Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Di Indonesia kesehatan gigi dan mulut merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian dari pemerintah. Hal ini disebabkan tingginya angka kejadian masalah
gigi dan mulut di Indonesia, yakni sekitar 90% penduduk menderita penyakit gigi
dan mulut. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun 2013,
prevalensi penduduk Provinsi Sumatera Selatan yang bermasalah gigi dan mulut
adalah sebesar 19,5% dan pada penelitian tersebut 29,3% yang menerima
perawatan dari tenaga medis gigi (dokter gigi spesialis, dokter gigi, perawat
gigi).20
Stomatitis atau yang lebih dikenal masyarakat awam adalah sariawan
merupakan salah satu keadaan yang sering terjadi secara berulang atau rekuren
pada mukosa mulut sesorang, dapat dikatakan bahwa setiap orang pasti pernah
mengalami sariawan baik yang ringan maupun yang berat sampai sariawan
tersebut mengganggu fungsi fisiologis dari jaringan rongga mulut dan dapat
menyebabkan seseorang penderita mengalami gangguan bicara, mengunyah
menelan bahkan kelainan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi tubuh
bila terjadi dalam waktu yang lama dengan frekuensi kejadian yang sering.
Dikalangan masyarakat awam yang hampir secara rutin mengalami sakit
berupa luka-luka didalam mulutnya, mereka menyebutnya dengan nama sariawan
atau panas dalam. Sedangkan dari kalangan medis penyakit ini dikenal dengan
nama stomatitis.
Stomatitis adalah inflamasi lapisan struktur jaringan lunak apapun pada
mulut. Stomatitis biasanya merupakan kondisi yang menyakitkan, yang terkait
dengan kemerahan, pembengkakan, dan kadang-kadang perdarahan dari daerah
yang terkena. Bau mulut (halitosis) juga mungkin menyertai keadaan ini.
Stomatitis terjadi pada semua kelompok umur, dari bayi hingga dewasa tua.
Sariawan merupakan penyakit mulut yang relative sering terjadi di masyarakat.
Penyakit ini relative ringan dan tidak membahayakan keselamatn hidup manusia,
namun dapat menurunkan kualitas hidup penderitanya, terutama pada penderita
yang mengalami stomatitis secara berulang-ulang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Mukosa Mulut
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis
oleh bukal, palatum durum, palatum molle, dan lingua. Bukal membentuk dinding
bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal, bukal
dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, bukal dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak berkeratin.
Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding bukal dan jaringan ikat tersusun
di antara kulit dan membran mukosa bukali. Bagian anterior dari bukal berakhir
pada labial (Tortora et al., 2009).

Gambar 1. Anatomi Rongga Mulut


Sumber: Tortorra et al., 2009

Jaringan lunak mulut terdiri dari mukosa bukal, labial, ginggiva, lingua,
palatum, dan dasar mulut. Struktur jaringan lunak mulut terdiri dari lapisan tipis
jaringan mukosa yang licin, halus, fleksibel, dan berkeratin atau tidak
berkeratin. Jaringan lunak mulut berfungsi melindungi jaringan keras di
bawahnya; tempat organ, pembuluh darah, saraf, alat pengecap, dan alat
pengunyah. Secara histologis jaringan mukosa mulut terdiri dari 3 lapisan.21
1. Lapisan epitelium, yang melapisi di bagian permukaan luar, terdiri dari
berlapis–lapis sel mati yang berbentuk pipih atau datar dimana lapisan
sel–sel yang mati ini selalu diganti terus–menerus dari bawah, dan sel–sel
ini disebut dengan stratified squamous epithelium. Struktur stratified
squamous epithelium dari mukosa mulut meliputi kedua permukaan, yaitu
mukosa mulut tidak berkeratin seperti pada mukosa pipi, bibir, palatum
mole, dasar rongga mulut, serta mukosa berkeratin seperti palatum dan
alveolar ridges. Terdiri dari stratum corneum, stratum granulosum,
stratum spinosum dan stratum basale.
2. Membrana basalis, yang merupakan lapisan pemisah antara lapisan
epitelium dengan lamina propria, berupa serabut kolagen dan elastis.
Terdiri dari lamina lucida dan lamina densa.
3. Lamina propria, pada lamina propria ini terdapat ujung–ujung saraf rasa
sakit, raba, dan suhu. Selain ujung–ujung saraf tersebut terdapat juga
pleksus kapiler, jaringan limfa, dan elemen–elemen penghasil sekret dari
kelenjar–kelenjar ludah kecil. Kelenjar ludah yang halus terdapat di
seluruh jaringan mukosa mulut, tetapi tidak terdapat di jaringan mukosa
gusi kecuali di mukosa gusi daerah retromolar. Disamping itu lamina
propria ini sebagian besar terdiri dari serabut kolagen, serabut elastin dan
sel–sel fibroblast & makrofag, sel mast, sel inflamatori serta sel– sel
darah yang penting untuk pertahanan melawan infeksi. Jadi mukosa ini
menghasilkan sekret, bersifat protektif, dan sensitif.22
Mulut merupakan pintu gerbang masuknya kuman–kuman atau
rangsangan–rangsangan yang bersifat merusak. Mukosa mulut dapat
mengalami kelainan yang bukan merupakan suatu penyakit tetapi
merupakan kondisi herediter. Pada keadaan normal di dalam rongga
mulut terdapat bermacam–macam kuman yang merupakan bagian
daripada “flora mulut” dan tidak menimbulkan gangguan apapun dan
disebut apatogen. Jika daya tahan mulut atau tubuh menurun, maka
kuman–kuman yang apatogen itu menjadi patogen dan menimbulkan
gangguan atau menyebabkan berbagai penyakit atau infeksi.22

