Anda di halaman 1dari 10

1 BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kualitas udara merupakan salah satu permasalahan yang erat dengan situasi
perkotaan di Indonesia. Kota Pontianak memiliki jumlah penduduk 607.608 jiwa dengan
laju pertambahan penduduk mencapai 1,84%. Jumlah penduduk kota yang banyak akan
meningkatkan aktivitas perkotaan yang dapat menjadi sumber pencemaran udara. Aktivitas
tersebut berupa aktivitas industri, perkantoran, kebakaran lahan, dan transportasi.
Laporan World Health Organization (WHO) menyebutkan, terdapat 8 juta orang
setiap harinya diseluruh dunia meninggal akibat polusi udara, diantaranya 4,3 juta orang
mati karena polusi udara yang bersumber dari kegiatan penghuni rumah (WHO, 2012).
Efek jangka pendek yang ditimbulkan yaitu akan meningkatkan resiko kematian karena
kardiovaskuler serta gangguan pernapasan.
Kendaraan bermotor menyumbang 85% polusi pencemaran di udara perkotaan di
Indonesia. Polusi industri mengandung persentase kandungan gas sebesar 70,50% karbon
monoksida (CO), 0,9% sulfur oksida (SO2), dan 8,9% nitrogen oksida (NO2). Asap emisi
dari kendaraan bermotor, industri, serta kebakaran lahan dapat meningkatkan debu–debu di
udara. Partikel debu ini memiliki diameter berukuran 10 μm yang biasa disebut partikulat
atau particulate matter (PM10).
Particulate matter (PM) adalah istilah untuk partikel padat atau cair yang ditemukan
di udara. Partikel padat dalam asap ini akan menghamburkan sinar matahari sehingga
mengganggu pandangan. PM10 (particulate matter 10) adalah partikulat aerodinamik
berdiameter kurang dari 10 mikrometer hasil aktivitas manusia banyak berasal dari
kendaraan bermotor dan industri yang menghasilkan emisi partikulat dan hidrokarbon yang
tinggi.
Pada kesempatan kali ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai Polutan
Konvensional yang menitik fokuskan kepada PM10.
1.2 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian pada kali ini adalah sebagai berikut :
1. Dapat mengetahui Karakteristik polusi PM10
2. Dapat mengetahui sumber sumber munculnya Polutan Konvensional yang berjenis
PM10 .
3. Dapat memahami hubungan antara udara dan PM10.
1.3 Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah pada praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Karakteristik Polusi PM10?
2. Bagaimana Sumber-sumber munculnya Polutan Konvensional yang berjenis PM10?
3. Apakah hubungan antara udara dan PM10.
2 BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Udara
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi
bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Udara di alam tidak pernah
ditemukan bersih tanpa polutan. Namun, kualitas udara yang baik sangat diperlukan oleh
manusia, karena dapat mempengaruhi kesehatan manusia itu sendiri. Menurunnya kualitas
udara akibat terjadinya pencemaran di suatu wilayah seringkali baru dirasakan setelah
dampaknya menyebabkan gangguan kesehatan pada makhluk hidup, termasuk manusia
(Fardiaz, 1992).
Udara terdiri dari campuran beberapa macam gas yang perbandingannya tidak tetap,
namun tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan disekitarnya.
Komposisi normal udara terbagi atas gas nitrogen 78,08%, oksigen 20,9%, karbon dioksida
0,03%, dan selebihnya terdiri dari gas argon, neon, kripton, xenon, dan helium (Sumantri,
2010).
Menurut Irianto (2014) komposisi udara bersih dan kering pada umumnya tersusun
atas nitrogen (780,900 ppm), oksigen (209,500 ppm), argon (9,300 ppm), karbon dioksida
(318 ppm), karbon monoksida (0,1 ppm), helium (5,2 ppm), kripton (1 ppm), xenon (1,5
ppm), ozon (0,02 ppm), neon (18 ppm), sulfur dioksida (0,0002 ppm), dan amonia (0,01
ppm).
Menurut Peraturan Pemerintahan RI No. 41 Tahun 1999 tentang pengendalian
pencemaran udara, udara terbagi menjadi udara ambien dan udara emisi. Udara ambien
adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer yang berada didalam
wilayah yuridiksi Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan
manusia, makhluk hidup dan lingkungan hidup lainnya. Sedangkan udara emisi adalah zat,
energi dan atau komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan atau
dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan atau tidak mempunyai sebagai
potensi udara pencemar.
Massa PM10 lebih berat daripada polutan gas, sehingga ketika terjadi percampuran
PM10 akan langsung jatuh kembali ke permukaan. Keberadaan partikulat di atmosfer
cukup dinamis sehingga konsentrasinya dapat meningkat atau pun menurun. Perubahan
konsentrasi PM10 di atmosfer ini dipengaruhi pula oleh waktu tinggalnya (residence time).
Waktu tinggal partikulat di atmosfer bergantung pada ukurannya. Efek dari gravitasi dapat
menyebabkan partikel berukuran kasar seperti PM10 secara cepat dapat dihilangkan dari
atmosfer oleh sedimentasi (waktu tinggal antara beberapa menit dan beberapa jam). Selain
