Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pembangunan di Indonesia sedang berlangsung dengan cepat, termasuk pembangunan
industri yang telah menyebar di berbagai wilayah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi merupakan faktor penting dalam pengembangan industri, yang pada gilirannya
menjadi syarat penting untuk menciptakan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera
sesuai dengan nilai-nilai Pancasila yang mulia. Pembangunan industri tidak hanya bertujuan
untuk meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi dan daya
saing industri dengan negara-negara lain.
Namun, proses pembangunan industri tidak terlepas dari dampak positif dan negatif
yang dihasilkan. Salah satu dampak negatif yang kita rasakan adalah peningkatan limbah
yang dihasilkan oleh industri, termasuk limbah udara yang secara signifikan mempengaruhi
kualitas udara di sekitar lingkungan kerja dan sekitarnya. Udara merupakan faktor penting
dalam kehidupan, namun dengan adanya peningkatan pembangunan fisik di kota-kota dan
pusat-pusat industri, kualitas udara telah mengalami perubahan yang tidak menguntungkan.
Udara yang sebelumnya segar dan bersih sekarang menjadi kering dan tercemar oleh polusi
industri (Mukono, 2005).
Lingkungan kerja yang penuh oleh debu, uap dan gas dapat mengganggu produktivitas
dan sering menyebabkan gangguan pernapasan serta dapat menyebabkan penyakit paru.
Debu adalah butiran padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam yang merupakan hasil
dari proses pemecahan suatu bahan produksi. Dalam beberapa situasi debu merupakan zat
kimia yang bias menyebabkan ketidaknyamanan dalam bekerja, gangguan pada
penglihatan, gangguan pada pernapasan terutama fungsi paru, bahkan dapat menimbulkan
keracunan umum. Debu yang terhirup secara terus menerus dapat menyebabkan kerusakan
fungsi paru. Ukuran debu yang kecil memiliki potensi yang besar dalam menimbulkan
dampak gangguan pada fungsi paru pekerja karena debu dengan ukuran kurang dari 1 μ
dapat masuk dalam alveous, sedangkan partikel debu <0,1 μ bergerak keluar masuk alveoli
dan tidak mengendap di permukaan alveoli (Suma’mur, 2013).
Partikulat menjadi salah satu faktor penting dalam upaya pemenuhan sanitasi atau
hygiene di suatu perusahaan. Paparan partikulat yang tidak sesuai standar dapat
menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan dapat menimbulkan berbagai penyakit akibat
kerja misalnya penyakit paru obstruktif ataupun penyakit paru restriktif. Risiko akan
semakin tinggi jika berada dalam lingkungan kerja dengan kondisi partikulat yang tidak
sesuai dengan standar yang diperkenankan. Oleh karena itu, praktikum pengukuran
partikulat penting dilakukan untuk mengetahui seberapa besar paparan partikulat yang ada
pada ruangan tersebut, mengetahui partikulat yang diukur sudah sesuai standar atau belum,
dan dapat memberikan rekomendasi pengendalian ketika ternyata paparan partikulat yang
terukur ternyata tidak aman atau tidak sesuai dengan standar.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana melakukan pengolahan dan analisis data partikulat pada tempat
pengambilan data?
2. Bagaimana menentukan kondisi aman sesuai dengan peraturan yang berlaku ?
3. Bagaimana rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan apabila kondisi tidak aman
sesuai dengan hirarki pengendalian bahaya ?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mampu melakukan pengolahan dan analisa data partikulat pada tempat pengambilan
data.
2. Mampu menentukan kondisi aman sesuai dengan peraturan yang berlaku
3. Mampu memberikan rekomendasi perbaikan yang perlu dilakukan
1.4 Ruang Lingkup
Praktikum dilakukan pada beberapa tempat di PPNS. Pelaksanaan praktikum partikulat
dilakukan di Bengkel Las pada hari Selasa, 23 Mei 2023 menggunakan alat pengukuran
Wet Bulb Globe Temperature Instrument. Praktikum dilakukan bersama kelompok 3 yang
terdiri dari 7 orang yaitu,
1. Fadilah Rizky D.(0522040037),
2. Kirana Dayanti S. (0522040043),
3. Lidya Ayu N. (0522040045),
4. Luthfiyah Nurul K. (0522040046),
5. Muh. Fikri F (0522040051),
6. Naufal Labiib Y.F (0522040054),
7. Robitulhaq (0522040061).
BAB 2

