PENDAHULUAN
Udara merupakan salah satu unsur lingkungan, sehingga kualitasnya harus tetap
dijaga, karena di dalam udara mengandung sejumlah besar oksigen yang
merupakan komponen penting bagi kelangsungan hidup manusia. Pencemaran
udara pada umumnya dihasilkan dari aktivitas manusia. Salah satu sumber
pencemaran udara yang berkontribusi besar adalah kegiatan industri. Jenis
pengolahan, proses dan bahan baku akan menentukan jenis pencemaran udara
yang akan dihasilkan. Kegiatan industri pada umumnya melakukan proses
pembakaran untuk mengolah bahan baku yang akan menghasilkan pencemar
udara seperti partikulat dan gas.
PT. Koto Alam Sejahtera (PT. KAS) adalah perusahaan yang bergerak di bidang
industri pertambangan andesite dengan sistem tambang terbuka (surface mining)
dengan metoda penambangan Quarry. Pemberaian batuan andesite hanya bisa
dilakukan dengan kegiatan pemboran dan peledakan, karena material yang akan
diberai memiliki kekuatan yang sangat keras. Kegiatan utama produksi
pertambangan seperti peledakan dan pengangkutan batuan menghasilkan
partikulat dalam jumlah besar. Partikulat partikulat tambang mineral seperti debu
tambang mengandung berbagai bahan yang berbahaya bagi kesehatan manusia
salah satu yang menjadi pusat perhatian adalah silika dalam bentuk SiO2 yang
dapat menyebabkan gangguan pernapasan hingga kanker jika terpapar ke
manusia. Berdasarkan data Yeuwei (2013) ada lebih dari 1,7 juta pekerja di
Amerika Serikat, lebih dari 2 juta pekerja di Eropa, dan lebih dari 23 juta pekerja
di China sudah terpapar debu silika saat bekerja.
1.2.1 Maksud
Maksud dari tugas akhir ini adalah untuk menganalisis risiko kesehatan akibat
pajanan debu silika di PT. KAS Kabupaten 50 Kota .
1.2.2 Tujuan
BAB V PENUTUP
Bab ini berisikan simpulan dan saran berdasarkan pembahasan yang
telah diuraikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sumber pencemaran yang utama berasal dari transportasi, dimana hampir 60%
dari polutan yang dihasilkan terdiri dari karbon monoksida dan sekitar 15% terdiri
dari hidrokarbon. Sumber-sumber polusi lainnya misalnya pembakaran, proses
industri, pembuangan limbah dan lainnya (Agusnar, 2008).
Sumber pencemar udara dapat dikelompokkan menjadi sumber bergerak dan
sumber tidak bergerak (Sarudji, 2010).
1. Sumber Bergerak
Sumber pencemar udara bergerak dapat dikelompokkan menjadi:
(a). Kendaraan bermotor,
(b). Pesawat terbang
(c). Kereta api dan
Menurut (Sarudji, 2010), yang termasuk sumber pencemar dari bahan bakar
bersumber menetap adalah pembakaran beberapa jenis bahan bakar yang
diemisikan pada suatu lokasi yang tetap. Bahan bakar tersebut terdiri atas batu
bara, minyak bakar, gas alam, dan kayu destilasi minyak. Berbeda dengan sarana
transportasi, sumber pencemar udara menetap mengemisikan polutan pada udara
ambien tetap, sehingga dalam pengelolaan lingkungannya perlu perencanaan yang
matang, misalnya harus dipertimbangkan keadaan geografi dan tofografi,
metereologi, serta rencana tata ruang di wilayah tersebut.
Ada beberapa keadaan cuaca yang dapat mempengaruhi kualitas udara, yaitu
(DepKes RI,2005):
1. Suhu
Suhu dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara. Suhu udara yang tinggi
menyebabkan udara makin renggang sehingga konsentrasi pencemar menjadi
makin rendah. Sebaliknya pada suhu yang dingin keadaan udara makin padat
sehingga konsentrasi pencemar di udara tampaknya makin tinggi.