itu partikel dalam bentuk yang lebih kecil dapat dengan cepat bertransformasi menjadi
partikulat berukuran kasar oleh proses koagulasi. Waktu tinggal tertinggi di atmosfer
(dapat mencapai beberapa minggu) adalah berupa partikulat yang berakumulasi, sehingga
dapat dengan mudah dibawa oleh angin hingga ribuan kilometer dari wilayah terbentuknya
(Perrino 2010).
2.2 Partikel Debu Terhirup (PM10)
Faktor lingkungan seperti asap kendaraan bermotor dapat mengemisikan beberapa
zat pencemar udara seperti SO2, NO2, Pb, CO2, dan PM10. Berdasarkan hasil penelitian
Nukman, et al (2005) diketahui bahwa partikel debut terhirup (PM10) memiliki tingkat
risiko kesehatan lebih besar dibandingkan zat polutan lainnya. Partikel debu terhirup
adalah istilah umum yang digunakan untuk menjelaskan campuran kompleks partikel
aerosol yang melayang di udara.
Polusi partikel debut terhirup terdiri dari sejumlah komponen penyusun, yaitu asam
(seperti nitrat dan sulfat), bahan kimia organik, logam, dan partikel tabah atau debu.
Berdasarkan ukurannya partikel debu terhirup terbagi menjadi beberapa kategori, yaitu
total suspended particulate matter (TSP), PM10, dan PM2,5. TSP adalah partikel dengan
ukuran diameter 0,1 hingga 30 mikrometer. TSP mencakup partikel halus (fine particle),
partikel kasar (coarse particle), dan partikel sangat kasar (supercoarse particle). PM10
merupakan partikel dengan diameter hingga 10 mikrometer (U.S. EPA, 2010 dan Harrison,
1999).
Partikel debu terhirup ini juga sering disebut sebagai inhalable particles, respirable
particulate, respirable dust dan inhalable dust. Penamaan ini didasarkan karena PM10
merupakan kelompok partikel debu terhirup yang dapat diinhalasi dan respirable spesifik
sebagai salah satu prediktor kesehatan (Koren, 2003). PM2,5 adalah partikel debu terhirup
yang berukuran sampai dengan 2,5 mikrometer. Komponen kimia dari PM2,5 juga berbeda
dengan partikel kasar (coarse dan supercoarse particle). Komposisi utama dari PM2,5
adalah sulfat, nitrat, komponen organik, dan komponen amonium (WHO, 2005a).
Konsentrasi polusi udara memiliki nilai ambang batas (NAB) yang diperbolehkan untuk
berada dalam udara ambien, dan NAB tersebut ialah sebesar PM10 = 150 µgram/m3.
Menurut penjelasan Departement of Health New York, AS, PM 2,5 bisa mengurangi
jarak pandang dan terlihat agak berkabut ketika jumlahnya tinggi. PM 2,5 memiliki lebar
sekitar 2 sampai 1,5 mikron. Ukurannya ini membuatnya 30 kali lebih kecil dibanding
lebar rambut manusia. PM 10 ukurannya bisa lebih besar, tapi risiko bahayanya sama.
Saking halusnya, organisasi pecinta lingkungan Greenpeace Indonesia menyarankan
masyarakat tidak menggunakan masker biasa. Mereka diminta memakai masker N95,
karena mampu menyaring partikel asap berukuran kecil di bawah PM 10.
2.3 Sumber Polutan PM10
Partikel debu dapat bersumber dari antropogenik maupun alami dan juga dapat
ditemukan dalam ruangan maupun luar ruangan. Partikel debu terhirup (PM10) biasanya
bersumber dari aerosol sekunder yang terbentuk dari konversi gas terhadap partikel.
Partikel debu terhirup (PM10) juga dapat berasal dari hasil pembakaran, rekodensasi
material organik, dan uap logam (WHO, 2003).
Partikel debu berdasaran asal pembentukannya dapat dibagi menjadi sumber alami
dan sumber antropogenik. Sumber alami dapat berasal dari aktivitas vulkanis, partikel hasil
pembakaran di alam, debu dari tanah, pasir pantai, dan partikel-partikel biologi dari
tumbuhan seperti serbuk sari, spora dan lain-lain. Sumber antropogenik banyak berasal dari
aktivitas manusia seperti emisi cerobong dari proses-proses industri, pertambangan,
kegiatan pertanian, dan manufaktur lainnya (World Bank Group, 1998).
Selain itu, sumber partikel debu juga dapat dibedakan berdasarkan pergerkannya,
yaitu sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara,
sumber emisi bergerak adalah sumber emisi yang dapat bergerak atau tidak tetap pada
suatu tempat yang berasal dari kendaraan bermotor. Sedangkan sumber tidak bergerak
adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat. Sumber tidak bergerak biasanya banyak
terdapat pada industri-industri yang memiliki cerobong emisi.
Partikel debu terhirup (PM10) yang biasanya terbentuk dari proses-proses mekanik
seperti penghancuran, penggilingan, pembakaran, dan suspense debu. Proses mekanik
seperti ini banyak dilakukan oleh kegiatan-kegiatan industri pertambangan, pabrik semen,
pertanian, konstruksi dan aktifitas transportasi. Selain itu juga dapat berasal dari kegiatan
pertanian, lahan yang tidak tertutup, dan evaporasi air laut yang terbawa oleh angin.
Debu terhirup PM10 berada di udara tanpa terlihat oleh mata. Konsentrasinya di udara
akan terlihat ketika tingkat kepekatannya meninggi. Berikut ialah grafik konsentrasi PM10
berdasarkan BMKG untuk wilayah Kota Pontianak per tanggal 8 September 2019 (pukul
00.00 hingga sekitar 20.00).