DASAR TEORI

2.1 Partikulat
Partikulat adalah pencemar udara yang dapat berada bersama- sama dengan bahan atau
bentuk pencemar lainnya. Partikulat dapat diartikan secara murni atau sempit sebagai
bahan pencemar udara yang berbentuk padatan. Namun, dalam pengertian lebih luas,
partikulat dapat meliputi berbagai macam bentuk, mulai dari bentuk yang sederhana
sampai bentuk yang rumit dan kompleks. Pengaruh partikel (partikulat) debu bentuk padat
maupun cair yang berada di udara sangat tergantung pada ukurannya. Ukuran partikulat
debu yang berbahaya bagi kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan
10 mikron. Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan yang dapat
langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti
bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat
yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan
iritasi (Departemen Kesehatan, 2005). Berbagai proses alami yang menyebabkan
penyebaran partikulat di atmosfer, misalnya letusan vulkano dan hembusan debu serta
tanah oleh angin. Aktivitas manusia juga berperan dalam penyebaran partikulat, misalnya
dalam bentuk partikulat debu dan asbes dari bahan bangunan, abu terbang dari proses
peleburan baja, dan asap dari proses pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang.
Sumber partikulat yang utama adalah dari pembakaran bahan bakar dari sumbernya diikuti
oleh proses-proses industri (Kusminingrum dan Gunawan, 2008).
Paparan partikulat dalam jangka pendek dapat mengurangi fungsi kerja jantung atau
yang mengarah pada meningkatnya penggunaan obat-obatan, rawat inap, dan kematian
dini. Sedangkan paparan jangka waktu panjang dapat menyebabkan perkembangan
penyakit jantung maupun paru-paru yang mengarah ke kematian dini. Selain efek terhadap
kesehatan yang tinggi, paparan dari partikulat dapat mengganggu visibilitas,
mempengaruhi proses ekosistem, menyebabkan kerusakan struktur tanah dan bangunan.
Dampak terhadap iklim tergantung pada jenis partikulatnya. Partikulat yang bersifat
reflektif dapat menyebabkan pendinginan dan beberapa partikulat (terutama black carbon)
dapat menyerap energi dan mengakibatkan pemanasan. Dampak lain adalah perubahan
waktu dan perubahan siklus hujan (DEFRA, 2010; NAQI, 2014; AQI, 2014).
Partikulat atau particulate matter (PM) adalah kombinasi kompleks dari partikel padat
dan aerosol di udara. Partikulat terdiri dari beberapa komponen seperti asam (nitrat dan
sulfat), unsur kimia organik, logam, debu tanah (Mogireddy, 2011) dan spora jamur
(Araújo-Martins et al., 2014; Woodson, 2012). Partikulat di dalam ruangan berasal dari
penetrasi partikulat dari luar ruangan maupun partikulat yang memang terbentuk di dalam
ruangan baik dari emisi langsung proses produksi dan aktivitas di dalam ruangan yang
menghasilkan partikulat (partikulat primer) maupun dari reaksi kimia gas precursor
(partikulat sekunder).
Diameter aerodinamis merupakan salah satu kriteria utama untuk menggambarkan
kemampuan transportasi partikulat di atmosfer. dan/atau kemampuan partikulat terhirup
melalui system respirasi organisme (Esworthy, 2013). Environmetal Protection Agency
(EPA) telah mengkategorikan partikel menjadi 2 berdasarkan prediksi kemampuan
kapasitas penetrasi kedalam paru-paru yaitu :
1) partikulat kasar (PM10) dengan diameter aerodinamis 10 µm
2) partikulat halus dengan diameter aerodinamis 2,5 µm (Esworthy, 2013).

Tabel 2.1. Perbedaan Dasar Partikulat berdasrkan Ukuran Partikel


Karakteristik Partikulat kasar (PM10) Partikulat halus (PM22) Referensi
Diameter < 10 µm <2,5 µm Atkinson et al.
(2010)
Komposisi Sulfate, SO2−4; nitrate, Debu resuspended,debu Cheung et al.
NO−3; ammonium, NH+4; tanah, debu jalan; batubara (2011)
hydrogen ion, H+; dan flyash minyak; metal
elemental carbon, C; oxides dari Si, Al,Mg, Ti,
organic compounds; PAH; Fe, CaCO3, NaCl, garam
metals, Pb, Cd, V, Ni, Cu, laut; benangsari,
Zn; partikel yang berikatan spora
dengan air; dan biogenik jamur, dan bagian
organik. tanaman.
Sumber Pembakaran batubara, Resuspensi dari tanah Srimuruganandam
minyak, gasoline, menjasi jalan, suspensi and Nagendra
transformasi produk NOx, dari pertanian, (2012)
SO2 dan organik termasuk pertambangan, resuspensi
biogenic organic misalnya debu industry, konstruksi,
terpene, proses batubara dan pembakaran
temperature tinggi, minyak dan ocean spray.
peleburan, smelter
dan steel mills.
Sumber : Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo & Nadia Rachmat, Aulia, 2019
Tabel 2.1. Perbedaan Dasar Partikulat berdasrkan Ukuran Partikel
Karakteristik Partikulat kasar (PM10) Partikulat halus (PM22) Referensi
Lifetime Harian sampai dengan Menit sampai dengan jam Cheung et al.
mingguan (2011)
Jarak tempuh 100 sampai 1000 1 sampai 10 Srimuruganandam
(km) and Nagendra
(2012)
Sumber : Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo & Nadia Rachmat, Aulia, 2019
Partikulat dapat berasal dari sumber yang sangat luas antara lain debu jalan, debu
pertanian, dari sector konstruksi, river bed, pekerjaan pertambangan dan sebagainya (Juda-
Rezler et al., 2011). Hal umum yang digunakan untuk membedakan partikulat halus
(PM2,5) dan partikulat kasar (PM10) dijelaskan pada Tabel 1. Partikel halus dengan
diameter kurang dari 0,1 μm dikategorikan sebagai partikel sangat halus (PM 0,1). Gambar
1 menunjukkan perbandingan ukuran antara (PM2,5) dan (PM10) terhadap rata-rata diameter
rambut manusia (~70 μm) dan pasir pantai halus (~90 μm) Sumber partikulat berasal dari
emisi langsung ke udara atau hasil konversi dari gas precursor (seperti sulfur dioxide, oxide
nitrogen, ammonia dan senyawa organic volatile non methane) yang dilepaskan dari
aktifitas antropogenik dan aktifitas natural (Atkinson et al., 2010).

