Perkataan "perikatan" (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
"perjanjian", sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama
sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan
yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal
perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
persetujuan (zaakwaarneming).
Adapun yang dimaksudkan dengan "perikatan" ialah: suatu hubungan hukum
(mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu
untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini
diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak
berpiutang atau "kreditur", sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan
pihak berhutang atau "debitur". Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan
"prestasi", yang menurut undang-undang dapat berupa :
a. menyerahkan suatu barang
b. melakukan suatu perbuatan
c. tidak melakukam suatu perbuatan.
Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa
suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-
undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-
perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena
suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan
yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan dan yang lahir dari perbuatan yang
berlawanan dengan hukum.
Apabila seorang berhutang tidak memenuhi kewajibannya, menurut bahasa hukum
ia melakukan "wanprestasi" yang menyebabkan ia dapat digugat di depan hakim.
Dalam hukum berlaku suatu asas, orang tidak boleh menjadi hakim sendiri. Seorang
berpiutang yang menghendaki pelaksanaan suatu perjanjian dari seorang berhutang
yang tidak memenuhi kewajibannya, harus meminta perantaraan Pengadilan.
Tetapi sering terjadi bahwa si berhutang sendiri dari semula sudah memberikan
persetujuanya, kalau ia sampai lalai, si berpiutang berhak melaksanakan sendiri hak-
haknya menurut perjanjian, dengan tak usah meminta perantaraan hakim. Ini telah kita
lihat dalam hal pandrecht. Pelaksanaan yang dilakukan sendiri oleh seorang berpiutang
dengan tidak melewati hakim, dinamakan "parate executie". Orang yang berhutang
dengan memberikan tanggungan gadai sejak semula telah memberikan izin kalau ia lalai,
barang tanggungan boleh dijual oleh si berpiutang untuk pelunasan hutang dengan hasil
penjualan itu. Begitu juga halnya dengan seorang pemberi hypotheek dengan "beding
van eigenmachtige verkoop".
Jadi pada umumnya, si berpiutang harus menempuh jalan menuntut si berhutang di
depan Pengadilan. Jika prestasi yang dikehendaki itu berupa membayar sejumlah uang,
memang si berpiutang sudah tertolong jika ia mendapat suatu putusan Pengadilan,
karena ia dapat minta dijalankannya putusan itu dengan menyita dan melelang harta
benda si berhutang.
Tetapi jika untuk prestasi yang dikehendaki itu diperlukan persetujuan atau bantuan
pribadi dari si berhutang - yang enggan memberikan persetujuan atau bantuan itu - si
berpiutang masih menghadapi kesulitan. Misalnya, dalam hal si berhutang harus
memberikan hypotheek atau menyerahkan sebuah benda yang tak bergerak. Dalam hal
ini sebagai diketahui harus ada suatu akte pemberian hypotheek atau suatu akte
transport, yang dibuat di depan notaris, dengan bantuan si berhutang. Dalam hal
pemberian hypotheek, kesulitan tersebut dapat di atasi, karena undang-undang
mengizinkan pelaksanaan dengan pendaftaran putusan Pengadilan dalam daftar-daftar
hypotheek (lihat pasal 1171 ayat 3 B.W.), tetapi ini merupakan suatu kekecualian.
Mengenai penyerahan sebuah benda yang tak bergerak, kesulitan masih tetap ada selama
tidak diadakan ketentuan seperti dalam hal pemberian hypotheek tersebut, dan selama
para hakim masih memegang teguh pendirian bahwa persetujuan si berhutang (akte
transport) tidak mungkin digantikan oleh suatu putusan hakim.
Cara melaksanakan suatu putusan, yang oleh hakim dikuasakan pada orang
berpiutang untuk mewujudkan sendiri apa yang menjadi haknya, dinamakan "reele
executie." Dalam B.W. sendiri cara pelaksanaan ini dibolehkan dalam hal-hal berikut :
a. Dalam hal perjanjian-perjanjian yang bertujuan bahwa suatu pihak tidak akan
melakukan suatu perbuatan, misalnya tidak akan membuat suatu pagar tembok yang
lebih tinggi dari 3 meter, pihak yang lain dapat dikuasakan oleh hakim untuk
membongkar sendiri apa yang telah diperbuat dengan melanggar perjanjian itu
(lihat pasal 1240).
b. Dalam hal perjanjian-perjanjian untuk membikin suatu barang (yang juga dapat
dibuat oleh seorang lain, misalnya suatu garage), pihak yang berkepentingan dapat
dikuasakan oleh hakim untuk membikin sendiri atau menyuruh orang lain membikinnya,
atas biaya yang harus dipikul oleh si berhutang (lihat pasal 1241).
Jika prestasi berupa menyerahkan suatu barang tertentu atau melakukan suatu
perbuatan yang sangat pribadi (membuat lukisan oleh seorang pelukis ternama), pada
umumnya tidaklah mungkin untuk mewujudkan prestasi itu dengan tiada bantuan si
berhutang, dan terpaksalah si berpiutang menerima suatu penggantian kerugian
berupa uang.
