Anda di halaman 1dari 13

Tuberkulosis Pembunuh Ketiga

Pasien TBC ke Rumah Sakit Paru Cenderung Meningkat


Pengantar

Setiap tanggal 24 Maret, seluruh dunia memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia. Ini berawal pada 2003, ketika
WHO mencanangkan kedaruratan global penyakit TBC. Pasalnya, di sebagian besar negara penyakit itu tidak
terkendali, sehingga menjadi penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit kardiovaskuler dan penyakit saluran
pernapasan. Pemutusan rantai penularan TBC, adalah upaya yang harus dilakukan secara terus-menerus dan itu
memerlukan partisipasi semua pihak. Guna memperingati Hari Tuberkulosis Sedunia, wartawan “PR” Wilda
Nurlianti dan Deni Yudiawan mengungkap persoalan penyakit TBC dan upaya pemberantasannya yang disajikan
dalam tiga tulisan. Semoga bermanfaat.

SETIAP hari, sebanyak 50 ribu orang di dunia meninggal karena penyakit tuberkulosis (TBC). Sepertiga penduduk
dunia saat ini telah terinfeksi kuman penyakit itu. Delapan juta orang menjadi sakit setiap tahunnya akibat TBC dan
angka itu terus meningkat. Penyakit mematikan tersebut adalah penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit
kardiovaskuler dan penyakit saluran pernapasan.

Data mengerikan itu dirilis oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Penyakit TBC disebut-sebut sebagai penyakit
infeksi yang menyebabkan kematian utama di dunia. Penderita TBC juga akan meningkat sejalan dengan semakin
tingginya kasus HIV di dunia. TBC dan HIV adalah kombinasi yang paling mematikan.

Bagaimana dengan Indonesia?

Negara ini berada pada urutan ketiga penyumbang kasus TBC di dunia, dengan sekira 582 ribu kasus tiap tahun,
setelah Cina dan India. Angka kematian akibat TBC (Case Fertility Rate/CFR) di Indonesia mencapai 140 ribu per
tahun. Depkes RI pada 2001 menyatakan, Indonesia timur adalah kawasan paling banyak penderita “penyakit rakyat”
ini. TBC juga lekat dengan kemiskinan, gizi buruk, serta sanitasi lingkungan yang buruk.

Meski banyak terdapat di Indonesia timur, angka penderita TBC di Jawa Barat cukup mengkhawatirkan. Untuk 2006,
WHO menetapkan prevalensi kasus di Jabar adalah 107 per 100 ribu penduduk. Itu berarti ada sekira 41.198 penderita
yang menjadi sasaran penemuan penderita baru TBC. Jumlah tersebut menjadikan Jabar berada di peringkat keempat
pada banyaknya temuan kasus baru TBC di Indonesia, setelah Sulut, Gorontalo, dan DKI Jakarta!

Pada 2005, cakupan penemuan penderita ditargetkan 70% dari perkiraan semua penderita baru TBC positif. Dari target
tersebut berhasil dicapai 68,2 % atau 28.102 penderita baru di 25 kabupaten/kota serta lima unit pelayanan kesehatan
yakni RSP dr. Rotinsulu, BP4 Bandung, KP4 Cirebon, RSP Sidawangi, dan RSTP Cisarua.

Cakupan penemuan penderita baru TBC di Jabar, menurut Kasubdin Bina Penyehatan Lingkungan Dinkes Jabar, dr.
Fatimah Resmiati, terbilang tinggi di antara Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tingginya penemuan penderita
baru diharapkan dapat membuat penanganan kasus TBC lebih fokus dan terkendali.

Tinggi rendahnya penemuan penderita baru, berbanding lurus dengan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Pada
wilayah berjumlah penduduk lebih sedikit, target penemuan pada umumnya tercapai bahkan terlampaui. Sementara
pada wilayah berpenduduk padat seperti Kab. Bandung pada 2005 baru tercapai 59,9%.
Kendala penemuan penderita baru TBC , antara lain terjadi akibat letak geografis yang sulit untuk dijangkau serta
minimnya sosialisasi dan keterampilan tenaga kesehatan dan tenaga laboratorium. Untuk meningkatkan kemampuan
tenaga kesehatan, terutama di tingkat puskesmas, Dinkes Jabar secara rutin mengadakan pelatihan.

Sumber dana utama dalam penanggulangan TBC di Jawa Barat masih berupa hibah dari lembaga luar negeri seperti
CIDA (Kanada) dan dalam waktu dekat dari sejumlah negara yang terhimpun dalam Global Fund. Dana lainnya
berasal dari APBN dan APBD Provinsi.

Pemerintah Indonesia telah bertekad memerangi TBC sejak lama. Pengembangan strategi penanganan langsung jangka
pendek (Directly Observed Treatment Short-course/DOTS) sejak 1995 terbukti telah menekan sebesar 50% jumlah
penderita TBC di Indonesia.

Pemerintah juga telah memberikan pengobatan gratis bagi pasien penderita TBC dengan kandungan kuman positif.
Terdapat paket obat gratis yang akan diberikan kepada masyarakat secara cuma-cuma. Obat tersebut yakni jenis
isoniasid, rifampisin, pirasinamid, streptomisin, dan etambutol.

Rujukan puskesmas

Tingginya penderita TBC di Jabar sedikit tergambar pada jumlah kunjungan pasien baru dan lama ke Balai Kesehatan
Paru Masyarakat (BKPM), Jalan Cibadak No. 214 Bandung. Rata-rata kunjungan pasien pada tahun 2004 mencapai
2.369 setiap bulan.