Sumber antropogenik misalnya pembakaran di industri dan aktifitas pertanian, erosi


dan abrasi rem dan ban mobil/motor (Srimuruganandam and Nagendra, 2012). Partikel
inorganic dari proses penghancuran material mengandung silicon (Si), aluminum (Al),
potassium (K), sodium (Na), and calcium (Ca) (Lindbom et al., 2006), sedangkan partikel
dari ban dan rem kendaraan mengandung logam seperti copper (Cu), antimony (Sb), lead
(Pb), cadmium (Cd), dan zinc (Zn) (Hjortenkrans et al., 2006). Mengingat ukurannya yang
kecil, partikulat halus tersuspensi di udara dalam jangka waktu yang lama (mingguan atau
bulanan) dan dapat ditransportasikan ratusan (atau bahkan ribuan) kilometer (Johansson et
al., 2007).

Musim berpengaruh terhadap konsentrasi ambien partikulat. Penelitian yang


dilakukan selama empat musim di Hutan Xitou, Taiwan dari musim dingin 2013 hingga
musim gugur 2014 menunjukkan variasi musiman dari karakteristik kimia PM 2,5. Selama
musim dingin, musim panas dan musim gugur, komponen utama PM2,5 berasal dari Sulfat
non garam laut (nssSO4 2-) diikuti oleh NH4, dan NO3 -. Pada musim semi fraksi massa
dari NO3- meningkat dan sebanding dengan nss-SO4 2- . Kontribusi massa karbon
sekunder ke PM2,5 tertinggi berada di musim panas. (Lee dkk, 2019)(Kadir, Driejana and
Santoso, 2020).

Gambar 2.1 : Menunjukkan perbandingan ukuran antara (PM2,5)dan(PM10) terhadap rata-


rata diameter rambut manusia (~70 μm) dan pasir pantai halus (~90 μm)
Sumber : Guaita et al., 2011

2.2 Dampak dari Partikulat


Partikulat telah lama diketahui memberikan dampak buruk terhadap kesehatan untuk
diameter < 10 μm. Partikel ini akan masuk ke dalam sistem pernafasan dari saluran hidung
sampai dengan bagian dalam paru-paru yaitu alveoli karena kemampuan penetrasi yang
besar (Londahl et al., 2007). Partikel antara 5 μm sampai dengan 10 μm akan terdeposit
pada tracheobronchial, sedangkan diameter 1 - 5 μm akan terdeposit pada bronchioles dan
alveoli (tempat dimana terjadi pertukaran gas) (Gambar 2) (Londahl et al., 2006). Partikel
ini akan mempengaruhi pertukaran gas didalam paru-paru dan masuk ke paru-paru. Pada
akhirnya, partikel ini akan masuk ke dalam aliran darah yang akan menyebabkan gangguan
kesehatan yang serius (Fu et al., 2011). Partikel yang lebih kecil dari 1 m akan berperilaku
mirip dengan molekul gas dan akan masuk ke alveoli (deposisi partikel dipengaruhi oleh
gaya difusi) dan dapat berpindah masuk ke dalam jaringan sel dan/atau system sirkulasi
darah (Valavanidis et al., 2008).
Paparan partikulat telah diidentifikasi sebagai sejumlah gangguan kesehatan termasuk
peningkatan kunjungan ke rumah sakit, kondisi emergency, gelaja pada saluran
pernafasan, penyakit gangguan pernafasan kronis dan penyakit kardiovaskular, penurunan
fungsi paru, dan kematian usia muda.
Gambar 2.2 : Diagram yang Menunjukkan Zona Pernafasan dari Partikel Debu yang
Inhalable, Thoracic, dan Respirable.
Sumber: Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo
& Nadia Rachmat, Aulia, 2019
Partikulat udara halus dan partikulat terespirasi merupakan partikulat yang berbahaya
karena dapat secara efektif masuk ke saluran pernafasan. Partikulat yang berukuran kurang
dari 2,5 μm (PM2,5) dapat berpenetrasi menembus bagian terdalam dari paru-paru dan
sistem jantung, menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut, kanker paru-paru, penyaki
kardiovaskular dan bahkan kematian (6-11) (Santoso et al., 2016). Efek yang ditimbulkan
oleh polutan ini tergantung dari besarnya pajanan (kadar/ dosis di udara dan lama/waktu
pajanan) dan faktor kerentanan individu.

Efek buruk lebih mudah terjadi pada anak, individu dengan penyakit jantung, saluran
pernapasan, dan diabetes mellitus. Selain itu, ukuran polutan juga menentukan lokasi
anatomis terjadinya deposit polutan dan efeknya terhadap jaringan sekitar. Berkaitan
dengan hal tersebut, melalui Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, sudah ditetapkan baku mutu udara ambien nasional
untuk PM2,5 sebesar 65 μm/m3 untuk rata-rata 24 jam. Untuk udara di dalam ruangan
(indoor) baku mutu 35 μm/m3 sesuai dengan Permenkes No 1077 tahun 2011, sedangkan
menurut United States Environmental Protection Agency (USEPA) batas aman PM2,5 di
udara ambien untuk satu tahun adalah 15 μm/m 3 (Azhar, Dharmayanti and Mufida, 2016).

