Anda di halaman 1dari 22

BAB 6

Nama:

1. Sakinah Hisyam NIM:


2. Saras Oktavia NIM:
3. Siti Khairuzia L. NIM:
Soal dan Jawaban.

1. Soal:
Jawaban:
Dalam studi agama dikenal istilah high tradition (tradisi besar) dan low tradition
(tradisi kecil). Yang pertama, agama diformulasikan dalam bentuk teks atau naskah
keagamaan. Di sana termuat teks kitab suci berikut pemikiran-pemikiran keagamaan. Jika
kita andaikan agama di sini adalah Islam, maka yang dimaksud dengan high tradition ialah
teks-teks keislaman seperti Al-Quran, Hadits, dan buah pikir yang terlahir dari perenungan
atas kedua teks tersebut; baik kitab tafsir, syarah, fiqih, filsafat, tasawuf, atau ushuluddin.
Kedua adalah low tradition, yang memiliki maksud bahwa praktik keberagaman yang
dilakukan oleh umat muslim di seluruh dunia. Bagaimana umat muslim mengaplikasikan
agamanya, tentu beragam coraknya. Dari situ muncullah istilah Islam dalam kekhasan
tradisinya. Ada Islam Jawa, Islam Banjar, Islam Sumatera, Islam Sulawesi, dan Islam
Indonesia jika yang dimaksud Islam dalam konteks bangsa.
Islam dalam makna high tradition biasanya bersifat normatif, ideal. Selalu dikaitkan
dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang muslim. Apabila Islam dalam aspek ini
berbicara tentang kepemimpinan, maka yang dituntut bagi seorang calon pemimpin adalah
sifat-sifat yang melekat pada Nabi Muhammad; yaitu shiddiq (jujur), amanah (dapat
dipercaya), tablig (transparansi), dan fathanah (cerdas dalam bidangnya). Apabila berbicara
tentang seorang muslim sejati, maka setidaknya muslim itu harus mengamalkan rukun Islam
dengan mempersaksikan dirinya untuk taat kepada Allag dan rasul-Nya, mendirikat shalat,
membayar zakat, berpuasa, dan berhaji.
Berbeda dengan high tradition, ketika ajaran-ajaran yang normatif atau yang
seharusnya itu dipraktikkan dalam laku keseharian seorang muslim (low tradition),
kemungkinan adanya penambahan cukup besar. Kita contohkan saja dalam melaksanakan
shalat tarawih di bulan Ramadhan.
Berbeda dengan high tradition, ketika ajaran-ajaran yang normatif atau yang
seharusnya itu dipraktikkan dalam laku keseharian seorang muslim (low tradition),
kemungkinan adanya penambahan cukup besar. Kita contohkan saja dalam melaksanakan
shalat tarawih di bulan ramadhan. Dalam tradisi orang banjar, ketika dipastikan besok hari
jatuh satu ramadhan, maka masyarakat, baik pria, wanita, dan anak-anak berbondong-
bondong ke langgar atau masjid terdekat. Setelah shalat isya dan shalat tarawih, ada langgar
yang biasa melaksanakan selamatan dengan upacara doa dan makan-makan. Doa yang
dibaca biasa berisi permohonan agar diberi kekuatan dalam melaksanakan puasa dan shalat
tarawih sepanjang ramadhan.

Di Banjarmasin, shalat tarawih biasa dilakukan dalam jumlah 20 rakaat, 2 rakaat dalam
setiap bagian-bagiannya. Sesudah tiap bagian dilaksanakan, seorang bilal menyerukan
seruan dalam bahasa Arab yang kemudian disahuti oleh para jama’ah. Seruan itu biasa
berisi shalawat dan salam kepada nabi, buat keempat khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman,
dan Ali), dan sebuah kalimat yang menyatakan seruan shalat berjamaah dan anjuran
memasang niat shalat tarawih yang akan dilaksanakan. Terdapat beberapa versi, tapi
mungkin itu difungsikan sebagai pengingat agar keteraturan shalat terjaga. Di akhir rakaat,
biasa ditutup dengan shalat witir (ganjil) yang jumlahnya 3 rakaat. Kemudian diikuti oleh
pembacaan tasbih bersama-sama, wirid, dan doa. Setelah itu jama’ah berdiri saling
bersalaman dan membubarkan diri.

Kadang juga dalam tradisi melaksanakan shalat tarawih, sebelum dilaksanakan shalat witir,
para jama’ah diberi pesan keagamaan singkat (kultum) oleh seorang da’i, yang isinya
menjelaskan kewajiban, keutamaan, dan nilai-nilai lebih yang terkandung di dalam
menjalankan amalan puasa di bulan ramadhan.

Shalat tarawih dengan aktivitas tambahan yang mentradisi itulah yang dimaksud dengan
low tradition. Berbondong-bondong shalat ke mesjid, mengadakan selamatan di malam
pertama, seruan bilal dengan shalawat kepada nabi dan para khalifah, kultum, dan
beberapa kegiatan lainnya adalah amalan tambahan. Jika dibandingkan dengan tradisi
tarawih di daerah lain, akan terlihat perbedaannya.
Begitulah, Islam dalam aspek high tradition dan low tradition kadang sulit disejajarkan.
Orang punya pikiran berbeda-beda, sehingga semakin kaya dalam memaknai ajaran yang
bersifat normatif atau seharusnya. Yang terbaik menurut saya adalah mencoba untuk
mengendalikan diri dan berlapang dada dalam menghadapi perbedaan,
mempertimbangkan berbagai aspek yang terkait, dan mendahulukan tindakan yang masuk
akal. Wallahu a’lam.
Sumber referensi : http://fahmiriady.blogspot.co.id/2010/08/tradisi-besar-dan-tradisi-
kecil.html
2.
Jawaban:
Secara bahasa kata Muhkam berasal dari kata ihkam yang berarti kekukuhan,
kesempurnaan, keseksamaan, dan pencegahan. Namun secara pengertian ini pada dasarnya
kata tersebut kembali kepada makna pencegahan. Kata muhkam merupakan pengembangan
dari kata “ahkama, yuhkimu, ihkaman” yang secara bahasa adalah atqona wa mana’a yang
berarti mengokohkan dan melarang. Sedangkan kata mutasyabih berasal dari
kata tasyabuh yang secara bahasa berarti keserupaan dan kesamaan yang biasanya
membawa kepada kesamaan antara dua hal. Tasyabaha dan isyabaha berarti dua hal yang
masig-masing menyerupai yang lainnya.
Secara istilah (terminologi) para ulama berbeda pendapat dalam merumuskan definisi
muhkam dan mutasyabih. Di bawah ini ada beberpa definisi menurut Al-Zarqani :
1. Muhkam adalah ayat yang jelas maksudnya. Yang tidak mengandung kemungkinan
nasakh. Mutasyabihat adalah ayat yang tersembunyi (maknanya), tidak diketahui
maknanya baik secara aqli maupun naqli, dan inilah ayat-ayat yang hanya Allohlah yang
mengetahuinya, seperti datangnya hari kiamat, huruf-huruf yang terputus-putus di awal
surat. Pendapat ini dibangsakan al-Alusi kepada pemimpin-pemimpin madzhab Hanafi.
2. Muhkam adalah ayat yang berdiri sendiri yang tidak memerlukan keterangan.
Mutasayabihat adalah ayat yang tidak berdiri sendiri, tetapi memerlukan keterangan.
Kadang-kadang diterangkan melalui ayat atau keterangan lain pulakarena terjadinya
perbedaan dalam menakwilnya. Pendapat ini diceritakan dari Imam Ahmad ra.
3. Mungkam adalah ayat yang tunjukan maknanya kuat. Mutasyabihat ialah ayat yang
menunjukan maknanya tidak kuat, yaitu lafalnya mujmal, musykil dll. Pendapat ini
dibangsakan kepada imam al-Razi dan banyak peniliti yang memilihnya.
Dari beberpa pendapat di atas tidak lah terjadi perbedaan pendapat, tetapi malah
diantaranya terdapat persamaan dan kedekatan makna.
Perbedaan pengertian muhkam dan mutasyabih sehingga hal ini terasa menyulitkan
untuk membuat sebuah kriteria ayat yang termasuk muhkam dan mutasyabih. J.M.S Baljon,
mengutip pendapat Zamakhsari yang berpendapat bahwa termasuk kriteria ayat-
ayat muhkamat adalah apabila ayat-ayat tersebut berhubungan dengan hakikat (kenyataan),
sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang menuntut penelitian (tahqiqat). Ali
Ibnu Abi Thalhah memberikan kriteria ayat-ayat muhkamat sebagai berikut. yakni ayat-ayat
yang membatalkan ayat-ayat lain, ayat-ayat yang menghalalkan, ayat-ayat yang
mengharamkan, ayat-ayat yang mengandung kewajiban, ayat-ayat yang harus diimani dan
diamalkan. Sedangkan ayat-ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang telah dibatalkan, ayat-
ayat yang dipertukarkan antara yang dahulu dan yang kemudian, ayat-ayat yang berisi
beberapa variabel, ayat-ayat yang mengandung sumpah, ayat-ayat yang boleh diimani dan
tidak boleh diamalkan.
Ar-Raghib al-Ashfihani memberikan kreteria ayat-ayat mutasyabihat sebagai ayat
atau lafal yang tidak diketahui hakikat maknanya, seperti tibanya hari kiamat, ayat-ayat Al-
Qur’an yang hanya bisa diketahui maknanya dengan sarana bantu, baik dengan ayat-
ayat muhkamat, hadis-hadis sahih maupun ilmu penegtahuan, seperti ayat-ayat yang lafalnya
terlihat aneh dan hukum-hukumnya tertutup, ayat-ayat yang maknanya hanya bisa diketahui
oleh orang-orang yang dalam ilmunya. Sebagaimana diisyaratkan dalam doa Rasulullah
untuk Ibnu Abbas, Ya Allah, karuniailah ia ilmu yang mendalam mengenai agama dan
limpahankanlah pengetahuan tentang ta’wil kepadanya.
Al-Quran adalah rahmat bagi seluruh alam, yang didalamnya terdapat berbagai
mukzijat dan keajaiban serta berbagai misteri yang harus dipecahkan oleh umat di dunia ini.
Alloh tidak akan mungkin memberikan sesuatu kepada kita tanpa ada sebabnya. Di bawah
ini ada beberapa hikmah tentang adanya ayat-ayat muhkan dan mutasyabih, diantara
hikmahnya adalah :
1. Andai kata seluruh ayat Al-Qur’an terdiri dari ayat-ayat muhkamat, maka akan sirnalah
ujian keimanan dan amal karena pengertian ayat yang jelas.
2. Apabila seluruh ayat Al-Qur’an mutasyabihat, niscaya akan padamlah kedudukannya
sebagai penjelas dan petunjuk bagi manusia orang yang benar keimanannya yakin bahwa
Al-Qur’an seluruhnya dari sis Allah, segala yang datang dari sisi Allah pasti hak dan tidak
mungkin bercampur dengan kebatilan.
ِ ‫الَ َيأ ْ ِت ْي ِه ْال َب‬
‫اط ُل ِم ْن َبي ِْن َيدَ ْي ِه َوالَ ِم ْن خ َْل ِف ِه ت َ ْن ِز ْي ٌل ِم ْن َح َكي ٍْم َح ِم ْي ٍد‬

Terjemahan: “Tidak akan datang kepadanya (Al-Qur’an) kebatilan, baik dari depan
maupun dari belakang, yang diturunkan dari Tuhan yang Maha Bijaksana lagi Maha
Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Q.S. Fushshilat [41]: 42)

Al-Qur’an yang berisi ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat, menjadi


motivasi bagi umat Islam untuk terus menerus menggali berbagai kandungannya sehingga
kita akan terhindar dari taklid, membaca Al-Qur’an dengan khusyu’ sambil merenung dan
berpikir.
Ayat-ayat Mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk
mengungkap maksudnya, sehingga menambah pahala bagi orang yang mengkajinya.
Jika Al-Quran mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya
diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan yang lainnya. Hal ini memerlukan
berbagai ilmu, seperti ilmu bahasa, gramatika, ma’ani, ilmu bayan, ushul fiqh dan
sebagainya. Apabila ayat-ayat mutasyabihat itu tidak ada niscaya tidak akan ada ilmu-ilmu
tidak akan muncul.
Menurut Yusuf Qardhawi, adanya muhkam dan mutasyabih sebenarnya merupakan
ke-mahabijaksanaan-Nya Allah, bahwa Al-Qur’an ditujukan kepada semua kalangan, karena
bagi orang yang mengetahui berbagai tabiat manusia, di antara mereka ada yang senang
terhadap bentuk lahiriyah dan telah merasa cukup dengan bentuk literal suatu nash. Ada
yang memberikan perhatian kepada spritualitas suatu nash, dan tidak merasa cukup dengan
bentuk lahiriyahnya saja, sehingga ada orang yang menyerahkan diri kepada Allah dan ada
orang yang melakukan pentakwilan, ada manusia intelek dan manusia spiritual.
mengajarkan ”ajaran” muhkam dan mutasyabih kepada manusia agar kita mengakui
adanya perbedaan karakter pada setiap individu, sehingga kita harus menghargainya. Kalau
kita sebagai guru, sudah sepatutnya meneladani-Nya untuk kita aplikasikan dalam
menyampaikan pelajaran yang dapat diterima oleh peserta didik yang berbeda-beda dalam
kecerdasan dan karakter.

3. Soal:

Jawaban:
Kontekstualisasi Islam merupakan proyek reformasi yang dikembangkan sejumlah
pembaharu Muslim, dari Muhammad Abduh hingga Fazlur Rahman, yang berpengaruh
terhadap pemikiran sarjana-sarjana Muslim hingga saat ini. Bagi Abduh, misalnya, penting
melihat al-Qur’an sebagai kitab hidayah, bukan buku sejarah atau sains. Al-Qur’an tidak
merekam sejarah tertentu atau mengajukan teori saintifik, melainkan mengandung nasihat
dan prinsip-prinsip etis bagi kehidupan manusia, kapan pun dan di mana saja.
Penelurusan prinsip-prinsip universal al-Qur’an dielaborasi oleh Rahman dengan
teori “gerakan dua arah” (double movement). Di satu sisi, pembaca perlu memahami konteks
al-Qur’an secara memadai, baik yang bersifat umum maupun khusus. Termasuk bagaimana
al-Qur’an dipahami saat itu. Di sisi lain, perlu juga diperhatikan konteks yang mengitari
pembaca sekarang. Pembacaan dua arah ini, menurut Rahman, merupakan persyaratan
mutlak bagi tafsir holisti
Tafsir Holistik: Keunggulan dan Kelemahannya
Model pembacaan Rahman cukup berpengaruh di kalangan Muslim progresif dan,
lebih khusus lagi, feminis. Bagaimana memahami ayat-ayat al-Qur’an yang cenderung
diskriminatif terhadap kaum perempuan? Misalnya, soal warisan atau kesaksian di mana
perempuan dinilai setengah dari laki-laki.
Melalui metode double movement, bukan saja pesan egalitarian dan etika kesetaraan
al-Qur’an dapat diungkap, tapi juga watak revolusionernya. Ditilik dari konteks abad ke-7
di Arab, apa yang diajarkan al-Qur’an merupakan terobosan besar. Saat itu, status
perempuan sangat rendah dan kadang diperlakukan sebagai barang. Maka, dengan diberi
bagian warisan atau kesaksiannya diterima (walaupun dinilai setengah dibanding laki-laki),
kaum perempuan telah diangkat derajatnya.
Jadi, nilai kesaksian dan porsi warisan itu terkait dengan situasi tertentu. Karena
kaum perempuan tidak terlibat dalam transaksi publik, maka kesaksiannya perlu didukung
oleh kesaksian orang lain. Dalam konteks sekarang ketika kaum perempuan dan laki-laki
punya kesempatan yang sama, maka pesan egalitarian dan etika kesetaraan al-Qur’an
menuntut agar mereka diperlakukan secara adil dan setara.
Argumen ini pula yang dilansir oleh Prof. Munawir Sjadzali dengan gagasan
“reaktualisasi hukum Islam”-nya. Pada zamannya, gagasan itu cukup menyentak terbukti
dari berbagai reaksi yang muncul, baik di Pakistan maupun di Indonesia. Seperti kita tahu,
Rahman akhirnya memilih hengkang dari Pakistan karena reaksi ulama-ulama konservatif
yang begitu keras, bahkan mengancam keselamatan jiwanya.

Fazlur Rahman
Tentu saja, gagasan Rahman (yang dikembangkan lebih jauh oleh Sjadzali ke dalam
soal hukum waris) punya makna penting. Berpijak pada ide Rahman, beberapa feminis
Muslim, seperti Asma Barlas, membedakan antara al-Qur’an dan tradisi tafsir. Bagi Barlas,
al-Qur’an mengajarkan kesetaraan dan keadilan gender, tapi para mufasir yang
mengembangkan tafsir patriarkis untuk menonjolkan superioritas laki-laki.
So far, so good! Tapi, sekarang mulai tampak kelemahan atau, lebih tepatnya,
keterbatasan dari gagasan Rahman. Walaupun al-Qur’an tidak lagi tampak misoginis atau
diskriminatif, ranah ijtihad Rahman dan juga Sjadzali masih berkutat pada hukum-hukum
al-Qur’an. Mereka terus dibayang-bayangi pertanyaan “seberapa Qur’ani prinsip-prinsip etis
yang mereka gagas itu?” Artinya, ijtihad mereka masih akan berkisar pada “apakah ini sesuai
dengan al-Qur’an atau tidak”.
Ketidak-mampuan Rahman melampaui hukum-hukum al-Qur’an disebabkan
pandangannya tentang wahyu tidak cukup radikal. Saya tidak mengatakan pandangannya itu
tradisional. Untuk mendukung metode double movement, ia menawarkan perspektif yang
berbeda dari konsep tradisional yang menyebut al-Qur’an sebagai wahyu Allah yang
diterima Nabi Muhammad dalam bentuk dikte.
Bagi Rahman, betul, al-Qur’an itu 100% adalah wahyu dari Allah. Tapi al-Qur’an
juga 100% perkataan dari Nabi. Rahman tidak meragukan keilahian asal-usul al-Qur’an, tapi
ia juga mengakui bahwa Kitab Suci kaum Muslim ini menggunakan bahasa dan idiom-idiom
lokal pada zamannya.
Wahyu dalam Perspektif Baru
Saya memahami kesulitan yang dihadapi Rahman. Jika al-Qur’an mengajarkan
prinsip-prinsip egalitarianisme, kenapa perempuan masih diperlakukan tidak setara? Atau,
kenapa perbudakan masih dilegalkan?
Pandangan Rahman tentang konsep wahyu tak akan membuatnya leluasa menjawab
pertanyaan di atas. Dia hanya akan menjawab, well, sikap al-Qur’an terhadap perbudakan
sebenarnya juga revolusioner. Sebab, perbudakan saat itu merupakan kenyataan. Tak
mungkin dihapus sekaligus. Al-Qur’an telah mempersempit rekrutmen pembudakan dan
sebaliknya membuka lebar-lebar pintu memerdekakan budak karena tujuan akhirnya adalah
menghapuskan perbudakan.
Hemat saya, model kontektualisasi Islam ala Rahman ini akan berkembang jika
konsepsi wahyu lebih disegarkan kembali. Wahyu perlu dipahami sebagai keterlibatan Ilahi
secara terus-menerus dalam karir kenabian Muhammad. Jadi, al-Qur’an bukan hanya 100%
wahyu dari Allah dan 100% perkataan Nabi, tapi juga aplikasi pesan-pesan Ilahi yang
dilakukan oleh Nabi untuk merespons kasus tertentu dan dalam konteks tertentu pula.
Untuk memahami bahwa hukum-hukum yang ada di dalam al-Qur’an merupakan
aplikasi pesan Ilahi dalam konteks tertentu, perlu kerangka yang agak teoritis. Saya akan
meminjam kerangka teoritis dari Abdolkarim Suroush. Tentu saja kerangka teoritis ini
bersifat spekulatif karena kita (yang berbicara soal wahyu) tidak pernah merasa menerima
wahyu. Kita sedang membicarakan pengalaman Nabi, bukan pengalaman kita sendiri.
Ketika dalam pengalaman kewahyuan (revelatory experience), kata Suroush, apa pun
yang ada di pikiran Nabi adalah wahyu. Itulah keterlibatan Ilahi secara konstan. Tidak ada
yang ambigu. Semuanya jelas. Ambiguitas muncul saat Nabi perlu merespons situasi
tertentu. Konteks berbeda menuntut respons dan solusi yang berbeda pula.
Jika para mufasir cenderung memahami ayat-ayat yang tampak ambigu dan
ambivalen dalam kerangka kronologi al-Qur’an (Rahman juga suka menggunakan teori
gradualitas ini) dan penerapan teori abrogasi (nasakh), sebenarnya fenomena yang sama
dapat dipahami sebagai bentuk aplikasi Nabi dalam konteks tertentu. Perspektif ini sama
sekali tidak meragukan bahwa Nabi menerima wahyu dari Allah. Pengalaman kewahyuan
itu jelas bersifat Ilahi.
Namun demikian, sebagai aplikasi wahyu dalam konteks tertentu, maka hukum-
hukum al-Qur’an mengandung aspek temporal. Keterlibatan Ilahi itu bersifat universal,
tetapi model-model aplikasinya dibentuk dan dipengaruhi oleh konteks dan kebutuhan lokal.
Jadi, ada hubungan timbal balik antara hukum-hukum al-Qur’an dan situasi historis.
Al-Qur’an itu merespons konteks tertentu dan konteks itu memperngaruhi respons al-
Qur’an. Dari situ kita memahami kenapa sejumlah doktrin al-Qur’an, seperti soal warisan,
kesaksian, dan lain-lain, cukup kental dengan kultur Arab abad ke-7.
Penekanan aspek temporalitas hukum-hukum al-Qur’an punya implikasi penting
bagi upaya kontekstualisasi Islam. Misalnya, sakralitas hukum-hukum tertentu
yang applicable pada zaman tertentu semakin terbuka dipertanyakan. Ini juga mengantarkan
kita lebih bisa memahami mana yang abadi dan tak bisa berubah di satu sisi, dan mana yang
temporal dan terbuka bagi perubahan dan pengembangan, di sisi yang lain.
Juga, tidak mengamalkan aspek temporal yang partikularistik tidak berarti menyalahi
Kitab Suci karena pesan-pesan Ilahi dapat diaplikasikan berbeda dalam konteks yang
berbeda.
Sumber : https://geotimes.co.id/kolom/agama/kontekstualisasi-islam-memikirkan-kembali-
wahyu-al-quran/

4. Soal:
Jawaban:
5. Soal:

Jawaban:
Istilah-istilah yang mencerminkan keberagaman umat Islam seperti tradisionalis,
konservatif, modernis, moderatis, fundamentalis, liberal, skriptualis, substantif, dan
sebagainya, menjadi penanda adanya variasi corak ekspresi keberagaman umat Islam
umumnya, dan umat Islam Indonesia khususnya. Berikut kami jelaskan pengertian tipologi-
tipologi tersebut disertai karakteristiknya masing-masing.

1. Islam tradisionalis
Kata tradisi berasal dari Bahasa Inggris “tradition” yang artinya tradisi. Dalam
kamus Bahasa Indonesia, tradisi memiliki arti segala sesuatu seperti adat, kepercayaan,
kebiasaan, dan ajaran yang turun temurun dari leluhur. Dalam Bahasa Arab, kata tradisi
merupakan salah satu makna dari kata “sunnah” selain daripada makna norma, aturan,
dan kebiasaan. Sedangkan kata sunnah memiliki arti segala yang dibukilkan dari Nabi
Muhammad SAW., baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan,
perjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat menjadi Rasul atau sesudahnya.
Islam tradisional mengandung makna yang luas, karena tradisi pada umumnya
difahami sebagai hasil perlembagaan praktik-praktik keagamaan yang diyakini
bersumber pada Syariah, maka tradisionalisme Islam diyakini oleh para pendukungnya
sebagai Islam murni.
Atas dasar pemikiran tersebut, maka kaum orientalis Barat menyebut kepada setiap
orang yang berpegang teguh kepada as-sunnah Rasulullah SAW., bahkan kepada mereka
yang berpegang teguh pada al-Quran, sebagai kaum tradisionalis. Hal yang demikian itu
mereka dasarkan pada pandangannya, bahwa al-Quran merupakan warisan ajaran dari
Tuhan yang bersifat abadi, sedangkan sunnah merupakan warisan ajaran dari Nabi
Muhammad SAW.

2. Islam Konsevatif
Kesalahan berpikir terbesar muslim konservatif adalah menganggap bahwa
masyarakat Arab pada abad ke 7 Masehi sebagai masyarakat ideal, sehingga seluruh
konstruksi ekonomi, sosial, politik dan budayanya harus dihidupkan kembali secara apa
adanya, hal ini dilakukan demi apa yang mereka yakini sebagai berislam secara
menyeluruh (kaffah). Maka dari itu mereka menerjemahkan Al Qur’an dan Hadits secara
tekstual, juga mengartikan sunnah Nabi Muhammad sebagaimana adanya tanpa
memperhatikan konteks peristiwa. Mereka selalu bertanya “dulu rasul gimana?” tanpa
pernah bertanya “kalau rasul hidup di jaman sekarang beliau akan gimana?”.
Dalam setiap bidang kehidupan muslim konservatif ingin kembali ke sistem yang
digunakan oleh bangsa Arab pada abad ke 7 Masehi. Dalam bidang ekonomi mereka ingin
menggunakan mata uang dinar dan dirham hanya semata-mata karena uang tersebut yang
digunakan oleh Nabi Muhammad. Dalam bidang politik mereka ingin menggunakan
sistem khilafah hanya semata-mata karena nabi dan sahabatnya menggunakan sistem
tersebut. Walau sebetulnya tidak jelas juga sistem khilafah seperti apa yang mereka
maksud, karena aklamasi yang dilakukan para sahabat nabi dalam memilih pemimpin
pasca nabi sebetulnya merupakan bentuk demokrasi juga. Intinya, dalam setiap aspek
kehidupan mereka ingin kembali pada masa 1400 tahun silam di jazirah Arab.
Tepatkah cara berpikir demikian? Tentu tidak, hal itu justru melanggar prinsip
Islam yang sangat mendasar. Dalam Islam, ibadah diatur secara ketat, seluruh ibadah
adalah haram kecuali yang diperintahkan. Sebaliknya, dalam urusan muamalah sangat
liberal, seluruh muamalah adalah boleh kecuali yang dilarang. Artinya dalam ibadah
memang harus mencontoh nabi, tapi dalam muamalah tidak. Kalangan konservatif tidak
memakai prinsip ini, baginya dalam semua hal harus mencontoh nabi, jika tidak ada
contohnya maka tidak boleh dilakukan. Hal ini jelas tidak praktikal, mereka yang
konsisten dengan cara pikir konservatif ini akhirnya menolak banyak aspek dari
kehidupan modern seperti sistem ekonomi, politik dan pemerintahan, bahkan kedokteran
modern. Gerakan anti demokrasi dan gerakan anti vaksinasi yang sekarang merebak di
Indonesia adalah contohnya.
Islam telah menjadi sumber kemajuan bagi pemeluknya pada masa lalu karena
nilai-nilainya yang progresif dan melampaui zamannya. Saat peradaban-peradaban besar
dunia bergantung pada budak untuk membangun kota-kotanya, Islam justru
menganjurkan membebaskan budak. Dalam beberapa hal, kafarat (penebusan) atas
sebuah pelanggaran syariat adalah dengan membebaskan seorang budak. Jadi, Islam pada
abad ke 7 Masehi sudah memiliki visi anti perbudakan dimana pada saat yang sama
perbudakan masih merupakan hal yang dianggap sangat lumrah. Namun kalangan
konservatif akan berbeda melihatnya, mereka melihat bahwa ada dalil-dalil agama yang
mengatur tentang perbudakan sehingga menganggap hukum perbudakan dalam Islam
adalah boleh. Ini adalah contoh cara berpikir yang mengabaikan konteks, ia gagal
menangkap esensi dari ajaran Islam.

Read more: Lost Economist: Islam Konservatif http://rachmad-


satriotomo.blogspot.com/2012/10/islam-
konservatif.html#ixzz52TJIE39F

3. Islam modernis
4.
5. Kata moderins yang berada di belakang kata Islam, berasal dari bahasa Inggris “modernistic” yang
berarti model baru.[16] Selanjutnya dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata modern diartikan
sebagai yang terbaru atau mutakhir.[17]
6. Selanjutnya kata modern erat pula kaitannya dengan kata “modernisasi” yang berarti pembaharuan
atau tajdid dalam bahasa arab. Dalam masyarakat barat, modernisasi mengandung arti pikiran, aliran,
gerakan, dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, instituisi-instituisi lama, dan
sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Kata tersebut selanjutnya masuk ke dalam literature Islam. Dalam hubungan ini
modernisasi mengalami perbedaan dengan modernisasi yang terjadi di Barat.
7. Dalam Islam, modernisasi berarti upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan re-interpretasi
terhadap pemahaman, pemikiran dan pendapat tentang masalah ke-Islaman yang dilakukan oleh
pemikiran terdahulu untuk disesuaikan dengan perkembangan zaman. Dengan demikian yang
diperbaharui adalah hasil pemikiran atau pendapat, dan bukan memperbaharui atau mengubah apa yang
terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits, tetapi merubah atau memperbaharui hasil pemahaman
terhadap al-Qur’an dan al-Hadits.[18]
8. Islam modernis sendiri adalah paham ke-Islaman yang didukung oleh sikap yang rasional, ilmiah serta
sejalan dengan hukum-hukum Tuhan baik yang terdapat dalam al-Quran maupun alam raya. Islam
modernis memiliki pemikiran yang dinamis, progressif dan mengalami penyesuaian dengan ilmu
pengetahuan.

9. Islam modernis timbul di periode sejarah Islam yang disebut modern dan mempunyai tujuan untuk
membawa umat Islam kepada kemajuan. Gerakan Islam modernis timbul dalam rangka menyesuaikan
paham-paham keagamaan Islam dengan perkembangan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan. Dengan jalan demikian pemimpin-pemimpin Islam modern mengharapkan akan dapat
melepaskan umat Islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa kepada kemajuan.

10. Gerakan Islam modernis juga timbul sebagai respon terhadap berbagai keterbelakangan yang dialami
oleh umat Islam, seperti keterbelakangan dalam bidang ekonomi, pendidikan, ilmu pengetahuan,
kebudayaan, politik dan lain sebagainya. Keadaan ini dianggap tidak sejalan dengan Islam sebagaimana
terdapat dalam al-Quran dan Sunnah. Dalam kedua sumber ajaran tersebut, Islam digambarkan sebagai
agama yang membawa kepada kemajuan dalam segala bidang untuk menciptakan kemaslahatan bagi
manusia.
11. Islam moderative
Istilah moderat (moderate) berasal dari bahasa Latin moderare yang artinya mengurangi
atau mengontrol. Kamus The American Heritage Dictionary of the English Language
mendefinisikan moderate sebagai: not excessive or extreme (tidak berlebihan dalam hal
tertentu). Kesimpulan awal dari makna etimologi ini bahwa moderat mengandung makna
obyektif dan tidak ekstrim, sehingga definisi akurat Islam Moderat adalah Nilai-nilai islam
yang dibangun atas dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan (I’tidal dan
wasath). Sebagai satu sistem ajaran dan nilai, sepanjang sejarahnya, Islam tidak menafikan
kemungkinan mengambil istilah-istilah asing untuk diadopsi menjadi istilah baru dalam
khazanah Islam. Tetapi, istilah baru itu harus benar-benar diberi makna baru, yang sesuai
dengan Islam. Istilah itu tidak dibiarkan liar, seperti maknanya yang asli dalam agama atau
peradaban lain. Kita sudah banyak mengambil istilah baru dalam Islam, seperti istilah
“agama”, “pahala”, “dosa”, “sorga”, “neraka”, yang berasal dari tradisi Hindu, tetapi kita
berikan makna baru yang sesuai dengan konsep Islam. Dari peradaban Barat saat ini, kita
mengambil banyak istilah, seperti istilah “worldview”, “ideologi”, dan sebagainya. Semua
istilah bisa diadopsi, asalkan sudah mengalami proses adapsi (penyesuaian makna) dengan
makna di dalam Islam, sehingga tidak menimbulkan kekacauan makna. Menurut Syaikh
Yusuf Al Qardhawi, Wasatiyah (pemahaman moderat) adalah salah satu karakteristik islam
َ ََ ُ َْ ُ
yang tidak dimiliki oleh Ideologi-ideologi lain. Dalam alquran di jelaskan: ‫أ َّمة َج َعلناكم َوكذ ِلك‬
‫ َو َسطا‬Artinya : Dan demikianlah aku jadikan kalian sebagai Umat yang pertengahan.(QS. Al
Baqarah: 143). Beliau termasuk deretan ulama yang menyeru kepada dakwah islam yang
moderat dan menentang segala bentuk pemikiran yang liberal dan Radikal. Liberal dalam
arti memahami islam dengan standar hawa nafsu dan murni logika yang cenderung mencari
pembenaran yang tidak ilmiah. Radikal dalam arti memaknai islam dalam tataran tekstual
yang menghilangkan fleksibilitas ajarannya. Sehingga terkesan kaku dan tidak mampu
membaca realitas hidup. Padahal Rasulullah menegaskan : ‫الذين أهلك فإنما ؛ الدين ف والغلو إياكم‬
‫دينهم ف غلوهم قبلكم من‬. ‫ البخاري رواه‬Artinya : Hindarilah sifat berlebihan dalam agama. Karena
Umat sebelum kalian hancur hanya karena sifat tersebut. (HR. Bukhari) Di dalam istilah ini,
tercermin karakter dasar Islam yang terpenting yang membedakan manhaj Islam dari
metodologi-metodologi yang ada pada paham-paham, aliran-aliran, serta falsafah lain. Sikap
wasathiyah Islam adalah satu sikap penolakan terhadap ekstremitas dalam bentuk
kezaliman dan kebathilan. Ia tidak lain merupakan cerminan dari fithrah asli manusia yang
suci yang belum tercemar pengaruh-pengaruh negatif.

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

12. Islam fundamentalis


13. Kata “fundamentalis” berasal dari bahasa Inggris yang berarti pokok, asas, fundamental.[22] Sedangkan
kata pokok atau asas dalam bahasa Indonesia berarti dasar, alas, pondamen, atau sesuatu yang menjadi
pokok dasar atas tumpuan berfikir (berpendapat) dan sebagainya serta cita-cita yang menjadi dasar.[23]
14. Jika pengertian kebebasan dari dua kata tersebut disatukan, yakni Islam Fundamentalis, maka
pengertiannya adalah Islam yang dalam pemahaman dan praktiknya bertumpu kepada hal-hal yang
asasi. Dengan demikian secara harfiah semua orang Islam yang percaya kepada Rukun Iman yang enam
dan menjalankan Rukun Islam yang lima dapat disebut sebagai Islam Fundamentalis, karena apa yang
disebut ajaran fundamental dalam Islam tercakup dalam Rukun Iman dan Rukun Islam itu.[24]
15. Fundamentalisme Islam dalam pengertian dasarnya adalah sikap dan pandangan yang berpegang teguh
kepada hal-hal yang dasar dan pokok dalam Islam dengan tidak mempertentangkannya dengan ilmu
pengetahuan dan teknologi

16. Islam liberal

Islam Liberal tersusun dari kata Islam dan Liberal. Kata Islam mengacu kepada agama
yang dibawa oleh para Nabi dan Rasul sejak Adam hingga Muhammad saw, dengan misi
utamanya membawa manusia agar patuh dan tunduk kepada Tuhan sehingga tercapai
kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Adapun kata liberal berasal dari bahasa Inggris, liberal yang berarti bebas, liberal, tidak
berpolitik. Selanjutnya dikalangan para penulis banyak yang menggunakan Islam Liberal
dengan beberapa pengertian yang amat beragam. Makna Islam Liberal tampaknya
bergeser dari makna sesungguhnya.
Bagi penulis, Islam Liberal bukanlah Islam yang membebaskan kepada penganutnya
untuk berbuat sesuka hati menafsirkan ajaran Islam, Islam Liberal hanya memberikan
kembali terhadap pemikiran, paham, pendapat, gagasan, pranata yang dihasilkan masa
lalu untuk dikontekstualkan dan dirubah sesuai dengan tuntutan zaman.
Islam Liberal bukan seperti paham yang meninggalkan agama dalam mengejar kemajuan
sebagaimana terdapat di Barat. Bukan berusaha mensekulerkan umat dengan hanya
mengkaji agama dan membungkam persoalan yang lain.

17. Islam skriptualis

18. Islam substantif


Sumber :
https://tahdits.wordpress.com/2015/06/03/islam-tradisionalis-modernis-dan-fundamentalis/
http://rachmad-satriotomo.blogspot.co.id/2012/10/islam-konservatif.html
6.

Jawaban:

7.

Jawaban:

8.
Jawaban:

9.
Jawaban:

10.
Jawaban:

11.
Jawaban:

12.
Jawaban:

13.
Jawaban:

Anda mungkin juga menyukai