Keterangan :

Selain aktifitas transportasi yang tidak pernah berhenti sepanjang hari, faktor terbesar
penyebab tingginya PM10 di Pontianak saat ini dan beberapa bulan belakangan ialah adalah
akibat kebakaran hutan dan lahan yang bahkan telah jadi masalah tahunan.
Ada banyak faktor yang menyebabkan kebakaran hutan tersebut, antara lain yaitu
cuaca yang ekstrim, lahan gambut yg mudah terbakar, cara bercocok tanam penduduk
dengan cara membakar, tindakan membakar secara meluas bermotifkan finansial, dan tidak
optimalnya pencegahan oleh aparat di tingkat bawah, kurang cepat & efektifnya
pamadaman api serta penegakan hukum yang tidak bisa menyentuh dalang pembakaran.
Pemerintah diharapkan harus berani bertindak tegas terhadap para pelaku pembakaran
hutan terutama pada saat penegak hukum telah melakukan penyelidikan di lapangan jika
benar-benar terbukti ada masyarakat maupun perusahaan yang melakukan pembakaran
hutan dan lahan dengan sengaja maka harus ditindak dengan tegas. Jika ada perusahaan
berulang kali melakukan pembakaran hutan maka pemerintahan harus berani mencabut
izin perusahaan tersebut.
3 BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini sebagai berikut :

