Anda di halaman 1dari 15

Pluralisme Baduy: Dari Mitos Ke Realitas

Oleh: Abdurrahman Misno Bambang Prawiro


STAI Al-Hidayah Bogor
Telp. 085885753838
ambp1979@yahoo.com

Abstrak
Indonesia adalah wilayah dengan banyak suku, setiap suku memiliki adat-istiadat yang berbeda-
beda. Walaupun demikian mereka memiliki ikatan dalam bentuk semboyan negara yaitu Bhineka
Tunggal Ika. Semboyan ini didasarkan pada filosofi yang dianut oleh setiap suku bangsa dalam
bentuk ajaran-ajaran nenek moyang berupa pantun, sajak, guguritan, sejarah dan mitos. Mitos adalah
cerita tentang hal-hal yang terjadi pada masa lalu dalam bentuk sejarah asal-usul manusia dan alam,
atau asal-usul suatu suku bangsa. Mitos sebagai local wisdom diyakini kebenarannya oleh setiap
anggota suku kemudian teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Termasuk ketika mitos itu
menyajikan tentang keanekaragaman budaya manusia (pluralitas), maka masyarakat akan
melaksanakan isi dari mitos tersebut. Bagaimana dengan masyarakat Baduy di Banten, apakah
mereka memiliki mitos dan mengaplikasikan mitos tentang pluralisme tersebut?
Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi untuk menggambarkan mitos pada
masyarakat Baduy yang teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Tekhnik pengumpulan data
adalah observasi langsung (direct observation) ke wilayah Baduy di Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten Indonesia. Selain itu dilakukan wawancara
mendalam (deep interview) dengan Jaro (kepala suku) kampung Cibeo dan Cikeusik Baduy Dalam
serta beberapa tokoh adat Baduy. Penelusuran data kepustakaan yang relevan untuk memperkuat
argumentas.
Suku Baduy adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki mitos mengenai penciptaan
alam raya, asal-usul manusia, hingga mitos tentang kejadian-kejadian yang akan terjadi. Mitos
tentang asal-usul manusia pada suku Baduy dimulai dengan penciptaan Adam sebagai manusia
pertama, kemudian ia beranak-pinak dan memiliki keturunan yang melahirkan seluruh suku bangsa
di dunia. Karena setiap manusia di dunia adalah anak cucu Adam maka suku Baduy meyakini bahwa
seluruh umat manusia adalah dulur (saudara) walaupun berbeda adat-istiadat dan agama. Realitas
kehidupan sosial masyarakat Baduy, baik Baduy Dalam atau Baduy Luar mereka sangat
menghormati seluruh manusia walaupun berbeda budaya dan agama. Larangan untuk memasuki
Kampung Adat Baduy Dalam bagi orang bule adalah karena faktor sejarah yaitu perjanjian yang
dilakukan oleh nenek moyang mereka dengan pihak Belanda. Simpulan dari penelitian ini adalah
bahwa masyarakat Baduy adalah masyarakat yang memahami pluralitas budaya, hal ini didasarkan
pada mitos yang mereka yakini dan aplikasi toleransi mereka terhadap agama lain.

