PENDAHULUAN
DASAR TEORI
2.1 Partikulat
Partikulat adalah pencemar udara yang dapat berada bersama- sama dengan bahan atau
bentuk pencemar lainnya. Partikulat dapat diartikan secara murni atau sempit sebagai
bahan pencemar udara yang berbentuk padatan. Namun, dalam pengertian lebih luas,
partikulat dapat meliputi berbagai macam bentuk, mulai dari bentuk yang sederhana
sampai bentuk yang rumit dan kompleks. Pengaruh partikel (partikulat) debu bentuk padat
maupun cair yang berada di udara sangat tergantung pada ukurannya. Ukuran partikulat
debu yang berbahaya bagi kesehatan umumnya berkisar antara 0,1 mikron sampai dengan
10 mikron. Pada umumnya ukuran partikulat debu sekitar 5 mikron merupakan yang dapat
langsung masuk ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli. Keadaan ini bukan berarti
bahwa ukuran partikulat yang lebih besar dari 5 mikron tidak berbahaya, karena partikulat
yang lebih besar dapat mengganggu saluran pernafasan bagian atas dan menyebabkan
iritasi (Departemen Kesehatan, 2005). Berbagai proses alami yang menyebabkan
penyebaran partikulat di atmosfer, misalnya letusan vulkano dan hembusan debu serta
tanah oleh angin. Aktivitas manusia juga berperan dalam penyebaran partikulat, misalnya
dalam bentuk partikulat debu dan asbes dari bahan bangunan, abu terbang dari proses
peleburan baja, dan asap dari proses pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang.
Sumber partikulat yang utama adalah dari pembakaran bahan bakar dari sumbernya diikuti
oleh proses-proses industri (Kusminingrum dan Gunawan, 2008).
Paparan partikulat dalam jangka pendek dapat mengurangi fungsi kerja jantung atau
yang mengarah pada meningkatnya penggunaan obat-obatan, rawat inap, dan kematian
dini. Sedangkan paparan jangka waktu panjang dapat menyebabkan perkembangan
penyakit jantung maupun paru-paru yang mengarah ke kematian dini. Selain efek terhadap
kesehatan yang tinggi, paparan dari partikulat dapat mengganggu visibilitas,
mempengaruhi proses ekosistem, menyebabkan kerusakan struktur tanah dan bangunan.
Dampak terhadap iklim tergantung pada jenis partikulatnya. Partikulat yang bersifat
reflektif dapat menyebabkan pendinginan dan beberapa partikulat (terutama black carbon)
dapat menyerap energi dan mengakibatkan pemanasan. Dampak lain adalah perubahan
waktu dan perubahan siklus hujan (DEFRA, 2010; NAQI, 2014; AQI, 2014).
Partikulat atau particulate matter (PM) adalah kombinasi kompleks dari partikel padat
dan aerosol di udara. Partikulat terdiri dari beberapa komponen seperti asam (nitrat dan
sulfat), unsur kimia organik, logam, debu tanah (Mogireddy, 2011) dan spora jamur
(Araújo-Martins et al., 2014; Woodson, 2012). Partikulat di dalam ruangan berasal dari
penetrasi partikulat dari luar ruangan maupun partikulat yang memang terbentuk di dalam
ruangan baik dari emisi langsung proses produksi dan aktivitas di dalam ruangan yang
menghasilkan partikulat (partikulat primer) maupun dari reaksi kimia gas precursor
(partikulat sekunder).
Diameter aerodinamis merupakan salah satu kriteria utama untuk menggambarkan
kemampuan transportasi partikulat di atmosfer. dan/atau kemampuan partikulat terhirup
melalui system respirasi organisme (Esworthy, 2013). Environmetal Protection Agency
(EPA) telah mengkategorikan partikel menjadi 2 berdasarkan prediksi kemampuan
kapasitas penetrasi kedalam paru-paru yaitu :
1) partikulat kasar (PM10) dengan diameter aerodinamis 10 µm
2) partikulat halus dengan diameter aerodinamis 2,5 µm (Esworthy, 2013).