2.2 Flora Normal


Istilah flora normal menunjukkan populasi mikroorganisme yang hidup di
kulit dan membran mukosa orang normal yang sehat. Beberapa jenis bakteri dan
jamur merupakan dua jenis organisme yang termasuk ke dalam kumpulan flora
normal. Keberadaaan flora virus normal masih diragukan (Brooks et al.,2008;
Levinson, 2008). Kulit dan membran mukosa selalu mengandung berbagai
mikroorganisme yang dapat tersusun menjadi dua kelompok, yaitu: flora residen
dan flora transien.
Flora residen terdiri dari jenis mikroorganisme yang relatif tetap dan secara
teratur ditemukan di daerah tertentu pada usia tertentu; jika terganggu, flora
tersebut secara cepat akan tumbuh kembali dengan sendirinya. Flora transien
terdiri dari mikroorganisme yang non patogen atau secara potensial bersifat
patogen yang menempati kulit atau membran mukosa selama beberapa jam, hari,
minggu dan dapat menghidupkan dirinya sendiri secara permanen di permukaan.
Anggota flora transien secara umum memiliki jumlah kecil selama flora
normal masih tetap utuh. Namun, apabila flora residen terganggu,
mikroorganisme transien dapat berkolonisasi, berproliferasi dan menyebabkan
penyakit (Brooks et al., 2008).

2.3 Stomatitis
2.3.1 Definisi
Stomatitis merupakan radang yang terjadi pada mukosa mulut yang
biasanya berupa bercak putih kekuningan dengan permukaan yang agak
cekung. Bercak itu dapat berupa bercak tunggal maupun kelompok.
Stomatitis yang terjadi berulang pada rongga mulut disebut Reccurent
Apthous Stomatitis (RAS). RAS merupakan salah satu kelainan mukosa
yang paling sering terjadi dan menyerang kira–kira 15-20% populasi di
Inggris. Penyakit ini umumnya terjadi dan seringkali mengenai wanita
dan laki–laki. Prevalensi yang lebih tinggi juga didapatkan pada golongan
sosial ekonomi atas dan di antara para mahasiswa selama waktu–waktu
ujian.4,5
Manifestasi klinis dari RAS adalah ulser tunggal atau multipel,
dangkal, bulat, lonjong dan sakit. Prevalensi pada populasi secara umum
berkisar 50-66%. Hipotesis dari terjadinya RAS bermacam-macam
tergantung pada faktor pemicunya, antara lain disebabkan karena alergi,
faktor genetik, kekurangan nutrisi, kelainan hematologi, hormonal,
infeksi, trauma dan stres.6
Didalam rongga mulut, RAS merupakan kondisi yang paling
banyak dijumpai pada jaringan lunak mukosa. Diperkirakan sebanyak
15% - 20% populasi penduduk diseluruh dunia terserang penyakit seperti
ini. Penyakit ini nampak lebih banyak di Amerika Utara khususnya pada
kelompok sosial ekonomi rendah, insiden ini nampak hingga mendekati
40%.7

