yang dikeluarkan ke udara
mengandung sulfur dioksida (SO2). Berbagai material tersebut dapat
menyebabkan berbagai gangguan saluran pernapasan seperti infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), kanker paru-paru, penyakit kardiovaskular, kematian
dini, dan penyakit paru-paru obstruktif kronis. Gangguan tersebut disebabkan oleh
inflamasi dan injuri oleh pajanan PM2,5 yang masuk ke dalam saluran pernapasan
(Novirsa, 2012).

2.5 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Partikulat


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999
tentang pengendalian pencemaran udara, nilai ambang batas (NAB) PM2,5 Dapat
di lihat pada Table 2.1:

Table 2.1 Baku Mutu Udara Ambien Nasional

Waktu Baku
No Parameter Metode Analisis Peralatan
Pengukuran Mutu
24 Jam 65
PM2,5 µm/Nm3
1 (Partikel <2,5 Gravimetri Hi - Vol
15
µm) 1 Tahun
µm/Nm3
Sumber: PP No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara

2.6 Silika

Silika adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO 2 (silikon dioksida)
merupakan senyawa kimia yang terdiri dari silikon dan oksigen yang dapat
diperoleh dari silika mineral, nabati dan sintesis kristal. Silika mineral adalah
senyawa yang banyak ditemui dalam bahan tambang/galian yang berupa mineral
seperti pasir kuarsa, granit dan fledstar yang mengandung kristal-kristal silika.
Silika secara alami terdapat dalam bentuk kristalin dan amorfus. Kristalin silika
terdapat dalam 3 bentuk utama, yaitu kuarsa, tridimit dan kristobalit. Sedangkan
struktur amorfus dapat ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silika,
diatomaceous earth dan vitreous silica. Selain terbentuk secara alami, silika
dengan struktur kristal tridimit dapat diperoleh dengan cara memanaskan pasir
kuarsa pada suhu 870°C dan bila pemanasan dilakukan pada suhu 1470°C dapat
diperoleh silika dengan struktur kristobalit. Silika juga dapat dibentuk dengan
mereaksikan silikon dengan oksigen atau udara pada suhu tinggi (Goncalves,
2000).

Penggunaan silika sangat luas di kalangan industri komersial. Pasir kuarsa


digunakan sebagai bahan baku utama pada industri gelas, kaca, keramik,
pengecoran, semen, tegel, silikon karbida bahan abrasif (ampelas dan sand
blasting). Kristal kuarsa juga telah digunakan sejak beberapa tahun yang lalu
sebagai perhiasan dalam bentuk batu permata (contoh : amethyst, citrine), dan saat
ini digunakan secara luas pada industri elektronik dan optikal. Pekerja dapat
terpajan kristalin silika di lingkungan kerjanya oleh karena keberadaan kristalin
silika yang sangat banyak pada kulit bumi dan penggunaannya secara luas sebagai
material pendukung industri. Pajanan silika yang paling berbahaya adalah dalam
bentuk debu terhirup yang dapat dihasilkan dari proses penghalusan, sandblasting,
penempaan, pemotongan, pencampuran, pengeboran logam dan batuan (Desianti,
2018).

2.8 Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

ARKL merupakan sebuah pendekatan untuk menghitung atau memprakirakan


risiko pada kesehatan manusia, termasuk identifikasi terhadap adanya faktor
ketidakpastian, penelusuran pada pajanan tertentu, memperhitungkan karakteristik
yang melekat pada agen yang menjadi perhatian dan karakteristik dari sasaran
yang spesifik. Jika Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL) difokuskan
untuk potensi timbulnya risiko kesehatan baik secara kualitatif maupun
kuantitatif, ARKL lebih ditujukan untuk mengkaji secara kuantitatif probabilitas
terjadinya gangguan kesehatan. Asesmen risiko (risk assessment) atau ARKL
dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi bahaya apa saja yang
membahayakan, memahami hubungan antara dosis agen risiko dan respon tubuh
yang diketahui dari berbagai penelitian, mengukur seberapa besar pajanan agen
risiko tersebut, dan menetapkan tingkat risiko dan efeknya pada populasi
(Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012).

