TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-“tidak, tanpa” dan aesthesos
“persepsi, kemampuan untuk merasa”. Secara umum berarti suatu tindakan
menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya
yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh (Wikipedia, 2008). Istilah Anestesia digunakan
pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan
untuk menghilangkan nyeri pembedahan. Sedangkan Analgesia adalah tindakan
pemberian obat untuk menghilangkan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran pasien
(Latief, dkk, 2001).
2.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin untuk
meminimalkan rasa sakit (Ismunandar, 2006). Rekor dunia untuk amputasi kaki dicapai
dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim dokter pribadi
Napoleon. Tahun 1800, Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal telah
mempublikasikan bahwa zat kimia terterntu seperti oksida nitrogen dapat mempunyai efek
bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi dalam praktiknya adalah
Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah mempublikasikan, maka dalam
sejarah Amerika Serikat menyebutkan bahwa penemu anestesi atau bius adalah William
Morton karena Morton secara demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit
di depan umum pada tahun 1846. Pada tahun 1848, di Inggris tercatat JY Simpson dan
John Snow yang banyak mengembangkan anestesi (Ellis, 1994). Eter waktu itu banyak
digunakan untuk membantu persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter,
Simpson dan asistennya banyak bereksperimen dengan bahan–bahan kimia untuk mencari
anestesi yang efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri. Di dunia
waktu itu, dan terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian
kodrat dari Tuhan, dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun, oposisi
penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat melahirkan
Pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut dilakukan oleh
John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah pandangan umum
tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur bedah semakin lama
semakin diperhitungkan (Ismunandar, 2006).
2.3 Klasifikasi
Obat bius memang diciptakan dalam berbagai sediaan dan cara kerja. Namun, secara
umum obat bius atau istilah medisnya anestesi ini dibedakan menjadi tiga golongan yaitu
anestesi lokal, regional, dan umum (Joomla, 2008).
a. Anestesi Lokal
Anestesi lokal adalah tindakan pemberian obat yang mampu menghambat konduksi
saraf (terutama nyeri) secara reversibel pada bagian tubuh yang spesifik (Biworo,
2008). Pada anestesi umum, rasa nyeri hilang bersamaan dengan hilangnya kesadaran
penderita. Sedangkan pada anestesi lokal (sering juga diistilahkan dengan analgesia
lokal), kesadaran penderita tetap utuh dan rasa nyeri yang hilang bersifat setempat
(lokal) (Bachsinar, 1992). Pembiusan atau anestesi lokal biasa dimanfaatkan untuk
banyak hal. Misalnya, sulam bibir, sulam alis, dan liposuction, kegiatan sosial seperti
sirkumsisi (sunatan), mencabut gigi berlubang, hingga merawat luka terbuka yang
disertai tindakan penjahitan (Joomla, 2008). Anestesi lokal bersifat ringan dan
biasanya digunakan untuk tindakan yang hanya perlu waktu singkat. Oleh karena efek
mati rasa yang didapat hanya mampu dipertahankan selama kurun waktu sekitar 30
menit seusai injeksi, bila lebih dari itu, maka akan diperlukan injeksi tambahan untuk
melanjutkan tindakan tanpa rasa nyeri (Joomla, 2008).
b. Anestesi Regional
Anestesi regional biasanya dimanfaatkan untuk kasus bedah yang pasiennya perlu
dalam kondisi sadar untuk meminimalisasi efek samping operasi yang lebih besar, bila
pasien tak sadar. Misalnya, pada persalinan Caesar, operasi usus buntu, operasi pada
lengan dan tungkai. Caranya dengan menginjeksikan obat-obatan bius pada bagian
utama pengantar register rasa nyeri ke otak yaitu saraf utama yang ada di dalam tulang
belakang. Sehingga, obat anestesi mampu menghentikan impuls saraf di area itu.
