Anda di halaman 1dari 28

BIOMEDIK

ANATOMI GINJAL

KELOMPOK 1

D III Keperawatan Tingkat I Semester I

1 I Wayan Sudirta (P07120016139)


2 Ni Nyoman Ayu (P07120016167)
3 I Made Sadnyana (P07120016177)
4 I Made Sumerta (P07120016183)

KEMENTERIAN KESEHATAN RI

POLITEKNIK KESEHATAN DENPASAR

TAHUN AJARAN 2016


A. Anatomi Ginjal
Ginjal (ren, nefros) merupakan bagian dari systema urinarium yang terletak di
dalam ruang retroperitoneum pada dinding belakang abdomen, di kedua sisi
columna vertebralis. Ginjal kanan dan kiri berbentuk seperti kacang dengan bagian
atas terlindung oleh skeleton thoracis. Ginjal mempunyai facies anterior, margo
medialis dan margo lateralis, serta polus seperior dan polus inferior. Margo lateralis
berbentuk cembung, sedangkan margo medialis cekung pada daerah yang disebut
hilum renale. Pada hilum renale didapatkan celah yang masuk ke dalam ginjal yang
disebut sinus renalis dengan kedalaman sekitar dua setengah sentimeter. Sinus
renalis berisi pelvis renalis, calices, pembuluh darah, serabut saraf, dan sedikit
jaringan lemak. Pembuluh darah dan ureter akan masuk atau keluar ginjal melalui
hilum renale. Pada manusia, terdapat medula ginjal terdiri atas 10-18 struktur
berbentuk kerucut atau piramid, yaitu piramid medula. Dasar dari setiap piramid
medula, terjulur berkas-berkas tubulus yang paralel, yaitu berkas medula, yang
menyusup ke dalam korteks.

Setiap ginjal terdiri atas 1-4 juta nefron (Yn.nephros,ginjal), setiap nefron terdiri
atas bagian yang melebar, korpuskulus renal, tubulus kontortus proksimal, segmen
tipis dan tebal ansa (lengkung) Henle, dan tubulus kontortus distal, tubulus dan
duktus koligens, yang asal embriologisnya berbeda dari nefron, menampung urin
yang dihasilkan oleh nefron dan menghantarnya ke pelvis renis. Nefron dan duktus
koligens merupakan tubulus uriniferus, yang dapat dipandang sebagai satuan
fungsional ginjal.

Korpuskulus renal berdiameter 200µm dan terdiri atas seberkas kapiler yaitu
glomerulus, dikelilingi oleh kapsula epitel berdinding ganda yang disebut kapsula
Bowman. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskulus renal disebut lamina
parietalis yang terdiri atas epitel selapis gepeng dan lamina basalis dan selapis tipis
serat retikulin. Lapisan dalam (lamina visceralis) meliputi kapiler glomerulus yang
terdiri dari sel-sel podosit (Bernike, 2008).

Tubulus kontortus proksimal selalu membentuk lengkung yang besar menghadap


ke permukaan kapsula ginjal. Tubulus ini berakhir sebagai saluran yang lurus dan
melanjutkan diri dengan ansa henle. Sel-sel tubulus proksimal bersifat eosinofilik
dengan batas sikat dan garis-garis basal. Batas sel tidak jelas karena sistem
interdigitasi yang rumit dari sisi-sisi membran plasma lateral sel. Pada tubulus
kontortus proksimal terdapat 6 sampai 12 sel, tetapi yang tampak hanya 4 sampai 5
inti (Tambajong, 1995).
Lengkung Henle adalah struktur berbentuk U terdiri atas ruas tebal descenden
dengan struktur yang sangat mirip tubulus kontortus proksimal, ruas tipis
descenden, ruas tipis ascenden, dan ruas tebal ascenden, yang strukturnya sangat
mirip dengan tubulus kontortus distal. Lebih kurang sepertujuh dari semua nefron
terletak dekat batas korteks- medula yang disebut nefron jukstamedula. Nefron
lainnya disebut nefron kortikal. Semua nefron turut serta dalam proses filtrasi,
absorpsi dan sekresi. Ruas ascenden lengkung Henle yang menerobos korteks,
struktur histologisnya tetap terpelihara tetapi menjadi berkelok-kelok dan disebut
tubulus kontortus distal, yaitu bagian terakhir nefron yang dilapisi oleh epitel
selapis kuboid (Bernike, 2008).

Potongan histologis tubulus kontortus proksimal dan distal, terdapat dalam korteks
dan mempunyai epitel kubis. Perbedaan antara keduanya didasarkan pada sifat-sifat
berikut: sel-sel tubulus proksimal lebih besar, mempunyai brush border, dan lebih
asidofil karena banyak mengandung mitokondria. Lumen tubulus distal lebih besar,
dan karena sel-sel tubulus distal lebih pendek dan lebih kecil dari pada sel-sel
tubulus proksimal, pada potongan yang sama dinding tubulus distal terlihat lebih
banyak sel dan lebih banyak inti. Sel-sel tubulus distal kurang asidofil dari pada sel-
sel tubulus proksimal, dan tidak menunjukkan brush border atau mikrovili yang
banyak (Junqueira & Carneiro, 1991).
Setiap tubulus pengumpul berdesenden di korteks, maka tubulus tersebut akan
mengalir ke sejumlah tubulus kontortus distal. Tubulus pengumpul membentuk
tuba yang lebih besar yang mengalirkan urin ke dalam kaliks minor. Kaliks minor
bermuara ke dalam pelvis ginjal melalui kaliks mayor. Pelvis ginjal mengalirkan
urin dan ke ureter yang mengarah ke kandung kemih (Sloane, 2003).
B. Sistem Peredaran Darah Ginjal