2. Kelembaban
Kelembaban udara juga dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar di udara. Pada
kelembaban yang tinggi maka kadar uap air di udara dapat bereaksi dengan
pencemar udara, menjadi zat lain yang tak berbahaya atau menjadi pencemar
sekunder.
3. Tekanan udara
Tekanan udara tertentu dapat mempercepat atau menghambat terjadinya suatu
reaksi kimia antara pencemar dengan zat pencemar di udara atau zat-zat yang ada
di udara, sehingga pencemar udara dapat bertambah ataupun berkurang.
4. Angin
Angin merupakan udara yang bergerak. Akibat pergerakan udara maka akan
terjadi suatu proses penyebaran sehingga dapat mengakibatkan pengenceran dari
bahan pencemaran udara, sehingga kadar suatu pencemar pada jarak tertentu dari
sumber akan mempunyai kadar yang berbeda. Demikian juga halnya dengan arah
dan kecepatan angin dapat mempengaruhi kadar bahan pencemar setempat.
5. Sinar matahari
Sinar matahari juga mempengaruhi kadar pencemar udara di udara karena dengan
adanya sinar matahari tersebut maka beberapa pencemar di udara dapat dipercepat
atau diperlambat reaksinya dengan zat-zat lain di udara sehingga kadarnya dapat
berbeda menurut banyaknya sinar matahari yang menyinari bumi. Demikian juga
halnya mengenai banyaknya panas matahari yang sampai ke bumi, yang dapat
mempengaruhi kadar pencemar udara.
6. Curah hujan
Adanya hujan yang merupakan suatu partikel air di udara yang bergerak dari atas
jatuh ke bumi, dapat menyerap pencemar gas tertentu ke dalam partikel air, serta
dapat menangkap partikel debu baik yang inert maupun partikel debu yang lain,
menempel pada partikel air dan dibawa jatuh ke bumi. Dengan demikian
pencemar dalam bentuk partikel dapat berkurang konsentrasinya akibat jatuhnya
hujan.
Particulate Matter merupakan salah satu bahan pencemar yang terdiri atas
campuran kompleks partikel seperti debu, kotoran, jelaga, asap, dan tetesan cairan
yang ditemukan di udara dengan ukuran cukup. PM 2,5 adalah debu respirabel yang
dapat tertahan mulai dari bronchiolus terminalis sampai alveolus sehingga
termasuk debu yang paling berbahaya (Sumakmur, 2009). PM 2,5 dapat membawa
berbagai zat beracun, melewati penyaringan bulu hidung, mencapai bagian dalam
saluran pernafasan melalui aliran udara kemudian menumpuk dan merusak bagian
tubuh lain melalui pertukaran udara di paru-paru (Xing, 2016).
Partikulat biasanya berdiameter kecil dari 0,0002 µm dan lebih kecil dari 500 µm.
Partikulat merupakan salah satu jenis polutan yang keberadaannya di udara
ambien terus meningkat, seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia.
Partikulat mempunyai waktu tinggal di udara selama beberapa detik hingga
beberapa bulan. Menurut (EPA,2013), PM2,5 adalah partikel debu yang berukuran
≤ 2,5 mikrometer atau lebih kecil 1/30 bagian dari diameter rambut manusia.
Waktu Baku
No Parameter Metode Analisis Peralatan
Pengukuran Mutu
24 Jam 65
PM2,5 µm/Nm3
1 (Partikel <2,5 Gravimetri Hi - Vol
15
µm) 1 Tahun
µm/Nm3
Sumber: PP No. 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
2.6 Silika
Silika adalah senyawa kimia dengan rumus molekul SiO 2 (silikon dioksida)
merupakan senyawa kimia yang terdiri dari silikon dan oksigen yang dapat
diperoleh dari silika mineral, nabati dan sintesis kristal. Silika mineral adalah
senyawa yang banyak ditemui dalam bahan tambang/galian yang berupa mineral
seperti pasir kuarsa, granit dan fledstar yang mengandung kristal-kristal silika.