1. Konsentrasi PM10 di Kota Pontianak yang mewakili kawasan industry berdasarkan hasil
penelitian pada tanggal 8 september 2019 sebesar 150 µgram/m3 . Berdasarkan pada baku
mutu yang terdapat dalam PP No.41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran Udara
konsentrasi PM10 maksimum yaitu 150 µgram/m3. Secara umum dapat disimpulkan
bahwa karakteristik wilayah pada kota Pontianak berada pada kondisi tidak sehat,
dengan analisis komposisi anorganik yang tekandung dalam PM10 yang paling tinggi
adalah Na dan komposisi anorganik PM10 yang paling rendah adalah Hg.
2. Kota Pontianak merupakan kota dengan aktifitas kendaraan yang tak pernah berhenti,
Sumber sumber munculnya polutan konvensional yang berjenis PM10 disebabkan
pengendara roda dua yang menempati posisi tertinggi dengan ditambah adanya kebakaran
lahan yang terjadi di sebagian wilayah Pontianak dengan berbagai penyebab seperti cuaca
yang ekstrim atau kelalaian masyarakat itu sendiri yang menyebabkan semakin tebal nya kabut
asap dan penambahan partikel-partikel lain yang beresiko menyerang pernapasan dan
mengakibatkan terkena ISPA.
3. Hubungan yang diperoleh antara Udara dan PM10 terdapat pada Perubahan konsentrasi
PM10 di atmosfer yang dipengaruhi oleh waktu tinggalnya (residence time). Waktu tinggal
partikulat di atmosfer bergantung pada ukurannya. Dengan efek dari gravitasi dapat
menyebabkan partikel berukuran kasar seperti PM10 yangsecara cepat dapat dihilangkan dari
atmosfer oleh sedimentasi (waktu tinggal antara beberapa menit dan beberapa jam).

3.2 Saran
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah membandingkan kondisi sebaran PM10
musim kemarau dan musim hujan. Arah sebaran PM10 yang dominan menuju Kota
Tangerang dan Kota Tangerang Selatan dapat menjadi pertimbangan bagi pemerintah
setempat untuk mengambil kebijakan terkait kondisi lingkungan, seperti pengelolaan tata
ruang dengan ditambahkan ruang terbuka hijau pada wilayah ini.
4 DAFTAR PUSTAKA

BPS Provinsi Kalimantan Barat dalam Angka 2016. Kalimantan Barat dalam Angka 2016.
Fardiaz, 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius.
Harrison. R. M. 1999. Understanding Out Environment An Introduction to Environmental
Chemistry and Pollution. Birmingham UK: Royal Society of Chemistry.
Koren. 2003. Handbook of Environtmental Health Volume 1, Biological, Chemical and Physical
Agents of Environtmentally Relatef Disease. USA: Lewis Publishers.
Nukman, A. Et al., 2005. Analisis dan Manajemen Risiko Kesehartan Pencemaram Udara :
Studi Kasus di Sembilan Kota Besar Padat Transportasi. Jurnal Ekologi Kesehatan.
Volume 4, pp. 270-289.
Perrino, Cinzia. 2010. Atmospheric Particulate Matter, dalam : Proceedings of C.I.S.B.
Minisymposium. Rome (IT) : C.NR. Institute of Atmospheric Pollution
Republik Indonesia, 1999. Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 Tentang Pengendalian
Pencemaran Udara. Jakarta: Sekretaris Negara.
Ruslinda, Y., Gunawan, H., Goembira, F., Wulandari, S., Pengaruh Jumlah Kendaraan
Berbahan Bakar Bensin Terhadap Konsentrasi Timbal (Pb) di Udara Ambien Jalan Raya
Padang. Seminar Nasional Sains dan Teknologi Lingkungan II, pp.162-167, 2016.
Sumantri, A., 2010. Kesehatan Lingkungan Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
U.S. EPA. 2010. Quantitative Health Risk Assessment for Partivculate Matter. North Carolina:
U.S. Environmental Protection Agency.
WHO. 2003.Health Aspects of Air Pollution with Particulate Matter, Ozone and Nitrogen
Dioxide. Bonn: Report on WHO Working Group.
WHO. 2005a. Air Quality Guildenes for Partivulate Matterm Ozone, Nitrogen Dioxide and
Sulfur Dioxide: Global Update 2005. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe.
World Bank Group. 1998. Airborne Particulate Matter. USA: World Bank.

Anda mungkin juga menyukai