Sensasi nyeri yang ditimbulkan organ-organ melalui sistem saraf tadi lalu terhambat
dan tak dapat diregister sebagai sensasi nyeri di otak. Dan sifat anestesi atau efek mati
rasa akan lebih luas dan lama dibanding anestesi lokal. Pada kasus bedah, bisa
membuat mati rasa dari perut ke bawah. Namun, oleh karena tidak mempengaruhi
hingga ke susunan saraf pusat atau otak, maka pasien yang sudah di anestesi regional
masih bisa sadar dan mampu berkomunikasi, walaupun tidak merasakan nyeri di
daerah yang sedang dioperasi (Joomla, 2008).
c. Anestesi Umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan nama narkose
umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel (Miharja, 2009). Anestesi umum biasanya
dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang memerlukan ketenangan pasien dan
waktu pengerjaan lebih panjang, misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan
batu empedu, bedah rekonstruksi tulang, dan lain-lain (Joomla, 2008). Cara kerja
anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan
membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot. Maka, selama penggunaan anestesi
juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi jantung untuk meminimalisasi
kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama operasi dilakukan (Joomla, 2008).
Untuk menentukan prognosis (Dachlan. 1989) ASA (American Society of
Anesthesiologists) membuat klasifikasi berdasarkan status fisik pasien pra anestesi
yang membagi pasien kedalam 5 kelompok atau kategori sebagai berikut: ASA 1,
yaitu pasien dalam keadaan sehat yang memerlukan operasi. ASA 2, yaitu pasien
dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit bedah maupun
penyakit lainnya. Contohnya pasien batu ureter dengan hipertensi sedang terkontrol,
atau pasien apendisitis akut dengan lekositosis dan febris. ASA 3, yaitu pasien dengan
gangguan atau penyakit sistemik berat yang diaktibatkan karena berbagai penyebab.
Contohnya pasien apendisitis perforasi dengan septi semia, atau pasien ileus obstruksi
dengan iskemia miokardium. ASA 4, yaitu pasien dengan kelainan sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehiduannya. ASA 5, yaitu pasien tidak diharapkan hidup
setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak. Contohnya pasien tua dengan
perdarahan basis krani dan syok hemoragik karena ruptura hepatik. Klasifikasi ASA
juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda darurat (E =
emergency), misalnya ASA 1 E atau III E. Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu;
Stadium I (stadium induksi atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen
anestesi sampai menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan
frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi. Stadium II
(stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran sampai permulaan
stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi dan gerakan yang tidak menurut
kehendak, pernafasan tidak teratur, inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi,
dan takikardia. Stadium III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane
I yang ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak. Tipe
pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata bergerak-gerak,
palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II, ditandai dengan respirasi thoraco-
abdominal dan bola mata ventro medial semua otot mengalami relaksasi kecuali otot
perut. Plane III, ditandai dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke
tengah dan otot perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil dilatasi. Bola
mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena terhentinya sekresi lakrimal
(Archibald, 1966).
Pada saat melakukan observasi di ruang pulih, agar lebih sistematis dan lebih mudah dapat
dilakukan ³monitoring B6´, yaitu :
a. Breath (nafas) : sistem respirasi
Pasien belum sadar dilakukan evaluasi :
Pola nafas
Tanda-tanda obstruksi
Pernafasan cuping hidung
Frekuensi nafas
Pergerakan rongga dada : simetris/tidak
Suara nafas tambahan : tidak ada pada obstruksi total
Udara nafas yang keluar dari hidung
Sianosis pada ekstremitas
Auskultasi : wheezing, ronki
Pasien sadar : tanyakan adakah keluhan pernafasan.
Jika tidak ada keluhan : cukup berikan O2
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi : terapi sesuai kondisi
(aminofilin,kortikosteroid, tindakan tri ple manuver airway).
Nilai Warna
Merah muda (2)
Pucat (1)
Sianosis (0)
Pernapasan
Dapat bernapas dalam dan batuk (2)
Dangkal namun pertukaran udara adekuat (1)
Apnoea atau obstruksi (0)
Sirkulasi
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal (2)
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal (1)
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal (0)
Kesadaran
Sadar, siaga dan orientasi (2)
Bangun namun cepat kembali tertidur (1)
Tidak berespons (0)
Aktivitas
Seluruh ekstremitas dapat digerakkan (2)
Dua ekstremitas dapat digerakkan (1)
Tidak bergerak (0)
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
Tabel Skor pemulihan pasca anestesi
Steward Score (anak-anak)
Pergerakan
Gerak bertujuan (2)
Gerak tak bertujuan (1)
Tidak bergerak (0)
Pernafasan
Batuk, menangis (2)
Pertahankan jalan nafas (1)
Perlu bantuan (0)
Kesadaran
Menangis (2)
Bereaksi terhadap rangsangan (1)
Tidak bereaksi (0)
Kriteria Nilai
Gerakan penuh dari tungkai (0)
Tak mampu ekstensi tungkai (1)
Tak mampu fleksi lutut (2)
Tak mampu fleksi pergelangan kaki (3)
Jika Bromage Score 2 dapat pindah ke ruangan.