Penilaian risiko dilakukan dengan mengumpulkan semua informasi yang terkait


dengan komponen risiko yang dinilai. Informasi didapakan dari operator yang
berpengalaman, pekerja yang berpengalaman pada objek risiko yang dinilai, dan
stakeholder yang memiliki hubungan dengan industri. Seorang penilai risiko
memiliki beberapa panduan yang digunakan dalam melakukan penilaian risiko
(Novirsa, 2012):
1. Konsep umum mengenai penilaian risiko lingkungan dan langkah-langkah yang
harus diambil.
2. Bagaimana melakukan pengolahan dan evaluasi data untuk mendapatkan data
yang akurat, sustain, dan reliabel.
3. Bagaimana gambaran pajanan lingkungan yang akan dinilai.
4. Bagaimana efek pajanan lingkungan yang akan dinilai.
5. Sejauh mana tingkat persisten, bioakumulasi, dan toksisitas suatu bahan kimia
yang dinilai.
6. Bagaiamana melakukan karakterisasi risiko dan bagaimana tindakan
manajemen risiko yang akan dilakukan.

Risk analysis meliputi 3 komponen yaitu penelitian, asesmen risiko (risk


assessment) atau ARKL dan pengelolaan risiko. Di dalam prosesnya, analisis
risiko dapat diilustrasikan sebagai berikut (Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012):

1. Penelitian dimaksudkan untuk membangun hipotesis, mengukur, mengamati


dan merumuskan efek dari suatu bahaya ataupun agen risiko di lingkungan
terhadap tubuh manusia, baik yang dilakukan secara laboratorium, maupun
penelitian lapangan dengan maksud untuk mengetahui efek, respon atau
perubahan pada tubuh manusia terhadap dosis, dan nilai referensi yang aman
bagi tubuh dari agen risiko tersebut.

2. ARKL dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi bahaya apa saja yang
membahayakan, memahami hubungan antara dosis agen risiko dan respon
tubuh yang diketahui dari berbagai penelitian, mengukur seberapa besar
pajanan agen risiko tersebut, dan menetapkan tingkat risiko dan efeknya pada
populasi.

3. Pengelolaan risiko dilakukan bilamana asesmen risiko menetapkan tingkat


risiko suatu agen risiko tidak aman atau tidak bisa diterima pada suatu populasi
tertentu melalui langkahlangkah pengembangan opsi regulasi, pemberian
rekomendasi teknis serta sosial-ekonomipolitis, dan melakukan tindak lanjut.

Secara operasional, pelaksanaan ARKL diharapkan tidak hanya terbatas pada


analisis atau penilaian risiko suatu agen risiko atau parameter tertentu di
lingkungan terhadap kesehatan masyarakat, namun juga dapat menyusun skenario
pengelolaannya. Bagan alir penerapan ARKL sebagai bagian dari analisis risiko
dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Bagan Alir Penerapan ARKL
(Sumber: Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012)
Pada Gambar 2.2 tersebut dijelaskan bahwa ARKL merupakan pendekatan yang
digunakan untuk melakukan penilaian risiko kesehatan di lingkungan dengan
output adalah karakterisasi risiko (dinyatakan sebagai tingkat risiko) yang
menjelaskan apakah agen risiko/parameter lingkungan berisiko terhadap
kesehatan masyarakat atau tidak. Petunjuk teknis ini dirancang untuk
memudahkan dalam pelaksanaan ARKL bagi para praktisi lingkungan. Berbagai
nilai referensi yang digunakan dalam perhitungan tidak harus berasal dari hasil
penelitian yang dilakukan sendiri, namun dapat merujuk pada hasil penelitian
yang dilakukan oleh orang lain (pihak lain) (Direktorat Jenderal PP dan KL,
2012).

Pada dasarnya, ARKL hanya mengenal empat langkah, yaitu (Direktorat Jenderal
PP dan KL, 2012):

1. Identifikasi bahaya

Identifikasi bahaya adalah identifikasi terhadap jenis dan sifat serta kemampuan
yang melekat pada suatu agen risiko yang dapat menyebabkan dampak buruk
organisme, sistim, atau sub/populasi (Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012).
Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam suatu
analisis risiko. Indentifikasi bahaya adalah melakukan penilaian toksisitas data
untuk menilai efek dari suatu bahan dan dampaknya terhadap manusia dan
lingkungan atau penilaian besarnya dampak negatif dari suatu keadaan atau
kondisi. Pada banyak kasus, bahan yang telah diketahui kemudian dibandingkan
dengan bahan kimia yang sudah teregister apakah memiliki tingkat karsinogen,
beracun, non karsinogen, dan sebagainya. Setelah suatu zat bahaya diketahui,
kemudian dilakukan identifikasi terhadap sumbernya. Identifikasi sumber bahaya
tergantung kepada dimana suatu studi analisis dilakukan. Namun yang terpenting
adalah informasi mengenai sumber bahaya meliputi tingkat debit, lokasi yang
berpotensi, kondisi lokasi (temperature dan tekanan), bahan yang dikeluarkan
(gas, cair, atau keduanya), dan karakteristik fisik seperti tekanan uap dan
toksisitas (Louvar, 1998).

