Materi 1
Materi 1
id/2015/12/arsitektur-post-moderen-
arsitektur.html
oleh
Hamah Sagri m
Gambar:
Konsep Arsitektur Maybrat dirancang dari aliran arsitektur inisiasi wiyon/wofle yang
disebut k'wion/mbol wofle
lengkap dengan ornament, simbol-simbol, corak dan warna sebagai filosofi kebesaran
sang pemilik khususnya
dan mewakili wajah kebudayaan suku Maybrat Imian Sawiat Papua di Asia Tenggara
oleh Hamah Sagrim
B. ARSITEKTUR NEOMODEREN
Bermula dari runtuhnya arsitektur moderen terakhir yang disebut juga
“International Style”, arsitektur postmoderen terus berkembang menjadi banyak
aliran. Diantaranya yaitu aliran Neo Moderen.
Aliran Neo Moderen muncul pada masa antara tahun 1980 seiring dengan
perkembangan jaman sejak dinyatakannya kematian arsitektur moderen (1975) dan
kemudian ditandai munculnya bangunan-bangunan baru postmoderen. Neo Moderen
juga berkembang bersamaan dengan aliran Dekonstruksi dimana arsitek-arsitek
besar pada masa itu seperti Frank Gehry, Peter Eisenman, Rem Koolhaas, Bernard
Tschumi, Zaha Hadid, Fumihiko Maki, Kazuo Shinoara, dan lain-lain yang
menghasilkan karya-karya Neo Moderen dan Dekonstruksi. Karya-karya arsitektur
Neomoderen sangat bertentangan dengan sifat klasik (clasissicism). Ciri-ciri yang
mendasar pada bangunan-bangunan Neomoderen yaitu :
1. Memiliki konsep yang spesifik seperti bangunan-bangunan postmoderen aliran lainnya
pada umumnya. Dapat bersifat abstrak tetapi juga merepresentasikan sesuatu, tidak
hanya sebagai istilasi dari suatu bentukan tertentu.
2. Masih memperlihatkan kejelasan struktur dan sainsnya dengan ide-ide yang inovatif,
beralasan dan masuk akal.
3. Pertimbangan yang sangat mendasar terhadap karakter bangunan dengan tetap
memperhatikan segi manusia yang menggunakannya.
4. Pada umumnya merupakan pengembangan / lanjutan dari bentukan-bentukan
sederhana melalui konsep-konsep dan rekayasa baik secara karakter bangunan
maupun fungsi struktur serta sains dengan pemikiran yang mendalam.
5. Keseragaman dan keserasian pada facade bangunan lebih diutamakan dengan
penggunaan bahan dan warna terkadang bersifat monoton namun inovatif.
6. Memadukan unsur-unsur yang berkesan mungkin dan yang tidak mungkin.
Ciri-ciri diatas merupakan ciri-ciri umum yang dapat terlihat secara visual dari
bangunan Neomoderen. Untuk mengungkapkannya, para arsitek Neomoderen
memanfaatkan bentuk, penggunaan material dan warna serta struktur dan teknologi
yang membuat Neomoderen berkembang juga menjadi beberapa aliran seperti
Plastism, Suprematism, High-tech dan lain-lain.
Dalam aliran Plastism, banyak digunakan bentukan-bentukan yang berkesan
fleksibel dengan banyak kurva serta lengkung. Bentukan yang fleksibel ini membuat
bangunan lebih dinamis dan memiliki karakter. Bentukan tersebut tidak selalu bersifat
struktural, seringkali bersifat dekoratif namun menyatu dengan bangunan dan bukan
sekedar “tempelan” baik secara fasade maupun interior bangunan caranya dengan
menggunakan warna dan material bangunan yang inovatif. Intinya aliran Plastism
berusaha mengemukakan ide melalui bentukan-bentukan yang tidak umum dari
sebuah bangunan.
Aliran Suprematism mengutamakan perekayasaan bentuk dari bentukan yang
umum. Dari arti kata “suprematis” sendiri yaitu melawan hal-hal yang bersifat lampau
dan natural, aliran ini berusaha mengiterpretasikannya kedalam bangunan dengan
merekayasa segala hal yang bersifat umum pada bangunan. Misalnya dinding, kolom
bahkan lantai yang miring. Istilah disposisi merupakan hal yang wajar dalam aliran
Suprematism dalam mengemukakan ide dan konsep. Namun aliran ini memusatkan
perhatian pada bangunan dari segi konsep bentukan yang mengarah pada karakter
bangunan tanpa mempertimbangkan fungsi secara mendalam. Sense of art sangat
terlihat dalam bangunan-bangunan karya aliran Neomoderen-suprematism.
