pbl-27
pbl-27
10-2010-197
C8
elevend@rocketmail.com
Pendahuluan
Pada kasus kali ini ditemukan seorang bayi berusia 3 minggu dirujuk untuk dilakukan
pemeriksaan dengan indikasi Disorder of Sex Development (DSD). Pada pemeriksaan fisik
ditemukan genitalia eksterna dengan kelamin yang meragukan (sex ambigua) yaitu berupa
penoscrotal hipospadia dengan urethra diarah perineum. Pemeriksaan USG abdomen tidak
menunjukkan sesuatu yang jelas karena masih terlalu kecil.
DSD adalah penyimpangan klinis dari perkembangan seksual. Insidens DSD antara
1:4.500 hingga 1:5.000.5 Definisi DSD adalah kelainan perkembangan seks kongenital
3,5-7
ditandai oleh perkembangan kromosomal, gonadal dan anatomi seksual yang atipikal.
Pada DSD terjadi diskrepansi antara organ genital interna dan eksterna.8 DSD menarik untuk
ditangani, melihat manusia seutuhnya tidak hanya sebatas memilih jenis kelamin namun
bagaimana mencapai identitas seksual yang optimal didukung dengan fungsi organ seksual
dan meminimalkan risiko pada fisik, psikis, mempertahankan fertilitas, memberi kualitas
dalam menikmati kehidupan seksual yang baik tanpa merasa dikucilkan dalam masyarakat.5
Anamnesis
1.Murni
Fenotip perempuan dengan genitalia eksterna perempuan normal. Penyebab tidak diketahui.
Karyotipnya bervariasi (46,XO; 46,XX; 46,XY). Sering ditemukan saat pubertas dengan
amenorrhea dan genitalia infantile. Bila ada kromosom Y, resiko tinggi keganasan gonadal
dan harus gonadektomi seawal mungkin
2.Campuran
Bentuk ambiguous genitalia tersering, dengan karyotip 45,XO/46,XY/mosaic. Manifestasi
kliniknya perawakan pendek, ambiguous genitalia. Fenotip bervariasi sangat luas, dari
sindroma Turner hingga laki-Iaki normal. Potensial transformasi ganas ("streak gonad" dan
testis). Bila diputuskan perempuan dilakukan gonadektomi. Bila diputuskan laki-Iaki maka
testis dikembalikan ke kantung skrotum -7 harus dipantau
Etiologi
Ada berbagai macam etiologi dari DSD, mulai dari peningkatan produksi androgen
hingga tidak responsifnya target organ. Pada table dibawah ini diuraikan antara klasifikasi
kategori dengan etiologinya diikuti dengan diagnosis yang memungkinkan.
Kategori Etiologi Diagnosis
46 XX DSD Peningkatan produksi Hiperplasia adrenal kongenital (defisiensi
androgen adrenal janin 21 hidroksilase, defisiensi 11 B
hidroksilase, defisiensi 3B-hidroksisteroid
dehidrogenase, oksireduktase P450)
Tumor yang mensekresi androgen
Produksi androgen DSD ovotestikuler (baik jaringan ovarian
gonadal janin dan testikuler)
46XX SRY + DSD testikuler (translokasi
SRY)
Sumber fetoplasental Defisiensi aromatase plasental
Defisiensi oksidoreduktase
Perpindahan androgen Tumor maternal yang mensekresi
maternal secara androgen atau luteoma dari kehamilan
transplasental Androgen eksogen (danazol)
Lainnya Sindrom dismorfik
Agenesis mullerian
Ekstrofi kloakal
46 XY DSD Malfungsi/disgenesis Disgenesis gonadal murni (XY)
testikuler Disgenesis gonadal campuran (seringkali
45X146XY)
Regresi testikuler
Ovotestikuler DSD
Defek biosintetik - Defisiensi 5 alpha reduktase
berkurangnya sintesis
Hipoplasia atau aplasia selleydig
androgen
CAH nonvirilisasi (StAR, 3 beta-
Hidroksisteroid dehidrogenase, 17
OHD/17 -20 lyase, Sindrom Smith-Lemli-
Opitz)
Defisiensi sintesis atau Sindrom duktus mullerian persisten
kerja AMH
DSD 46 XX/46 XY
ovotestikuler
45X146 XY (disgenesis gonadal
campuran)
Klasifikasi DSD
Secara garis besar, DSD dibagi atas 2 kelompok berdasarkan tahap perkembangan seksual:
1. Abnormalitas determinasi seksual, umumnya disebabkan abnormalitas kromosom
seks atau gen yang mempengaruhi gonadogenesis, dan
2. Kelainan pada diferensiasi seksual, yang umumnya disebabkan defek genetik dan
faktor lainnya selama janin dalam kandungan.