2.3 Perhitungan Partikulat

Analisis paparan partikulat terhadap manusia dilakukan dengan perhitungan nilai IEC
(inhalation exposure concentration). Perhitungan nilai IEC dilakukan sebagai gambaran
awal untuk mengetahui potensi paparan dari unsur-unsur kimia terhadap manusia melalui
jalur inhalasi di lingkungan umum (udara ambien), dengan menggunakan persamaan
berikut :
Hasil dari perhitungan IEC merupakan gambaran yang akan merujuk pada estimasi
rata- rata paparan polutan partikulat terespirasi pada masyarakat selama kurun waktu
tersebut. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai dasar untuk studi epidemiologi dengan
menghubungkannya dengan data kejadian penyakit saluran pernafasan.

𝐸𝑇 𝐸𝐹 𝐸𝐷
𝐸𝐶 = 𝐶𝑎 × × × × 𝐵𝐼𝑂
24 365 70

Keterangan
IEC : Konsentras paparan melalui inhalasi (mg/m 3)
Ca : Konsentrasi unsur kimia di udara (mg/m3 )
ET : Waktu paparan (jam/hari)
EF : Frekuensi paparan (hari/tahun)
ED : Durasi terpapar (tahun)
BIO : Faktor bioavailibility = 1,0

Dalam perhitungan IEC, waktu paparan ET yang digunakan untuk seluruh lokasi adalah
8 jam disesuaikan dengan rata-rata aktivitas di luar ruangan dari penduduk di keseluruhan
lokasi. Frekuensi paparan (EF) yang digunakan adalah 365 hari, sedangkan durasi terpapar
(ED) adalah selama 67,8 tahun yang merupakan rata-rata usia harapan hidup penduduk
Indonesia baik laki-laki maupun perempuan pada periode 2000-2005.

Hasil dari perhitungan IEC merupakan gambaran yang akan merujuk pada estimasi rata-
rata paparan polutan partikulat terespirasi pada masyarakat selama kurun waktu tersebut.
Dengan demikian dapat dijadikan sebagai dasar untuk studi epidemiologi dengan
menghubungkannya dengan data kejadian penyakit saluran pernafasan.
Dalam mempelajari partikulat perlu diketahui istilah istilah berikut:
a) BDS : Bagian dalam sejuta (ppm)
b) NAB : Nilai Ambang Batas (TLV-TWA)
c) Paparan bahan kimia maksimal pada periode waktu 8 jam kerja
d) PSD : Pajanan Sementara yang Diijinkan (TLV-STEL)
e) Paparan bahan kimia maksimal yang boleh diterima pada periode
f) singkat (< 15 menit)
g) KTD : Kadar Tertinggi yang Diperkenankan (TLV-C)

h) Kadar zat kimia di udara yang tidak boleh dilampaui bahkan sekejap selain itu juga
terdapat rumus perhitungan pengukuran partikulat sesuai dengan Permenaker No.5
Tahun 2018:
1. Efek saling menambah
C1 C2 C3 Cn
NABCampuran = + + + ⋯+
NAB (1) NAB (2) NAB (3) NAB (n)
2. Kasus Khusus
1
NABCampuran =
fa fb fc fn
NAB (a) + NAB (b) + NAB (c) + ⋯ + NAB (n)
3. Berefek sendiri-sendiri
C
=1
NAB
4. Debu mineral
1
NABCampuran =
fa fb fc fn
+ + + ⋯+
NAB (a) NAB (b) NAB (c) NAB (n)

2.4 Nilai Ambang Batas Partikulat

Penelitian epidemiologi menggunakan PM10 dan PM2,5 sebagai indikator paparan. Hal
ini dikarenakan PM10 merepresentasikan massa partikel yang masuk ke dalam saluran
pernafasan dan PM10 ini meliputi ukuran partikel 2,5 µm dan 10 µm. Sedangkan PM 2,5
berkontribusi memberikan dampak terhadap efek kesehatan pada lingkungan urban. Batas
aman paparan partikulat berdasarkan WHO (2005) adalah sebagai berikut:
PM10 = 10 µg/m3 rata-rata tahunan
PM10 = 25 µg/m3 rata-rata dalam 24 jam
PM2,5 = 20 µg/m3 rata-rata tahunan
PM2,5 = 50 25 µg/m3 rata-rata dalam 24 jam

Tabel 2.2. menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018 NAB yang berkaitan dengan pengelasan
sebagai berrikut :

No Nama Bahan Kimia NAB (mg/m3)


1 Debu logam 10
2 Bubuk pyro sbg Al 5
3 Uap las sbg Al 5
4 Garam laut sbg Al 5
5 Alkil yang tidak terklarifikasi sbg Al 5
Sumber : Permenaker No. 5 Tahun 2018
2.5 NAB Faktor Kimia Campuran
Apabila terdapat lebih dari satu bahan kimia berbahaya yang bereaksi terhadap system
atau organ yang sama, di sauatu udara lingkungan kerja, maka kombinasi pengaruhnya
perlu diperhatika. Jika tidak dijelskan lebih lanjut, efeknya dianggap saling menambah.
Dilampaui atau tidaknya Nilai Ambang Batas (NAB) campuran dari bahan-bahan kimia
tersebut, dapat diketahui dengan menghitung dari jumlah perbandingan diantara kadar dan
NAB masingmasing, dengan rumus-rumus sebagai berikut:
𝐶1 𝐶1 𝐶1
NABcampuran = 𝑁𝐴𝐵(1) + 𝑁𝐴𝐵(1) + ⋯ + 𝑁𝐴𝐵(1) = …

