Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pencemaran lingkungan merupakan salah satu permasalahan besar yang
dihadapi didunia saat ini. Masalah utama pencemaran ini yaitu menurunnya
kualitas udara. Penurunan kualitas udara ini disebabkan oleh berbagai hal, mulai
dari eksploitasi lingkungan yang berlebihan, aktivitas industri, penggunaan energi,
hingga emisi gas buang kendaraan yang semuanya memicu ke permasalahan
polusi.
Secara umum dampak kesehatan yang banyak dijumpai akibat pencemaran
udara adalah ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) termasuk diantaranya,
asma, bronkitis, kanker hingga kematian. Oleh karena itu, perlu suatu alat
pemantauan kualitas udara untuk mengetahui kandungan gas-gas berbahaya
dilokasi dimana alat ini ditempatkan dan mengambil tindakan pencegahan dengan
cepat apabila terindikasi konsentrasi gas-gas tersebut berada diatas batas ambang
normal. Dalam hal ini penulis akan melakukan penelitian tentang metode
penentuan kualitas udara yang dilakukan secara monitoring.
1.2. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Tinjauan Umum Tentang Udara?
2. Apa itu Pencemaran Udara?
3. Apa saja faktor penyebab terjadinya Pencemaran udara?
4. Bagaimana Baku Mutu Udara dan ISPU?
5. Bagaimana Pengaruh parameter kualitas udara (CO, NO2, SO2, O3 dan PM10)
berbasis nilai ISPU terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup?
6. Bagaimana penggunaan metode monitoring dalam Mengukur Kualitas Udara
pada masing-masing parameter?
1.3. Tujuan
1. Dapat mengetahui Tinjauan Umum Tentang Udara?
2. Dapat mengetahui definisi Pencemaran Udara?
3. Dapat mengetahui faktor penyebab terjadinya Pencemaran Udara?
4. Dapat megetahui Baku Butu Udara dan ISPU?
5. Dapat mengetahui Pengaruh parameter kualitas udara (CO, NO2, SO2, O3 dan
PM10) berbasis nilai ISPU terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup?
6. Dapat mengetahui penggunaan metode monitoring dalam Mengukur Kualitas
Udara pada masing-masing parameter.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Umum Tentang Udara


Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang
mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Komponen
yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk uap H2O dan karbon
diokside (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi tergantung dari
cuaca dan suhu. Konsentrasi CO2 di udara selalu rendah, yaitu sekitar 0.03%.
konsentrasi CO2 mungkin naik, tetapi masih dalam kisaran beberapa per seratus
persen, misalnya di sekitar proses-proses yang menghasilkan CO2 seperti pembusukan
sampah tanaman, pembakaran, atau di sekitar kumpulan massa manusia di dalam
ruangan terbatas yaitu karena pernafasan. Konsentrasi CO2 yang relatif rendah
dijumpai di atas kebun atau lading tanaman yang sedang tumbuh atau di udara yang
baru melalui lautan. Konsentrasi yang relatif rendah ini disebabkan oleh absorsi CO2
oleh tanaman selama fotosintesis dan karena kelarutan CO2 di dalam air. Tetapi
pengaruh proses-proses tersebut terhadap konsentrasi total CO2 di udara sangat kecil
karena rendahnya konsentrasi CO2. Komposisi udara kering di mana semua uap air
telah dihilangkan relatif konstan. Komposisi udara kering yang bersih dikumpulkan di
sekitar laut dapat dilihat pada Tabel 2.1. Konsentrasi gas dinyatakan dalam persen
atau per sejuta (ppm = part per million), tetapi untuk gas yang konsentrasinya sangat
kecil Biasanya dinyatakan dalam ppm.
Tabel 2.1 Komposisi Udara Kering dan BersiH ( Stoker dan Seager,1972).
Komponen Persentase Ppm
Nitrogen 78.08% 780800
Oksigen 20.95% 209500
Argon 0.93% 9300
Karbon Diokside 0.03% 300
Karbon monokside 0.02% 200
Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali.
Beberapa gas seperti sulfur diokside (SO2), hydrogen sulfide (H2S), dan karbon
monokside (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses-
proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran
hutan, dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil
dapat tersebar di udara oleh angina, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya.
Selain disebabkan polutan alami tersebut, poilusi udara juga dapat disebabkan oleh
aktivitas manusia (Faridaz, 1992).
2.2 Pencemaran Udara
Pengertian pencemaran udara berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun
1997 pasal 1 ayat 12 mengenai Pencemaran Lingkungan yaitu pencemaran yang
disebabkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran yang berasal dari pabrik,
kendaraan bermotor, pembakaran sampah, sisa pertanian, dan peristiwa alam seperti
kebakaran hutan, letusan gunung api yang mengeluarkan debu, gas, dan awan panas. 1
Menurut Peraturan Pemerintah RI nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat,
energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia, sehingga
mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak
dapat memenuhi fungsinya (Gusnita,2016).