2.4 Klasifikasi Stomatitis


1. Stomatitis Apthous Reccurent
Stomatitis yang sifatnya berulang atau Reccurent Apthous Stomatitis
dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik klinis yaitu ulser minor,
ulser major, dan ulser herpetiform:8
a. Rekuren apthous stomatitis minor
Sebagian besar pasien (80%) yang menderita bentuk minor ditandai
dengan ulser berbentuk bulat atau oval dan dangkal dengan diameter yang
kurang dari 5 mm serta pada bagian tepinya terdiri dari eritematous.
Ulserasi bisa tunggal ataupun merupakan kelompok yang terdiri atas
empat atau lima dan akan sembuh dalam waktu 10-14 hari tanpa
meninggalkan bekas.5 Ulkus ini mempunyai kecendrungan untuk terjadi
pada mukosa bergerak yang terletak pada kelenjar saliva minor. Pernah
dilaporkan adanya gejala-gejala pendahulu seperti parastesia dan
hiperestesia. Ulkus ini sangat bervariasi, kambuh, dan pola terjadinya
bervariasi.9

Gambar 2. Minor apthous ulcer


Sumber : Laskaris G. Pocket atlas of oral desease.
Second Edition. New York: Thieme; 2006. P.159

Ulkus yang berkelompok dapat menetap dalam jangka waktu


beberapa bulan. Ulserasi yang menetap seringkali sangat sakit dan
biasanya mempunyai gambaran tak teratur. Frekuensi RAS lebih
sering pada laki-laki daripada wanita dan mayoritas penyakit terjadi
pada usia antara 10 dan 30 tahun. Pasien dengan ulser minor
mengalami ulserasi yang berulang dan lesi individual dapat terjadi
dalam jangka waktu pendek dibandingkan dengan tiga jenis yang lain.
Ulser ini sering muncul pada mukosa nonkeratin. Lesi ini didahului
dengan rasa terbakar, gatal dan rasa pedih dan adanya pertumbuhan
makula eritematus. Klasiknya, ulserasi berdiameter 3-10 mm dan
sembuh tanpa luka dalam 7-14 hari.10

b. Rekuren Apthous Stomatitis Major


Rekuren apthous stomatitis major diderita kira-kira 10% dari
penderita RAS dan lebih hebat dari bentuk minor. Secara klasik, ulser ini
berdiameter kira-kira 1-3 cm dan berlangsung selama empat minggu atau
lebih dan dapat terjadi pada bagian mana saja dari mukosa mulut
termasuk daerah-daerah yang berkeratin.5 Dasar ulser lebih dalam,
melebihi 0,5 cm dan seperti ulser minor, hanya terbatas pada jaringan
lunak tidak sampai ke tulang.11

Gambar 3. Mayor Apthous Ulcer


Sumber : Laskaris G. Pocket atlas of oral desease.
Second Edition. New York: Thieme; 2006. p.160

Ulser mayor dikenal sebagai periadenitis mukosa nekrosis yang


rekuren atau disebut juga penyakit Sutton. Penyebabnya belum diketahui
secara pasti, namun banyak bukti yang berhubungan dengan defek
imun.11 Tanda adanya ulser seringkali dilihat pada penderita bentuk
mayor. Jaringan parut terbentuk karena keparahan dan lamanya lesi
terjadi.5 Awal dari ulser mayor terjadi setelah masa puberti dan akan terus
menerus tumbuh hingga 20 tahun atau lebih.10

c. Herpetiformis Apthous Stomatitis


Istilah herpertiformis digunakan karena bentuk klinis dari ulserasi
herpetiformis (yang dapat terdiri atas 100 ulser kecil pada satu waktu)
mirip dengan gingivostomatitis herpetik primer tetapi virus-virus herpes
tidak mempunyai peranan dalam etiologi ulserasi herpertiformis atau
dalam setiap bentuk ulserasi aptosa.2

Gambar 4. Multiple Herpetiform Ulcers


Sumber : Laskaris G. Pocket atlas of oral desease.
Second Edition. New York: Thieme; 2006. p.161

Herpertiformis apthous stomatitis menunjukkan lesi yang besar dan


frekuensi terjadinya berulang. Pada beberapa individu, lesi berbentuk
kecil dan berdiameter rata-rata 1-3 mm.5 Gambaran dari ulser ini adalah
erosi-erosi kelabu putih yang jumlahnya banyak, berukuran sekepala
jarum yang membesar, bergabung dan mnjadi tak jelas batasnya. Pada
awalnya ulkus-ulkus tersebut berdiameter 1-2 mm dan timbul
berkelompok terdiri atas 10-100. Mukosa disekitar ulkus tampak
eritematous dan diperkirakan ada gejala sakit.9