Jika jumlahnya lebih dari 1 (satu), berarti kondisi lingkungan tersebut tidak aman dan
dinyatakan aman apabila NAB Campuran tidak melebihi angka 1(Permenaker, 2018).
BAB 3

METODE PRAKTIKUM

3.1 Alat dan Bahan


1. Dust sampler
2. Meteran
3. Alat tulis
3.2 Prosedur Pengguna Alat
1

Gambar 3.1 : Haz-Dust IV Real-Time Personal Dust Monitor ModeL HD-1004


Sumber: https://www.skc-asia.com Diakses 21 Mei 2023
Keterangan :
1. Minitor
2. On/Off
3. Enter
4. Tombol naik turun (untuk melihat data sebelumnya)
5. Tombol turun (untuk melihat data setelahnya)
6. Tombol run/stop
Gambar 3.2 : Diagram Inlet Sampling untuk Thoracic (A), Respirable (B) dan Inhalable (C)
Partikel Debu

Sumber: https://www.skc-asia.com Diakses 21 Mei 2023Keterangan :

A : Thoracix sample inlet (sensor untuk partikulat thoracic)

B : SKC Respirable Dust 25mm Cyclone Inlet (sensor untuk partikulat respirable)

C : SKC IOM Sampling Adapter Inlet (sensor untuk partikulat inhalable)

Tahap persiapan

1. Menekan tombol I/O untuk menyalakan alat


2. Menekan enter untuk menampilkan menu utama
3. Melakukan pengaturan waktu (tanggal dan jam)
4. Melakukan pengaturan alarm jika diperlukan
5. Melakukan auto zero baseline (baterai harus kondisi penuh)
a. Memastikan sensor yang sesuai telah terpasang pada sensor head of the Haz-Dust
IV
b. Memasang sampling inlet terpasang di sensor head, sesuai dengan Tabel 3
Tabel 3. Tipe Sampling Inlet

Tipe partikulat Sampling inlet


Partikulat thoracic (Gambar 5a) Thoracic sampling inlet.
Partikulat respirable (Gambar 5b) SKC IOM and IA-202 sampling inlet
Partikulat inhalable (Gambar 5c) SKC GS Cyclone and GSA-202 sampling inlet
Sumber :Joobshet Partikulat 2019
c. Memasukkan filter zero sesuai Tabel 4
Tabel 4. Tipe Filter Zero

Tipe partikulat Aktivitas yang Dilakukan Kemudian


Partikulat thoracic (Gambar 5a) Thoracic sampling inlet.
Partikulat respirable (Gambar 5b) SKC IOM and IA-202 sampling inlet
Partikulat inhalable (Gambar 5c) SKC GS Cyclone and GSA-202 sampling inlet
Sumber : Joobshet Partikulat 2019

Gambar 3.3 : Zeroing filter (p/n ZF-102) yang dipasang pada Thoracic sampling inlet.

Sumber: Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo


& Nadia Rachmat, Aulia, 2019

Gambar 3.4 : Zeroing filter (p/n ZA-202A) yang dipasang pada Inhalable sampling inlet.

Sumber: Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo


& Nadia Rachmat, Aulia, 2019

Gambar 3.5 : Zeroing filter (p/n ZF-102) yang dipasang pada GSAS-202 GS-Cyclone adapter

Sumber: Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo


& Nadia Rachmat, Aulia, 2019

d. Memilih auto zero pada menu utama, maka tampilan layar menunjukkan auto
zeroing
e. Menunggu hingga 50 detik, maka akan menunjukkan tahapan yang harus dilakukan
untuk mencapai baseline.
f. Hasilnya akan muncul di menu utama, yang menyatakan auto zero is complete.
g. Menyisihkan filter zero, kemudian mulai pengukuran.
3.3 Prosedur Pengukuran
1. Menentukan pilihan partikulat yang hendak diukur (thoracic, respirable ataukah
inhalable), dan pastikan sensor yang dipasang sudah sesuai dengan partikulat yang akan
diukur.
2. Menekan special function pada menu utama.
3. Menekan system option.
4. Menekan extended option
5. Menekan size select
6. Memilih thoracic (jika yang hendak diukur thoracic)
7. Memilih sample rate pada special function
8. Memilih interval pengambilan data
Tabel 5 Interval Pengambilan Data
Interval waktu pengambilan data Maksimum pengambilan data
1 detik 6 jam
2 detik 12 jam
10 detik 20 jam
Sumber : Sumber: Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo & Nadia Rachmat, Aulia,
2019
9. Memilih security level, gunakan security level (pilih yes), lewati security feature (pilih
no), kemudian ke tahap no 5.
10. Memasukkan security code 1209, pilih angka yang sesuai dengan menggunakan tombol
naik atau turun. Jika sudah sesuai dengan angka yang diminta, tekan enter.
11. Memasang belt clip pada pekerja/mahasiswa/teknisi yang diukur
12. Memastikan clip sensor berada di kerah baju pekerja/mahasiswa/teknisi yang diukur
(merepresentasikan zona pernafasan sesuai ketentuan OSHA).
13. Pengukuran dilakukan dengan cara memilih run (jika tidak memakai alarm), sedangkan
pilih Sample/Rec-ALM (jika menggunakan alarm).
14. Menekan enter untuk berhenti dari proses pengukuran
3.4. Flow Chart Praktikum
Memahami langkah pengguaan
alat Dust Sampler