Key Word: Pluralisme, Baduy, Lebak Banten, Mitos dan Realitas


A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah sebuah wilayah yang memiliki beraneka ragam suku bangsa, masing-masing
suku bangsa tersebut memiliki keyakinan agama, tradisi, budaya, dan adat-istiadat yang berbeda-
beda. Walaupun berbeda-beda suku bangsa, mereka hidup rukun dan damai dalam satu ikatan
semboyan Bhineka Tunggal Ika yaitu berbeda suku bangsa namun tetap dalam satu ikatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Ikatan Bhineka Tunggal Ika ini sangat kokoh disebabkan keyakinan
masing-masing suku bangsa yang memiliki basis penerimaan dan penghormatan kepada suku bangsa
lainnya dalam bentuk ajaran-ajaran nenek moyang berupa pantun, sajak, tembang, guguritan dan
juga mitos.
Mitos adalah salah satu unsur budaya pada setiap masyarakat dan dianggap sebagai bagian dari
rekaman perjalanan sejarah budaya masyarakat tersebut. Mitos adalah suatu sistem komunikasi yang
memberikan pesan yang berkenaan dengan aturan-aturan masa lalu, ide, ingatan dan kenangan atau
keputusan-keputusan yang diyakini (Barthes, 1981:193). Maka mitos bukanlah sebuah benda,
konsep, atau gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana atau diskursus. Oleh karena
itu, mitos selalu muncul dalam bentuk perlambangan (Hasanudin, 1998:2). Dalam perspektif
semiotik, mitos dianggap sebagai suatu sistem semiotik, yakni adanya tanda, penanda, dan yang
ditandai. Mitos yang berkembang pada masyarakat Indonesia beraneka ragam, dari mulai cerita-
cerita tentang penciptaan alam semesta, asal-usul manusia hingga kejadian yang akan terjadi sebagai
akhir kehidupan dunia. Mitos-mitos tersebut diyakini kebenarannya dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Maka mitos tidak bisa dianggap hanya sebagai sebuah cerita fiktif belaka, ia menjadi basis
perilaku masyarakat dan sebagai pedoman dalam menilai sesuatu. Inilah salah satu dari fungsi Mitos,
Mircea Eliade berpendapat bahwa salah satu fungsi penting mitos adalah untuk membangun suatu
model perilaku (Elliade, 1963: 8) selain itu mitos juga dapat memberikan pengalaman religious
(religious experiences). Dengan menceritakan atau memeragakan dan menagmalkan mitos, anggota
suatu masyarakat tradisional dapat merasa lepas dari masa kini dan kembali lagi ke zaman mitis,
sehingga membawa mereka dekat dengan ilahi. (Honko, 1984: 49). Lauri Honko menegaskan bahwa
dalam beberapa kasus, suatu masyarakat akan menghidupkan kembali suatu mitos untuk
menciptakan kembali suasana zaman mitis. Sebagai contoh, akan diperagakan kembali penyembuhan
yang dilakukan dewa pada zaman purba dalam upaya penyembuhan seseorang di masa kini (Honko,
1984: 49). Tak jauh berbeda, Roland Barthes berpendapat bahwa budaya modern mengeksplorasi
pengalaman religius. Karena tugas sains bukanlah menegakkan moral manusia, suatu pengalaman
religius adalah upaya untuk terhubung dengan perasaan moral di masa lalu, yang kontras dengan
dunia teknologi di zaman sekarang. Sementara itu Joseph Campbell menyatakan mitos memiliki
empat fungsi utama: Fungsi Mistis—menafsirkan kekaguman atas alam semesta; Fungsi
Kosmologis—menjelaskan bentuk alam semesta; Fungsi Sosiologis—mendukung dan mengesahkan
tata tertib sosial tertentu; dan Fungsi Pendagogis—bagaimana menjalani hidup sebagai manusia
dalam keadaan apa pun (Campbell, 1998: 22-23).
Mitos sebagai sebuah local wisdom diyakini oleh setiap suku bangsa dan diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Isi mitos sendiri bersifat global dan universal dalam arti berisi petuah-petuah
nenek moyang yang dijadikan pedoman bagi kehidupan generasi suatu suku bangsa setelahnya. Di
antara suku bangsa di Indonesia yang memiliki mitos sebagai salah satu dari pedoman dalam
menjalani kehidupannya adalah masyarakat Baduy yang tinggal Desa Kanekes Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Propinsi Banten. Hingga saat ini mereka sangat kuat berpegang teguh
kepada Pikukuh Karuhun1 baik yang berasal dari mitos ataupun amanat-amanat leluhur yang
diceritakan secara turun-temurun. Masyarakat Baduy adalah masyarakat yang dengan sengaja
menutup diri dari budaya luar yang bertentangan dengan nilai budaya mereka. Mereka tinggal dan
membentuk masyarakat tersendiri di tengah hutan belantara di kawasan Gunung Kendeng wilayah
Lebak Banten.
Walaupun mereka memilih untuk memproteksi diri dari masyarakat luar namun sikap tertutup
tersebut tidak berarti menghilangkan perilaku menghormati budaya lain. Sebaliknya mitos yang
diyakini oleh mereka menunjukan pondasi dasar sebuah keyakinan bahwa awal dari seluruh umat
manusia adalah satu yaitu Nabi Adam, dan mereka adalah keturunan langsung dari manusia pertama
tersebut. Selanjutnya Nabi Adam memiliki beberapa keturunan yang masing-masingnya menyebar
ke seluruh penjuru dunia. Keturunan tersebut telah beranak-pinak dan menjadi berbagai suku bangsa
yang ada di seluruh dunia. Mereka memiliki adat-istiadat dan budaya yang bermacam-macam yang
dalam pandangan Baduy semuanya memiliki tugas untuk meramaikan dunia (wawancara Jaro Sami:
2013).
Adanya mitos ini teraplikasi dalam perilaku mereka sehari-hari dalam bentuk sikap
menghormati, menghargai dan menganggap orang lain di luar sukunya sebagai dulur (saudara) jauh.
Realitas ini menunjukan bahwa suku Baduy adalah suku yang fleksibel dalam menghadapi budaya
lain di luar budayanya sendiri. Lebih jauh lagi mereka juga menghormati seluruh kepercayaan di luar
kepercayaan mereka semisal agama Islam, Kristen dan agama lainnya (wawancara Jaro Alim
Cikeusik)
Berdasarkan latar belakang masalah maka didapati bahwa masyarakat Baduy bukanlah
masyarakat yang kaku dengan adat-istiadatnya. Pada beberapa adat yang terkait langsung dengan

1
Petunjuk Leluhur yang mereka peroleh dari nenek moyang dalam bentuk aturan-aturan yang berkaitan dengan
masalah-masalah pribadi dan sosial.
sturktur budaya memang mereka sangat ketat melaksanakannya, namun dalam hal yang berkaitan
dengan budaya orang lain maka mereka bersikap terbuka, menghormati dan tidak jarang mereka
bersimpati dan mengadopsi budaya orang lain tersebut, tentunya dengan syarat jika tidak
bertentangan dengan budaya mereka. Kemudian, muncul pertanyaan, bagaimana paham pluralisme
menurut Baduy? Apakah mereka memiliki pemahaman yang ekslusif atau inklusif dalam adat-
istiadatnya? Mitos apa yang mendasari penghormatan mereka kepada budaya lainnya? Serta
bagaimana sikap sehari-hari mereka terhadap budaya di luar adat-istiadat mereka? Pertanyaan-
pertanyaan ini sangat menarik untuk dicari jawabannya.
Fokus penelitian ini adalah akan mengkaji mengenai Pluralisme Baduy, studi ini dimulai
dengan kajian mitos yang berkembang khususnya mengenai asal-usul manusia pada budaya Baduy
serta budaya di luar mereka. Kemudian dilanjutkan dengan studi persepsi dan perilaku sikap
pluralisme yang mereka aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk sikap hidup yang
memberikan ruang kepada suku bangsa lain untuk bisa hidup berdampingan, saling menghargai dan
menghormati. Dengan penelitian ini diharapkan akan tergambarkan secara rinci mengenai pluralisme
menurut masyarakat Baduy dan aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu diharapkan akan
dapat memberikan informasi yang lebih utuh mengenai budaya Baduy yang sejak awal telah siap
untuk berdialog dan saling bertoleransi dengan budaya lainnya.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi, pendekatan ini
digunakan untuk memberikan gambaran secara apa adanya mengenai mitos dan sikap hidup
masyarakat Baduy. Sumber data diperoleh dengan observasi langsung (direct observation) ke lokasi
penelitian yaitu suku Baduy di Desa Kenekes, Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi
Banten Indonesia. Selain itu dilakukan pula wawancara mendalam (deep interview) dengan Jaro
(kepala Suku) di kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo sebagai pusat pemerintahan Baduy
Dalam. Untuk melengkapi data dilakukan pula kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini.
Tekhnik analisis data menggunakan deskriptif analisis yaitu mendeskripsikan mitos yang ada pada
masyarakat Baduy dan perilaku mereka yang berbasis mitos tersebut. Selanjutnya data yang telah
dideskripsikan dianalisis dengan pendekatan tafsir kebudayaan (Clifford Geertz: 1993)