Ketika mengaitkan pencemaran udara dengan suatu tindakan kejahatan, maka


secara hukum dan UU, kegiatan yang berakibat pada pencemaran udara merupakan
suatu tindakan kejahatan yang melanggar hukum. Begitu juga dari segi kriminologi,
tindakan yang berdampak pada pencemaran udara adalah suatu pola tingkah laku
manusia yang dapat merugikan masyarakat dan lingkungan hidup. Karena
pencemaran udara dapat disebabkan oleh aktivitas manusia yaitu antara lain oleh
industri, alat transportasi, power plant, aktivitas rumah tangga dan perkantoran. Di
antara sumber polutan tersebut kendaraan bermotor merupakan sumber polutan
terbesar, dimana pada kota besar 98 % polutan udara berasal dari kendaraan bermotor
(Gusnita,2016).
2.3 Penyebab Pencemaran Udara
Sektor transportasi memiliki peran yang penting dalam pencemaran udara dan
merupakan sumber pencemaran udara utama. Partikel debu (PM10) adalah salah satu
polutan yang menyebabkan polusi. PM10 merupakan prediktor kesehatan, dimana naik
dan turunnya PM10 berasosiasi dengan kadar zat-zat pencemaran lainnya ketika sama-
sama berada di dalam udara. Uji toksikologi menunjukkan bahwa PM10 yang terhisap
langsung ke dalam paru-paru dan mengendap di alveoli dapat membahayakan sistem
pernafasan. Sumber utama dari emisi PM10 adalah dari kendaraan diesel dengan bahan
bakar solar. Pada tahun 2010, sekitar 3,3 juta orang di seluruh dunia meninggal hanya
dikarenakan menghirup debu-debu kecil yang beterbangan di udara dan diperkirakan
akan berlipat ganda pada tahun 2050. Debu yang masuk alveoli dapat menyebabkan
pengerasan pada jaringan (fibrosis) dan apabila 10% alveoli mengeras akan
mengakibatkan berkurangnya elastisitas alveoli dalam menampung udara. Fibrosis
yang terjadi dapat menurunkan kapasitas vital paru (Fauziah dkk., 2017).
Kapasitas vital paru yang tidak maksimal dapat diakibatkan karena faktor dari
luar tubuh atau ekstrinsik meliputi lingkungan kerja fisik dan faktor dari dalam tubuh
penderita itu sendiri atau instrinsik. Paparan debu terhirup yang melebihi nilai ambang
batas akan meningkatkan risiko terjadinya gangguan fungsi paru. Semakin lama
paparan berlangsung maka jumlah partikel yang mengendap di paru akan semakin
banyak. Lama paparan mempunyai pengaruh besar terhadap kejadian gangguan fungsi
paru. bahwa kadar debu yang rendah tapi lama keterpaparannya terjadi dalam waktu
yang lama akan menimbulkan efek kumulatif sehingga pada akhirnya pekerja dapat
mengalami gangguan fungsi paru. hubungan antara debu yang terhirup dengan
gangguan fungsi paru yang diukur dengan nilai kapasitas paru dengan p value 0,001
(Fauziah dkk., 2017).
2.4 Baku Mutu Udara dan ISPU
Indeks Standar Pencemar Udara adalah penyampaian data kualitas udara
kepada masyarakat yang menunjukkan seberapa bersih atau kotor udara yang ada di
suatu area, serta menunjukkan tingkat kualitas yang menerangkan dampak dari
pencemaran udara terhadap mahluk hidup, khususnya manusia. Pemerintah Indonesia
menetapkan 5 parameter pencemar, yaitu partikel debu (PM10), sulfur dioksida (SO2),
karbon monoksida (CO), ozon (O3), dan nitrogen dioksida (NO2).
Kualitas udara pada umumnya dinilai dari konsentrasi parameter pencemaran
udara yang terukur lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai Baku Mutu Udara Ambien
Nasional. Baku mutu udara adalah ukuran batas atau kadar unsur pencemaran udara
yang dapat ditenggang keberadaannya dalam udara ambien. Udara ambien adalah
udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfer (lapisan udara setebal 16 km
dari permukaan bumi ) yang berada di dalam wilayah yurisdiksi Republik Indonesia
yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, mahluk hidup dan unsur
lingkungan hidup lainnya. Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas
maksimum mutu udara ambien untuk mencegah terjadinya pencemaran udara
sebagaimana terlampir dalam PP No 41 Tahun 1999. Pemerintah menetapkan Baku
Mutu Udara Ambien Nasional untuk melindungi kesehatan dan kenyamanan
masyarakat. Baku Mutu Udara Ambien Nasional dilihat pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2 Baku mutu udara ambien nasional menurut PP No 41 tahun 1999
No. Parameter Waktu Baku Mutu
1 Aerosol (PM10) 24 jam 150 μg/m3
2 Karbonmonoksida (CO) 1 jam 30000 μg/m3
24 jam 10000 μg/m3
3 Ozon (O3) 1 jam 235 μg/m3
1 tahun 50 μg/m3
4 Sulfurdioksida (SO2) 24 jam 365 μg/m3
1 tahun 80 μg/m3
5 Nitrogendioksida (NO2) 1 jam 0.25 μg/m3
1 tahun 100 μg/m3