Saat ini, telah ditemukan beberapa gen yang juga berperan terhadap proses determinasi dan
diferensiasi seks tahap awal maupun lanjut yang mengakibatkan penyimpangan fenotipe.1
Sebelumnya pengelompokkan beberapa kelainan gangguan perkembangan seks ini
menjadi 3 kelompok besar, yaitu: Masculinized females (female pseudohermaphroditism),
Incompletely masculinized male (male pseudohermaphroditism), dan true hermaphrodite.
Sejak tahun 2006, European Society for Paediatric Endocrinology (ESPE) dan Lawson
Wilkins Pediatrics Endocrine Society (LWPES) telah mengeluarkan konsensus mengenai
nomenklatur baru dalam diagnosis DSD. Dalam konsensus ini, terdapat perubahan-perubahan
dalam penyebutan kelainan-kelainan DSD maupun klasifikasi dari DSD. Konsensus ini
telah mengganti istilah Female pseudohermaphroditism menjadi 46 XX DSD, male
pseudohermaphroditism menjadi 46 XY DSD, sedangkan true hermaphrodite menjadi
Ovotesticular DSD. Klasifikasi berdasarkan genotipe individu, DSD dapat dibagi atas 4
kategori: 5,8,13
a. 46, XX DSD (female pseudohermaphroditism)
b. 46, XY DSD (male pseudohermaphroditism)
c. True Gonadal DSD
d. DSD kompleks atau undetermined
46, XX DSD (female pseudohermaphroditism ).
Individu dengan kromosom XX, perempuan, memiliki ovarium namun genital
eksterna nampak seperti laki-laki. Ini disebabkan karena janin perempuan terpapar oleh
hormon laki-laki secara berlebih sebelum ia lahir. Labia mengalami fusi dan klitoris
membesar sehingga tampak seperti penis. Umumnya individu ini memiliki uterus dan tuba
Falopi yang normal. Keadaan ini juga disebut 46, XX dengan virilisasi. Sebelumnya, kelainan
DSD ini disebut dengan female pseudohermaphroditism. Dari pemeriksaan fisik tampak
pembesaran klitoris dan gonad tidak teraba.
Beberapa kemungkinan etiologi 46, XX DSD:
Congenital adrenal hyperplasia (etiologi paling sering).
Hormon laki-laki (seperti testosteron) yang dikonsumsi ibu saat hamil.
Tumor penghasil hormon laki-laki pada ibu, paling sering pada tumor ovarium
Defisiensi aromatase. Hal ini baru akan terdeteksi saat pubertas. Enzim aromatase
berperan dalam mengkonversi hormon laki-laki menjadi hormon perempuan.
Kelebihan enzim akan menyebabkan kelebihan estrogen sedangkan defisiensi enzim
ini menyebabkan 46, XX DSD. Saat pubertas, anak XX yang sudah dibesarkan
sebagai anak perempuan, akan mulai menunjukkan fenotipe laki-laki.
Rekonstruksi yang dilakukan berupa genitoplasti feminisasi yang meliputi clitoroplasti,
labioplasti dan vaginoplasti.
46, XY DSD ( male pseudohermaphroditism).
Individu dengan kromosom XY/ laki-laki namun genital eksternanya tidak terbentuk
dengan sempurna, ambigus atau seperti genitalia perempuan. Secara organ genital interna,
testis dapat normal, mengalami malformasi atau vanishing testis sindrome. Keadaan ini juga
disebut 46, XY with undervirilization, dahulu dikenal dengan istilah male
pseudohermaphroditism. Manifestasi klinis anak lahir dengan genetalia externa perempuan
dan terdiagnosa saat pubertas, dimana mengalami amenore primer atau saat operasi repair
hernia inguinal ditemukan testis, dengan kariotipe XY. Pemeriksaan radiologis dengan
ultrasonografi tidak ditemukan uterus dan ovarium di pelvis.