Silika secara alami terdapat dalam bentuk kristalin dan amorfus. Kristalin silika
terdapat dalam 3 bentuk utama, yaitu kuarsa, tridimit dan kristobalit. Sedangkan
struktur amorfus dapat ditemukan dalam bentuk opal, flint, kaca silika,
diatomaceous earth dan vitreous silica. Selain terbentuk secara alami, silika
dengan struktur kristal tridimit dapat diperoleh dengan cara memanaskan pasir
kuarsa pada suhu 870°C dan bila pemanasan dilakukan pada suhu 1470°C dapat
diperoleh silika dengan struktur kristobalit. Silika juga dapat dibentuk dengan
mereaksikan silikon dengan oksigen atau udara pada suhu tinggi (Goncalves,
2000).
2. ARKL dilakukan dengan maksud untuk mengidentifikasi bahaya apa saja yang
membahayakan, memahami hubungan antara dosis agen risiko dan respon
tubuh yang diketahui dari berbagai penelitian, mengukur seberapa besar
pajanan agen risiko tersebut, dan menetapkan tingkat risiko dan efeknya pada
populasi.
Pada dasarnya, ARKL hanya mengenal empat langkah, yaitu (Direktorat Jenderal
PP dan KL, 2012):
1. Identifikasi bahaya
Identifikasi bahaya adalah identifikasi terhadap jenis dan sifat serta kemampuan
yang melekat pada suatu agen risiko yang dapat menyebabkan dampak buruk
organisme, sistim, atau sub/populasi (Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012).
Identifikasi bahaya merupakan langkah pertama yang dilakukan dalam suatu
analisis risiko. Indentifikasi bahaya adalah melakukan penilaian toksisitas data
untuk menilai efek dari suatu bahan dan dampaknya terhadap manusia dan
lingkungan atau penilaian besarnya dampak negatif dari suatu keadaan atau
kondisi. Pada banyak kasus, bahan yang telah diketahui kemudian dibandingkan
dengan bahan kimia yang sudah teregister apakah memiliki tingkat karsinogen,
beracun, non karsinogen, dan sebagainya. Setelah suatu zat bahaya diketahui,
kemudian dilakukan identifikasi terhadap sumbernya. Identifikasi sumber bahaya
tergantung kepada dimana suatu studi analisis dilakukan. Namun yang terpenting
adalah informasi mengenai sumber bahaya meliputi tingkat debit, lokasi yang
berpotensi, kondisi lokasi (temperature dan tekanan), bahan yang dikeluarkan
(gas, cair, atau keduanya), dan karakteristik fisik seperti tekanan uap dan
toksisitas (Louvar, 1998).
Analisis dosis respon merupakan analisis hubungan antara jumlah total suatu agen
yang diberikan, diterima, atau diserap oleh suatu organisme, sistim, atau
sub/populasi dengan perubahan yang terjadi pada suatu organisme, sistem, atau
sub/populasi (Direktorat Jenderal PP dan KL, 2012). Analisis dosis respons
merupakan tahap yang digunakan untuk menentukan hubungan antara besarnya
dosis atau level pajanan bahan kimia dengan terjadinya efek yang merugikan bagi
kesehatan manusia. Dimana tahap ini merupakan tahapan untuk menetapkan
kualitas toksisitas agen risiko mempunyai potensi menimbulkan efek yang dapat
merugikan kesehatan pada populasi yang berisiko. Adapun toksisitas agen risiko
dinyatakan dalam dosis referensi. Untuk pajanan inhalasi yang bersifat non
karsinogenik dinyatakan dengan Reference Concentration (RfC). Dosis referensi
tersebut digunakan untuk memperkirakan jumlah paparan setiap harinya pada
populasi manusia yang dapat diterima tanpa menimbulkan efek berbahaya selama
masa hidupnya. Nilai RfC bukan merupakan dosis mutlak dari suatu agen risiko,
namun hanya dosis referensi. Jika dosis yang diterima oleh populasi manusia
melebihi RfC maka peluang untuk terjadinya risiko kesehatan menjadi lebih besar
(Siswati, 2017)
Setelah melakukan identifikasi bahaya (agen risiko, konsentrasi dan media
lingkungan), maka tahap selanjutnya adalah melakukan analisis dosis- respons
yaitu mencari nilai RfD, dan/atau RfC, dan/atau SF dari agen risiko yang menjadi
fokus ARKL, serta memahami efek apa saja yang mungkin ditimbulkan oleh agen
risiko tersebut pada tubuh manusia. Analisis dosis – respon ini tidak harus dengan
melakukan penelitian percobaan sendiri namun cukup dengan merujuk pada
literatur yang tersedia.