Efek buruk lebih mudah terjadi pada anak, individu dengan penyakit jantung, saluran
pernapasan, dan diabetes mellitus. Selain itu, ukuran polutan juga menentukan lokasi
anatomis terjadinya deposit polutan dan efeknya terhadap jaringan sekitar. Berkaitan
dengan hal tersebut, melalui Peraturan Pemerintah RI No. 41 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, sudah ditetapkan baku mutu udara ambien nasional
untuk PM2,5 sebesar 65 μm/m3 untuk rata-rata 24 jam. Untuk udara di dalam ruangan
(indoor) baku mutu 35 μm/m3 sesuai dengan Permenkes No 1077 tahun 2011, sedangkan
menurut United States Environmental Protection Agency (USEPA) batas aman PM2,5 di
udara ambien untuk satu tahun adalah 15 μm/m 3 (Azhar, Dharmayanti and Mufida, 2016).
Analisis paparan partikulat terhadap manusia dilakukan dengan perhitungan nilai IEC
(inhalation exposure concentration). Perhitungan nilai IEC dilakukan sebagai gambaran
awal untuk mengetahui potensi paparan dari unsur-unsur kimia terhadap manusia melalui
jalur inhalasi di lingkungan umum (udara ambien), dengan menggunakan persamaan
berikut :
Hasil dari perhitungan IEC merupakan gambaran yang akan merujuk pada estimasi
rata- rata paparan polutan partikulat terespirasi pada masyarakat selama kurun waktu
tersebut. Dengan demikian dapat dijadikan sebagai dasar untuk studi epidemiologi dengan
menghubungkannya dengan data kejadian penyakit saluran pernafasan.
𝐸𝑇 𝐸𝐹 𝐸𝐷
𝐸𝐶 = 𝐶𝑎 × × × × 𝐵𝐼𝑂
24 365 70
Keterangan
IEC : Konsentras paparan melalui inhalasi (mg/m 3)
Ca : Konsentrasi unsur kimia di udara (mg/m3 )
ET : Waktu paparan (jam/hari)
EF : Frekuensi paparan (hari/tahun)
ED : Durasi terpapar (tahun)
BIO : Faktor bioavailibility = 1,0
Dalam perhitungan IEC, waktu paparan ET yang digunakan untuk seluruh lokasi adalah
8 jam disesuaikan dengan rata-rata aktivitas di luar ruangan dari penduduk di keseluruhan
lokasi. Frekuensi paparan (EF) yang digunakan adalah 365 hari, sedangkan durasi terpapar
(ED) adalah selama 67,8 tahun yang merupakan rata-rata usia harapan hidup penduduk
Indonesia baik laki-laki maupun perempuan pada periode 2000-2005.
Hasil dari perhitungan IEC merupakan gambaran yang akan merujuk pada estimasi rata-
rata paparan polutan partikulat terespirasi pada masyarakat selama kurun waktu tersebut.
Dengan demikian dapat dijadikan sebagai dasar untuk studi epidemiologi dengan
menghubungkannya dengan data kejadian penyakit saluran pernafasan.