2. Analisis dosis respon

Analisis dosis respon merupakan analisis hubungan antara jumlah total suatu agen
yang diberikan, diterima, atau diserap oleh suatu organisme, sistim, atau
sub/populasi dengan perubahan yang terjadi pada suatu organisme, sistem, atau
sub/populasi (Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012). Analisis dosis respons
merupakan tahap yang digunakan untuk menentukan hubungan antara besarnya
dosis atau level pajanan bahan kimia dengan terjadinya efek yang merugikan bagi
kesehatan manusia. Dimana tahap ini merupakan tahapan untuk menetapkan
kualitas toksisitas agen risiko mempunyai potensi menimbulkan efek yang dapat
merugikan kesehatan pada populasi yang berisiko. Adapun toksisitas agen risiko
dinyatakan dalam dosis referensi. Untuk pajanan inhalasi yang bersifat non
karsinogenik dinyatakan dengan Reference Concentration (RfC). Dosis referensi
tersebut digunakan untuk memperkirakan jumlah paparan setiap harinya pada
populasi manusia yang dapat diterima tanpa menimbulkan efek berbahaya selama
masa hidupnya. Nilai RfC bukan merupakan dosis mutlak dari suatu agen risiko,
namun hanya dosis referensi. Jika dosis yang diterima oleh populasi manusia
melebihi RfC maka peluang untuk terjadinya risiko kesehatan menjadi lebih besar
(Siswati, 2017)
Setelah melakukan identifikasi bahaya (agen risiko, konsentrasi dan media
lingkungan), maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dosis- respons
yaitu mencari nilai RfD, dan/atau RfC, dan/atau SF dari agen risiko yang menjadi
fokus ARKL, serta memahami efek apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh agen
risiko tersebut pada tubuh manusia. Analisis dosis – respon ini tidak harus dengan
melakukan penelitian percobaan sendiri namun cukup dengan merujuk pada
literatur yang tersedia.

Langkah analisis dosis respon ini dimaksudkan untuk:


a. mengetahui jalur pajanan (pathways) dari suatu agen risiko masuk ke dalam
tubuh manusia.
b. memahami perubahan gejala atau efek kesehatan yang terjadi akibat
peningkatan konsentrasi atau dosis agen risiko yang masuk ke dalam tubuh.
c. mengetahui dosis referensi (RfD) atau konsentrasi referensi (RfC) atau slope
factor (SF) dari agen risiko tersebut. Di dalam laporan kajian ARKL ataupun
dokumen yang menggunakan ARKL sebagai cara/ metode kajian, analisis dosis
– respon perlu dibahas dan dicantumkan.

Analisis dosis – respon dipelajari dari berbagai toxicological reviews, jurnal


ilmiah, atau artikel terkait lainnya yang merupakan hasil dari penelitian
eksperimental. Untuk memudahkan, analisis dosis – respon dapat dipelajari pada
situs: www.epa.gov/iris

Uraian tentang dosis referensi (RfD), konsentrasi referensi (RfC), dan slope factor
(SF) adalah sebagai berikut:

a. Dosis referensi dan konsentrasi yang selanjutnya disebut RfD dan RfC adalah
nilai yang dijadikan referensi untuk nilai yang aman pada efek non
karsinogenik suatu agen risiko, sedangkan SF (slope factor) adalah referensi
untuk nilai yang aman pada efek karsinogenik.

b. Nilai RfD, RfC, dan SF merupakan hasil penelitian (experimental study) dari
berbagai sumber baik yang dilakukan langsung pada obyek manusia maupun
merupakan ekstrapolasi dari hewan percobaan ke manusia.
c. Untuk mengetahui RfC, RfD, dan SF suatu agen risiko dapat dilihat pada
Integrated Risk Information System (IRIS) yang bisa diakses di situs
www.epa.gov/iris.

d. Jika tidak ada RfD, RfC, dan SF maka nilai dapat diturunkan dari dosis
eksperimental yang lain seperti NOAEL (No Observed Adverse Effect Level),
LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level), MRL (Minimum Risk Level),
baku mutu udara ambien pada NAAQS (National Ambient Air Quality
Standard) dengan catatan dosis eksperimental tersebut mencantumkan faktor
antropometri yang jelas (Wb, tE, fE, dan Dt).