Dalam B.W, ada tersebut suatu macam perikatan yang dinamakan "natuurlijke
verbintenis". Secara tegas tidak diberikan suatu uraian tentang apa yang dimaksudkan
dengan perikatan semacam itu. Satu-satunya pasal yang memakai perkataan tersebut,
ialah pasal 1359 ayat 2, yang hanya menerangkan , bahwa terhadap "natuurlijke
verbintenissen" yang secara suka rela dipenuhi (dibayar), tidaklah diperkenankan untuk
meminta kembali apa yang telah dibayarkan itu. Dengan kata lain apa yang sudah
dibayarkan tetap menjadi hak si berpiutang, karena pembayaran tersebut dianggap sah.
Artinya tidak termasuk dalam golongan pembayaran yang tidak diwajibkan, seperti
yang dimaksudkan dalam ayat 1 pasal 1359 tersebut.
Berhubung dengan tidak adanya suatu uraian yang tegas, timbullah pertanyaan
tentang pengertian apakah yang harus diberikan pada perkataan natuurlijke verbintenis itu.
Jawabnya, natuurlijke verbintenis ialah suatu perikatan yang berada di tengah-tengah
antara perikatan moral atau kepatutan dan suatu perikatan hukum, atau boleh juga
dikatakan, suatu perikatan hukum yang tidak sempurna. Suatu perikatan hukum yang
sempurna selalu dapat ditagih dan dituntut pelaksanaannya di depan hakim. Tidak
sedemikian halnya dengan suatu natuurlijke verbintenis, suatu hutang dianggap ada,
tetapi hak untuk menuntut pembayaran tidak ada. Jadi tergantung pada si berhutang
apakah ia hendak memenuhinya atau tidak. Apakah ia hendak menjadikannya suatu
perikatan hukum biasa atau tidak. Apabila ia membayar hutang itu, seolah-olah ia
mengangkat natuurlijke verbintenis itu ke dalam lingkungan hukum. Pada ketika
perikatan itu dipenuhi, ia meningkat menjadi suatu perikatan hukum biasa, tetapi
ketika itu juga hapus karena pembayaran.
Jika sudah terdapat kata sepakat, bahwa suatu natuurlijke verbintenis itu, adalah
suatu perikatan hukum (hanya tidak sempurna), maka konsekuensinya, ia dapat dibikin
sempurna Misalnya dengan jalan pembaharuan hutang (novatie) atau dengan
mengadakan penanggungan hutang (borgtocht). Kecuali, jika undang-undang
melarangnya, sebagaimana terdapat dalam pasal 1790 B.W. yang melarang untuk
membaharui suatu hutang yang terjadi karena perjudian.
Bahwa perikatan-perikatan tersebut di bawah ini semuanya termasuk dalam
golongan natuurlijke verbintenis, boleh dikatakan sudah menjadi suatu pendapat
umum :
a. Hutang-hutang yang terjadi karena perjudian, oleh pasal 1788 tidak diizinkan untuk
menuntut pembayaran.
b. Pembayaran bunga dalam hal pinjaman uang yang tidak semata-mata
diperjanjikan, jika si berhutang membayar bunga yang tidak diperjanjikan itu, ia
tidak dapat memintanya kembali, kecuali jika apa yang telah dibayarnya itu
melampaui bunga menurut undang-undang (6 prosen).
c. Sisa hutang seorang pailit, setelah dilakukan pembayaran menurut perdamaian
(accord).
2. MACAM-MACAM PERIKATAN
Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing
pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih
pembayarannya. Di samping bentuk yang paling sederhana ini, terdapat beberapa
macam perikatan lain sebagai berikut :
Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang
pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan
terlaksana, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang,
meskipun mungkin belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya
seseorang. Contoh-contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu
ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan,
suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan
dan lain sebagainya.
Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi,
sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya,
ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu
juta rupiah.
D. PERIKATAN TANGGUNG-MENANGGUNG (HOOFDEUJK ATAU SOUDAIR).
Suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya
membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud
kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau
tidaknya dibagi suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak
dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain. Hal mana biasanya
terjadi karena meninggalnya satu pihak yang menyebabkan ia digantikan dalam
segala hak-haknya oleh sekalian ahliwarisnya.
Pada asasnya - jika tidak diperjanjikan lain - antara pihak-pihak yang semula
suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut
pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu
pembayaran sebagian demi sebagian.
F. PERIKATAN DENGAN PENETAPAN HUKUMAN (STRAFBEDING).
Dalam syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian telah diterangkan bahwa, apabila
suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null
and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu
perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud
membuat perjanjian itu. Tujuan para pihak untuk meletakkan suatu perikatan yang
mengikat mereka satu sama lain, telah gagal. Tak dapatlah pihak yang satu menuntut
pihak yang lain di muka hakim, karena dasar-hukumnya tidak ada. Hakim ini diwajibkan,
karena jabatannya, menyatakan bahwa tidak pernah ada suatu perjanjian atau
perikatan.
Apabila, pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang
subyektif, maka sebagaimana sudah kita lihat, perjanjian itu bukannya batal demi
hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya (cancelling) oleh salah satu pihak.