2.5 Etiologi Stomatitis


Semakin banyaknya penelitian dan teori-teori baru mengenai faktor
predisposisi stomatitis memungkinkan suatu saat nanti apa yang saat ini masihkita
anggap faktor predisposisi telah terbukti sebagai etiologi. Seperti yang telah
diketahui bahwa faktor etiologi stomatitis adalah idiopatik (belum diketahui)
namun telah banyak dugaan mengenai faktor predisposisi stomatitis.5
Faktor–faktor predisposisi yang dapat menyebabkan terjadinya stomatitis adalah
sebagai berikut :
1. Genetik
Riwayat keluarga terdapat pada 50% kasus. Insiden tertinggi
terdapat di antara saudara bila kedua orang tua terkena stomatitis.2
Beberapa peneliti menyatakan bahwa hubungan genetik berpengaruh
terhadap timbulnya stomatitis. Salah satu penelitian menemukan
bahwa 35% dari orang yang menderita stomatitis memiliki paling tidak
satu orang tua yang juga menderita stomatitis Penelitian lain
menemukan bahwa 91% kembar identik menderita stomatitis dimana
untuk kembar biasa hanya 57%.13
2. Imunologik
Respon imun mungkin merupakan peran utama stomatitis umum
terjadi pada pasien dengan imunodefisiensi sel B dan 40% dari pasien-
pasien stomatitis mempunyai kompleks dari sirkulasi imun. Ulserasi
dapat disebabkan oleh pengendapan imonoglobulin dan komponen-
komponen komplemen dalam epitel atau respons imun seluler terhadap
komponen-komponen epitel.2 Antibodi tersebut bergantung pada
mekanisme sitoksik atau proses penetralisir racun yang masuk ke
dalam tubuh. Sehingga jika sistem imunologi mengalami abnormalitas,
maka dengan mudah bakteri ataupun virusmenginfeksi jaringan lunak
disekitar mulut.14
3. Hematologik
15-20% pasien stomatitis adalah penderita kekurangan zat besi,
vitamin B12 atau folid acid dan mungkin juga terdapat anemia.
Penyembuhan stomatitis sering terjadi sesudah terapi untuk mengatasi
kekurangan-kekurangan tersebut.2 Seperti frekuensi defisiensi pada
pasien awalnya akan menjadi lebih buruk pada pertengahan usia.
Banyak pasien yang defisiensinya tersembunyi, hemoglobulin dengan
batasan yang normal dan ciri utama adalaah mikrositosis dan
makrositosis pada sel darah merah.14
4. Gastrointestinal
Hanya sebagian kecil dari pasien-pasien mempunyai gejala
gastrointestinal, terutama penyakit pada usus kecil yang berhubungan
dengan malabsorpsi. Walaupun hanya 2-4% pasien-pasien stomatitis
mempunyai penyakit seliak tetapi terdapat 60% pasien-pasien dengan
penyakit seliak yang menderita stomatitis. Stomatitis dapat dihubungan
dengan penyakit Crohn dan colitis ulseratif.2
5. Hormonal
Pada umumnya penyakit stomatitis banyak menyerang wanita,
khususnya terjadi pada fase stress dengan sirkulasi menstruasi. Dalam
sebuah penelitian, ditemukan kadar hormon progesterone yang lebih
rendah dari normal pada penderita RAS sementara kadar hormone
Estradiol, LH, Prolaktin, FSH pada kedua grup adalah normal. Pada
wawancara didapat adanya riwayat anggota keluarga yang mengalami
RAS dibanding bukan penderita RAS. Dari penelitian tersebut dapat
disimpulkan bahwa penderita RAS pada umumnya mempunyai kadar
hormon progesteron yang lebih rendah dari normal dan ada salah satu
keluarganya yang menderita RAS.14
Stomatitis dapat berlanjut atau berhenti selama kehamilan dan
karena pada sebagian kecil wanita ulserasi berkembang hanya selama
fase luteal dari siklus menstruasi maka kadang-kadang hal ini
berhubungan dengan adanya perubahan-perubahan pada hormonal.2
6. Trauma
Terdapat beberapa fakta yang menunjukkan bahwa trauma pada
bagian rongga mulut dapat menyebabkan stomatitis. Dalam banyak
kasus, trauma ini disebabkan oleh masalah–masalah yang sederhana.