Dosis respons akan menunjukkan tingkat toksisitas dari suatu bahan yang
biasanya dinyatakan dalam:
a. NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) adalah pajanan tertinggi diamana
tidak terdeteksi efek yang merugikan.
b. LOAEL (Low Observed Adverse Effect Level) adalah tingkat pajanan terendah
yang dapat menimbulkan efek merugikan bagi manusia.
c. ED (effective dose) adalah jumlah dosis yang dapat menyebabkan efek
permanen pada manusia.
d. TD (toxic dose) adalah jumlah dosis yang dapat menyebabkan luka permanen
pada tubuh manusia
e. LD (lethal dose) atau LC (lethal concentration) adalah jumlah dosis yang dapat
menyebabkan kematian pada organisme yang terpajan.

3. Analisis Pajanan

Analisis pajanan (exposure assessment) merupakan penilaian kontak yang


bertujuan untuk mengenali jalur pajanan agen risiko agar dapat menghitung
jumlah asupan atau intake yang diterima pada populasi berisiko (Rahman, 2007).
Penentuan analisis pajanan dilakukan dengan menghitung jumlah asupan agen
risiko yang masuk tubuh melalui inhalasi. Intake dinyatakan sebagai jumlah
pajanan yang diterima oleh individu per kilogram berat badan per hari. Intake
pajanan dihitung secara lifetime. Pajanan lifetime yaitu durasi pajanan yang
dihitung seumur hidup. Pajanan lifetime yang digunakan adalah durasi pajanan
standar (Dt) 30 tahun yaitu nilai standar waktu yang diperkirakan efek non
karsinogenik termanifestasi pada manusia (Siswati, 2017).

Dampak buruk terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh agen risiko terjadi
karena adanya pemajanan dengan dosis dan waktu yang cukup. Suatu organisme,
sistem, sub/populasi terpajan agen risiko di lingkungan melalui beberapa jalur
pemajanan. Dampak buruk yang timbul akibat pajanan agen risiko kimia di
lingkungan diilustrasikan melalui Gambar 2.3. Analisis pajanan merupakan
evaluasi pajanan agen dan turunannya pada organisme, sistem, atau sub/populasi.
Pada proses penilaian pemajanan akan didapatkan informasi mengenai jalur
pajanan (pathway), jumlah atau konsentrasi suatu bahan di media lingkungan,
durasi pajanan dalam jam, hari, atau tahun, serta identifikasi populasi berisiko.
Informasi ini dapat digunakan untuk melihat seberapa besar pajanan suatu bahan
pada manusia yang dapat dihitung secara matematis. Jalur pajanan memungkinkan
untuk diketahui apakah suatu bahan masuk melalui inhalasi, ingesti, atau dermal.
Rute pajanan ini dapat dijadikan pedoman untuk melihat sejauh mana suatu zat
dapat merusak di dalam jaringan manusia. Selain itu juga dapat diketahui apa
organ target yang menjadi pusat pajanan dari suatu zat atau bahan.
Gambar 2.3 Skema Pajanan dan Dosis
(Sumber: Kolluru, 1996)
Untuk menilai besarnya pajanan yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat
dihitung dengan rumus intake. Intake menyatakan jumlah pajanan yang diterima
oleh individu per kilogram berat badan per hari (Louvar, 1998). Besar risiko/
intake non karsinogenik dan intake karsinogenik didapat dihitung dengan
persamaan berikut:

C x R  x tE x fE x Dt
Ink =  Wbx tavg .......................................................................(2.1)
C x R x fE x Dt
Ik =  Wbx tavg .................................................................................(2.2)

Keterangan:

Ink = Asupan (Intake) non karsinogkenik (mg/kg.hari)