2.5 Komplikasi Pasca Anestesi dan Penanganannya
Komplikasi Respirasi
a. Obstruksi jalan nafas
Prinsip dalam mengatasi sumbatan mekanik dalam sistem anestesi
adalahdengan menghilangkan penyebabnya. Diagnosis banding antara sumbatan
mekanik dan bronkospasme harus dibuat sedini mungkin. Sumbatan mekanik lebih
seringterjadi, dan mungkin dapat menjadi total, dimana wheezing akibat dapat
terdengar tanpa atau dengan stetoskop.
Penyebab sumbatan bisa nyata sebagai contoh, keadaan ini dapat diatasi
dengan meluruskan pipa yang terpuntir dibalik rongga mulut. Jika pipa ditempatkan
terlalu jauh ke dalam trakea, maka pipa tersebut biasanya memasuki bronkus utama
jika kadar tinggi oksigen yang dipakai,sampai terjadi tanda-tanda hipoksia, hiperkardi
atau sumbatan pernafasan menjadi nyata.
Komplikasi dapat dihindarkan jika ahli anestesi memeriksa kedudukan pipa
setelah dipasang dengan mendengarkan melalui stetoskop di atas setiap sisi dada,
sementara secara manual paru-paru dikembangkan, jika suara pernafasan
tidak terdengar atau pengembangan pada satu sisi dada telah didiagnosis, maka harus
secara lambat laun ditarik sampai udara terdengar memasuki kedua sisi toraks secara
seimbang. Penggunaan pipa yang telah dipotong sampai sepanjang bronkus kanan
dapat mengurangi bahaya.
Ahli anestesi tidak boleh melupakan bahwa, jika dihadapkan pada sumbatan
mekanik yang tidak dapat dijelaskan, segera setelah intubasi, maka anjuran terbaik
adalah pipa ditarik keluar dan dilakukan re-intubasi. Sumbatan mekanik pada penderita
yang tidak diintubasi, apakah dapat bernafas dengan spontan atau dikembangkan,
paling sering disebabkan oleh lidah yang jatuh ke belakang. Biasanya keadaan ini
dapat ditolong dengan mengekstensikan kepala, mendorong dagu ke muka dan
memasang pipa udara anestetik peroral atau nasal. Sumbatan mekanik pada penderita
yang di intubasi mungkin bersifat samar-samar. Paling penting disadari bahwa adanya
pipa trakea tidak menjamin saluran pernafasan yang lancar. Pipa dapat menjadi
terpuntir, bagian yang melengkung dapat terhalang pada dinding trakea, atau dapat
terlalu menjorok jauh dan memasuki bronkus utama kanan atau manset dapat
menyebul keluar menutupi bagian ujung.
b. Bronkospasme
Bronkospame dapat diatasi secara terapi medik, tetapi yang paling penting adalah
memastikan bahwa tidak terjadi sumbatan mekanik, baik secara anatomis,akibat lidah
yang terjatuh ke belakang pada penderita yang tidak diintubasi, atau akibat defek
peralatan seperti yang telah dijelaskan di atas. Efedrin intravena setiap kali dapat
ditambah 5 mg, atau 30 mg intramuscular, sehingga dapat menolong, tetapi dapat
menyebabkan takikardi dan meningkatkan tekanan darah. Secara bergantian, suntikan
lambat 5 mg/kg aminofilin intravena.