Uraian tentang dosis referensi (RfD), konsentrasi referensi (RfC), dan slope factor
(SF) adalah sebagai berikut:
a. Dosis referensi dan konsentrasi yang selanjutnya disebut RfD dan RfC adalah
nilai yang dijadikan referensi untuk nilai yang aman pada efek non
karsinogenik suatu agen risiko, sedangkan SF (slope factor) adalah referensi
untuk nilai yang aman pada efek karsinogenik.
b. Nilai RfD, RfC, dan SF merupakan hasil penelitian (experimental study) dari
berbagai sumber baik yang dilakukan langsung pada obyek manusia maupun
merupakan ekstrapolasi dari hewan percobaan ke manusia.
c. Untuk mengetahui RfC, RfD, dan SF suatu agen risiko dapat dilihat pada
Integrated Risk Information System (IRIS) yang bisa diakses di situs
www.epa.gov/iris.
d. Jika tidak ada RfD, RfC, dan SF maka nilai dapat diturunkan dari dosis
eksperimental yang lain seperti NOAEL (No Observed Adverse Effect Level),
LOAEL (Lowest Observed Adverse Effect Level), MRL (Minimum Risk Level),
baku mutu udara ambien pada NAAQS (National Ambient Air Quality
Standard) dengan catatan dosis eksperimental tersebut mencantumkan faktor
antropometri yang jelas (Wb, tE, fE, dan Dt).
Dosis respons akan menunjukkan tingkat toksisitas dari suatu bahan yang
biasanya dinyatakan dalam:
a. NOAEL (No Observed Adverse Effect Level) adalah pajanan tertinggi diamana
tidak terdeteksi efek yang merugikan.
b. LOAEL (Low Observed Adverse Effect Level) adalah tingkat pajanan terendah
yang dapat menimbulkan efek merugikan bagi manusia.
c. ED (effective dose) adalah jumlah dosis yang dapat menyebabkan efek
permanen pada manusia.
d. TD (toxic dose) adalah jumlah dosis yang dapat menyebabkan luka permanen
pada tubuh manusia
e. LD (lethal dose) atau LC (lethal concentration) adalah jumlah dosis yang dapat
menyebabkan kematian pada organisme yang terpajan.
3. Analisis Pajanan
Dampak buruk terhadap kesehatan yang ditimbulkan oleh agen risiko terjadi
karena adanya pemajanan dengan dosis dan waktu yang cukup. Suatu organisme,
sistem, sub/populasi terpajan agen risiko di lingkungan melalui beberapa jalur
pemajanan. Dampak buruk yang timbul akibat pajanan agen risiko kimia di
lingkungan diilustrasikan melalui Gambar 2.3. Analisis pajanan merupakan
evaluasi pajanan agen dan turunannya pada organisme, sistem, atau sub/populasi.
Pada proses penilaian pemajanan akan didapatkan informasi mengenai jalur
pajanan (pathway), jumlah atau konsentrasi suatu bahan di media lingkungan,
durasi pajanan dalam jam, hari, atau tahun, serta identifikasi populasi berisiko.
Informasi ini dapat digunakan untuk melihat seberapa besar pajanan suatu bahan
pada manusia yang dapat dihitung secara matematis. Jalur pajanan memungkinkan
untuk diketahui apakah suatu bahan masuk melalui inhalasi, ingesti, atau dermal.
Rute pajanan ini dapat dijadikan pedoman untuk melihat sejauh mana suatu zat
dapat merusak di dalam jaringan manusia. Selain itu juga dapat diketahui apa
organ target yang menjadi pusat pajanan dari suatu zat atau bahan.