ISPU didefinisikan sebagai angka yang tidak mempunyai satuan yang


menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu, yang didasarkan
kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan mahluk hidup lainnya.
Meskipun nilai ISPU lebih tepat digunakan untuk daerah urban, pada prinsipnya nilai
ini dapat diterapkan ke semua tipe wilayah. Parameter-parameter yang digunakan
dalam penentuan nilai ISPU dituangkan lebih detil lagi dalam Lampiran Keputusan
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107 Tahun 1997
(Kurniawan,2017).
Tabel 2.3 Parameter dasar untuk pengukuran ISPU dan periode waktu pengukurannya
sesuai dengan lampiran Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997
Waktu
No. Parameter Pengukuran
(rata-rata)
1 Partikulat (PM10) 24 jam
2 Sulfurdioksida (SO2) 24 jam
3 Karbonmonoksida (CO) 8 jam
4 Ozon (O3) 1 jam
5 Nitrogendioksida (NO2) 1 jam

Hasil perhitungan nilai ISPU digunakan untuk melakukan kategorisasi kondisi


kualitas udara di suatu tempat. Kualifikasi tersebut didasarkan pada nilai ISPU dari
parameter pencemar utama. Kualifikasi kondisi kualitas udara tersebut dirangkum
dalam Tabel 2.4 berikut.
Tabel 2.4. Kategori kualitas udara berdasarkan nilai ISPU sesuai dengan lampiran
Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997
No. Nilai ISPU Kategori
1 0-50 Baik
2 51-100 Sedang
3 101-199 Tidak Sehat
4 200-299 Sangat Tidak Sehat
5 > 300 Berbahaya