c. Hipoventilasi
Pada hipoventilasi, rangsang hipoksia dan hiperkarbia mempertahankan penderita tetap
bernafas. Pada hipoventilasi berat, pC02 naik > 90 mmHg, sehingga menimbulkan
koma, dengan pemberian O2 hipoksia berkurang (p02 naik) tetapi pCO2 tetap atau naik
pada hipoventilasi ringan. Sedangkan pada hipoventilasi berat jusrtu mengakibatkan
paradoksikal apnea, yaitu penderita justru jadi apnea setelah diberi oksigen. Terapi
yang benar pada hipoventilasi adalah :
Membebaskan jalan nafas
Memberikan oksigen
Menyiapkan nafas buatan
Terapi sesuai penyebabnya
d. Hiperventilasi
Hiperventilasi dengan hipokapnia akan merangsang kalium ekstraselular mengalir ke
intraselular, hingga terjadi hipokalemia. Aritmia berupa bradikardia relatif dapat terjadi
pada hipokalemia.
Komplikasi Kardiovaskular
a. Hipertensi
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakea, cairan
infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia,
hiperkapnea dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan
menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru atau
pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau perlu
dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0,5 ± 1,0 µg/kg/ menit.
b. Hipotensi
Hipotensi yang terjadi karena isian balik vena (venous return) menurun disebabkan
pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang kuat
atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk mencegah
terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia dan kerusahan
jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya. Berikan O2
100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.
Komplikasi Lain-lain
a. Mengigil
Pada akhir anestesi dengan tiopental, halotan atau enfluran kadang-kadang timbul
mengigil di seluruh tubuh disertai bahu dan tangan bergetar. Hal ini mungkin terjadi
karena hipotermia atau efek obat anestesi, Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi,
ruang UPPA yang dingin, cairan infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas
dan lama. Faktor lain yang menjadi pertimbangan ialah kemungkinan waktu anestesi
aliran gas diberikan terlalu tinggi hingga pengeluaran panas tubuh melalui ventilasi
meningkat. Terapi petidin 10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus
hangat dengan infusion warmer, lampu penghangat untuk menghangatkan suhu tubuh.
b. Gelisah setelah anestesi
Gelisah pasca anestesi dapat disebabkan karena hipoksia, asidosis,hipotensi, kesakitan.
Penyulit ini sering terjadi pada pemberian premedikasi dengan sedatif tanpa anelgetika,
hingga pada akhir operasi penderita masih belum sadar tetapi nyeri sudah mulai terasa.
Komplikasi ini sering didapatkan pada anak dan penderita usia lanjut. Setelah
disingkirkan sebab-sebab tersebut di atas, pasien dapat diberikan midazolam 0,05-
0,1mg/kgBB atau terapi dengan analgetika narkotika (petidin 15-25 mg I.V ).
c. Kenaikan Suhu
Kenaikan suhu tubuh harus kita bedakan apakah demam (fever) atau hipertermia
(hiperpireksia). Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas 38 derajat Celcius dan masih
dapat diturunkan dengan pemberian salisilat. Sedangkan hipertermia ialah kenaikan suhu
tubuh diatas 40 derajat Celcius dan tidak dapat diturunkan dengan hanya memberikan
salisilat. Beberapa hal yang dapat mencetuskan kenaikan suhu tubuh ialah:
Puasa terlalu lama
Suhu kamar operasi terlalu panas (suhu ideal 23-24 derajat Celcius)
Penutup kain operasi yang terlalu tebal
Dosis premedikasi sulfas atropin terlalu besar
Infeksi
Kelainan herediter (kelainan ini biasanya menjurus pada komplikasi hipertermia
maligna)
d. Hipertermia Maligna
Hipertermia maligna merupakan krisis hipermetabolik dimana suhu tubuh naik lebih dari
2 derajat Celcius dalam waktu satu jam. Walaupun angka kajadian komplikasi ini jarang,
yaitu 1: 50.000, pada penderita dewasa dan 1: 25.000 pada anak-anak, tetapi jika terjadi,
angka kematiannya cukup tinggi yaitu 60%. Etiologi komplikasi ini masih
diperdebatkan, tetapi telah banyak dikemukakan bahwa kelainan herediter ini karena
adanya cacat pada ikatan kalsium dalam reticulum sarkoplasma otot atau jantung.
