Anda di halaman 1dari 32

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN PADA PASIEN


JAMKESMAS DI PUSKESMAS TADANG PALIE
KECAMATAN CEMPA KABUPATEN PINRANG
TAHUN 2010
10 April 2012 pertarunganhidup Meninggalkan komentar Go to comments

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung
antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan
pelanggan. Dalam kamus besar Indonesia dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani
kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang
diperlukan seseorang. Kepmenpan No.81/93 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala
bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat/daerah. Dalam rangka pemenuhan
kebutuhan masyarakat, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. (http://www.
Kualitas.com/2009/07, diakses 21 Juni 2010).

Dr. Armand V. Feigenbaum mengemukakan kualitas produk dan jasa adalah seluruh gabungan
sifat-sifat produk atau jasa pelayanan dari pemasaran, engineering, manufaktur, dan
pemeliharaan di mana produk atau jasa pelayanan dalam penggunaannya akan bertemu sesuai
harapan pelanggan. Gaspersz (1997) menyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada
pengertian pokok yaitu kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan
langsung, maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan
demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk. Kualitas terdiri dari segala sesuatu
yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

( http://www.blogerch.com/2007/09, diakses 21 Juni 2010 ).

Dalam ISO 8402 (Quality Vocabulary), kualitas didefinisikan sebagai totalitas dari karakteristik
suatu produk yang menunjang kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan yang
dispesifikasikan atau ditetapkan. (Gaspersz, 2003).

Kualitas adalah menjaga janji pelayanan agar pihak yang dilayani merasa puas dan diuntungkan.
Meningkatkan kualitas merupakan pekerjaan semua orang adalah pelanggan. Tanggung jawab
untuk kualitas produksi dan pengawasan kualitas tidak dapat didelegasikan kepada satu orang,
misalnya staf pada sebuah kantor.

Parasuraman (1985) mengatakan ada dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, Yaitu
expective service (pelayanan yang diharapkan) dan perceived service (pelayanan yang diterima).
Karna kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan dari keinginan pelanggan serta
ketepatan penyampaian untuk mengimbangi harapan pelanggan.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan semakin mendapat perhatian yang lebih besar,
hal ini mudah di pahami oleh karena apabila pelayanan kesehatan yang bermutu dapat
diseleggarakan, bukan saja dapat meningkatkan hasil guna pelayanan kesehatan tetapi sekaligus
akan meningkatkan guna pelayanan kesehatan.

Upaya peningkatan kualitas pelayanan kesehatan adalah penting dan sudah merupakan tuntutan
karena adanya berbagai faktor yang berhubungan dengan upaya peningkatan mutu pelayanan.
Untuk mencapai kualitas yang lebih baik, maka upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan
harus dilaksanakan secara terpadu multi disiplin, dengan melibatkan seluruh karyawan yang
terkait baik pasien dan keluarga serta pemerintah daerah setempat. Sebagai pemilik hendaknya
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pelayanan itu sendiri yang harus dilaksanakan secara
terus-menerus dan berkesinambungan. Tanpa membedakan status sosial masyarakat.

Ketika pelanggan mempunyai suatu urusan / keperluan pada sebuah organisasi, baik organisasi
pemerintah maupun swasta, ia akan merasa senang atau tidak senang saat dilayani oleh petugas.
Jika pelanggan merasa senang dilayani oleh petugas tersebut, maka pelayanan petugas sangat
memuaskan atau pelayanan petugas berkualitas. Sebaliknya, ketika pelanggan merasa dirugikan
petugas akibat pelayanannya berbelit-belit, tidak ada komunikasi yang baik, tidak memahami
kebutuhan pelanggan, pengetahuan dan kemampuan petugas yang kurang, serta pelayanan yang
diberikan tidak akurat dan memuaskan, maka pelayanan dapat dikatakan tidak berkualitas.

Suatu pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban ialah mengapa pelanggan tidak mendapatkan
pelayanan seperti yang diharapkan? Apakah semua persyaratan yang diperlukan telah
dilengkapi? Jika semua persyaratan-persyaratan telah dilengkapi tetapi pelanggan tidak
mendapatkan pelayanan yang memuaskan, maka dapat disimpulkan bahwa mungkin terdapat
sesuatu yang belum terbaca / atau belum terdapat dalam suatu memorandum of understanding
antara pelayanan di suatu pihak dan pelanggan yang sedang dalam proses pelayanan di lain
pihak. Untuk mendapatkan jawaban kepastian kualitas pelayanan, diperlukan kesepamahaman
tentang aturan main pelayanan yang diberikan, baik dari sisi aparatur pelayanan maupun
pelanggan. (http://www. Kualitas.com/2009/07, diakses 21 Juni 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Nur ( 2007) bahwa pasien yang memanfaatkan pelayanan
kesehatan berdasarkan bukti fisik (tangibles) dikelas VIP RS Ibnu Sina Makassar menyatakan
tidak puas (67,7%). Sedangkan penelitian Inria (2008), bahwa kepuasan pasien peserta Askes
terhadap pelayanan rawat jalan di Puskesmas Batua kurang baik (53,6%). Lain pula dengan
penelitian yang dilakukan Kurniawati (2007), bahwa pasien ASKESKIN diruang rawat inap
RSP1/PKM Jumpandang Baru Makassar menyatakan kurang puas terhadap aspek
tangibles/bukti langsung perawat (70,2%) dan aspek responsiveness/daya tanggap perawat
(46,8%).

Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H dan Undang-Undang Nomor 23/1992 tentang Kesehatan,
menetapkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu setiap
individu, keluarga dan masyarakat berhak memperoleh perlindungan terhadap kesehatannya.
Negara bertanggung jawab mengatur agar terpenuhi hak hidup sehat bagi warganya khususnya
bagi masyarakat miskin termasuk di dalamnya perempuan. Sistem kesehatan yang mencakup
aturan hukum, anggaran, pelaksanaan serta pengawasan program kesehatan saling terkait
dampaknya bagi pemenuhan hak kesehatan masyarakat tersebut. Salah satu program kesehatan
pemerintah adalah Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) sebagai kelanjutan program
Askeskin.

Jamkesmas berlaku mulai Tahun 2008. Jamkesmas adalah bantuan sosial untuk pelayanan
kesehatan. 19,1 juta rumah tangga miskin atau 76,4 juta rakyat miskin dan hampir miskin seluruh
Indonesia. Pemerintah mengalokasikan anggaran Jamkesmas tahun 2008 sebesar Rp. 4,6
triliun. Perubahan mendasar dari sistem Askeskin ke Jamkesmas antara lain penyaluran dana
langsung ke pemberi pelayanan kesehatan. Dari Kas Negara ke Puskesmas dan jaringannya
melalui PT Pos Indonesia, sedangkan ke rumah sakit langsung ke rekening bank rumah sakit
yang bersangkutan. Untuk mengontrol kendali biaya, mulai Juli-Desember 2008 akan
diberlakukan tarif paket pelayanan di rumah sakit. (http://andy.web.id/jamkesmas.php, diakses
10 Juli 2010).

Jumlah total peserta di sulawesi Selatan sebanyak 2.200.597 atau 78,99%. Sedangkan Jumlah
peserta Jamkesmas di Kabupaten Pinrang sebanyak 78.500 atau 93, 30%. (Profil Kesehatan Sul-
Sel 2009.pdf, diakses 11 Juli 2010).

Puskesmas Tadang palie didirikan pada Bulan Oktober 2006 dan difungsikan pada tanggal 2 Mei
2007. Luas Wilayah Kecamatan Cempa 37.029 Km2, dengan Jumlah penduduk sebanyak
31.831 Jiwa, Laki-laki 15.219 Jiwa dan Perempuan 1.6612 Jiwa. Jumlah KK pada Tahun 2009
sebanyak 7.300 KK, dan Jumlah KK miskin sebanyak 2.591 KK dengan 10.796 Jiwa. (Profil
Puskesmas Wakka, 2008). Data perbandingan peserta Jamkesmas pada wilayah kerja Puskesmas
se-Kabupaten Pinrang Tahun 2010, Puskesmas Tadang Palie berada pada peringkat ketiga
peserta terbanyak dari 15 Puskesmas. Dengan jumlah peserta Jamkesmas sebanyak 7.067 Jiwa.
(Profil Dinkes Kab. Pinrang, 2009).

Jumlah Kunjungan pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang palie Kecamatan Cempa Kabupaten
Pinrang Tahun 2008 sebanyak 1.044 Jiwa, Tahun 2009 sebanyak 2.115 Jiwa, dan Tahun 2010
pada bulan Januari – Oktober sebanyak 1.179 Jiwa. Terjadinya peningkatan jumlah kunjungan
tidak menjamin semakin baiknya kualitas pelayanan. Hal ini berdasarkan hasil survey dilihat dari
Bukti fisik (Tangibel) Kebersihan dan keindahan halaman Puskesmas masih kurang. Empati
(Emphaty) kurangnya perhatian secara khusus kepada setiap pasien, petugas cuek kepada
pengunjung. Daya tanggap (Responsiveness) petugas tidak secara spontan memberikan
pertolongan. Dan dilihat dari kehandalan (Reability) lamanya waktu tunggu yang dirasakan
pasien serta kelembanan dalam pelayanan, seringnya terlihat ketidaktepatan waktu pelayanan
kesehatan, dan Petugas Pelayanan terkadang tidak berada di tempat. Ini merupakan masalah yang
berhubungan dengan kualitas pelayanan Kesehatan dan menjadi acuan untuk melakukan
penelitian di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang yang di temukan
berdasarkan pengamatan peneliti. (Profil Puskesmas Tadang Palie, 2009).

Secara spesifik, keluhan yang disampaikan merupakan rendahnya kepercayaaan masyarakat


disebabkan oleh rendahnya kualitas pelayanan di Puaskesmas tersebut. Indikasi dari hal tersebut
dapat terlihaat dari keluhan masyarakat yang disampaikan secara langsung kepada petugas loket.
Keluhan-keluhan tersebut mengindikasikan adanya ketidak puasan pasien atau keluarga pasien
yang dapat disebabkan karena kualitas pelayanan yang diberikan Puskesmas tidak sesuai yang
diharapkan. Jika hal ini terus terjadi maka akan mengurangi kepercayaan pasien terhadap
pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas.

Bertitik tolak dari apa yang telah diuraikan di atas, maka penulis tertarik meneliti tentang faktor-
faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien Jamkesmas di
Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Apakah ada hubungan Bukti fisik (tangibles) dengan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien
Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010?

2. Apakah ada hubungan Empati (empathy) dengan kualitas pelayanan kesehatan pada pasien
Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010?

3. Apakah ada hubungan daya tanggap (Responsiveness) petugas kesehatan dengan kualitas
pelayanan kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang palie Kecamatan Cempa
Kabupaten Pinrang Tahun 2010?

4. Apakah ada hubungan kehandalan (Reliability) petugas kesehatan dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten
Pinrang Tahun 2010?

5. Apakah ada hubungan Jaminan (Assurance) petugas kesehatan dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang palie Kecamatan Cempa Kabupaten
Pinrang Tahun 2010?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan kesehatan pada
pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun
2010.

2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui hubungan Bukti fisik (tangibles)dengan kualitas pelayanan pada
pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang
Tahun 2010.
1. Untuk mengetahui hubungan Empati (emphaty) dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa
Kabupaten Pinrang Tahun 2010.
2. Untuk mengetahui hubungan daya tanggap (Responsiveness) dengan kualitas
pelayanan kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang palie
Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010.
3. Untuk mengetahui hubungan kehandalan (Reliability) dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa
Kabupaten Pinrang Tahun 2010.
4. Untuk mengetahui hubungan Jaminan (Assurance) dengan kualitas pelayanan
kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa
Kabupaten Pinrang Tahun 2010.

C. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Merupakan pengalaman berharga serta dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti
tentang kualitas pelayanan Kesehatan pada pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie
Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010.

2. Manfaat Institusi.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan bacaan dan sebagai masukan yang berkaitan
dengan pengembangan ilmu serta dapat digunakan sebagai bahan penelitian lanjutan ataupun
sebagai bahan pembandingan bagi penelitian dimasa mendatang.

3.Manfaat praktis

Sebagai bahan informasi bagi stakeholders yang berkaitan langsung maupun tidak langsung,
khususnya yang menyangkut kualitas pelayanan di Puskesmas untuk lebih memahami atribut
kualitas pelayanan sebagai citra Puskesmas akan dinilai positif.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Kualitas

Dalam kehidupan sehari-sehari seringkali kita mendengar orang membicarakan masalah


kualitas/mutu, misalnya mengenai kualitas dalam pelayanan jasa kesehatan. Kualitas meliputi
usaha untuk memenuhi atau melebihi harapan pelanggan.

Kualitas dapat didefinisikan dalam berbagai macam defenisi. Berikut ini adalah defenisi kualitas
yang dikemukakan oleh para ahli (Suari, 2003) :
1. Philip B. Crosby

Crosby berpendapat bahwa mutu/kualitas berarti kesesuaian terhadap persyaratan, seperti jam
tahan air, sepatu tahan lama, atau dokter yang ahli. Crosby juga mengatakan pentingnya
melibatkan setiap orang pada proses dalam organisasi. Pendekatan Crosby merupakan proses
Top Down.

1.W. Edwards Deming

Deming berpendapat bahwa kualitas berarti pencegahan masalah untuk pencapaian


penyempurnaan terus-menerus seperti penerapan keizen di toyota dan gugus kendali mutu pada
telkom. Pendekatan Deming merupakan bottom up.

2.Josep M. Juran

Juran berpendapat bahwa kualitas berarti kesesuaian dengan penggunaan, seperti sepatu yang
dirancang untuk olahraga atau sepatu kulit yang dirancang untuk ke kantor atau ke pesta.
Pendekatan Juran merupakan orientasi pada upaya pemenuhan harapan pelanggan.

3.K. Ishikawa

Ishikawa berpendapat bahwa kualitas berarti kepuasan pelanggan. Dengan demikian, setiap
bagian proses dalam organisasi memiliki pelanggan. Kepuasan pelanggan Internal akan
menyebabkan kepuasan pelanggan organisasi. Yamit, Z. 2001. (http://eprints.ums.ac.id, diakses
21 Juni 2010).

Defenisi-definisi yang dilontarkan para ahli kualitas tersebut mengandung keunggulan dan
kelemahannya masing-masing. Tak ada defenisi yang sempurna. Oleh sebab itu setiap organisasi
jasa harus mendefinisikan kualitas berdasarkan tujuan, harapan, budaya, dan pelanggannya
masing-masing. Pada kenyataannya, tak jarang sebuah organisasi mengkombinasikan aspek-
aspek terbaik dari defenisi yang ada dan kemudian merumuskan defenisinya sendiri. Kombinasi
tersebut terutama didasarkan pada tiga faktor:

1. Karakteristik kualitas, yaitu karakteristik output dari suatu proses yang penting bagi
pelanggan. Karakteristik kualitas menuntut pemahaman mengenai pelanggan dalam
segala hal.
2. Karakteristik kunci dari kualitas (key quality characteristics), yaitu karakteristik kualitas
yang paling penting. Karakteristik kunci dari kualitas harus dideffinisikan secara
operasional dengan jalan mengkombinasikan pemahaman mengenai pelanggan dengan
pemahaman mengenai proses.
3. Variabel kunci dari proses (key process variables), yakni komponene komponen proses
yang memiliki hubungan sebab akibat yang cukup besar dengan karakteristik kunci dari
kualitas, sehingga manipulasi dan pengendalian variabel kunci dari proses akan
mengurangi variasi karakteristik kunci dari kualitas dan/atau mengubah levelnya menjadi
karakteristik kualitas atau karakteristik kunci dari kualitas. (Tjiptono 2005)
Kata kualitas memiliki banyak defenisi yang berbeda dan bervariasi mulai dari yang
konvensional hingga yang lebih strategis. Defenisi konvensional dari kualitas biasanya
menggambarkan karakteristik suatu produk seperti : kinerja (performance), kehandalan
(reliability), mudah dalam penggunaan (easy of use), estetika (esthetics), dan sebagainya.
Sedangkan dalam defenisi strategis dinyatakan bahwa kualitas adalah segala sesuatu yang
mampu memenuhi keinginan dan kebutuhan pelanggan (meeting the needs of customers).

Berdasarkan pengertian kualitas, baik yang konvensional maupun yang lebih strategis oleh
Gaspersz (1997) dinyatakan bahwa pada dasarnya kualitas mengacu kepada pengertian pokok
yaitu kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan atraktif yang
memenuhi keinginan pelanggan dan dengan demikian memberikan kepuasan atau penggunaan
produk. Kualitas terdiri dari segala yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.

Pada bagian lain Gaspersz (1997) dalam mengutip Juran memberikan defenisi manajemen
kualitas sebagai salah satu kumpulan aktivitas yang berkualitas dengan kualitas tertentu yang
memiliki karakteristik sebagai berikut:

1. Kualitas menjadi bagian dari setiap agenda manajemen


2. Sasaran kualitas dimasukkan ke dalam rencana bisnis
3. Jangkauan sasaran diturunkan dari benchmarking : fokus adalah pada pelanggan dan pada
kesesuaian kompetisi; di sana adalah sasaran untuk peningkatan kuaitas tahunan.
4. Sasaran disebarkan ketingkat mengambil tindakan
5. Pelatihan ditetapkan pada setiap tingkat
6. Pengukuran ditetapkan seluruhnya
7. Manajer atas secara teratur meninjau kembali kemajuan dibandingkan dengan sasaran
8. Pengahargaan diberikan untuk kinerja terbaik
9. Sistem imbalan (reward system) diperbaiki.

Tjiptono (1991) menyimpulkan bahwa citra kualitas pelayanan yang baik bukanlah berdasarkan
sudut pandang / persepsi penyedian jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang / persepsi
konsumen. Hal ini disebabkan karna konsumenlah yang mengkomsumsi serta yang menikmati
jasa layanan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen
terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan suatu jasa
layanan.

Bagi pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi yang ditentut
pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas yang dimaksud dan apa yang dianggap
penting. Pelanggan mempertimbangkan suatu kualitas palayanan. Untuk itu, kualitas dapat
dideteksi pada persoalan bentuk, sehingga dapat ditemukan:

1. Kualitas pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji


2. Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai komitmen yang telah
ditetapkansebelumnya
3. Kualitas dan integritas merupakan sesuatu yang tak terpisahkan. (http://www.
Kualitas.com/2009/07, diakses 21 Juni 2010).
Menurut Parasuraman dkk, (1990) kualitas pelayanan yang dipersepsi oleh pelanggan (perceived
service quality) didefinisikan sebagai seberapa besar kesenjangan (gap) antara persepsi
pelanggan atas kenyataan pelayanan yang diterima dibandingkan dengan harapan pelanggan atas
pelayanan yang seharusnya diterima.

Jadi kualitas pelayanan dapat diketahui dengan cara membandingkan antara persepsi (kenyataan)
dengan ekspektasi (harapan) pelanggan atas suatu pelayanan yang diberikan oleh organisasi
pemberi jasa.

Harapan pelanggan atas suatu pelayanan dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu:

1. Komunikasi dari mulut ke mulut (word of mouth communication). Faktor ini sangat
mempengaruhi dalam pembentukan harapan pelanggan atas suatu jasa / pelayanan yang
bermutu dalam banyak kasus dipengaruhi oleh informasi dari mulut kemulut yang
diperoleh dari pelanggan yang telah mengkomsumsi jasa tersebut sebelumnya.
2. Kebutuhan pribadi (personal need). Harapan pelanggan bervariasi tergantung pada
karakteristik dan keadaan individu yang mempengaruhi kebutuhan pribadinya.
3. Pengalaman masa lalu (past experience). Pengalaman pelanggan merasakan suatu
pelayanan jasa tertentu dimasa lalu mempengaruhi tingat harapannya untuk memperoleh
pelayanan jasa yang sama dimasa kini dan yang akan datang.
4. Komunikasi eksternal (companys external communication). Komunikasi eksternal yang
digunakan oleh perusahaan jasa sebagai pemberi pelayanan melalui berbagai bentuk
upaya promosi juga memegang peranan dalam pembentukan harapan pelanggan.

Berdasarkan pendapat diatas terdapat tiga tingkat kualitas pelayanan, yaitu:

1.Bermutu (Quality Surprise)

Bila kenyataan pelayanan yang diterima melebihi pelayanan yang diharpkan pelanggan.

2.Memuaskan (Satisfactory Quality)

Bila kenyataan pelayanan yang diterima sama dengan pelayanan yang diharapkan pelanggan.

3.Tidak bermutu (Unacceptable Quality)

Bila ternyata kenyataan pelayanan yang diterima lebih rendah dari yang diharapkan.

Parasuraman dkk (1990) mengemukakan suatu model kualitas pelayanan yang sangat populer
dan banyak dianut oleh para ahli pemasaran (Kotler, Mutdick 1990: Fizsmmons, 1994). Model
kualitas pelayanan ini menyoroti syarat-syarat utama pemberian pelayanan yang diharapkan oleh
pelanggan dan mengidentifikasikan 5 kesenjangan (gap) yang mengakibatkan kegagalan
pemberian pelayanan. Parasuraman, Zeithmal dan Berry (Walker 1992) kelima kesenjangan
dalam pelayanan dan kemungkinan faktor penyebabnya sebagai berikut :
1. Kesenjangan antara harapan konsumen dengan pandangan manajemen (Gap between the
customer’s expectations and the manajemen perceptions) Pihak manajemen tidak selalu
memiliki pemahaman yang tepat tentang apa yang diinginkan oleh para pelanggan atau
bagaimana penilaian pelanggan terhadap usaha pelayanan yang diberikan oleh
perusahaan. Sebagai contoh :

Manajemen menganggap bahwa pelanggan menilai mutu pelayanan rumah sakit dari kualitas
(mutu) makanan yang diberikan, tetapi sebenarnya yang diharapkan oleh pelanggan adalah cepat
tanggap dan keramahan dari tenaga medis. Oleh karena itu manajemen perlu mengumpulkan
informasi untuk menentukan atribut-atribut pelayanan apa yang dianggap penting oleh
pelanggan. Parasuraman (1990) dalam penelitiannya menyatakan ada tiga faktor yang dapat
mempengaruhi gap satu ini, yaitu:

1. Manajer sebagai pengambil keputusan kurang mempergunakan atau bahkan tidak


menggunakan hasil penelitian pasar terhadap produk yang ditawarkannya.
2. Tidak adanya komunikasi yang efektif antara karyawan yang langsung berhadapan
dengan konsumen dengan pihak manajer sebagai penentu kebijaksanaan.
3. Terlalu banyak tingkatan birokrasi yang ada antara karyawan yang langsung berhadapan
dengan konsumen dengan manajer sebagai penentu kebijaksanaan.
4. Kesenjangan antara pandangan manajemen dengan spesifikasi kualitas pelayanan (Gap
between management perceptions and service quality specification)Manajemen mungkin
tidak membuat standar kualitas yang jelas, atau standar kualitas sudah jelas tetapi tidak
realistik, atau standar kualitas sudah jelas dan realistik namun manjemen tidak berusaha
untuk melaksanakan standar kualitas tersebut. Hal ini akan mengakibatkan karyawan
tidak memahami tentang kebijakan perusahaan dan ketidak percayaan terhadap sikap
manajemen, yang selanjutnya menurunkan prestasi kerja karyawan. Contoh : Adanya
keinginan manajemen untuk memberikan jawaban yang cepat terhadap telepon yang
masuk, namun tidak mempersiapkan operator telepon dalam jumlah yang cukup; adanya
kebijakan – kebijakan yang tidak jelas, dikomunikasikan dengan buruk kepada karyawan.
Gap ini dapat terjadi karena:
1. Tidak adanya atau kurangnya komitmen dari manajer bahwa kualitaspelayanan
merupakan kunci dari strategi mencapai tujuan.
2. Ketidakyakinan manajer bahwa harapan pelanggan tersebut dapat

dipenuhi

1. Kekurangan sumberdaya, baik peralatan maupun manusianya.

Perusahaan dalam menetapkan standar tidak memperkirakan apa yang sekiranya menjadi standar
konsumen terhadap jasa tersebut.

1. Kesenjangan antara penyajian pelayanan dan komunikasi eksternal (Gap between service
quality specifications and service delivery).Standar-standar yang tinggi harus didukung
oleh sumber-sumber daya, programprogram dan imbalan yang diperlukan untuk
mendorong karyawaan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pelanggan.
Banyak faktor yang mempengaruhi pemberian pelayanan, seperti ketrampilan dan
kompetensi karyawan, moral karyawan, peralataan yang digunakan, pemberian
penghargaan. Gap ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
1. Karyawan tidak mengerti apa yang diharapkan oleh manajer atau atasan mereka
dari pelayanan yang mereka berikan serta bagaimana cara memenuhi harapan
tersebut.
2. Adanya standar yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
3. Ketidakcocokan antara ketrampilan atau keahlian karyawan dengan
pekerjaan/tugas yang diembannya.
4. Ketidaksesuaian antara peralatan yang disediakan dengan pekerjaan.
5. Ketidakjelasan dari sistem penilaian pekerjaan serta sistem bonus.
6. Ketidakmampuan karyawan untuk fleksibel terhadap situasi yang ada (rule by the
book). Manajer dan karyawan tidak mampu bekerja sebagai suatu tim yang solid.
7. Kesenjangan antara penyajian pelayanan dan komuniksi eksternal (Gap between
service delivery and external communications)Harapan pelanggan dipengaruhi
oleh janji-janji yang disampaikan penyedia jasa melalui komunikasi eksternal
seperti para wiraniaga, brosur- brosur, iklan, dan lain-lain. Hasil pelayanan yang
baik dapat mengecewakan pelanggan jika komunikasi pemasaran perusahaan
menyebabkan mereka memiliki harapan yang terlalu tinggi sehingga tidak tidak
realistis lagi. Contoh brosur hotel memperlihatkan ruangan yang indah dan
kenyataannya pada saat tamu datang ke hotel tersebut, mereka menemukan
ruangan yang sederhana. Gap ini terjadi karena beberapa faktor, antara lain:
1. Tidak jalannya hubungan antar departemen, yakni antara bagian
periklanan dengan bagian pelayanan, antara sales dengan pelayanan,
antara bagian SDM, pemasaran dan pelayanan.
2. Memberikan janji yang terlalu berlebihan.
3. Kesenjangan antara pelayanan yang dirasakan dengan pelayanan yang
diharapkan (Gap between perceived service and expected service)
Perbedaan ini terjadi jika pihak manajemen gagal menutup salah satu atau
lebih dari empat kesenjangan tersebut di atas. Perbedaan inilah yang
menimbulkan rasa ketidak puasan pelanggan. (Tjiptono 2003).

Zeithmalh, dkk (1990) menyatakan bahwa dalam menilai kualitas jasa/pelayanan, terdapat
sepuluh ukuran kualitas jasa/ pelayanan, yaitu :

1. Tangible (nyata/berwujud), keberadaan fisiknya, seperti penampilan karyawan, letak


fasilitas kantor, interior ruangan dan lain sebagainya.
2. Reliability (keandalan), kemampuan memberikan pelayanan seperti yang dijanjikan
secara tepat.
3. Responsiveness (Cepat tanggap), kecepatan, kesiap sediaan, dan semagat memberikan
pelayanan.
4. Competence (kompetensi), keahlian atau profesionalisme untuk memberikan perhatian.
5. Courtesy (keramahan), kesopanan dan keramahan, respek dan perhatian.
6. Credibility (kepercayaan), kejujuran yang dapat dipercaya dan kehandalan.
7. Security (keamanan), perasaan aman dan terhindar dari perasaan ragu-ragu pada diri
pelanggan.
8. Access (kemudahan), kemudahan untuk melakukan kontak dengan organisai.
9. Communication (komunikasi), kemampuan untuk memahami pelanggan dan
kebutuhannya.
10. Understanding the Customer (Pemahaman pelanggan), kemampuan untuk memahami
pelanggan dan kebutuhannya.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya dalam penelitian dirasakan adanya dimensi mutu
pelayanan yang saling tumpang tindih satu dengan yang lainnya yang dikaitkan dengan kepuasan
pelanggan. Selanjutnya oleh Parasuraman (1990) 10 dimensi tersebut difokuskan menjadi 5
dimensi (ukuran) kualitas jasa / pelayanan, yaitu :

1. Tangible (berwujud); meliputi penampilan fisik dari fasilitas peralatan, karyawan dan
alat-alat komunikasi.
2. Emphaty (empati); meliputi pemahaman pemberian perhatian secara individual kepada
pelanggan, kemudahan dalam melakukan komunikasi yang baik, dan memahami
kebutuhan pelanggan.
3. Responsiveness (cepat tanggap); yaitu kemauan untuk membantu pelanggan (konsumen)
dan menyediakan jasa/ pelayanan yang cepat dan tepat.
4. Realibility (keandalan); yakni kemampuan untuk melaksanakan jasa yang telah dijanjikan
secara konsisten dan dapat diandalkan (akurat).
5. Assurance (kepastian); mencakup pengetahuan dan keramah – tamahan para karyawan
dan kemampuan mereka untuk menimbulkan kepercayaan dan keyakinan, kesopanan dan
sifat dapat dipercaya yang dimiliki para staf, bebas dari bahaya, risiko atau keragu-
raguan. (Tjiptono 2003).

Tjiptono (2003) menyebutkan bahwa kualitas memiliki hubungan yang erat dengan kepuasan
pelanggan. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pelanggan untuk menjalin ikatan
hubungan yang kuat dengan perusahaan. Dalam jangka panjang, ikatan seperti ini
memungkinkan perusahaan untuk memahami dengan seksama harapan pelanggan serta
kebutuhan mereka. Dengan demikian organisasi dapat meningkatkan kepuasan pelanggan.

Semua definisi kualitas yang dipaparkan tidak ada satupun yang sempurna. Akan tetapi
setidaknya terdapat tiga aspek kunci yang dapat dijadikan patokan untuk dapat memahami
definisi jasa yang mana diantara ketiganya dapat dikombinasikan oleh suatu perusahaan dalam
mendefinisikan suatu kualitas jasa (Tjiptono, 2001), yaitu:

1. Karakteristik kualitas, yaitu karakteristik output dari suatu proses yang penting bagi
pelanggan. Karakteristik ini menurut pemahaman yang mendalam mengenai pelanggan.
2. Karakteristik kunci kualitas, Yaitu kombinasi pemahaman mengenai pelanggan dengan
pemahaman mengenai proses.
3. Variabel kunci proses, yaitu pemahaman mengenai hubungan sebab akibat atas suatu
proses yang dijanjikan sebagai kunci yang dapat dimanipulasi atau dapat dikendalikan.

Salah satu out came dari penggunaan pengalaman pelanggan adalah kepuasan atau
ketidakpuasan terhadap produk atau jasa pelayanan. Suatu proses penelitian pelanggan bisa
positif atau negative berdasarkan penilaian. Atau langkah lebih maju dari pada membandingkan
penggunaan penglaman diantisipasi (Wijono, 1999) puas atau tidak puas tergantung pada:
1. Sikap terhadap kesesuaian (rasa senang atau tidak senang)
2. Tingkkatan dari pada evaluasi “baik atau tidak” untuk dirinya, melebihi atau dibawah
standar.

Terdapat berbagai macam model dalam pengukuran kualitas pelayanan (Wijono, 1999) yang
meliiputi antara lain :

1. Gronroos Perceived Service Quality Model yang dibuat oleh Gronroos. Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan mengukur harapan akan kualitas pelayanan (Expected Qualuty)
dengan pengalaman kualitas teknis (tehnical Qulaity) dengan kualitas fungsi (Fungsional
Quality). Titik fokus dalam perbandingan itu menggunakan citra perusahaan (Coorportie
Image) pemberian jasa. Citra perusahaan menurut Gronroos sangat mempengaruhi
harapan dan pengalaman konsumen sehingga dari keduanya akan melahirkan persepsi
kualitas pelayanan secara total.
2. Hesketts Service Profit Chine Model. Model ini dikembangkan oleh Hesketts dengan
membuat rantai nilai profil. Dalam rantai nilai tersebut dijelaskan bahwa kualitas
pelayanan Internal (Internal Quality Service) lahir dari karyawan yang puas (Employee
Satisfaction). Karyawan yang puas akan memberikan dampak pada ketahanan karyawan
(Employee Produktifity) yang pada gilirannya akan melahirkan kualitas pelayanan
eksternal yang baik. Kualitas pelayanan yang baik akan melahirkan kepuasan konsumen
(Costomer Satisfaction), loyalitas konsumen (Costumer Loyality), dan pada akhirnya
meningkatkan penjualan dan profitabilitas.
3. Normans Service Manajemen System. Model ini dikembangkan oleh Normans yang
menyatakan bahwa sesungguhnya jasa itu ditentukan oleh partisipasi dari konsumen, dan
evaluasi terhadap kualitas pelayanan tergantung pada interaksi dengan konsumen. System
manajemen pelayanan bertitik tolak pada budaya dan filosofi yang ada dalam perusahaan
dan dipengaruhi oleh segmen pasar, konsep pelayanan, image dan system pemberian
dasar.
4. Europian Foundatioan For Quality Manajemen Model (EFQM Model). Model ini
dikembangkan oleh yayasan eropa untuk manajemen mutu dan telah diterima secara
Internasional. Model ini ditemukan setelah lembaga tersebut melakukan survey terhadap
perusahaan yang sukses di eropa tanpa mempertimbangkan aspek keuangan. Organisasi
dan (Organization and Result) merupakan titik tolak model ini, dimana mengelola
sumber daya manusia, strategi dan kebijakan, dan sumber daya lain yang dimiliki
perusahaan. Proses secara baik terhadap faktor-faktor tersebut akan melahirkann
kepuasan terhadap karyawan, kepuasan kepada konsumen dan dampak sosial yang
berarti, dan ketiganya merupakan hasil bisnis yang sebenarnya.
5. Service Performance Model (Server Model). Model ini dikembangkan oleh Cronin dan
Tailor yang mengukur tingkat kualitas pelayanan berdasarkan apa yang diharapkan oleh
konsumen (Expectation) dibandingkan dengan ukuran kinerja (Peformance) yang
diberikan oleh perusahaan, dan derajat kepentingan (Importance) yang dikehendaki oleh
konsumen (Tjiptono, F. 2000).
6. Service Quality Model (Servqual Model). Model ini dikembangkan oleh Parasuraman,
Zeithami, dan Berry (Tahun 2000) pengukuran dalam model ini menggunakan skala
perbandingan multi dimensional antara harapan (Expectation) dengan presepsi tentang
kinerja (Performance) hingga kini masih banyak digunakan diseluruh dunia.
Kekuatan konsep bukan hanya diformulasikan berdasarkan hasil riset yang panjang dan
mendalam, tetapi juga karena disertai cara pengukuran yang mudah dimengerti.

Parasuraman, Zeithaml dan Berry (dalam Zeithaml dan Britner, 2000) menggunakan 25
pertanyaan dengan 5 dimensi kualitas pelayanan untuk mengukur persepsi pasien yang meliputi
tangible, emphaty, Responsiveness, Reliability, Assurance. Jumlah atribut dapat ditambah atau
dikurangi sesuai dengan kebutuhan. Atribut juga dapat dibuat lebih detail, misalnya untuk atribut
keramahan dapat dijabarkan menjadi atribut: tersenyum, memberi salam, bertutur lembut dan
lain-lain.

B. Tinjauan Umum Tentang Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah suatu proses kegiatan pemberian jasa atau pelayanan di bidang
kesehatan, yang hasilnya dapat berupa hasil pelayan yang bermutu sama sekali, tergantung
proses pelaksanaan kegiatan pelayan itu sendiri, sumber daya yang berkaitan dengan kegiatan
pelayanan itu dan faktor lingkungan yang mempengaruhi dan manajemen mutu pelayanan.

Pelayanan Kesehatan adalah upaya berkesinambungan yang secara berpanjang dimulai dari
upaya Swahusada di rumah tangga dan lain kelompaok masyarakat selanjutnya mengkait kepada
upaya profesional kesehatan dari yang bersifat dasar sampai dengan yang khusus dan canggih.
(Depkes RI, 2006).

Pengertian lain juga dikemukakan oleh Asrul Aswar (1996) bahwa pelayanan kesehatan adalah
upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam suatu organisasi untuk
memelihara kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit, serta memulihkan kesehatan
perorangan, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat.

Syarat pokok pelayanan kesehatan adalah:

1.Tersedia dan berkesinambungan

Artinya, semua jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat tidak sulit
ditemukan, serta keberadaanya dalam masyarakat.

2.Mudah dicapai

Ketercapaian yang dimaksudkan terutama dari sudut lokasi yaitu berapa daerah yang mudah
dicapai oleh masyarakat umum.

3.Dapat diterima dengan wajar

Pelayanan kesehatan tidak bertentangan dengan kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan


masyarakat serta bersifat wajar.

1.Mudah dijangkau
Keterjangkauan yang dimaksud di sini terutama dari sudut biaya, yaitu biaya pelayanan
kesehatan diupayakan sesuai dengan kemampuan tingkat social ekonomi masyarakat.

2.Bermutu dan berkualitas

Ditinjau dari tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dari satu pihak
dapat memuaskan pemakai jasa pelayanan kesehatan dan dipihak lain tata penyelenggaraannya.

Pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu memperhatikan berbagai aspek kehidupan
dari berbagai pemakai jasa pelayanan kesehatan, yang kemudian antara setiap strata dengan
strata lainnya dibagi beberapa strata untuk kemudian antara setiap strata dengan strata lainnya
diikat dalam satu mekanisme hubungan kerja sehingga secara keseluruhan membentuk suatu
kesatuan yang terpadu.

Secara umum berbagai strata ini dikelompokkan menjadi tiga macam (Azrul Aswar, 1996) yaitu:

1.Pelayanan kesehatan tingkat pertama

Yang dimaksudkan pelayanan tingkat pertama adalah pelayanan kesehatan yang bersifat pokok
(Basic Health Service) yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat serta mempunyai
nilai strategis untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, misalnya pelayanan gawat
darurat.

2.Pelayanan kesehatan tingkat kedua

Yang dimaksud dengan pelayanan kesehatan tingkat kedua adalah pelayanan kesehatan lebih
lanjut, telah bersifat rawat inap menyelenggarakan di butuhkan tersedianya dana – dana
spesialis.

3.Pelayanan kesehatan tingkat ketiga

Yang dimaksud dengan Pelayanan kesehatan tingkat ketiga adalah pelayanan kesehatan yang
lebih kompleks dan umumnya di selenggarakan oleh tenaga-tenaga sub spesialis. Pelayanan
kesehatan mencakup komponen pelayanan medis, pelayanan penuh medik dan pelayanan
perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat jalan dan unit
rawat inap sesuai dengan perkembangan pelayanan kesehatan terutama pelaksanaan upaya
penyembuhan, pemulihan yang dilaksanakan secara terpadu dengan upaya peningkatan dan
pencegahan. (Ashari 2009, http://irwanashari. Com/2009/03, diakses 21 Juni 2010).

C. Tinjauan Umum Tentang Variabel yang Diteliti

1. Bukti Fisik (Tangibles)

Merupakan keterampilan pelayanan yang secara fisik, fasilitas fisik, penampilan tenaga kerja alat
atau peralatan yang di gunakan. Dalam memberikan bukti fisik sebagai media awal bagi klien
(pasien) untuk melihat secara nyata. Pertama kali apa yang ada baik itu mengenai penampilan
petugas maupun tentang secara fisik yang di gunakan di ruang perawatan (instansi rawat inap).

Tangibles yang merupakan penampilan fisik adalah persepsi pasien yang di nilai dari segi
perwujudan layanan yang di tampilkan oleh petugas kesehatan atau tenaga keperawatan.

1. Empati (Emphaty) pada dasarnya adalah suatu kemampuan komunikator dalam


menempatkan diri seolah-olah dirinya sendiri berperan sebagai komunikan. Serta
kemudahan dalam melakukan hubungan , komunikasi yang baik, perhatian pribadi, dan
memahami kebutuhan pelanggan. (R. Fadli 2001).
2. Kehandalan (Reliability)

Kehandalan (Reliability) adalah kemampuan untuk melaksanakan jasa yang dijanjikan dengan
tepat dan terpercaya (Kotler, 1994 dalam Sarjono, 2006). Sedangkan pendapat Zeithami,
Parasuraman dan Berry bahwa Kehandalan yakni kemampuan memberikan layanan yang
dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.

Reliability mencakup dua hal pokok, yaitu konsisten kerja (performance) dan kemampuan untuk
dipercaya (dependability). Dalam hal ini pemberi jasa harus secara tepat semenjak saat pertama (
right the first time) dalam memenuhi janjinya. Misalnya menyampaikan jasanya sesuai dengan
jadwal yang disepakati.

1.Daya Tanggap (Responsiveness)

Daya tanggap adalah istilah yang populer digunakan dalam lingkup organisasi bisnis, dan dapat
diartikan sebagai kemauan atau kesiapan para karywan untuk membantu pelanggan dalam
memberikan jasa pelayanan yang dibutuhkan dengan cepat.

Daya tanggap (Responsiveness) adalah kemampuan untuk membantu Pelanggan dan


memberikan jasa dengan cepat atau tanggap untuk dan bermakna serta kesediaan mendengar dan
mengatasi keluhan yang diajukan konsumen, misalnya penyediaan sarana dan prasarana yang
sesuai untuk menjamin terjadinya proses yang tepat (Kotler, 1994 dalam Ashari, 2009)
(http://irwanashari. Com/2009/03, diakses 21 Juni 2010).

Kesiapan/tanggap (Responsiveness), yaitu keinginan para staf untuk membantu para pelanggan
dan menyediakan pelayanan secara cepat dan tepat, serta tanggap keinginan konsumen
(Zeithaml, Parasurahman dan Berry).

2. Jaminan (Assurance)

Jaminan (Assurance) mencakup kemampuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki
para staf, bebas dari bahaya, resiko atau keragu-raguan. bahwa Jaminan mencakup kemampuan,
pengetahuan, kesopanan dan sifat dapat dipercaya yang dimiliki pada karyawan, bebas dari
bahaya, resiko, dan keragu-raguan, memiliki kompetensi, percaya diri dan menimbulkan
keyakinan dan kebenaran (Objektif).
D. Tinjauan Umum Tentang Jamkesmas

Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) adalah program bantuan sosial untuk pelayanan
kesehatan, bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. Program ini diselenggarakan secara
nasional, agar terjadi subsidi silang dalam rangka mewujudkan pelayanan kesehatan yang
menyeluruh, bagi masyarakat miskin.

Pada hakekatnya, pelayanan kesehatan terhadap masyarakat miskin, menjadi tanggung jawab dan
dilaksanakan bersama oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pemerintah
Propinsi/Kabupaten/Kota berkewajiban memberikan kontribusi, sehingga menghasilkan
pelayanan yang optimal.

Tujuan umum penyelenggaraan Jamkesmas, meningkatnya akses dan mutu pelayanan kesehatan,
terhadap seluruh masyarakat miskin dan tidak mampu, agar tercapai derajat kesehatan
masyarakat yang optimal secara efektif dan efisien. Tujuan khususnya, meningkatnya cakupan
masyarakat miskin dan tidak mampu, yang mendapat pelayanan kesehatan di Puskesmas, serta
jaringannya dan di rumah sakit. Meningkatnya kualitas pelayanan kesehatan bagi masyarakat
miskin. Terselenggaranya pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.

Sasarannya adalah masyarakat miskin dan tidak mampu di seluruh Indonesia sejumlah 76,4 juta
jiwa, tidak termasuk yang sudah mempunyai jaminan kesehatan lainnya. Pesertanya, setiap orang
miskin dan tidak mampu, selanjutnya disebut peserta Jamkesmas, yang terdaftar dan memiliki
kartu dan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.

Undang–Undang SJSN adalah perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat
memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak, termasuk diantaranya adalah kesehatan.
Namun sampai saat ini sistem jaminan sosial yang diamanatkan dalam undang–undang tersebut
masih belum berjalan karena aturan pelaksanaannya belum ada. Pada Tahun 2005, pemerintah
meluncurkan program jaminan kesehatan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu yang dikenal
dengan nama program Asuransi Kesehatan Masyakat Miskin (Askeskin). Penyelenggara
program adalah PT Askes (Persero), yang ditugaskan Menteri Kesehatan berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 1241/Menkes/SK/XI/2004 tentang Penugasan PT Askes (Persero)
dalam Pengelolaan Program Pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat Miskin. Program ini
merupakan bantuan sosial yang diselenggarakan dalam skema asuransi kesehatan sosial. Setelah
dilakukan evaluasi dan dalam rangka efisiensi dan efektivitas, maka pada Tahun 2008 dilakukan
perubahan dalam sistem penyelenggaraannya. Perubahan pengelolaan program tersebut adalah
dengan pemisahan fungsi pengelola dengan fungsi pembayaran, yang didukung dengan
penempatan tenaga verifikator di setiap rumah sakit. Nama program tersebut juga berubah
menjadi Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). Penyelenggaraan pelayanan
kesehatan masyarakat miskin dilakukan dengan mengacu pada prinsip–prinsip asuransi :

1. Pengelolaan dana amanat dan nirlaba dengan pemanfaatan hanya untuk peningkatan
kesehatan masyarakat miskin.
2. Pelayanan kesehatan bersifat menyeluruh (komprehensif) sesuai dengan standar
pelayanan medik yang cost effective dan rasional.
3. Pelayanan kesehatan dilakukan dengan prinsip terstruktur dan berjenjang.
4. Pelayanan kesehatan diberikan dengan prinsip portabilitas dan ekuitas.
5. Pengelolaan program dilaksanakan secara transparan dan akuntabel.

Program Jamkesmas Tahun 2008 Dengan pertimbangan untuk mengendalikan pelayanan


kesehatan, peningkatan mutu, transparansi dan akuntabiltas, serta mengingat keterbatasan
pendanaan, pengelolaan program Jamkesmas Tahun 2008 dilakukan langsung oleh Departemen
Kesehatan.

Kepesertaan Jamkesmas Peserta Program Jamkesmas adalah setiap orang miskin dan tidak
mampu yang terdaftar dan memiliki kartu dan berhak mendapatkan pelayanan kesehatan.
Bupati/Walikota wajib menetapkan peserta Jamkesmas Kabupaten/Kota dalam satuan jiwa berisi
nomor, nama dan alamat peserta dalam bentuk Keputusan Bupati/Walikota. Administrasi
kepesertaan Jamkesmas meliputi: registrasi, penerbitan dan pendistribusian kartu kepada peserta.
Untuk administrasi kepesertaan Departemen Kesehatan menunjuk PT Askes (Persero), dengan
kewajiban melakukan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Data peserta yang telah ditetapkan Pemda, kemudian dilakukan entry oleh PT Askes
(Persero) untuk menjadi database kepesertaan di Kabupaten/Kota.
2. Entry data setiap peserta.
3. Berdasarkan data tersebut kemudian kartu diterbitkan dan didistribusikan kepada peserta.
4. PT Askes (Persero) menyerahkan kartu peserta kepada yang berhak, mengacu kepada
penetapan Bupati/Walikota dengan tanda terima yang ditanda tangani/cap jempol peserta
atau anggota keluarga peserta.
5. PT Askes (Persero) melaporkan hasil pendistribusian kartu peserta kepada
Bupati/Walikota, Gubernur, Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan
Kabupaten/ Kota serta rumah sakit setempat.
6. Tatalaksana Pelayanan Kesehatan Setiap peserta Jamkesmas berhak mendapat pelayanan
kesehatan dasar meliputi pelayanan kesehatan rawat jalan (RJ) dan rawat inap (RI), serta
pelayanan kesehatan rujukan rawat jalan tingkat lanjutan (RJTL), rawat inap tingkat
lanjutan (RITL) dan pelayanan gawat darurat. Pelayanan kesehatan dalam program
Jamkesmas menerapkan pelayanan berjenjang berdasarkan rujukan dengan ketentuan
sebagai berikut:
1. Pelayanan rawat jalan tingkat pertama diberikan di Puskesmas dan jaringannya.
Pelayanan rawat jalan lanjutan diberikan di Balai Kesehatan Mata Masyarakat
(BKMM), Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM),
BKPM/BP4/BKIM dan rumah sakit (RS).
2. Pelayanan rawat inap diberikan di Puskesmas Perawatan dan ruang rawat inap
kelas III (tiga) di RS Pemerintah termasuk RS Khusus, RS TNI/POLRI dan RS
Swasta yang bekerjasama dengan Departemen Kesehatan. Departemen Kesehatan
melalui Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atas nama Menkes membuat perjanjian
kerjasama (PKS) dengan RS setempat, yang diketahui Kepala Dinas Kesehatan
Provinsi meliputi berbagai aspek pengaturan.
3. Pada keadaan gawat darurat (emergency) seluruh Pemberi Pelayanan Kesehatan
(PPK) wajib memberikan pelayanan kepada peserta walaupun tidak memiliki
perjanjian kerjasama. Penggantian biaya pelayanan kesehatan diklaimkan ke
Departemen Kesehatan melalui Tim Pengelola Kabupaten/Kota setempat setelah
diverifikasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada program ini.
4. RS/BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM melaksanakan pelayanan rujukan lintas
wilayah dan biayanya dapat diklaimkan oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK)
yang bersangkutan ke Departemen Kesehatan. Pelayanan kesehatan RJTL di
BKMM/BBKPM/BKPM/ BP4/BKIM dan di Rumah Sakit, serta pelayanan RI di
Rumah Sakit yang mencakup tindakan, pelayanan obat, penunjang diagnostik,
pelayanan darah serta pelayanan lainnya (kecuali pelayanan haemodialisa)
dilakukan secara terpadu sehingga biaya pelayanan kesehatan diklaimkan dan
diperhitungkan menjadi satu kesatuan menurut jenis paket dan tarif pelayanan
kesehatan peserta Jamkesmas Tahun 2008, atau penggunaan sistem INA-DRG
(apabila sudah diberlakukan), sehingga dokter berkewajiban melakukan
penegakan diagnosa sebagai dasar pengajuan klaim. Dalam pelayanan kesehatan
bagi peserta Jamkesmas yang dilakukan oleh PPK dilakukan verifikasi, verifikasi
terhadap pelayanan di Puskesmas (RJTP, RITP, Persalinan, dan pengiriman
spesimen, transportasi dan lainnya) di laksanakan oleh Tim Pengelola Jamkesmas
Kabupaten/Kota, sementara pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh Rumah
Sakit, BKMM/BBKPM/BKPM/BP4/BKIM dilaksanakan oleh Pelaksana
Verifikasi. Verifikasi adalah kegiatan penilaian administrasi klaim yang diajukan
PPK yang dilakukan oleh Pelaksana Verifikasi dengan mengacu kepada standar
penilaian klaim. Tujuan dilaksanakannya verifikasi adalah diperolehnya hasil
pelaksanaan program Jamkesmas yang menerapkan prinsip kendali biaya dan
kendali mutu.

Prosedur untuk memperoleh pelayanan kesehatan bagi peserta, sebagai berikut:

1. Peserta yang memerlukan pelayanan kesehatan dasar berkunjung ke Puskesmas dan


jaringannya.
2. Untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, peserta harus menunjukkan kartu yang
keabsahan kepesertaannya merujuk kepada daftar masyarakat miskin yang ditetapkan
oleh Bupati/Walikota setempat. Penggunaan SKTM hanya berlaku untuk setiap kali
pelayanan kecuali pada kondisi pelayanan lanjutan terkait dengan penyakitnya.
1. Apabila peserta Jamkesmas memerlukan pelayanan kesehatan rujukan, maka yang
bersangkutan dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan disertai surat
rujukan dan kartu peserta yang ditunjukkan sejak awal sebelum mendapatkan
pelayanan kesehatan, kecuali pada kasus emergency. Pentingnya perlindungan
kesehatan tidak hanya bagi orang yang mampu (kaya) tetapi juga bagi orang
miskin/tidak mampu. Oleh sebab itu, perlu adanya keadilan dalam pemberian
pelayanan kesehatan tanpa adanya perbedaan status sosial ekonomi masyarakat.
(Pedoman Pelaksanaan Jamkesmas 2008, http://www. Tingkat-akses-dan-mutu-
kualitas, pdf, diakses 10 Juli 2010).

Jamkesmas (Jaminan Kesehatan Masyarakat) adalah program pelayanan kesehatan gratis bagi
masyarakat miskin yang sebelumnya disebut Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin
(Askeskin).
Program yang dimulai pada Tahun 2008 ini dilanjutkan pada tahun 2009 karena (menurut
pemerintah) terbukti meningkatkan akses rakyat miskin terhadap layanan kesehatan gratis.
Program itu nantinya terintegrasi atau menjadi bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional yang
bertujuan memberi perlindungan sosial dan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jika Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) efektif diterapkan di Indonesia, program Jamkesmas
akan disesuaikan dengan sistem itu. Salah satunya, pengaturan proporsi iuran pemerintah pusat
dan daerah untuk pembiayaan pemeliharaan kesehatan rakyat miskin.
(http://andy.web.id/jamkesmas.php, diakses 10 Juli 2010).

E. Tinjauan Umum Tentang Puskesmas

Puskesmas adalah Unit Pelaksanaan Teknis Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang bertanggung
jawab terhadap pembangunan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas berperan
menyelenggarakan upaya kesehatan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan
hidup sehat bagi setiap penduduk agar memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Dengan
demikian Puskesmas berfungsi sebagai pusat penggerak pembangunan berwawasan kesehatan.
Pusat pemberdayaan keluarga dan masyarakat serta pusat pemberdayaan keluarga dan
masyarakat serta pusat pelayanan kesehatan strata pertama.

Upaya kesehatan yang diselenggarkan di Puskesmas terdiri dari upaya kesehatan wajib dan
upaya kesehatan pengembangan. Upaya kesehatan wajib merupakan upaya kesehatan yang
dilaksanakan oleh seluruh Puskesmas di Indonesia. Upaya ini memberikan daya ungkit paling
besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan melalui peningkatan indeks pembangunan
manusia (IPM), serta merupakan kesepakatan global maupun nasional.

Yang termasuk dalam upaya kesehatan wajib adalah promosi kesehatan, kesehatan lingkungan,
kesehatan ibu anak keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat, pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular serta pengobatan. Sedangkan upaya kesehatan pengembangan
adalah upaya kesehatan yang ditetapkan berdasarkan permasalahan kesehatan yang ditemukan di
masyarakat setempat serta disesuaikan dengan kemampuan Puskesmas.

Upaya kesehatan pengembangan ditetapkan bersama Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan


mempertimbangkan masukan dari masyarakat dalam bentuk Badan penyatuan Puskesmas/Konsil
Kesehatan Kecamatan (bagi yang sudah terbentuk). Apabila Puskesmas mampu
menyelenggarakannya, tetapi telah menjadi kebutuhan masyarakat, maka Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota wajib menyelenggarakannya upaya kesehatan pengembangan. Antara lain :
upaya kesehatan sekolah, upaya kesehatan olahraga, upaya kesehatan kerja, upaya kesehatan gigi
dan mulut, upaya kesehatan jiwa, upaya mata, kesehatan usia lanjut, pembinaan pengobatan
tradisional, perawatan kesehatan masyarakat, dan sebagainya.

Dalam menyelenggarakan upaya wajib dan upaya kesehatan pengembangan harus menerapkan
azas penyelenggaraan Puskesmas secara terpadu yaitu azas pertanggung jawaban wilayah,
pemberdayaan masyarakat keterpaduan dan rujukan.

Agar Upaya Kesehatan terselenggara secara optimal, maka Puskesmas harus melaksanakan
manajemen dengan baik. Manajemen Puskesmas adalah rangkaian kegiatan yang dilaksanakan
secara sistematik untuk menghasilkan iuaran Puskesmas secara efektif dan efisien. Manajemen
Puskesmas tersebut terdiri dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian serta Pengawasan
dan pertanggungjawaban. Seluruh kegiatan di atas merupakan satu kesatuan yang paling terkait
dan berkesinambungan.

Perencanaan tingkat Puskesmas disusun untuk mengatasi masalah kesehatan yang ada di wilayah
kerjanya, baik upaya kesehatan wajib, upaya kesehatan pengembangan maupun upaya kesehatan
penunjang. Perencanaan ini disusun untuk kebutuhan satu tahun agar Puskesmas mampu
melaksanakannya secar efesien, efektif dan dapat dipertanggung jawabkan. (DepKes RI, 2006).

Puskesmas, yang merupakan unit organisasi fungsional dari Dinas Kesehatan kabupaten
mempunyai 3 fungsi utama yaitu:

1. Sebagai pusat pengembangan kesehatan wilayah, artinya berfungsi membina dan


mengontrol kesehatan wilayah dan rakyatnya, seperti mengawasi (melalui surveillans)
dan mencegah penyakit menular serta penyakit lain dalam masyarakat, memperbaiki
kesehatan lingkungan seperti pengawasan tempat-tempat umum.
2. Pemberi pelayanan kesehatan dan kedokteran secara menyeluruh (holistic), paripurna,
terpadu dan berkesinambungan kepada rakyat di wilayah kerja, seperti pengobatan
umum, kesehatan gigi, kesehatan ibu dan anak, KB, perbaikan gizi, penyuluhan
kesehatan.
3. Pembinaan peran serta masyarakat di bidang kesehatan dengan pendekatan PKMD,
Posyandu yang terdiri dari ; penimbangan balita secara berkala, penyuluhan dan
perbaikan gizi, penyediaan oralit mencegah kematian akibat diare, imunisasi, keluarga
berencana untuk tujuan pencegahan kesakitan dan kematian balita dengan pemantauan
yang baik menggunakan KMS, Balok SKDN dan sistem 5 meja agar benar-benar dapat
mewujudkan peran serta masyarakat. Ketiga fungsi utama ini harus terlaksana dengan
baik, dengan manajemen yang baik serta pembinaan dan pengawasan dari Dinkes
Kabupaten.

Pembangunan Puskesmas sudah dirintis dalam bentuk proyek rintisan di beberapa wilayah
Indonesia. Pemerintah membangun Puskesmas dengan berbagai pertimbangan strategis antara
lain : Pertama, untuk mencegah kecenderungan dokter-dokter bekerja di daerah perkotaan,
sedangkan masyarakat Indonesia sebagian besar tinggal di daerah pedesaan. Kedua, untuk
memeratakan pelayanan kesehatan dengan mendekatkan sarana pelayanan kesehatan kepada
kelompok-kelompok penduduk yang membutuhkan di pedesaan. Ketiga, untuk lebih menekan
biaya pelayanan kesehatan.

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh (comprehensive health care
services) kepada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya, Puskesmas menjalankan beberapa
usaha pokok yang meliputi program :

1. Kesehatan ibu dan anak


2. Keluarga berencana
3. Pemberantasan Penyakit Menular
4. Peningkatan gizi
5. e. Kesehatan lingkungan
6. Pengobatan
7. Penyuluhan kesehatan masyarakat
8. Laboratorium
9. Kesehatan sekolah
10. Perawatan Kesehatan Masyarakat
11. Kesehatan jiwa
12. Kesehatan gigi

Semua kegiatan program pokok yang dilaksanakan di Puskesmas dikembangkan berdasarkan


program pokok pelayanan kesehatan dasar (basic health care services) seperti yang dianjurkan
oleh badan kesehatan dunia (WHO) yang dikenal dengan “Basic Seven” WHO. Basic seven
tersebut terdiri dari MCHC (Maternal and Child Health Care ), MC (Medical Care), ES
(Environmental sanitation), HE (Health Education) untuk kelompok-kelompok masyarakat,
Simple Laboratory (Lab sederhana), CDC (communicable disease control), dan simple statistic
(recording/reporting atau pencatatan dan pelaporan).

Dari ke-12 program pokok Puskesmas, basic seven WHO harus lebih diprioritaskan untuk
dikembangkan sesuai dengan masalah kesehatan masyarakat yang potensial berkembang di
wilayah kerjanya, kemampuan sumber daya manusia (staf) yang dimiliki oleh Puskesmas,
dukungan sarana/prasarana yang tersedia di Puskesmas, dan peran serta masyarakat.

Kenyataannya, staf Puskesmas masih merasa wajib menjalankan semua program pokok
Puskesmas tersebut ditambah lagi dengan beberapa program baru yang ditawarkan oleh Dirjen
Binkesmas Depkes RI. Puskesmas sebenarnya tidak wajib melaksanakan ke-16-18 program
pokok tersebut jika kemampuan staf untuk melakukannya tidak memadai. Tidak semua program
tersebut mampu dilaksanakan oleh staf Puskesmas secara efektif dan berkualitas.

Jika mengacu kepada definisi Public Health menurut Winslow, pengembangan program
kesehatan masyarakat di suatu wilayah terdiri dari tiga komponen pokok yaitu kegiatan yang
berhubungan dengan upaya pencegahan penyakit (preventing disease) dan memperpanjang hidup
(prolonging life) melalui usaha-usaha kesehatan lingkungan, imunisasi, pendidikan kesehatan,
dan pengenalan penyakit secara dini (surveilan, penimbangan balita, ANC, dan sebagainya).
Kedua upaya tersebut harus dilakukan dengan meningkatkan peran serta masyarakat (community
participation) melalui kelompok-kelompok masyarakat yang terorganisir. (Ashari 2009,
http://www.irwanashari.com/2009/03/studi-pelaksanaan-pelayanan-kesehatan, diakses 21 Juni
2010).

III. KERANGKA KONSEP

1. A. Dasar Pemikiran Variabel yang Diteliti

Kualitas Pelayanan kesehatan berhubungan erat dengan pasien, keluarga pasien dan petugas
kesehatan. Pasienlah yang menentukan kualitas pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan yang
berkualitas apabila pelayanan kesehatan yang diberikan sesuai dengan kemampuan dari tenaga
kerja kesehatan dalam memahami dan menempatkan diri pada keadaan yang dihadapi atau yang
dialami pasien/masyarakat.

Kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar
pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam pemberian layanan. Standar pelayanan
adalah ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik. Dalam
melakukan penilaian terhadap kualitas jasa ada lima dimensi yang perlu diperhatikan:

1. Bukti Fisik (Tangible)

Kemampuan suatu organisasi dalam menunjukan eksistensinya kepada pihak eksternal.


Penampilan dan kemampuan sarana dan prasarana fisik perusahaan dan keadaan lingkungan
sekitarnya adalah bukti nyata dari pelayanan yang diberikan oleh pemberi jasa. Yang meliputi
Fasilitas fisik (gedung, dll), perlengapan dan peralatan yang digunakan (teknologi), serta
penampilan pegawainya.

2. Empati (Emphaty)

Memberikan perhatian yang tulus dan bersifat individual atau pribadi yang diberikan kepada para
pelanggan dengan berupaya memahami keinginan konsumen. Dimana suatu perusahaan
diharapkan memeiliki pengertian dan pengetahuan tentang pelanggan, memahami kebutuhan
pelanggan secara spesifik, serta memiliki waktu pengoperasian yang nyaman baggi pelanggan.

@ Daya Tanggap (Responsiveness)

Suatu kemauan untuk membantu dan memberikan pelayanan yang cepat (responsive) dan tepat
kepada pelanggan, dengan penyampaian informasi yang jelas. Membiarkan konsumen menunggu
tanpa adanya suatu alasan yang jelas menyebabkan persepsi yang negatif dalam kualitas
pelayanan.

@ Kehandalan (Reliability)

Kemampuan organisasi untuk memberikan pelayanan sesuai yang dijanjikan secara akurat dan
terpercaya. Kinerja harus sesuai dengan harapan pelanggan yang berarti ketepatan waktu,
pelayanan yang sama untuk semua pelanggan tanpa kesalahan, sikap yang simpatik, dan dengan
akurasi yang tinggi.

@ Jaminan (Assurance)

Pengetahuan, kesopan santunan dan kemampuan para pegawai perusahaan untuk menumbuhkan
rasa percaya para pelanggan pada perusahaan. Terdiri dari beberap komponen antara lain
komunikasi (communication), kredibilitas (credibility), kompotensi (compotence), dan sopan
santun (courtesy).

A. Pola Pikir Variabel Penelitian


Berdasarkan konsep pemikiran di atas maka dapat disusun pola pikir dalam penelitian ini sebagai
berikut :

Bukti Fisik (Tangibles)

Empati (Emphaty)

Ketanggapan (Responsivenes)

Kehandalan (Reliability)

Jaminan (Assurance)

A. Defenisi Operasional dan Kriteria Objektif

1. Kualitas Pelayanan Kesehatan

Kualitas pelayanan adalah tingkat keunggulan pelayanan yang dapat memenuhi keinginan
konsumen/pelanggan yang diberikan oleh tenaga medis, paramedis, dan penunjang medis.
Kualitas pelayanan diukur dengan lima indikator pelayanan (bukti fisik, empati, daya tanggap,
kehandalan, dan kepastian).

Kriteria Objektif

Jumlah Pertanyaan adalah 25 point

Skor tertinggi (X) = 4 x 25 Pertanyaan = 100

100/100 x 100% = 100%

Skor terendah (Y) = 1 x 25 Pertanyaan = 25

25/100 x100% = 25%

Interval Skor : 100 – 25 = 75

Interval Nilai : 75/4 = 18,75 = 19

Sangat puas : Jika persentase jawaban responden 100% – 82%

Puas : Jika persentase jawaban responden 81% – 63%

Cukup Puas : Jika persentase jawaban responden 62% – 44%

Tidak Puas : Jika persentase jawaban responden 43% – 25%


1. Bukti Fisik (Tangibles)

Merupakan tanggapan pasien yang dinilai dari pernyataan yang ada dalam koefisien,
menyangkut penampilan fisik layanan yang ditampilkan oleh perawat. kemampuan tenaga
perawat melakukan tindakan keperawatan tepat waktu dapat memberikan informasi yang akurat
dalam memberikan pelayanan pada pasien dengan indikator yang terdiri dari:

1. Peralatan kesehatan yang lengkap, bersih dan siap pakai


2. Kebersihan dan keindahan halaman
3. Kebersihan dan kerapian ruangan
4. Keterampilan interior dan eksterior ruangan
5. Penataan ekterior dan interior ruangan

Kriteria Objektif

Skala pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert dimana setiap item
instrumen pilihan diberi skor:

1. Sangat baik = 4
2. Baik =3

c. Kurang baik =2

d. Tidak baik =1

Skor tertinggi (X) = 4 x 5 pertanyaan = 20

20/20 x 100% = 100%

Skor terendah (Y) = 1 x 5 pertanyaan = 5

5/20 x 100% = 25%

Interval Skor : 100 – 25 = 75

Interval Nilai : 75/4 = 18,75 = 19

Sangat puas : Jika persentase jawaban responden 100% – 82%

Puas : Jika persentase jawaban responden 81% – 63%

Cukup Puas : Jika persentase jawaban responden 62% – 44%

Tidak Puas : Jika persentase jawaban responden 43% – 25%


1. Emphaty, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan berupa sikap tegas tetapi penuh
perhatian terhadap masyarakat (konsumen). Mengerti dan dapat merasakan perasaan
orang lain. Dalam konteks ini, indikator yang terdiri dari:
1. Perhatian secara khusus kepada setiap pasien
2. Perhatian terhadap keluhan pasien dan keluarganya
3. Pelayanan kepada semua pasien tanpa memendang status sosial dan lain-lain
4. Petugas yang sabar dan telaten dalam menghadapi pasien
5. Petugas senagtiasa memperlakukan pasien dengan baik
6. Petugas memberikan kemudahan dalam pelayanan

Kriteria Objektif

Skala pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert dimana setiap item
instrumen pilihan diberi skor:

1. Sangat baik =4
2. Baik =3
3. c. Kurang baik =2

d. Tidak baik =1

Skor tertinggi (X) = 4 x 6 pertanyaan = 32

32/32 x 100% = 100%

Skor terendah (Y) = 1 x 6 pertanyaan = 6

6/32 x 100% = 19%

Interval Skor : 100 – 19 = 81

Interval Nilai : 81/4 = 20,25 = 20

Sangat puas : Jika persentase jawaban responden 100% – 79%

Puas : Jika persentase jawaban responden 78% – 59%

Cukup Puas : Jika persentase jawaban responden 58% – 39%

Tidak Puas : Jika persentase jawaban responden 38% – 19%

1. Daya tanggap (Responsiveness).

Merupakan keinginan atau kesedian pemberi pelayanan untuk memberikan pelayanan selama
perawatan. Responsiveness merupakan harapan pasien yang di nilai berdasarkan kecepatan
tanggap perawatan terhadap masalah-masalah yang di hadapi pasien dengan indikator yang
terdiri dari :

1. Kemampuan petugas untuk cepat tanggap menyelesaikan keluhan pasien


2. Tindakan cepat dari petugas pada saat dibutuhkan pasien
3. Petugas memberikan informasi yang jelas dan mudah dimengerti
4. Pengetahuan dan kemampuan petugas untuk melakukan pemeriksaan dan pengobatan
5. Petugas secara spontan memberikan pertolongan saat dibutuhkan.

Kriteria Objektif

Skala pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert dimana setiap item
instrumen pilihan diberi skor:

1. Sangat baik = 4
2. Baik =3

c. Kurang baik =2

d. Tidak baik =1

Skor tertinggi (X) = 4 x 5 pertanyaan = 20

20/20 x 100% = 100%

Skor terendah (Y) = 1 x 5 pertanyaan = 5

5/20 x 100% = 25%

Interval Skor : 100 – 25 = 75

Interval Nilai : 75/4 = 18,75 = 19

Sangat puas : Jika persentase jawaban responden 100% – 82%

Puas : Jika persentase jawaban responden 81% – 63%

Cukup Puas : Jika persentase jawaban responden 62% – 44%

Tidak Puas : Jika persentase jawaban responden 43% – 25%

1. Reliability (Kehandalan)

Merupakan konsistensi pekerja dan kemampuan terikat dimana yang baik di berikan pada saat
memberikan janji menggiurkan dan tepat. Dalam memberikan pelayanan keterbukaan petugas
dalam memberi informasi tentang dirinya idealnya dan nilai yang dapat memberikan kepuasan
pada posisi petugas menggunakan peralatan dan tehnologi yang spesifik untuk menghindari
ketidaktahuan dan ketidakjelasan.

Reliability dapat merupakan suatu persepsi pasien yang dikehendaki berdasarkan kemampuan
tenaga keperawatan untuk memberikan pelayanan yang di janjikan secara akurat, teliti, dan
terpercaya dengan indikator terdiri dari:

1. Prosedur penerimaan pasien yang cepat dan tepat


2. Prosedur pelayanan yang tidak menyusahkan pasien
3. Waktu tunggu yang singkat
4. Pelayanan pemeriksaan yang cepat dan tanggap
5. Pemenuhan janji pelayanan.

Kriteria Objektif

Skala pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert dimana setiap item
instrumen pilihan diberi skor:

1. Sangat baik = 4
2. Baik =3

c. Kurang baik =2

d. Tidak baik =1

Skor tertinggi (X) = 4 x 5 pertanyaan = 20

20/20 x 100% = 100%

Skor terendah (Y) = 1 x 5 pertanyaan = 5

5/20 x 100% = 25%

Interval Skor : 100 – 25 = 75

Interval Nilai : 75/4 = 18,75 = 19

Sangat puas : Jika persentase jawaban responden 100% – 82%

Puas : Jika persentase jawaban responden 81% – 63%

Cukup Puas : Jika persentase jawaban responden 62% – 44%

Tidak Puas : Jika persentase jawaban responden 43% – 25%

1. Jaminan / Kepastian (Assurance).


Merupakan harapan pasien yang di nilai berdasarkan kemampuan perawat dalam memberikan
jaminan/kepastian keperawatan yang aman dan dapat dipercaya pasien. Perawat dalam
memberikan jaminan kepada pasien dapat dilihat dengan indikator yang terdiri dari:

1. Petugas yang terampil dalam menagani keluhan pasien


1. Petugas sopan dalam memberikan pelayanan
2. Petugas mampu menjawab pertanyaan pasien
3. Jaminan pelayanan keamanan terhadap pelayanan.

Kriteria Objektif

Skala pengukuran yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah skala likert dimana setiap item
instrumen pilihan diberi skor:

1. Sangat baik =4
2. Baik =3

c. Kurang baik =2

d. Tidak baik =1

Skor tertinggi (X) = 4 x 4 pertanyaan = 16

16/16 x 100% = 100%

Skor terendah (Y) = 1 x 4 pertanyaan = 4

4/16 x 100% = 25%

Interval Skor : 100 – 25 = 75

Interval Nilai : 75/4 = 18,75 = 19

Sangat puas : Jika persentase jawaban responden 100% – 82%

Puas : Jika persentase jawaban responden 81% – 63%

Cukup Puas : Jika persentase jawaban responden 62% – 44%

Tidak Puas : Jika persentase jawaban responden 43% – 25%

A. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam statistik dikenal dua macam (Sabri 2006) yaitu :

1. Hipotesis Nol (Ho)


2. Tidak ada hubungan antara Bukti Fisik dengan kualitas pelayanan kesehatan.
3. Tidak ada hubungan antara Empati dengan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Tidak ada hubungan antara kehandalan dengan kualitas pelayanan kesehatan
5. Tidak ada hubungan antara daya tanggap dengan kualitas pelayanan kesehatan.
6. Tidak ada hubungan antara Jaminan dengan kualitas pelayanan kesehatan.
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
1. Ada hubungan antara Bukti Fisik dengan kualitas pelayanan kesehatan.
2. Ada hubungan antara Empati dengan kualitas pelayanan kesehatan.
3. Ada hubungan antara kehandalan dengan kualitas pelayanan kesehatan.
4. Ada hubungan antara daya tanggap dengan kualitas pelayanan kesehatan.
5. Ada hubungan antara Jaminan dengan kualitas pelayanan kesehatan

IV. METODE PENELITIAN

1. A. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Kuantitatif dengan pendekatan Survey Analitik dengan desain
Cross Sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
Kualitas Pelayanan Kesehatan terhadap pasien Jamkesmas di Puskesmas Tadang Palie
Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Tadang Palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang.
Lokasi penelitian dilandasi pertimbangan bahwa: Menunjukan bahwa tingkat kepadatan
penduduk Kecamatan Cempa merupakan kecamatan dengan kepadatan penduduk yang paling
tinggi yakni 823 jiwa/km2. Dengan jumlah KK miskin sebanyak 2.591 KK dengan 10.796 Jiwa.
(Profil Statistik Kabupaten Pinrang, 2008). Data perbandingan peserta Jamkesmas pada wilayah
kerja Puskesmas se-Kabupaten Pinrang Tahun 2010, Puskesmas sulili berada pada peringkat
ketiga peserta terbanyak dari 15 Puskesmas. (Profil DinKes Kabupaten Pinrang, 2009)

Waktu penelitian akan dilaksanakan pada Bulan Juli Tahun 2010.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jumlah peserta Jamkesmas yang berkunjung dan
mendapatkan pelayanan kesehatan di Puskesmas Tadang palie Kecamatan Cempa Kabupaten
Pinrang Tahun 2010.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian populasi yang ciri-cirinya diselidiki atau diukur. (Sabri 2008)
1. Penentuan besar sampel

Sampel dipilih dengan menggunakan rumus sebagai berikut : (Saryono 2009).

n =

n =

n =

n =

n = 70,2 = 70 Responden

Keterangan:

n : Besar Sampel

N : Jumlah populasi

d : Presisi (0,1)

1. Metoda penarikan sampel

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Teknik Purposive Sampling . Teknik
pengambilan sampel bertujuan dilakukan tidak berdasarkan strata, kelompok, atau acak, tetapi
berdasarkan pertimbangan/tujuan tertentu. Teknik ini dilakukan atas pertimbangan tertentu
seperti waktu, biaya, tenaga, sehingga tidak dapat mengambil sampel dalam jumlah besar dan
jauh. (Saryono 2009).

Dengan kriteria sebagai berikut:

1) Responden dalam keadaan sadar

2) Dapat berkomunikasi dengan baik

3) Memiliki tanda bukti kepesertaan Jamkesmas

4) Minimal sudah berkunjung 1 kali

5) Bersedia diwawancarai

6) Umur diatas 17 Tahun.

1. Responden
Responden dalam penelitian ini yaitu peserta Jamkesmas yang datang berkunjung di Puskesmas
Tadang palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang Tahun 2010, selama penelitian sesuai
dengan kriteria.

D. Pengumpulan Data

1. Data Primer

Data Primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara langsung kepada responden
dengan menggunakan kuesioner secara terstruktur dan sistematis disertai pengamatan langsung.

2. Data Sekunder

Data Sekunder diperoleh dari register kunjungan harian pasien Jamkesmas serta sumber lainnya
yang terkait berupa profil Puskesmas Tadang palie Kecamatan Cempa Kabupaten Pinrang, dan
profil Dinkes Kabupaten Pinrang.

E. Analisis Data

Sabri (2006) dasar dari Uji Chi-Square adalah membandingkan frekuensi yang diamati dengan
frekuensi yang diamati. Hipotesis yang di uji adalah hipotesis Nol (Ho) dengan derajat
kemaknaan (α)=0,05, uji statistik yang digunakan adalah chi-square test, dengan rumus sebagai
berikut :

X2 = df = (k – 1) (b – 1)

Keterangan :

X2 : Nilai Chi Square Test

O : Nilai Observasi

E : Nilai Harapan

∑ : Jumlah

df : derajat bebas = 1

k : Kolom

b : Baris

Interpretasi, jika nilai x2 tabel >x2 hitung maka Ho ditolak, Ha diterima.

F. Tekhnis Pengolahan dan Penyajian Data


1. Pengolahan Data

adalah suatu proses dalam memperoleh data ringkasan atau angka ringkasan dengan
menggunakan cara-cara atau rumus-rumus tertentu.

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputerisasi program SPSS (Statistical


Package For Social Science) jenis program analysis deskriptif dan analysis cross tabel. Adapun
langkah-langkah pengolahan data dilakukan sebagai berikut:

a. Tahap Editing adalah mengoreksi data yang telah dikumpulkan karena kemungkinan data yang
masuk adalah data yang terkumpul tidak logis dan meragukan. Tujuan editing adalah untuk
menghilangkan kesalahan-kesalahan yang terdapat pada pencatatan di lapangan dan bersifat
koreksi. Pada kesempatan ini kekurangan data dapat dilengkapi atau diperbaiki baik dengan
pengumpulan data ulang ataupun dengan penyisipan. Pada tahap ini dilakukan dengan
memperhatikan kelengkapan jawaban dan jelas tidaknya jawaban.

1) Di lapangan, dengan memeriksa, kebenaran cara isi kuesioner (supervisor).

2) Pengolahan data, dengan memeriksa kebenaran cara isi kuesioner/syarat subjek.

1. Pengkodean dimaksudkan untuk menyingkat data yang diperoleh agar memudahkan


dalam pengolahan dan menganalisis data dengan memberikan kode dalam bentuk
angka/huruf yang memberikan petunjuk atau identitas pada suatu informasi atau data
yang akan dianalisis. Berdasarkan perhitungan Skala Likert dimana setiap jawaban
“Sangat Baik (SB)” diberi nilai 4, “Baik (B)” diberi nilai 3, “Kurang Baik (KB)” diberi
nilai 2 dan jika jawaban “Tidak Baik (TB)” diberi nilai 1. Dan Pembuatan/pemindahan
hasil koding kuesioner ke daftar koding (master tabel).
2. Tabulasi adalah membuat tabel yang berisikan data yang telah diberi kode sesuai dengan
analisis yang dibutuhkan. (R. Fadli 2001).

2. Penyajian Data

Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel distribusi frequensi dan tabel silang distribusi antar
variabel penelitian disertai dengan penjelasan.

Anda mungkin juga menyukai