Pihak ini adalah : pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta : orangtua
atau wali nya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah menjadi cakap), dan pihak yang
memberikan perijinan atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Tentang perjanjian yang tidak mengandung sesuatu hal yang tertentu dapat
dikatakan bahwa perjanjian yang demikian itu tidak dapat dilaksanakan karena tidak
terang apa yang dijanjikan oleh masing-masing pihak. Keadaan tersebut dapat seketika
dilihat oleh hakim. Tentang perjanjian yang isinya tidak halal, teranglah bahwa
perjanjian yang demikian itu tidak boleh dilaksanakan karena melanggar hukum atau
kesusilaan. Hal yang demikian juga seketika dapat diketahui oleh hakim. Dari sudut
keamanan dan ketertiban jelaslah bahwa perjanjian-perjanjian seperti itu harus
dicegah.
Tentang perjanjian yang ada kekurangannya mengenai syarat-syarat subyektifnya yang
tersinggung adalah kepentingan seseorang, yang mungkin tidak mengingini
perlindungan hukum terhadap dirinya, Misalnya, seorang yang oleh Undang-Undang
dipandang sebagai tidak cakap, mungkin sekali sanggup memikul tanggung-jawab
sepenuhnya terhadap perjanjian yang telah dibuatnya. Atau, seorang yang telah
memberikan persetujuannya karena khilaf atau tertipu, mungkin sekali segan atau malu
meminta perlindungan hukum. Juga adanya kekurangan mengenai syarat subyektif itu
tidak begitu saja dapat diketahui oleh hakim jadi harus dimajukan oleh pihak yang
berkepentingan, dan apabila dimajukan pada hakim, mungkin sekali disangkal oleh
pihak lawan, sehingga memerlukan pembuktian.
Oleh karena itu maka dalam halnya ada kekurangan mengenai syarat subyektif, oleh
Undang-Undang diserahkan pada pihak yang berkepentingan apakah ia menghendaki
pembatalan perjanjiannya atau tidak. Jadi, perjanjian yang demikian itu, bukannya batal
demi hukum, tapi dapat dimintakan pembaialan.
Persetujuan kedua belah pihak yang merupakan sepakat itu harus diberikan secara
bebas. Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perijinan tadi tidak bebas,
yaitu : paksaan, kekhilafan dan penipuan. Yang dimaksud dengan pemaksaan adalah
pemaksaan rohani atau jiwa (psikis), jadi bukan paksaan badan atau phisik. Misalnya
salah satu pihak karena diancam atau ditakut-takuti terpaksa menyetujui suatu
perjanjian. Jadi kalau, seorang dipegang tangannya dan tangan itu dipaksa menulis tanda
tangan di bawah surat perjanjian, maka itu bukanlah paksaan dalam arti yang
dibicarakan, yaitu sebagai salah satu alasan untuk meminta pembatalan perjanjian
yang telah dibuat itu. Orang yang dipegang tangannya secara paksaan ini tidak
memberikan persetujuannya sedangkan yang dipersoalkan disini adalah orang yang
memberikan persetujuan (perijinan), tetapi secara tidak bebas, sepertinya seorang yang
memberikan persetujuannya karena ia takut terhadap suatu ancaman misalnya akan
dianiaya atau akan dibuka suatu rahasia kalau ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang
diancam itu harus suatu perbuatan yang terlarang, kalau yang diancam itu suatu tindakan
yang memang diijinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan digugat di muka
hakim, akan tidak dapat dikatakan tentang suatu paksaan. Adalah dianggap sebagai
sebagai mungkin, bahwa paksaan itu dilakukan oleh seorang ketiga. Lain halnya dengan
penipuan yang hanya dapat dilakukan oleh pihak lawan.
Kekhilafan atau Kekeliruan terjadi, apabila salah satu pihak khilaf tentang hal-hal
yang pokok dari apa yang diperjanjikan atau tentang sifat-sifat yang penting dari barang
yang menjadi obyek perjanjian, ataupun mengenai orang dengan siapa diadakan
perjanjian itu. Kekhilafan tersebut harus sedemikian rupa, hingga, seandainya orang
itu tidak khilaf mengenai hal-hal tersebut, ia tidak akan memberikan persetujuannya.
Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jikalau orang membeli sebuah lukisan yang
dikiranya dari Basuki Abdullah dan kemudian ternyata hanya turunan saja. Kekhilafannya
mengenai orang terjadi misalnya jika seorang Direktur Opera mengadakan suatu kontrak
dengan orang yang dikiranya seorang penyanyi yang tersohor, padahal bukan orang
yang dimaksudkan, hanyalah namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan yang
demikian itu juga merupakan alasan bagi orang yang khilaf itu untuk meminta
pembatalan perjanjiannya. Adapun kekhilafan itu harus diketahui oleh lawan, atau
paling tidak sedikit harus sedemikian rupa bahwa pihak lawan itu sepatutnya harus
mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berada dalam kekhilafan.
Kalau pihak lawan itu tidak tahu ataupun tidak dapat mengetahui bahwa ia
berhadapan dengan orang khilaf, maka adalah tidak adil untuk membatalkan
perjanjiannya. Orang yang menjual lukisan yang disebutkan di atas harus mengetahui
bahwa lukisan itu adalah buah tangan asli dari Basuki Abdullah dan ia membiarkan
pembeli itu dalam kekhilafannya. Begitu pula penyanyi yang disebut di atas harus
mengetahui bahwa direktur opera itu secara khilaf mengira mengadakan kontrak
dengan penyanyi yang tersohor yang namanya sama.