Aliran High-tech biasanya menggunakan struktur yang ekstrim untuk
“memaksakan” bentuk yang sesuai dengan konsep/ide. Namun dalam hal ini juga
dipertimbangkan fungsi secara sains yang menunjang kenyamanan manusia
penggunanya. Aliran-aliran dalam Neomoderen sebenarnya tidak baku karena setiap
arsitek dalam mengemukakan idenya berbeda-beda, namun tujuan dan pemikiran
dasar dapat dikategorikan dalam Neomoderen.
Anti-Postmoderen, Anti-Clasisisme, Anti-Disneyland, Anti-Deniel, juga Neo-
Classic/Classicisme. Kadang mengembangkan postmoderen dan late moderen sebagai
perbendaharaan abstrak. Gehry telah mengembangkan ruang Postmoderen dari
Charles Moore serta Late moderen sebagai perbendaharaan absrak dari karya-
karyanya. Gehry juga menyimpulkan argumentasi-argumentasi mengenai
Postmoderen yang dianut oleh Charles Jenks, Charles Moore, Michael Grraves tetapi
tidak menganutnya.
C. ARSITEKTUR REGIONALISME
1. Konsep dan prinsip rancangan pemikiran para arsitek terhadap arsitektur
regionalime
Secara geografis, setiap wilayah/region memiliki ciri kedaerahan yang berbeda-
beda, bergantung pada budaya setempat, iklim dan teknologi yang ada. Karenanya,
setiap arsitek di berbagai daerah di seluruh dunia pun memiliki pemikiran tersendiri
atas sebuah teori regionalisme. Regionalisme bukan sebuah gaya, melainkan sebuah
aliran pemikiran tentang arsitektur.
a. William Curtis
Seorang sejarahwan Willian Curtis melihat Regionalisme dalam arsitektur sebagai
respon alami terhadap hegemoni Barat yang berusaha menciptakan suatu arsitektur
yang lunak dan mirip (serupa) didalam pengembangan pusat-pusat urban (kota) yang
sangat cepat di Dunia Ketiga. William Curtis yang merefleksikan jalan pemikiran ini,
mencatat bahwa disana ada momentum pertemuan suasana hati yang menolak
reproduksi yang fasih menurut formula internasional dan yang sekarang mencari
kontinuitas di dalam tradisi lokal.
b. Rapoport
Rapoport menyatakan bahwa Regionalisme meliputi “berbagai tingkat daerah” dan
“kekhasan”, dia menyatakan bahwa secara tidak langsung identitas yang diakui dalam
hal kualitas dan keunikan membuatnya berbeda dari daerah lain. Hal ini
memungkinkan mengapa arsitektur Regional sering diidentifikasikan dengan
Vernakuler, yang berarti sebuah kombinasi antara arsitektur lokal dan tradisional ( asli
).
c. Frampton
Dalam bukunya Modern Architecture and the Critical Present, 1982 ) Regionalisme
tidak bermaksud menunjukkan Vernakuler sebagai suatu hasil hubungan interaksi
iklim, budaya, dan hasil karya manusia, akan tetapi lebih pada mengidentifikasikan
Regional yang tujuannya telah dihadirkan kembali dan disediakan dalam jumlah
tertentu. Regionalisme tertentu, pendefinisiannya pada hasil eksplisit atau implisit
antara masyarakat dan pernyataan arsitektural, maka antara kondisi awal ekspresi
regional tidak hanya kemakmuran lokal tetapi juga rasa yang kuat akan identitas.
d. Peter Buchanan
Dalam bukunya The Architectural Review, Mei 1983 ) Regionalisme adalah
kesadaran diri yang terus menerus, atau pencapaian kembali, dari identitas formal
atau simbolik. Berdasar atas situasi khusus dan budaya lokal mistik, regionalisme
merupakan gaya bahasa menuju kekuatan rasional dan umum arsitektur modern.
Seperti budaya lokal itu sendiri regionalisme lebih sedikit diperhatikan dengan hasil
secara abstrak dan rasional. Dan lebih dengan penambahan fisik, lebih dalam dan
nuansa pengalaman hidup.
e. Rory Spence
Dalam sebuah artikel yang berjudul “ The Concept of Regionalism Today : Sydney
and Melbourne considered as contrasting phenomena “ ( Transition : Discourse on
Architecture, July 1985 ), Rory menyatakan bahwa : Regionalisme dalam arsitektur
merupakan bagian dari seluruh pengarahan kembali atas kualitas hidup, sebagai
penentangan terhadap penghapusan paham perluasan ekonomi dan kemajuan
material dalam hal pembiayaan. Hal ini lebih memusatkan perhatian pada para
pengguna bangunan daripada penyediaan perluasan ekonomi dan material.