Ik = Asupan (Intake) karsinogkenik (mg/kg.hari)
C = Konsentrasi risk agent (mg/m3)
R = Laju asupan atau konsumsi, (m3/jam)
tE = waktu pajanan (jam/hari)
fE = frekuensi pajanan (hari/tahun)
Dt = durasi pajanan (tahun)
Wb = Berat badan (kg)
tavg = Periode waktu rata-rata (Dt x 365 hari/tahun)

4. Karakterisasi risiko

Karakterisasi risiko merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengetahui


apakah populasi yang terpajan berisiko terhadap agen risiko yang masuk ke dalam
tubuh yang dinyatakan dengan RQ (Risk Quotient). Perhitungan RQ dilakukan
dengan cara menggabungkan nilai yang didapatkan pada analisis pajanan atau
intake dan dosis respon. Tingkat risiko non karsinogenik dan karsinogenik didapat
melalui hasil pembagian asupan harian melalui inhalasi dengan nilai dosis yang
dikenal dengan istilah Reference Concentration (RfC) (Siswati, 2017)

karakterisasi risiko adalah yang dilakukan untuk menetapkan tingkat risiko atau
dengan kata lain menentukan apakah agen risiko pada konsentrasi tertentu yang
dianalisis pada ARKL berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada
masyarakat (dengan karakteristik seperti berat badan laju inhalasi/konsumsi,
waktu, frekuensi, durasi pajanan yang tertentu) atau tidak. Karakteristik risiko
dilakukan dengan membandingkan/membagi intake dengan dosis /konsentrasi
agen risiko tersebut. Variabel yang digunakan untuk menghitung tingkat risiko
adalah intake (yang didapatkan dari analisis pemajanan) dan dosis referensi
(RfD)/ konsentrasi referensi (RfC) yang didapat dari literatur yang ada (dapat
diakses di situs www.epa.gov/iris).

1. Karakterisasi risiko pada efek non karsinogenik


Perhitungan tingkat risiko non karsinogenik Tingkat risiko untuk efek non
karsinogenik dinyatakan dalam notasi Risk Quotien (RQ). Untuk melakukan
karakterisasi risiko untuk efek non karsinogenik dilakukan perhitungan dengan
membandingkan/membagi intake dengan RfC atau RfD. Rumus untuk
menentukan RQ dapat dilihat pada Persamaan 2.3:

I
RQ = ………………………………………………………………..(2.3)
RfC

Keterangan:
RQ = Risk Characterization
RfC = Reference Concentration
RfD = Reference dose
Tingkat risiko yang diperoleh pada ARKL merupakan konsumsi pakar ataupun
praktisi, sehingga perlu disederhanakan atau dipilihkan bahasa yang lebih
sederhana agar dapat diterima oleh khalayak atau publik. Apabila RQ ˂ 1
menunjukan indikasi tidak adanya kemungkinan terjadinya risiko efek yang
merugikan, tetapi segala kondisi tetap dipertahankan sehingga nilai RQ tidak
melebihi satu. Sedangkan RQ ≥ 1 menunjukan indikasi adanya kemungkinan
terjadinya risiko efek yang merugikan yang juga berarti semakin besar pajanan
risk agen berakibat semakin besar menimbulkan risiko kesehatan sehingga perlu
dilakukan pengendalian risiko terhadap efek pajanan tersebut (Direktorat Jenderal
PP dan KL, 2012).

2. Karakterisasi risiko pada efek karsinogenik

Tingkat risiko untuk efek karsinogenik dinyatakan dalam notasi Excess Cancer
Risk (ECR). Untuk melakukan karakterisasi risiko untuk efek karsinogenik
dilakukan perhitungan dengan mengkalikan intake dengan slope factor (SF).
Rumus untuk menentukan ECR adalah dapat dilihat pada Persamaan 2.4:

ECR = I xSF…………………….……......................................………(2.4)

Keterangan:
ECR = Excess Cancer Risk
I = Intake
SF = Slope Factor
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tahapan Penulisan

Tahapan dari penulisan tugas akhir yang akan dilakukan yaitu meliputi:
1. Studi literatur, yaitu meliputi kegiatan pengumpulan literatur sebagai dasar
dalam melakukan analisis risiko konsentrasi PM2,5;
2. Studi pendahuluan, yaitu melakukan survei lokasi sampling di kawasan
PT. KAS Kabupaten 50 Kota;
3. Pengumpulan data diperoleh dari pengukuran langsung dan kuisioner;
4. Pengukuran konsentrasi PM2,5 dengan menggunakan alat Low Volume Air
Sampler (LVAS);
5. Pengolahan data dan analisis hasil penelitian;
6. Penyusunan hasil penelitian pada laporan Tugas Akhir;
7. Selesai.

