Anda di halaman 1dari 16

Dasar Kesehatan Lingkungan

Review

Pencemaran Udara

Tri Setiyani (25000119130100)

E 2019

Fakultas Kesehatan, Masyarakat Universitas Diponegoro

1. Pendahuluan

Udara merupakan faktor yang penting dalam hidup dan kehidupan.


Namun pada era modern ini, berkembangnya pembangunan fisik kota
dan pusat-pusat industri serta berkembangnya transportasi, berdampak
pada kualitas udara yang disebabkan oleh terjadinya pencemaran udara
atau sebagai berubahnya salah satu komposisi udara dari keadaan yang
normal; yaitu masuknya zat pencemar (berbentuk gas-gas dan partikel
kecil atau aerosol) ke dalam udara dalam jumlah tertentu untuk jangka
waktu yang cukup lama, sehingga dapat mengganggu kehidupan
manusia, hewan, dan tanaman.
Perubahan lingkungan udara disebabkan pencemaran udara, yaitu
masuknya zat pencemar (berbentuk gas – gas dan partikel kecil / aerosol)
kedalam udara. Zat pencemar masuk kedalam udara dapat secara
alamiah (asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu meteorit, dan
pancaran garam dari laut) dan aktivitas manusia (transportasi, industri
pembuangan sampah). Konsentrasi pencemaran udara di beberapa kota
besar dan daerah industri Indonesia menyebabkan adanya gangguan
pernafasan, iritasi pada mata dan telinga, timbulnya penyakit tertentu
serta gangguan jarak pandang (Ratnani, 2008).
2

2. Pembahasan

2.1 Pencemaran Udara


WHO menyatakan bahwa pencemaran udara merupakan risiko
gangguan kesehatan terbesar di dunia diperkirakan data tahun 2016
sekitar 6,5 juta orang meninggal tiap tahun akibat paparan polusi
udara.Pencemaran udara di Indonesia mengakibatkan 16.000
kematian setiap tahunnya, 1 dari 10 orang menderita infeksi saluran
pernapasan atas dan 1 dari 10 anak menderita asma.
Pencemaran udara umumnya diartikan sebagai udara yang
mengandung suatu atau lebih bahan kimia dalam konsentrasi yang
cukup tinggi untuk dapat menyebabkan gangguan atau bahaya
terhadap manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan harta benda
(Zakaria, 2013).
Sumber pencemaran udara disebabkan oleh bertambahnya aktifitas
manusia yang menghasilkan polutan, salah satunya adalah
penggunaan kendaraan yang menghasilkan emisi gas buang
kendaraan adalah CO. Tingginya tingkat konsentrasi karbon
monoksida (CO) dapat menjadi salah satu penyebab gas rumah kaca
yang berpengaruh terhadap naiknya suhu udara dan kelembaban
udara di bumi (Irma Dita Kurniawati, 2017).

2.2 Bahan-bahan Pencemar Udara


Asal pencemaran udara dapat diterangkan dengan tiga proses yaitu
atrisi (atrition), penguapan (vaporization), dan pembakaran
(combution). Dari ketiga proses di atas proses yang sangat dominan
dalam kemampuannya menimbulkan bahan pollutan (Mukono, 1997).
Sumber pencemaran dapat merupakan kegiatan yang bersifat alami
dan kegiatan antropogenik. Contoh sumber alami adalah akibat
letusan gunung berapi, kebakaran hutan, dekomposisi biotik, debu,
spora tumbuhan dan lain sebagainya. Pencemaran akibat kegiatan
manusia secara kuantitatif sering lebih besar, misalnya sumber
pencemar akibat aktivitas transportasi, industri, persampahan baik
3

akibat proses dekomposisi ataupun pembakaran dan rumah tangga.


Contoh dari kegiatan antropogenik adalah hasil pembakaran bahan
bakar fosil, debu atau serbuk dari kegiatan industri, pemakaian zat-zat
kimia yang disemprotkan ke udara (Zakaria, 2013).
Pencemaran udara akibat kegiatan transportasi yang sangat penting
adalah akibat kendaraan bermotor di darat yang menghasilkan gas
CO, Nox, Hidrokarbon, SO2 dan Tetraethyl lead, yang merupakan
bahan logam timah yang ditambahkan kedalam bensin berkualitas
rendah untuk meningkatkan nilai oktan guna mencegah terjadinya
letupan pada mesin. (Samiaji, 2009)
Berdasarkan kejadian, sumber pencemar dibedakan menjadi
pencemar primer dan pencemar skunder. Pencemar primer adalah
pencemar yang diemisikan langsung oleh sumbernya, Karbon
monoksida adalah salah satu contoh pencemar udara primer karena
ia merupakan hasil dari pembakaran. Sedangkan pencemar sekunder
adalah substansi pencemar yang terbentuk dari reaksi pencemar-
pencemar primer di atmosfer. Pembentukan ozon dalam smog
fotokimia adalah sebuah contoh dari pencemaran udara sekunder.
Atmosfer merupakan sebuah sistem yang kompleks, dinamik, dan
rapuh. Belakangan ini pertumbuhan keprihatinan akan efek dari emisi
polusi udara dalam konteks global dan hubungannya dengan
pemanasan global (global warming) dan deplesi ozon di stratosfer
semakin meningkat (Ratnani, 2008).

2.2.1 Bahan Pencemar Standar


2.2.1.1 Karbon monoksida (CO)
Karbon monoksida merupakan gas tidak berwarna
dan tidak berbau. Yang terbentuk dalam
pembakaran hidrokarbon tidak sempurna dan
menjadi penyebab efek rumah kaca dan perubahan
iklim. Apabila gas CO masuk ke dalam pernapasan
manusia, gas ini akan menggantikan oksigen dalam
mengikat Hemoglobin dan membentuk
Karboksihemoglobin (COHb) dimana apabila kadar
4

COHb di dalam tubuh manusia melebihi 2%, akan


merusak kesehatan temporal. Apabila kandungan
CO yang berada di lingkungan bebas melebihi 30
ppm, maka akan mengganggu aktivitas fisik.
Asap kendaraan merupakan sumber utama bagi
karbon monoksida di berbagai perkotaan. Data
mengungkapkan bahwa 60% pencemaran udara di
Jakarta disebabkan karena benda bergerak atau
transportasi umum yang berbahan bakar solar
terutama berasal dari Angkutan Umum . Formasi
CO merupakan fungsi dari rasio kebutuhan udara
dan bahan bakar dalam proses pembakaran di
dalam ruang bakar mesin diesel. Percampuran
yang baik antara udara dan bahan bakar terutama
yang terjadi pada mesin-mesin yang menggunakan
Turbocharge merupakan salah satu strategi untuk
meminimalkan emisi CO. Karbon monoksida yang
meningkat di berbagai perkotaan dapat
mengakibatkan turunnya berat janin dan
meningkatkan jumlah kematian bayi serta
kerusakan otak. Karena itu strategi penurunan
kadar karbon monoksida akan tergantung pada
pengendalian emisi seperti pengggunaan bahan
katalis yang mengubah bahan karbon monoksida
menjadi karbon dioksida dan penggunaan bahan
bakar terbarukan yang rendah polusi bagi
kendaraan bermotor. Karbon monoksida adalah
gas yang bersifat membunuh makhluk hidup
termasuk manusia. Zat gas CO ini akan
mengganggu pengikatan oksigen pada darah
karena CO lebih mudah terikat oleh darah
dibandingkan dengan oksigen dan gas-gas lainnya.
Pada kasus darah yang tercemar karbon
5

monoksida dalam kadar 70% hingga 80% dapat


menyebabkan kematian .

2.2.1.2 Nitrogen dioksida (NO2)


Keberadaan Nitrogen dioksida di lingkungan
sebagian besar berasal dari emisi gas buang
kendaraan bermotor. Keberadaanya di udara
mudah mengalami perubahan menjadi NO2,
sehingga akibat ketidakpastian bentuk tersebut
sering disebut sebagai parameter NO(x).
Keberadaanya di lingkungan pada kategori
Nyaman tidak berpengaruh, sedangkan pada
kategori Baik menimbulkan sedikit berbau,
meningkat sampai kategori Sedang, dimana akan
menampakkan pengaruh hingga menyebabkan
kehilangan warna dan peningkatan reaktivitas
pembuluh tenggorokan pada penderita asma,
untuk kategori Tidak Sehat. Pada kategori Sangat
Tidak Sehat memberikan pengaruh pada
meningkatnya sensitivitas yang berpenyakit asma
dan bronchitis, sedangkan pada kategori
Berbahaya akan mengancam kelangsungan hidup
seluruh makluk hidup.

2.2.1.3 Sulfur dioksida (SO2)


Sulfur Dioksida (SO2) berasal dari sisa
pembakaran bahan bakar fosil baik minyak tanah
atau bahan bakar premium dari kendaraan
bermotor. Keberadaannya di udara dapat
berbentuk SO3 atau SO2, dimana bentuk-bentuk
tersebut dapat mengalami perubahan, sehingga
sering dinamakan sebagai SOx. Pada kategori
nyaman parameter tersebut tidak memberikan
dampak yang berarti, sedangkan pada kategori
6

Baik dan Sedang keberadaan SO2 mampu


memberikan luka pada beberapa spesies
tumbuhan akibat kombinasi dengan O3 selama 4
jam. Penambahan konsentrasi SO2 pada
lingkungan akan merubah kepada kondisi Tidak
Sehat disamping menimbulkan bau yang
menyengat juga akan menyebabkan peningkatan
kerusakan tanaman. Pada kategori Sangat Tidak
Sehat akan berpengaruh pada peningkatan
sensitifitas pasien berpenyakit asma dan
bronchitis, sedangkan pada kategori Berbahaya
akibat yang ditimbulkan adalah ancaman bagi
seluruh makluk hidup.

2.2.1.4 PM-10
Penelitian epidemiologis pada manusia dan model
pada hewan menunjukan PM10 (termasuk di
dalamnya partikulat yang berasal dari diesel/DEP)
memiliki potensi besar merusak jaringan tubuh.
Data epidemiologis menunjukan peningkatan
kematian serta eksaserbasi/serangan yang
membutuhkan perawatan rumah sakit tidak hanya
pada penderita penyakit paru (asma, penyakit
paru obstruktif kronis, pneumonia), namun juga
pada pasien dengan penyakit
kardiovaskular/jantung dan diabetes. Anak- anak
dan orang tua sangat rentan terhadap pengaruh
partikulat/polutan ini, sehingga pada daerah
dengan kepadatan lalu lintas/polusi udara yang
tinggi biasanya morbiditas penyakit pernapasan
(pada anak dan lanjut usia) dan penyakit
jantung/kardiovaskular (pada lansia) meningkat
signifikan. Penelitian lanjutan pada hewan
menunjukan bahwa PM dapat memicu inflamasi
7

paru dan sistemik serta menimbulkan kerusakan


pada endotel pembuluh darah (vascular
endothelial dysfunction) yang memicu proses
atheroskelosis dan infark miokard/serangan
jantung koroner. Pajanan lebih besar dalam
jangka panjang juga dapat memicu terbentuknya
kanker (paru ataupun leukemia) dan kematian
pada janin. Penelitian terbaru dengan follow up
hampir 11 tahun menunjukan bahwa pajanan
polutan (termasuk PM10) juga dapat mengurangi
fungsi paru bahkan pada populasi normal di mana
belum terjadi gejala pernapasan yang
mengganggu aktivitas.

2.2.1.5 Ozon (O3)


Ozon merupakan oksidan fotokimia penting dalam
trofosfer. Terbentuk akibat reaksi fotokimia dengan
bantuan polutan lain seperti NOx, dan Volatile
organic compounds. Pajanan jangka pendek/akut
dapat menginduksi inflamasi/peradangan pada
paru dan menggangu fungsi pertahanan paru dan
kardiovaskular. Pajanan jangka panjang dapat
menginduksi terjadinya asma, bahkan fibrosis
paru. Penelitian epidemiologis pada manusia
menunjukan pajanan ozon yang tinggi dapat
meningkatkan jumlah eksaserbasi/serangan asma.

2.2.1.6 Timbal (Pb)


Menurut spesifikasi resmi Ditjen Migas,
kandungan maksimum timbal dalam bahan bakar
yang diizinkan adalah 0,45 gram per liter.
Sementara, menurut ukuran internasional,
ambang batas maksimum kandungan timbal
adalah 0,15 gram per liter. Timbal, atau Tetra Etil
8

Lead (TEL) yang banyak pada bahan bakar


terutama bensin, diketahui bisa menjadi racun
yang merusak sistem pernapasan, sistem saraf,
serta meracuni darah. Pb merupakan polutan yang
mempunyai dampak akut terhadap kesehatan
masyarakat, karena Pb merupakan bahan kimia
yang bersifat racun. Timah hitam ini tidak terikat
oleh unsur lain, sehingga mampu bersirkulasi ke
seluruh jaringan tubuh. Akibatnya beberapa organ
yang penting dan sensitif akan rusak oleh daya
racun Pb. Dampak pada orang tua adalah, terjadi
serangan jantung (cardiotic), menimbulkan
hipertensi (diastole meningkat). Sedangkan
dampak pada anak-anak secara empirik
menimbulkan gangguan dan kelainan otak.

2.3 Dampak Pencemaran Udara


Pencemaran udara pada dasarnya berbentuk partikel (debu, aerosol,
timah hitam) dan gas (CO, NOx, SOx, H2S, hidrokarbon). Udara yang
tercemar dengan partikel dan gas ini dapat menyebabkan gangguan
kesehatan yang berbeda tingkatan dan jenisnya, tergantung dari
macam, ukuran dan komposisi kimiawinya. Gangguan tersebut
terutama terjadi pada fungsi faal dari organ tubuh seperti paru – paru
dan pembuluh darah atau menyebabkan iritasi pada mata dan kulit.
Pencemaran udara karena partikel debu biasanya menyebabkan
penyakit pernafasan kronis seperti bronchitis khronis, emfisema
(penggelembungan rongga atau jaringan karena gas atau udara
didalamnya; busung angin), paru, asma bronkial dan kanker paru.
Pencemar gas yang terlarut dalam udara dapat langsung masuk
kedalam tubuh sampai ke paru – paru yang pada akhirnya diserap
oleh sistem peredaran darah .
Kadar timah (Pb) yang tinggi di udara dapat mengganggu
pembentukan sel darah merah. Gejala keracunan dini mulai
ditunjukkan dengan terganggunya fungsi enzim untuk pembentukan
9

sel darah merah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan


kesehatan lainnya seperti anemia, kerusakan ginjal, dan lain – lain.
Sedangkan keracunan Pb bersifat akumilatif.
Keracunan gas CO timbul akibat terbentuknya karboksihemoglobin
(COHb) dalam darah. Afinitas CO yang lebih besar dibandingkan
dengan oksigen (O2) terhadap Hb menyebabkan fungsi Hb untuk
membawa oksigen keseluruh tubuh menjadi terganggu. Berkurangnya
penyediaan oksigen kedalam tubuh akan membuat sesak nafas, dan
dapat menyebabkan kematian, apabila tidak segera mendapat udara
segar. Bahan pencemar SOx, NOxH2S dapat merangsang saluran
pernafasan yang mengakibatkan iritasi dan peradangan.
Pencemaran SOx menimbulkan dampak terhadap manusia dan
hewan, kerusakan pada tanaman terjadi pada kadar sebesar 0,5 ppm.
Pengaruh utama polutan SOx terhadap manusia adalah iritasi sistim
pernapasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi
tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih
bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar
1–2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan
terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit
kronis pada sistem pernapasan kardiovaskular. Individu dengan
gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2,
meskipun dengan kadar yang relatif rendah (Zakaria, 2013).

2.4 Emisi Kendaraan Bermotor


Kementerian Lingkungan Hidup menyebutkan, polusi udara dari
kendaraan bermotor bensin (spark ignition engine) menyumbang 70
persen karbon monoksida (CO), 100 persen plumbum (Pb), 60 persen
hidrokarbon (HC), dan 60 persen oksida nitrogen (NOx). Bahkan,
beberapa daerah yang tinggi kepadatan lalu lintasnya menunjukkan
bahan pencemar seperti Pb, ozon (O), dan CO telah melampaui
ambang batas yang ditetapkan dalam PP Nomor 41 Tahun 1999
tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Suparwoko dan Firdaus
(2007) dalam penelitiannya menyampaikan langkah strategis yang
dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut adalah
10

dengan banyak menciptakan sabuk hijau di jalur-jalur transportasi


padat, khususnya jenis pohon/tumbuhan tertentu yangmemiliki
kemampuan untuk menyerap cemaran udara (Martuti, 2013).
Upaya pengendalian pencemaran udara akibat kendaraan bermotor
yang mencakup upaya-upaya pengendalian baik langsung maupun
tidak langsung, akan dapat menurunkan tingkat emisi dari kendaraan
bermotor secara efektif antara lain (Ismiyati, 2014):
a. Mengurangi jumlah mobil lalu lalang. Misalnya dengan jalan
kaki, naik sepeda, kendaraan umum, atau naik satu kendaraan
pribadi bersama temanteman (car pooling).
b. Selalu merawat mobil dengan saksama agar tidak boros
bahan bakar dan asapnya tidak mengotori udara.
c. Meminimalkan pemakaian AC. Pilihlah AC non-CFC dan
hemat energi. Memilih bensin yang bebas timbal (unleaded
fuel).

2.5 Perubahan Iklim


Pemanasan global yang terjadi menyebabkan perubahan iklim dan
cuaca di seluruh dunia. Sebagian belahan dunia menjadi lebih kering,
dan sebagian lagi menjadi lebih basah. Sebagian dunia ada yang
menjadi lebih panas dan sebagian lagi menjadi lebih dingin. Semua
itu mempengaruhi spesies yang hidup didalamnya, khususnya
nyamuk yang sangat peka terhadap perubahan cuaca yang terjadi
secara cepat. Perubahan iklim secara tidak langsung mempengaruhi
distribusi, populasi, serta kemampuan nyamuk dalam menyesuaikan
diri (A, 2006).
Nyamuk Aedes sebagai vektor penyakit demam berdarah dengue
(DBD) hanya berkembang biak pada daerah tropis yang
temperaturnya lebih dari 16o C dan pada ketinggian kurang dari 1.000
meter di atas permukaan air laut. Namun sekarang nyamuk tersebut
telah banyak ditemukan pada daerah dengan ketinggian 1.000–2.195
meter di atas permukaaan air laut. Pemanasan global menyebabkan
suhu beberapa wilayah cocok untuk berbiaknya nyamuk Aedes,
11

dimana nyamuk ini dapat hidup optimal pada suhu antara 24-28 o C.
Karena itu mudah difahami bahwa perubahan iklim karena
pemanasan global memperluas ruang gerak nyamuk Aedes sehingga
persebaran daerahnya menjadi lebih luas (K., 2007)
Walaupun efek perubahan iklim dan konsekuensi pemanasan global
tidak dimengerti secara pasti, beberapa efek langsung terhadap
pajanan peningkatan temperatur dapat diukur, seperti peningkatan
kejadian penyakit yang berhubungan dengan kenaikan temperatur,
peningkatan angka kematian karena gelombang udara panas seperti
yang terjadi di Perancis tahun 2003 (R.M, 2005).
Kondisi iklim yang tidak stabil dapat juga menyebabkan peningkatan
kejadian bencana alam, seperti badai, angin siklon puting beliung,
kekeringan, dan kebakaran hutan, yang berdampak terhadap
kesehatan fisik dan mental masyarakat yang terserang. Pola iklim
yang terganggu juga menyebabkan efek tidak langsung terhadap
kesehatan manusia. Efek terhadap pola hujan yang meningkatkan
bencana banjir dapat menyebabkan peningkatan kejadian penyakit
perut karena efeknya pada sumber air dan penyediaan air bersih,
penyakit malaria, demam berdarah dengue, chikungunya dan
penyakit lainnya yang ditularkan melalui rodent seperti leptospirosis
Efek tidak secara langsung ini menjadi sangat serius pada daerah di
dunia dengan penduduk miskin. Terdapat sejumlah penyakit yang
diprediksi prevalensinya akan meningkat sebagai akibat perubahan
iklim. (WHO, 2004) telah mengidentifikasi beberapa penyakit yang
sangat besar kemungkinan karena perubahan iklim telah
menyebabkan terjadinya wabah. Telah direkomendasikan memasang
sistem peringatan dini untuk memonitor perubahan distribusi penyakit.
Beberapa penyakit yang bukan wabah juga berhubungan dengan
perubahan iklim. Penggunaan teknologi dan pengindraan jarak jauh
atau Geographical Information System (GIS) telah memungkinkan
peningkatan pemetaan risiko beberapa penyakit, misalnya penyakit
cacing perut. Terdapat sedikit variasi musim terhadap kejadian
penyakit infeksi cacing, tetapi terdapat beberapa bukti bahwa
kelembaban tanah adalah sangat penting (WHO, 2004) dan sangat
12

dipengaruhi oleh perubahan iklim dan presipitasi air hujan. Pemetaan


risiko secara geografis (geographical risk mapping) kecacingan
seperti schistizomiasis dan filariasis telah ditangani dengan
penggunaan data temperatur, presipitasi dan vegetasi.

2.6 Deposit Asam


Emisi gas oksida, sulfur, oksida nitrogen, dan hidrokarbon dari
aktivitas industri transportasi, rumah tangga, dan sebagainya yang
ditransformasi ke dalam atmosfer menjadi partikulat sulfat dan nitrat.
Apabila senyawa ini dikombinasikan dengan uap air dibantu
pencahayaan matahari, maka akan menjadi senyawa kimia asam
partikulat nitrat dan sulfat. Asam-asam ini akan Kembali ke bumo
dalam bentuk gerimis, kabut, embun air, hujan dan juga es. Deposit
asam dapat berupa deposit kering, seperti partikulat atau gas
sedangkan deposit basah terdapat pada es atau salju. Deposit asam
mempunyai pengaruh negative terhadap tanah pertanian, kehidupan
biota air, dan dapat merusak material bangunan yang terbuat dari
batu (Machdar, 2018).

2.7 Gas Rumah Kaca


Emisi gas rumah kaca diartikan sebagai lepasnya gas rumah kaca ke
atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu.
Dalam konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nation
Framework Convention On Climate Change-UNFCCC), ada enam
jenis yang digolongkan sebagai GRK yaitu karbondioksida (CO2), gas
metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), sulfurheksafluorida (SF6),
perfluorokarbon (PFCS) dan hidrofluorokarbon (HFCS). Selain itu ada
beberapa gas yang juga termasuk dalam GRK yaitu karbonmonoksida
(CO), nitrogen oksida (NOx), klorofluorokarbon (CFC), dan gas-gas
organik non metal volatile. Menurut Badan Pengkajian Kebijakan,
Iklim dan Mutu Industri, dari ke enam gas-gas rumah kaca yang
dinyatakan paling berkonstribusi terhadap gejala pemanasan global
adalah karbondioksida (CO2), yaitu lebih dari 75%, dimana gas
tersebut sebagian besar dihasilkan oleh aktivitas manusia berupa
13

penggunaan bahan bakar fosil pada sektor industri maupun


transportasi (Rawung, 2015).
Gas rumah kaca diartikan sebagai gas yang terkandung dalam
atmosfer, baik alami maupun dari kegiatan manusia (antropogenik),
yang menyerap dan memancarkan kembali radiasi inframerah.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup di dalam Pedoman
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional, proses
terjadinya efek rumah kaca disebabkan masuknya sebagian radiasi
matahari dalam bentuk gelombang pendek yang diterima permukaan
bumi dipancarkan kembali ke atmosfer dalam bentuk radiasi
gelombang panjang (radiasi infra merah) (Rawung, 2015).
Menurut Riebeek, Gas rumah kaca (GRK) merupakan gas-gas hasil
pemanasan bumi yang kemudian dilepaskan menuju atmosfer
sehingga menyebabkan terbentuknya efek rumah kaca. Efek rumah
kaca terjadi karena peningkatan emisi gas-gas, seperti
karbondioksida (CO2), Metana (CH4), Dinitrooksida (N2O),
chlorofluorocarbons (CFC), dan lain-lain, sehingga energi matahari
terperangkap dalam atmosfer bumi (Anggraeni, 2015).
2.7.1 Karbondioksida (CO2)
Di dalam pengertian umum, karbondioksida bukan merupakan
pencemar karena keberadaannya di atmosfer bebas dan
bermanfaat bagi pertumbuhan tanaman, tetapi CO2 yang
dihasilkan dari aktivitas manusia seperti pembakaran fosil dan
batu bara, pembakaran hutan diyakini sebagai salah satu gas
rumah kaca (Machdar, 2018).

2.7.2 Metana (CH4)


Metana adalah gas alami yang terbentuk pada kondisi
anaerobik. Kondisi ini dapat ditemukan di rawa-rawa,
pertenakan, persawahan, dan dari hasil pembuatan bahan
bakar fosil. Diperkirakan, jumlah Metana di atmosfer bumi
telah meningkat pada 200 tahun ini, sesuai dengan
peningkatan polusi yang terjadi (Machdar, 2018).
14

2.7.3 Dinitroksida (N2O)


Senyawa N20 menyerap radiasi panas hamper sama dengan
metana, yaitu panjang gelombang mencapai 7 mikrometer.
Gas ini dihasilkan dari siklus nitrogen melalui proses
denitrifikasi (Machdar, 2018).

2.7.4 Clorofluorocarbons (CFC)


CFC adalah bahan kimia yang mengandung flour, khlor, dan
karbon. Komponen ini menyerap dalam jendela atmosfer
sepanjang 7 hingga 12 mikrometer. Dalam atmosfer,
komponen ini mempunyai waktu tinggal yang lama, inert, dan
tidak larut dalam air (Machdar, 2018).

3. Penutup
Adanya zat-zat pencemar dapat menyebabkan beberapa dampak
berbahaya bagi Kesehatan dan juga masyarakat sekitar. Adanya sumber-
sumber pencemar seperti karbonmonoksida, metana, timbal, dan lain
sebagainya akibat dari pembakaran bahan bakar fossil, batu bara, dan
emisi gas kendaraan bermotor semakin memperburuk kualiatas udara di
permukaan bumi. Adanya deposit asam dan efek rumah kaca juga
semakin membahayakan lingkungan.
15

DAFTAR PUSTAKA

A, P. J. (2006). Climate Change. San Francisco: Josery-Bass.


Anggraeni, D. Y. ( 2015). Pengungkapan Gas Emisi Rumah Kaca. Kinerja
Lingkungan, dan Nilai Perusahaan. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia, Volume 12 Nomor 2, 188-209.
Irma Dita Kurniawati, d. (2017). Indikator Pencemaran Udara Berdasarkan
Jumlah Kendaraan dan Kondisi Iklim. jurnal Kesehatan Masyarakat
Indonesia, Volume 12 Nomor 2, 19-24.
Ismiyati, d. (2014). Pencemaran Udara Akibat Emisi Gas Buang Kendaraan
Bermotor. Jurnal Manajemen Transportasi dan Logistik, Volume 1 Nomor
3, 241-247.
K., S. (2007). Perubahan Iklim Global, Kesehatan Manusia, dan Pembangunan
Berkelanjutan. JURNAL KESEHATAN LINGKUNGAN, 195-204.
Machdar, I. (2018). Pengendalian Pencemaran: Pencemaran Air, Pencemaran
Udara, dan Kebisingan. Sleman: Deepublish.
Martuti, N. K. (2013). Peranan Tanaman terhadap Pencemaran Udara di Jalan
Protokol Kota Semarang. Biosatifika, Volume 5 Nomor 1, 37-42.
Mukono. (1997). Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan
Saluran Pernafasan. Surabaya: Airlangga University Press.
R.M, M. (2005). Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Ratnani, R. D. (2008). Teknik Pengendalian Pencemaran Udara yang
DIsebabkan oleh Partikel. Momentum Volume 4 No 2, 27-32.
Rawung, F. C. (2015). Efektivitas Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Mereduksi
Gas Rumah Kaca (GRK) di Kawasan Perkotaan Boroko. Media
Matrasain, Volume 12 Nomor 2, 17-32.
Samiaji, T. (2009). Upaya Mengurangi CO2 di Atmosfer. Berita Dirgantara,
Volume 10, Nomor 3, 68-75.
WHO. (2004). Ambient (Outdoor) Air Quality and Health.
16

Zakaria, N. (2013). ANALISIS PENCEMARAN UDARA (SO2), KELUHAN


IRITASI TENGGOROKAN DAN KELUHAN KESEHATAN IRITASI MATA
PADA PEDAGANG MAKANAN DI SEKITAR TERMINAL JOYOBOYO
SURABAYA. The Indonesian Journal of Occupational Safety and Health,
Vol. 2, No. 1, 75-81.
Zulaikha, Anistia Prafitri. (2016). Analisis Pengungkapan Emisi Gas Rumah
Kaca. Jurnal Akuntansi dan Auditing, Volume 13 Nomor 2, 155-175.

Anda mungkin juga menyukai