Beberapa etiologi 46, XY DSD:
Masalah pada testis. Testis merupakan penghasil hormon laki-laki. Jika testis tidak
terbentuk/ berfungsi dengan baik, maka individu mengalami undervirilization. Hal ini
dapat disebabkan XY pure gonadal dysgenesis.
Masalah pada pembentukan testosteron. Defisiensi enzim tertentu menyebabkan
kekurangan testosteron dan menyebabkan sindrom lain pada 46, XY DSD.
Kegagalan dari sel leydig ( leydig cell failure ) , tidak respon pada hormone human
chorionic gonadotropin (hCG) dan LH.
Syndrome persisten duktus mullerian
Primary testicular failure ( vanishing testis syndrome )
Efek hormone eksogen
Masalah pada penggunaan testosterone dengan testis normal.
o Defisiensi 5-alpha-reductase. Individu dengan defisiensi 5-alpha-reductase
mengalami kekurangan konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron
(DHT).
o Androgen insensitivity syndrome (AIS). Ini adalah etiologi 46, XY DSD paling
umum. Hormon pada AIS normal namun reseptor hormon tidak berfungsi
dengan baik. AIS juga disebut sebagai testicular feminization.
Manajemennya dengan pemberian hormonal replacement, gonadektomi karena resiko
terjadinya keganasan. Gonadektomi dilakukan saat pre atau post pubertas masih
controversial, kalau dilakukan sebelum pubertas diperlukan hormonal replacement untuk
perkembangan normal pubertas.
Ovo testicular DSD (True Gonadal DSD).
Pada kelainan ini, individu memiliki kedua jaringan ovarium maupun testis. Ini
mungkin terdapat pada satu gonad (ovotestis), atau seseorang dapat memiliki satu ovarium
dan satu testis. Individu ini mungkin memiliki kromosom XX, kromosom XY atau keduanya.
Genital eksterna dapat tampak ambigus, atau seperti laki-laki maupun perempuan. Keadaan
ini dulu dikenal dengan istilah true hermaphroditism. Etiologi true gonadal DSD belum
diketahui, namun pada beberapa studi terhadap binatang, kemungkinan berhubungan dengan
pestisida.
DSD kompleks atau undetermined.
Banyak konfigurasi kromosom di luar 46, XX atau 46, XY yang dapat menyebabkan
terjadinya DSD. Contoh DSD kompleks antara lain sindrom Turner 45, XO (hanya memiliki
kromosom X), dan sindrom Klinefelter (47, XXY), atau 47, XXX – dengan kromosom seks
ektra, baik kromosom X atau Y.
Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik DSD dapat terlihat pada masa neonatus atau tidak terlihat sampai
menginjak usia pubertas. Pada masa neonatus, umumnya petugas medis mendapatkan
masalah untuk menentukan jenis kelamin pada bayi yang baru saja dilahirkan akibat
klitoromegali, pembengkakan daerah inguinal pada neonatus “perempuan”, tidak terabanya
testis pada neonates “laki-laki”, ataupun hipospadia. Sedangkan pada masa pubertas,
umumnya manifestasi dapatberupa terhambatnya pertumbuhan seks sekunder, amenore
primer, adanya virilisasi pada perempuan, gynecomastia dan infertilitas.
Penatalaksanaan DSD
Penatalaksanaan yang optimal untuk DSD membutuhkan peran dari tim multi disiplin
yang berpengalaman yang meliputi lingkup psikososial, medis dan pembedahan serta disiplin
ilmu subspesialis lainnya seperti ahli neonatalogi, pediatrik endokrinologi, pediatrik urologi,
endokrinologi ginekologi, ahli genetik, konselor, psikiater atau ahli psikologi, perawat
danpekerja sosial.Lingkup penanganan psikososial
Lingkup penanganan medis
Penatalaksaan medis umumnya adalah meliputi pemberian terapi hormonal.
Pemberian terapi hormonal ini juga termasuk dalam upaya pemeriksaan untuk menegakkan
diagnosis DSD sesuai dengan klasifikasinya. Pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah
melakukan pemeriksaan analisa kromosom dengan cara yang konvensional atau
menggunakan teknik fluorescence in-situ hybridization(FISH) dengan tujuan untuk
melakukan analisis keberadaan kromosom X dan Y. Pemeriksaan lain seperti ultrasonografi
abdomen dan pelvis, pengukuran hormon 17-OH-progesteron,testosteron, gonadotropin,
AMH, elektrolit dan urinalisis juga sering dibutuhkan untuk dapat menentukan jenis DSD.
Selain itu terdapat pula suatu uji dinamik yang bertujuan untuk menguji fungsi testis
untuk memproduksi hormon androgen. Pemeriksaan tersebut disebut sebagai uji hCG.
Namun protokol pemeriksaan dosis, frekuensi dan kapan saat yang tepat dimulai pemeriksan
masih diperdebatkan. Protokol yang sering digunakan yaitu, dengan menggunakan hCG 1500
unit selama 3 hari dan sampel pasca injeksi diambil setelah 24 jam dari suntikan terakhir,
serta saat yang tepat dilakukan adalah setelah melewati masa neonatus (usia lebih dari 4
minggu karena terkait dengan peningkatan aktivitas sel Leydig). Bentuk uji dinamik lainnya
adalah dengan melakukan uji stimulasi adrenocorticotropichormone (ACTH) untuk
mengetahui ada tidaknya defek di kelenjar gonad.
Selain itu untuk memastikan adanya kelainan pada kelenjar adrenal pemeriksaan
analisis steroid pada urin juga dapat dilakukan. Pemberian terapi hormon pada DSD didasari
atas kebutuhan hormon seks untuk menginisiasi maturasi pubertas. Terapi hormonal ini dapat
dilakukan saat usia penyandang DSD memasuki usia pubertas dimana lingkungan
pergaulannya juga memasuki masa tersebut. Jika terlalu lama menunda pemberian terapi
hormon dapat menimbulkan keterlambatan perkembangan genitalia, fungsi reproduksi dan
fungsi seksual serta mempengaruhi kualitas hidupnya di masa mendatang.
Lingkup penanganan pembedahan
Berdasarkan guidelines American Academy of Pediatrics, lingkup pembedahan sudah
termsuk dalam pemilihan terapi DSD. Terapi pembedahan berupa genitoplasty dapat
dilakukan jika diagnosis DSD sudah ditegakkan dengan pasti dan hasil keluaran pasca operasi
bermanfaat dalam penentuan jenis kelamin di usia dewasa. Genitoplasty adalah merupakan
jenis terapi yang bersifat irreversibel seperti dilakukannya kastrasi dan reduksi phallus pada
DSD yang akanmenjadi wanita dan reseksi utero-vagina pada DSD yang akan menjadi pria.
Terkadang DSD yang tidak terdiagnosis pada masa infan dan baru diketahui saat memasuki
masa pubertas, sepertipada kasus anak perempuan dengan CAH dan dibesarkan sebagai anak
lelaki atau pada kasus anak lelaki dengan defisiensi 17β-hydroxysteroid dehydrogenase dan
5α-reductase dibesarkan sebagai anak perempuan.
Kondisi tersebut menimbulkan tekanan mental pada orangtua dan penyandang DSD,
namun pemilihan terapi pembedahan tidak boleh langsung dilakukan sebelum dilakukan
pemeriksaan endokrin dan pendekatan terapi psikososial. Seluruh jenis tindakan pembedahan
yang akan dilakukan harus dipertimbangkan secara hati-hati, dengan selalu mengutamakan
kepentingan pasien di atas segala-galanya. Hingga saat ini penentuan usia yang tepat untuk
menentukan kapan sebaiknya tindakan operasi dilakukan masih diperdebatkan. Berdasarkan
aspek psikososial, tindakan operasi yang dilakukan pada masa infan lebih disukai, karena
lebih mudah dilakukan dan riwayat trauma operasi dapat dihilangkan jika dibandingkan
dengan melakukan tindakan pembedahan pada anak saat mulai memasuki usia dewasa.
Namun pendapat lain menyatakan bahwa tindakan operasi DSD sebaiknya menunggu
sampai usia yang cukup untuk menerima informasi dan selanjutnya dilakukan informed
consent langsung kepada penyandang DSD, mengingat yang dilakukan berhubungan dengan
fungsi seksualitas. Sebelum dilakukan tindakan pembedahan penting diketahui bagi pihak
orangtua dan penyandang DSD mengenai untung-ruginya tindakan pembedahan serta hasil
akhir yang akan didapat.Tujuan utama tindakan pembedahan adalah mengembalikan fungsi
organ genitalia dibandingkan fungsi estetiknya. Tujuan lainnya adalah menentukan jenis
kelamin yang tepat,membantu pembentukan image tubuh sesuai dengan jenis kelaminnya,
menghindari stigmasosial, dan terakhir berkaitan dengan fungsi seksualiats dalam
berhubungan seksual.
Jika tindakan pembedahan sudah ditetapkan, setelah menjalankan operasi
penatalaksaan lainnya yaitu aspek psikososial dan medis harus tetap dijalankan secara teratur.
Karena rangkaian penatalaksanaan antara ketiganya saling mendukung satu sama lain. Terapi
pembedahan gonad saat ini juga dinilai penting, terutama pada kasus 46XY DSD, di mana
umumnya testis masih tetap berada di dalam rongga abdomen. Kemungkinan adanya
diferensiasi gonad ke arah keganasan membuat terapi pengangkatan gonad dibutuhkan.
Pemeriksaan biopsi gonad kadang juga diperlukan untuk membuktikan adanya kelainan
disgenesis gonad atau adanya kondisiovotestis.
Daftar Pustaka
1. lee PA, Houk CP, Ahmed SF et al. Consensus Statement on Management of Intersex
Disorders. International Consensus Conference on Intersex. Pediatrics. 2006. 118(2):
e488-500
2. Anthony E, Cassandra LA et al. Clinical Guidelines for the Management of Disorders
of Sex Development in Childhood. 2006. Didapat dari Y{'\/\~LJ..§DsL<:;~2
3. Ambiguous Genitalia. Didapat dari www. patient. co. Uk
4. Thyen U, lanz K, Holterhus PM, Hiort O. Epidemiology and Initial Management of
Ambiguous Genitalia at Birth in Germany. Hormone Research. 2006; 66:195-203
5. MP. Evaluation of the Newborn with Developmental Anomalies of the External
Genitalia. Pediatrics. 2000,106(1): 138-43
6. Allen L. Disorders of Sexual Development. Obst~t Gynecol Clin N Am 36 (2009) 25-
45
7. Carrillo M, Damian M, Berkovitz G. Disorders of Sexual Differentiation. Pediatric
Endocrinology.5th ed.,lnforma Healthcare.2007(2):365-90
8. Levine lS. White PC. Congenital Adrenal Hyperplasia and Related Disorders. In:
Behrman RE. Kliegman RM. Jenson HB. Nelson textbook of Pediatrics. 1 th ed.
Saunders. london. 2004:1909-16
9. Aditiawati. Hiperplasia Adrenal Kongenital. Dalam: Simposium Peran Endokrinologi
Anak dalam Proses Tumbuh Kembang Anak. Bagian IImu Kesehatan Anak FK
Unand UKK Endokrinologi Anak IDAI 2005. h:36-50
10. Speiser PW, White PC. Congenital Adrenal Hyperplasia. N Engl J Med
2003;349:776-88
11. American Academy of Pediatrics. Technical Report: Congenital Adrenal Hyperplasia.
Pediatrics 2000; 1 06(6): 1511-8
12. Wilson TA. Congenital Adrenal Hyperplasia. eMedicine Journal, November
2006:2(9)
13. Susanto R. Permasalahan Ambiguous Genitalia di Bidang Pediatri. PKB Tumbuh
Kembang, Nutrisi dan Endokrin, IDAI Cabang Kalimantan Selatan 2006
14. Chris CD, Moore, Melvin MG. Sex Determination and Gonadogenesis: A
Transcription Cascade of Sex Chromosome and Autosome Genes. Seminars in
Perinatology, 1992.16(5):266-78
15. Maclaughlin DT, Donahoe PK. Mechanism of Disease Sex Determination and
Differentiation. N Engl J Med, 2004;350:367-78
16. Josso N. Hormonal Regulation of Sexual Differentiation. Seminars in Perinatology,
1992. 16(5):279-88
17. Migeon CJ, Wisniewski AB. Ambiguous Genitalia in the Newborn.
Endotext. com. PediatricEndocrinology
18. Wales JKH, Wit JM, Rogol AD. Abnormal Genital. Pediatric Endocrinology and
Growth, 2th Ed.2003:157-79.