B. Demografi dan Asal-usul Suku Baduy


Suku Baduy adalah sekelompok masyarakat adat yang mendiami wilayah di sekitar
Pegunungan Kendeng, secara administratif wilayah ini masuk ke dalam Desa Kanekes, Kecamatan
Leuwidamar Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Luas wilayah yang menjadi tanah ulayat Baduy
adalah 5.101,85 hektar (Asep Kurnia: 2010). Sebagian besar tanahnya merupakan dataran tinggi
yang bergunung dengan lembah-lembah yang merupakan daerah aliran sungai dan hulu-hulu sungai
yang mengalir ke sebelah utara. Bagian tengah dan selatan desa merupakan hutan lindung atau Orang
Baduy sering menyebutnya leuweung karamat (hutan tutupan).
Suku Baduy memiliki tiga tangtu (pusat pemerintahan) yang berpusat di Cikeusik, Cikertawana
dan Cibeo. Selain tiga lembur (kampung) ini terdapat 58 kampung yang menjadi pemukiman bagi
masyarakat Baduy Luar. Menurut pembagian tempat tinggalnya masyarakat suku Baduy dibagi
menjadi tiga kelompok yang tinggal di daerah yang berbeda-beda. Kelompok tersebut adalah:
1. Baduy Dalam (Kanekes Dalam)
2. Baduy Luar (Kanekes Luar)
3. Baduy Dangka
Masyarakat Baduy Dalam adalah masyarakat yang menempati tiga wilayah utama Kanekes,
yakni Kampung Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Masyarakat ini sangat memegang teguh pikukuh
karuhun (adat istiadat)nya, misalnya mereka hanya dibolehkan menggunakan pakaian dengan dua
warna yaitu putih dan hitam, selain itu mereka juga mengenakan totopong (ikat kepala) berwarna
putih. Masyarakat Baduy Dalam tidak menggunakan benda-benda yang berbau modern, seperti alat
elektronik dan bahan kimia. Pakaian yang digunakan pun harus dijahit sendiri berasal dari bahan-
bahan yang alami di sekitar masyarakat tersebut tinggal. Jika ada pakaian yang dijahit, bisa
dipastikan mereka menjahitnya sendiri dengan tangan (Asep Kurnia, 2010).
Kelompok yang kedua adalah masyarakat suku Baduy Luar yang berciri khas pakaian hitam
atau biru tua. Mereka juga menggunakan ikat kepala seperti masyarakat Baduy Dalam, namun
berwarna hitam dan batik dengan warna dominan biru. Masyarakat ini tinggal di desa yang
mengelilingi kampung utama wilayah Kanekes. Masyarakat Baduy Luar ini bisa dikatakan adalah
suku Baduy yang diasingkan karena beberapa alasan seperti melanggar peraturan adat yang ada
dalam wilayah Kanekes dalam, menikah dengan orang luar Kanekes Dalam atau mengundurkan diri
dari Baduy Dalam dengan berbagai macam alasan. Pada asalnya Baduy Luar adalah kelompok
Baduy yang sejak awal ditugasknan untuk menjaga keaslian dari Baduy dalam, sehingga fungsi
mereka seperti alat penyaring bagi setiap budaya asing yang akan masuk ke Baduy Dalam
(wawancara dengan jaro Sami Cibeo). Oleh karena itu pada masyarakat Baduy Luar saat ini sudah
ada yang menggunakan alat-alat modern seperti Hand Phone, barang elektronik, bahan kimia dan
teknologi lainnya. Namun dalam beberapa hal, masyarakat Baduy Luar masih menerima dan
mengakui sebagian adat masyarakat Baduy. Inilah yang membedakan kelompok Baduy Luar dengan
Baduy Dalam.
Kelompok ketiga, yakni Baduy Dangka, mereka yang sudah benar-benar keluar dari suku
Baduy, baik secara geografis maupun secara adat istiadat. Mereka merupakan keturunan suku Baduy
Dalam atau Luar, namun umumnya sudah tidak tinggal di wilayah Kanekes misalnya tinggal di
wilayah Baduy Kompol di Kecamatan Leuwidamar. Walaupun secara kewajiban mereka tidak
mengikuti adat Baduy namun kesadaran mereka masih tetap mengaku sebagai orang Baduy dan
dalam beberapa segi kehidupan mereka masih tetap mengikuti adat-istiadat Baduy. Hal ini terbukti
ketika dilaksanakan ritual di Baduy Dalam sebagian mereka juga masih mengikutinya.
Masyarakat Baduy tidak mengenal budaya tulisan, mereka hanya mengenal bahasa lisan. Oleh
karena itu, asal-usul mereka dicatat dalam ingatan dari generasi ke generasi dalam cerita tentang
karuhun mereka. Masyarakat Baduy melihat tentang catatan waktu ialah segala peristiwa dalam
kehidupan masyarakatnya, proses waktu merupakan perjalanan riwayat dunia yang setara dengan
keadaan alam semesta. Demikian juga halnya mengenai asal dan sebutan Orang Baduy sebaiknya
dilihat dari segi apakah anggapan mereka tentang dirinya sendiri, yaitu berbagai kaitan karuhun
dengan alam semesta menurut perputaran waktu dan masa yang menempatkan mereka pada
posisinya tertentu seperti digariskan pada awal eksistensinya.
Asal-usul dan sebutan terhadap orang Baduy dapat dibagi pada dua jenis, yaitu sebutan yang
diberikan oleh orang luar masyarakatnya dan mereka menyebut dirinya sendiri. Sebutan mana yang
lebih dikenal akan tergantung pula pada kekerapan istilah itu menurut kebiasaan dan keinginan para
pemakai istilah. Dalam menelaah penggunaan sebutan untuk orang Baduy, adalah menarik ditinjau
bagaimana sebutan itu digunakan dalam jangka waktu yang panjang selama beberapa ratus tahun
silam. Dengan demikian, nama Baduy kini seperti telah digunakan sebagai sebutan untuk kelompok
masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes, tampaknya bermula setelah agama Islam masuk ke
wilayah Banten utara pada Abad ke-16 (Edi S Ekadjati: 2009).
Istilah Baduy saat ini lebih popular dan diterima oleh Baduy sendiri yang mendiami Desa
Kanekes, walaupun mereka juga terkadang disebut dengan orang Rawayan atau urang Kanekes.
Walaupun sudah diterima sebagai istilah baku, beberapa peneliti masih mencari istilah bagi
masyarakat ini. Misalnya penulis-penulis asing pada permulaan Abad ke-18 dan Abad ke-19
memperlihatkan perkiraan yang mempertimbangkan semua aspek dan mencoba mencari jawabannya,
termasuk aspek linguistik (misalnya, Jacobs dan Meijer, 1891; Pennings, 1902). Pembakuan sebutan
Badawi, Badoeien, Badoei dan Bedoeis oleh orang-orang Belanda seringkali ditunjang pula oleh
laporan-laporan resmi para pejabat pemerintahan kolonial. Karena itu, ada pula kemungkinan bahwa
kata Badoeis, Bedoeis dikaitkan dengan kata badwi yaitu kelompok masyarakat Arab yang hidup
secara nomaden di gurun pasir. Selain kata itu Baduy juga kadangkala dikaitkan dengan kata
Buddha, budha yang berarti tidak beragama Islam.
Pleyte (1909), memberikan alasan tentang sebutan Baduy itu dikaitkan dengan unsur
kebudayaan mereka sendiri. Ia mengemukakan bahwa kata Baduy tidak ada konotasi sebagai kata
hinaan dan juga tidak ada kaitannya dengan kata Badwi, tetapi semata-mata nama Baduy yang
berasal dari kata Cibaduy, nama sungai di sebelah utara Desa Kanekes. Itu artinya, untuk menyebut
diri sendiri memang merupakan salah satu kebiasaan masyarakat Sunda menyebut nama kampung
atau tempat bermukim, tempat dilahirkan atau tempat yang dapat memberikan arti penting dalam
kehidupannya. Sehubungan dengan itu, tidaklah mengherankan apabila sebutan urang Kanekes
dipakai pula oleh mereka, sebagai sebutan yang menekankan hakekat dan nilai budayanya yaitu
berasal dari Desa Kanekes.
Sebagaimana beberapa pendapat ahli dari Eropa, wawancara yang dilakukan dengan kokolot
(sesepuh) Baduy menyebutkan bahwa mereka disebut Baduy karena di wilayah mereka terdapat
Bukit Baduy dan sungai Cibaduy sehingga orang-orang yang tinggal di wilayah tersebut dikenal
dengan orang-orang Baduy. Inilah pendapat yang sesuai dengan pengakuan dari mereka sebagai
pemilik budaya Baduy (Wawancara dengan Jaro Sami Cibeo).
Mengenai asal-usul Baduy juga menjadi masalah tersendiri beberapa peneliti Eropa seperti
Jacobs dan Meijer, 1891; van Trich, 1929; Geisi, 1952 menyatakan bahwa asal-usul Baduy adalah
merupakan penduduk asli wilayah tersebut, sementara penulis-penulis setelah kemerdekaan
Indonesia seringkali mengaitkan asal-usul mereka dengan keruntuhan kerajaan Sunda-Hindu terakhir
di Jawa Barat, yaitu kerajaan Pajajaran pada Abad ke-15 (Djunaedi dkk., 1985; dan Danasasmita,
1986). Baduy adalah keturunan dari pelarian keraton Pajajaran yang melarikan diri ke sebelah selatan
Banten dan terdesak oleh serangan Sultan Hasanuddin yang menyebarkan agama Islam di kawasan
itu.
Orang-orang Baduy sendiri menolak pendapat yang menyatakan asal-usul mereka dari pelarian
kerajaan Pajajaran atau Kesultanan Banten. Ayah Mursyid sebagai Wakil Jaro Tangstu Cibeo
berpendapat: “Kami teu sebeh melengek kana cerita nu nganggap kami ieu asal tina katurunan
masyarakat pelarian atawa pengungsian ti karajaan kasultanan Banten baheula. Eta anggapan the
sarua jeung ngarendahkeun harkat martabat kami, saba masyarakat palarian hartina hiji
masyarakat nu boga kesalahan , atawa masyarakat nu pagaweanana ngalawan atawa masyarakat
nu geus teu aya guna atawa teu dipake ku masayarakat lainnya” artinya “Kami tidak habis pikir
terhadap cerita yang menganggap bahwa kami ini berasal dari keturunan masyarakat pelarian atau
pengungsi dari kerajaan Banten lama. Anggapan ini sama saja dengan merendahkan harkat dan
martabat kesukukan kami sebab masyarakat pelarian mengandung arti salah satu masyarakat yang
dianggap punya kesalahan, atau masyarakat yang pekerjaannya melawan atau masyarakat yang
sudah tidak berguna atau sudah tidak terpakai oleh masyarakat lainnya.
Dari wawancara ini jelas menunjukan bahwa asal-usul dari Baduy sesuai dengan pengakuan
mereka adalah merupakan masyarakat asli yang sejak awal tinggal di sana. Mereka memiliki
kewajiban untuk menjaga keharmonisan alam sesuai dengan perintah Adam Tunggal yang menjadi
utusan Tuhan yang menjadi leluhur mereka. Pendapat ini disetujui oleh seluruh tokoh adat yang
penulis wawancarai yaitu Jaro Sami, Jaro Alim, Jaro Dainah, Ayah Mursyid, Ayah Nanih dan
beberapa tokoh adat lainnya.

Sistem Religi Suku Baduy


Masyarakat Baduy memiliki kepercayaan bahwa alam semesta ini dikuasai oleh Sang Pencipta
yaitu Nu Ngersakeun. Tradisi lama mereka meyakini bahwa wilayah mereka adalah awal dan sumber
dari seluruh alam semesta. Argumentasi yang mereka yakini adalah bahwa mereka keturunan Nabi
Adam yang diutus ke muka bumi setelah dikeluarkan dari Surga. Konsep Adam dalam tradisi mereka
sedikit berbeda dengan keyakinan yang ada dalam Islam dan agama samawi lainnya. Dari
wawancara dengan Jaro Sami sebagai Jaro Cibeo diketahui bahwa Adam bukanlah hanya satu
pribadi melainkan ada empat sampai tujuh pribadi. Masing-masing Adam memiliki tugas tersendiri
yang diamanatkan oleh Tuhan. Adam Tunggal adalah leluhur Baduy yang diberi amanat untuk
menjaga kabuyutan yang ada di wilayah Baduy maka keturunannya melanjutkan tugas tersebut
menjaga keseimbangan alam (bertapa dengan beribadah kepada alam), selain itu tugas mereka yaitu
ngasuh ratu nyanyak menak (menasehati raja dan penguasa negara).
Konsep keyakinan masyarakat Baduy tidak terlepas dari filosofi Sunda, sebagai Urang Sunda
mereka meyakini adanya tiga dunia yaitu Buwana (Dunia) Panca Luhur, Dunia Panca Tengah dan
Dunia Panca Handap. Dunia Panca Luhur merupakan dunia bagi Sang Pencipta dan ruh-ruh para
leluhur yang suci yang selalu mengawasi kehidupan suku mereka. Pada buwana ini juga terdapat
dunia Guriang yaitu sebuah dunia yang dihuni oleh para leluhur mereka yang telah meninggal dunia.
Hanya para puun (kepala suku) yang mampu berkomunikasi dengan dunia ini. Dunia Panca Tengah
adalah dunia yang saat ini dihuni oleh manusia, manusia diberikan kewajiban-kewajiban yang harus
dilaksanakan untuk bekal menuju alam berikutnya. Pada Dunia Panca Tengah manusia
melaksanakan setiap perintah dan larangan yang menjadi warisan dari leluhur, larangan-larangan
tersebut dalam bentuk tabu/pamali atau buyut yang berarti sesuatu yang tidak boleh dilakukan.
Apabila buyut tersebut dilanggar maka akan mendapatkan sanksi dari adat dan dari leluhur mereka.
Selanjutnya yaitu Dunia Panca Handap, alam ini merupakan alam setelah kematian yang dihuni oleh
para dedemit dan ruh orang-orang jahat. Dalam konsep Islam alam ini disebut dengan neraka (Edi S
Ekadjati, 2010) .
Dasar religi orang Baduy ialah penghoramatan ruh nenek moyang dan kepercayaan kepada satu
kuasa, Batara Tunggal. Keyakinan mereka itu disebut Sunda Wiwitan atau agama Sunda Wiwitan.
Orientasi, konsep-konsep dan kegiatan-kegiatan keagamaan ditujukan kepada pikukuh karuhun agar
manusia bisa hidup sesuai dengan alur yang telah ditentukan oleh nenek moyang. Misalnya Orang
Baduy meyakini bahwa mereka adalah kelompok tua yang memiliki kewajiban untuk menjaga tanah
suci Kanekes, sementara manusia lainnya adalah kelompok muda yang bertugas meramaikan alam
raya. Keyakinan suku Baduy adalah mereka memiliki tugas untuk menyejahterakan dunia melalui
tapa (perbuatan, bekerja) dan melaksanakan pikukuh karuhun, apabila Kanekes sebagai inti jagat
selalu terpelihara baik, maka seluruh kehidupan dunia akan aman sejahtera. Gangguan terhadap inti
bumi ini berakibat fatal bagi seluruh kehidupan manusia di dunia. Konsep keagamaan dan adat
terpenting yang menjadi inti pikukuh Baduy adalah prinsip “Tanpa Perubahan Apa Pun”, seperti
dikemukakan oleh peribahasa “lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung”
(panjang tak boleh dipotong, pendek tak boleh disambung). Konsep-konsep itu tidak berada dalam
diri orang Baduy sendiri yang kekuatannya tergantung dari tindakan atau perbuatan seseorang di luar
budaya mereka. Konsep pikukuh merupakan pengejawantahan dari adat dan keagamaan yang
ditentukan oleh intensitas konsep mengenai karya dan keagamaan masing-masing individu. Dengan
melaksanakan semua adat-istiadat berupa pikukuh karuhun itu maka orang Baduy akan dilindungi
oleh yang memiliki kuasa tertinggi yaitu Batara Tunggal, melalui para guriang yang dikirim oleh
karuhun, sebaliknya jika adat-istiadat tersebut dilanggar maka Batara Tunggal akan memberikan
bala dan bencana bagi Baduy dan masyarakat pada umumnya.
Pucuk kepemimpinan tertinggi pada suku Baduy adalah Puun, jumlah mereka ada tiga dan ada
pada tiga kapuunan yaitu Cikeusik, Cikertawana dan Cibeo. Posisi puun bukan hanya sebagai
pemimpin tertinggi, lebih dari itu secara spiritual mereka adalah keturunan karuhun, yang langsung
mewakili mereka di dunia. Ada beberapa konsep yang merupakan kewajiban puun dalam rangka
melaksanakan pikukuh karuhun, yaitu memelihara Sasaka Pusaka Buana; memelihara Sasaka Domas
atau Parahyang; mengasuh dan memelihara para bangsawan/pejabat; bertapa bagi kesejahteraan
dunia; berbakti kepada dewi padi dengan berpuasa pada upacara, memuja nenek-moyang, dan
membuat laksa untuk bahan pokok ritual Seba (Garna: 1988).
Nenek moyang orang Baduy dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu nenek moyang yang
berasal dari masa para Batara dan masa para puun. Batara Tunggal digambarkan dalam dua dimensi,
sebagai suatu kuasa dan kekuatan yang tak tampak tetapi berada di mana-mana, dan sebagai manusia
biasa yang sakti. Dalam dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal mempunyai keturunan tujuh
orang batara yang dikirimkan ke dunia di kabuyutan (tempat nenek-moyang), yaitu titik awal bumi
Sasaka Pusaka Buana. Mereka itu ialah Batara Cikal, yang diberitakan tidak ada keturunannya,
Batara Patanjala yang menurunkan tujuh tingkat batara ketiga, yaitu (dari yang paling senior)
Daleum Janggala, Daleum Lagondi, Daleum Putih Seda Hurip, Dalam Cinangka, Daleum Sorana,
Nini Hujung Galuh, dan Batara Bungsu. Mereka itu yang menurunkan Bangsawan Sawidak Lima
atau tujuh batara asal, nenek moyang orang Baduy. Daleum Janggala adalah batara yang tertua, dan
yang menurunkan kerabat tangtu Cikeusik; Daleum Putih Seda Hurip menurunkan kerabat kampung
Cibeo. Para batara tingkat ketiga lain masing-masing menurunkan jenis kerabat pemimpin lainnya
(Edi S Ekadjati, 2010)
Lima batara tingkat kedua, saudara-saudara muda Batara Pantajala, yaitu Batara Wisawara,
Batara Wishnu, Batara Brahmana, Batara Hyang Niskala, dan Batara Mahadewa, menurunkan
kelompok kerabat besar di luar Baduy yang disebut salawe nagara (dua puluh lima negara), yang
menunjukkan jumlah kerabat yang besar, dan menurut pengetahuan orang Baduy adalah wilayah
yang sangat luas di sebelah Sungai Cihaliwung (Garna 1988). Kelompok kerabat itulah yang
dianggap orang Baduy keturunan yang lebih muda.
Dari ketujuh orang batara tingkat ketiga nenek-moyang orang Baduy itu tampak bahwa hanya
kerabat jaro dangka yang berasal dari garis keturunan perempuan. Lainnya diturunkan melalui garis
keturunan patrilineal. Para puun adalah keturunan Batara Patanjala, dan sampai masa akhir abad ke-
19 oleh Jacobs dan maijer dicatat sudah terjadi 13 kali pergantian puun Sikeusik (1891: hlm. 13).
Menurut catatan tahun 1988, jumlah puun Cikeusik adalah 24 orang, dan yang terakhir adalah Puun
Sadi (Garna: 1988).
Suatu konsep penting dalam religi orang Baduy ialah karuhun, yaitu generasi-generasi
pendahulu yang sudah meninggal. Mereka berkumpul di Sasaka Domas, yaitu tempat di hutan tua di
hulu Sungai Ciujung. Karuhun dapat menjelma atau datang dalam bentuk asalnya menengok para
keturuannya, dan jalan untuk masuk ialah melalui hutan kampung. Dalam kaitan dengan konsep
karuhun itu ada konsep lain, yaitu guriang, sanghyang, dan wangatua. Guriang dan sanghyang
dianggap penjelmaan para karuhun untuk melindungi para keturunannya dari segala marabahaya,
baik gangguan orang lain maupun mahluk-mahluk halus yang jahat (seperti dedemit, jurig, setan)
wangatua ialah ruh atau penjelmaan ruh ibu bapak yang sudah meninggal dunia.
Keyakinan mereka tidak pernah berubah hingga Islam masuk ke wilayah Lebak Banten,
walaupun mereka tidak menerima Islam secara langsung namun infiltrasi Islam secara perlahan dan
halus masuk ke dalam keyakinan mereka. Sehingga wawancara dengan Jaro Sami, Ayah Mursyid,
Jaro Dainah dan Jaro Alim menyebutkan bahwa agama Baduy adalah Slam Sunda Wiwitan.
“Penambahan” kata-kata “Slam” adalah respon Baduy terhadap masuknya Islam ke wilayah ini,
selanjutnya kisah-kisah leluhur mereka ditambah dengan adanya istilah Nabi Adam dan mereka juga
mengakui adanya nabi Muhammad sebagai Nabi penyempurna. Beberapa ritual pada masyarakat
Baduy juga menagalami akulturasi dengan Islam, misalnya dalam pernikahan mereka mengucapkan
syahadat Nabi Muhammad dengan mengundang penghulu dari Cicakal Girang yang merupakan
wilayah tanah ulayat desa Kanekes yang beragama Islam. Hasil interaksi antara orang Baduy dengan
Islam juga merambah kepada kebiasaan mereka untuk mengucapkan “Assalamualaikum”, atau
“Alhamdulillah” dan “Insya Allah”.

C. Mitos Asal-usul Manusia di Baduy


Masyarakat Baduy mengenal berbagai mitos yang berisi asal mula dunia, asal-usul manusia dan
kejadian-kejadian yang akan terjadi di masa yang akan datang. Di antara mitos yang berkembang
adalah bahwa penciptaan bumi diyakini melalui tiga tahapan yaitu Jaman Poek atau Alam Gumulung,
Alam Bercahaya (Alam Terang) dan Alam Bumi Padang Poe Panjang (Alam nyata di kehidupan
panca tengah). Proses ini bermula dari masa bumi dalam bentuk yang kental dan bening, yang lama-
kelamaan mengeras dan melebar. Titik awal terletak di pusat bumi, yaitu Sasaka Pusaka Buana
tempat tujuh batara diturunkan untuk menyebarkan manusia. Tempat itu juga merupakan tempat
nenek moyang (wawancara Ayah Mursyid).
Titik awal pusat penciptaan bumi kemudian menjadi kampung tangtu yang dianggap sebagai
inti dan cikal bakal kehidupan manusia. Titik ini kemudian diberi sebutan Cikeusik sebagai Pada
Ageung, Cikartawana disebut Kadukujang, dan Cibeo disebut Parahyang, ketiga kampung ini disebut
juga Sanghyang Daleum. Secara khusus posisi tempat nenek moyang (kabuyutan) dan alur tangtu
dalam memperlihatkan kaitan karuhun, yaitu Pada Agueng sebagai Sasaka Pusaka Buana, dangkanya
disebut Padawaras. Kadukujang Kabuyutan ikut pada Cibeo dan Cikeusik dengan dangka-dangkanya
yang disebut Sirah Dayeuh. Konsep buana (buana, dunia) bagi orang Baduy berkaitan dengan titik
mula, perjalanan, dan tempat akhir kehidupan. Ada tiga buana, yaitu Buana Luhur atau Buana
Nyungcung (angkasa, buana atas) yang luas tak terbatas, Buana Tengah atau Buana Panca Tengah,
tempat manusia melakukan sebagian besar pengembaraannya dan tempat ia akan memperoleh segala
suka-dukanya. Buana Handap (buana bawah) ialah bagian dalam tanah yang tak terbatas pada
luasnya. Keadaan di tiga buana itu adalah seperti halnya dunia ini, ada siang dan ada malam, dan
keadaannya sebaliknya dengan di dunia. Karena itu wilayah yang paling sakral ada di Kanekes,
terutama wilayah taneuh larangan (tanah suci, tanah terlarang) tempat kampung tangtu dan
kabuyutan (Edi S Ekadjati, 2010).
Mitos tentang asal-usul manusia yang berkembang pada masyarakat Baduy adalah setelah
selesai penciptaan dunia panca tengah selanjutnya Tuhan menciptakan (nurunkeun) Adam ke muka
bumi dan istrinya Hawa. Dari kedua insan ini muncullah anak keturunannya yang menjadi nenek
moyang bagi seluruh umat manusia di dunia ini. Jika Adam Tunggal sebagai nenek moyang Baduy
memiliki kewajiban untuk menjaga mandala Sasaka Domas maka keturunannya melanjutkan tugas
ini. Sedangkan keturunan dari Adam Serping memiliki tugas untuk meramaikan dunia, yaitu
menjadikan dunia ini sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan bagi anak cucunya. Jika
demikian maka Baduy mitos yang mereka yakini sebagai dasar bagi penerimaan mereka terhadap
keragaman budaya dan adat-istiadat di dunia ini. Dengan kata lain Baduy sangat memahami bahwa
pluralitas dan multikulturalisme merupakan realitas yang tidak bisa dihindari karena merupakan
takdir dari Nu Ngersakeun Gusti Allah Tuhan Yang Maha Esa (wawancara Jaro Sami Cibeo).
Berangkat dari mitos ini mereka meyakini bahwa seluruh manusia adalah berasal dari Adam
yang merupakan manusia pertama di dunia. Karena bersumber dari satu keturunan maka mereka
meyakini bahwa seluruh umat manusia adalah dulur (saudara), sehingga kesetaraan sebagai manusia
mereka yakini dengan kata lain paham humanisme dan menghargai seluruh umat manusia telah ada
pada masyarakat Baduy. Mitos ini diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Baduy dan
diyakini sebagai sebuah fakta, bukti yang mendukung hal ini adalah adanya Sasaka Domas yang
menjadi awal dari seluruh penciptaan alam semesta dan asal-usul manusia.

D. Pluralisme Baduy: Dari Mitos Ke Realitas


Mitos mengenai asal-usul manusia benar-benar telah terpatri dalam dada setiap anggota
masyarakat Baduy. Hal ini terbukti dengan hasil wawancara dengan anggota masyarakat Baduy yang
tinggal di huma, hasil wawancara tersebut adalah bahwa mereka sangat yakin bahwa suku Baduy
adalah manusia keturuanan Adam Tunggal. Keyakinan ini terimplematasi dalam kehidupan sehari-
hari mereka. Masyarakat Baduy tidak pernah membeda-bedakan agama seseorang yang masuk ke
wilayahnya. Selama mereka menghormati adat-istiadat Baduy maka mereka juga akan dihormati
sebagaimana tamu lainnya.
Adanya larangan bagi orang-orang Belanda, Eropa, China dan orang-orang selain Islam yang
dilarang masuk ke Tangtu Baduy Dalam lebih disebabkan adanya perjanjian antara Baduy dengan
Belanda sebagai pemerintah penjajah waktu itu. Dalam prakteknya sendiri, larangan tersebut bukan
karena alasan agama, terbukti beberapa peneliti yang beragama Kristen juga bisa masuk ke wilayah
Baduy dalam. Merry seorang wanita beragama Nasrani telah melakukan penelitian di Kampung
Cibeo yang merupakan wilayah Baduy Dalam. Hal ini diketahui oleh Jaro, Puun dan sesepuh Adat
di sana, namun mereka tidak mempersoalkan hal tersebut.
Wawancara yang dilakukan dengan Jaro Alim juga menunjukan bahwa mereka sangat
menghormati pemeluk agama lain, terbukti dengan banyaknya tamu dari luar Baduy yang
berkunjung ke Baduy dalam dan ke Puun baik di Cikeusik, Cibeo ataupun ke Cikertawana dengan
keperluan yang berbeda-beda. Secara umum mereka yang datang ke puun adalah untuk meminta
didoakan agar selamat, menambah rizqi dan terhindar dari berbagai mara bahaya di dunia. Mereka
yang datang tidak terbatas dari suku Baduy saja, namun dari kalangan Islam, Nasrani dan agama
lainnya. Menariknya mereka sebagian berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang bahkan
ada yang berasal dari luar Jawa seperti Sumatera dan Kalimantan. Ketika penulis berkunjung ke
Cikeusik sempat bertemu dan menginap bersama di rumah Jaro Alim, ia berasal dari Palembang
untuk yang kedua kalinya karena masalah hutang yang melilit kehidupannya. Ia memohon doa dari
puun untuk didoakan agar hutangnya lunas. Demikian juga pada waktu yangs ama penulis bertemu
dengan tamu dari Lampung yang mengaku sudah lebih lima kali datang ke Baduy untuk meminta
doa dari sesepuh Baduy mengenai masalah kehidupannya.
Respon masyarakat terhadap tamu-tamu tersebut baik dan Baduy menganggap mereka sebagai
saudara yang membutuhkan Baduy dan harus dilayani sebagaimana saudara sendiri. Terbukti dengan
keramahan warga Baduy terhadap tamu-tamu yang datang dengan mempersilahkan rumah mereka
dijadikan tempat menginap. Mereka tidak segan-segan berbincang mengenai adat-istiadat mereka
dan melayani tamu-tamu tersebut tanpa malihat agama dan latar belakang budayanya. Sewaktu saya
menginap di kampung Cipaler, Cibeo dan Cikeusik tanggapan mereka kurang lebih sama, mereka
tidak pernah membeda-bedakan agama dan latar belakang budaya. Semuanya dianggap sebagai
saudara dan harus dihormati dan dilayani sebagai tamu. Hal ini menunjukan bahwa mitos mengenai
asal-usul manusia begitu kuat terpatri dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka sangat
memahami bahwa masyarakat dalam realitasnya adalah plural dan memiliki kepercayaan dan agama
masing-masing.
Lebih jauh lagi gaya hidup mereka juga mencerminkan sikap menghormati dan memberikan
ruang toleransi kepada seluruh adat-istiadat dan kercayaan agama yang berbeda. Mereka
menganggap bahwa semua agama adalah baik dan sama-sama mengabdi kepada Tuhan, oleh karena
itu tidak boleh merasa agamanya lebih baik dari agama orang lain atau adat-istiadatnya lebih baik
dari adat-istiadat orang lain. Masing-masing telah diberikan tugasnya dan tugas Baduy adalah
menjaga kesimbangan alam dengan bertapa (melaksanakan seluruh pikukuh karuhun) dan
menasehati penguasa dan pejabat (ngasuh ratu nyanyak menak).

E. Simpulan
Suku Baduy sebagai salah satu dari suku yang sengaja menutup diri dari kebudayaan modern
bukanlah suku yang tidak mengenal budaya di luar budaya mereka. Mitos yang ada dalam budaya
mereka diantaranya adalah mitos tentang penciptaan manusia pertama yang disebut dengan Adam
Tunggal. Dari sini kemudian lahirlah berbagai suku bangsa yang di dunia ini seperti Dayak, China,
India, Eropa dan lain sebagainya. Mitos ini sangat diyakini oleh masyarakat Baduy sebagai sebuah
fakta yang mereka dapatkan secara turun-temurun dari mereka. Selanjutnya mitos tersebut
teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk penghormatan mereka terhadap suku
bangsa lain beserta agama dan kepercayaannya. Mereka tidak pernah memaksanakan keyakinannya
kepada orang lain, demikian juga mereka meyakini bahwa agama dan kepercayaan lain adalah jalan
yang sudah ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa Nu Ngersakeun.
Maka pemahaman masyarakat Baduy mengenai agama dan budaya orang lain adalah salah satu
bentuk dari paham Pluralisme yang memberikan ruang toleransi bagi seluruh umat manusia yang
memiliki budaya dan keyakinan agama yang berbeda-beda untuk bersama-sama hidup berdampingan
dengan damai tanpa harus menyalahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Mereka meyakini
bahwa seluruh agama dan adat-istadat memrintahkan umatnya untuk berbuat baik dan beribadah
kepada Tuhan, yang membedakan hanya tugas yang dibebankan pada masing-masing suku bangsa.
Baduy adalah sekelompok masyarakat Adat yang memiliki tugas dan kewajiban untuk menjaga
kesimbangan alam dengan bertapa serta melaksanakan seluruh pikukuh karuhun dalam bentuk adat-
istiadat semisal kawalu, seba, muja dan ritual untuk menghormati dewa-dewa khususnya dewi Shri
sebagai dewi padi atau Nyi Pohaci. Inilah ciri dari masyarakat Baduy yang terbuka bagi kebudayaan
dan agama lain namun tertutup untuk mengadopsi agama dan budaya orang lain. Walaupun dalam
prakteknya walaupun secara perlahan mereka juga menerima konsep dari agama lain yang tidak
bertentangan dengan nilai-nilai keyakinan mereka yaitu agama Slam Sunda Wiwitan.
Daftar Pustaka
Campbell, Joseph., 1988. The Power of Myth. New York: Doubleday
Danasasmita, Saleh, Djatisunda, Anis., 1986). Kehidupan Masyarakat Kanekes. Jakarta: Bagian
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direkrorat Jenderal
Kebudayan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ekadjati, Edi S. 2010. Kebudayaan Sunda (Suatu Tinjauan Sejarah). Jakarta: Pustaka Jaya
Eliade, Mircea., 1963. Myth and Reality. New York: Harper & Row
Garna, Judhistira K. 1988. Perubahan Sosial Budaya Baduy dalam Nurhadi Rangkuti (Peny.). Orang
Baduy dari Inti Jagat. Bentara Budaya, KOMPAS, Yogyakarta: Etnodata Prosindo
--------------- 1988. Tangtu Telu Jaro Tujuh Kajian Struktutal Masyarakat Baduy di Banten Selatan
Jawa Barat Indonesia. Tesis Ph.D. Universiti Kebangsaan Malaysia
Honko, Lauri., 1984. The Problem of Defining Myth dalam Alan Dundes, Sacred Narrative:
Readings in the Theory of Myth, Berkeley: University of California Press.
Kartawinata, Ade Makmur. 1993. Baduy Bubuara Menatap Tanah Harapan. Pusat Penelitian
Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran
Koentjaraningrat, dkk. 1993. Masyarakat Terasing di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Kurnia, Asep dan Ahmad Syihabudin. 2010. Saatnya Badui Bicara. Jakarta: Bumi Aksara dan
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Maria Susai Dhavamony., 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 2009. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Peter Connolly (edit). 2011. Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: LKiS.

Anda mungkin juga menyukai