Mempersiapkan alat dan


menggunakan APD apabila
melakukan pengukuran di tempat
kerja

Menentukan partikulat yang akan


diukur dan memastikan sensor yang
dipasang sesuai dengan pilihan
partikulat

Menekan special function pada


menu utama, kemudian tekan
system option, extended option
dan, size select

Memilih thoracic (jika yang


hendak diukur thoracic),
selanjutnya pilih sample rate dan
special function, pilih interval
pengambilan data Mencatat hasil pengukuran,
lakukan analisa AREP, dan
Memilih security level
buat laporan praktikum
(yes)

Memasukkan security code 1209,


pilih angka yang sesuai dengan Menekan enter untuk
menggunakan tombol naik atau berhenti dari pengukuran
turun, kemudian enter

Memasang belt clip pada Pengukuran dengan cara memilih


pekerja/mahasiswa yang diukur, run (jika tidak memakai alarm),
pastikan clip sensor berada di sedangkan memilih Sample/Rec-
kerah baju ALM (jika menggunakan alarm)
BAB 4

PENGOLAHAN DAN ANALISA DATA

4.1. Data Hasil Pengukuran

A. Gambaran umum

Nama Ruang : Bengkel Las


Tanggal : 23 Mei 2022
Team Pengukur : Tim PLK
Alat yang dipakai : Dust Sampler

Nama pekerja/mahasiswa yang diukur (beserta kegiatan/ alat yang digunakan):


1. Sashkya – Las SMAW
2. Aryasatya – Las OAW

B. Karakteristik Kegiatan Kerja

1. Identifikasi Mahasiswa/ Pekerjaan


a) Nama : Sashkya Ratriwardhani
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 19 tahun
Berat badan : 56 kg
b) Nama : Aryasatya Wiryadikrama
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Berat badan : 65 kg
2. Gambar kegiatan kerja
No. Kegiatan kerja Peralatan yang Durasi Kerja
digunakan (menit)
1 Las SMAW Las Listrik 300
2 Las OAW Tabung Las 300

C. Informasi Penting Lainnya

1. Apakah alat dalam keadaan baik/rusak ? Tidak


2. Apakah alat sudah terkalibrasi? Ya

4.2. Data Pengukuran

Tabel Data Hasil Pengukuran


Kode Lokasi
Tipe Partikulat Ukuran Partikulat Konsentrasi (mg/m3)
Pengukuran
Las SMAW Debu Logam - 7
Uap Las - 8
Debu Logam - 12
Las OAW
Uap Las - 4

4.3. Perhitungan Data Pengukuran Partikulat

Dari data yang telah diperoleh, maka kemudian dilakukan perhitungan rata-rata
pengukuran terhadap masing-masing pekerja adalah sebagai berikut:
a. Saskhya (SMAW)

• Debu logam : 7 mg/m3


• Uap las : 8 mg/m3
• NAB debu logam : 10 mg/m3
• NAB uap las : 5 mg/m3
Perhitungan :
C1 C2
NABcampuran = NAB (1) + NAB (2)
7 8
NABcampuran = 10 + 5

NABcampuran = 2,3 mg/m3

Dari hasil NAB Campuran tersebut dapat dinyatakan bahwa pekerjaan Sashkya (Las
SMAW) dalam kondisi tidak aman karena nilai NAB campurannya melebihi angka 1.

b. Aryasatya (Las OAW)

• Debu logam : 12 mg/m3


• Uap las : 4 mg/m3
• NAB debu logam : 10 mg/m3
• NAB uap las : 5 mg/m3
Perhitungan :
C1 C2
NABcampuran = NAB (1) + NAB (2)
12 4
NABcampuran = 10 + 5

NABcampuran = 2 mg/m3

Dari hasil NAB Campuran tersebut dapat dinyatakan bahwa pekerjaan Aryasatya (Las
OAW) dalam kondisi tidak aman karena nilai NAB campurannya melebihi angka 1

c. Sirkulasi SMAW + OAW


= 2,3 + 2
= 4,3 mg/m3

4.4. Analisa Data


A. Pembahasan
Dari hasil perhitungan NAB Campuran di atas untuk maisng-masing pekerjaan,
yaitu Las SMAW dan Las OAW diperoleh hasil sebesar 2,3 dan 2. Hasil tersebut
keduanya lebih dari 1, sehingga keadaan atau kondisi pekerjaan tersebut termasuk
dalam kategori tidak aman. Oleh sebab itu diperlukan rekomendasi pengendalian
bahaya dengan menerapkan konsep AREP.
B. Analisa Berdasarkan AREP

Dalam menganalisis data pada praktikum ventilasi ini digunakan prinsip dasar
hygine industry yaitu Antisipasi, Rekognisi, Evaluasi, dan Pengendalian atau dapat
disingkat dengan AREP.
1 Antisipasi

Tahap ini merupakan tahap untuk memprediksi atau memperkirakan potensi-potensi


bahaya yang ada di bengkel las pada saat jam kerja. Hasil yang diperoleh, yaitu
diperkirakan bengkel las mempunyai potensi bahaya yang bisa ditimbulkan oleh
partikulat pada ruangan tersebut. Hal tersebut dapat diperkirakan karena pada
bengkel las tersebut terdapat beberapa mesin yang memicu timbulknya partikulat.
Seperti mesin las SMAW dan mesin las OAW
2 Rekognisi
Tahap rekognisi ini merupakan kegiatan dalam mengenali dan mengukur
faktorfaktor agar diperoleh metoda yang logis. Pada pengukuran partikulat ini alat
yang digunakan ialah Haz-Dust IV Real-Time Personal Dust Monitor ModeL HD-
1004. Selain itu juga dilakukan perhitungan yang nantinya akan dibandingkan atau
dievaluasi dengan nilai ambang batas yang terkait. Hasil perhitungan yang telah
dilakukan diantaranya:
a. NAB campuran responden 1 (Saskhya) = 2,3 mg/m3
b. NAB campuran responden 2 (Aryasatya) = 2 mg/m3