Adanya pacuan tertentu akan meyebabkan keluarnya kalsium tersebut dan masuk
kedalam sitoplasma hingga menghasilkan kontraksi miofibril hebat,penumpukan asam
laktat dan karbondioksida, meningkatkan kebutuhan oksigen,asidosis metabolik, dan
pembentukan panas. Kebanyakan obat anestetika akan menjadi triger pada penderita
yang berbakat hipertermia maligna herediter ini. Halotan dan suksinilkolin adalah obat-
obat yang sering dilaporkan sebagai pencetus penyulit ini. Akan tetapi tidak berarti obat-
obat lain aman terhadap komplikasi ini. Gejala klinis selain kenaikan suhu mendadak,
tonus otot bertambah, takikardi, tetani, mioglobinuria, gagal ginjal dan gagal jantung.
Penanggulangan komplikasi dilakukan dengan langkah-langkah:
Hentikan pemberian anestetika dan berikan O2 100%
Seluruh tubuh dikompres es atau alkohol, kalau perlu lambung dibilas dengan larutan
NaCl fisiologis dingin
Pemeriksaan gas darah segera dilakukan
Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat
Koreksi hiperkalemia dengan glukosa dan insulin
Oradekson dosis tinggi diberikan i.v.
Dantrolene i.v. 1-2 mg/ kgBB dapat diulang tiap 5-10 menit dan maksimum 10
mg/kgBB. Obat ini merupakan satu-satunya obat spesifik untuk hipertermia maligna.
e. Reaksi Hipersensitif
Reaksi hipersensitif adalah reaksi abnormal terhadap obat karena terbentuknya mediator
kimia endogen seperti histamin dan serotonin dan lainnya. Reaksi dapat saja terjadi pada
tiap pemberian obat termasuk obat yang digunakan dalam anestesia. Komplikasi sering
terjadi pada pemberian induksi intravena dan obat pelumpuh otot.
Gejala klinis hipersensitif :
Kulit kemerahan dan timbul urtikaria
Muka menjadi sembab
Vasodilatasi, tetapi nadi kecil sering tak teraba, sampai henti jantung.
Bronkospasme
Sakit perut, mual dan muntah, kadang diare
Pengobatan:
Hentikan pemberian obat anestetika
Dilakukan napas buatan dan kompresi jantung luar kalau terjadi henti jantung
Adrenalin 0,3-0,5 cc (1:1000) i.v. atau intratrakeal
Steroid, aminofilin atau vasopresor dipertimbangkan pada keadaan tertentu
Percepat cairan infus kristaloid
Operasi dihentikan dulu sampai gejala-gejala hilang.
f. Nyeri
Nyeri pasca bedah dikategorikan sebagai nyeri berat, sedang dan ringan. Untuk meredam
nyeri pasca bedah pada anestesi regional untuk pasien dewasa,sering ditambahkan
morfin 0.05-0.10 mg saat memasukkan anestesi lokal ke ruang subaraknoid atau morfin
2-5 mg ke ruang epidural. Tindakan ini sangat baik manfaatnya karena dapat
membebaskan nyeri pasca bedah sekitar 10-16 jam. Setelah itu nyeri yang timbul bersifat
sedang atau ringan dan jarang diperlukan tambahan opioid dan kalaupun perlu cukup
diberikan analgetik golongan NSAID (anti inflamasi non steroid) misalnya ketorolac 10-
30 mg IV atau IM.
Opioid lain seperti petidin atau fentanil jarang digunakan intradural atau epidural, karena
efeknya lebih pendek sekitar 3-6 jam. Efek samping opioid intratekal atau epidural ialah
gatal di daerah muka. Pada manula dapat terjadi depresi napas setelah 10-24 jam. Gatal
di muka dan depresi napas dapat dihilangkan dengan nalokson. Opioid intratekal atau
epidural tidak dianjurkan pada manula kecuali dengan pengawasan ketat.
g. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama pada
penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia regional. Obat
mual-muntah yang sering digunakan pada peri anesthesia ialah :
Dehydrobenzoperidol (droperidol) 0,05-0,1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
Metoklopramid (primperan) 0,1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
Ondansetron (zofran, narfoz) 0,05-0,1 mg/kgBB i.v
Cyclizine 25-50 mg.