Sebagian besar pasien yang datang ke BKPM merupakan pasien rujukan puskesmas yang sudah menjalani pengobatan
sebelumnya. Sisanya adalah pasien yang datang sendiri atau rujukan dari dokter swasta, rumah sakit, dan balai
pengobatan.

Kepala BKPM Bandung, dr. Hedy B. Sampurno, mengatakan peningkatan kunjungan pasien lama dan baru terus
meningkat setiap tahun. Pada tahun 2004 tercatat 1.467 kunjungan pasien rujukan dan 3.617 pasien baru. Satu tahun
kemudian kunjungan pasien rujukan meningkat jadi 1.587 dan 4.493 pasien baru. Peningkatan juga terjadi pada pasien
TBC anak yakni 1.620 pada tahun 2004 dan 2.585 pada 2005.

TBC adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan terutama menyerang
paru-paru. Gejala umum yang dirasakan oleh penderita TBC adalah batuk berdahak selama tiga minggu lebih, kadang-
kadang disertai dahak bercampur darah. Dada penderita juga akan terasa nyeri dan sesak diiringi demam meriang lebih
dari sebulan, sering berkeringat di malam hari walaupun tanpa kegiatan. Meski biasanya menyerang paru-paru, TBC
juga dapat menyerang tulang, sendi, usus, kelenjar limpa, hingga selaput otak.***

2006 - Pikiran Rakyat Bandung


Dikelola oleh Pusat Data Redaksi (Unit: Cyber Media-Dokumentasi Digital)

BANDUNG RAYA
262.000 Penderita TBC Baru Per Tahun

yang po-puler disebut TBC, masih menjadi


masalah dunia, terutama di negara dunia ketiga. Di Indonesia setiap
tahun diperkirakan terdapat 262 ribu penderita baru dan 35 ribu
penderita ada di Jawa Barat (Jabar). Namun, Jabar sendiri
sebenarnya menanggung beban 44 ribu/tahun kasus baru TBC.
Sedangkan 213 penderita meninggal selama 2002 dan untuk 2003-
2004 belum terdata. Penderitanya 85% masyarakat golongan usia

Hal tersebut dipaparkan Kasubdin Penyehatan Lingkungan Dinkes


Jabar Dr. Fatimah Resmiati, M.Sc, dalam acara simposium bertajuk
"Mengoptimalkan Peranan Dokter Swasta dalam Penanggulangan
", yang diselenggarakan Pusat Tuberkulosa RSHS-
Fakultas Kedokteran (FK) Unpad Bandung. Acara dibuka oleh
Direktur Penunjang Medis Perjan RSHS Dr. Hj. Nurmartani, Sp.PK,
yang mewakili Direktur Perjan RSHS. Sedangkan narasumber
lainnya dr. Bachti Alisjahbana, Sp.PD
Srioetami,Sp.PK., dr. Yun Amri,SpP., dr. Yana Akhmad,Sp.
Oma Rusmayudi, Sp.A(K)., dr. Arto Yuwono Soeroto, Sp.

Fatimah menjelaskan, melihat beban TBC di Jawa Barat ini baru


43% penderita yang diperkirakan terdeteksi oleh unit pelayanan
kesehatan (UPK) sebagai pelaksana DOTS (
). Hanya memang belum semua UPK
menerapkan strategi DOTS dan baru di 982 puskesmas, BP4
Bandung dan RSTP. "Dalam pertemuan ini pun dimungkinkan untuk
dokter swasta ikut berperan dalam menanggulangi penyakit TBC,
terutama dalam pengelolaan TBC dengan cara strategi DOTS,"

Menurut Fatimah, masalah yang dihadapi Jawa Barat dalam


menanggulangi TBC, karena belum optimalnya komitmen dari
profesional untuk menerapkan DOTS. Selain itu juga terbatasnya
tenaga terlatih DOTS karena baru 35%. Demikian pula dukungan
dana pemerintah daerah masih kecil serta terbatasnya sarana
pendukung pemeriksaan laboratorium di UPK. Di samping itu,
dokumentasi pencatatan dan pelaporan pun masih lemah dan
keterlibatan masyarakat dalam pengawasan pengobatan penderita
TBC sebagai pengawas menelan obat (PMO), masih kurang.

Sementara itu, Yun Amril dari RS Paru H.A. Rotinsulu,


mengungkapkan, situasi di Indonesia kini cukup memprihatinkan.
Bisa dikatakan setiap satu menit muncul satu penderita baru TB
paru. Lalu setiap dua menit muncul satu penderita baru TB paru
yang menular, setiap empat menit satu orang meninggal akibat TB
paru, dan 3/4 pasien tersebut adalah kelompok usia produktif.

"Di RS paru sendiri, 60-70% adalah penderita TB paru yang baru.


Sebenarnya sejak 2003, RS Paru Rotinsulu sudah melaksanakan
DOTS, tetapi yang terpenting lewat simposium ini, perlu adanya
keseragaman dalam menangani TBC. Ini penting, karena
penanganan TBC dapat dilakukan di mana saja, bahkan di rumah.
Sedangkan pentingnya keseragaman lewat DOTS harus terwujud
agar tidak menimbulkan masalah baru," ujarnya.

Demikian pula dikatakan Bachti Alisjahbana bahwa RSHS selama


ini dalam menangani TBC sudah melaksanakan DOTS. Sedangkan
kalau melihat kecenderungan munculnya penderita TBC,
sebenarnya selalu berhubungan dengan kepadatan penduduk.