2.5 Pengaruh parameter kualitas udara (CO, NO2, SO2, O3 dan PM10)
berbasis nilai ISPU terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup
Pengaruh konsentrasi gas karbonmonoksida (CO) terhadap kesehatan manusia
dan makhluk hidup, sebagai berikut: Indeks ISPU berkategori baik (0-50), tidak
menimbulkan efek apapun bagi manusia dan makhluk hidup. Nilai ISPU pada kisaran
51-100 berkategori sedang, paparan gas CO mulai menimbulkan perubahan kimia
darah, tetapi walaupun tak terdeteksi. Pada kisaran 101-199 berkategori tidak sehat
paparan gas CO mulai meningkatkan kardiovaskular pada perokok yang sakit jantung.
Sedangkan pada kisaran 200-299 berkategori sangat tidak sehat, paparan gas CO akan
meningkatkan kardiovaskular pada orang bukan perokok yang berpenyakit jantung,
dan akan tampak beberapa kelemahan yang terlihat secara nyata. Pada nilai ISPU di
atas 300, atau masuk kategori berbahaya, paparan gas CO berbahaya bagi semua
polulasi.
Pengaruh konsentrasi gas Nitrogendi- oksida (NO2) terhadap kesehatan
manusia dan makhluk hidup, sebagai berikut: Indeks ISPU berkategori baik (0-50),
paparan gas NO2 menimbulkan sedikit bau tertentu. Nilai ISPU yang lebih tinggi
pada kisaran 51-100 berkategori sedang, paparan gas NO2 menimbulkan bau tertentu.
Pada kisaran lebih tinggi lagi pada indeks ISPU 101-199 berkategori tidak sehat
paparan gas NO2 mulai meningkatkan bau lebih tajam dan mulai kehilangan warna
gas, memberikan efek peningkatan reaktivitas pembuluh tenggorokan pada penderita
asma. Sedangkan pada kisaran 200-299 berkategori sangat tidak sehat, gas NO2 akan
meningkatkan sensitivitas pasien yang berpenyakit asma dan bronkhitis. Pada nilai
ISPU di atas 300, atau masuk kategori berbahaya, paparan gas NO2 berbahaya bagi
semua populasi.
Pengaruh konsentrasi gas Ozon Per- mukaan (O3) terhadap kesehatan manusia
dan makhluk hidup, sebagai berikut: Indeks ISPU berkategori baik (0-50), paparan
gas O3 dan kombinasi dengan SO2 selama 4 (empat) jam berturut-turut
mengakibatkan luka pada beberapa spesies tumbuhan. Nilai ISPU yang lebih tinggi
pada kisaran 51-100 berkategori sedang, paparan gas O3 pada jangka waktu yang
lebih pendek dapat menimbulkan luka pada beberapa spesies tumbuhan. Pada kisaran
indeks ISPU 101-199 berkategori tidak sehat, paparan gas O3 mulai mengakibatkan
penurunan kemampuan pada atlit yang berlatih keras. Sedangkan berkategori sangat
tidak sehat pada kisaran 200-299, gas O 3 akan mengakibatkan pengaruh pernapasan
pada pasien yang berpenyakit paru-paru kronis saat melakukan olah raga ringan. Pada
nilai ISPU diatas 300, atau masuk kategori berbahaya, paparan gas O3 berbahaya bagi
semua polulasi.
Pengaruh konsentrasi gas Sulfurdioksida- (SO2) terhadap kesehatan manusia
dan makhluk hidup, sebagai berikut: Indeks ISPU berkategori baik (0-50), paparan
gas SO2 dan kombinasi dengan O3 selama 4 (empat) jam berturut-turut
mengakibatkan luka pada beberapa spesies tumbuhan. Nilai ISPU yang lebih tinggi
pada kisaran 51-100 berkategori sedang, paparan gas SO2 pada jangka waktu yang
lebih pendek dapat menimbulkan luka pada beberapa spesies tumbuhan. Pada kisaran
indeks ISPU 101-199 berkategori tidak sehat, paparan gas SO2 mulai menimbulkan
bau dan meningkatnya keracunan pada tanaman. Sedangkan berkategori sangat tidak
sehat pada kisaran 200-299, gas SO2 akan mengakibatkan peningkatan sensitivitas
pasien yang berpenyakit asma dan bronkhitis. Pada nilai ISPU diatas 300, atau masuk
kategori berbahaya, paparan gas O3 berbahaya bagi semua populasi.
Pengaruh Partikulat (PM10) terhadap kesehatan manusia dan makhluk hidup,
yaitu tidak ada efek apapun bila kategori ISPU berkategori baik (0-50). Pada kisaran
nilai 51-100 berkategori sedang, partikulat berakibat mulai penurunan pada jarak
pandang. Pada kisaran indeks ISPU 101-199 berkategori tidak sehat, partikulat
menyebabkan jarak pandang turun secara signifikan, dan terjadi pengotoran debu di
mana-mana. Sedangkan berkategori sangat tidak sehat pada kisaran 200-299,
partikulat meningkatnya sensitivitas pasien yang berpenyakit asma dan bronkhitis.
Pada nilai ISPU di atas 300, atau masuk kategori berbahaya, paparan partikulat
(PM10) berbahaya bagi semua populasi (Kurniawan,2017).
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Metode Monitoring