Dalam mempelajari partikulat perlu diketahui istilah istilah berikut:
a) BDS : Bagian dalam sejuta (ppm)
b) NAB : Nilai Ambang Batas (TLV-TWA)
c) Paparan bahan kimia maksimal pada periode waktu 8 jam kerja
d) PSD : Pajanan Sementara yang Diijinkan (TLV-STEL)
e) Paparan bahan kimia maksimal yang boleh diterima pada periode
f) singkat (< 15 menit)
g) KTD : Kadar Tertinggi yang Diperkenankan (TLV-C)
h) Kadar zat kimia di udara yang tidak boleh dilampaui bahkan sekejap selain itu juga
terdapat rumus perhitungan pengukuran partikulat sesuai dengan Permenaker No.5
Tahun 2018:
1. Efek saling menambah
C1 C2 C3 Cn
NABCampuran = + + + ⋯+
NAB (1) NAB (2) NAB (3) NAB (n)
2. Kasus Khusus
1
NABCampuran =
fa fb fc fn
NAB (a) + NAB (b) + NAB (c) + ⋯ + NAB (n)
3. Berefek sendiri-sendiri
C
=1
NAB
4. Debu mineral
1
NABCampuran =
fa fb fc fn
+ + + ⋯+
NAB (a) NAB (b) NAB (c) NAB (n)
Penelitian epidemiologi menggunakan PM10 dan PM2,5 sebagai indikator paparan. Hal
ini dikarenakan PM10 merepresentasikan massa partikel yang masuk ke dalam saluran
pernafasan dan PM10 ini meliputi ukuran partikel 2,5 µm dan 10 µm. Sedangkan PM 2,5
berkontribusi memberikan dampak terhadap efek kesehatan pada lingkungan urban. Batas
aman paparan partikulat berdasarkan WHO (2005) adalah sebagai berikut:
PM10 = 10 µg/m3 rata-rata tahunan
PM10 = 25 µg/m3 rata-rata dalam 24 jam
PM2,5 = 20 µg/m3 rata-rata tahunan
PM2,5 = 50 25 µg/m3 rata-rata dalam 24 jam
Tabel 2.2. menurut Permenaker No. 5 Tahun 2018 NAB yang berkaitan dengan pengelasan
sebagai berrikut :
Jika jumlahnya lebih dari 1 (satu), berarti kondisi lingkungan tersebut tidak aman dan
dinyatakan aman apabila NAB Campuran tidak melebihi angka 1(Permenaker, 2018).
BAB 3
METODE PRAKTIKUM
B : SKC Respirable Dust 25mm Cyclone Inlet (sensor untuk partikulat respirable)
Tahap persiapan
Gambar 3.3 : Zeroing filter (p/n ZF-102) yang dipasang pada Thoracic sampling inlet.
Gambar 3.4 : Zeroing filter (p/n ZA-202A) yang dipasang pada Inhalable sampling inlet.
Gambar 3.5 : Zeroing filter (p/n ZF-102) yang dipasang pada GSAS-202 GS-Cyclone adapter
d. Memilih auto zero pada menu utama, maka tampilan layar menunjukkan auto
zeroing
e. Menunggu hingga 50 detik, maka akan menunjukkan tahapan yang harus dilakukan
untuk mencapai baseline.
f. Hasilnya akan muncul di menu utama, yang menyatakan auto zero is complete.
g. Menyisihkan filter zero, kemudian mulai pengukuran.
3.3 Prosedur Pengukuran
1. Menentukan pilihan partikulat yang hendak diukur (thoracic, respirable ataukah
inhalable), dan pastikan sensor yang dipasang sudah sesuai dengan partikulat yang akan
diukur.
2. Menekan special function pada menu utama.
3. Menekan system option.
4. Menekan extended option
5. Menekan size select
6. Memilih thoracic (jika yang hendak diukur thoracic)
7. Memilih sample rate pada special function
8. Memilih interval pengambilan data
Tabel 5 Interval Pengambilan Data
Interval waktu pengambilan data Maksimum pengambilan data
1 detik 6 jam
2 detik 12 jam
10 detik 20 jam
Sumber : Sumber: Santiasih, Indri & Arninputranto, Wibowo & Nadia Rachmat, Aulia,
2019
9. Memilih security level, gunakan security level (pilih yes), lewati security feature (pilih
no), kemudian ke tahap no 5.
10. Memasukkan security code 1209, pilih angka yang sesuai dengan menggunakan tombol
naik atau turun. Jika sudah sesuai dengan angka yang diminta, tekan enter.
11. Memasang belt clip pada pekerja/mahasiswa/teknisi yang diukur
12. Memastikan clip sensor berada di kerah baju pekerja/mahasiswa/teknisi yang diukur
(merepresentasikan zona pernafasan sesuai ketentuan OSHA).
13. Pengukuran dilakukan dengan cara memilih run (jika tidak memakai alarm), sedangkan
pilih Sample/Rec-ALM (jika menggunakan alarm).