Arteria renalis berasal dari aorta abdominal setinggi vertebra lumbalis II. Masing –
masing arteria renalis biasanya bercabang menjadi 5 arteria segmentalis yang
masuk ke dalam hilum renalis, empat di depan dan 1 di belakang pelvis renalis.
Arteria ini mendarahi segmen atau area renalis yang berbeda. Arteria lobaris
berasal dari arteria segmentalis, masing – masing 1 buah untuk satu piramid
renalis. Sebelum masuk substansia renalis, setiap arteria lobaris mempercabangkan
dua atau tiga arteria interlobularis. Arteria interlobaris berjalan menuju korteks
dan medula renalis, arteria interlobaris bercabang menjadi arteria arcuata yang
melengkung diatas basis piramid. Arteria arcuata mempercabangkan sejumlah
arteria interlobularis yang berjalan ke atas di dalam korteks. Arteriol
afferanglomerulus merupakan cabang arteria interlobularis.

Vena renalis keluar dari hilum di depanarteria renalis dan mengalirkan darah ke
vena cava inferior.

Gambaran Histologi Glomerulus


C. Gambaran Histologi Nefron

D. Fisiologi Glomerlus
Glomerulus merupakan gulungan pembuluh darah kapiler yang berada di dalam
sebuah kapsul sirkuler, yang disebut kapsula Bowman.(7) Secara bersamaan,
glomerulus dan kapsula Bowman disebut dengan korpuskulum renalis. Ginjal
manusia memiliki sekitar satu juta glomerulus di dalamnya. Glomerulus terdiri atas
tiga tipe sel intrinsik: sel endotel kapiler, sel epitel yang dipisahkan dari sel endotel
oleh membrana basalis glomerular, serta sel mesangial.

Dinding kapiler pada glomerulus berfungsi sebagai membran filtrasi dan terdiri
atas tiga lapisan: (1) endotelium kapiler, (2) membrana basalis, dan (3) epitel
(podosit atau epitel viseral).(7) Setiap lapisan tersebut memiliki keunikan tersendiri
sehingga dapat membiarkan seluruh komponen darah lewat dengan perkecualian
sel-sel darah serta protein plasma dengan berat molekul di atas 70.000. Endotel
glomerulus terdiri atas sel-sel yang kontak dengan membrana basalis. Sel-sel ini
memiliki banyak bukaan atau ‘jendela’ kecil yang disebut fenestrae. Membrana
basalis merupakan jaringan glikoprotein dan mukopolisakarida yang bermuatan
negatif dan bersifat selektif permeabel. Epitel glomerulus memiliki sel-sel khusus
yang dinamakan podosit. Podosit memiliki prosesus yang menyerupai kaki (footlike
processes) yang menempel ke membrana basalis. Prosesus yang satu akan
berjalinan dengan prosesus lainnya membentuk filtration slit, yang akan
memodulasi proses filtrasi.
Membran filtrasi glomerulus memisahkan darah kapiler dengan cairan di ruang
Bowman.(7) Filtrat glomerulus melewati ketiga lapisan membran filtrasi dan
membentuk urin primer. Sel-sel endotel dan membrana basalis memiliki
glikoprotein bermuatan negatif sehingga membentuk barrier filtrasi terhadap
protein anionik.

Glomerulus menerima darah dari arteriol aferen dan mengalirkan darah ke


arteriol eferen.(7) Sekelompok sel khusus yang dinamakan sel jukstaglomerular
terdapat di sekitar arteriol aferen, di dekat tempat masuknya ke korpuskulum
renalis. Di antara arteriol aferen dan eferen terdapat bagian dari tubulus kontortus
distal yang memiliki sel khusus bernama makula densa. Bersamaan, sel
jukstaglomerular dan makula densa membentuk aparatus jukstaglomerular, yang
berfungsi untuk mengatur aliran darah ginjal, filtrasi glomerulus, serta sekresi
renin.

Seperti telah disebutkan sebelumnya, glomerulus berperan sebagai penyaring


darah untuk membentuk urin, yang kemudian akan diekskresikan dari tubuh.(7)
Cairan yang disaring oleh membran filtrasi glomerulus tidak mengandung protein
namun mengandung elektrolit seperti natrium, klorida, dan kalium, serta molekul
organik seperti kreatinin, urea, dan glukosa. Seperti membran kapiler lainnya,
glomerulus permeabel terhadap air dan relatif impermeabel terhadap koloid
berukuran besar seperti protein plasma. Ukuran dan muatan molekul sangat
menentukan kemampuannya untuk melewati glomerulus. Hal ini diatur oleh
filtration slits serta muatan negatif yang terdapat pada membran filtrasi.