Trauma merupakan salah satu faktor yang dapat menyebabkan ulser
terutama pada pasien yang mempunyai kelainan tetapi kebanyakan
stomatitis mempunyai daya perlindungan yang relatif dan mukosa
mastikasi adalah salah satu proteksi yang paling umum.15
Faktor lain yang dapat menyebabkan trauma di dalam rongga
mulut meliputi:
a. Pemakaian gigi tiruan
Rekuren apthous stomatitis disebabkan oleh pemasangan gigi
palsu. Seringkali, gigitiruan yang dipasang secara tidak tepat
dapat mengiritasi dan melukai jaringan yang ada di dalam rongga
mulut. Masalah yang sama sering pula dialami oleh orang-orang
yang menggunakan gigitiruan kerangka logam. Logam dapat
melukai bagian dalam rongga mulut.
b. Trauma makanan
Banyak jenis makanan yang kita makan dapar menggores atau
melukai jaringan-jaringan yang ada di dalam rongga mulut dan
menyebabkan RAS. Contohnya adalah keripik, kue yang
keras,dll.
c. Trauma sikat gigi
Beberapa pasien berpikir bahwa ulser terjadi karena trauma pada
mukosa rongga mulut yang disebabkan oleh cara penggunaan
dari sikat gigi yang berlebihan dan cara menyikat gigi yang salah
dapat merusak gigi dan jaringan yang ada dalam rongga mulut.
d. Menggigit bagian dalam mulut
Banyak orang yang menderita luka di dalam mulutnya karena
menggigit bibir dan jaringan lunak yanga da di dalam rongga
mulut secara tidak sengaja. Seringkali, hal ini dapat menjadi
kebiasaan yang tidak disadari atau dapat terjadi selama tidur dan
luka juga disebabkan oleh tergigitnya mukosa ketika makan dan
tertusuk kawat gigi sehingga dapat menimbulkan ulser yang
mengakibatkan RAS. Luka tergigit pada bibir atau lidah akibat
susunan gigi yang tidak teratur.
e. Prosedur dental
Prosedur dental dapat mengiritasi jaringan lunak mulut yang tipis
dan menyebabkan terjadinya RAS. Terdapat informasi bahwa
hanya dengan injeksi novacaine dengan jarum dapat
menyebabkan timbulnya RAS beberapa hari setelah dilakukan
penyuntikan.16
7. Stres
Banyak orang yang menderita stomatitis menyatakan bahwa
stomatitis yang mereka alami disebabkan oleh stres. Terkadang orang
secara objektif menghubungkan timbulnya stomatitis dengan
peningkatan stres. 13
8. HIV
Stomatitis dapat digunakan sebagai tanda adanya infeksi HIV.
Stomatitis memiliki frekuensi yang lebih tinggi pada keadaan
defisiensi imun seperti yang telah dibahas sebelumnya. Namun
infeksi akibat virus HIV biasanya menunjukkan tanda klinis yang
sangat jelas yaitu kerusakan jaringan yang sudah parah.15
9. Kebiasaan merokok
Kelainan stomatitis biasanya terjadi pada pasien yang merokok.
Bahkan dapat terjadi ketika kebiasaan merokok dihentikan.15
10. Kondisi Medik
Beberapa kondisi medik yang berbeda juga dapat dihubungkan
dengan timbulnya stomatitis. Untuk pasien yang mengalami
stomatitis yang resisten harus mendapatkan evaluasi dan tes dokter
untuk mengetahui ada tidaknya penyakit sistemik. Beberapa kondisi
medik yang dihubungkan dengan stomatitis yaitu seperti penyakit
Behcet, disfungsi neutrofil, radang usus, dan HIV-AIDS.13
11. Pengobatan
Penggunaan obat-obatan anti peradangan, beta bloker,
kemoterapi, dan nicorandil dilaporkan menjadi salah satu pemicu
timbulnya stomatitis.13
12. Infeksi
Fakta bahwa zat-zat kimia seperti pada penggunaan kemoterapi
dan radiasi biasanya dihubungkan dengan bakteri seperti ANUG
yang kaya dengan bacillus fusiformis dsn spirochete, dan virus pada
Virus Herpes Simpleks yang meliputi sitomegalovirus, virus voricella
zoster, Epstein Bar ini ternyata dapat menjadi salah satu penyebab
dari stomatitis.13
Berikut ini ada beberapa fakta tentang faktor predisposisi dari
penyebab stomatitis (Tabel 2.1).2

