Anda di halaman 1dari 43

1

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Pencemaran Udara
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 pasal 1 ayat 12 mengenai

Pencemaran Lingkungan yaitu pencemaran yang disebabkan oleh aktivitas manusia


seperti pencemaran yang berasal dari pabrik. Menurut Peraturan Pemerintah RI No.
41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, pencemaran udara adalah
masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara
oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara memburuk.
Udara tidak pernah bebas dan bersih dari partikel-partikel asing yang jika
konsentrasinya terlalu tinggi akan memperburuk kualitas udara dan mengganggu
kesehatan.

Hal

ini

tercantum

dalam

Keputusan

Menteri

Kesehatan

No.1407/MENKES/SK/IX/2002, yang menyatakan bahwa pencemaran udara, adalah


masuknya atau dimasukkannya zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam udara
oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan atau mempengaruhi kesehatan manusia.
Menurut World Health Organization (WHO), pencemaran udara adalah
pencemaran udara yang terjadi lingkungan indoor atau outdoor dengan bahan kimia,
agen fisik atau biologis yang mengubah karakteristik alami dari atmosfer. Perangkat
rumah tangga pembakaran, kendaraan bermotor, fasiltas industri dan kebakaran hutan
merupakan sumber umum dari polusi udara. Polutan dari masalah kesehatan
masyarakat yang utama termasuk partikulat, karbon monoksida, ozon, nitrogen
dioksida. Polusi udara menyebabkan gangguan pernapasan, iritasi mata, iritasi kulit
dan penyakit lainnya, yang dapat berakibat fatal.
Selain itu, pencemaran udara dapat pula diartikan adanya bahan-bahan atau zat
asing di dalam udara yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi udara dari

susunan atau keadaan normalnya. Keberadaan bahan atau zat asing tersebut di dalam
udara dalam jumlah dan jangka waktu tertentu akan dapat menimbulkan gangguan
pada kehidupan manusia, hewan, maupun tumbuhan (Wardhana, 2004).

Tabel 2.1 Kriteria Udara Bersih dan Udara Tercemar

Sumber : World Health Organization, 1986

2.1.1

Jenis Pencemaran Udara


Ada beberapa jenis pencemaran udara, yaitu (Sunu, 2001):
1. Berdasarkan bentuk
a. Gas, adalah uap yang dihasilkan dari zat padat atau zat cair karena
dipanaskan atau menguap sendiri. Contohnya : CO2, CO, SOx, NOx.
b. Partikel, adalah suatu bentuk pencemaran udara yang berasal dari zarahzarah kecil yang terdispersi ke udara, baik berupa padatan, cairan
maupun padatan-cairan. Contohnya : debu, asap, kabut dan lain-lain.
2. Berdasarkan tempat
a. Indoor air pollution disebut juga pencemaran udara dalam ruang.
Biasanya asap rokok, asap dapur dan lain sebagainya.
b. Outdoor air pollution yang disebut juga pencemaran udara bebas seperti
asap-asap dari industri maupun kendaraan bermotor.

3. Berdasarkan efeknya terhadap kesehatan


a. Iritansia, adalah zat pencemar yang dapat menimbulkan iritasi jaringan
tubuh, seperti nikotin yang mengiritasi mata.
b. Asfiksia, adalah suatu kondisi kekurang oksigen dan tidak dapat
melepas karbon dioksida dalam tubuh. Zat penyebabnya adalah CO2,
H2S, NH3 dan CH4.
c. Anestesia, adalah zat yang mempunyai efek membius dan biasanya
merupakan pencemaran udara dalam ruang. Contohnya, Formaldehide
dan alkohol.
d. Toksis, adalah zat pencemar yang menyebabkan keracunan. Zat
penyebabnya seperti Timbal, Cadmium, Fluor, Nikotin dan Insektisida
4. Berdasarkan susunan kimia
a. Anorganik, adalah zat pencemar yang tidak mengandung karbon seperti
asbestos, ammonia, asam sulfat dan lain-lain.
b. Organik, adalah zat pencemar yang mengandung karbon seperti
pestisida, herbisida, beberapa jenis alkohol, dan lain-lain.
5. Berdasarkan asalnya
a. Primer, adalah suatu bahan kimia yang ditambahkan langsung ke udara
yang menyebabkan konsentrasinya meningkat dan membahayakan.
Contohnya: CO2 yang meningkat diatas konsentrasi normal.
b. Sekunder , adalah senyawa kimia berbahaya yang timbul dari hasil
reaksi antara zat polutan primet dengan komponen alamiah. Contohnya
Peroxy Acetil Nitrat (PAN).

2.1.2

Pencemaran Udara melalui Partikel (Debu)


Pencemaran udara melalui partikel atau debu merupakan salah satu jenis

pencemaran udara yang berdasarkan bentuk bentuknya (Sunu, 2001). Debu adalah zat
kimia pada, yang dihasilkan dari kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti
pengolahan industri, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain

dari bahan non organik maupun organik (Suma'mur, 2009). Menurut Departemen
Kesehatan RI (2005) debu ialah partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh proses
mekanis. Jadi, pada dasarnya pengertian debu adalah partikel yang berukuran kecil
sebagai hasil dari proses alami maupun mekanik.

2.1.2.1 Sifat Fisika dan Kimia


Partikulat debu melayang (Suspended Particulate Matter/SPM) merupakan
campuran yang sangat rumit dari berbagai senyawa organik dan anorganik yang
terbesar di udara dengan diameter yang sangat kecil, mulai dari < 1 mikron 500
mikron. Partikulat debu tersebut akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama
dalam keadaan melayang-layang di udara dan masuk kedalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan, mengganggu daya tembus pandang mata dan bermanifestasi pada
berbagai reaksi kimia di udara (Departemen Kesehatan, 2008).

2.1.2.2 Konsentrasi Debu di Lingkungan Kerja


Konsentrasi debu pada udara ambien di Indonesia diatur dalam Keputusan
Menteri

Kesehatan

Republik

Indonesia

No.

1405/MENKES/SK/XI/2002

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2002) tentang persyaratan Kesehatan


Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Berdasarkan Surat Keputusan tersebut,
nilai baku mutu konsentrasi debu maksimal ditetapkan 10mg/m3 untuk waktu
pengukuran rata-rata 8 jam. Secara internasional konsentrasi Total Suspended
Particle (TSP) ditetapkan dalam National Ambient Air Quality (NAAQ) EPA sebesar
260 g/m3 untuk waktu pengukuran satu tahun sedangkan PM 10 ditetapkan sebesar
150 g/m3 untuk waktu pengukuran 24 jam dan 50 g/m3 untuk waktu pengukuran
satu tahun (US.EPA, 2004 dalam Putranto, 2007).

2.1.2.3 Jalan masuk Debu ke dalam Tubuh


Terdapat tiga rute masuknya debu ke dalam tubuh (Putranto, 2007), yakni:
1. Inhalation adalah jalan masuk yang paling signifikan substansi yang
berbahaya

masuk

dalam

tubuh

melalui

pernapasan

dan

dapat

menyebabkan penyakit baik akut maupun kronis.


2. Absorbtion adalah paparan debu masuk ke dalam tubuh melalui absorbsi
kulit dan dapat menyebabkan iritasi dan gatal.
3. Ingestion adalah jalan masuk yang melalui saluran pencernaan atau
tertelah (jarang terjadi).
Inhalasi merupakan jalan masuk debu dengan dampak yang paling besar.
Mekanisme masuk dan tertimbunnya debu di dalam paru adalah sebagai berikut debu
terinhalasi dalam partikel debu solid yang akan terdeposisi sesuai ukurannya. Debu
yang berukuran 5-10 m akan tertahan dalam saluran napas bagian atas, debu yang
berukuran 3-5 m akan tertahan dalam saluran napas bagian tengah dan debu yang
berukuran 1-3 m disebut respirable dust yang merupakan ukuran debu yang paling
berbahaya karena akan mengendap dan tertimbun mulai dari bronchiolus
terminalishingga

permukaan

alveoliyang

menginduksi

terjadinya

inflamasi(Pudjiastuti, 2002).
Mekanisme masuknya debu ke dalam paru, menurut Putranto (2007) :
1.

Kelembaman debu yang bergerak (inertia)


Pada waktu udara membelok ketika jalan pernapasan yang tidak lurus,
partikel-partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok
mengikuti aliran udara, tetapi terus lurus dan akhirnya menumpuk pada
lapisan mukosa dan hinggap di paru-paru.

2.

Pengedapan (sedimentation)
Pada bronchioli kecepatan udara pernapasan sangat kurang, kira-kira 1 cm
per detik sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel debu
dan mengendapkannya.

3.

Gerak Brown terutama partikel berukuran sekitar 0,1 m, partikel-partikel


tersebut membentuk permukaan alveoli dan tertimbun di paru-paru.

2.1.2.4 Dampak Paparan Debu bagi Kesehatan


Inhalasi merupakan salah satu rute pajanan debu tembakau yang berdampak
negatif bagi kesehatan terlebih jika ada beberapa senyawa lain yang melekat pada
partikulat seperti nikotin. Selain itu, partikulat debu yang melayang dan beterbangan
menyebabkan iritasi pada mata dan mengurangi daya tembus pandang mata (Putranto,
2007). Debu merupakan iritan yang kuat untuk menyebabkan reflek batuk atau
spasme laring. Jika debu masuk dalam paru-paru dapat menyebabkan bronkitis,edema
paru atau pneumonitis(Departemen Kesehatan, 2012).

2.2

Debu Tembakau
Debu tembakau adalah debu yang dihasilkan selama aktifitas produksi dengan

bahan baku berupa daun tembakau.Aktifitas produksi yang menghasilkan residu


sampingan berupa debu tembakau adalah aktifitas pengeringan daun tembakau yang
mengharuskan pekerja untuk membalik daun tembakau hingga daun kering,
pemindahan daun tembakau kering ke pabrik penampungan,

penyortiran daun

tembakau, pelintingan cerutu atau rokok hingga packaging (Trikunakornwong, et al.,


2009)
Daun tembakau kering merupakan hasil dari pengeringan daun tembakau segar
yang dipetik dari tanaman tembakau. Tembakau merupakan salah satu famili
Solanaceae dari genus Nicotiana.(Basuki, et al., 1999)dengan tinggi tanaman
mencapai 1,8 m dan bentuk daun yang melebar, meruncing dan dapat mencapai
panjang 30 cm (Dinas Perkebunan, 2011).

Tabel 2.2 Klasifikasi Nicotiana tobacum

Klasifikasi Nicotiana tobacum


Kingdom

Plantae
(tumbuhan)

Subkingdom

Tracheobionta/Tracheophyta
(Tumbuhan berpembuluh)

Superdivisi

Spermatophyta
(Tumbuhan berbiji)

Divisi

Magnoliiophyta
(Tumbuhan berbunga)

Kelas

Magnoliopsida
(berkeping dua/dikotil)

Subkelas

Asteridae

Ordo

Solanales

Famili

Solanaceae
(Suku terung-terungan)

Genus

Nicotiana

Spesies

Nicotiana tobacum L.

Sumber : (Basuki, et al., 1999)

Gambar 2.1 Tanaman tembakau

Secara garis besar berdasarkan iklim, tembakau yang diproduksi di Indonesia


digolongkan dalam dua kelompok yakni (Dinas Perkebunan Prov. Jawa Timur,
2012):
a. Tembakau musim kemarau (Voor-Oogst/VO), yaitu tembakau bahan baku
rokok putih dan rokok kretek.
b. Tembakau musim penghujan (Na-Oogst/NO), yaitu tembakau bahan baku
cerutu dan cigarillo, selain itu untuk tembakau hisap dan kunyah.
Daun tembakau merupakan bahan baku rokok, baik dengan pipa maupun
digulung dalam bentuk rokok atau cerutu. Daun tembakau dapat pula dikunyak dan
ada pula yang menghisap bubuk tembakau melalui hidung.

Gambar 2.2 Daun Tembakau Kering

Gambar 2.3 Proses Produksi Daun Tembakau Kering

10

2.2.1

Kandungan Debu Tembakau


Kandungan terbesar debu tembakau di dalam ruangan adalah nikotin dan

atrazin. Rata-rata konsentrasi nikotin pada debu tembakau dalam ruangan berada
dalam range 0,047 0,154 mg/m3(Trikunakornwong, et al., 2009). Debu tembakau
yang merupakan residu sampinganproses produksi dengan bahan baku berupa daun
tembakau (Widyawati, 2004).
Debu tembakau mengandung nitrogen (N) dalam jumlah yang cukup besar
sekitar 2,35% dan fosfor (P) yakni 937 g/g (Chaturvedi, et al., 2008). Debu
tembakau memiliki karbon organik tinggi (Adediran, et al., 2003).
Tabel 2.3Komposisi Zat Kimia Debu Tembakau

Sumber : Sponza, 2002.

2.2.2

Nikotin
Nikotin merupakan alkaloid parasimpatomimetik poten dan reseptor

asetilkolin nikotinik (nAChR)agonis (IUPHAR Database, 2014). Selain itu, nikotin


adalah merupakan alkaloid utama tembakau dengan komposisi 1,5% dari berat daun
tembakau (Benowitz, et al., 2010) dan terakumulasi di akar dan melimpah di daun
tembakau (Haidar, et al., 2010). Sekitar 10 15 % nikotin terabsorbsi ke sirkulasi
sistemik (Benowitz, et al., 1987). Nikotin adalah zat adiktif. Dalam dosis yang
rendah (kurang dari 2 mg) bertindak sebagai stimulan dan dalam dosis tinggi (50

11

100 mg) efek stimulan berubah menjadi sifat adiktif. Sifat adiktif nikotik merupakan
efek psikoaktif dan paparan tembakau terlalu lama (California Department of Public
Health, 2015).
Nikotin mendasari setiap perubahan patologis yang terjadi. Perubahan
patologis yang terjadi dipengaruhi oleh karakteristik absorbsi, distribusi dan disposisi
nikotin.

Nikotin

dimetabolisme

di

hati

dengan

enzim

CYP2A6,

UDP-

glucorunosyltransfease (UGT), dan flavin yang mengandung monooxygenase (FMO).


Selain itu, faktor genetik, diet dan makanan, usia, jenis kelamin dan kerusakan fungsi
ginjal. Biomarker nikotin yang paling banyak diaplikasikan adalah cotinin yang
merupakan metabolit nikotin. Cotinin dalam tubuh dapat diukur dalam darah, urin, air
liur, rambut dan kuku (Jacob, et al., 1999).

Gambar 2.4 Struktur Kimia Nikotin dan Metabolitnya (Cotinin)

2.2.2.1 Absorbsi Nikotin


Nikotin merupakan senyawa alkoloid yang bersifat basa lemah dengan pKa=
8,0. Nikotin akan masuk ke dalam saluran pernapasan dibawa oleh debu tembakau
sebagai particullated matter pada pekerja tembakau yang terpapar langsung atau tar
pada perokok aktif. Absorbsi nikotin terjadi Blood-Air-Barrier di alveoli. Nikotin
yang merupakan basa lemah akan terionisasi terlebih dahulu sebelum melewati
membran permukaan alveolus dikarenakan keadaan pH alveoli yang cenderung netral

12

(pH= 7,4) dan sebagian kecil nikotin akan terabsorbsi pada membran buccal pada
rongga mulut (Pankow, 2001).

Gambar 2.5 Blood-Air Barrier di Alveoli sebagai membran permukaan yang


dilewati oleh nikotin menuju ke sirkulasi.
Sumber : rise.duke.edu, 2014.

Gambar 2.6 Blood Air Barrier Components. Sumber :Kelly, 2014.

13

Inhalasi debu tembakau melalui saluran pernapasan dan membran permukaan


alveoli terabsorbsi ke sirkulasi sistemik. Selain itu, nikotin juga dapat terabsorbsi
melalui kulit. Absorbsi melalui kulit merupakan salah satu resiko terjadinya
keracunan tembakau pada pekerja tembakau. Absorbsi nikotin melalui kulit
bergantung pada permeabilitas kulit. Absorbsi melalui kulit atau transdermal dapat
melalui pori-pori kulit muara dari kelenjar keringat dan pori-pori dari folikel rambut
(Fant, et al., 2000).

Gambar 2.7 Skematis jaringan kulit dan pori-pori kulit secara transdermal.
Sumber: Fant, et al.,2000

2.2.2.2 Distribusi Nikotin dalam Jaringan Tubuh


Setelah absorbsi, nikotin memasuki aliran darah yang derajat keasamannya
cenderung netral yakni pH=7,4 mengakibatkan 69% nikotin yang terinhalasi
mengalami ionisasi dan 31% lainnya tidak terionisasi. Nikotin terionisasi akan
berikatan dengan protein plasma (Benowitz, et al., 2010). Berdasarkan otopsi

14

manusia yang terpapar nikotin, organ dengan afinitas tertinggi terhadap nikotin
adalah hati, ginjal, limpa, paru-paru dan afinitas terendah terdapat pada jaringan
adiposa. Pada otot rangka, konsentrasi nikotin dan kotinin terdapat pada otot rangka
yang dekat pada pembuluh darah arteri. Nikotin dapat berikatan dengan jaringan otak
dengan afinitas yang lebih tinggi pada seorang yang terpapar nikotin (Benowitz, et
al., 2010). Selain itu, akumulasi nikotin juga terdapat di asam lambung, plasma darah
dan air liut. Akumulasi ini disebabkan oleh ion-trapping yang terjadi di asam
lambung dan air liur. Ion-trapping nikotin juga terjadi pada air susu ibu. Nikotin juga
dapat melintasi placental-barrier dengan mudah, hal ini terbukti dengan
ditemukannya akumulasi nikotin dalam serum janin dan cairan amnion dalam
konsentrasi yang lebih tinggi dari pada serum ibu (Dempsey dan Benowitz, 2001).

2.2.2.3 Metabolisme Nikotin


Nikotin secara keseluruhan dimetabolisme oleh hepar dan menghasilkan
sejumlah metabolit. Lima metabolit utama dari nikotin yakni Kotinin, Kotinin-NGlukuronida, Nikotine-N-Glukuronida, Trans-3-Hidroksikotinin, dan Trans-3Hidroksikotinin-O-Glukuronida (Hukkanen, et al., 2005). Dalam tubuh manusia,
sekitar 70 80 % nikotin dikonversi menjadi Kotinin. Konversi ini terjadi dalam dua
tahapan, tahap pertama menggunakan CYP2A6 sebagai mediatornya untuk
menghasilkan 2-Hidroksikotinin dan tahap keduanya dikatalisis oleh aldehida
oksidase sitoplasma (Benowitz, et al., 2010).

15

Gambar 2.8 Rute Utama Metabolisme Nikotin. Sumber : Hukkanen, et al., 2005.

Gambar 2.9 Metabolisme Nikotin dengan Persentasenya beredar di Sirkulasi dan yang
diekresikan. Sumber : Helsinski, 2002

2.2.2.4 Ekskresi Nikotin oleh Ginjal


Nikotin diekskresikan oleh filtrasi glomerulus dan sekresi tubular. Ekskresi
nikotin bergantung pada pH urin. Peningkatan ekskresi nikotin terjadi pada urin asam
dengan derajat keasaman pH=4,4 dan penurunan ekskresi nikotin terjadi pada urin
alkali dengan derajat keasaman pH=7,0 (Benowitz, et al., 2010).

16

2.3
2.3.1

Tobakosis
Definisi Tobakosis
Tobakosis adalah semua penyakit yang dihasilkan akibat dari paparan nikotin

melalui merokok, mengunyah daun tembakau dan terinhalasi debu tembakau (Atula,
2002). Penyakit tersebut adalah kanker mulut, kanker nasofaring, kanker laring,
kanker trakea, kanker bronkus, kanker paru-paru, kanker kerongkongan, kanker
lambung, kanker hati, kanker pankreas, kanker ginjal, kanker kandung kemih, kanker
prostat dan kanker serviks serta leukemia. Selain itu juga termasuk aterosklerosis dari
sistem kardiovaskular, penyakit jantung koroner (disertai iskemik dan infark
miokard),

kardiomiopati,

aneurisma

aorta,

perdarahan

serebrovaskular

dan

penyumbatan; gagal ginjal dan penyakit pembuluh darah perifer; emfisema dan
penyakit paru obstruktif kronik; ulkus peptikum dan sirosis hati; dan kegagalan
endokrin dan disfungsi metabolisme; dan penyakit janin serta cacat kongenital
(Ravenholt, 2008).
Tobakosis merupakan wabah yang terjadi dikarenakan ulah manusia sendiri
dan lebih berbahaya dari Black Death, cacar, malaria, hepatitis, koleran dan TBC.
Tobakosis berbeda dengan wabah mikrobiologis lainnya, seorang yang mengalami
tobakosis akan terjadi perubahan patologis dalam beberapa hari atau minggu
pemaparan, tobakosis adalah sebuah entitas penyakit yang sangat berbahaya. Masa
latennya panjang akibat paparan tembakau selama bertahun-tahun atau puluhan tahun
dan ditunjukan oleh terjadinya peningkatan salah satu dari spektrum yang luas
penyakit neoplastik dan degeneratif yang biasanya dikaitkan dengan usia lanjut
(Ravenholt, 1990).

2.3.2

Epidemiologi Tobakosis
Sejak tahun 1950, paparan tembakau telah terbukti jelas memiliki sifat

karsinogenitas. Di akhir 1950, terbukti adanya kaitan antara paparan tembakau


dengan munculnya kanker seperti kanker paru yang dianalisis dengan Case ControlCohort Study, karsinogen yang diidentifikasi dalam tembakau terbuksi menyebabkan

17

pertumbuhan pro-onkogen pada kulit tikus (Doll, 1998). Sejak itu, peningkatan angka
mortalitas pada seorang yang terpapar tembakau membuktikan bahwa paparan
tembakau bertanggung jawab sekitar 30 % dari semua kematian akibat kanker yang
terjadi terlebih di negara berkembang(Peto & Lopez, 2001). Selain itu, paparan
tembakau menyebabkan kerusakan pembuluh darah, gangguan sistem respirasi dan
mencetuskan

pertumbuhan

kanker,

secara

akumulatif

paparan

tembakau

menyebabkan kematian sekitar 4 -5 juta kematian per tahun di seluruh dunia.


Akumulasi ini diproyeksikan meningkat sekitar 10 juta kematian per tahun pada
2030. Sehingga, jika paparan tembakau tetap berlanjut akan ada lebih dari 1 milyar
kematian pertahun disebabkan tobakosis pada abad XXI (Vineis, et al., 2004).

2.3.3

Faktor Resiko Tobakosis


Pekerjaan sebagai pekerja pabrik tembakau yang terpapar tembakau melalui

debu residu produksi merupakan faktor resiko terjadinya tobakosis. Paparan debu
mengandung nikotin akan menyebabkan perubahan fisiologis pada keadaan tubuh
pekerjanya. Jalur masuk debu yang paling banyak terjadi dan paling banyak
menimbun nikotin adalah jalur melalui inhalasi. Pekerja yang terpapar debu tembakau
secara kontinyu pada usia 15 - 25 tahun akan terjadi penurunan kemampuan kerja,
usia 25-35 tahun timbul batuk produktif, usia 45-55 tahun terjadi sesak hipoksemia,
usia 55-65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan napas dan kematian
(Widyawati, 2004). Sedimentasi debu yang mengakibatkan gangguan fungsi pada
pernapasan akan mempengaruhi perubahan parameter hematologi akibat difusi
nikotin kedalam sirkulasi tubuh (Asif, et al., 2013).
Lama kerja yang mengindikasikan lamanya paparan debu tembakau pada
pekerja menunjukkan bahwa semakin lama seseorang terpajan debu, akan semakin
besar risiko terjadinya tobakosis. Pada pekerja yang berada di lingkungan dengan
kadar debu tinggi dalam waktu lama memiliki resiko yang semakin tinggi. Masa kerja
mempunyai kecenderungan sebagai faktor resiko terjadinya tobakosis pada pekerja di
industri yang berdebu lebih dari 15 20 tahun ( INCHEM, 2015), tapi perubahan

18

hematologi sudah dapat terjadi saat 3 5 tahun terpapar nikotin melalui aktifitas
merokok (Asif et al, 2013).

2.3.4

Patogenesis dan Patofisiologi Tobakosis

a. Efek Tembakau terhadap Sistem Saraf


Terinhalasinya tembakau bernikotin dalam paru dan terabsorbsi ke sirkulasi.
Dalam tujuh detik, nikotin segera merangsang nAChR dan secara tidak langsung
merangsang pelepasan chemical messenger seperti asetilkolin, norepinefrin,
epinefrin, arginin, vasopresin, serotonin, dopamin dan beta-endorphin di otak.
Nikotin juga akan memperpanjang durasi efek positif dari dopamin (Easton, 2002).

b. Efek Tembakau terhadap Kardiovaskular


Tembakau yang mengandung nikotin berhubungan dengan penyakit
kardiovaskular (Surgeon General of The United States, 2014). Nikotin dapat
meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Nikotin juga menginduksi
terjadinya

aterogenesis

pada sel

endotel arteri koroner diakibatkan efek

simpatomimetik yang meningkat sehingga terjadi peningkatan denyut jantung,


kontraktilitas miokard, meningkatkan resistensi pembuluh darah koroner dan
mengurangi

sensitivitas

insulin,

sehingga

meningkatkan

resiko

penyakit

kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner, aterosklerosis dan lain sebagainya


(Lee & Cooke, 2012).
Aterosklerosis juga terjadi karena aktifitas nAChR (Reseptor Asetilkolin
Nikotinik). nAChR adalah protein reseptor neuron yang sinyalnya memberikan
stimulus kimia terhadap kontraksi otot. nAChR adalah reseptor kolinergik yang
membentuk saluran ion-ligand-gated dalam membran plasma neuron dan disisi
presynaptic dan postsynaptic dari sambungan neuromuskuler. nAChR ditemukan di
sel saraf, sel otot, sel imun dan sel endotel (Purves, et al., 2004). Aktifasi dari nAChR
mengakibatkan induksi proliferasi sel otot polos vaskular dan migrasinya menuju
lapisan endotel(Lee & Cooke, 2012).

19

Dilain sisi, nikotin yang pada metabolismenya menghasilkan enam metabolit


yang juga bersifat toksik. Toksik lain tersebut menyebabkan inflamasi sehingga
terjadi induksi sitokin dan stress oksidatif yang terjadi juga merangsang resistensi
insulin (sensitifitas insulin berkurang) sehingga terjadi disfungsi endotel. Resistensi
insulin yang terjadi menyebabkan kadar glukosa meningkat dan proses anabolisme
kolesterol meningkat. Peningkatan kolesterol serum mengakibat resiko pembentukan
trombus dan terjadinya aterosklerosis meningkat (Nancy, et al., 2013).

Gambar 2.10 Patofisiologi Gangguan Kardiovaskular akibat Paparan Tembakau


Sumber : (Nancy, et al., 2013)

20

c. Efek Tembakau terhadap Sistem Gastrointestinal


Paparan tembakau dapat menyebabkan ulkus peptikum dan timbulnya kanker
di saluran pencernaan (Wu dan Cho, 2004). Beberapa faktor menyebabkan
tercetusnya proses ulserogenesis tetapi sekresi asam lambung masih dianggap salah
satu faktor utama yang agresif dalam pembentukan ulkus. Pada paparan tembakau
kronis ditemukan peningkatan asam lambung. Hal ini disebabkan oleh sensitifitas
reseptor muskarinik meningkat dan manifestasi akhirnya adalah peningkatan sekresi
asam lambung dan menyebabkan dispepsia bagi penderitanya.
Selain ulserogenesis pada lambung, paparan tembakau juga menyebabkan
peningkatan perkembang-biakan Helicobacter pylori di lambung. Dalam hal ini,
nikotin dibuktikan memiliki kemampuan untuk mempotensisasi aktivitas vacuolating
toksin H. pilory. Pada akhirnya, paparan nikotin dapat menyebabkan perkembangan
gastritis atrofi dan metaplasia usus pada infeksi H. pilory (Wu dan Cho, 2004).

d. Efek Tembakau terhadap Sistem Respirasi


Inhalasi tembakau pada non-perokok dapat menyebabkan inisiasi rangsangan
untuk batuk dan bronkokontriksi saluran pernapasan. Sehingga, paparan tembakau
pada akhirnya akan menyebabkan batuk dan obstruksi jalan napas. Obstruksi ini
disebabkan oleh bronkokontriksi yang terjadi akibat stimulai ujung saraf aferen pada
mukosa bronkus dan dimediasi melalu jalur kolinergik parasimpatis (Hanssons, et al.,
1994).

e. Efek Tembakau terhadap Sistem Reproduksi dan Janin


Paparan tembakau pada wanita juga dapat menyebabkan gangguan pada
sistem reproduksi, berkontribusi pada abortus, premature delivery, low birth weight,
sudden infant death dan attention hyperactivity deficit disorders. Selain itu, paparan
tembakau juga menyebabkan ketidak-teraturan siklus menstruasi, komplikasi
kehamilan, penurunan kesuburan dan berefek anti-estrogenik pada wanita (Weisberg,
1985).

21

Paparan tembakau pada pria dapat menyebabkan kelambatan spermatogenesis


dan penurunan steroidogenesis. Steroidogenesis pada pria merupakan hal penting,
dikarenakan relasinya dengan sindroma metabolik dan penyakit jantung koroner.
Selain itu, dampak paparan tembakau pada pria adalah ejakulasi dini dan mengurangi
ereksi penis; namun hal ini tergantung pada sensitifitas dan kerentanan individu
(Oyeyipo, et al., 2011).

f. Efek Tembakau terhadap Pertumbuhan Sel kanker


Inhalasi kronis tembakau

pada jaringan dan sel yang terpapar akan

merangsang kuat menculnya mutagen dan carcinogen (Ravenholt, 1990). Paparan


tembakau yang mengandung nikotin dan dalam metabolismenya menghasilkan enam
metabolit mayor. Metabolit mayor inilah yang menyebabkan efek genotoksik dengan
cara DNA adduction. DNA adduction menyebabkan mutasi pada gen vital seperti KRas dan p53. Selain itu, nikotin mengaktivasi reseptor asetilkolin nikotinik (nAChR)
dan -Adrenergik reseptor (-ARS) yang bermanifestasi sebagai proliferasi sel. Pada
kelanjutannya, akan menyebabkan progresi siklus sel, angiogenesis, metastasis sel
kanker dan pertumbuhan sel kanker. Hal ini terjadi karena nAChR dan -ARS adalah
reseptor faktor pertumbuhan epidermal (Epidermal Growing Factor/EGFR).
Berbagai kaskade sinyal yang disebabkan oleh nikotin melalui nAChR, termasuk
jalur MAPK/ERK, PI3K/AKT dan sinyal JAK/STAT. Selain itu, aktivasi nAChR
juga menginduksi Src-Kinase dengan cara 1--arrestin yang mengarah ke inaktivasi
protein Rb dan mengakibatkan ekspresi gen proliferasi E2F1(gen regulator proliferasi
sel) yang menyebabkan peningkatan proliferasi sel dan resisten terhadap
apoptosis(Schaal dan Chellappan, 2014).

22

Gambar 2.11 Patogenesis Kanker pada Tobakosis (Sumber : Ravenholt, 2008)

g. Efek Tembakau terhadap Perubahan Hematologi


Perubahan parameter hematologi yang diakibatkan oleh paparan tembakau
dapat menginisiasi berbagai gangguan vaskular (Sharif, et al., 2014). Perubahan
parameter hematologi terjadi karena gangguan pada proses proliferasi, diferensiasi
dan self-renewal dari sel sumsum tulang hemopoiesis yang prosesnya diatur dengan
sangat terstruktur. Pengaturan ini diperankan oleh sitokin, interleukin dan kemokin,
serta oleh matriks ekstraselular (ECM) dan molekul adhesi. Kompartemen selular dari
sumsum tulang terdiri dari populasi heterogen sel matang, termasuk sel-sel progenitor
hemopoietik pada berbagai tahap diferensiasi dan stroma sel. Sel stroma merupakan
bagian integral dari jaringan regulasi dalam lingkungan mikro sumsum tulang dan
berperan penting dalam hemopoiesis. Sel stroma berkontribusi dalam pembentukan
stem cell niches.Stem cell niches mengatur proliferasi, diferensiasi, dan self-renewal
dari induk hemopoietik sel stroma. Beberapa sumsum tulang berasal dari sel stroma
primer. Sel stroma primer menimbulkan bendungan sinyal regulasi sel melalui
produksi sitokin, ECM dan ekspresi molekul adhesi (Siggins, et al., 2014).

23

Sel stroma sensitif terhadap faktor regulasi ekstrinsik. Misalnya, hormon


steroid dan sitokin dapat mengubah produksi ECM dan sitokin oleh sel-sel stroma.
Pola ekspresi molekul adhesi dan aktivitas ligand-binding dapat mempengaruhi
paparan kimia dan sitokin. Selain itu, Platelet Derived Growing Factor (PDGF),
Fibroblast Growing Factor (FGF), Macrophage Colony-Stimulating Factor (M-CSF)
mengatur fungsi sel stroma oleh mekanisme autokrin. Disfungsi sel stroma yang
berperan dalam perubahan hematologi(Siggins, et al., 2014).
Paparan tembakau menyebabkan ketidakseimbangan dalam hemopoiesis.
Paparan ini menyebabkan pengurangan sel imunokompeten fungsional aktif. Studi
terbaru mengungkapkan bahwa sistem hematopoietik adalah salah satu sasaran
nikotin dari tembakau. Sejumlah konstituen dari nikotin yang didistribusikan ke
sirkulasi sistemik dan secara langsung mempengaruhi sel target seperti CD44 pada
sumsum tulang. Proliferasi sel stroma dipengaruhi oleh sitokin, interleukin dan
kemokin. Sitokin dan kemokin induksinya dirangsang oleh CD44. CD44 merupakan
target dari nikotin. Nikotin mampu merubah permukaan CD44 sehingga produksi sel
stroma terinhibisi dan mempengaruhi proses hemopoiesis (Khaldoyanidi, et al.,
2001).
Selain

itu,

nikotin

terbukti

menyebabkan

peningkatan

hemopoiesis

ekstramedular yang menunjukkan gangguan funsi fisiologis microenvironmental dari


bone marrow niche (Siggins, et al., 2014).

2.3.5

Diagnosis
Tobakosis dapat didiagnosis dengan terjadinya perubahan patologis yang

terjadi pada seseorang dan dipastikan dengan pemeriksaan kadar nikotin dan kotinin
melalui sampel darah dan urin (Trikunakornwong et al, 2009). Pemeriksaan
laboratorium seperti hitung jumlah eritrosit, hitung jumlah leukosit, PCT serta
hematokrit menunjukan anomali pada seorang yang telah terpapar selama 3 5 tahun
(Asif et al, 2013). Pada paparan nikotin lebih dari 20 tahun terjadi penurunan hitung
jumlah eritrosit, leukosit dan trombosit (Yasmin et al, 2010).

24

2.3.6

Prognosis
Prognosis tobakosis tergantung pada perubahan patologis yang terjadi.

Semakin dini tobakosis diketahui serta dicegah prognosisnya baik (Ravenholt, 1990).
Pencegahan dapat dilakukan dengan menghentikan paparan tembakau dari merokok,
mengunyah daun tembakau serta paparan melalui debu tembakau (Widyawati, 2004).

2.3.7

Komplikasi
Komplikasi tobakosis disesuaikan dengan perubahan patologis yang terjadi

serta lama paparan nikotin. Pencegahan serta deteksi dini dapat mengurangi
komplikasi.

2.4

Darah dan Sel Darah Merah


Darah merupakan komponen esensial mahluk hidup, mulai dari binatang

sampai manusia. Dalam keadaan fisiologik, darah sesalu berada dalam pembuluh
darah sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai : (a) pembawa oksigen (oxygen
carrier); (b) mekanisme pertahanan tubuh terhadap infeksi; dan (c) mekanisme
hemostasis. Darah terdiri atas dua komponen utama :
1. Plasma darah adalah bagian cair darah yang sebagian besar terdiri atas air,
elektrolit, dan protein darah.
2. Butir-butir darah (blood corpuscles), yang terdiri atas :
a. Eritrosit (Red Blood Cell RBC)
b. Leukosit (White Blood Cell WBC)
c. Trombosit (Platelet)
(Bakta, 2006)

25

2.4.1

Sel Darah Merah atau Eritrosit (Red Blood Cell RBC)


Sel darah merah, yang juga dikenal sebagai eritrosit, adalah sarana

pengangkutan hemoglobin, yang selanjutnya mengikat oksigen dan diedarkan ke


jaringan (oxygen carrier) (Guyton dan Hall, 2007).

2.4.2

Bentuk dan Ukuran Sel-sel Darah Merah


Sel darah normal berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter 7,8 m dan

dengan ketebalan 2,5 m pada bagian yang paling tebal serta 1 m dibagian
tengahnya. Volume rata-rata sel darah merah adalah 90 95 m3. Bentuk sel darah
merah seperti kantung elastis mengikuti lebar kapiler yang dilalui dan tidak mudah
mengalami ruptur (Guyton dan Hall, 2007).

2.4.3

Konsentrasi Sel-sel Darah Merah


Pada pria normal, jumlah rata-rata sel darah merah per milimeter kubik adalah

5.200.000 ( 300.000); pada wanita normal, 4.700.000 ( 300.000) (Guyton dan Hall,
2007).

2.4.4

Jumlah Hemoglobin dalam Sel


Sel-sel darah merah mampu mengonsentrasikan hemoglobin dalam cairan sel

34 gram per 100 mililiter sel. Kandungan hemoglobin dalam sel darah merah
mempengaruhi kadar hematokritnya. Kadar normal hematokrit 40 45 % dengan
kandungan hemoglobin pada pria normal 15 gram hemoglobin per 100 mililiter sel;
pada wanita normal 14 gram per 100 mililiter sel. Dalam hubungannya sebagai
oxigen carrier, setiap gram hemoglobin murni mampu berikatan dengan 1,34 mililiter
oksigen (Guyton dan Hall, 2007).

26

Gambar 2.12 Sel Darah Merah Normal (under microscope)

2.5
2.5.1

Hematopoiesis
Definisi
Hematopoiesis atau hemopoesis adalah proses pembentukan darah. Tempat

hemopoesis pada manusia berpindah-pindah sesuai dengan usianya :


a.

Yolk sac

: umur 0 3 bulan intrauterin

b.

Hati dan spleen

: umur 3 6 bulan intrauterin

c.

Sumsum tulang

: umur 4 bulan intrauterin hingga dewasa.


(Bakta, 2006)

27

Yolk Sac
Hepar & Spleen

Bone Marrow (axial skeleton)

Bone Marrow (distal long bone)

Gambar 2.13 Perkembangan Hemopoesis menurut umur (Sumber :Bakta, 2006)

2.5.2

Sel Punca Hemopoietik (Hemapoietic Stem Cell)


Sel Punca hemopoietik adalah sel-sel yang akan berkembang menjadi sel-sel

darah, termasuk sel darah merah, sel darah putih, trombosit dan juga beberapa sel
dalam susmsum tulang seperti fibroblast. Sel induk yang paling primitif di sebut
sebagai Pluripotent (Totipotent) Stem Cell. Sel punca (induk) pluripoten mempunyai
sifat :
a. Self renewal adalah kemampuan memperbarui diri sendiri sehingga tidak
akan pernah habis meskipun terus membelah;
b. Proliferatif adalah kemampuan membelah atau memperbanyak diri;
c. Diferensiatif adalah kemampuan untuk mematangkan diri menjadi sel-sel
dengan fungsi tertentu.
(Bakta, 2006)
Menurut sifat kemampuan diferensiasinya maka sel induk hemopoetik dapat
dibagi menjadi :
a. Pluripotent (Totipotent) stem cell : sel induk yang mempunyai kemampuan
untuk menurunkan seluruh jenis sel-sel darah.

28

b. Committed stem cell : sel induk yang mempunyai kemampuan untuk


berdifensiasi melalui salah satu garis turunan sel (cell line). Sel induk yang
termasuk golongan ini ialah sel induk mieloid dan sel induk limfoid.
c. Oligopotent stem cell : sel induk yang dapat berdiferensiasi menjadi hanya
beberapa jenis sel. Misalnya, CFU-GM (Colony Forming UnitGranulocyte/Monocyte) yang dapat berkembang hanya menjadi sel-sel
granulosit dan sel-sel monosit.
d. Unipotent stem cell : sel induk yang hanya mampu berkembang menjadi
satu jenis sel saja. Contoh : CFU-E (Colony Forming Unit Erythrocyte)
hanya dapat menjadi eritorosit.
(Bakta, 2006)

Semula sel induk hemopoetik hanya berada dalam sumsum tulang, setelah
berdifensiasi menjadi sel matang kemudian dilepaskan ke darah tepi. (Hoffbrand dan
Moss,2013)

29

Gambar 2.14 Diagram Sel Punca Pluripoten Sumsum Tulang dan Galur-galur Sel
Keturunannya (Sumber : Leyley, 2014)

2.5.3

Lingkungan Mikro (Microenvirontment) Sumsum Tulang


Lingkungan mikro sumsum tulang adalah substansi yang memungkinkan sel

induk tumbuh secara kondusif. Komponen lingkungan mikro ini meliputi :


a. Mikrosirkulasi dalam sumsum tulang
b. Sel-sel stroma : sel endotel, sel lemak, fibrolast, dan sel retikulum
(blanket cell)
c. Matriks ekstraseluler : fibronektin, haemanektin, laminin, kolagen, dan
proteoglikan.
Lingkungan mikro dalam hematopoiesis memiliki fungsi sebagai berikut :
a. Penyedia nutrisi dan bahan hematopoiesis yang dibawa oleh peredaran
darah mikro dalam sumsum tulang.

30

b. Penyalur komunikasi antarsel (cell to cell communication), terutama


ditentukan oleh adanya adhesion molecule.
c. Penghasil zat yang mengatur hematopoiesis seperti hematopoiesis growth
factor, cytokine; dan lain-lain.
(Bakta, 2006)

Hubungan antara semua komponen tersebut membentuk suatu struktur yang


sangat komplek dan digambarkan secara skematis seperti gambar 2.6.

Gambar 2.15 Skema lingkungan mikro sumsum tulang (Sumber : Hoffbrand dan Moss,
2013)

2.5.4

Bahan-bahan Pembentuk Darah


Bahan-bahan yang diperlukan untuk pembentukan darah adalah (Bakta,

2006):
a.

Asam folat dan vitamin B12, merupakan bahan pokok pembentuk inti
sel.

31

b.

Besi, sangat diperlukan dalam pembentukan hemoglobin, cobalt,


magnesium, cuprum, zink.

c.

Asam amino

d.

Vitamin lain : vitamin C, vitamin B kompleks dan lain-lain.

Sumsum tulang yang normal merupakan bagian esensial dari hematopoiesis.


Apabila struktur atau fungsi sumsum tulang terganggu maka dapat menimbulkan
kelainan. Gangguan sumsum tulan dapat terjadi oleh karena :
a.

Kegagalan produksi sel, dijumpai pada anemia aplastik.

b.

Kegagalan maturasi sel, dijumpai pada sindroma mielodisplastik.

c.

Produksi sel-sel yang tidak normal, misalnya pada thalasemia,


hemoglobinopati dan lain-lain.

d.

Hilangnya mekanisme regulasi normal, seperti pada leukemia akut,


penyakit mieloproliferatif, penyakit limfoproliferatif

Gangguan sumsum tulang meninmbulkan berbagai jenis penyakit. Penyakitpenyakit yang mengenai sel induk hematopoietik antara lain Leukemia mieoloid akut,
Leukemia mieloid kronik, Sindroma preleukemia (myelodysplastic syndrome),
Polisitemia vera, Myelofibrosis with myeloid metaplasia, Anemia aplastik dan Cyclic
neutropenia (Bakta, 2006).

2.5.5

Proses Hemopoiesis
Sel darah memulai kehidupannya di sumsum tulang dari suatu tipe sel yang

disebut sel stem hematopoietik pluripotent (Hematopoietic Stem Cell HSC), yang
merupakan asal dari semua sel dalam darah sirkulasi. Gambar 2.14 memperlihatkan
urutan pembelahan sel-sel pluripoten untuk membentuk berbagai sel darah sirkulasi.
Sewaktu sel-sel darah ini bereproduksi, ada sebagian kecil dari sel-sel ini yang
bertahan persis seperti sel-sel pluripoten asalnya dan disimpan dalam sumsum tulang
guna mempertahankan suplai sel-sel darah tersebut, walaupun jumlahnya berkurang
seiring dengan pertambahan usia. Sebagian besar sel-sel yang bereproduksi akan
berdiferensiasi untuk membentuk sel-sel tipe lain. Sel yang berada pada tahap

32

pertengahan sangat mirip dengan sel stem pluripoten, walaupun sel-sel ini telah
membentuk suatu jalur khusus pembelahan sel dan disebut commited stem cells
(Guyton dan Hall, 2007).
Berbagai commited stem cells, bila ditumbuhkan dalam biakan, akan
menghasilkan koloni tipe sel darah yang spesifik. Suatu commited stem cells yang
menghasilkan ertirosit disebut unit pembentuk koloni eritrosit (Colony-Forming
Units- Erythrocyte) digunakan untuk menandai jenis sel stem ini(Guyton dan Hall,
2007).
Pertumbuhan dan reproduksi berbagai sel stem diatur oleh bermacam-macam
protein yang disebut penginduksi pertumbuhan. Salah satu penginduksi pertumbuhan
adalah interleukin-3 (IL-3), yang memulai pertumbuhan dan reproduksi hampir
semua jenis commited stem cells yang berbeda-beda, sedangkan yang lain hanya
menginduksi pertumbuhan pada tipe-tipe sel yang spesifik(Guyton dan Hall, 2007).
Penginduksi pertumbuhan akan memicu pertumbuhan dan bukan memicu
diferensiasi sel-sel. Diferensiasi sel adalah fungsi dari rangkaian protein yang lain,
yang disebut penginduksi diferensiasi. Masing-masing protein ini akan menghasilkan
satu tipe commited stem cells untuk berdiferensiasi sebanyak satu langkah atau lebih
menuju ke sel darah dewasa bentuk akhir(Guyton dan Hall, 2007).
Pembentukan penginduksi pertumbuhan dan penginduksi diferensiasi yang
dikendalikan oleh faktor-faktor diluar sumsum tulang. Contohnya, pada eritrosit,
paparan darah dengan oksigen yang rendah dalam waktu yang lama akan
mengakibatkan induksi pertumbuhan, diferensiasi, dan produksi eritrosit dalam
jumlah yang sangat banyak(Guyton dan Hall, 2007).

2.5.6

Tahap-tahap Diferensiasi Sel Darah Merah


Sel pertama yang dapat dikenali sebagai bagian dari rangkaian sel darah

merah adalah proeritroblas. Dengan perangsangan dari eritropoietin, proeritroblas


dibentuk dari sel-sel stem CFU-E. Begitu proeritroblas terbentuk, akan membelah
beberapa kali, sampai akhirnya membentuk banyak sel darah merah yang matur. Sel-

33

sel generasi pertama ini disebut basofil eritroblas sebab dapat dipulas dengan zat
warna basa; sel yang terdapat pada tahap ini mengumpulkan sedikit sekali
hemoglobin. Pada generasi setelah basofil eritroblas, sel sudah dipenuhi oleh
hemoglobin dengan konsentrasi sekitar 34%, nukleus memadat menjadi kecil, dan
sisa akhirnya diabsorbsi atau didorong keluar dari sel. Pada saat yang sama, retikulum
endoplasma direabsorbsi. Sel pada tahap ini disebut retikulosit karena masih
mengadung sejumlah kecil materi basofilik, yaitu terdiri dari sisa-sisa aparatus golgi,
mitokondria, dan sedikit organel sitoplasma lainnya. Selama tahap retikulosit ini, sel
sel berjalan dari sumsum tulang masuk ke dalam kapiler darah dengan cara diapedesis
(terperas melalui pori-pori membran kapiler)(Guyton dan Hall, 2007). Materi
basofilik yang tersisa dalam retikulosit normalnya akan menghilang dalam 1 2 hari,
dan sel kemudia menjadi eritrosit matur, karena waktu hidup retikulosit ini pendek,
maka konsentrasinya diantara semua sel darah merah normalnya sedikit kurang dari
1% (Guyton dan Hall, 2007).

Gambar 2.16 Pembentukan Sel Darah Merah (Sumber : Guyton dan Hall, 2007)

34

2.5.7

Mekanisme Regulasi Hemopoiesis


Mekanisme regulasi

dilakukan untuk mengatur arah dan kuantitas

pertumbuhan sel dan pelepasan sel darah yang matang dari sumsum tulang ke darah
tepi sehingga sumsum tulang dapat merespon kebutuhan tubuh yang tepat. Produksi
komponen darah yang berlebihan atau kekurangan akan menimbulkan penyakit. Zatzat yang berpengaruh dalam mekanisme regulasi hematopoiesis adalah :
a. Faktor pertumbuhan hematapoiesis ( Hematopoietic Growth Factor),
yakni : GM-CSF, G-CSF, M-CSF, Thrombopoietin, BPA, dan Kit
Ligand.
b. Sitokin (Cytokine) seperti : IL-3, IL-4, IL-5, IL-7, IL-8, IL-9, IL-10,
dan IL-11. Growth factor dan sitokin sebagian besar dibentuk oleh selsel darah seperti limfosit, monosit atau makrofad dan sebagian sel-sel
penunjang seperti fibroblas dan endoterl. Sitokin ada yang merangsang
pertumbuhan sel induk (stimulatory cytokine) sebagian lagi menekan
pertumbuhan sel indul (inhibitory cytokine). Kesetimbangan kedua
jenis sitokin ini sangat menentukan proses hematopoiesis normal.
c. Hormon hematopoietik spesifik seperti eritropoietin yakni hormon
yang dibentuk di ginjal khusus untuk merangsang pertumbuhan
prekursor eritroid.
d. Hormon nonspesifik, yakni beberapa jenis hormon yang diperlukan
dalam jumlah kecil untuk hematopoiesis, seperti androgen, estrogen,
glukokortikoid, growth hormone dan hormon tiroid.
Dalam regulasi hematopoiesis normal terdapat feedback mechanism, yakni
suatu mekanisme umpan balik yang dapat merangsang hemopoesis jika tubuh
kekurangan komponen darah (positive loop) atau menekan hematopoiesis jika tubuh
kelebihan komponen darah tertentu (negative loop).
(Bakta, 2006)

35

2.6
2.6.1

Erithropoiesis
Definisi
Eritropoiesis adalah proses pembentukan eritrosit yang terjadi di sumsum

tulang hingga terbentuk eritrosit matang dalam darah tepi yang dipengaruhi dan
dirangsang oleh hormon eritropoietin. Eritropoietin adalah hormon glikoprotein yang
terutama dihasilkan oleh sel-sel interstisium peritubulus ginjal, dalam respon terhadap
kekurangan oksigen atas bahan globulin plasma, untuk digunakan oleh sel-sel induk
sumsum tulang. Eritropoietin mempercepat produksi eritrosit pada semua stadium
terutama saat sel induk membelah diri dan proses pematangan sel menjadi eritrosit.
Di samping mempercepat pembelahan sel, eritropoietin juga memudahkan
pengambilan besi, mempercepat pematangan sel dan memperpendek waktu yang
dibutuhkan oleh sel untuk masuk dalam sirkulasi (Bakta, 2006).

2.6.2

Proses Eritropoiesis
Proses eritropoiesis diatur oleh glikoprotein bernama eritropoietin yang

diproduksi ginjal (85%) dan hati (15%). Pada janin dan neonatus pembentukan
eritropoietin berpusat pada hati sebelum diambil alih oleh ginjal (Ganong, 2008).
Eritropoietin bersirkulasi di darah dan menunjukkan peningkatan menetap pada
penderita anemia, regulasi kadar eritropoietin ini berhubungan eksklusif dengan
keadaan hipoksia. Sistem regulasi ini berkaitan erat dengan faktor transkripsi yang
dinamai hypoxia induced factor-1 (HIF-1) yang berkaitan dengan proses aktivasi
transkripsi gen eritropoeitin. HIF-1 termasuk dalam sistem detektor kadar oksigen
yang tersebar luas di tubuh dengan efek relatif luas (contoh: vasculogenesis,
meningkatkan reuptake glukosa, dan lain sebagainya), namun perannya dalam
regulasi eritropoiesis hanya ditemui pada ginjal dan hati (Rankin, et al., 2007).
Eritropoeitin ini dibentuk

oleh sel-sel endotel peritubulus di korteks ginjal,

sedangkan pada hati hormon ini diproduksi sel Kupffer dan hepatosit. Selain keadaan
hipoksia beberapa zat yang dapat merangsang eritropoiesis adalah garam-garam
kobalt, androgen, adenosin dan katekolamin melalui sistem -adrenergik. Namun

36

perangsangannya relatif singkat dan tidak signifikan dibandingkan keadaan hipoksia


(Hoffbrand, 2013).
a. Selama perkembangan intrauterus, eritrosit mula-mula dibentuk oleh yolk
sac dan kemudian oleh hati dan limpa sampai sumsum tulang terbentuk dan
mengambil alih produksi eritrosit secara ekslusif.
b. Pada anak, sebagian tulang terisi oleh sumsum tulang merah yang mampu
memproduksi sel darah. Namun, seiring dengan pertambahan usia, sumsum
kuning tulang yang tidak mampu melakukan eritropoiesis secara perlahan
menggantikan sumsum merah, yang tersisa hanya di beberapa tempat,
misalnya sternum, iga dan ujung-ujungg atas tulang oanjang ekstremitas.
Pada periode stress hematopoietik tubuh dapat melakukan reaktivasi pada
limpa, hepar dan sumsum berisi lemak untuk memproduksi sel darah,
keadaan ini disebut sebagai hematopoiesis ekstramedular.
c. Sumsum tulang tidak hanya memproduksi sel darah merah tetapi juga
merupakan sumber leukosit dan trombosit.Di sumsum tulang terdapat sel
punca pluripoten tak berdiferensiasi yang secara terus menerus membelah
diri dan berdiferensiasi untuk menghasilkan semua jenis sel darah.
d. Ginjal

mendeteksi

penurunan

kapasitas

darah

yang

mengangkut

oksigen.Jika O2 yang disalurkan ke ginjal berkurang, maka ginjal


mengeluarkan

hormone

eritropoietin

merangsang

eritropoiesis

(produksi

dalam

darah

eritrosit)

yang

berfungsi

dalam

sumsum

tulang.Tambahan eritrosit di sirkulasi meningkatkan kemampuan darah


mrngangkut

O2.Peningkatan

kemampuan

darah

mengangkut

O2

menghilangkan rangsangan awal yang memicu sekresi eritropoietin.

2.6.3

Pengaturan Produksi Sel Darah Merah melalui Peran Eritropoietin


Jumlah total sel darah merah dalam sistem sirkulasi diatur dalam kisaran batas

yang kecil, sehingga sejumlah sel-sel darah merah yang adekuat selalu tersedia untuk

37

mengangkut oksigen yang cukup dari paru-paru ke jaringan, namun sel-sel tersebut
tidak menjadi berlimpah sehingga aliran darah tidak terhambat.

Gambar 2.17 Fungsi mekanisme eritropoietin untuk meningkatkan produksi sel darah
merah ketika oksigenasi jaringan berkurang (Sumber : Guyton dan Hall,
2007)

2.7
2.7.1

Hematokrit Darah
Definisi Hematokrit Darah
Hematokrit darah (Ht atau Hct), juga disebut sebagai Packed Cell Volume

(PCV) atau Erytrocyte Volume Fraction (EVF), adalah persentase volume (%) dari
sel darah merah dalam darah (Purves, 2004). Hematokrit merupakan bagian integral
dari pemeriksaan darah yang bertujuan untuk mengetahui persentase sel darah merah
yang berfungsi sebagai transporter oksigen dari paru ke jaringan tubuh. Jadi,

38

persentase hematokrit dapat menjadi acuan kemampuan transportasi oksigen oleh sel
darah merah (UCIrvine, 2006).
Secara etimologis, hematokrit berasal dari Bahasa Yunani Kuno yakni Haema
yang berarti darah dan Krites yang berarti memisahkan sehingga Hematokrit dapat
berarti memisahkan darah atau to separate blood(Sather, et al., 2015).

Gambar 2.18 Komponen Darah (Sumber : MedlinePlus, 2015)

2.7.2

Prinsip Hematokrit Darah


Persentase volume (%) dari sel darah merah yang merupakan blood

corpuscles dalam darah yang merupakan zat cair, kedua komponen dipisahkan dari
plasma dengan cara me-sentrifugasinya dengan kecepatan 11.500 15.000 rpm
selama 5 menit menggunakan tabung kapiler yang berukuran tinggi 7 cm dan
diameter 1 mm untuk pengukuran kadar hematokrit yang diperoleh menggunakan
metode mikrohematokrit. Prinsip hematokrit dengan metode makrohematokrit dengan
tabung wintrobe yang disentrifugasi dengan kecepatan 2.260 rpm selama 30 menit
(Sadikin, 2002).

39

2.7.3

Cara menentukan Hematokrit Darah


Ada dua cara menentukan nilai hematokrit, yakni makrohematokrit dengan

tabung wintrobe dan mikrohematokrit dengan tabung kapiler dengan atau tanpa
antikoagulan(Gandasoebrata, 2007).
Hematokrit dapat diukur dengan darah vena atau darah kapiler dengan teknik
makro maupun mikro. Dengan cara Wintrobe (Makrohematokrit), darah vena yang
telah dicampur antikoagulan dimasukkan ke dalam tabung yang panjangnya 100 mm,
kemudian di sentrifugasi dengan kecepatan 2.260 rpm selama 30 menit. Volume
eritrosit dan plasma dapat dibaca langsung pada tada milimeter pada dinding tabung.
Pada cara Mikrohematokrit, pada tabung kapiler yang panjangnya 7 cm dan diameter
1 mm diisi dengan darah vena atau darah kapiler. Lalu, tabung ini di sentrifugasi
dengan kecepatan 11.500 15.000 rpm selama 5 menit dan perbandingan plasma dan
eritrosit

diukur

dengan

menggunakan

alat

baca

berskala

khusus.

Cara

mikrohematokrit ini cepat dan mudah tetapi daya sentrifugal sentrifus harus dikontrol
dan posisi tabung pada saat membaca dengan skala harus tepat.

2.7.4

Nilai Normal Hematokrit


Nilai normal hematokrit pada anak berada pada rentang 33 38 %, pada pria

dewasa 40 50 % dan wanita dewasa

2.7.5

: 36 44 % (Gandasoebrata, 2007).

Faktor yang memengaruhi pemeriksaan hematokrit


Faktor dari keadaan eritrosit (Sel Darah Merah) :
a. Jumlah eritrosit; Apabila jumlah eritrosit dalam keadaan banyak
(polisitemia) maka nilai hematokrit akan meningkat dan jika eritrosit
sedikit (dalam keadaan anemi) maka niali hematokrit akan menurun.
b. Ukuran eritrosit; Ukuran sel darah merah dapat mempengaruhi vikositas
darah. Vikositas darah yang tinggi maka nilai hematokrit juga akan tinggi.
c. Bentuk eritrosit; apabila terjadi kelainan bentuk (poikilositosis) maka
akan terjadi trapped plasma sehingga nilai hematokrit meningkat

40

d. Perbandingan jumlah darah dengan antikoagulan; jika antikoagunlan


berlebihan maka akan mengakibatkan eritrosit krenasi dan nilai
hematokrit menurun
(Gandasoebrata, 2007)

Kondisi klinis yang mempengaruhi kadar hematokrit seperti pada pasien yang
mengalami

kehilangan

darah

akut,

anemia,

leukemia,

penyakin

hodgkin,

limfosarkoma, mieloma multipel, gagal ginjal kronis, sirosis hepatis, malnutrisi,


defisiensi vitamin B dan C, kehamilan, SLE, artritis reumatoid serta ulkus peptikum
dapat menyebabkan penurunan kadar hematokrit. Kondisi klinis lain yang
menyebabkan peningkatan kadar hematokrit adalah hipovolemia, dehidrasi,
polisitemia vera, diare berat, asidosis diabetikum, emfisema paru, eklamsia, pasca
pembedahan, luka bakar dan iskemik serebral(Gandasoebrata, 2007).

41

2.8

Kerangka Konseptual
Pencemaran udara akibat
debu tembakau bernikotin
yang beterbangan di Pabrik
Tembakau
Terinhalasi dan masuk ke
saluran pernapasan

Terjadi difusi udara di


alveolus
Nikotin masuk dalam plasma
darah di sirkulasi tubuh

Efek Akut

Efek Kronis

Nikotin merangsang nAChR;


pelepasan norepinefrin,
epinefrin, vasopresin

Supresi Sumsum Tulang

Vasokontriksi pembuluh darah;


menginduksi HIF-1

sekresi Eritropoitin

Terkompensasi

Tidak
Terkompensasi

Hematopoiesis
Ekstramedular

Hematopoiesis
tidak dapat
terjadi
maksimal

Eritrosit,
Hematokrit

Eritrosit,
Hematokrit

Perubahan Hematokrit Tobakosis


Gambar 2.19 Kerangka Konseptual

42

2.9

Hipotesis
Paparan debu tembakau yang terjadi secara terus-menerus dalam 8 jam perhari

dengan enam hari kerja selama minimal 3 tahun akan memengaruhi kadar hematokrit
pekerja pabrik yang bekerja dalam ruangan (indoor) sebagai pekerja sortir tembakau
dengan status non perokok.

43

Anda mungkin juga menyukai