Analisis tahapan proses penulisan tugas akhir ini dapat dilihat pada Gambar 3.1

3.2 Studi Literatur

Studi literatur bertujuan untuk mempelajari dasar teori yang berkaitan dan
berhubungan langsung dengan pelaksanaan tugas akhir ini. Literatur digunakan
adalah aspek teoritis meliputi kegiatan pengumpulan literatur sebagai dasar dalam
melakukan penelitian. Sumber literatur yang digunakan adalah dari undang-
undang, perturan menteri, buku, jurnal dan internet.
Mulai

Studi Literatur

Studi Pendahuluan

1. Pemilihan lokasi dan waktu sampling


2. Penentuan parameter yang akan diukur

Pengambilan Data Primer

1. Pengukuran kondisi meteorologi menggunakan alat Meteorological


Station
2. Pengambilan sampel PM2,5 dengan Low Volume Air Sampler (LVAS)
selama 8 jam
3. Pengambilan data kuesioner dengan metode wawancara kepada
pekerja tambang

Analisis Laboratorium:

1. Analisis konsentrasi PM2,5;


2. Analisis debu silica yang terkandung dalam PM 2,5

Analisis Data:

1. Pengolahan data hasil konsentrasi PM2,5;


2. Membandingkan dengan Baku Mutu Udara Ambien pada Peraturan Pemerintah
PP 41 tahun 1999;
4. Menentukan konsentrasi debu silika yang terkandung dalam PM 2,5;
5. Analisis perkiraan risiko kesehatan lingkungan akibat pajanan logam dalam
PM2,5 menggunakan metode Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL)

A
A

Penyusunan Laporan

Selesai

Gambar 3.1 Diagram Alir Tahapan Penulisan

3.3 Studi Pendahuluan

1. Lokasi dan waktu sampling

Lokasi sampling yang dipilih adalah PT. KAS Kabupaten 50 Kota. PT. KAS
Kabupaten 50 Kota memiliki jam kerja selama 8 jam per hari dari pukul 08.00-
17.00 WIB dengan waktu istirahat selama 1 jam. Sampling dilakukan pada area
pertambangan selama 8 jam. Sampling kualitas udara dilakukan dengan
menggunakan alat Low Volume Air Sampler (LVAS). Data kuesioner diambil
berdasarkan data pekerja yang di jadikan titik sampling.

2. Parameter Pengukuran

Penelitian ini dilakukan untuk mengukur konsentrasi PM 2,5 dan mengukur


konsentrasi debu silika yang terkandung dalam PM2,5.

3.4 Pengambilan data primer

1. Pengukuran kondisi meteorologi

Pengukuran arah angin, kecepatan angin, suhu udara, tekanan udara, kelembaban
udara pada saat pengukuran konsentrasi PM2,5 menggunakan alat meteorological
station. Pengukuran dilakukan selama 24 jam untuk mendapatkan hasil yang
akurat. Adapun alat yang digunakan pada pengukuran ini dapat dilihat pada
gambar 3.2
Gambar 3.2 Meteorological Station PCE-FWS-20
Sumber: Laboratorium Pemantauan Kualitas Udara, 2017

2. Pengukuran PM2,5

Pengukuran PM2,5 menggunakan alat Low Volume Air Sampler (LVAS) dengan
laju aliran 3,5 L/menit.Pengukuran dilakukan pada area pengolahan batuan.
Adapun alat yang digunakan pada pengukuran ini dapat dilihat pada gambar 3.3

Gambar 3.3 Low Volume Air Sampler (LVAS)

3. Pengambilan data kuesioner


Pengambilan data kuesioner dilakukan kepada pekerja tambang yang dijadikan
titik sampling. Data ini diperlukan untuk studi ARKL yang membutuhkan data
risk agent. Data kuesioner berisi tentang gambaran umum responden termasuk
umur, berat badan dan waktu beraktivitas di dalam dan diluar ruangan.
3.5 Analisis Laboratorium

1. Analisis konsentrasi PM2,5


Analisis laboratorium yang dilakukan yaitu pengukuran berat filter menggunakan
neraca analitik. Filter ditimbang sebanyak 5 kali pada masing – masing filter
kemudian hasil yang didapatkan di rata – ratakan sehingga di peroleh konsentrasi
PM2,5.