14. Menekan enter untuk berhenti dari proses pengukuran
3.4. Flow Chart Praktikum
Memahami langkah pengguaan
alat Dust Sampler
A. Gambaran umum
Dari data yang telah diperoleh, maka kemudian dilakukan perhitungan rata-rata
pengukuran terhadap masing-masing pekerja adalah sebagai berikut:
a. Saskhya (SMAW)
Dari hasil NAB Campuran tersebut dapat dinyatakan bahwa pekerjaan Sashkya (Las
SMAW) dalam kondisi tidak aman karena nilai NAB campurannya melebihi angka 1.
NABcampuran = 2 mg/m3
Dari hasil NAB Campuran tersebut dapat dinyatakan bahwa pekerjaan Aryasatya (Las
OAW) dalam kondisi tidak aman karena nilai NAB campurannya melebihi angka 1
Dalam menganalisis data pada praktikum ventilasi ini digunakan prinsip dasar
hygine industry yaitu Antisipasi, Rekognisi, Evaluasi, dan Pengendalian atau dapat
disingkat dengan AREP.
1 Antisipasi
3 Evaluasi
Pada tahap ini dilakukan analisa terhadap hasil rekognisi dan membandingkannya
dengan peraturan yang berlaku atau dapat juga dengan standar nasional yang
berlaku. Hasil Analisa data sebagai berikut:
NAB campuran
Kode Lokasi Konsentrasi (mg/m3)
Keterangan
Pengukuran
Pengukuran NAB
Pada tahap ini hasil pengukuran serta perhitungan yang telah diperoleh akan
dibandingankan dengan nilai ambang batas yang telah ditentukan. Dalam hal ini
nilai ambang batas yang digunakan sebagai pembanding ialah Permenaker No.05
Tahun 2018. Hasil yang didapat dari kedua responden tersebut semuanya dalam
kondisi yang tidak aman karena hasil dari evaluasi menunjukkan hasil yang melebihi
NAB.
4 Pengendalian
Pengendalian, dari rekognisi dan evaluasi di atas, maka dalam kondisi ini diperlukan
tahap pengendalian sesuai dengan hierarki pengendalian bahaya, di antaranya
adalah sebagai berikut:
• Eliminasi, pada kasus ini tidak dapat dilakukan eliminasi.
• Substitusi, karena eliminasi tidak dapat dilakukan maka tahap selanjutnya
adalah dengan substitusi. Namun, tahap ini juga tidak dapat di implementasikan
karena proses produksi harus terus berjalan dan pastinya memerlukan proses
panjang.
• Rekayasa Teknik, dapat dilakukan dengan memodifikasi atau menambahkan
filter udara pada mesin atau alat yang digunakan untuk mrngurangi partikulat
yang disebabkan oleh mesin.
• Pengendalian administrasi, untuk studi kasus kali ini pengendalian administrasi
tidak dapat dilakukan karena proses produksi harus terus berjalan dan pekerja
pada bengkel las tersebut masih terbatas.
• Manajemen APD, dalam usaha untuk meminimalisir bahaya yang ditimbulkan
partikulat pada bengkel las selain mengimplementasikanrekayasa teknik dengan
memberikan filter udara, maka dapat juga menerapkan tahap manajemen APD
dengan menggunakan baju bengkel dan masker karena pada kasus ini pekerja
mendapatkan paparan partikulat yang nantinya dapat terhirup oleh pekerja dan
akan menyebabkan efek jangka pendek maupun jangka panjang.
BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Pada setiap kegiatan mempunyai potensi bahaya getaran khusus jika bekerja dengan
menggunakan mesin-mesin yang dapat memicu meningkatnya polusi udara terutara
partikulat. Jika diabaikan bahaya partikulat dapat memicu timbulnya Penyakit Akibat
Kerja (PAK). Untuk mengetahui paparan getaran yang diterima oleh pekerja maka
dapat menggunakan alat yang bernama Dust Sampler. Setelah dilakukan pengaturan
pada Dust Sampler, kemudian tentukan pilihan partikulat yang hendak diukur
(thoracic, respirable ataukah inhalable), dan pastikan sensor yang dipasang sudah
sesuai dengan partikulat yang akan diukur
2. Untuk menentukan apakah bengkel las dan pekerjanya aman dari bahaya partikulat,
maka setelah dilakukan pengukuran dapat dilakukan perhitungan dengan mencari
NAB Campuran untuk masing-masing pekerja kemudian membandingkan dengan
peraturan yang berlaku, yaitu pada Permenaker No 5 Tahun 2018.