Tabel 2.1. Faktor etiologi stomatitis apthosa rekuren


Faktor Predisposisi Fakta
Defisiensi Adanya defisiensi zat besi, asam folat, vitamin
B12, atau B kompleks
Psikologis Meningkatnya insiden stomatitis pada populasi
mahasiswa menjelang ujian
Trauma Terbentuknya ulser pada daerah-daerah setelah
bekas terjadinya luka penetrasi
Endokrin Terbentuknya stomatitis pada fase luteal dari
siklus haid pada beberapa penderita wanita
Alergi Kenaikan kadar IgE dan keterkaitan antara
beberapa jenis makanan dan timbulnya ulser
Merokok Pembentukan stomatitis pada perokok yang
dahulunya bebas simtom, ketika kebiasaan
merokok dihentikan
Herediter Meningkatnya insiden pada anak-anak yang kedua
orantuanya menderita stomatitis, kesamaan yang
tinggi pada anak kembar
Inunologi Fakta bertentangan, tetapi beberapa informasi
mengenai kadar imunoglobulin abnormal
Sumber : Lewis MAO, Lamey PJ. Tinjauan klinis penyakit mulut.
Jakarta: Widya Medika; 1998. p.48-9

2.6 Gambaran Klinis Stomatitis


Awalnya timbul rasa sedikit gatal atau terbakar pada 1 sampai 2 hari di
daerah yang akan mengalami stomatitis. Rasa ini timbul sebelum luka dapat
terlihat di rongga mulut. Stomatitis dimulai dengan adanya luka seperti melepuh di
jaringan mulut yang terkena berbentuk bulat atau oval. Setelah beberapa hari, luka
tersebut pecah dan menjadi berwarna putih ditengahnya dibatasi dengan daerah
kemerahan. Bila berkontak dengan makanan dengan rasa yang tajam seperti pedas
atau asam, daerah ini akan terasa sakit dan perih serta aliran saliva menjadi
meningkat berdasarkan ciri khasnya secara klinis. Adanya ulkus kecil didalam
mulut biasanya dibagian dalam, atas, dan bawah bibir pada pipi, lidah, dan gusi.4
Gejalanya berupa rasa sakit dan rasa terbakar yang terjadi satu sampai dua
hari yang kemudian menimbulkan luka di rongga mulut. Bercak luka yang
ditimbulkan akibat dari stomatitis ini agak kaku dan sangat peka terhadap gerakan
lidah atau mulut sehingga rasa sakit atau rasa panas yang dirasakan ini dapat
membuat kita susah makan, susah minum ataupun susah bicara dan mengeluarkan
banyak air liur.
Rasa sakit akibat stomatitis yang berukuran kecil biasanya akan hilang
antara 7 sampai 10 hari dan lesi ini akan sembuh secara sempurna dalam waktu
satu sampai dua minggu. Namun, apabila ukuran lesi stomatitis cukup besar
biasanya lesi membutuhkan waktu mulai dari beberapa minggu sampai beberapa
bulan untuk sembuh. Stomatitis yang tidak sembuh dalam waktu 2 minggu
sebaiknya segera dikonsultasikan dengan dokter gigi.4

2.7 Batasan Stomatitis


Radang mukosa mulut diperkenalkan pertama kali oleh Hippocrates.
Merupakan suatu kelainan yang ditandai dengan ulser rekuren, terbatas pada
mukosa mulut. Lesi ulsernya dapat tunggal atau jamak (Greenberg, 2003).
Biasanya, ulser yang perih ini timbul kembali dalam interval waktu 3 hingga
4 minggu atau terkadang tidak kunjung sembuh. Kekambuhan selama satu bulan
dapat terjadi, namun hal tersebut sulit diprediksi. Radang tipe minor secara
individual berlangsung selama 7–14 hari kemudian pulih tanpa meninggalkan
bekas. Radang mukosa mulut secara tipikal dapat mengenai daerah mukosa yang
tak berkeratin, seperti mukosa bukal, mukosa labial, sulkus atau batas lateral lidah.
Radang mukosa mulut sering kali timbul pada masa kanak–kanak, namun
mencapai puncaknya pada masa remaja atau dewasa. Waktu timbulnya dapat
bervariasi, kadang–kadang memiliki interval waktu yang relatif teratur.
Kebanyakan orang yang mengalaminya tampak sehat, sebagian besar penderitanya
bukan perokok, dan sebagian kecil mengalami gangguan hematologis (Cawson &
Odell, 2008).