2. Analisis silika yang terkandung dalam PM2,5


Alat yang digunakan dalam pengukuran konsentrasi silika ini adalah Inductively
Coupled Plasma (ICP). Pembacaan alat ini mengharuskan sampel partikulat
berada dalam bentuk cair. Dalam hal ini untuk mencairkan partikulat yang telah
terkumpul pada filter dilakukan dengan metode destruksi filter. Proses destruksi
dilakukan dalam lemari asam karena menggunakan larutan HNO 3 yang bersifat
iritan. Destruksi terhadap sampel partikulat dilakukan secara bertahap di
laboratorium.

Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut:

1. Filter dipotong-potong sehingga menjadi beberapa bagian yang halus;

(a)
Gambar 3.4 Filter LVS

2. Masing-masing strip sampel dimasukkan ke dalam beaker glass 120 ml


lalu tambahkan HNO3 pekat 1:1 sebanyak 50 ml, asam nitrat ini dapat
melarutkan logam yang ada pada sampel dan menghilangkan material
organik. Strip sampel tersebut sebaiknya dipotong-potong menjadi
beberapa bagian kecil untuk mempermudah proses destruksi;
3. Sampel dipanaskan di dalam hot plate selama 6-8 jam hingga seluruh
logam yang terkandung di dalam partikulat terlarut seluruhnya ke dalam
larutan asam dan filter menjadi bubur pulp dan larutan yang tersisa
menjadi 40 ml. Selama pemanasan dapat dilakukan penambahan HNO3
secukupnya;
4. Larutan kemudian didinginkan sebelum disaring dengan menggunakan
kertas saring ke dalam gelas volumetrik 100 ml lalu diencerkan hingga
mencapai batas dengan menggunakan aquades;
5. Larutan tersebut dimasukkan ke dalam botol polyethylene yang bersih dan
disimpan dalam lemari es;
6. Ukur konsentrasi silika.

3.6 Analisis Data

1. Menentukan konsentrasi PM2,5

Analisis konsentrasi partikulat dilakukan dengan metode gravimetri yaitu


menimbang berat partikulat yang tertahan di permukaan filter (selisih berat filter
sesudah dan sebelum sampling). Filter yang sudah digunakan untuk sampling
dikondisikan kembali dalam desikator selama 24 jam, kemudian ditimbang
dengan neraca analitik. Data hasil penimbangan berat filter tersebut diolah lebih
lanjut untuk memperoleh konsentrasi partikulat (PM2,5).

Langkah-langkah perhitungan adalah sebagai berikut.

a. Hitung volume udara yang dihisap.

(Q  Q  .....  Q ) x t
V 1 2 n
n
Dimana:
V = volume udara yang disampling
Q1 = debit udara saat pencatatan pertama, m3/menit
Q2 = debit udara saat pencatatan kedua, m3/menit
Qn = debit udara saat pencatan ke-n, m3/menit
t = waktu sampling, menit
b. Volume gas standar (VSTP) adalah volume gas yang diukur pada kondisi
standar (STP). Temperatur standar adalah 250C atau 298 K, dan tekanan udara

Ps x Vs Pst x Vstp

T1 Tstp
standar adalah 1 atm atau 760 mmHg. Konversi hitungan diperlukan untuk
memperoleh volume standar.
c. Hitung konsentrasi partikulat di udara ambien.
Dimana:

C = konsentrasi partikulat tersuspensi, g/m3


(Wt  W0 ) x 106
C
Vstp

W0 = berat awal filter, g

Wt = berat akhir filter, g

Vs = volume udara, m3

Vstp = volume udara terhisap setelah dikoreksi menjadi udara standar


yaitu pada 250C, 1 atm

2. Menentukan konsentrasi silika yang terkandung dalam PM2,5


Hasil konsentrasi silika di peroleh dari alat Inductively Coupled Plasma (ICP).