3. Sebagai upaya untuk meminimalisir paparan partikulat di tempat kerja, maka dapat
dilakukan dengan menggunakan analisis AREP dan hierarki pengendalian bahaya.
Pada kasus kali ini pengendalian bahaya yang dapat dilakukan adalah dengan
melakukan rekayasa teknik dan manajemen APD. Untuk rekayas ateknik dapat
memodifikasi alat atau mesin pada bengkel las dengan menambahkan filter udara
sebagai upaya meminimalisir partikulat. Sedangkan untuk manajemen APD dapat
ilakukan dengan menggunakan baju bangkel dan masker serta APD penunjang
lainnya.
5.2. Saran
Murniasih, S., Rozana, K., & Prabasiwi, D. S. (2020). Asesmen logam berat sampel partikulat
udara pada TSP di sekitar PLTU Pacitan. Indonesian Journal of Chemical Analysis (IJCA),
3(2), 74-82.
Fahmi, Ahmadi Umar. 1990. Kesehatan Lingkungan Kerja Lingkungan Fisik dalam Upaya
Kesehatan Kerja Sektor Informal. Jakarta: Direktor Bina Peran Serta Masyarakat
DepKes RI.
Hidayat, A. 2000. Tanah-Tanah Pertanian di Indonesia. Dalam Pusat Penelitian Tanah dan
Agroklimat. Sumber Daya lahan Indonesia dan Pengelloannya. PPTA.Balitbang
Pertanian. Deptan Bogor. Hal 197-225.
TUGAS PENDAHULUAN
Jawaban :
1. Hal ini dikarenakan representasi massa partikel yang masuk ke dalam saluran
pernafasan dan meliputi ukuran partikel 2,5 µm dan 10 µm, Serta jika ukuran partikel
semakin kecil maka semakin besar kemungkinan seseorang terpapar dalan jumlah besar,
hal ini dikarenakan partikel yang berukuran kecil tidak tersaring oleh rambut rambut
hidung hingga masuk sampai paru paru bagian dalam manusia (alveolus).
2. Partikulat Kasar PM10 merupakan jenis partikulat baik berbentuk padat maupun cair
yang berterbangan di udara dengan ukuran 10 mikrometer. PM10 memiliki sebutan lain
yaitu PM10 sebagai inhalable dust, respirable dust, respirable particulate dan inhalable
particles (Sipahutar, 2018). Partikulat kasar ini dapat dihasilkan dari pembakaran
batubara, minyak, gasoline, transformasi produk NOx, dan lain sebagainya.
PM2,5 atau particulate matter <2,5µm adalah partikulat yang memiliki ukuran sangat
kecil dan dapat menimbulkan berbagai penyakit, PM2,5 biasa disebut dengan fine
particle (Falahdina, 2017). Menurut Afifah 2009 partikulat jenis ini merupakan
partikulat yang dapat menembus hingga ke paru paru bagian dalam atau alveolus
(Solihin, 2017). Partikel ini berukuran lebih kecil dari 1/30 bagian dari rambut manusia
yang terdiri dari organic compounds, ammonium compounds, metal, material acidic,
dan sulfat (Rosalia dkk, 2018). Berdasarkan penjabaran tersebut dapat disimpulkan
bahwa PM2,5 merupakan partikulat yang memiliki ukuran rata rata 2,5 mikro meter,
dimana partikel ini memiliki kemampuan menembus hingga ke bagian alveolus pada
paru paru. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa partikulat jenis ini sangat berbahaya
jika seseorang mengalami paparan melebihi batas yang telah ditentukan.