Penipuan terjadi, apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-
keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan akal-akalan yang cerdik (tipu-
muslihat), untuk membujuk pihak lawannya memberikan, perijinannya. Pihak yang
menipu itu bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya
mobil yang ditawarkan diganti dulu merknya, nomor mesinnya dipalsu dan lain
sebagainya. Menumt yurispmdensi maka tak cukuplah kalau orang itu hanya
melakukan kebohongan mengenai sesuatu hal saja, paling sedikit harus ada suatu
"rangkaian kebohongan " atau suatu perbuatan yang dinamakan "tipu-muslihat", seperti
yang dilakukan oleh si penjual mobil tersebut di atas.
Dengan demikian maka ketidak-cakapan seorang dan ketidak-bebasan dalam
memberikan perijinan dalam suatu perjanjian, memberikan hak kepada pihak yang tidak
cakap dan pihak yang tidak bebas dalam memberikan sepakatnya itu untuk meminta
pembatalan perjanjiannya. Dengan sendirinya harus dimengerti bahwa pihak lawan dari
orang-orang tersebut tidak boleh minta pembatalan itu. Hak meminta pembatalan hanya
ada pada satu pihak saja, yaitu pihak yang oleh undang-undang diberi perlindungan itu.
Memintanya pembatalan itu oleh pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dibatasi sampai suatu batas waktu tertentu yaitu 5 tahun, waktu mana mulai berlaku :
dalam halnya ketidak-cakapan suatu pihak, sejak orang ini menjadi cakap menumt
hukum, dalam halnya paksaan, sejak hari paksaan itu telah berhenti. Dalam halnya
kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya kekhilafan atau penipuan itu.
Pembatasan waktu tersebut tidak berlaku terhadap kebatalan yang dimajukan selaku
pembelaan atau tangkisan, yang mana selalu dapat dikemukakan. Memang ada dua
cara untuk meminta pembatalan perjanjian itu. Pertama, pihak yang berkepentingan
dapat secara aktif yaitu sebagai penggugat meminta kepada hakim supaya perjanjian itu
dibatalkan. Cara yang kedua ialah menunggu sampai ia digugat di muka hakim untuk
memenuhi perjanjian tersebut. Di muka sidang Pengadilan itu lalu ia sebagai tergugat
mengemukakan bahwa perjanjian tersebut telah disetujuinya ketika ia masih belum
cakap, ataupun disetujuinya karena ia diancam, atau karena ia khilaf mengenai obyeknya
perjanjian atau karena ia ditipu. Dan di muka sidang pengadilan itu ia mohon kepada
hakim supaya perjanjian dibatalkan. Meminta pembatalan secara pembelaan inilah
yang tidak dibatasi waktunya.
Terhadap azas konsensualitas yang dikandung oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, ada kekecualiannya, yaitu di sana-sini oleh Undang-Undang ditetapkan
suatu formalitas untuk beberapa macam perjanjian, misalnya : perjanjian penghibahan
benda tak bergerak haras dilakukan dengan akte notaris, perjanjian perdamaian harus
dibuat secara tertulis dan lain sebagainya. Perjanjian-perjanjian untuk mana ditetapkan
sesuatu formalitas atau bentuk cara tertentu itu sebagaimana sudah kita lihat,
dinamakan perjanjian formil. Apabila perjanjian yang demikian itu tidak memenuhi
formalitas yang ditetapkan oleh Undang-undang, maka ia adalah batal demi hukum.
Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang lain,
atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Menilik macam-macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan itu, perjanjian-
perjanjian dibagi dalam tiga macam, yaitu :
a. perjanjian untuk memberikan menyerahkan suatu barang.
b. perjanjian untuk berbuat sesuatu.
c. perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu.
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan "prestasi".
Perjanjian dari macam pertama adalah misalnya : jual-beli, tukar-menukar,
menghibahkan atau pemberian, sewa-menyewa, pinjam-pakai. Perjanjian dari macam
kedua : perjanjian untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian
untuk membuat garansi, dan lainnya. Perjanjian dari macam yang ketiga adalah
misalnya : perjanjian untuk tidak mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak
mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain dan
sebagainya.
Suatu persoalan dalam Hukum Perjanjian ialah persoalan, apakah, jika si berhutang
atau si debitur tidak menepati janjinya, si berpiutang atau kreditur dapat mewujudkan
sendiri prestasi yang dijanjikan itu artinya apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh
hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut
perjanjian. Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan bahwa perjanjian tadi dapat
dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapat suatu
ganti rugi tetapi apabila seorang mendapat yang dijanjikan maka itu adalah yang paling
memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah hanyalah suatu "pengarem-arem "saja. Maka
dari itu juga apa yang dijanjikan itu dinamakan "prestasi primair", sedangkan ganti rugi
dinamakan "prestasi subsidair". Barang yang subsidair adalah barang yang menjadi
ganti rugi suatu barang lain yang lebih berharga !