Konsentrasi silika di udara:

(C s x Vs )  (Cb x Vb )
C
VSTP x F
Dimana:

C = Konsentrasi silika di udara


Cs = Konsentrasi silika dalam larutan sampel (µg/m3)
Cb = Konsentrasi silika dalam larutan blanko (µg/m3)
Vs = Volume sampel (ml)
Vb = Volume sampel dan blanko (ml)
VSTP = Volume udara standar (m3)
F = Fraksi sampel yang didestruksi

3. Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan

Analisis Risiko Kesehatan Lingkungan (ARKL) merupakan sebuah pendekatan


untuk menghitung atau memprakirakan risiko pada kesehatan manusia, termasuk
identifikasi terhadap adanya faktor ketidakpastian, penelusuran pada pajanan
tertentu, memperhitungkan karakteristik yang melekat pada agen yang menjadi
perhatian dan karakteristik dari sasaran yang spesifik. Langkah – langkah metode
ARKL sebagai berikut:
1. Identifikasi bahaya (hazard identification)
Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama dalam ARKL yang
digunakan untuk mengidentifikasi terhadap jenis dan sifat serta
kemampuan yang melekat pada suatu agen risiko yang dapat menyebabkan
dampak buruk organisme, isitim, atau sub/populasi.
2. Analisis dosis - respon (dose-response assessment)
Analisis hubungan antara jumlah total suatu agen yang diberikan, diterima,
atau diserap oleh suatu organisme, sistim, atau sub/ populasi dengan
perubahan yang terjadi pada suatu organisme, system atau sub/ populasi.
3. Analisis pajanan (exposure assessment)
Analisis pemajanan yaitu dengan mengukur atau menghitung intake atau
asupan dari agen risiko.
4. Karakterisasi risiko (risk characterization)
Merupakan langkah ARKL terakhir yang dilakukan untuk menetapkan
tingkat risiko atau dengan kata lain menentukan apakah agen risiko pada
konsentrasi tertentu yang dianalisis pada ARKL berisiko menimbulkan
gangguan kesehatan pada masyarakat (dengan karakteristik seperti berat
badan laju inhalasi/ konsumsi, waktu, frekuensi, durasi pajanan yang
tertentu) atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA

Agusnar, H. 2008. Analisa Pencemaran dan Pengendalian Pencemaran, USU


Press. Medan

Cheng et al., 2012. Relationship Between Anxiety, Depression, and Asthma


Control. Zhonghua Yi Xue Za Zhi. 92(30): 2128-30.

Departemen Kesehatan R.I. 2005. Rencana Strategi Departemen Kesehatan.


DepKes RI. Jakarta.

Desianti, I., Rahmaniah, R., & Zelviani, S. 2018. Karakterisasi Nanosilika Dari
Abu Terbang (Fly Ash) Pt. Bosowa Energi Jeneponto Dengan
Menggunakan Metode Ultrasonic. JFT: Jurnal Fisika dan Terapannya,
5(2), 101-108.

Goncalves M.R.F., and Bregmann, C.P. 2000. Thermal Insulator Made with
Cordierite: Production and correlation between properties and
microstructure. J. Construction and Building Material Vol. 10, pp.925-
930.

Kolluru RV, et al. 1996. Risk Assessment and Management Handbook for
Environmental, Health, and Safety Professionals. Mcgraw-Hill,

Louvar JF, Louvar BD. Health and Environmental Risk Analysis: Fundamentals
with Applications: Prentice Hall PTR; 1998.

Mulia, R.M. 2005. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Novirsa, R. 2012. Analisis Risiko Pajanan PM2,5 di Udara Ambien Siang Hari
terhadap Masyarakat di Kawasan Industri Semen

Pemerintah Republik Indonesia.1999. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun


1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Sekretaris Kabinet
Republik Indonesia. Jakarta.
Rahman, A. 2007. Analisis risiko secara kuantitatif, makalah seminar Depok:
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Sarudji, D. 2010. Kesehatan Lingkungan, Cetakan Pertama, Bandung: CV Karya


Putra.

Seinfeld. 1986. Atmospheric, Chemistry and Physics of Air Pollution, John Willey
& Sons, New York

Siswati dan K C Diyanah, 2017. Analisis Risiko Pajanan Debu (Total Suspended
Particulate). Universitas Airlangga
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).
Jakarta: Sagung Seto.

U.S. EPA. (Environmental Protection Agency). 2013. Particulate Matter (PM)


Research.

U.S. EPA. (Environmental Protection Agency). 2016. Introduction to Indoor Air


Quality. Indoor Air Pollution and Health

Xing, Y. X. 2016. The Impact of PM2.5 on the Human Respiratory System.


Journal of Thoracic Disease, Vol 8.

Anda mungkin juga menyukai