3 Evaluasi

Pada tahap ini dilakukan analisa terhadap hasil rekognisi dan membandingkannya
dengan peraturan yang berlaku atau dapat juga dengan standar nasional yang
berlaku. Hasil Analisa data sebagai berikut:

NAB campuran
Kode Lokasi Konsentrasi (mg/m3)
Keterangan
Pengukuran
Pengukuran NAB

Las SMAW 2,3 1 Tidak aman

Las OAW 2 1 Tidak aman

Sirkulasi Las SMAW +


Las OAW 4,3 1 Tidak aman

Pada tahap ini hasil pengukuran serta perhitungan yang telah diperoleh akan
dibandingankan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan. Dalam hal ini
nilai ambang batas yang digunakan sebagai pembanding ialah Permenaker No.05
Tahun 2018. Hasil yang didapat dari kedua responden tersebut semuanya dalam
kondisi yang tidak aman karena hasil dari evaluasi menunjukkan hasil yang melebihi
NAB.

4 Pengendalian

Pengendalian, dari rekognisi dan evaluasi di atas, maka dalam kondisi ini diperlukan
tahap pengendalian sesuai dengan hierarki pengendalian bahaya, di antaranya
adalah sebagai berikut:
• Eliminasi, pada kasus ini tidak dapat dilakukan eliminasi.
• Substitusi, karena eliminasi tidak dapat dilakukan maka tahap selanjutnya
adalah dengan substitusi. Namun, tahap ini juga tidak dapat di implementasikan
karena proses produksi harus terus berjalan dan pastinya memerlukan proses
panjang.
• Rekayasa Teknik, dapat dilakukan dengan memodifikasi atau menambahkan
filter udara pada mesin atau alat yang digunakan untuk mrngurangi partikulat
yang disebabkan oleh mesin.
• Pengendalian administrasi, untuk studi kasus kali ini pengendalian administrasi
tidak dapat dilakukan karena proses produksi harus terus berjalan dan pekerja
pada bengkel las tersebut masih terbatas.
• Manajemen APD, dalam usaha untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkan
partikulat pada bengkel las selain mengimplementasikanrekayasa teknik dengan
memberikan filter udara, maka dapat juga menerapkan tahap manajemen APD
dengan menggunakan baju bengkel dan masker karena pada kasus ini pekerja
mendapatkan paparan partikulat yang nantinya dapat terhirup oleh pekerja dan
akan menyebabkan efek jangka pendek maupun jangka panjang.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Dari praktikum partikulat dapat disimpulkan bahwa :

1. Pada setiap kegiatan mempunyai potensi bahaya getaran khusus jika bekerja dengan
menggunakan mesin-mesin yang dapat memicu meningkatnya polusi udara terutara
partikulat. Jika diabaikan bahaya partikulat dapat memicu timbulnya Penyakit Akibat
Kerja (PAK). Untuk mengetahui paparan getaran yang diterima oleh pekerja maka
dapat menggunakan alat yang bernama Dust Sampler. Setelah dilakukan pengaturan
pada Dust Sampler, kemudian tentukan pilihan partikulat yang hendak diukur
(thoracic, respirable ataukah inhalable), dan pastikan sensor yang dipasang sudah
sesuai dengan partikulat yang akan diukur
2. Untuk menentukan apakah bengkel las dan pekerjanya aman dari bahaya partikulat,
maka setelah dilakukan pengukuran dapat dilakukan perhitungan dengan mencari
NAB Campuran untuk masing-masing pekerja kemudian membandingkan dengan
peraturan yang berlaku, yaitu pada Permenaker No 5 Tahun 2018.
3. Sebagai upaya untuk meminimalisir paparan partikulat di tempat kerja, maka dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis AREP dan hierarki pengendalian bahaya.
Pada kasus kali ini pengendalian bahaya yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan rekayasa teknik dan manajemen APD. Untuk rekayas ateknik dapat
memodifikasi alat atau mesin pada bengkel las dengan menambahkan filter udara
sebagai upaya meminimalisir partikulat. Sedangkan untuk manajemen APD dapat
ilakukan dengan menggunakan baju bangkel dan masker serta APD penunjang
lainnya.
5.2. Saran

Jika ada kesempatan, pengukuran partikulat dapat dilakukan secara langsung


dengan menggunakan alat berupa Dust Sampler. Hal ini diharapkan agar tercapainya
output yang sesuai, yaitu keterampilan dalam menggunakan alat Dust Sampler dan
memberikan pengalaman dalam melakukan pengukuran partikulat.
DAFTAR PUSTAKA

Wardoyo, A. Y. P. (2016). Emisi Partikulat Kendaraan Bermotor dan Dampak Kesehatan.


Universitas Brawijaya Press.

Murniasih, S., Rozana, K., & Prabasiwi, D. S. (2020). Asesmen logam berat sampel partikulat
udara pada TSP di sekitar PLTU Pacitan. Indonesian Journal of Chemical Analysis (IJCA),
3(2), 74-82.