Gambar 2.3 Skema Pajanan dan Dosis
(Sumber: Kolluru, 1996)
Untuk menilai besarnya pajanan yang masuk ke dalam tubuh manusia dapat
dihitung dengan rumus intake. Intake menyatakan jumlah pajanan yang diterima
oleh individu per kilogram berat badan per hari (Louvar, 1998). Besar risiko/
intake non karsinogenik dan intake karsinogenik didapat dihitung dengan
persamaan berikut:
C x R x tE x fE x Dt
Ink = Wbx tavg .......................................................................(2.1)
C x R x fE x Dt
Ik = Wbx tavg .................................................................................(2.2)
Keterangan:
4. Karakterisasi risiko
karakterisasi risiko adalah yang dilakukan untuk menetapkan tingkat risiko atau
dengan kata lain menentukan apakah agen risiko pada konsentrasi tertentu yang
dianalisis pada ARKL berisiko menimbulkan gangguan kesehatan pada
masyarakat (dengan karakteristik seperti berat badan laju inhalasi/konsumsi,
waktu, frekuensi, durasi pajanan yang tertentu) atau tidak. Karakteristik risiko
dilakukan dengan membandingkan/membagi intake dengan dosis /konsentrasi
agen risiko tersebut. Variabel yang digunakan untuk menghitung tingkat risiko
adalah intake (yang didapatkan dari analisis pemajanan) dan dosis referensi
(RfD)/ konsentrasi referensi (RfC) yang didapat dari literatur yang ada (dapat
diakses di situs www.epa.gov/iris).
I
RQ = ………………………………………………………………..(2.3)
RfC
Keterangan:
RQ = Risk Characterization
RfC = Reference Concentration
RfD = Reference dose
Tingkat risiko yang diperoleh pada ARKL merupakan konsumsi pakar ataupun
praktisi, sehingga perlu disederhanakan atau dipilihkan bahasa yang lebih
sederhana agar dapat diterima oleh khalayak atau publik. Apabila RQ ˂ 1
menunjukan indikasi tidak adanya kemungkinan terjadinya risiko efek yang
merugikan, tetapi segala kondisi tetap dipertahankan sehingga nilai RQ tidak
melebihi satu. Sedangkan RQ ≥ 1 menunjukan indikasi adanya kemungkinan
terjadinya risiko efek yang merugikan yang juga berarti semakin besar pajanan
risk agen berakibat semakin besar menimbulkan risiko kesehatan sehingga perlu
dilakukan pengendalian risiko terhadap efek pajanan tersebut (Direktorat Jenderal
PP dan KL, 2012).
Tingkat risiko untuk efek karsinogenik dinyatakan dalam notasi Excess Cancer
Risk (ECR). Untuk melakukan karakterisasi risiko untuk efek karsinogenik
dilakukan perhitungan dengan mengkalikan intake dengan slope factor (SF).
Rumus untuk menentukan ECR adalah dapat dilihat pada Persamaan 2.4:
ECR = I xSF…………………….……......................................………(2.4)
Keterangan:
ECR = Excess Cancer Risk
I = Intake
SF = Slope Factor
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Tahapan dari penulisan tugas akhir yang akan dilakukan yaitu meliputi:
1. Studi literatur, yaitu meliputi kegiatan pengumpulan literatur sebagai dasar
dalam melakukan analisis risiko konsentrasi PM2,5;
2. Studi pendahuluan, yaitu melakukan survei lokasi sampling di kawasan
PT. KAS Kabupaten 50 Kota;
3. Pengumpulan data diperoleh dari pengukuran langsung dan kuisioner;
4. Pengukuran konsentrasi PM2,5 dengan menggunakan alat Low Volume Air
Sampler (LVAS);
5. Pengolahan data dan analisis hasil penelitian;
6. Penyusunan hasil penelitian pada laporan Tugas Akhir;
7. Selesai.
Analisis tahapan proses penulisan tugas akhir ini dapat dilihat pada Gambar 3.1
Studi literatur bertujuan untuk mempelajari dasar teori yang berkaitan dan
berhubungan langsung dengan pelaksanaan tugas akhir ini. Literatur digunakan
adalah aspek teoritis meliputi kegiatan pengumpulan literatur sebagai dasar dalam
melakukan penelitian. Sumber literatur yang digunakan adalah dari undang-
undang, perturan menteri, buku, jurnal dan internet.