"Makanya penderita TBC lebih banyak di kota-kota. Berbeda


dengan di desa-desa yang berkembangnya hanya sporadis.
Tumbuhnya penyakit TBC ini memang tidak terlepas dari kondisi
sosial, yaitu kemiskinan dan kualitas hidup," ujar Bachti.

Ketua Pusat Tuberkulosa Prof. Eddie Soeria Soemantri, Sp.


menilai, perlu ada pemahaman bahwa gejala penyakit TBC berbeda
misalnya dengan penyakit malaria yang gejalanya dimulai dengan

HALAMAN
DEPAN PR CYBER
KE ATAS
MEDIA

-
Hak Cipta © 2002 - Pikiran Rakyat Cyber Media
AYO TANGKAL TBC
Jika tak diobati secara tuntas, bakteri TBC tak cuma betah bersarang di paru-paru.
Organ-organ vital tubuh seperti otak, usus, ginjal dan tulang, menjadi sasaran
penyebaran yang akan berakhir dengan kerusakan.

"Setiap tahun ada sekitar 500.000 penderita TBC baru di Indonesia. Dari jumlah
itu, 425 penderita meninggal setiap harinya," demikian diungkapkan Fajar Arif
Budiman dari Koalisi untuk Indonesia Sehat (KuIS). Tak heran, jika data tersebut
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan penderita TBC tertinggi ketiga di
dunia, setelah India dan Cina. "Tingginya populasi penderita penyakit ini selain
karena faktor gizi yang buruk, juga rendahnya kesadaran masyarakat untuk berobat.
Padahal, pemerintah sudah menyediakan pengobatan gratis bagi para penderita."

Fajar menyangkal bila penyakit yang awalnya menyerang paru-paru ini dikatakan
hanya dialami kalangan miskin. Pendapat tersebut diiyakan oleh dr. H.M. Vinci
Gazali, Sp.A. Menurutnya, angka penderita TBC akan meningkat seiring dengan
melemahnya kondisi ekonomi negara. Di Indonesia, contohnya, jumlah penderita
meningkat ketika negara dihantam krisis moneter.

Jumlah penderita TBC juga cenderung meningkat seiring makin banyaknya pengidap
HIV/AIDS. Lo, kenapa begitu? Dokter anak dari RS MMC, Kuningan, Jakarta ini
menjelaskan, bakteri TBC hanya bisa ditangkal sel-sel darah putih. Karenanya, jika
ada kerusakan sel darah putih atau jumlah sel darah putih dalam tubuh kurang, apa
pun penyebabnya, maka yang bersangkutan berisiko tinggi terkena TBC. "Minimnya
jumlah sel darah putih seperti pada penderita HIV/AIDS membuat sistem pertahanan
tubuh tidak optimal hingga mudah diserang oleh bakteri TBC."

Gejala utama TBC pada anak umumnya hanya berupa demam ringan namun
berlangsung lama. Sedikit kenaikan suhu tubuh yang tak kunjung reda dijelaskan
oleh Vinci, "TBC merupakan infeksi kronis. Tubuh akan bereaksi terhadap bakteri-
bakteri yang sudah masuk ke dalam tubuh dengan meningkatkan metabolisme. Nah,
meningkatnya metabolisme inilah yang secara otimatis menaikkan suhu tubuh."

Ciri lain, berat badan anak biasanya tak bertambah. Ini karena kalori yang dipakai
untuk menaikkan berat badan dipakai untuk melawan bakteri TBC. Disamping itu,
penderita pun umumnya malas makan sehingga makin menghambat pertambahan
berat badannya. Anak pun terlihat rewel, gelisah, lesu, dan mudah berkeringat.
Berdasarkan gejala-gejala tersebut, dokter akan melakukan serangkaian tes untuk
menentukan apakah anak terkena TBC atau tidak.

MENULAR LEWAT UDARA


TBC sendiri merupakan penyakit yang disebabkan bakteri mycobacterium
tuberculosis. Masa inkubasinya berbeda dari penyakit lain. Pada penyakit lain,
inkubasi diartikan sebagai tenggang waktu antara mulai masuknya bibit penyakit
sampai munculnya gejala seperti demam. Sedangkan pada TBC, masa inkubasi
dihitung dari masuknya kuman hingga timbulnya pembesaran getah bening di dalam
paru-paru yang kadang tidak memperlihatkan gejala. Masa inkubasi ini rata-rata
berlangsung antara 8-12 minggu. Di saat itulah dokter sudah bisa mengatakan si
kecil telah positif mengidap TBC. Setelah masa inkubasi barulah timbul gejala.

Menurut Vinci, anak umumnya mengidap TBC lantaran tertular orang dewasa. Pada
orang dewasa, bakteri penyebab TBC masuk ke paru-paru kemudian menyerang
dinding saluran napas dengan membentuk rongga yang berisi nanah dan bakteri
TBC. Nah, setiap kali yang bersangkutan batuk, bakteri TBC yang berukuran kurang
dari 10 mikron ikut terlontar keluar dan melayang-layang di udara. Kalau anak yang
sehat menghirup udara yang kebetulan mengandung bakteri TBC, maka ia
berkemungkinan terkena.

Namun pada anak-anak, bakteri yang ikut masuk tadi hanya menyerang jaringan
paru-paru. Jadi, tidak sampai menyerang dinding saluran napas/bronchus. Itulah
sebabnya, anak yang menderita TBC umumnya tidak memperlihatkan gejala batuk.
Karena tidak pernah batuk, bakteri jadi tidak pernah keluar dan anak tidak akan
pernah menularkan penyakitnya kepada orang lain. Fase ini dinamakan sebagai TBC
tertutup.

Meski begitu, pada anak-anak dengan status gizi sangat buruk, bakteri TBC bisa
saja menyerang saluran bronchusnya hingga menimbulkan rongga bernanah berisi
bakteri TBC seperti layaknya TBC pada orang dewasa. Anak akan sering terbatuk
dan ikut keluarlah nanah dan bakteri yang bercokol di tubuhnya. TBC anak yang
seperti ini bersifat menular dan fasenya bukan tertutup lagi, melainkan sudah
terbuka.

Hal yang perlu diwaspadai dari penyakit ini adalah terjadinya komplikasi. Komplikasi
terjadi karena bakteri yang masuk ke paru-paru tidak bisa dilawan oleh sel darah
putih. Akibatnya, bakteri tersebut masuk ke aliran darah dan menyerang organ-
organ vital seperti tulang, sendi panggul, otak, dan lain-lain. Hal ini umumnya terjadi
pada anak yang belum mendapat vaksinasi BCG atau bisa juga karena ibu
menderita TBC di masa hamil dan kemudian menularkannya pada bayi melalui ASI.
Risiko tertular makin besar bila si anak memiliki kondisi gizi buruk.

TES UNTUK MENDETEKSI


Vinci menjelaskan, tidak mudah untuk memvonis seorang anak mengidap TBC.
Dibutuhkan serangkaian tes dan konsultasi langsung dengan keluarga untuk
menemukan jawaban pastinya:

1. TES RONTGEN

Tes ini untuk mengetahui ada tidaknya flek paru pada anak. Sayangnya hasil foto
rontgen tak bisa dijadikan patokan mutlak. Sebab, flek paru pada anak untuk
menentukan sebuah penyakit tidaklah khas. Artinya, flek yang disebabkan oleh TBC
dan asma, contohnya, relatif sama. Ini berbeda dengan orang dewasa, foto flek paru
akibat TBC pada orang dewasa umumnya sedikit berawan pada bagian atas,
sedangkan pada penderita asma berawan pada bagian bawah.

Selain itu, anak yang tidak ada flek parunya saat di-rontgen bukan berarti bebas
dari TBC. Bisa saja dia tidak terkena TBC paru, tapi TBC tulang hingga hasilnya
tidak tampak. Pemeriksaan rontgen ini tentu saja mesti diikuti tes lainnya.

2. TES MANTOUX

Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kadar sel darah putih (leukosit) pada anak.
Jika jumlah sel leukosit menunjukkan peningkatan tajam melebihi standar normal
(>10 milimeter), ada kemungkinan yang bersangkutan menderita TBC.
Meningkatnya sel darah putih ini berguna untuk melawan bakteri TBC. Pemeriksaan
ini umumnya dilanjutkan dengan screening untuk menentukan apakah ia positif
terkena TBC atau tidak. Pemeriksaan ini juga mesti dilakukan hati-hati, karena
bukan berarti anak yang jumlah leukositnya rendah negatif pastilah TBC. Mungkin
saja si anak berstatus gizi sangat buruk, hingga tubuhnya tidak bisa memproduksi
sel darah putih, alias kekebalan tubuhnya terganggu.

3. TES DARAH

Ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana laju endap darahnya. Selain bisa juga
ditemukan adanya antibodi TBC. Jika laju endap darahnya kurang baik dan
ditemukan antibodi TBC, besar kemungkinan si kecil terkena TBC.

4. WAWANCARA

Untuk mengetahui riwayat perjalanan penyakit anak, wawancara mesti dilakukan


secara detail. Beberapa yang hal yang biasanya ditanyakan antara lain lamanya
demam, siapa saja anggota keluarga yang berpotensi kemungkinan menularkan
penyakit, adakah keluarga yang mengidap TBC. Semua pertanyaan itu sangat
penting untuk menegakkan diagnosa TBC pada anak.

OBATI DENGAN TUNTAS


Jika anak positif terkena TBC, dokter akan memberikan obat antibiotika khusus TBC
yang harus diminum dalam jangka panjang yang berlangsung minimal 6 bulan.
Lamanya pengobatan tidak bisa diperpendek karena bakteri TBC tergolong sulit mati
dan sebagian ada yang "tidur". Dengan pengobatan jangka panjang, diharapkan
bakteri yang "tidur" itu bisa dihabisi begitu terbangun. Sedangkan sisa bakteri akan
hancur sendiri oleh adanya kekebalan tubuh. Lagi pula jika dosis obat untuk enam
bulan lalu dipersingkat dan dipadatkan menjadi satu bulan, penderita bisa
keracunan.

Jenis obat yang biasa diberikan di antaranya rifampisin atau pirazinamide. Jangka
waktu pengobatan bisa bertambah jika penyakitnya cukup berat. Bahkan bukan
tidak mungkin akan dilanjutkan dengan obat-obat suntikan untuk TBC yang mesti
diberikan setiap hari dengan dosis tertentu. Untuk kasus TBC berat, penderita pun
kadang harus menjalani rawat inap.

Setelah sembuh, penderita TBC biasanya diharuskan menjalani evaluasi guna


melihat reaksi obat dan tingkat kesembuhan pasien. Caranya, mengamati
pertambahan berat badan dan gejala-gejala lain yang menyertai TBC. Meski terlihat
sembuh, si kecil tetap harus menghabiskan obat yang ada. Dengan cara itu, semua
bakteri TBC bisa dihancurkan.

MACAM-MACAM TBC
Penyakit TBC bisa menimbulkan komplikasi, yaitu menyerang beberapa organ vital
tubuh, di antaranya:

1. TULANG

TBC tulang ini bisa disebabkan oleh bakteri TBC yang mengendap di paru-paru, lalu
terjadi komplikasi dan masuk ke tulang. Atau bisa juga bakteri TBC langsung masuk
ke tulang lewat aliran darah dari paru-paru. Waktu yang dibutuhkan bakteri untuk
masuk dan merusak tulang bervariasi. Ada yang singkat, tapi ada pula yang lama
hingga bertahun-tahun. Bakteri TBC biasanya akan berkembang biak dengan pesat
saat kondisi tubuh sedang lemah, misalnya selagi anak terkena penyakit berat. Saat
itu kekebalan tubuhnya menurun, sehingga bakteri pun leluasa menjalankan
aksinya.

Bagian tulang yang biasa diserang bakteri TBC adalah sendi panggul, panggul dan
tulang belakang. Gangguan tulang belakang bisa terlihat dari bentuk tulang belakang
penderita. Biasanya tidak bisa tegak, bisa miring ke kiri, ke kanan, atau ke depan.
Sendi panggul yang rusak pun membuat penderita tidak bisa berjalan dengan
normal. Sedangkan pada ibu hamil, kelainan panggul membuatnya tidak bisa
melahirkan secara normal. Jika kelainannya masih ringan, upaya pemberian obat-
obatan dan operasi bisa dilakukan. Lain halnya jika berat, tindakan operasi tidak bisa
menolong karena sendi atau tulang sudah hancur. Penderita bisa cacat seumur
hidup.

2. USUS

Selain karena komplikasi, TBC usus ini bisa timbul karena penderita mengonsumsi
makanan/minuman yang tercemar bakteri TBC. Bakteri ini bisa menyebabkan
gangguan seperti penyumbatan, penyempitan, bahkan membusuknya usus. Ciri
penderita TBC usus antara lain anak sering muntah akibat penyempitan usus hingga
menyumbat saluran cerna. Mendiagnosis TBC usus tidaklah mudah karena gejalanya
hampir sama dengan penyakit lain. Ciri lainnya tergantung bagian mana dan
seberapa luas bakteri itu merusak usus. Demikian juga dengan pengobatannya. Jika
ada bagian usus yang membusuk, dokter akan membuang bagian usus itu lalu
menyambungnya dengan bagian usus lain.

3. OTAK

Bakteri TBC juga bisa menyerang otak. Gejalanya hampir sama dengan orang yang
terkena radang selaput otak, seperti panas tinggi, gangguan kesadaran, kejang-
kejang, juga penyempitan sel-sel saraf di otak. Kalau sampai menyerang selaput
otak, penderita harus menjalani perawatan yang lama. Sayangnya, gara-gara sel-sel
sarafnya rusak, penderita tidak bisa kembali ke kondisi normal.

4. GINJAL

Bakteri TBC pun bisa merusak fungsi ginjal. Akibatnya, proses pembuangan racun
tubuh akan terganggu. Selanjutnya bukan tidak mungkin bakal mengalami gagal
ginjal. Gejala yang biasa terjadi antara lain mual-muntah, nafsu makan menurun,
sakit kepala, lemah, dan sejenisnya. Gagal ginjal akut bisa sembuh sempurna
dengan perawatan dan pengobatan yang tepat. Sedangkan gagal ginjal kronik sudah
tidak dapat disembuhkan. Beberapa di antaranya harus menjalani cangkok ginjal.

CEGAH DENGAN PERTAHANAN TUBUH


Seperti disinggung di atas, siapa saja bisa terjangkit penyakit ini, apalagi Indonesia
merupakan daerah endemik. Kita tidak bisa menghindar, yang bisa dilakukan adalah
mencegah supaya tidak tertular. Karena penularan penyakit ini ada kaitannya
dengan daya tahan tubuh, maka hal yang mesti dilakukan adalah meningkatkan
daya tahan tubuh. Berikut beberapa aktivitas yang bisa dilakukan:

* Konsumsi makanan bergizi

Dengan asupan makanan bergizi, daya tahan tubuh akan meningkat. Produksi
leukosit pun tidak akan mengalami gangguan, hingga siap melawan bakteri TBC
yang kemungkinan terhirup. Selain itu, konsumsi makanan bergizi juga
menghindarkan terjadinya komplikasi berat akibat TBC.

* Vaksinasi

Dengan vaksinasi BCG yang benar dan di usia yang tepat, sel-sel darah putih
menjadi cukup matang dan memiliki kemampuan melawan bakteri TBC. Meski
begitu, vaksinasi ini tidak menjamin penderita bebas sama sekali dari penyakit TBC,
khususnya TBC paru. Hanya saja kuman TBC yang masuk ke paru-paru tidak akan
berkembang dan menimbulkan komplikasi. Bakteri juga tidak bisa menembus aliran
darah dan komplikasi pun bisa dihindarkan. Dengan kata lain, karena sudah divaksin
BCG, anak hanya menderita TBC ringan.

* Lingkungan

Lingkungan yang kumuh dan padat akan membuat penularan TBC berlangsung
cepat. Itulah mengapa upayakan lingkungan yang sehat dan jaga kebersihan
makanan dan minuman. Istirahat dan berolahragalah yang cukup agar daya tahan
tubuh meningkat. Lewat cara itu, semoga kita semua terbebas dari penyakit yang
diperingati setiap 24 Maret ini.

Saeful Imam. Ilustrator: Pugoeh


Flek Paru atau TBC

Question : Dear Dokter Wati,


Terima kasih atas jawaban Dokter.  Asma
Anak perempuan saya telah menjalani tes darah dan rontgen. Berikut data hasil tes  ISPA pada bayi
darah nya
----
 TBC
Hitung Jenis  Asma pada ibu hamil
Batang 0% (normal 2,00 - 6,00)  Asma pada anak - anak
Segmen 20% (normal 50,00 - 70,00)
Limfosit 77 % (normal 20,00 - 40,00) -> ukuran ini dilingkari oleh dokter  Bronkiolitis
Monosit 1% (normal 2,00 - 8,00)
----
Hasil tes rontgen ditulis" Infiltrat perihiler.Pembesaran kelenjar hilus kanan.Jantung
normal.Kesimpulan: Mungkin KP"

Kesimpulan dari dokter ahli paru (RS H**na Daan Mogot):Dari hasil tes darah,
menunjukkan TB meragukan.Krn LED 8 mm/jam (normal <15,00 mm/jam). Tapi
Limfosit 77 %
namun ada tiga hal lain yg memberatkan, yaitu:
- sisa suntik tes Mantoux terlihat jelas, ukuran 10 mm.Merah tebal, bahkan setelah
seminggu tes, bekas itu bukannya memudarmelainkan tambah merah dan menebal.
Dokter langsung bilang kalau tes Mantoux jelas positif.
- berat badan tidak naik atau gizi buruk
- titik flek di hasil rontgen.
Kesimpulan anak saya mesti diterapi TB, yaitu pemberian obat secara oral selama 6
bulan.
Seminggu yg lalu, oleh dokter anak diberikan puyer vitamin dan berat badan anak saya
meningkat dari 7,9 menjadi 8,1 kg. Akhir-akhir ini, frekuensi minum susunya
bertambah.
Sebenarnya berat badannya tak mengalami penurunan, tapi tidak bertambah.
Penyebabnya, dia susah makan -sering dilepeh. Susah makannya sudah berlangsung
lama, sekitar 5 bulan. Asupan makanan kurang dibandingkan dgn aktivitasnya yg sgt
lincah. Tidak ada kontak dgn penderita TB (batuk darah). Kondisi kesehatan sangat
baik, tak pernah batuk dan diare.
Apakah benar anak saya terkena TB? Kalau saya mesti second opionion, apa dokter
bisa memberikan referensi dokter lain? (saya tinggal di daerah Cipondoh,
Tangerang).Maaf sekali krn pertanyaan saya sangat banyak, sebanyak obat yg siap
diminum oleh anak saya mulai besok.
Terima kasih atas bantuan, Dokter
vety

Answer 1 : VetyTes mantoux 10 mm untuk anak usia 16 bulan tdk bisa dikategorikan
positif kedua, yg diukur penebalannya bukan merahnya, merahnya bisa saja karena
alergi terhadap pengawet mantoux nya Ketiga, kontak
1. Dr Budiman di MMC setiap sabtu (daerah Kuningan), atau
2. Dr Bambang Supriyatno di Hermina jatinegara, sepertinya di rumahnya juga praktek
tetapi saya tdk tahu dimana di jak sel atau
3. Dr Darmawan di Hermina Bekasi
Semoga membantu
wati
Answer 2 : mba vetty, anak saya yg pertama, pasha, dulu juga pernah didiagnosa TBC
hanya krn bbnya kurang, tapi stlh minum obat 4 bulan baru saya minta 2nd opinion dan
ternyata pasha tidak kena TB...duh nyesel banget deh kenapa ngga dari dulu2 cari 2nd
opinion...
dibawah saya kirim kumpulan postingan TB di sehat, ada jawaban dr wati berikut
dokter ahli paru anak yg direkomendasikan dan paling bawah ada artikel ttg TBC dari
IDAI...coba kasih artikel2 dibawah ke kakaknya mba dan juga minta 2nd opinion...

Wah yang namanya flek paru2 ini sangat rancu dan menyesatkan loh mba, dan
sebenarnya istilah ini tidak ada didalam kamus kedokteran. So, tidak ada namanya
penyakit flek paru. Biasanya dokter bilang flek berdasarkan hasil x-ray paru2 dimana
fotonya menunjukkan adanya bercak2, lalu langsung dicap Flek paru atau maksudnya
TBC. Padahal sebenarnya tidak selalu bercak2 difoto x-ray disebabkan adanya TBC,
bisa saja kita difotonya pas sedang pilek sehingga timbul bercak dihasil fotonya.
Untuk memutuskan apakah seseorang terkena TBC sebenarnya tidaklah mudah,
pertama dites mantoux, itupun hasil mantoux ini tidak bisa dijadikan sebagai
satu2nya acuan. Lalu, kedua dadanya difoto x-ray dari samping dan terakhir tes darah.
Kemudian semua hasilnya ini tidak hanya dibawa ke DSA, jangan segan2 minta 2nd
opinion dan sebaiknya juga bawa ke ahli paru anak.
Saya sendiri punya pengalaman dengan anak pertama saya, dulu hanya karena
penambahan berat badannya tidak sesuai pedoman chart, diduga TBC, padahal hasil
mantouxnya tidak menyatakan demikian. Lalu tetap disuruh foto di dokter spesialis x-
ray, dan menurut dokter spesialis semuanya normal, hanya saja ada infiltrat, yang bisa
timbul karena batuk/pilek. Meskipun demikian, DSAnya tetap menyimpulkan TBC,
sehingga harus minum antibotik setiap hari selama 6 bulan!! Bodohnya, waktu itu saya
manut2 aja dengan anjuran dsanya. Lalu pas sudah minum obat 4 bulan, saya ke dsa
lain dan menurut dia itu anak saya tidak TBC....aduhhh rasanya jadi nyesel banget
ngga dari awal minta 2nd opinion, apalagi setelah tahu efek negatif dari pemakaian
antibiotik.
Jadi saran saya untuk teman2 pak edi, pertama2 pastikan dulu anaknya kena TBC
(jangan ditukar dengan istilah flek paru, menyesatkan!) atau bukan?! minta 2nd
opinion atau bahkan 3rd opinion...soalnya emang di Indonesia ini
sudah banyak anak2 yang dicap TBC hanya karena kurang berat badannya. Jangan
seperti kasus anak saya deh, jadi nyesel nantinya. Tapi kalau ternyata benar TBC,
memang perlu treatment dengan antibiotik. Ma'af jadi kepanjangan, semoga
bermanfaat.
Best regards,Gendi Jatikusumah (father of pasha & sasi)
---------------------------------------------------------
ARTIKEL IDAI
Flek Paru? Istilah yang Rancu
Informasi Singkat Tentang Tuberkulosis (TB) Anak
Banyak sekali anak-anak yang divonis sebagai flek paru dan harus menjalani ?
hukuman? minum obat jangka lama, paling tidak hingga 6 bulan. Jika ditanyakan
kepada orangtuanya apa yang dimaksud flek paru ? Biasanya orang tua pasien tidak
tahu, Bila ditanya lebih lanjut apakah anaknya mendapat obat yang membuat air
seninya berwarna merah ? Jika jawabnya "Ya" kemungkinan besar yang dimaksudkan
sebagal ?flek paru? adalah Tuberkulosis / Tbc paru atau saat ini disebut TB saja.
Mengapa dokter tidak menyatakan sebagai TB ?
Sebagian kalangan di masyarakat beranggapan bahwa TB bukan penyakit yang ?
bergengsi?, Beda misalnya dengan penyakit jantung yang dianggap lebih ?terhormat?,
Sebagian pasien tidak berkenan jika dinyatakan Sakit TB. Khawatir pasien tidak dapat
menerima, dokter berusaha menyamarkan penyakitnya dengan istilah flek paru. Saat
ini umumnya pasien sudah berpikiran terbuka dan dapat menerima jika dinyatakan
Sakit TB. Sebaiknya dokter berterus terang menyatakan Sakit TB tanpa menyamarkan
dengan istilah flek paru yang justru tidak mendidik pasien.
Mengapa disamarkan dengan istilah ?flek paru? ?
Flek berasal dan bahasa Belanda yang artinya ?noda?. Awalnya dari foto Rontgen paru
pasien TB, yang dapat memberikan gambaran bercak-bercak putih seperti noda pada
paru sehingga disebut ?flek?, Istilah flek paru tidak pernah diajarkan di fakultas
kedokteran manapun, dan juga tidak pernah disebut dalam artikel kedokteran
manapun, Istilah ini rancu dan kesannya kurang menghargai kecerdasan pasien Sama
halnya dengan istilah ?panas dalam? yang laris manis digunakan dalam iklan minuman
penyegar. Keduanya sama sekali tidak mempunyai rujukan di dunia medis.
Apakah semua gambaran "flek" pada paru berarti TB ?
Tidak !!! Semua penyakit di paru (dan itu banyak sekali jenisnya) dapat memberi
gambaran ?flek? yang tidak dapat dibedakan dengan TB. Bahkan orang sehatpun pada
Rontgen parunya akan ada gambaran bercak-bercak putih yang istilah medisnya
infiltrat. Sebagai contoh Mike Tyson jika dironsen juga ada ?flek?nya, tapi dia sama
sekali tidak Sakit TB. Jadi tidak bisa mendiagnosis Sakit TB hanya dari Rontgen saja !
Gambaran Rontgen seperti apa yang menunjukkan adanya TB paru ?
TB paru dapat memberikan gambaran infiltrat yang lebih khusus pada foto Rontgen,
istilahnya gambaran yang sugestif TB. Misalnya gambaran miller (bercak kecil putih
merata di seluruh paru), atau gambaran atelektasis (gambaran putih padat akibat
pengerutan sebagian paru), dll. Sekalipun gambarannya sugestif TB, foto Rontgen saja
tidak bisa dijadikan dasar tunggal diagnosis TB, tetap harus disertai gejala dan tanda
sakit TB, dan pemeriksaan penunjang lain.
Jadi diperlukan pemeriksaan lain, apakah itu ?
Ya, pertama-tama jika seorang anak dicurigai Sakit TB harus dibuktikan dulu adanya
Infeksi TB (adanya kuman TB dalam tubuh seseorang). Caranya dengan uji tuberkulin
atau yang lazim dikenal sebagai Mantoux test. Jika hasilnya negatif berarti tidak ada
infeksi, dan bila infeksinya saja tidak ada bagaimana mungkin bisa sakit TB.
Jika hasil uji Mantoux positif apakah berarti sakit TB ?
Belum tentu. Hasil uji Mantoux positif hanya menunjukkan adanya Infeksi TB, bukan
menandakan pasiennya Sakit TB. Jadi harus dibedakan antara Infeksi TB dengan Sakit
TB. Orang dewasa di Indonesia umumnya sudah terinfeksi TB tanpa sakit TB, sehingga
jika dilakukan uji Mantoux pada orang dewasa di Indonesia maka umumnya akan
positif.
Ada yang mengatakan uji Mantoux bisa negatif padahal ada Sakit TB, apa benar?
Benar. Uji Mantoux dapat memberikan hasil negatif palsu yang disebut anergi. Anergi
dapat dijumpai pada keadaan tertentu misalnya gizi buruk, Sakit TB yang berat, tifus
yang berat, campak, cacar air, menggunakan obat steroid jangka lama, dan berbagai
keadaan lain yang menyebabkan penekanan sistem imun (kekebalan) tubuh, Jika tidak
ada salah satu keadaan tersebut sangat kecil kemungkinannya terjadi anergi.
Bagaimana dengan pemeriksaan darah ?
Biasanya pemeriksaan darah yang dimaksudkan untuk TB adalah LED (laju endap
darah) dan hitung jenis limfosit, Kedua pemeriksaan ini nilai diagnostiknya untuk TB
rendah, jauh lebih rendah dibanding foto Rontgen, sehingga hanya digunakan sebagai
data tambahan.
Adakah pemeriksaan darah lain untuk TB ?
Ada, yaitu pemeriksaan PCR dan serologis, seperti PAP TB, Mycodot, ICT dll. Namun
semua pemeriksaan itu tidak lebih unggul daripada uji Mantoux, Semua pemeriksaan
itu jika positif juga hanya menunjukkan adanya Infeksi TB, tidak bisa untuk
menentukan ada tidaknya Sakit TB.
Lalu apa bedanya Sakit TB dengan Infeksi TB ?
Jika orang (dewasa atau anak) mengalami Sakit TB akan menunjukkan gejala dan
tanda Sakit TB. Sedangkan jika hanya terinfeksi TB tanpa sakit TB tidak akan ada
gejala dan tanda sakit TB.
Apa gejala dan sakit TB pada anak ?
Gejala dan tanda Sakit TB pada anak sangat luas variasinya, mulal dari yang sangat
ringan sampai sangat berat. Gejala dan tanda yang mengawali kecurigaan Sakit TB
pada anak di antaranya adalah MMBB (Masalah Makan dan Berat Badan), demam lama
atau berulang, gampang / sering tertular sakit batuk pilek, adanya benjolan yang
banyak di leher, diare yang sulit sembuh dll. TB juga dapat menyerang berbagai organ
di seluruh tubuh sehingga bisa timbul gejala pincang jika mengenai sendi panggul atau
lutut, benjolan banyak di leher, bisa juga terjadi kejang jika mengenai susunan saraf
pusat otak.
Apakah batuk lama atau berulang juga merupakan gejala Sakit TB ?
Batuk lama atau berulang merupakan salah satu gejala utama Sakit TB pada orang
dewasa. Pada anak batuk lama / berulang dapat merupakan gejala Sakit TB, tapi bukan
gejala utama. Pada anak ada penyakit lain yang gejala utamanya batuk lama / berulang
yaitu asma. Banyak kasus asma pada anak yang keliru divonis TB. Asma dengan TB
merupakan dua penyakit yang sama sekali berbeda namun sering dikelirukan.
Apakah jika ada tersebut berarti sakit TB ?
Belum tentu. Berbagai gejala tadi bukan ?monopoli? Sakit TB, tapi dapat juga
disebabkan oleh berbagai penyakit lain. Itulah sebabnya uji Mantoux sangat penting
untuk menentukan dulu apakah ada Infeksi TB atau tidak, Jika tidak ada Infeksi TB,
berarti berbagai gejala tadi disebabkan oleh penyakit lain.
Sebenarnya apa penyebab TB, apakah penyakit keturunan atau penyakit menular TB
bukan penyakit keturunan, tapi penyakit menular. TB merupakan salah satu bentuk
penyakit infeksi. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan masuk dan
berkembangbiaknya kuman dalam tubuh seseorang. Kuman adalah makhluk hidup yang
sangat kecil sekali (mikro onganisme = mikroba = jasad renik) yang hanya dapat dilihat
dengan mikroskop. Ada jutaan jenis kuman salah satu di antaranya adalah kuman TB.
Bagaimana cara penularannya ?
Ada beberapa cara penularan, tapi yang paling sering adalah melalui saluran
respiratonik (pernapasan). Pasien TB dewasa dengan TB paru, jika batuk, bersin,
menyanyi, atau bicara akan menghembuskan ribuan kuman TB ke udara disekitarnya.
Bila kuman ini terhirup oleh orang lain, maka orang tersebut dapat terinfeksi.
Apakah jika kita berhubungan dengan pasien TB paru dewasa, pasti akan tertular ?
Belum pasti tertular. Banyak faktor yang berperan untuk terjadinya infeksi TB. Faktor
sumber penularan, lingkungan, dan faktor daya tahan tubuh. Tingkat eratnya hubungan
(kontak) juga sangat berperan. Makin erat kontak (dose contact) dan makin lama,
makin besar risiko tertular.
Apakah anak yang sakit TB menular dan perlu dipisahkan dari orang lain ?
Tidak ! Yang menular adalah pasien TB paru dewasa, pasien TB paru anak tidak
menular sehingga tidak perlu dipisahkan apalagi dikucilkan. Yang perlu diingat, jika
seorang anak terinfeksi TB, berarti ada orang dewasa sebagai sumber penularannya
yang perlu dicari dan kemudian diobati agar tidak menulari orang lain lagi.

Regards,
Gendi Jatikusumah (fathere of pasha & sasi)

Information on this web site is provided for informational purposes only and is
not a substitute for professional medical advice. You should not use the
information on this web site for diagnosing or treating a medical or health
condition. You should carefully read all product packaging. If you have or
suspect you have a medical problem, promptly contact your professional
healthcare provider.

Anda mungkin juga menyukai