Tekanan kapiler memiliki efek terhadap filtrasi glomerulus.(7) Tekanan


hidrostatik pada kapiler merupakan gaya utama yang mendorong air serta solut
melewati membran filtrasi menuju kapsula Bowman. Tekanan ini dipengaruhi
secara tidak langsung oleh efisiensi kontraksi jantung dan secara langsung oleh
tekanan arteri sistemik serta resistensi pada arteriol aferen dan eferen. Gaya yang
mendorong komponen darah untuk dapat masuk ke dalam kapsula Bowman adalah
tekanan hidrostatik kapiler (PGC), sedangkan gaya yang melawan masuknya
komponen darah tersebut adalah tekanan hidrostatik di ruang Bowman (PBC) serta
tekanan onkotik efektif darah kapiler glomerulus (πGC). Resultan dari kedua gaya
ini akan menghasilkan net filtration pressure (NFP), yaitu jumlah dari gaya yang
mendorong dan melawan filtrasi, dengan perhitungan sebagai berikut:
NFP = (PGC) - (PBC + πGC)

Volume total cairan yang tersaring oleh glomerulus sekitar 180 L/hari, atau 120
mL/menit.(7) Jumlah filtrasi plasma per satuan waktu disebut dengan glomerular
filtration rate (GFR), dan berbanding langsung dengan tekanan perfusi pada kapiler
glomerulus. Faktor-faktor yang menentukan GFR berkaitan langsung dengan
tekanan yang mendorong atau melawan filtrasi. Perubahan pada resistensi arteriol
aferen maupun eferen akan menyebabkan perubahan pada tekanan hidrostatik
kapiler serta GFR. Vasokonstriksi pada salah satu arteriol memiliki efek
berlawanan pada tekanan glomerular. Contohnya, apabila arteriol aferen
berkonstriksi maka aliran darah akan berkurang sehingga ada penurunan tekanan
glomerular. Hal ini akan kemudian menurunkan GFR sehingga cairan tubuh terjaga.
Sebaliknya, konstriksi dari arteriol eferen akan meningkatkan NFP dan selanjutnya
meningkatkan GFR. Konstriksi dari kedua arteriol tersebut akan mengakibatkan
perubahan kecil pada NFP, namun aliran darah renal akan menurun sehingga GFR
pun akan ikut berkurang.

Obstruksi pada aliran keluar urin akan menimbulkan peningkatan tekanan


secara retrograde pada kapsula Bowman yang akan menurunkan GFR.(7)
Kehilangan cairan yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan onkotik kapiler
dan menurunkan GFR. Penyakit ginjal juga dapat menyebabkan perubahan tekanan
dengan adanya perubahan permeabilitas kapiler serta luas permukaan untuk filtrasi.

E. Fisiologi Tubulus Proximal


Struktur ini merupakan segmen berkelok-kelok, yang bagian awal dari tubulus ini
panjangnya dapat mencapai 14 mm dengan diameter 57-60 . Tubulus konvulatus
proksimalis biasanya ditemukan pada potongan melintang kortek yang dibatasi oleh
epithel selapis kubis atau silindris rendah, dengan banyak dijumpai mikrovilli yang
panjangnya bisa mencapai 1,2  dengan jarak satu dengan yang lainnya 0.03 .
Karakteristik dari tubulus ini ditemukan apa yang disebut Brush Border, dengan
lumen yang lebar dan sitoplasma epithel yang jernih.
F. Fisiologi Ansa Hendle
Loop of Henle’s banyak dijumpai di daerah medula dengan diameter bisa mencapai
15 . Loop of henle’s berbentuk seperti huruf “U” yang mempunyai segmen tebal
dan diikuti oleh segmen tipis. Pada bagian desenden mempunyai lumen yang kecil
dengan diameter 12  panjang 1-2 mm, sedangkan bagian asenden mempunyai
lumen yang agak besar dengan panjang 9 mm dengan diameter 30 .
Epithel dari Loop of Henle’s merupakan peralihan dari epithel silindris rendah /
kubus sampai squomus, biasanya pergantian ini terdapat di daerah sub kortikal pada
medula, tapi bisa juga terjadi di daerah atas dari Loop of Henle’s.

G. Fisiologi Tubulus Distal


Perbedaan struktur histologi dengan Tubulus Konvulatus proksimalis antara lain :
Sel epithelnya besar, mempunyai brush border, lebih asidofil, potongan melintang
pada tempat yang sama mempunyai epithel lebih sedikit, Tubulus Konvulatus
distalis : Sel epithel lebih kecil dan rendah, tidak mempunyai brush border, kurang
asidofil, lebih banyak epithel pada potongan melintang
Sepanjang perjalanan pada kortek, tubulus ini mengadakan hubungan dengan katup
vaskuler badan ginjal dari nefronnya sendiri yakni dekat dengan anteriole aferent
dan eferent. Pada tempat hubungan ini, tubulus distalis mengadakan modifikasi
bersama dengan arteriola aferens. Segmen yang mengadakan modifikasi bersama
dengan arteriola aferens. Segmen yang mengadakan modifikasi ini pada mikroskop
cahaya tampak lebih gelap ini disebabkan dekatnya dengan inti disebut : Makula
dense.
Fungsi Makula dense belum begitu jelas, tapi beberapa ahli mengatakan, fungsinya
adalah sebagai penghantar data osmolaritas cairan dalam tubulus distal ke
glomerulus. Pada makula dense yang dekat dengan arteriola aferent mengandung
sel juksta glomerulus yaitu sel yang mempunyai bentuk epitheloid dan bukan sel
otot polos dan ini mungkin merupakan modifikasi dari otot polos. Sel ini yang
nantinya menghasilkan enzim renin. Hormon ini mengubah hipertensinogen
menjadi hipertensin (angiotensin). Angiotensin mempengaruhi tunika media dari
arteriola untuk berkontraksi, yang mengakibatkan tekanan darah menjadi naik.
H. Proses Berkemih