Pengukuran parameter kualitas udara dapat dilakukan menggunakan metode
monitoring. Metode monitoring disini artinya pengukuran konsentrasi (CO, NO2,
SO2, O3 dan PM10) secara terus-menerus 24 jam tanpa henti. Parameter meteorologi
permukaan seperti radiasi matahari global, curah hujan, kelembaban relatif udara,
temperatur udara permukaan, tekanan udara, kecepatan angin, dan arah angin diukur
dengan menggunakan instrumen Meteorological Automatic Weather Station (MAWS)-
Vaisala. MAWS merupakan stasiun cuaca mini dan dipasang dengan menggunakan
tripod portable. Instrumen ini terdiri dari beberapa sensor yang dapat digunakan untuk
mengukur parameter meteorologi terdiri dari sensor angin (seri QMW 101), sensor
radiasi matahari (QMS 101), sensor temperatur dan kelembaban (QMH 101), sensor
presipitasi (QMR 101), sensor tekanan (PMT 16A), sebuah logger (QML 102), baterai
internal rechargeable (QMB 102), dan panel surya untuk mengisi baterai internal.
Resolusi data pengamatannya adalah 1 (satu) menitan. Komponen parameter
meteorologi permukaan yang digunakan pada tulisan ini adalah temperatur udara dan
tekanan udara, dari data mentah 1 (satu) menitan diolah menjadi rata-rata perjam
kemudian dioleh kembali menjadi rata-rata harian.
3.2. Pengukuran parameter gas (CO, NO2, SO2, dan O3)
3.2.1. Pengukuran Ozon permukaan (O3)
Pengukuran ozon permukaan (O3) dilakukan dengan menggunakan
instrumen TEI Tipe 49C Ozone Analyzer. Detail mengenai metode pengukuran
dan hasil pengukuran beserta koreksinya ini dapat dilihat pada publikasi lain.
Resolusi data dibuat menjadi agregat per-jam untuk selanjutnya diproses sesuai
dengan keperluan perhitungan nilai ISPU, keluaran data konsentrasi O3 memiliki
satuan parts per-billion (ppb).
3.2.2. Pengukuran Karbonmonoksida (CO)
Pengukuran karbonmonoksida diperoleh dari instrumen HORIBA APMA 360
CO Analyzer. Instrumen ini beroperasi menggunakan metode Non-Dispersive Infra
Red (NDIR) Spectroscopy. Konsentrasi CO dihitung berdasarkan kompensasi
pengurangan intensitas cahaya berdasarkan prinsip Beer- Lambert. Detail mengenai
metode pengukuran dapat dilihat pada publikasi lain. Resolusi data yang dihasilkan
kemudian diolah menjadi agregat per-jam untuk diproses lebih lanjut sesuai dengan
keperluan perhitungan nilai ISPU. Keluaran data konsentrasi CO memiliki satuan ppb.
3.2.3. Pengukuran Sulfurdioksida (SO2)
Pengukuran gas SO2 dengan metode UV Fluoresense menggunakan instrumen
TS43i. Instrumen mencatat konsentrasi gas SO2 dengan resolusi waktu setiap
beberapa puluh detik namun dicatat sebagai rawdata dengan rata-rata 5 menit. Inlet
berada kurang lebih 3-4 meter dari permukaan tanah. Inlet udara menggunakan bahan
dari polietilen dengan pertimbangan bersifat inert atau tidak bereaksi dengan sampel
yang dianalisa. Untuk menghilangkan partikel/debu pada sistem inlet dipasangkan
filter inlet, dan untuk menghilangkan uap air dari udara ambien dipasang pengering
berupa rubin gel. Prinsip kerja instrumen yang menggunakan metode UV Fluoresense
adalah udara yang mengandung gas SO2 ditarik menggunakan pompa kemudian
dibawa ke dalam ruangan
pengukuran. Sumber cahaya digunakan sinar ultraviolet dengan panjang gelombang
320 - 380 nm. Saat di dalam ruangan pengukuran sampel gas SO2 akan dikenai
dengan sinar
ultraviolet tersebut. Selanjutnya SO2 akan mengalami eksitasi. Saat SO2 yang
tereksitasi kembali keadaan dasar (ground state) akan memancarkan sinar, proses
memancarkan sinar ini disebut dengan fluoresense. Besarnya fluoresense akan diukur
dengan bagian instrumen disebut photomultiplyer (Speidela, 2007.). Besarnya
konsentrasi gas SO2 sebanding dengan besarnya sinar yang diukur oleh
photomultiplyer. Instrumen ini dilengkapi dengan sistem kalibrasi (Dynamic Gas
Calibrator TS146i dan Zero Air Supply TS111) serta gas standar SO2 untuk menjamin
kualitas peralatan dan data yang dihasilkan.
Gambar 3.1. Proses UV-Fluoresense pada gas SO2 (kiri), prinsip kerja instrumen dengan metode