2.8 Diagnosis Stomatitis


Gambaran klinis radang mukosa mulut memiliki kemiripan dengan lesi lain
di dalam rongga mulut. Gambaran lesi ini secara klinis mirip dengan lesi intra oral
pada ulkus traumatikus, gingivitis herpetika akut, eritema multiformis, dan ulserasi
dari penyakit sistemik seperti Crohn’s disease. Radang mukosa mulut dapat
dibedakan dari lesi lain di dalam rongga mulut berdasarkan gambaran klinis yaitu
ulser yang berbentuk bulat atau oval, bersifat kambuhan, dapat sembuh dengan
sendirinya tanpa disertai gejala lainnya (Greenberg, 2003).

2.9 Pengaruh Penyakit Sistemik Terhadap Kejadian Stomatitis


1. HIV
Recurrent aphthous ulcers terjadi pada sekitar 1% -7% dari pasien yang
terinfeksi HIV. Ditandai dengan ulser yang sakit pada mukosa oral tidak
berkeratin, seperti mukosa labial dan bukal, palatum, dan ventral lidah.
Lesi aphthous berulang yang parah biasanya terjadi bila jumlah limfosit
CD4 + kurang dari 100 sel / uL. Gambaran klinisnya bisa berupa ulser
minor, mayor atau herpetiform. Ulkus Aphthous minor adalah ulkus
kurang dari 5 mm ditutupi oleh pseudomembran dan dikelilingi oleh halo
eritematosa. Biasanya sembuh secara spontan tanpa jaringan parut. Ulkus
aphthous mayor hampir menyerupai ulkus aphthous minor, tetapi
jumlahnya lebih sedikit dan ukuran lebih besar dengan diameter 1-3 cm,
lebih sakit serta bertahan lebih lama. Ulkus ini mengganggu
pengunyahan, menelan, dan berbicara. Penyembuhan terjadi lebih 2-6
minggu. Ulkus aphthous herpetiform berupa lesi kecil 1-2 mm yang
tersebar di mukosa bukal, lingua, dan palatum. Pengobatan awal bagi
kasus ini adalah kontrol nyeri dan pencegahan superinfeksi. Pengobatan
secara topikal dengan pasta triamcinolon 0,1%, bethametason fosfat,
fluocinonide 0,05%, dexamethasone elixir 0,5mg/ml.

2. Leukimia
Komplikasi oral leukimia sering berupa ulkus mucosa, hipertrofi gingiva,
petechie, ekimosis, dan hemoragik . Ulserasi palatum dan nekrosis dapat
menjadi pertanda adanya mucormycosis cavum nasalis dan sinus
paranasalis. Enam belas persen dan 7% pasien dengan leukimia akut
dilaporkan mengalami mukositis dan gingivitis. Infeksi bakterial rongga
mulut merupakan hal yang sering dan harus segera dideteksi dan diobati
secara agresif. Pengobatan leukimia dengan agen kemoterapi dapat
mengakibatkan reaktivasi Herpes Simplex Virus (HSV) yang dapat
mengakibatkan terjadinya mukositis. Namun mukositis akibat
kemoterapi dapat terjadi tanpa reaktivasi HSV, karena penipisan
permukaan mukosa dan/atau supresi sumsum tulang yang mengakibatkan
invasi organisme oportunistik pada mukosa.

3. Sistemik Lupuserythematosus (SLE)


Sistemik lupus erythematosus terbagi menjadi discoid lupus
erythematosus (DLE) dan sistemik lupuserythematosus (SLE). Lesi-lesi
mulut terjadi pada 25-50% pasien DLE dibandingkan dengan 7-26%
pasien SLE. Pada DLE, lesi ini biasanya mulai tampak sebagai area
keputihan irregular yang kemudian meluas kearah perife. Setelah lesi ini
meluas, bagian tengah daerah ini menjadi merah dan menjadi ulserasi
sedangkan bagian tepi meninggi dan hiperkeratotik. Ulserasi-ulserasi ini
biasanya tidak menimbulkan nyeri dan melibatkan palatum.
4. Gagal Ginjal Kronik
Stomatitis Uremia cukup jarang, hanya sering ditemui pada gagal ginjal
kronik yang tidak terdiagnosis atau tidak terobati. Kerak atau plak yang
nyeri sebagian besar terdistribusi dimukosa bukal, dasar atau dorsal lidah,
dan pada dasar rongga mulut. Angka insidensinya telah menurun seiring
dengan tersedianya peralatan dialysis di banyak rumah sakit. Mekanisme
yang diterima yang melatar belakangi timbulnya uremik stomatitis yaitu
lukapada mukosa dan iritasi kimia akibat senyawa amonia yang terbentuk
dari hidrolisis urea oleh urease saliva. Hal ini terjadi bila konsentrasi urea
intraoral melebihi 30 mmol/L. Ada 2 jenis uremik stomatitis, pada tipe I,
terdapat eritema lokal atau general di mukosa mulut, dan eksudat
pseudomembran tebal abu-abu yang tidak berdarah atau ulserasi bila
diambil. Pada tipe II, dapat terjadi ulserasi bila pseudomembran tersebut
diambil. Tipe ini dapat mengindikasikan bentuk stomatitis yang lebih
parah.

2.10 Tatalaksana Stomatitis


Terapi stomatitis aftosa rekuren tidak memuaskan dan tidak ada yang pasti.
Terapi dilakukan secara siptomatik. Telah banyak obat yang dicoba
menanggulangi stomatitis namun tidak ada yang efektif. Penatalaksanaan
stomatitis aftosa rekuren ditujukan untuk mengurangi rasa sakit, atau mencegah
timbulnya lesi baru. Rasa sakit dapat dikurangi dengan cara menghindari makanan
yang berbumbu, asam, atau minuman beralkohol. Anastetikum topikal merupakan
obat yang umumnya digunakan dalam pengobatan stomatitis. Pengolesan
anastetikum sebelum makan dapat mengurangi rasa sakit.
Faktor predisposisi yang berperan perlu ditelusuri agar dapat meringankan
penderitaan pasien. Tujuan dari pengobatan adalah untuk meringankan penderitaan
pasien yang harus berdampingan engan ulserasi sepanjang hidupnya. Pasien perlu
diyakinkan bahwa stomatitis aftosa rekuren bukan suatu penyakit yang berbahaya
walaupun merepotkan. Dengan adanya keyakinan tersebut kemungkinan tidak
diperlukan pengobatan sistemik, covering agent atau kumur antiseptik.
Masa perjalanan dapat dipersingkat dengan pemberian kortikosteroid
topikal, seperti triamcinolone acetonide 0,1% dalam orabase yang bersifat adesif.
Contoh lain adalah fluocinonide gel yang lebih kuat dan rasanya lebih enak. Obat
dioleskan pada ulserasi 4–8 kali sehari. Untuk lesi yang parah dapat diberikan
kortikosteroid sistemik. Lesi akan segera sembuh sehingga memperpendek
perjalanan lesi selama obat digunakan. Penggunaan secara sistemik perlu berhati–
hati karena apabila terlalu lama digunakan dapat menimbulkan efek samping.
Beberapa ahli ada yang mencoba tetrasiklin yang dipakai secara topikal atau
sistemik. Penggunaan secara topikal dilakukan dengan melarutkan obat dalam 30
mL air dan digunakan sebagai obat kumur.17
Obat–obat sistemik seperti levamisole, inhibitor monoamine oksidase,
thalidomide atau dapsone digunakan untuk penderita yang sering mengalami
ulserasi oral yang serius.5
Untuk pasien dengan gangguan hematologi maka terapi yang diberikan
kepada pasien anemia karena kekurangan zat besi adalah tablet zat besi yang berisi
ferrous sulfate, ferrous gluconate, dan ferrous fumarate yang diberikan peroral.
Respon tubuh pada terapi biasanya cepat, sel darah merah akan kembali normal
setelah 1-2 bulan. Oleh sebab itu pasien diberikan sulemen yang berisi zat besi 2x1
sehari yang diminum selama dua minggu.6
Beberapa literatur menyebutkan bahwa lidah buaya memiliki khasiat bagi
kesehatan terutama untuk mukosa mulut antara lain sebagai analgesik, antiseptik,
dan antiinflamasi karena bahan yang terkandung antara lain aloktin A dan asam
salisilat.18

Anda mungkin juga menyukai