Reflek berkemih adalah reflek medula spinalis yang seluruhnya bersifat


otomatis. Selama kandung kemih terisi penuh dan menyertai kontraksi
berkemih, keadaan ini disebabkan oleh reseptor regang sensorik pada dinding
kandung kemih sampai reseptor pada uretra posterior ketika mulai terisi urin
pada tekanan kandung kemih yang lebih tinggi. Sinyal sensorik dari reseptor
kandung kemih ke segmen sakral medula spinalis melalui nervus pelvikus
kemudian secara reflek kembali lagi ke kandung kemih melalui syaraf
parasimpatis (Syaifuddin, 2001).
Berkemih pada dasarnya merupakan reflek spinal yang akan difasilitasi
dan dihambat oleh pusat-pusat susunan syaraf yang lebih tinggi. Urin yang
memasuki kandung kemih tidak begitu meningkatkan tekanan intravesika
sampai terisi penuh. Pada kandung kemih ketegangan akan meningkat dengan
meningkatnya isi organ tersebut, tetapi jari-jaripun bertambah, oleh karena itu
peningkatan tekanan hanya akan sedikit saja, sampai organ tersebut relatif
penuh. Selama proses berkemih otot-otot perinium dan sfingter uretra eksterna
relaksasi, otot detrusor berkontraksi dan urin akan mengalir melalui uretra.
Kontraksi otot-otot perinium dan sfingter eksterna dapat dilakukan secara
volunter, sehingga mencegah urin mengalir melewati uretra atau
menghentikan aliran urin saat sedang berkemih (Guyton, 2006).
Proses pengosongan kandung kemih terjadi bila kandung kemih terisi penuh.
Proses miksi terdiri dari dua langkah utama:
1. Kandung kemih secara progresif terisi sampai tegangan di dindingnya
meningkat diatas nilai ambang, yang kemudian mencetuskan langkah
kedua. Terjadinya distensi atau peningkatan tegangan pada kandung kemih
mencetuskan refleks I yang menghasilkan kontraksi kandung kemih dan
refleks V yang menyebabkan relaksasi uretra.
2. Timbul refleks saraf yang disebut reflek miksi (refleks berkemih) yang
berusaha mengosongkan kandung kemih atau jika ini gagal setidaknya
menimbulkan kesadaran dan keinginan untuk berkemih. Ketika proximal
uretra mengalirkan urin maka akan mengaktifkan refleks II yang akan
menghasilkan kontraksi kandung kemih dan IV sehingga stingfer eksternal
dan uretra akan berelaksasi, sehingga urin dapat keluar. Jika tejadi distensi
pada uretra yang bisa disebabkan karena sumbatan, atau kelemahan
sfingter uretra maka akan mengaktifkan refleks III, sehingga kontraksi
kandung kemih melemah.
Reflek berkemih adalah refleks medulla spinalis yang seluruhya bersifat
autonomik, tetapi dapat dihambat atau dirangsang di otak. Pusat yang lebih
tinggi dapat mencegah berkemih, bahkan ketika refleks berkemih muncul,
yaitu dengan membuat kontraksi tonik terus menerus pada sfingter eksternus
kandung kemih sampai mendapat waktu yang baik untuk berkemih. Jika sudah
tiba saat berkemih, pusat cortical dapat merangsang pusat berkemih sacral
untuk membantu mencetuskan refleks berkemih dan dalam waktu yang
bersamaan menghambat sfingter eksternus kandung kemih sehingga
peristiwa berkemih dapat terjadi (Guyton, 2006).

I. Mekanisme Pengaturan Asam Basa Oleh Ginjal


1. Keseimbangan Asam – Basa
Ion hidrogen merupakan proton tunggal bebas yang dilepaskan dari atom
hidrogen. Molekul yang mengandung atom-atom hidrogen yang dapat
melepaskan ion-ion dalam larutan dikenal sebagai asam, sedangkan yang
dapat menerima ion hidrogen disebut dengan basa. Konsentrasi ion hidrogen
dinyatakan dengan pH, apabila rendah disebut asidosis dan bila tinggi
disebut alkalosis. Mekanisme untuk mencegah terjadinya asidosis
ataupun alkalois dilakukan oleh suatusystem pengatur yang khusus, yaitu :
a. Sistem penyangga (buffer) asam-basa yang segera bergabung dengan
setiap asam ataupun basa yang kemudian mencegah terjadinya
perubahan konsentrasi ion hidrogen yangberlebihan,
b. Kemudian apabila konsentrasi ion hidrogen berubah, maka pusat
pernafasan akan terangsang untuk mengubah kecepatan ventilasi paru-
paru, yang berakibat pada perubahan kecepatan pengeluaran
karbondioksida dari cairan tubuh yang akan menyebabkan konsentrasi
ion hidrogen kembalinormal.
c. menyebabkan ginjal mengeksresikan urin yang bersifat asam atau
basa, sehingga membantu konsentrasi ion hidrogen cairan
ekstraseluler tubuh kembalinormal.

Sistem buffer dapat bekerja dapat bekerja dalam sepersekian detik


untuk mencegah perubahan konsentrasi ion hidrogen yang berlebihan.
Sebaliknya, sistem respirasi memerlukan waktu 1-3 menit untuk
menyesuaikan kembali konsentrasi ion hidrogen setelah terjadinya
perubahan mendadak. Kemudian, ginjal yang merupakan komponen
pengatur asam-basa yang paling kuat, memerlukan waktu beberapa jam
hingga lebih dari 24 jam untuk menyesuaikan kembali konsentrasi ion
hidrogen tersebut.

Asam kuat merupakan asam yang berdosiasi dengan cepat dan

terutama melepaskan sejumlah besar ion H+ dalam larutan, sedangkan


asam lemah memeiliki sedikit kecenderungan untuk mendisosiasikan ion-

ionnya sehingga kurang kuat melepaskan H+. Basa kuat merupakan basa

yang bereaksi secara cepat dan kuat dengan H+. dan dengan
cepat

menghilangkan H+ dari larutan. Basa lemah yang khas adalah

HCO3-,

karena HCO3- berikatan dengan H+ secara lebih lemah daripada OH -.


Kebanyakan asam-asam dalam cairan ekstraseluler yang berhubungan
dengan pengaturan asam-basa normal adalah asam dan basa lemah.

Asam-basa akan saling berinteraksi dalam tubuh melalui


membrane sel dan membrane kapiler, sebagaimana interaksi pada ketiga
kompartemen tubuh. Difusi CO2 melalui membrane sangat mudah dan
cepat sehingga setiap perubahan yang terjadi pada pCO2 akan cepat diatasi
oleh perubahan ventilasi. Konsekuansinya adalah :

a. Konsekuensi H+ di semua cairan kompartemen tubuh mudah


berubah ataudiatur.

b. Perubahan pada pCO2 tidak akan menyebabkan terjadinya perbedaan

konsentrasi H+ dari masing-masingkompartemen.

2. Asam-Basa Steward

Metode steward sangat berbeda dengan metode yang selama ini


digunakan, yaitu Handersson-Hasselbach. Intinya, menurut steward bahwa

konsentrasi dari H+ hanya ditentukan oleh nilai perbedaan konsentrasi


elektrolit kuat Storng ion difference (SID), jumlah total asam lemah yang
terdisosiasi (Atot) dan pCO2.

Gangguan asam-basa akut disebabkan karena perubahan pada SID.


Mekanismenya adalah :

a. perubahan volume air dalam plasma (contraction alkalosis dan


dilutionalacidosis)

b. perubahan konsentrasi ion klorida dalam plasma (hyperchloremic acidosis


and hypochloremicalkalosis)
c. peningkatan konsentrasi anion-anion yang tidakteridentifikasi

Analisis secara matematis menunjukan bahwa penentuan H+


adalah perbedaan aktivitas ion-ion kuat atau yang disebut dengan strong
ion difference. Menurut Waters, setiap perubahan komposisi elektrolit

dalam suatu larutan akan menghasilkan perubahan pada H+ atau OH-


dalam rangkaian mempertahankan kenetralan muatan listrik

(electroneutrality)6. Peningkatan ion klorida yang bermuatan negatif, akan

menyebabkan peningkatan H+ untuk mempertahankan kenetralan muatan


listrik. Peningkatan ini sebagai asidosis.

Hubungan terbalik antara H+ dengan OH-, maka akan lebih mudah

menilai perubahan pH melalui perubahan pada OH-. Peningkatan OH-


menyebabkan alkalosis sedangkan penurunan akan menyebabkan asidosis.
Perubahan pada SID merupakan mekanisme utama dalam
menentukan perbedaan status asam-basa antar membran dibandingkan

pCO2 dan Atot. Prosesnya dapat menilai pertukaran (Na+-H+) atau (K+-

H+) melewati membran.

Pada Handersson-Hasselbalch, penilaian keseimbangan asam-basa


hanya didasarkan pada pemeriksaaan analisa gas darah, dengan komponen
adalah pH, ekses basa, pCO2, HCO2, HCO3 dan pO2. Penilaian
keseimbangan asam-basa Handersson-Hasselbalch dibagi menjadi 2
komponen yaitu respiratorik (pCO2 dan pO2) dan metabolik (HCO3).
Hasil penilaiannya didasarkan pada pH akhir dan komponen yang
mempengaruhi perubahan.

3. Perpindahan Dan Komposisi Cairan Tubuh

Cairan tubuh dan zat-zat terlarut didalamnya berada dalam


mobilitas yang konstan. Ada proses menerima dan mengeluarkan cairan
yang berlangsung terus-menerus, baik didalam tubuh secara keseluruhan
maupun diantara berbagai bagian untuk membawa zat-zat gizi, oksigen

kepada sel, membuang sisa dan membentuk zat tertentu dari sel. 1

Pertama; oksigen, zat gizi, cairan dan elektrolit diangkat ke paru-


paru dan saluran cerna, dimana mereka menjadi bagian cairan inravaskuler
dan kemudian dibawa ke seluruh tubuh melalui sistem sirkulasi. Kedua;
cairan intravaskuler dan zat-zat yang terlarut didalamnya secara cepat akan
saling bertukar dengan cairan interstisial dan zat-zat yang terlarut
didalamnya saling bertukar denga cairan intraseluler malalui membran
yang permeabel selektif.

Meskipun keadaan di atas merupakan proses pertukaran dan


pergantian yang terus menerus, namun komposisi dan volume cairan relatif
stabil, dan keadaan inti disebut dengan keseimbangan dinamis atau
homeostasis. Sedangkan perpindahan cairan tubuh melibatkan mekanisme
transport aktif dan pasif, dimanatransport aktif memerlukanenergi,
sedangkan transport aktif tidak (difusi dan osmosis).

Pembatas utama dari perpindahan zat-zat terlarut adalah membran


sel dan yang dapat dengan mudah menembusnya adalah zat-zat yang larut
dalam lemak. Hampir semua zat terlarut berpindah dengan transportasi
pasif. Difusi sederhana merupakan perpindahan partikel-partikel dalam
segala arah melalui larutan atau gas. Beberapa faktor yang menentukan
mudah tidaknya menembus membran kapiler dan sel antara lain
permeabilitas membran, konsentrasi, potensial listrik, dan perbedaan
tekanan.

Pernmebealitas merupakan perbandingan ukuran dari partikel zat


yang akan lewat terhadap ukuran pori-pori membran. Dalam proses difusi,
zat terlarut berpindah dari daerah dengan konsentrasi lebih tinggi ke
daerah dengan konsentrasi yang lebih rendah hingga terjadi keseimbangan
konsetrasi pada kedua sisi membran. Selain itu, difusi dari partikelyang
bermuatan negatif, begitupun sebaliknya. Kedua proses difusi tersebut
disebut sebagai potensial elektrokimiawi.

Transport aktif membentuk energi dalam bentuk adenosin trifosfit


(ATP) dan yang umum terjadi adalah sistem ATPase diaktifikasi oleh Nak
(pompa natrium-kalium) yang berlangsung pada membran sel. Molekul

enzim tunggal ini memompa 3 molekul ion Na+ dan K+, dan membentuk
satu molekul ATP. Sistem NaK-ATPase berperan penting dalam

mempertahankan konsetrasi yang benar dari Na+ dan K+ didalam dan laur

sel sehingga mempertahankan elektropontesial membran. Konsetrasi Na+


pada cairan ekstraseluler tinggi (142 mEq/L) dan rendah pada cairan

intraseluler (10 mEq/L). keadaan ini merupakan kabalikan dari K+, dimana
jumlahnya rendah pada cairan ekstraseluler (4 mEq/L) dan tinggi pada
cairan intraseluler (155 mEq/L). selain itu, membran sel yang beristrahat

bersifat selektif permeabel bagi K+ menembus keluar membran sel,


sedangkan muatan negatif (terutama protein dan fosfor) terlalu besar untuk

dapat ikut menembus keluar. Na+ juga berdifusi ke dalam sel mengikuti

perbedaan konsentrasi, tetapi jauh lebih lambat dari pada keluarnya K+.

Hasil difusi Na+ dan K+. diseimbangakan oleh transportasi aktif kedua ion
ini dengan arah yang berlawanan dalam menembus membran sel. Secara
klinis, keseimbangan kalium sangat penting, karena kelebihan atau
kekurangan ion ini bisa mengakibatkan distrimi yang fatal.

Perpindahan air berbeda dari zat terklarut dan elektrolit, karena


perpindahannnya dipengaruhi oleh tekanan osmotik dan tekanan
hidrostatik. Tekanan osmotik adalah daya dorong air yang dihasilkan oleh
partikel – partikel zat terlarut didalamnya.

Konsentrasi osmotik dari sebuah larutah hanya tergantung pada


jumlah partikel-partikel tanpa melihat ukuran, muatan, atau massanya.
Partikel zat terlarut dapat berupa kristaloid (zat yang membentuk larutan
sejati, seperti garam natrium) atau koloid ( zat yang tidak mudah terurai
menjadi larutan sejati, seperti molekul protein yang besar). Partikel yang
bekerja sebagai osmol efektif harus terdapat dalam jumlah besar dalam

bagian tertentu. Na+ ( dan anion-anionnya) sangat menentukan osmolalitas


dari cairan ekstraseluler dan membran selnya relatif impermeabel baginya,

sedangkan K+ mempunyai peran yang sama dalam cairan intraseluler.

Proses perpindahan cairan dari kapiler ke ruang interstisial disebut


dengan ultrafiltrasi, karena air, elektrolit, dan zat terlarut lainnya (kecuali
protein plasma dan sel darah) dengan mudah menembus membran kapiler.
Berdasarkan hukum c Starling bahwa kecepatan dan arah pertukaran cairan
diantara kapiler dan cairan interstisial ditentukan oleh tekanan hidrostatik
dan tekanan osmotik koloid dari kedua cairan. Pada ujung arteri dari
kapiler, tekanan hidrostatik dari darah (mendorong cairan keluar ) melebihi
tekanan osmotik koloid (menahan cairan tetap didalam ) sehingga
mengakibatkan perpindahan dari bagian intravaskuler ke interstisial. Pada
ujung vena dari kapiler, cairan berpindah dari ruang interstisial ke ruang
intravaskuler karena tekanan osmotik koloid melebihi tekanan hdrostatik.
Proses ini melepaskan oksigen dan zat gizi kepada sel, mengangkut
karbondioksida dn produk-produk sisa. Bagian interstisial juga mempunyai
tekanan hidrostatik dan tekanan osmotik, tapi biasanya sangat kecil. Pada
kasus inflamasi atau trauma yang mengakibatkan bocornya protein plasma
ke dalam ruang interstisial, maka tekanan osmotik koloid akan meningkat
cukup tinggi.
Sistim limfatik secara normal akan mengembalikan kelebihan
cairan interstisial dan protein ke sirkulasi umum. Penimbunan cairan di
ruang interstisial disebut dengan edema, yang disebabkan oleh 4 faktor
yaitu:

i. peningkatan tekanan hidrostatik kapiler (seperti pada gagal


jantung kongestif dengan retensi natrium dan air atau
obstruksivena).
ii. penurunan tekanan onkotik plasma (seperti pada SN atau
SHyang mengakibatkan penurunanalbumin).
iii. peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan
peningkatan tekanan osmotik koloid cairan interstisial
(seperti pada kasus inflamasi ataucedera).
iv. obstruksi limfe atau peningkatan tekanan onkotikinterstisial.

Prinsip osmosis dapat diterapkan pada pemberian cairan intravena,


yang dapat berupa isotonik, hipotonik, atau hipertonik, tergantung pada
keadaan konsentrasi partikel, apakah sama, kurang atau melebihi cairan
sel tubuh. Pada dasarnya larutan isotonik secara fisiologis isoosmotik
terhadap plasma dan cairan sel. Osmolalitas plasma yang normal berkisar
287mOsmol/kg.
Jika sel-sel darah merah ditempatkan pada larutan garam isotonik
(0,9%), maka tidak akan mengalami perubahan volume. Konsentrasi
osmolalitas dari larutan garam isotonik tepat sama dengan isi sel
(isoosmotik), sehingga hasil akhir difusi air kedalam dan keluar sama
dengan nol. Jika sel darah merah ditempatkan dalam larutan hipotonik,
misalnya larutan garam 0,45%, maka sel-sel itu akan membengkak.
Sebaliknya, jika sel-sel darah merah ditempatkan dalam larutan garam 3%,
akan menyebabkan sel-sel mengkerut karena larutamtersebut
hiperosmotik terhadap sel.

Mekanisme pengaturan keseimbangan volume terutama tergantung


pada perubahan volume sirkulasi efektif, yang mana merupakan bagiandari
CES pada ruang vaskuler yang melakukan perfusi aktif pada jaringan.
Sistem renin angiotensin aldosteron merupakan mekanisme yang paling
penting dalam mengatur CES dan ekskresi natrium oleh ginjal. Aldosteron
merupakan hormon yang disekresi do daerah glomerulosa korteks adrenal,
yang produksinya terutama dirangsang oleh reflek yang terdapat pada
arteriol aferen ginjal. Penurunan volume sirkulasi efektif akan dideteksi
oleh baroreseptor yang mengakibatkan sel-sel jukstaglomerular ginjal
memproduksi renin, yang bekerja sebagai enzim yang melepaskan
angiotensin I dari protein plasma angiotensinogen. Angiotensin I kemudian
dirubah menjadi angiotensin II pada paru-paru. Angiotensin II merangsang
korteks adrenal untuk mensekresi aldosteron, yang bekerja pada duktus
kolektif ginjal dan mengakibatkan retensi natrium (dan air). Selain itu,
angiotensin II menyebabkan vasokonstriksi pada otot polos arteriol. Kedua
mekanisme ini membantu memulihkan volume sirkulasi efektif.
Penurunan konsentrasi natrium dalam plasma yang hanya sebanyak 4 -5
mEq/L bisa merangsang pengeluaran aldosteron, akan tetapi hal ini
berperan penting pada orang normal karena konsentrasi natrium dalam
plasma relatif konstan akibat efek ADH. Namun pada kenyataannya,
meskipun terjadi keadaan hiponatremia, efek pada aldosteron sering
dikalahkan oleh perubahan volume CES. Oleh karena itu, sekresi
aldosteron meningkat pada pasien hiponatremia yang volumenya menurun,
tetapi menurun pada pasien dengan volume CES yang meningkat akibat
adanya retensi air. Pada dasarnya aldosteron merupakan komponen
pengendali utama bagi sekresi kalium pada nefron distal ginjal, dimana
peningkatannyamenyebabkanreabsorbsinatrium(danair)danekskresi
kalium, sedangkan penurunannya menyebabkan ekskresi natrium (dan air)
dan penyimpanan kalium. Sekresi aldosteron dirangsang oleh penurunan
volume sirkulasi efektif atau penurunan kalium serum. Hipervolemia,
penurunan kalium serum, atau peningkatan natrium serum akan
menyebabkan penurunan aldosteron.
Ekskresi kalium juga dipengaruhi oleh keadaan asam-basa dan

kecepatan aliran di tubulus distal. Pada keadaan alkalosis, ekskresi kalium


akan meningkat dan pada keadaan asidosis akan menurun. Pada tubulus
distal, ion H+dan ion K+ bersaing untuk diekskresi sebagai pertukaran
dengan reabsorbsi Na+ untuk mempertahankan muatan listrik tubuh yang
netral. Jika terjadi keadaan alkalosis metabolik yang disertai dengan
kekurangan ion H+, tubulus akan menukar Na+ dengan K+demi
mempertahankan ion H+ dan menurunkan ekskresi K+. Mekanisme ini
menjelaskan mengapa hipokalemia sering disertai dengan alkalosis, dan
hiperkalemia disertai asidosis. Kecepatan aliran kemih yang tinggi pada
tubulus distal akan mengakibatkan peningkatan ekskresi K+ total dan
kecepatan aliran yang rendah akan menurunkan ekskresinya.
Paru-paru juga berperan penting dalam menjaga homeostasis,
karena mengatur H+ dengan megendalikan kadar CO2 dalam CES.
Asidosis metabolik menyebabkan kompensasi berupa hiperventilasi,
sehingga terjadi pengeluaran CO2 oleh paru-paru dan mengurangi
keasaman CES. Sedangkan alkalosis akan menyebabkan kompensasi
berupa hipoventilasi, sehingga CO2 tertahan dan menambahkeasaman
CES. Akhirnya, ginjal juga turut berperan dalam homeostasi asam-basa
dengan mengekskresikan kelebihan H+ dan mampu mengkompensasi
asidosis dan alkalosis respiratorik dengan meningkatkan atau menurunkan
reabsorbsi bikarbonat. Pada pemberian cairan yang berlebihan dan tidak
terkontrol, dapat menimbulkan edema, yang merupakan suatu keadaan
ketidakseimbangan dimana air dan larutan dapat berkumpul di
kompartemen interstisial, yang menimbulkan “visible swelling” (edema)
dan seringdisebutdengan “pitting” edema. Bilaseseorangmengalami
edema yang menyeluruh, maka orang tersebut akan mengalami
pengembangan volume interstisial. Selama volume tersebut terisi air dan
larutan yang terdapat dalam ruang interstisial, maka orang tersebut juga
akan mengalami kenaikan total natrium tubuh, karena Na+ (dan disertai
anion-anion) merupakan larutan terbesar CES.1,Berdasarkan hukum
Starling, maka sudah jelas bahwa edema dapat disebabkan oleh karena
peningkatan tekanan hidrostatik intrakapiler (misalnya pada jantung), atau
karena berkurangnya tekanan osmotik akibat rendahnya protein plasma
(misalnyapadaSN). Pada peningkatan tekananhidrostatikintrakapiler,
volume plasma juga mengembang, sedangkan pada berkurangnya tekanan
osmotik akan cenderung mengakibatkan pengkerutan volume plasma. Pada
kasus yang berbeda, edema mengindikasikan adanya pengembangan
volume interstisial dan berapapun luas volume plasma, maka implikasinya
juga pada peningkatan total natrium tubuh. Peningkatan permeabilitas
dinding kapiler akan mendukung pembentukan edema, tetapi jarangterjadi
yang menyeluruh. Keadaan ini disebut dengan edema lokal atau
inflamasi.
Selain pembuluh darah kapiler, terdapat pembuluh limfe yang
mampu mentranspor cairan interstisial kembali ke dalam kompartemen
plasma. Akibatnya, bila terjadi sumbatan limfatik, akan dapat
menyebabkan kenaikan edema lokal yang biasanya “non-pitting”. Pada
keadaan edema, aliran limfatik akan meningkat. Selain itu, sirkulasi
limfatik juga mampu membawa molekul- molekul protein yang bocor ke
dalam interstisial dan mengembalikannya ke dalam kompartemen plasma
melalui limfatik sentral dan duktus thoraksikus. Dalam tubuh terbagi
beberapa kompartemen dimana cairan tubuh terdistribusi dengan
pembagian sebagai berikut
1. Cairan Intrasel : 40%BB

2. Cairan Ekstrasel (20% BB), yang terdiri dari:

a. Cairan intravaskuler : 5%BB

b. Cairan Interstitial : 15%BB

3. Cairan Transeluler (1 – 3% BB) : LCS, sinovial, gastrointestinal


danintraorbital
Volume kompartemen sangat tergantung pada kadar Na + dan
protein plasma. Na + merupakan penentu utama osmolalitas dan tonisitas,
yang lebih banyak terdapat pada ruang ekstraseluler, dengan kadar yang
hampir sama (+ 140 mEq/L) terdapat dalam ruang interstisial, dan plasma
volume. Sedangkan cairan intraseluler hampir tidak mengandung Na+
(hanya 5 mEq/L). Konsentrasi fosfat dalam plasma sedikit sekali dan
diatur sepenuhnya oleh regulasi kalsium, sehingga transfer fosfat
melewati membran juga tidak berkontribusi secara bermakna dalam
interaksiasam-basa.
SID merupakan variabel independen yang terpenting dalam

pengaturan asam-basa antar membran. Ion-ion kuat dapat melewati


membran melalui mekanisme saluran ion (pasif) atau pompa transpor
(aktif). Ion-ion kuat juga dapat bergerak mengikuti atau melawan
perbedaan konsentrasi. CO2 (pCO2) sangat mudah melewati membran,
sehingga tidak berkontribusi dalam menyebabkan perbedaan status asam-
basa antar membran. Protein (Atot) tidak dapat melewati membran,
sehingga tidak berperan menyebabkan perbedaan status asam-basa antar
membran. Sedangkan ion-ion kuat dapat melewati membran, sehingga
merupakan kontributor yang utama dalam keseimbangan asam-basa antar
membran. Menurut teori Stewart, penurunan konsentrasi H+ dalam plasma

terjadi akibat regulasi tubuh terhadap SID (terutama Cl-) melalui tubulus
ginjal. Ion klorida akan difiltrasi, namun tidak direabsorbsi, sehingga nilai
SID dalam plasma dijaga tetap seimbang. Pembentukan amoniagenesis di
ginjal berfungsi menghasilkan NH4+ agar Cl- dapat diekskresi dalam
bentuk NH4Cl. Jadi NH4+ berperan penting karena sifat ko-ekskresinya
bersama klorida.
Perdarahan yang tidak teratasi selama operasi berlangsung selain
dapat menyebabkan terjadinya gangguan keseimbangan asam-basa juga
menimbulkan hipovolemia. Perdarahan yang terjadi akan menurunkan tekanan
pengisian sistemik dan akibatnya curah jantung akan turun di bawah normal, dan
terjadilah syok.
DAFTAR PUSTAKA

Ganong W.F. 1999. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 17. Jakarta: EGC,
Guyton A.C., Hall J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.Terjemahan Irawati.
Jakarta: EGC
Pearce , Evelyn C.2006. Anatomi Dan Fisiologi Untuk Paramedis . Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama.
Sander , Mochamad Aleq . 2004. Patologi Anatomi . Jakarta : Rajawali Pers.
Sobotta.Atlas Anatomi Manusia Ed.1.Jakarta : EGC.
Syaifuddin . 2003 . Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Wibowo , Daniel S . 2005 . Anatomi Tubuh Manusia . Jakarta : Gramedia Widiasarana
Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai