Tatalaksana Hipoglikemia
Penatalaksanaan hipoglikemia tergantung pada derajat keparahan
hipoglikemia itu sendiri. Hipoglikemia ringan hingga sedang lebih mudah
ditangani yaitu dengan intake oral karbohidrat aksi cepat seperti minuman
glukosa, tablet, atau makanan ringan. Hipoglikemia derajat berat memerlukan
tindakan segera dan khusus (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).
a. Dekstrosa
Pada pasien yang tidak dapat mengkonsumsi glukosa oral seperti pada
pasien penurunan kesadaran, kejang, atau perubahan status mental dapat
diberikan cairan dekstrosa secara intra vena baik perifer maupun sentral.
Konsentrasi dekstrosa 50% pada air dapat diberikan pada pasien dewasa,
sementara dekstrosa dengan konsentrasi 25% biasa digunakan sebgai terapi
pada pasien anak. Perlu diperhatikan pada cairan dekstrosa 50% dan 25%
dapat menyebabkan nekrosis jaringan jika diberikan pada jalur intra vena
yang tidak benar, oleh karena itu, cairan tersebut harus diberikan pada jalur
IV yang paten (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).
b. Glukagon
Glukagon merupakan lini pertama terapi hipoglikemi pada pasien
hipoglikemi dengan terapi insulin karena glukagon merupakan hormon utama
pengatur insulin. Tidak seperti dekstrosa, glukagon diberikan melalui
subkutan atau intra muskular. Hal ini menjadi penting karena glucagon dapat
dijadikan pilihan terapi selagi menunggu paramedis datang untuk
memberikan dekstrosa (Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an
underutilizes therapeutic approach, 2011).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa glucagon efektif dalam
menyediakan kembali glukosa darah dan dapat mengembalikan kesadaran,
serta sifatnya aman dalam penanganan hipoglikemia berat baik diberikan
secara intra vena, subkutan, ataupun intra muskular. Glukagon yang diberikan
secara parenteral biasa diberikan pada pasien DM tipe 1 dengan riwayat
hipoglikemia berat. Glukagon yang diberikan secara intra vena biasa
diberikan pada pasien hipoglikemia berat dengan DM tipe 2.
Mengingat bahwa glukagon menstimulasi sekresi insulin berkaitan
dengan glikogenolisis maka sangat perlu diperhatikan pemberian glukagon
pada pasien DM tipe 2 dengan terapi insulin atau dengan komplikasi tertentu.
Glukagon sangat tidak disarankan diberikan secara infus intra vena atau
dengan pasien yang menggunakan sulfonilurea; pada pasein tersebut lebih
baik diberikan glukosa secara bolus kemudian diikuti dengan infus hingga
efek dari sulfonilurea telah habis.
Mual dan muntah sering dilaporkan sebagai efek samping terhadap
penggunaan glucagon dengan dosis >1mg, namun menurut penelitian yang
pernah dilaporkan sangat jarang membahas tentang kejadian mual dan
muntah tersebut, selain itu mual dan muntah tetap akan dapat terjadi
walaupun tanpa penggunaan glukagon. Ada juga laporan mengenai reaksi
alergi setelah pemberian glukagon, namun hal ini biasanya terjadi apabila
glukagon diberikan sebagai terapi selain untuk hipoglikemia (Treatment of
severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic approach,
2011).
1) Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena
2) Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf
3) Periksa glukosa darah sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan
glukometer:
a) Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
b) Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
4) Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40%
a) Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
b) Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV
c) Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40%
d) Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip
Dextrose 10%
e) Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs
setiap 2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dl,
14
g) Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap
6 jam :
Komplikasi Hipoglikemia
Komplikasi dari pada gangguan tingkat kesadaran yang berubah selalu
dapat menyebabkan gangguan pernafasan, selain itu hipoglikemia juga dapat
mengakibatkan kerusakan otak akut, hipoglikemia berkepanjangan parah bahkan
dapat menyebabkan gangguan neuropsikologis sedang sampai dengan gangguan
neuropsikologis berat karena efek hipoglikemia berkaitan dengan system saraf
pusat yang biasanya ditandai oleh perilaku dan pola bicara abnormal (jevon, 2010)
dan menurut Kedia (2011) hipoglikemia yang berlangsung lama bisa
menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia juga dapat
menyebabkan koma sampai kematian.
Budihusodo U..2007. Karsinoma Hati dalam Buku Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1
Edisi Keempat.Jakarta: Balai Pernerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.Pp 455-59.
El-Serag H.B. 2011. Hepatocellular Carcinoma.N Engl J Med 2011; 365:1118-
1127.
Hamid NA. Update to risk factors for hepatocellular carcinoma. Int J. Med. Med.
Sci. 2009; 1 (3): 038-043Blum HE. Hepatocellular carcinoma. Theraphy
and prevention. World J. gastroenterol. 2005; 11 (47): 7391-7400
Ryder S D. 2006. Guidelines For The Diagnosis And Treatment Of
Hepatocellular Carcinoma(HCC) In Adults. Gut 2003; 52 – 56.
Soresi M., Maglirisi C., Campgna P. 2003. Alphafetoprotein In The
Diagnosis Of Hepatocellular Carcinoma. Anticancer Research.
2003;23;1747-53.
Treatment of severe diabetic hyplogicemia with: an underutilizes therapeutic
approach. (2011, September 6). Dipetik January 8, 2012, dari Dovepress
open acces to scientific and medical research:
http://www.dovepress.com/diabetes-metabolic-syndrome-and-obesity-
targets-and-therapy-journal