Kitab Undang-undang Hukum Perdata memberikan sekedar petunjuk dalam
penjawaban persoalan tersebut di atas ialah persoalan apakah suatu perjanjian
mungkin dieksekusi (dilaksanakan) secara nil itu. Petunjuk itu kita dapatkan dalam pasal-
pasal 1240 dan 1241. Pasal-pasal ini adalah mengenai perjanjian-perjanjian yang di atas
kita sebutkan sebagai tergolong dalam macam kedua dan macam ketiga, yaitu
perjanjian perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) dan perjanjian-
perjanjian untuk tidak melakukan sesuatu (tidak melakukan suatu perbuatan). Mengenai
perjanjian-perjanjian macam inilah disebutkan bahwa eksekusi riil itu mungkin
dilaksanakan. Pasal 1240 menyebutkan tentang perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
bahwa si berpiutang atau kreditur adalah berhak menuntut penghapusan segala
sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perjanjian dan bolehlah ia minta supaya
dikuasakan oleh hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatu yang telah dibuat
tadi atas biaya si berhutang, dengan tidak mengurangi haknya untuk menuntut ganti rugi
jika ada alasan untuk itu. Dan pasal 1241 menerangkan tentang perjanjian untuk
melakukan sesuatu, bahwa apabila perjanjian tidak dilaksanakan artinya si berhutang
tidak menepati janjinya, maka si berpiutang boleh juga dikuasakan supaya dia sendirilah
yang mengusahakan pelaksanaannya atas biaya si berhutang. Mengenai perjanjian untuk
tidak melakukan suatu perbuatan, memang dalam perjanjian semacam itu, bila
dilanggar, dapat secara mudah hasil dari perbuatan yang melanggar perjanjian itu
dihapuskan atau ditiadakan. Tembok yang didirikan secara melanggar perjanjian, dapat
dirobohkan, perusahaan yang dibuka atau didirikan melanggar perjanjian, dapat ditutup.
Pihak yang berkepentingan (kreditur) tentunya juga dapat meminta kepada Pengadilan,
supaya ditetapkan sejumlah "uang paksa" untuk mendorong si debitur supaya ia
meniadakan lagi apa yang sudah diperbuat itu. Dan juga ia dapat meminta supaya orang
yang melanggar perjanjian itu dihukum untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti-
rugi, tetapi sudah barang tentu tiada sesuatu yang lebih memuaskan baginya dari
pada penghukuman si pelanggar perjanjian itu untuk meniadakan segala apa yang telah
diperbuat itu.
Perjanjian untuk berbuat sesuatu (melakukan suatu perbuatan) juga secara mudah
dapat dijalankan secara riil, asal saja bagi si berpiutang (kreditur) tidak penting oleh siapa
perbuatan itu akan dilakukan, misalnya membuat sebuah garasi, yang dengan mudah
dapat dilakukan oleh orang lain. Kalau yang harus dibuat itu sebuah lukisan, sudah
barang tentu perbuatan itu tidak dapat dilakukan oleh- orang lain selainnya pelukis yang
menjanjikan membuat lukisan itu. Karena itu raaka perjanjian untuk melakukan suatu
perbuatan yang bersifat sangat pribadi, tidak dapat dilaksanakan secara riil, apabila
pihak yang menyanggupi melakukan perbuatan tersebut tidak menetapi janjinya.
Mengenai perjanjian dari macam yang pertama, yaitu perjanjian untuk
memberikan (menyerahkan) suatu barang, tidak terdapat sesuatu petunjuk dalam
undang-undang.
Mengenai barang yang tak tertentu (artinya barang yang sudah disetujui atau
dipilih), dapat dikatakan bahwa para ahli hukum yurisprudensi adalah sependapat
bahwa eksekusi riil itu dapat dilakukan, misalnya jual-beli. Suatu barang bergerak yang
tertentu, jika mengenai barang yang tak tertentu maka eksekusi riil tak mungkin
dilakukan.
Mengenai barang tak bergerak ada dua pendapat. Yurisprudensi pada waktu
sekarang dapat dikatakan masih menganut pendirian bahwa eksekusi riil tidak mungkin
dilakukan. Pendirian itu didasarkan pada dua alasan. Pertama : untuk menyerahkan hak
milik atas suatu benda tak bergerak diperlukan suatu akte transport yang merupakan
suatu akte bilateral, yang haras diselenggarakan oleh dua pihak dan karena itu tidak
mungkin diganti dengan suatu fonis atau putusan hakim. Kedua : ada alasan a
contrario, yaitu dalam pasal 1171 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
ditetapkan (mengenai hipotik), bahwa, barang siapa yang berdasarkan undang-undang
atau perjanjian diwajibkan memberikan hipotek, dapat dipaksa untuk itu dengan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan yang sama seolah-olah ia telah memberikan
persetujuannya untuk hipotek itu, dan yang dengan terang akan menunjuk benda-
benda atas mana akan dilakukan pembukuan. Dikatakan, bahwa oleh karena untuk
hipotek ada peraturan yang memungkinkan eksekusi riil terhadap seorang yang wajib
memberikan hipotek tetapi bercindra-janji, sedangkan dalam halnya seorang yang
wajib menyerahkan hak milik atas suatu benda tak bergerak tidak ada aturannya,
bahwa untuk yang terakhir ini tiada suatu kemungkinan untuk melaksanakan suatu
eksekusi riil.