UV-Fluoresense (kanan)

3.2.4. Pengukuran Nitrogendioksida (NO2)


Pengukuran gas NO2 dilakukan instrument TS42i-Trace Level. Instrumen ini
diperuntukkan untuk monitoring gas NO, NO2, NOx di daerah terpencil, sesuai
dengan istilah nama Trace Level pada nama instrumen, nilai konsentrasi gas terukur
dinyatakan sebagai mixing ratio atau fraksi mol dalam orde ppb (part perbillion).
Prinsip kerja instrumen ini Chemiluminescent. Data gas NO2 merupakan data dengan
resolusi 5 (lima) menit, kemudian diolah data ini kemudian diolah menjadi agregat
harian. Data mentah diambil dari instrumen menggunakan software iport dengan
kabel RS232. Instrumen ini dilengkapi dengan sistem kalibrasi (Dynamic Gas
Calibrator TS146i dan Zero Air Supply TS111) serta gas standar NO2 untuk menjamin
kualitas peralatan dan data yang dihasilkan.
3.2.5. Pengukuran Parameter Partikulat (PM10)
Pengukuran PM10 diukur dengan menggunakan instrumen BAM1020.
Instrumen ini bekerja berdasarkan prinsip pelemahan partikel sinar beta yang melalui
materi padatan yang dikumpulkan dalam pita filter yang terbuat dari fiber. Materi
padatan yang terkumpul dalam filter fiber tidak lain adalah PM10 dalam satu volume
udara ambien yang dihisap oleh pompa. Konsentrasi PM10 juga ditentukan dari
kompensasi pengurangan intensitas cahaya berdasarkan prinsip Beer-Lambert.
Konsentrasi PM10 yang terukur disimpan di dalam data logger dan dapat ditampilkan
pada layar monitor PC melalui koneksi serial RS-232. Data konsentrasi PM10 yang
dihasilkan memiliki satuan μg/m3 dalam resolusi perjam.
3.3. Perhitungan nilai ISPU
Konsentrasi yang digunakan dalam perhitungan ISPU adalah μg/m3, konsentrasi PM10

sudah dalam satuan μg/m3sedangkan konsentrasi instrument O3, CO, NO2 dan SO2 dalam ppb,

sehingga data tersebut harus dikonversi terlebih dahulu ke μg/m3 menggunakan persamaan:

dengan:
p = tekanan udara (Pascal)
Mr = massa molekul relatif (g/mol)
R = konstanta gas ideal (8.314 N m mol-1 K-1)
T = temperatur udara (Kelvin)
Untuk persamaan ini, nilai tekanan udara (p) dan temperatur udara (T) digunakan
pada kondisi STP (temperatur udara 25 C=293K dan tekanan udara 1 atm). Koreksi
tersebut dihitung dengan persamaan berikut:

dengan:
X0 = konsentrasi awal
X1 = konsentrasi terkoreksi
T0 = temperatur udara STP (K)
T1 = temperatur udara rata-rata (K)
p0 = tekanan udara STP (Pa)
p1 = tekanan udara rata-rata (Pa)
Tabel 3.1. Batas Atas ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) dalam Satuan SI
sesuai dengan Lampiran Keputusan Kepala Bapedal No. 107 Tahun 1997
(nilai 0 disisipkan dalam tabel untuk mempermudah pemahaman dalam perhitungan).
Periode paparan seperti yang disebutkan dalam Tabel 4 menentukan resolusi
data yang digunakan dalam perhitungan. Untuk data O3 dan NO2 yang digunakan
dalam perhitungan adalah nilai maksimum dari rata-rata perjam dalam satu hari. Data
konsentrasi CO dan SO2 yang digunakan dalam perhitungan dipilih dari nilai
maksimum dari rata-rata per 8 (delapan) jam dalam satu hari. Sementara itu,
konsentrasi PM10 merupakan data rerata harian digunakan dalam perhitungan.
Setelah dari data μg/m3 diubah menjadi nilai indeks ISPU terhitung, dengan cara:

dengan:

I = ISPU terhitung

Ia = ISPU batas atas


BAB IV
PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi
bumi. Pencemaran udara dapat disebabkan oleh beberapa faktor yoitu (belom ada
bahannya mau dibuat kesimpulan ini wkwkwkw). kualitas udara pada umumnya
dinilai dari konsentrasi parameter pencemaran udara yang terukur lebih tinggi atau
lebih rendah dari nilai Baku Mutu Udara Ambien Nasiomal. Parameter-parameter
tersebut diantaranya Aerosol (PM10), Karbonmonoksida (CO), Ozon (O3),
Sulfurdioksida (SO2), dan Nitrogendioksida (NO2).
Pengukuran parameter kualitas udara dapat dilakukan menggunakan metode
monitoring, dengan melakukan pengamatan selama 24 jam tanpa henti. Pada
pengukuran setiap parameter digunakan beberapa metode dan instrumen yang
berbeda-beda. Dari semua pengukuran, pada pengukuran gas SO2 dengan metode UV
Flouresense menggunakan instrumen TS43i merupakan instrumen dengan ketelitian
yang paling baik. Dimana instrumen ini mencatat konsentrasi SO2 dengan resolusi
waktu yang memiliki ketelitian yang tinggi, dihitung dari beberapa puluh detik dan
pencatatan pengukuran setiap 5 menit.
4.2 SARAN
Dengan penulisan makalah ini diharapkan kepada pembaca agar dapat sebaik-
baiknya menjaga kualitas udara. Agar kita sebagai manusia, dan makluk hidup
lainnya merasakan dampak buruk akibat dari kualitas udara yang kurang baik.
DAFTAR PUSTAKA

B. P. D. L. RI, “KEP-107/KABAPEDAL/11/1997,” Jakarta, 1997.


Fauziah, D. A., Rahardjo, M., dan Dewanti, N. A. Y., 2017. Analisis Tingkat
Pencemaran Udara Di Terminal Kota Semarang. Jurnal Kesehatan
Masayarakat, 5 (5): 562, 566-568.
Fardiaz, S., 1992. Polusi Air Dan Udara. Yogyakarta: Kanisisus.
Gusnita, C., 2016. Polusi Udara Kendaraan Bermotor sebagai Bentuk Kejahatan
Tanpa Korban. Jurnal Kriminalogi, 2 (1): 4.
Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan No. 107 Tahun 1997
Tanggal 21 November 1997 Tentang : Perhitungan Dan Pelaporan Serta
Informasi Indeks Standar Pencemar Udara, Jakarta.
Kurniawan, A., 2017. Pengukuran Parameter Kualitas Udara (C0, NO2, SO2, O3, dan
PM10) di bukit Kotatabang Berbasis ISPU. Jurnal Teknosains, 1(7); 1-8.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 41 Tahun 1999 tanggal : 26 mei 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai