Anda di halaman 1dari 10

360 Detik

Namanya Jenovan Adrian, laki – laki berumur tujuh belas tahun dengan segala kelebihan dan
kekurangannya. Di masa – masa mudanya, Jenovan tidak bisa menikmati apa yang namanya
‘fase anak muda’, ia hanya bisa tersenyum ketika melihat teman – teman sekelasnya yang pergi
untuk sekedar bermain bersama ke suatu tempat.

Jenovan bukanlah kebanyakan anak laki – laki yang bisa keluar bebas menggunakan motor,
bermain dan tertawa lepas tanpa memikirkan ‘besok bagaimana’. Ia terkadang akan bolos
sekolah jika ada suatu hal yang terjadi dan sangat mendesak.

Ia juga akan melewatkan banyak tugas dan terpaksa harus menyusul ketika ada ulangan. Dari
semua pelajaran yang ada di sekolahnya, hampir keseluruhan Jenovan bisa dikatakan sangat
payah. Ia hanya menyukai dan mampu dalam pelajaran Bahasa Inggris, itu pun jika ia selalu
hadir ketika pelajarannya berlangsung.

“Jeno, hari ini kamu tidak dapat uang saku, tidak apa – apa kan?” Jenovan yang sedang memakai
sepatu untuk berangkat ke sekolah, menoleh sekilas kepada neneknya yang tampak pucat.

Jenovan menghela nafasnya pelan, lalu ia tersenyum semata – mata agar neneknya tidak
menjadikan hal itu sebagai beban pikiran. “Tidak apa – apa kok nek, Jeno masih punya uang
saku sisa kemarin.”

Neneknya tersenyum tipis, melihat cucunya yang tidak banyak tingkah membuat neneknya
merasa sedih. Tidak seperti kebanyakan anak lain, Jenovan lebih cenderung menerima apa
adanya. “Maafkan nenek, nenek belum punya uang untuk kamu, nak. Uang pemeberian ibu
kamu kemarin, habis di bawa kabur oleh ayah kamu.”

Jenovan tahu itu, sudah sangat hafal sekali ketika neneknya tidak bisa memberi ia uang saku,
kemungkinannya hanya ada dua hal, ibunya tidak memberi uang atau ayahnya yang membawa
kabur uang itu.

“Nek, Jeno berangkat sekolah dulu ya, nenek baik – baik di rumah,” Kata Jenovan, meraih kedua
tangan keriput neneknya lalu mengecupnya dan mengucap salam. “Assalamualaikum.”

“Waalaikumsalam, hati – hati nak.”

Jenovan pun berangkat dengan senyuman tipis, ia tidak bisa menggunakan angkutan umum atau
kendaraan pribadi. Alasannya hanya satu, ia tidak punya cukup uang untuk menaiki angkutan
umum apalagi membeli kendaraan pribadi.

“Jenovan?!!”
Langkah kaki Jenovan terhenti, lalu ia menoleh. Perempuan jangkung dengan rambut sebahu
berwarna hitam tengah melambaikan tangannya. “Anya?”

“Hai. Kamu kemarin kemana gak sekolah?”

“Oh, aku...ada di rumah, nenekku sedang sakit kemarin.” Jawab Jenovan sekenannya.

Anya menatap tidak percaya, “Kamu sedang tidak berbohong lagi kan padaku?”

Jenovan mengangguk cepat, “Ya, kita kan sahabat?”

Anya lalu tersenyum, lalu ia mendekat ke arah Jenovan. “Ayo, naik sepeda bersamaku. Sekolah
masih sangat jauh, dan jalan kaki adalah hal terbodoh di saat jam sudah menunjukan lima belas
menit lagi akan bel.”

Jenovan tertawa, Anya adalah satu – satunya yang mau menemani Jenovan di sekolah maupun di
kelas. Perempuan yang tingginya hampir sama dengan Jenovan itu adalah perempuan yang pintar,
baik, ramah dan tidak membeda – bedakan Jenovan dengan anak – anak sekelasnya.

“Ayo Jenovan, kamu gonceng aku ya?”

Jenovan mengangguk lalu menaiki sepeda Anya dan perempuan itu sudah duduk di belakang
dengan semangat. “Siap?”

“Siap dong!”

Mereka pun berangkat. Selama diperjalanan, Jenovan dan Anya menceritakan banyak hal, mulai
dari pelajaran kemarin, tugas, hingga ke makanan.

***

Tepat satu menit lagi, gerbang akan ditutup jika saja Jenovan dan Anya tidak cepat – cepat
melewati gerbang utama. Jenovan memarkirkan sepeda Anya bersama kendaraan roda dua
lainnya, lalu mereka turun dan berjalan bersama untuk ke kelas.

“Oh iya Anya, kenapa kamu memakai sepeda jika kamu mempunyai motor?” Tanya Jenovan
ketika mereka sudah melewati pintu utama.

Anya terkekeh, “Memangnya, aku tidak boleh naik sepeda?”

“Bukan seperti itu.”

“Aku hanya ingin, lagi pula hitung – hitung olahraga.” Jawab Anya.
Jenovan pun mengangguk mengerti, lalu kembali melanjutkan perjalanan menuju kelas dengan
harap – harap takut karena mungkin nanti teman – temanya akan mengejeknya seperti biasa.

“Asslamualaikum..” Kata Anya ketika mereka berdua memasuki kelas, suasana berubah menjadi
hening setelah Jenovan masuk membuntuti Anya.

“Gak mau ada yang jawab salam aku ya?”

“Iya Anya, waalaikumsalam.” Kata ketua kelas mereka.

Lalu Anya masuk, di susul dengan Jenovan yang berjalan ke kursinya dengan menunduk.

“Kemarin kemana aja, enak banget ya jadi kamu, bisa gak sekolah tanpa ada surat keterangan
atau kabar dari orang tua.” Sindir salah satu murid laki – laki dengan sinis.

Jenovan tetap tidak bergeming, ia cenderung lebih terus menunduk ketimbang menjawab
pertanyaan temannya.

“Tugas kemarin numpuk, pelajarannya juga susah semua. Sedangkan kamu, mungkin kemarin
kamu ketawa – ketawa atau liburan. Intinya, kemarin kamu bebas gak sekolah dan belajar di sini.”
Lanjut murid laki – laki itu dengan nada yang sedikit di naikan.

“Kemarin dia jagain neneknya yang sakit, Farhan. Kamu gak perlu gitu.” Sahut Anya melakukan
pembelaan.

Farhan tertawa sinis, “Ya tetaplah, yang namanya gak ada surat keterangan, ya bolos.”

“Kamu juga pernah kan?” Anya semakin memberanikan diri melawan Farhan yang menurutnya
sudah keterlaluan terhadap Jenovan.

“Kenapa kamu belain dia terus sih?! Kamu suka sama dia?” Farhan semakin emosi ketika Anya
yang terus – terusan membela Jenovan, si anak miskin itu kalau kata Farhan.

“Udahlah Han, kamu juga kan tahu kalau ada siswa yang gak masuk, sebagai gantinya dia harus
ikut kompensasi.” Kata temannya.

“Aku sahabat sekaligus temannya. Jangan berfikiran yang aneh – aneh, lebih baik kamu urus
urusan kamu sendiri. Jangan jadi netizen.” Kata Anya, setelah itu ia pun keluar dari kelas karena
tidak ingin emosinya meluap begitu saja.

Jenovan menyusul Anya yang keluar, ia tidak memperdulikan sekitarnya lagi ketika Anya yang
sudah mati – matian membela dirinya. Jenovan rasa, ia harus berterima kasih kepada Anya yang
sudah mau membelanya meskipun dia salah.
“Anya? Tunggu!” teriak Jenovan saat Anya belum jauh dari kelas.

“Ada apa Jeno?”

“Terima kasih, sudah mau membelaku.”

Anya mengangguk, “Memang seharusnya dia tidak boleh di diamkan. Lagi pula, aku juga sudah
muak dengannya. Dia sangat tidak punya moral.”

“Tapi Anya, lain kali, lebih baik jangan mengatakan apapun. Ini masalahku, biar aku saja yang
menghadapi mereka. Aku masih mampu dan bisa.” Kata Jenovan.

Tepat setelah Jenovan selesai berbicara, bel pun berbunyi tanda masuk dan pelajaran pertama
akan di mulai.

“Tapi Jeno, apa orang tuamu tidak tahu atau mungkin nenekmu? Bahwa kamu sering dibully
seperti ini?” Kata Anya.

Jenovan yang hendak akan berjalan, menoleh ke arah Anya. “Maaf Anya, aku berbohong lagi
padamu. Nanti akan aku bicarakan saat istirahat.”

Anya mengangguk, lantas berjalan menuju kelas kembali karena guru akan datang.

***

“Jenovan tunggu!” Wali kelasnya menegur saat Jenovan hendak keluar untuk istirahat. Semua
pasang mata murid tertuju padanya, dengan saksama Jenovan menghampiri wali kelasnya di
meja guru.

“Iya bu?”

“Kemarin kemana aja? Bolos lagi kamu? Sebenarnya, saya sudah lelah dan malu menghadapi
kelakuan kamu, Jenovan. Dalam satu minggu, banyak sekali laporan dari guru – guru lain yang
saya terima. Apa kamu tidak merasa sayang dengan pendidikan kamu? Kamu sudah pintar
sehingga berani bolos?” Wali kelasnya menanyakan beberapa hal dengan bertubi – tubi.

Jenovan menunduk, karena ia tidak bisa menjawab dengan kata – kata yang tepat.

“Kamu tidak mau naik kelas? Atau kamu tidak takut untuk dikeluarkan dari sekolah ini? Kenapa
kamu selalu bolos? Sesibuk apa kamu sehingga tidak bisa sekolah? Apa yang kamu lakukan
ketika kamu tidak sekolah?”

“Anu bu...”
Wali kelasnya menghela nafas kasar, lalu ia merapihkan buku – bukunya sembari menunggu
Jenovan berbicara. “Seharusnya kamu bersyukur, kamu masih bisa diterima di sekolah ini
dengan baik. Kamu masih bisa naik kelas tanpa pindah bersyarat. Apa kamu tidak mensyukuri
nikmat yang telah tuhan berikan kepada kamu?”

“Ibu, saya memiliki alasan ketika saya tidak sekolah dan tidak mengirim surat keterangan.”
Jawab Jenovan dengan suara pelan.

“Alasan apa Jenovan? Apa kamu tidak malu dengan teman – teman kamu?”

Jenovan menautkan kedua tangannya ke belakang, masih dengan menunduk Jenovan berkata
“Jenovan jelas sangat malu, bu. Jenovan tahu, Jenovan salah karena sudah bolos sekolah dan
membuat ibu malu. Maafkan Jenovan bu.”

“Kesabaran saya sudah habis Jenovan, jika kamu masih mempunyai niat untuk sekolah. Jangan
membolos lagi, fikirkan masa depanmu nanti akan bagaimana jika kamu membolos.” Setelah itu,
wali kelasnya pun pergi.

“Jangankan buat wali kita malu, kita juga malu punya dia di kelas ini. Lebih tepatnya, malu –
maluin!” Sindir Farhan, setelah itu ia pun keluar dari kelas diikuti dengan gengnya.

Sedangkan murid – murid yang lain tidak banyak berkata dan langsung keluar untuk menikmati
waktu istirahat yang terbatas itu. Anya menghampiri Jenovan yang masih berada di tempat yang
sama. “Sudah, anggap saja angin lewat. Yang harus kamu lakukan sekarang adalah berubah
menjadi lebih baik, Jeno. Tinggalkan kebiasaanmu yang sama sekali tidak kami ketahui apa
penyebabnya.”

Jenovan mengangguk, lalu berbalik menghadap Anya. “Terima kasih, Anya. Tapi sepertinya aku
ingin di kelas saja.”

“Kebetulan sekali, ibuku membuatkan aku bekal. Ayo kita makan bersama.”

Jenovan menolak, “Aku kenyang, aku sudah makan banyak tadi di rumah.” Bohongnya.

“Ayolah, kamu harus mencicipi masakan ibuku.”

“Lain kali saja ya? Aku sudah kenyang.”

Anya mengangguk kecewa, ia pun tidak bisa memaksakan kehendaknya kepada Jenovan. Jadi
mereka memilih duduk berhadapan dan Anya mengingatkan bahwa Jenovan berhutang
penjelasan padanya.
“Aku tidak punya orang tua.”

Anya yang hendak menyuapkan nasi ke mulutnya, terhenti ketika Jenovan mengatakan hal yang
baru di telinganya. “Apa?”

“Mereka bercerai, dan aku tinggal bersama nenekku.” Kata Jenovan sambil memainkan
tangannya. “Hanya kamu yang tahu, Anya. Aku mohon jangan memberitahukan hal ini kepada
siapapun.”

Anya mengangguk, “Apa lagi yang kamu sembunyikan dariku?”

Jenovan menegakan tubuhnya sebelum benar – benar memulai pembicaraan itu. Jenovan
mengatakan bahwa setiap malam ia akan bekerja serabutan, entah itu menjadi tukang parkir
dadakan, membantu toko grosiran yang buka 24 jam untuk menjadi tukang angkut barang, atau
menjadi tukang cuci piring di rumah makan. Jenovan juga menjelaskan perihal ayahnya yang
sudah tidak peduli padanya dan selalu mengambil uang pemberian ibunya untuk keperluan sehari
– hari. Ibunya yang lebih memilih untuk tidak menerima hak asuh Jenovan, dan memilih hidup
bersama adik Jenovan dan juga suami barunya. Ayahnya yang selalu bergonta – ganti pasangan,
membuat Jenovan harus menanggung resikonya ketika para tetangga membicarakannya.

Anya meneteskan air matanya karena merasa iba, Jenovan pun kembali melanjutkan
penjelasannya. “Karena semua itu, aku membolos. Aku selalu bangun kesiangan karena nenekku
yang selalu sakit – sakitan tidak bisa membantu. Aku juga tidak punya orang tua atau wali lain
selain nenekku untuk membuatkanku surat keterangan.”

Anya menangis mendengar penuturan Jenovan yang sepertinya sudah sangat lelah dengan semua
ini. “Tapi aku selalu yakin, bahwa Allah memberikan cobaan kepada hambanya tidak melewati
batas kemampuan hamba itu sendiri.”

Hanya ada satu hal yang tidak Jenovan beritahukan pada Anya. Mungkin nanti, setelah
semuanya selesai.

“Kau tidak menyembunyikan hal lain lagi dariku kan?”

Jenovan menggeleng sebagai jawaban.

“Maaf Jenovan, aku baru tahu yang sebenarnya sekarang saat kamu mengatakannya barusan.
Aku akan meminta bantuan kepada kedua orang tuaku, aku yakin mereka akan membantu.”

“Tidak perlu, Anya. Jangan melibatkan orang baru, kamu sudah berjanji untuk tidak mengatakan
apapun kepada siapapun. Ingat janji kamu.”
Anya mengembungkan pipinya kecewa, seharusnya ia tidak mengatakan hal itu jika
kenyataannya seperti ini.

***

Tiga Minggu Kemudian

“Jenovan Adrian?”

Hening. Tidak ada yang mengatakan ‘hadir bu’ terhitung sudah keempat kalinya Jenovan tidak
masuk sekolah dengan alasan yang tidak diketahui. Anya pun juga tidak tahu apa yang terjadi
dengan sahabatnya itu. Hal yang paling Anya sesali adalah, pertama, ia tidak tahu di mana letak
rumah Jenovan, kedua Anya tidak punya kontak Jenovan karena laki – laki itu tidak memiliki
ponsel.

“Kemana anak itu? Masih belum sekolah juga?” Tanya wali kelas mereka dengan sedikit nada
amarah.

“Tidak tahu buu..”

“Ada yang tahu di mana rumah Jenovan?”

“Tidak buu..”

Tiba – tiba, pintu kelas dibuka secara kasar oleh seseorang. Wali kelas beserta murid – murid di
dalamnya terlonjak kaget. “JENOVAN?!!”

Anya refleks berdiri karena terkejut. “Jeno?”

“MANA SALAM KAMU? SANGAT TIDAK SOPAN!!!!” Teriak wali kelas mereka dengan
lantang, membuat murid – murid lain terkejut begitupun Anya.

Yang tidak disadari oleh mereka adalah, Jenovan memakai pakaian serba hitam. Hanya Anya
yang menyadarinya, lalu perempuan itu memberanikan diri untuk bertanya. Melihat mata
Jenovan yang merah seperti habis menangis, Anya semakin yakin. “Jeno, jangan bilang..”

“Iya Anya. Nenek aku meninggal,” Jenovan kembali menangis, wali kelasnya yang masih marah
pun tiba – tiba menatap terkejut.

“Innalillahi, kapan?”

“Kemarin malam, bu.” Jenovan kembali menangis sambil sesenggukan.


“Jenovan, maaf ibu –“

“Tidak ibu. Di sini saya yang salah karena sudah melanggar permintaan ibu tiga minggu yang
lalu. Biarkan saya berbicara selama enam menit saja bu. Saya hanya butuh waktu enam menit
untuk menjelaskan semuanya.” Kata Jenovan.

Wali kelasnya menghampiri Jenovan, semua pasang mata dengan seksama memperhatikan
Jenovan termasuk Anya yang tidak kembali duduk. “Sebelumnya, saya ingin meminta maaf
kepada kalian semua. Karena sudah membuat malu kalian dan membuat nama kelas ini tercemar.
Terutama kepada ibu guru, yang telah membimbing saya, saya ucapkan maaf dan terima kasih.”

“Saya tidak tahu harus memulai dari mana, selama tiga minggu ini saya sibuk mengurusi nenek
saya. Tiga minggu yang lalu, saat saya pulang dari sekolah, nenek saya sudah terjatuh di kamar
mandi, tetapi tidak ada yang membantu karena memang kami hanya hidup berdua. Orang tua
saya cerai dan sudah tidak memperdulikan saya. Setiap malam saya mencari uang untuk
keperluan sehari – hari, saya menjadi pekerja serabutan. Saya juga...”

“Juga apa Jenovan?”

“Uhuk!!”

“Jeno!!”

“Jenovan?!!”

Teriak wali kelas dan Anya bersamaan, termasuk murid – murid lain yang menjerit hsiteris
ketika Jenovan terbatuk dan mengeluarkan darah berwarna merah pekat dari mulutnya.

“Apa yang terjadi nak?”

“Jenovan sakit bu, Jenovan akan meninggal.” Kata Jenovan dengan suara purau.

“Apa maksud kamu?” Tanya wali kelasnya, Anya dan murid lainnya mulai mengerumuni
Jenovan dengan harap – harap cemas.

“Jeno?!! Kamu ngomong apa sih, ayo kita ke rumah sakit.”

Jenovan menggeleng, lalu ia menggenggam tangan gurunya dengan erat. “Satu minggu yang lalu,
Jenovan pergi ke puskesmas karena ada pemeriksaan gratis, bu. Ternyata Jenovan telah divonis
terkena kanker lambung stadium akhir. Lalu Jenovan dirujuk ke rumah sakit dan dokter
memvonis umur Jenovan tidak lama lagi.”
Wali kelasnya menangis tidak percaya, “Jenovan disuruh melakukan perawatan, tetapi Jenovan
menolaknya karena tidak punya uang. Dan hari ini, tepat setelah pemakaman nenek Jenovan
selesai, Jenovan datang ke sini untuk meminta maaf kepada ibu dan teman – teman semua.”

“Jenovan, lebih baik sekarang kita pergi ke rumah sakit. Ayo!”

“Jenovan ingin pulang saja. Hanya itu yang Jenovan ingin katakan, sepertinya sudah cukup enam
menit ya?”

Jenovan kembali terbatuk dan mengeluarkan banyak darah, lalu Farhan sebagai ketua murid
segera berlari keluar untuk memanggil satpam agar menghubungi ambulan.

Anya menangis histeris ketika batuk Jenovan tidak kunjung berhenti, Anya memukul lengan
Jenovan karena takut sekaligus kesal dan kecewa mengetahui fakta bahwa sahabatnya itu tidak
memberitahu Anya. Teman – temannya yang lain ikut menangis dan takut.

Di tengah – tengah batuknya, Jenovan sempat – sempatnya memberikan senyuman kepada Anya
yang tengah menangis. Lalu mengangguk pelan, pertanda semuanya akan baik – baik saja.

Anya menggeleng kuat, tangan Jenovan terulur ke saku celana hitamnya, lalu mengeluarkan
secarik kertas dari sana dan diselipkanlah surat itu ke tangan pucat Anya.

“360 detik...akhirnya selesai. Assalamualaikum ibu, teman – teman...”

“Jenovan?!!!!!” Teriak wali kelasnya dengan histeris ketika tangan anak itu yang masih berada di
genggamannya melemah.

“Jeno....kamu jahat, jangan pergi, apa – apaan sih kamu! Bangun!” Kata Anya sambil
mengguncangkan tubuh Jenovan hebat.

***

Assalamualaikum Anya...

Gimana keadaan kamu setelah aku tinggal? Baik – baik saja kan? Aku harap seperti itu . Oh
iya, terima kasih ya, sudah mau menjadi teman sekaligus sahabatku untuk setengah tahun
belakangan ini, aku sangat senang mempunyai orang sepertimu. Maaf sebelumnya, aku tidak
memberitahumu bahwa aku sudah mengidap penyakit ini dari semenjak kita menjadi murid kelas
11. Aku hanya mempertenang suasana saja waktu itu.

Aku harap, kamu bisa menjaga diri kamu baik – baik. Jangan terlalu sering bertengkar dengan
Farhan, nanti kalian saling suka lhoo. Sampaikan salamku pada teman – teman ya, aku pergi.

Assalamualaikum Anya...

Anda mungkin juga menyukai