Mulai
Studi Literatur
Studi Pendahuluan
Analisis Laboratorium:
Analisis Data:
A
A
Penyusunan Laporan
Selesai
Lokasi sampling yang dipilih adalah PT. KAS Kabupaten 50 Kota. PT. KAS
Kabupaten 50 Kota memiliki jam kerja selama 8 jam per hari dari pukul 08.00-
17.00 WIB dengan waktu istirahat selama 1 jam. Sampling dilakukan pada area
pertambangan selama 8 jam. Sampling kualitas udara dilakukan dengan
menggunakan alat Low Volume Air Sampler (LVAS). Data kuesioner diambil
berdasarkan data pekerja yang di jadikan titik sampling.
2. Parameter Pengukuran
Pengukuran arah angin, kecepatan angin, suhu udara, tekanan udara, kelembaban
udara pada saat pengukuran konsentrasi PM2,5 menggunakan alat meteorological
station. Pengukuran dilakukan selama 24 jam untuk mendapatkan hasil yang
akurat. Adapun alat yang digunakan pada pengukuran ini dapat dilihat pada
gambar 3.2
Gambar 3.2 Meteorological Station PCE-FWS-20
Sumber: Laboratorium Pemantauan Kualitas Udara, 2017
2. Pengukuran PM2,5
Pengukuran PM2,5 menggunakan alat Low Volume Air Sampler (LVAS) dengan
laju aliran 3,5 L/menit.Pengukuran dilakukan pada area pengolahan batuan.
Adapun alat yang digunakan pada pengukuran ini dapat dilihat pada gambar 3.3
(a)
Gambar 3.4 Filter LVS
(Q Q ..... Q ) x t
V 1 2 n
n
Dimana:
V = volume udara yang disampling
Q1 = debit udara saat pencatatan pertama, m3/menit
Q2 = debit udara saat pencatatan kedua, m3/menit
Qn = debit udara saat pencatan ke-n, m3/menit
t = waktu sampling, menit
b. Volume gas standar (VSTP) adalah volume gas yang diukur pada kondisi
standar (STP). Temperatur standar adalah 250C atau 298 K, dan tekanan udara
Ps x Vs Pst x Vstp
T1 Tstp
standar adalah 1 atm atau 760 mmHg. Konversi hitungan diperlukan untuk
memperoleh volume standar.
c. Hitung konsentrasi partikulat di udara ambien.
Dimana:
Vs = volume udara, m3
(C s x Vs ) (Cb x Vb )
C
VSTP x F
Dimana:
Desianti, I., Rahmaniah, R., & Zelviani, S. 2018. Karakterisasi Nanosilika Dari
Abu Terbang (Fly Ash) Pt. Bosowa Energi Jeneponto Dengan
Menggunakan Metode Ultrasonic. JFT: Jurnal Fisika dan Terapannya,
5(2), 101-108.
Goncalves M.R.F., and Bregmann, C.P. 2000. Thermal Insulator Made with
Cordierite: Production and correlation between properties and
microstructure. J. Construction and Building Material Vol. 10, pp.925-
930.
Kolluru RV, et al. 1996. Risk Assessment and Management Handbook for
Environmental, Health, and Safety Professionals. Mcgraw-Hill,
Louvar JF, Louvar BD. Health and Environmental Risk Analysis: Fundamentals
with Applications: Prentice Hall PTR; 1998.
Novirsa, R. 2012. Analisis Risiko Pajanan PM2,5 di Udara Ambien Siang Hari
terhadap Masyarakat di Kawasan Industri Semen
Seinfeld. 1986. Atmospheric, Chemistry and Physics of Air Pollution, John Willey
& Sons, New York
Siswati dan K C Diyanah, 2017. Analisis Risiko Pajanan Debu (Total Suspended
Particulate). Universitas Airlangga
Suma’mur. 2009. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja (HIPERKES).
Jakarta: Sagung Seto.