Seharusnya hal ini juga dibedakan dengan jelas dari keraguan yang berlebihan atas
sebuah konsep arsitektur nasional.
f. Chris Abe
Dalam Perubahan Regional ( The Architectural Review, November 1986 )
menyatakan bahwa :
Regionalisme berusaha untuk melihat kembali arsitektur Modernisme yang nampak,
yaitu secara berkesinambungan dalam memberi tempat antara bentuk bangunan
masa lalu dengan masa sekarang.
g. Kenza Boussora (Algeria)
Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh Boussora dapat disimpulkan bahwa
tujuan dari regionalisme, dalam beberapa kasus, kemunculannya tidak dapat
diterapkan, karena adanya ketidaksesuaian atau ketidakcocokan antara tujuan dan
hubungan secara khusus yang mana sebuah bangunan didirikan. Boussora mengambil
contoh-contoh permasalahan di Algeria yang mana tidak sesuai dengan tujuan dari
regionalisme. Dua diantaranya adalah seperti yang disebutkan dibawah
ini: Bagaimana untuk mencapai keselarasan (kesesuaian) dengan sumber-sumber
dimana tidak mencukupi untuk merespon kebutuhan dengan cepat bagi penyediaan
perluasan bangunan.
Sebagian besar proyek digambarkan dalam literatur pada regionalisme sebagai
sebuah bangunan kecil terutama bangunan individu dalam plural area. Masalahnya
bahwa arsitektur modern telah mencoba untuk memecahkan permasalahan yang ada
di Algeria; yaitu, bagaimana menyediakan sejumlah besar tipe-tipe bangunan yang
berbeda, bagian-bagian rumah secara cepat dan rendah biaya pada penyediaannya.
h. Tan Hock Beng
Dalam bukunya Tropical Architecture and Interiors : Tradition-Based design of
Indonesia-Malaysia-Singapore-Thailand ( 1994) menyatakan bahwa : Regionalisme
dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran untuk membuka kekhasan tradisi dalam
merespon terhadap tempat dan iklim, kemudian melahirkan identitas formal dan
simbolik ke dalam bentuk kreatif yang baru menurut cara pandang tertentu dari pada
lebih berhubungan dengan kenyataan pada masa itu dan berakhir pada penilaian
manusia. Hanya ketika kita mengenali bahwa tradisi kita merupakan sebuah warisan
yang berevolusi sepanjang zaman akan dapat menemukan keseimbangan antara
identitas regional dan internasional. Para arsitek perlu untuk memutuskan prinsip yang
mana masih layak untuk saat ini dan bagaimana cara yang terbaik untuk menyatukan
metode persyaratan untuk bangunan modern dan metode konstruksi pada umumnya.
i. Menurut Kami
Arsitektur Regionalisme bukan hanya menggambarkan aliran arsitektur, tetapi juga
Arsitektur Regionalisme sebagai perwujudan nilai suatu daerah, yang ditampilkan
pada bentuk bangunan. Wujud nilai yang dimaksud tidak hanya membicarakan fisik
bangunan, tetapi filosofi, seni, pengetahuan, keuletan, dan lain-lain yang
menggambarkan masyarakat setempat, dapat dibaca melalui arsitektur Regionalisme.
Pada kenyataannya ada beberapa pandangan yang jelas sekali dan ada yang tidak
jelas.
Pada awalnya regionalisme telah dihubungkan pada “pandangan identitas” (
Frampton, dan Buchanan ). Pengertian ini timbul karena keterpaksaan menerima
tekanan moderenisme yang menciptakan “universalisme” (Buchanan); melalaikan
“kualitas kehidupan” (Spence) atau “jiwa ruang”(Yang); dan mengambil
“kesinambungan” (Abel). Arsitektur tradisional tidak menyatu dalam desain moderen.
Karena arsitektur tradisional mungkin memiliki karakteristik sendiri untuk setiap
wilayah; menciptakan kualitas kehidupan ‘terbaik’ dalam sebuah masyarakat
tradisional dan menjadi sangat responsif atas kondisi geografis dan iklim dalam suatu
tempat tertentu; dan menunjukkan sebuah kesinambungan dalam hasil karya
arsitektural dari masa lalu ke masa kini. Tapi bukanlah suatu cara yang sederhana
untuk mengangkat arsitektur tradisional. Pengangkatan arsitektur tradisional ke dalam
desain moderen membutuhkan pengertian yang luas dan terbuka atas budaya
internasional (Chardirji).