Untuk melaksanakan suatu perjanjian, lebih dahulu harus ditetapkan secara tegas
dan cermat apa saja isinya perjanjian perjanjian tersebut, atau juga dengan perkataan
lain : apa saja hak dan kewajiban masing-masing pihak. Biasanya orang mengadakan
suatu perjanjian dengan tidak mengatur atau menetapkan secara teliti hak dan
kewajiban mereka. Mereka itu hanya menetapkan hal-hal yang pokok dan penting saja.
Dalam jual beli misalnya hanya ditetapkan tentang barang mana yang dibeli jenisnya,
jumlahnya, harganya. Tidak ditetapkan tentang : tempat penyerahan barang, biaya
penghantaran, tempat dan waktu pembayaran, bagaimana kalau barang musnah di
perjalanan dan lain sebagainya.
Menurut pasal 1339 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, suatu perjanjian tidak
hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam perjanjian, tetapi juga
untuk segala sesuatu yang menurut sifatnya perjanjian diharuskan (diwajibkan) oleh
kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Dengan demikian maka setiap perjanjian
diperlengkapi dengan aturan-aturan yang terdapat dalam undang-undang, yang
terdapat pula dalam adat kebiasaan (di suatu tempat dan di suatu kalangan tertentu),
sedangkan kewajiban-kewajiban yang diharuskan oleh kepatutan(norma-norma
kepatutan) harus diindahkan.
Kita melihat dalam pasal 1339 tersebut, bahwa adat kebiasaan telah ditunjuk
sebagai sumber norma-norma yang di sampingnya undang-undang, ikut menentukan hak-
hak dan kewajiban-kewajiban dari kedua belah pihak dalam suatu perjanjian. Suatu
persoalan disini adalah apabila terdapat suatu adat kebiasaan yang berlainan atau
menyimpang dari undang-undang, apakah peraturan undang-undang itu masih berlaku ataukah
ia sudah disingkirkan oleh adat-kebiasaan tersebut. Jawabnya ialah bahwa suatu
pasal(peraturan) undang-undang, meskipun sudah ada suatu adat kebiasaan yang
menyimpang, masih tetap berlaku dan barang siapa pada suatu hari menunjuk pada peraturan
undang-undang tersebut, harus dibenarkan dan tidak boleh dipersalahkan.
Lain halnya adalah dengan apa yang lazim dinamakan "standard-clausula". Ini adalah yang
oleh pasal 1347 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimaksudkan dengan "hal-hal yang
menurut kebiasaan diperjanjikan". Menurut pasal tersebut maka hal-hal yang menurut
kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam
perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan. Oleh karena dianggap sebagai
diperjanjikan atau sebagai bagian dari perjanjian sendiri, maka "hal yang menurut
kebiasaan selamanya diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu pasal undang-
undang yang merupakan hukum pelengkap.
Apabila sesuatu hal tidak diatur dalam undang-undang dan juga belum ada
kebiasaan tentang hal itu, karena mungkin belum atau tidak begitu banyak dihadapi
dalam praktek, maka harus diciptakan suatu penyelesaian dengan berpedoman pada
"kepatutan".
Sebagai kesimpulan dari apa yang dibicarakan di atas dapat ditetapkan bahwa ada
tiga sumber norma-norma yang ikut mengisi suatu perjanjian, yaitu : Undang-undang,
kebiasaan dan kepatutan.
Menurut pasal 1338 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum P,erdata maka semua
perjanjian itu harus dilaksanakan "dengan itikat baik"(dalam bahasa Belanda
"tegoeder trouw", dalam bahasa Inggris "in good faith", dalam bahasa Perancis "de
bonne foi"). Norma ini merupakan salah satu sendi yang terpenting dari Hukum
Perjanjian. Yang dimaksudkan adalah, bahwa pelaksanaan itu harus berjalan dengan
mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan. Jadi, yang dimaksud adalah
ukuran-ukuran obyektif untuk menilai pelaksanaan tadi. "Pelaksanaan perjanjian harus
berjalan di atas rel yang benar".
Dalam pasal 1338 (3) itu Hakim diberikan kekuasaan untuk mengawasi
pelaksanaan suatu perjanjian, jangan sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan atau
keadilan. Ini berarti, bahwa Hakim itu berkuasa untuk. menyimpang dari isi perjanjian
menumt hurufnya, manakala pelaksanaan menurut humf itu akan bertentangan
dengan itikad baik. Kalau ayat kesatu dari pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dapat kita pandang sebagai suatu syarat atau tuntutan kepastian hukum (yaitu
bahwa janji itu mengikat), maka ayat ketiga ini harus kita pandang sebagai suatu
tuntutan keadilan. Memang, selalu Hukum itu mengejar dua tujuan : menjamin kepastian
(ketertiban) dan memenuhi tuntutan keadilan. Kepastian Hukum menghendaki supaya
apa yang dijanjikan harus dipenuhi (ditepati). Namun, dalam menuntut dipenuhinyajanji
itu, janganlah orang meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. "Berlakulah
adil dalam menuntut pemenuhan janji itu"!
Di samping kepastian tentang mengikatnya suatu janji dalam keadaan normal, ada
suatu perjagaan untuk mencegah pelaksanaan yang akan memperkosa rasa keadilan.
Dan kekuasaan mencegah ekses-ekses ini diletakkan di tangan hakim, yang jika perlu,
juga berwenang untuk menghapuskan sama sekali suatu kewajiban kontraktuil.
