Anda di halaman 1dari 6

Jenis Tonsilitis

Menurut Soepardi (2007) macam-macam tonsilitis yaitu (Rusmarjono & Soepardi, 2016):

1. Tonsilitis Akut

a. Tonsilitis viral

Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai commond cold yang disertai rasa nyeri

tenggorok. Virus Epstein Barr adalah penyebab paling sering. Hemofilus

influenzae merupakan penyebab tonsilitis akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus

coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil

pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan klien.

b. Tonsilitis bakterial

Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus, β

hemolitikus yang dikenal sebagai strep throat, pneumokokus, Streptokokus

viridan, Streptokokus piogenes. Infiltrasi bakteri pada lapisan epitel jaringan

tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa keluarnya leukosit

polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus. Bentuk tonsilitis akut dengan

detritus yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini

menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis lakunaris.

2. Tonsilitis Membranosa

a. Tonsilitis difteri
Tonsilitis difteri merupakan tonsilitis yang disebabkan kuman Coryne bacterium

diphteriae. Penularannya melalui udara, benda atau makanan yang terkontaminasi.

Tonsilitis difteri sering ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun frekuensi

tertinggi pada usia 2 sampai 5 tahun.

b. Tonsilitis septik
Tonsilitis yang disebabkan karena Streptokokus hemolitikus yang terdapat

dalam susu sapi.

c. Angina plaut vincent ( stomatitis ulsero membranosa )

Tonsilitis yang disebabkan karena bakteri spirochaeta atau triponema yang

didapatkan pada penderita dengan hygiene mulut yang kurang dan defisiensi vitamin

C.

1) Penyakit kelainan darah

Tidak jarang tanda leukemia akut, angina agranulositosis dan infeksi

mononukleosis timbul di faring atau tonsil yang tertutup membran semu. Gejala

pertama sering berupa epistaksis, perdarahan di mukosa mulut, gusi dan di bawah

kulit sehingga kulit tampak bercak kebiruan.

e. Tonsilitis Kronik

Tonsilitis kronik timbul karena rangsangan yang menahun dari rokok, beberapa

jenis makanan, hygiene mulut yang buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan

pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat.

Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang muncul akan berbeda-beda pada setiap kategori tonsillitis sebagai
berikut (Rusmarjono & Soepardi, 2016)
1. Tonsilitis akut
a. Tonsilitis viral
Gejala tonsillitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai rasa nyeri
tenggorok dan beberapa derajat disfagia. Dan pada kasus berat dapat menolak untuk
minum atau makan melalui mulut. Penderita mengalami malaise, suhu tinggi dan
nafas bau (Adams, et al., 2012)
b. Tonsilitis bacterial
Gejala dan tanda yang sering ditemukan adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu
menelan, denmam dengan suhu tubuh yang tinggi, rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi,
tidak nafsu makan dan rasa nyeri di telinga karena nyeri alih (reffered pain) melalui
N. glosofaringeus (N. IX). Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis,
dan terdapat detritus berbentuk folikel, lacuna atau tertutup oleh membrane semu.
Kelanjar submandibular membengkak dan nyeri tekan (otalgia).
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan suhu tubuh biasanya
subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat serta keluhan
nyeri menelan. Gejala local tampak berupa tonsil membengkak ditutupi bercak putih
kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu membentuk membrane semu.
Membran ini dapat meluas ke palatum mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan
bronkus dan dapat menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada perkembangan penyakit
ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar limfa leher akan membengkak sedemikian
besarnya sehingga leher memnyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga
Burgemeester’s.
b. Tonsilitis Septik
Disebabkan oleh Streptococcus hemoliticus pada susu sapi, tapi di Indonesia jarang.
c. Angina Plaut Vincent
Gejala demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-kadang terdapat
gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut, hipersalivasi, gigi dan gusi mudah
berdarah. Pada pemeriksaan tampak mukosa mulut dan faring hiperemis, tampak
membrane putih keabuan diatas tonsil, uvula, dinding faring, gusi, serta terdapat bau
mulut dan kelenjar sub mandibular membesar.
d. Tonsilitis Kronik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus. Rasa ada yang mengganjal di
tenggorok, dirasakan kering di tenggorok, dan napas berbau. Radang amandel/tonsil
yang kronis terjadi secara berulang-ulang dan berlangsung lama. Tonsilitis pada anak
biasanya dapat mengakibatkan keluhan berupa ngorok saat tidur karena pengaruh
besarnya tonsil yang mengganggu pernapasan bahkan keluhan sesak napas dapat
terjadi bila pembesaran tonsil telah menutup jalur pernafasan (Fakh, et al., 2016)
Diagnosis

Adapun tahapan menuju diagnosis tonsilitis kronis adalah sebagai berikut:


c. Anamnesa
Anamnesa ini merupakan hal yang sangat penting karena hampir 50% diagnosa
dapat ditegakkan dari anamnesa saja. Penderita sering datang dengan keluhan
rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu menelan, nafas bau
busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada demam dan nyeri pada
leher.
d. Pemeriksaan fisik pasien dengan tonsilitis dapat menemukan:
1) Demam dan pembesaran pada tonsil yang inflamasi serta ditutupi pus.
2) Bila dilakukan penekanan pada plika anterior dapat keluar pus atau
material menyerupai keju.
3) Group A beta-hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) dapat
menyebabkan tonsilitis yang berasosiasi dengan perjumpaan petechiae
palatal.
4) Pernapasan melalui mulut serta suara terendam disebabkan pembesaran
tonsil yang obstruktif.
5) Tenderness pada kelenjar getah bening servikal.
6) Tanda dehidrasi ( pada pemeriksaan kulit dan mukosa ).
7) Pembesaran unilateral pada salah satu sisi tonsil disebabkan abses
peritonsilar.
8) Rahang kaku, kesulitan membuka mulut serta nyeri menjalar ke telinga
mungkin didapati pada tingkat keparahan yang berbeda.
9) Warna kemerahan pada plika anterior bila dibanding dengan mukosa
faring, tanda ini merupakan tanda penting untuk menegakkan diagnosa
infeksi kronis pada tonsil. (American Academy of Otolaryngology -
Head and Neck Surgery, 2014).
Pada pemeriksaan didapatkan pilar anterior hiperemis, tonsil biasanya
membesar (hipertrofi) terutama pada anak atau dapat juga mengecil (atrofi), terutama
pada dewasa, kripte melebar detritus (+) bila tonsil ditekan dan pembesaran kelenjar
limfe angulus mandibula (Aritomoyo D, 1980 dalam Farokah, 2005).Thane & Cody
membagi pembesaran tonsil dalam ukuran T1 – T4:
1) T1: batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak pilar
anterior – uvula.
2) T2 : batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior – uvula sampai ½
jarak anterior – uvula.
3) T3 : batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior – uvula sampai ¾
jarak pilar anterior – uvula.
4) T4 : batas medial tonsil melewati ¾ jarak anterior – uvula sampai uvula
atau lebih.
Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi obstruksi saluran nafas atas yang
dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia
dan dapat menyebabkan kor polmunale (Paradise JL, 2009).Gejala klinis sleep
obstructive apnea lebih sering ditemui pada anak – anak (Akcay, 2006).

Pemeriksaan penunjang
Rapid Antigen Display Test (RADT) dikembangkan untuk identifikasi
streptokokus Grup A dengan melakukan apusan tenggorokan. Meskipun tes ini lebih
mahal daripada kultur agar darah, tesnya memberikan hasil yang lebih cepat. RADT
memiliki akurasi 93% dan spesifisitas > 95% dibandingkan dengan kultur darah.
Hasil tes false positive jarang berlaku. Identifikasi yang cepat dan pengobatan pasien
dapat mengurangi resiko penyebaran tonsilitis yang disebabkan oleh streptokokus
grup A dan terapi yang tepat dapat diperkenalkan (Bisno et al., 2002).
Suatu penelitian dilakukan di Iraq untuk membandingkan antara swab
tenggorokan dan kultur tonsil core pada tonsilitis kronis. Patogen terdeteksi sebanyak
41% pada swab dibandingkan 90,4% di tonsil core, sedangkan flora normal yang
terdeteksi adalah sebanyak 58,9% pada swab dibandingkan 9,59% di tonsil core.
[Hasil dari penelitian ini meyokong hasil dari penelitian Kurien, et al.,(2000)],yang
menemukan patogen pada 55% dari swab tenggorokan dan 72,5% dari kultur core
(Yousef et al.,2014 )

Daftar Pustaka
Adams, G. L., Boies, L. R. & Higler, P. A., 2012. BOIES Buku Ajar Penyakit THT. 6
ed.Philadelphia: BOEIS FUNDMENTALS OF OTOLARYNGOLOGY.
Allotoibi, A. D., 2017. Tonsillitis in Children Diagnosis and Treatment Measures. Saudi Journal
of Medicine (SJM) , 2(8), p. 208.

Fakh, I. M., Novialdi & Elmatris, 2016. Karakteristik Pasien Tonsilitis Kronis pada Anak di
Bagian THT-KL RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2013. Jurnal Kesehatan Andalas,
5(2), pp. 436-437.
Nadhila, N. F. M., 2016. Tonsilitis Kronik Eksaserbasi Akut pada Pasien Dewasa.. J Medula
Unila, pp. 107-108
Nizar, M. N., 2016. Identifikasi Bakteri Penyebab Tonsilitis Kronik pada Pasien Anak di BAgian
THT RSUD Ulin Banjarmasin. Berkala Kedokteran, p. 198
Rusmarjono & Soepardi, E. A., 2016. Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid. In: A. A.
Soepardi & N. Iskandar, eds. Telinga Hidung Tenggorokan & Leher. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran UI, p. 200.
Haidara, A. W. & Sibide, Y., 2019. Tonsillitis and Their Complications:Epidemiological,
Clinical, and Therapeutic Profiles. International Journal of Otolaryngology and Head & Neck
Surgery, pp. 98-103.

Anda mungkin juga menyukai