1. LATAR BELAKANG
Udara merupakan unsur yang paling esensial dan mempunyai peranan yang paling
penting dalam menentukan kualitas kehidupan di muka bumi ini. Udara yang bersih akan
memberikan kesegaran dan kehidupan yang nyaman. Sebaliknya kualitas udara yang
jelek akan memberikan dampak yang buruk terhadap kesehatan manusia seperti
munculnya berbagai penyakit seperti asma, ISPA, menurunnya daya tahan tubuh, dll.
Oleh karena itu udara dan kualitasnya menjadi salah satu permasalahan lingkungan yang
pantas mendapat perhatian lebih dalam upaya pengelolaan lingkungan.
Pertambahan penduduk dunia yang diiringi dengan terus meningkatnya kebutuhan
hidup telah memperburuk kondisi kualitas udara saat ini dengan meningkatnya kadar
pencemar di udara yang sebagian besar disebabkan oleh kegiatan manusia. Sekitar 99%
volume udara yang kita hirup setiap hari terdiri dari gas-gas nitrogen dan oksigen. Kita
juga menghirup sejumlah kecil gas-gas lain, butiran-butiran berbagi jenis zat cair serta
berbagai partikel-partikel kecil berbentuk padat, yang sebagian besar merupakan zat-zat
pencemar udara. Sebagian besar zat pencemar tersebut berasal dari kegiatan kendaraan
bermotor, pembangkit listrik, industri, asap rokok, larutan-larutan pembersih, serta
sumber-sumber lainnya yang berasal dari kegiatan manusia sehari-hari. Dari keseluruhan
penyebab pencemaran udara tersebut, sebagian besar berhubungan dengan pembakaran
bahan bakar fosil, di mana kendaraan bermotor (mobil) bertanggung jawab terhadap
setengah dari pencemaran udara di daerah perkotaan (Miller, 1991).
Berdasarkan sumbernya, pencemaran udara dapat disebabkan oleh polutan yang
berasal dari proses alam seperti gunung meletus, kebakaran hutan akibat kekeringan dan
pencemaran udara akibat dari kegiatan manusia, yaitu sumber bergerak (kendaraan
bermotor) dan sumber tidak bergerak (industri, termasuk juga kebakaran hutan yang
Penstabilan
kualitas
udara
Peningkatan
kualitas
udara
Penggunaan
teknologi tinggi
Dimulainya
pengembangan Dimulainya
pengendalian
industri
pencemaran
udara
Tingkat pembangunan
Rendah
Tinggi
Pengendalian
pencemaran
yang dimulai
lebih awal
Pengendalian
pencemaran
yang terlambat
dimulai
Panduan WHO
Gambar 1. Hubungan antara pembangunan dan kualitas udara. Sumber: Wijetilleke &
Karunaratne (1995).
2. JENIS-JENIS POLUTAN1,2
Sebelum mengenal lebih jauh mengenai jenis dan sumber-sumber pencemar udara,
pemahaman mengenai udara itu sendiri perlu dimiliki terlebih dahulu. Atmosfer, lapisan
tipis yang menyelimuti bumi, dibagi ke dalam beberapa lapisan. Sekitar 95% massa
udara bumi dijumpai pada lapisan paling dalam (paling dekat dengan permukaan bumi),
yang dikenal dengan lapisan troposfer yang berada pada ketinggian sekitar 17 kilometer
dari permukaan bumi (Raven & Berg, 2004). Jika diandaikan bumi ini sebagai sebuah
apel, maka lapisan troposfer ini, yang mengandung udara yang kita hirup, tidak lebih
tebal daripada kulit apel.
Lapisan-lapisan Atmosfer
Sekitar 99% volume udara bersih dan kering di troposfer terdiri dari dua gas yaitu
nitrogen (78%) dan oksigen (21%). Sisanya yang 1% terdiri dari gas argon dan sekitar
0.035% karbon dioksida. Udara di troposfer juga mengikat uap air dalam jumlah yang
berkisar dari 0.01% pada daerah kutub hingga 5% pada daerah tropis yang lembab.
Lapisan kedua atmosfer yang berada pada ketinggian sekitar 17 hingga 48
kilometer di atas permukaan bumi disebut sebagai lapisan stratosfer.
Lapisan ini
Miller, 1991. Environmental Science: sustaining the earth, 3rd ed. Wadsworth Publishing Company,
California.
Raven and Berg (2004). Environment. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
mengandung sejumlah kecil gas ozon (O3) yang menapis sekitar 99% radiasi ultraviolet
(UV) dari matahari yang berbahaya bagi makhluk hidup.
Dalam pergerakannya di permukaan bumi, udara bersih mengumpulkan berbagai
zat-zat kimia yang dihasilkan dari kejadian-kejadian alami, seperti kebakaran hutan yang
disebabkan oleh kekeringan dan gunung meletus, dan kegiatan manusia. Jika jumlah zatzat kimia yang terkumpul berada dalam jumlah yang cukup tinggi sehingga dapat
membahayakan manusia dan makhluk hidup lainnya atau dapat merusak materialmaterial, maka zat-zat tersebut disebut sebagai zat pencemar atau polutan. Pada lapisan
traposfer, polutan potensial ini bercampur secara vertikal dan horizontal dan saling
bereaksi secara kimia satu sama lain atau dengan komponen-komponen alami atmosfer.
Pergerakan dan perputaran udara membantu pelarutan polutan. Namun polutan yang
memiliki waktu hidup yang panjang akan berpindah dalam jarak yang cukup jauh
sebelum akhirnya kembali ke permukaan bumi sebagai partikel-partikel padat, titik-titik
air, atau senyawa-senyawa kimia yang terlarut dalam hujan atau salju.
Ratusan polutan udara ditemukan di lapisan troposfer, namun terdapat beberapa
polutan utama yaitu partikulat, nitrogen oksida, sulfur oksida, karbon oksida, hidrokarbon,
ozon, dan gas toksik. Polutan-polutan udara tersebut biasanya dibagi ke dalam dua
kategori, yaitu polutan primer dan sekunder. Polutan primer adalah zat-zat kimia yang
langsung masuk ke atmosfer, seperti karbon oksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida,
partikulat, dan hidrokarbon.
terbentuk dari polutan primer melalui reaksi-reaksi kimia di atmosfer seperti ozon dan
sulfur trioksida.
Pengukuran yang dilakukan pada tahun 1998 untuk Jakarta menunjukkan sumber
emisi NOx terbesar berasal dari kendaraan bermotor dan industri, sedangkan sumber
emisi SO2 adalah industri diikuti oleh kendaraan bermotor. Partikulat dengan diameter
10 mikron diemisikan paling besar oleh kendaraan bermotor dan diikuti oleh industri
(Gambar 3).
Gambar 3. Sumber emisi berdasarkan sektor di Jakarta, 1998. Sumber: ADB (2006).
Mobil
Bis
Truk
Sepeda motor
Emisi yang dihasilkan dari pemanfaatan energi terutama dari batu bara dan
minyak akan terus meningkat dengan kecenderungan meningkatnya konsumsi energi di
Indonesia dari sumber-sumber tersebut (Gambar 5).
Minyak
Gas Alam
Batu
bara
Hasil
Ozon stratosfer
Beberapa proses industri serta produk-produk yang digunakan konsumen
mengemisikan gas-gas halokarbon yang mengandung atom-atom klorin dan bromin yang
dikenal berbahaya bagi lapisan ozon. Gas-gas ini hanya mengandung karbon, klorin dan
fluorin dan disebut sebagai klorofluorokarbon atau biasa disingkat sebagai CFC. CFC,
bersama-sama dengan karbon tetraklorida (CCl4) dan metil kloroform (CH3CCl3)
merupakan gas-gas yang mengandung klorin yang paling penting yang dihasilkan dari
digunakan pada banyak peralatan seperti refrigerasi, pendingin udara, pengembang busa,
pendorong aerosol serta pembersih logam dan komponen elektronik. Kegiatan-kegiatan
ini khususnya menyebabkan emisi gas-gas yang mengandung halogen ke atmosfer (Fahey
et.al, 2002).
Kategori gas-gas halokarbon lainnya adalah yang mengandung bromin. Gas-gas
yang terpenting dalam kategori ini adalah halon dan metil bromide (CH3Br). Halon
adalah gas-gas hidrokarbon yang terhalogenasi yang pada mulanya digunakan untuk
memadamkan api. Halon juga digunakan secara luas untuk pemeliharaan komputer,
peralatan militer serta mesin-mesin pesawat komersial. Dengan penggunaan-penggunaan
tersebut, halon dapat terlepas ke atmosfer. Halon-1211 dan Halon-1301 merupakan
halon yang paling banyak diemisikan dari kegiatan manusia.
digunakan terutama pada fumigasi hama, juga merupakan sumber penting bromin di
atmosfer. Emisi gas-gas yang mengandung klorin dan bromin dari kegiatan manusia
terus meningkat sejak abad ke-20, yang berdampak pada penipisan lapisan ozon global
dengan kerusakan terparah terjadi pada daerah-daerah kutub (ibid).
Boks 1.
Bahan-bahan Perusak Ozon (BPO)
Foam/busa: CFC 11
Pendingin: CFC 11, CFC 12, CFC 115
Pemadam kebakaran: Halon-1211, Halon-1301
Aerosol: CFC 12
Pelarut: CFC 113, TCA, CTC
Tembakau: CFC 11
Fumigasi hama: Metil Bromida
Gas halogen
Klorin
CFC-12
CFC-113
CFC-11
Karbon tetraklorida
HCFC
Metil kloroform
Metil klorida
Bromin
Halon-1301
Halon-1211
Metil bromida
Gas-gas dengan
waktu hidup
sangat pendek
Waktu
hidup
(tahun)
100
85
45
26
1-26
5
1.3
130-160
10-25
70-110
70-90
340-370
20
3000-4000
1
1
1
0.73
0.02-0.12
0.12
0.02
65
16
0.7
<1
3
10
160-200
12
6
0.38
Tabel 1. Waktu hidup atmosferik, emisi dan potensi perusak ozon gas-gas halogen.
Hujan Asam
Pembakaran batubara dan minyak yang dilakukan pada pembangkit listrik dan
industri-industri menghasilkan sulfur dioksida, partikulat tersuspensi dan oksida nitrogen
dalam jumlah yang sangat besar. Emisi dari sumber tidak bergerak ini dipindahkan
dalam jarak yang cukup jauh oleh angin dan berada di atmosfer untuk beberapa saat.
Selama keberadaannya di atmosfer, sulfur dioksida dan oksida nitrogen bereaksi dengan
air menghasilkan larutan asam sulfat (H2SO4), asam nitrat (HNO3) dan asam nitrit
(HNO2). Senyawa-senyawa kimia tersebut turun ke permukaan bumi dalam bentuk basah
sebagai hujan (atau salju) asam, yang disebut sebagai deposisi basah, dan dalam bentuk
kering sebagai gas, kabut, embun atau partikel-partikel padat, yang disebut sebagai
deposisi kering. Kombinasi dari deposisi basah dan deposisi kering dari asam-asam dan
senyawa-senyawa berbentuk asam ke permukaan bumi disebut sebagai deposisi asam,
atau lebih dikenal sebagai hujan asam. Hujan asam bukanlah suatu fenomena baru.
Hujan asam sudah terjadi sejak dimulainya Revolusi Industri. Hujan asam menimbulkan
ancaman yang serius terhadap lingkungan (Miller, 1991).
Untuk menunjukkan tingkat keasaman suatu larutan digunakan istilah pH, dengan
rentang 0 hingga 14. Suatu larutan netral memiliki pH 7, pH di atas 7 adalah basa dan pH
di bawah 7 adalah asam. Semakin rendah pH (di bawah 7) semakin asam larutan tersebut.
Sebagai perbandingan, air murni memiliki pH 7, jus tomat 4, cuka 3 dan jus lemon 2.
Dalam kondisi normal, hujan memiliki pH yang agak asam, yaitu antara 5 dan 6 karena
CO2 dan senyawa-senyawa yang terdapat secara alami dalam hujan terlarut bersama
hujan membentuk asam (ibid).
Presipitasi alami memiliki tingkat keasaman bervariasi dengan pH berkisar antara
5.0 hingga 5.6. Deposisi asam atau hujan asam yang memiliki pH di bawah 5.1 akan
menimbulkan efek merusak seperti merusak patung-patung, bangunan, logam dan badan
mobil dll.
Hujan
Asam
SO42-, NO3-
oksidasi
penguapan air
Deposisi
H+, SO42-, NO3-
dampak
Penerima
(tanah, vegetasi, bangunan, kesehatan manusia)
hingga 2004 menunjukkan sebaran pH terbanyak pada rentang 5,0-5,5 untuk Jakarta dan
Cisarua sedangkan Bandung dan Surabaya berada pada rentang 4,5-5,0. Dari pengukuran
tersebut diketahui bahwa telah terjadi hujan asam di Jakarta (sebanyak 71%), Cisarua
(75%), Bandung (87%) dan Surabaya (74%). Hujan asam lebih sering terjadi di Bandung
kemungkinan karena kondisi topografi yang berbentuk cekungan sehingga memerangkap
lebih banyak gas-gas yang dilepaskan dari sumber-sumber pencemar dari kegiatan
manusia (ibid).
Gambar 7. pH air hujan rata-rata bulanan untuk Serpong tahun 1995 (kiri) dan
Bukittinggi tahun 2004 2005 (kanan). Sumber: KLH (2006).
Gambar 8. Frekuensi hujan asam di Jakarta, Cisarua, Bandung dan Surabaya tahun
1995-2004. Sumber: KLH (2006).
10
Ketebalan lapisan ozon rata-rata sekitar 260 DU. Jika ketebalan lapisan ozon
kurang dari 220 DU, maka dikatakan telah terjadi lubang ozon (penipisan lapisan ozon)
di tempat tersebut.
Penipisan ozon stratosfer telah terjadi sejak tahun 1980-an. Pada rentang tahun
1997-2001 telah terjadi penipisan sebesar 3%. Penipisan tersebut terutama terjadi karena
meningkatnya gas-gas halogen reaktif pada lapisan stratosfer. Nilai ozon terendah terjadi
pada tahun 1991 akibat meletusnya Gunung Pinatubo, yang meningkatkan jumlah
partikel-partikel yang mengandung sulfur pada stratosfer.
Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting,
Switzerland.
11
diamati pada Northern Hemisphere, yang sebagian disebabkan oleh berkurangnya musim
dingin/semi di daerah Artik. Udara yang rusak pada lapisan ozon di atas kedua daerah
kutub menjauh dari kedua kutub selama dan setiap setelah periode musim dingin/semi.
Polutan yang dilepaskan dari kegiatan manusia juga dapat menyebabkan
terjadinya penipisan lapisan ozon stratosfer.
terhadap lapisan ozon, penipisan terjadi akibat adanya gangguan pada kesetimbangan
pada proses pembentukan dan penguraian ozon di stratosfer. Gangguan ini berasal dari
kegiatan manusia yang mengemisikan gas-gas yang mengandung klorin dan bromin yang
dapat merusak ozon, atau biasa disebut sebagai bahan perusak ozon (BPO).
Secara kimia, perusakan ozon tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. Sebagian
besar gas-gas yang merupakan BPO terakumulasi pada lapisan atmosfer yang lebih
rendah karena sifat dari gas-gas tersebut yang tidak reaktif serta tidak larut dalam hujan
atau salju. Gas-gas yang teremisi tersebut kemudian naik ke stratosfer, di mana pada
lapisan tersebut gas-gas tadi berubah dengan adanya sinar matahari menjadi gas-gas yang
lebih reaktif yang mengandung klorin dan bromin, yang kemudian berperan dalam reaksi
yang merusak ozon. Gas-gas yang lebih reaktif ini akan terbawa bersama udara yang
kembali ke lapisan atmosfer lebih rendah dan hilang bersama hujan atau salju.
Dari pemantauan terhadap ozon stratosfer di atas Indonesia pada bulan September
2006, terlihat bahwa konsentrasi ozon berada pada rentang 245 285 DU di mana
konsentrasi normal lapisan ozon (260 DU) berada di bagian Barat dan Tengah
sedangkan bagian Timur cenderung lebih tipis (<260 DU). Kondisi bulan Desember
2006 menunjukkan konsentrasi normal di bagian Selatan Pulau Sumatera dan bagian
Barat Pulau Jawa, dan lebih tipis di bagian Tengah dan Utara Indonesia. Kondisi bulan
Maret 2007 menunjukkan konsentrasi di bawah 260 DU.
12
Gambar 9. Kondisi ozon stratosfer di atas Indonesia pada bulan September dan
Desember 2006, dan Maret 2007. Sumber: KLH, (materi presentasi).
13
Selain kerusakan lokal, emisi SO2 dapat menimbulkan kerusakan pada ekosistem
yang jaraknya jauh dari sumber emisi. Contohnya, lebih dari 50 persen deposisi sulfur
yang terjadi di Finlandia berasal dari emisi dari negara-negara lain. Emisi dari Eropa
Tengah dan Inggris juga mengasamkan danau seluas 7000 mil persegi di daerah selatan
Norwegia.
Hujan asam terutama pada pH di bawah 5.1 akan menimbulkan efek merusak,
antara lain:
Merusak dan mematikan pohon, terutama yang tumbuh pada ketinggian dengan
cara menghilangkan kalsium, kalium serta nutrisi tumbuhan lainnya dari tanah.
Merusak akar tumbuhan dan membunuh ikan-ikan dengan cara melepaskan ionion aluminium, timbale, merkuri dan cadmium dari tanah dan sedimen.
Melarutkan logam-logam beracun seperti tembaga dan timbal pada pipa-pipa air
di kota dan perumahan ke dalam air minum.
Ozon stratosfer
Kerusakan pada lapisan ozon stratosfer menimbulkan peningkatan radiasi sinar UV
permukaan. Peningkatan terjadi terutama pada komponen UV-B dari radiasi matahari.
UV-B adalah radiasi yang terjadi pada daerah panjang gelombang antara 280 hingga 315
nanometer. Sinar UV-B yang mencapai bumi berbahaya bagi kehidupan makhluk hidup.
Pada manusia, peningkatan keterpaparan dengan sinar UV-B dapat menimbulkan resiko
kanker kulit, katarak serta merusak sistem imunitas tubuh. Keterpaparan terhadap sinar
UV-B sebelum dewasa serta keterpaparan yang bersifat kumulatif merupakan faktor
14
penyebab yang penting dalam resiko-resiko tersebut. Berlebihnya radiasi sinar UV-B
dapat merusak tanaman, organisme bersel tunggal serta ekosistem air.
Melakukan pencatatan harian hasil emisi yang dikeluarkan dari cerobong tertentu.
Melaporkan hasil pemantauan kepada Gubernur dengan tembusan kepada KLH setiap
tiga bulan sekali.
Kebakaran hutan
Berbagai upaya, baik berskala lokal maupun regional dilakukan oleh masyarakat
maupun pemerintah untuk mencegah lebih lanjut terjadinya kebakaran hutan. Upayaupaya tersebut antara lain penyusunan Perda penanggulangan kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla) oleh Pemprov Riau; penyusunan Peta Profil 21 Daerah Rawan Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia oleh KLH; penyusunan SOP mobilisasi sumber daya
nasional dalam rangka tanggap darurat; serta keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
pertemuan di tingkat regional.
15
Hujan Asam
Konsep dasar pengendalian hujan asam adalah dengan mengurangi emisi sulfur
dioksida dan oksida nitrogen.
produksi CFC dan halon; Amandemen London mengenai penghapusan sebagian besar
BPO di Negara maju pada tahun 2000 dan di Negara berkembang pada tahun 2010, serta
jenis bahan-bahan yang diawasi ditambah dengan jenis CFC dan halon lainnya, karbon
tetraklorida dan metil kloroform; Amandemen Kopenhagen mempercepat jadwal
penghapusan menjadi tahun 1996 untuk Negara-negara maju dan memasukkan metil
bromida ke dalam bahan-bahan yang diawasi dan mengendalikan penggunaan HBFC
4
Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review Meeting,
Switzerland.
16
kewajiban
licensing
system,
dan
Beijing
(1999):
memasukkan
HCFC
berbeda secara kimiawi dari sebagian besar gas-gas halogen di mana gas-gas tersebut
mengandung atom-atom hidrogen selain atom-atom klorin dan fluorin. HCFC digunakan
untuk refrigerasi, pengembang busa, dan sebagai pelarut, yang biasanya menggunakan
CFC. HCFC memiliki keefektifan merusak ozon stratosfer sebesar 1 hingga 15% dari
CFC-12 karena sebagian besar HCFC telah habis pada lapisan troposfer. Hilangnya
HCFC pada lapisan troposfer ini mengakibatkan terlindunganya ozon stratosfer dari
halogen-halogen yang dikandung oleh HCFC. Sebaliknya, CFC serta gas-gas halogen
lainnya bersifat inert pada troposfer sehingga dapat mencapai lapisan stratosfer.
Karena HCFC masih berkontribusi terhadap kelimpahan halogen pada stratosfer,
maka Protokol Montreal mengharuskan produksi dan konsumsi HCFC oleh Negaranegara maju dan berkembang berkakhir pada tahun 2040.
Gas-gas pengganti HFC
Hidrofluorokarbon (HFC) juga digunakan sebagai senyawa pengganti untuk CFC
serta gas-gas halogen lainnya. HFC hanya mengandung atom-atom hidrogen, fluorin dan
karbon. Karena HFC tidak mengandung klorin dan bromin, maka HFC tidak merusak
ozon. Oleh karena itu, HFC tidak diatur oleh Protokol Montreal. Namun HFC (serta
seluruh gas-gas halogen) merupakan gas-gas yang aktif secara radiatif yang berperan
dalam pemanasan global dan perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia karena gasgas ini terakumulasi di atmosfer. HFC termasuk di dalam kelompok gas-gas rumah kaca
sebagaimana tercantum pada Protokol Kyoto.
17
program
perlindungan
lapisan
ozon,
Untuk mendukung
Pemerintah
Indonesia
telah
18
Boks 2a.
Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia terkait program perlindungan lapisan ozon:
Peraturan Menteri Kesehatan No. 376/Menkes/Per/VIII/1990 tentang Bahan, Zat, Warna, Zat
Pengawet dan Tabir Surya pada Kosmetika
Keppres No. 23 tahun 1992 tentang Ratifikasi Konvensi Wina, Protokol Montreal dan
Amandemen London
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
Kepmen Indag No. 111/MPP/Kep/1/1998 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 230/MPP/
Kep/7/1997 tentang Barang yang Diatur Tata Niaga Impornya
No.
110/MPP/Kep/1/1998
Kepmen Indag No. 411/MPP/Kep/9/1998 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 111/MPP/
Kep/1/1998
Kepmen Indag No. 789/MPP/Kep/12/2002 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 411/MPP/
Kep/1/1998
Kepmen Indag No. 790/MPP/Kep/12/2002 tentang Perubahan Kepmen Indag No. 410/MPP/
Kep/1/1998
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk menghapuskan konsumsi beberapa jenis BPO (CFC dan
Halon) lebih awal (2007) dari masa tenggang (grace period/ 2010) yang diberikan kepada negaranegara artikel 5
19
Boks 2b.
Beberapa kebijakan pemerintah Indonesia terkait program perlindungan lapisan ozon:
Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2005 mengenai pengesahan amandemen Beijing to the
Montreal Protocol
Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2005 mengenai pengesahan amandemen Montreal to the
Montreal Protocol
7.
KESIMPULAN
terjadinya pencemaran udara oleh polutan-polutan yang sebagian besar dihasilkan dari
20
kegiatan manusia, maka perlu dilakukan upaya-upaya baik oleh individu maupun oleh
masyarakat dan pemerintah. Penggunaan bensin tanpa timbal, pemanfaatan teknologi
rendah emisi, seperti clean coal technology, serta pengelolaan transportasi merupakan
beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menekan emisi polutan ke udara. Selain itu
penegakan hukum terhadap peraturan-peraturan terkait pengendalian pencemaran udara
yang telah ditetapkan oleh Pemerintah haruslah ditegakkan oleh seluruh lapisan
masyarakat, di samping juga melakukan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap
pentingnya menuju udara bersih.
21
REFERENSI
ADB (2006). Country Synthesis Report on Urban Air Quality Management: Indonesia.
ADB.
Fahey et.al (2002) Twenty Questions and Answers About the Ozone Layer. Panel Review
Meeting, Switzerland.
KLH (2006). Status Lingkungan Hidup Indonesia 2005. KLH, Jakarta.
Miller (1991). Environmental Science: sustaining the earth, 3rd ed. Wadsworth
Publishing Company, California.
Raven and Berg (2004). Environment. John Wiley & Sons, Inc., New Jersey.
Wijetilleke & Karunaratne, 1995. Air Quality Management: Considerations for
Developing Countries. World Bank technical paper, ISSN 0253-7494 ; no.278. Energy
series.
22