Persoalan apakah suatu pelaksanaan perjanjian bertentangan dengan itikad baik atau
tidak, adalah suatu persoalan yuridis atau persoalan hukum, yang tunduk pada
peninjauan oleh Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Suatu perjanjian terdiri atas serangkaian perkataan-perkataan. Untuk menetapkan isi
sesuatu perjanjian, perlu terlebih dahulu ditetapkan dengan cermat apa yang dimaksud
oleh para pihak dengan mengucapkan atau menulis perkataan-perkataan tersebut.
Perbuatan ini dinamakan "menafsirkan" perjanjian. Menafsirkan, sebagai menempatkan
"duduknya perkara" atau menetapkan fakta-fakta, tidak termasuk persoalan yuridis
(persoalan hukum) yang tunduk pada pemeriksaan kasasi, sehingga hanya dapat
dipersoalkan sampai di muka Pengadilan Banding (Pengadilan Tinggi), dan tidak lagi di
muka Pengadilan Kasasi (Mahkamah Agung).
Dalam hal penafsiran perjanjian ini pedoman utama ialah : kata-kata suatu
perjanjian jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan
jalan penafsiran. Contohnya : Kalau dalam perjanjian ditulis, bahwa satu pihak akan
memberikan seekor sapi, maka tidak boleh itu ditafsirkan sebagai seekor kuda.
Pedoman-pedoman lain yang penting dalam menafsirkan suatu perjanjian
adalah :
a. Jika kata-kata suatu perjanjian dapat diberikan berbagai macam penafsiran,
maka harus dipilihnya menyelidiki maksud kedua belah pihak yang membuat
perjanjian itu dari pada memegang teguh arti kata-kata menumt humf.
b. Jika sesuatu janji dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilihnya
pengertian yang sedemikian yang memungkinkan janji itu dilaksanakan dari
pada memberikan pengertian yang tidak memungkinkan suatu pelaksanaan.
c. Jika kata-kata dapat diberikan dua macam pengertian, maka harus dipilih
pengertian yang paling selaras dengan sifat perjanjian.
d. Apa yang meragukan harus ditafsirkan menumt apa yang menjadi kebiasaan
di.negeri atau di tempat dimana perjanjian telah diadakan.
e. Semua janji harus diartikan dalam hubungan satu sama lain, tiap janji harus
ditafsirkan dalam rangka perjanjian seluruhnya.
f. Jika ada keragu-raguan, maka suatu perjanjian harus ditafsirkan atas kemgian
orang yang telah meminta diperjanjikannya sesuatu hal dan, untuk keuntungan
orang yang telah mengikatkan dirinya untuk itu.
7. WANPRESTASI
Pasal 1381 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya
suatu perikatan. Cara-cara tersebut :
a. pembayaran
b. penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
c. pembaharuan hutang
d. perjumpaan hutang atau kompensasi
e. percampuran hutang
a. pembebasan hutang
b. musnahnya barang yang terhutang
c. kebatalan/pembatalan
d. berlakunya suatu syarat batal dan
e. lewatnya waktu.
Cara-cara hapusnya perikatan itu akan dibicarakan satu persatu di bawah ini.
1) PEMBAYARAN
Nama "pembayaran" dimaksudkan setiap pemenuhan perjanjian secara
suka rela. Dalam arti yang sangat luas ini, tidak saja pihak pembeli membayar
uang harga pembelian, tetapi pihak penjualpun dikatakan "membayar" jika ia
menyerahkan atau "melever" barang yang dijualnya. Yang wajib membayar
suatu utang bukan saja si berhutang (debitur) tetapi juga seorang kawan
berhutang dan seorang penanggung hutang ("borg"). Menurut pasal 1332 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata bahwa suatu perikatan dapat dipenuhi juga oleh
seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan asal saja orang pihak
ketiga bertindak atas nama dan untuk melunasi hutangnya si berhutang, atau jika
ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak si
berpiutang.
Pembayaran harus dilakukan kepada si berpiutang (kreditur) atau kepada
seorang yang dikuasakan olehnya atau juga kepada seorang yang dikuasakan hakim
atau oleh Undang-undang untuk menerima pembayaran-pembayaran bagi si
berpiutang. Pembayaran yang dilakukan kepada seorang yang tidak berkuasa menerima
bagi si berpiutang, adalah sah, sekedar si berpiutang telah menyetujuinya atau nyata-
nyata telah mendapat mafaat karenanya.
Si debitur tidak boleh memaksa krediturnya untuk menerima pembayaran
hutangnya sebagian demi sebagian, meskipun hutang itu dapat dibagi-bagi.
Mengenai tempatnya pembayaran, pasal 1393 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
menerangkan sebagai berikut :
"Pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam perjanjian, jika
dalam perjanjian tidak ditetapkan suatu tempat, maka pembayaran yang
mengenai suatu barang tertentu, harus dilakukan di tempat di mana barang itu
berada sewaktu perjanjian dibuat.
Di luar kedua hal tersebut, pembayaran harus dilakukan di tempat tinggal si
berpiutang, selama orang itu terus-menerus berdiam dalam keresidenan di mana
ia berdiam sewaktu dibuatnya perjanjian, dan di dalam hal-hal lainnya di tempat
tinggalnya si berhutang".
Ketentuan dalam ayat pertama yang menunjuk pada tempat di mana
barang berada sewaktu perjanjian ditutup, adalah sama dengan ketentuan dalam
pasal 1477 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dalam jual beli, di mana juga
tempat tersebut ditunjuk sebagai tempat di mana barang yang dijual harus
diserahkan. Memang sebagai mana sudah diterangkan "pembayaran" dalam arti
yang luas juga ditujukan pada pemenuhan prestasi oleh si penjual yang terdiri
atas penyerahan barang yang telah diperjual belikan.
Ketentuan dalam ayat kedua , berlaku juga dalam pembayaran-pembayaran
di mana yang dibayarkan itu bukan suatu barang tertentu, jadi uang atau barang
yang dapat dihabiskan. teristimewa ketentuan tersebut adalah penting untuk
pembayaran yang berupa uang. Dengan demikian maka hutang-hutang yang
berupa uang pada azasnya harus dibayar di tempat tinggal kreditur, dengan
perkataan lain pembayaran itu harus dihantarkan. Hutang uang yang menurut
undang-undang harus dipungut di tempat tinggalnya debitur hanyalah hutang
wesel.
Sesuai dengan ketentuan tersebut di atas maka oleh pasal 1395
ditetapkan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyelengarakan
pembayaran harus dipikul oleh debitur.
Suatu masalah yang muncul dalam soal pembayaran, adalah masalah
subrogasi atau penggantian hak-hak si berpiutang (kreditur) oleh seorang ketiga
yang membayar kepada si berpiutang itu. Dalam subrogasi atau penggantian
ini, seorang ketiga yang membayar suatu utang menggantikan kedudukan
kreditur, terhadap si debitur. Subrogasi atau penggantian tersebut di atas dapat
terjadi baik dengan perjanjian, baik demi undang-undang.
Dari apa yang telah dibicarakan di atas, dapat dilihat bahwa jika seorang
membayar hutangnya orang lain, maka pada umumnya tidak terjadi subrogasi,
artinya : pada umumnya orang yang membayar itu tidak menggantikan kreditur.
Hanya apabila itu dijanjikan atau dalam hal-hal di mana itu ditentukan oleh
undang-undang, maka barulah ada penggantian.
5) PERCAMPURAN HUTANG
Apabila kedudukan sebagai orang berpihutang (kreditur) dan orang yang
berhutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi hukum
suatu percampuran hutang dengan mana utang piutang itu dihapuskan. Misalnya,
si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal oleh kreditumya
atau si debitur kawin dengan kreditumya dalam suatu persatuan harta kawin.
Hapusnya hutang-pihutang dalam hal percampuran ini, adalah betul-betul "demi
hukum" dalam arti otomatis.
Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama berlaku
juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya (borg) sebaliknya
percampuran yang terjadi pada seorang penangung hutang (borg) tidak sekali-
kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok.
6) PEMBEBASAN HUTANG
Teranglah, bahwa apabila si berpihutang dengan tegas menyatakan tidak
menghendaki lagi prestasi dari si berhutang dan melepaskan haknya atas
pembayaran atau pemenuhan perjanjian, maka perikatan - yaitu hubungan
hutang-piutang -hapus, perikatan ini hapus karena pembebasan. Pembebasan
sesuatu hutang tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.
Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara suka rela oleh si
berpihutang kepada si berhutang, merupakan suatu bukti tentang pembebasan
hutangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berhutang secara
tanggung menanggung. Pengembalian barang yang diberikan dalam gadai atau
sebagai tanggungan tidaklah cukup dijadikan persaingkaan tentang
dibebaskannya hutang. Ini sebetulnya tidak perlu diterangkan, sebab perjanjian
gadai (pand) adalah suatu perjanjian accessoir yang artinya suatu buntut belaka
dari perjanjiannya pokok, yaitu perjanjian pinjam uang.
8) KEBATALAN/PEMBATALAN
Meskipun di sini disebutkan kebatalan dan pembatalan, tetapi yang benar
adalah "pembatalan" saja, dan memang kalau kita melihat apa yang diatur oleh
pasal 1446 dan selanjutnya dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata,
temyatalah bahwa ketentuan-ketentuan disitu kesemuanya mengenai
"pembatalan". Kalau suatu perjanjian batal demi hukum maka tidak ada suatu
perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang tidak ada
suatu perikatan hukum yang dilahirkan karenanya, dan barang sesuatu yang
tidak ada tentu saja tidak hapus.
Yang diatur oleh pasal 1446 dan selanjutnya adalah pembatalan perjanjian-
perjanjian yang dapat dimintakan pembatalan (vernietigbaar atau voidable)
sebagaimana yang sudah kita lihat pada waktu kita membicarakan tentang
syarat-syarat untuk suatu perjanjian yang sah (pasal 1320).
Meminta pembatalan perjanjian yang kekurangan syarat subyektifnya itu
dapat dilakukan dengan dua cara : pertama, secara aktif menurut pembatalan
perjanjian yang demikian itu dimuka hakim. Kedua, secara pembelaan yaitu
menunggu sampai digugat di muka hakim untuk memenuhi perjanjian dan
disitulah baru memajukan tentang kekurangannya perjanjian itu.