Pemerintah, I. (2018). Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang


Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Jakarta.

Fahmi, Ahmadi Umar. 1990. Kesehatan Lingkungan Kerja Lingkungan Fisik dalam Upaya
Kesehatan Kerja Sektor Informal. Jakarta: Direktor Bina Peran Serta Masyarakat
DepKes RI.

Hidayat, A. 2000. Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia. Dalam Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Sumber Daya lahan Indonesia dan Pengelloannya. PPTA.Balitbang
Pertanian. Deptan Bogor. Hal 197-225.
TUGAS PENDAHULUAN

1. Mengapa standar NAB menggunakan konsentrasi massa partikulat?


2. Apa yang dimasud dengan PM10 dan PM2,5?
3. Hasil pengukuran partikulat sebagai berikut, definisikan partikulat tersebut sesuai
ukurannya :

Ukuran Partikulat Definisi Tipe Partikulat


( m) (T atau R atau I)
10
7
4
2,5
1
0,1

Jawaban :
1. Hal ini dikarenakan representasi massa partikel yang masuk ke dalam saluran
pernafasan dan meliputi ukuran partikel 2,5 µm dan 10 µm, Serta jika ukuran partikel
semakin kecil maka semakin besar kemungkinan seseorang terpapar dalan jumlah besar,
hal ini dikarenakan partikel yang berukuran kecil tidak tersaring oleh rambut rambut
hidung hingga masuk sampai paru paru bagian dalam manusia (alveolus).
2. Partikulat Kasar PM10 merupakan jenis partikulat baik berbentuk padat maupun cair
yang berterbangan di udara dengan ukuran 10 mikrometer. PM10 memiliki sebutan lain
yaitu PM10 sebagai inhalable dust, respirable dust, respirable particulate dan inhalable
particles (Sipahutar, 2018). Partikulat kasar ini dapat dihasilkan dari pembakaran
batubara, minyak, gasoline, transformasi produk NOx, dan lain sebagainya.
PM2,5 atau particulate matter <2,5µm adalah partikulat yang memiliki ukuran sangat
kecil dan dapat menimbulkan berbagai penyakit, PM2,5 biasa disebut dengan fine
particle (Falahdina, 2017). Menurut Afifah 2009 partikulat jenis ini merupakan
partikulat yang dapat menembus hingga ke paru paru bagian dalam atau alveolus
(Solihin, 2017). Partikel ini berukuran lebih kecil dari 1/30 bagian dari rambut manusia
yang terdiri dari organic compounds, ammonium compounds, metal, material acidic,
dan sulfat (Rosalia dkk, 2018). Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan
bahwa PM2,5 merupakan partikulat yang memiliki ukuran rata rata 2,5 mikro meter,
dimana partikel ini memiliki kemampuan menembus hingga ke bagian alveolus pada
paru paru. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa partikulat jenis ini sangat berbahaya
jika seseorang mengalami paparan melebihi batas yang telah ditentukan.

3. Pengukuran partikulat, definisi dan tipe partikulat :

Ukuran Partikulat Definsi Tipe Partikulat


(μm) (T atau R atau I)
Partikulat debu yang berdiameter
kurang dari 25 mikron. Partikel
debu tersebut berpenetrasi hingga
10 batang tenggorokan atau saluran Thoracic
pernafasan bagian atas tetapi tidak
masuk ke dalam saluran udara di
paru-paru bagian bawah.
Partikulat debu yang berdiameter
kurang dari 10 mikron. Partikulat
airborne yang dapat terhirup dan
dapat mencapai daerah bronchiola
sampai alveoli di dalam sistem
7 Respirable
pernafasan. Partikulat debu jenis ini
berbahaya bila tertimbun di alveoli
yang merupakan daerah pertukaran
gas di dalam sistem pernafasan.

Ukuran Partikulat Definsi Tipe Partikulat


(μm) (T atau R atau I)
Partikulat debu yang berdiameter
kurang dari 10 mikron. Partikulat
airborne yang dapat terhirup dan
dapat mencapai daerah bronchiola
4 sampai alveoli di dalam sistem Respirable
pernafasan. Partikulat debu jenis ini
berbahaya bila tertimbun di alveoli
yang merupakan daerah pertukaran
gas di dalam sistem pernafasan.
Partikulat debu yang berdiameter
kurang dari 10 mikron. Partikulat
airborne yang dapat terhirup dan
dapat mencapai daerah bronchiola
2,5 sampai alveoli di dalam sistem Respirable
pernafasan. Partikulat debu jenis ini
berbahaya bila tertimbun di alveoli
yang merupakan daerah pertukaran
gas di dalam sistem pernafasan.
Partikulat debu yang berdiameter
kurang dari 10 mikron. Partikulat
airborne yang dapat terhirup dan
dapat mencapai daerah bronchiola
1 sampai alveoli di dalam sistem Respirable
pernafasan. Partikulat debu jenis ini
berbahaya bila tertimbun di alveoli
yang merupakan daerah pertukaran
gas di dalam sistem pernafasan.
Partikulat debu yang berdiameter
kurang dari 10 mikron. Partikulat
airborne yang dapat terhirup dan
dapat mencapai daerah bronchiola
0,1 sampai alveoli di dalam sistem Respirable
pernafasan. Partikulat debu jenis ini
berbahaya bila tertimbun di alveoli
yang merupakan daerah pertukaran
gas di dalam sistem pernafasan.

Anda mungkin juga menyukai