Anda di halaman 1dari 2

Keterkaitan UU RS, standar pelayanan minimal RS, standar prosedur operasional,

akreditasi rumah sakit, dengan mutu dan keselamatan pasien?

Menurut UU no 12 tahun 2004, peraturan perundang-undangan adalah peraturan


tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan.
Pengertian hukum sendiri menurut Utrecht adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan
larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat yang seharusnya ditaati oleh
anggota masyarakat dan jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pemerintah.
Dari penjelasan tersebut, dapat dipahami bahwa Undang-Undang merupakan suatu
instrumen yang kuat di suatu negara. UU RS sendiri merupakan induk dari seluruh peraturan
yang mengatur berjalannya suatu rumah sakit mulai dari peraturan tentang rumah sakit itu
sendiri sampai pengaturan perlindungan hukum untuk pasien, keluarga pasien dan tenaga
kesehatan.
Pada UU RS yaitu UU no. 44 tahun 2009, pengertian dari rumah sakit adalah institusi
pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Pelayanan
Kesehatan Paripurna adalah pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif,
dan rehabilitatif. Agar pelayanan kesehatan paripurna pada rumah sakit dapat berjalan dengan
baik, butuh dilaksanakannya standar pelayanan minimal rumah sakit. Menurut PP no 65 tahun
2005, Standar Pelayanan Minimal adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar
yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. SPM
dibentuk agar mutu pelayanan yang diberikan rumah sakit untuk pasien dapat terjamin.
Selain standar pelayanan minimal, standar prosedur operasional juga sangat dibutuhkan
dalam berjalanannya sistem pelayanan di rumah sakit. Menurut Moekijat, standar prosedur
operasional adalah urutan langkah-langkah (atau pelaksanaan-pelaksanaan pekerjaan), di mana
pekerjaan tersebut dilakukan, bagaimana melakukannya, bilamana melakukannya, di mana
melakukannya, dan siapa yang melakukannya. Pembentukan standar prosedur operasional
bertujuan agar cara pelayanan yang diberikan di seluruh rumah sakit sama dan menghindarkan
rumah sakit dari variasi cara pelayanan rumah sakit. Apabila terjadi variasi dalam cara
pelayanan dan tidak mengikuti standar prosedur operasional maka keselamatan pasien akan
terancam seperti penyakit makin parah, terjadi kecacatan, hingga kematian.
Selain SPM dan SPO, suatu rumah sakit juga membutuhkan akreditasi yang dimana
akreditasi ini membantu suatu rumah sakit untuk meningkatkan mutu pelayanan sehingga
keselamatan pasien semakin terjamin. Pengertian akreditasi rumah sakit menurut Departemen
Kesehatan RI adalah pengakuan oleh pemerintah kepada rumah sakit karena telah memenuhi
standar yang telah ditentukan.
Pilihlah satu kasus dari pertemuan terkait Standar Prosedur Operasional dan
Keselamatan Pasien dan kemudian lakukan pembahasan terhadap kasus tersebut.

“Obat Tetes Telinga untuk Mata Akibatnya Gadis Itu


Buta”
Gadis berusia 19 tahun bernama Elisia harus mengalami kebutaan akibat kelalaian
pihak farmasi di suatu Puskesmas di Lampung. Menurut ibu Elisia, saat dibawa ke puskesmas,
Elisia dalam kondisi yang sehat. Alasan ke puskesmas adalah hanya untuk meminta obat mata
dikarenakan mata Elisia kemasukan laron. Saat Elisia memakai obat dari puskesmas, bukannya
malah membaik tetapi memperparah kondisi Elisia sampai akhirnya terjadi kebutaan. Ternyata
saat dilihat kembali obatnya, obat mata tersebut ternyata obat telinga. Puskesmas menyarankan
Elisia untuk berobat ke Rumah Sakit Immanuel tetapi ternyata RS tersebut tutup sehingga
terpaksa dibawa ke RS Graha Husada tetapi keluarga Elisia tidak mampu membayar biaya RS
di Graha Husada karena ayah Elisia hanya buruh.
Kasus ini merupakan kasus pelanggaran PP no 51 tahun 2009 pasal 36 ayat 2 dan Kode
Etik Apoteker Indonesia pasal 9 yaitu tidak mentaati SOP Kefarmasian di puskesmas. Pihak
farmasi tidak membaca label etiket kembali apakah sesuai dengan yang ada pada resep atau
tidak. Pihak farmasi mungkin hanya mengandalkan penglihatan berdasarkan wadah dan lalai
untuk melihat kembali label etiket. Pihak apoteker pada puskesmas tersebut dapat dikenakan
sanksi sesuai yang dituliskan pada Kode Etik Apoteker Indonesia pasal 15 dan korban berhak
menuntut seperti apa yang dituliskan pada UU No 36 Tahun 2009 Pasal 58 ayat 1.

Anda mungkin juga menyukai