Berdasarkan hal diatas arsitektur regional oleh para arsitek di atas dapat disimpulkan
sebuah definisi yang lebih lengkap yang mana definisi ini dapat diterima untuk segala
jaman, yaitu definisi menurut Tan Hock Beng. Berdasarkan definisi Tan Hock Beng
dapat diklasifikasikan dalam 6 strategi regionalisme, yaitu :
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Diawali dengan munculnya Arsitektur Modern yang berusaha meninggalkan
arsitektur masa lampaunya dengan melupakan ciri serta sifatnya-sifatnya,
periode berikutnya mulai timbul usaha untuk menyelaraskan atau
mengkombinasikan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis
identitas pada arsitektur. Paham - paham tersebut antara lain adalah
tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.
Khususnya pada paham Regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun
1960. Sebagai salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai
perhatian lebih pada ciri khas arsitektur kedaerahan, aliran ini berkembang
terutama di negara berkembang. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat
dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi yang berkembang di negara atau
daerah tersebut.
1.3 Tujuan
Adapun tujuan kami dalam penulusan paper ini adalah sebagai berikut :
o Mengetahui pengertian dan ciri-ciri modern regionalisme
o Mengetahui bagaimana penerapan desain pada bangunan yang
menganut paham regionalisme
1.4 Manfaat
Adapun manfaat yang didapat adalah sebagai berikut :
o Memberi pemahaman mengenai pengertian dari paham
modernregionalisme
o Dapat mengklasifikasikan penerapan paham Regionalisme pada sebuah
bangunan ataupun pada sebuah desain.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Regionalisme
Regionalisme berasal dari kata Region dan Isme, Region adalah Daerah dan
Isme adalah paham Regionalisme bukan suatu wujud dari sikap kedaerahan
namun muncul sebagai akibat dari koreksi terhadap maraknya penyeragaman
wujud bangunan di seluruh dunia sehingga kita tidak lagi mengenal lagi mana
budaya kita
Sedangkan Regionalisme dalam arsitektur merupakan sutu gerakan dalam
arsitektur yang menganjurkan penampilan bangunan yang merupakan hasil
senyawa dari internasionalisme dengan pola cultural dan teknologi modern
dengan akar, tata nilai dan nuansa tradisi yang masih di anut oleh masyarakat
setempat.
2.2 Karakteristik/Ciri-ciri
Adapun ciri – ciri daripada arsitektur regionalis adalah sebagai berikut :
o Menggunakan bahan bangunan local dengan teknologi modern
o Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat
o Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat
o Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/ style sebagai produk
akhir. kemunculannya juga bukan merupakan ledakan daripada sikap
emosional sebagai respon dari ketidak berhasilan dari arsitektur modern
dalam memenuhi keinginan masing – masing individu di dunia, akan
tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi terhadap kesalahan –
kesalahan pada masa arsitektur modern.
Menurut Wondoamiseno, untuk dapat menyatakan bahwa AML menyatu di dalam AMK, maka
AML dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity). Kesatuan yang dimaksud
adalah kesatuan dalam komposisi arsitektur. Kesatuan itu tidak hanya visual tetapi juga bisa
dalam kualitas abstrak, yang dapat dinilai dari respons manusia terhadap bangunan. Yaitu
bagaimana reaksi manusia baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek
bangunan. Untuk mendapatkan kesatuan dalam komposisi arsitektur ada tiga syarat utama yaitu
adanya :
a. Dominan (dominasi)
Sesuatu yang dominan yaitu ada salah satu unsur visual yang menguasai keseluruhan
komposisi. Dominasi dapat dicapai dengan penggunaann warna, material, maupun obyek-
obyek pembentuk komposisi itu sendiri.
b.Pengulangan
Pengulangan di dalam komposisi dapat dilakukan dengan mengulang bentuk, warna, tekstur,
maupun proporsi. Didalam pengulangan dapat dilakukan dengan berbagai irama atau repetisi
agar tidak terjadi kesenadaan (monotone).
c. Kesinambungan dalam komposisi
Kesinambungan atau kemenerusan adalah adanya garis penghubung maya (imaginer) yang
menghubungkan perletakan obyek-obyek pembentuk komposisi.
Tempelan unsur arsitektur lama ke bangunan moderen (desain arsitektur moderen dan tradisi)Tahun 1968 sebelum
di rubah seperti keadaan sekarang, gambar bawah adalah kantor Gubernur Sumatera Barat (keadaan sekarang),
beberapa jendela mulai ditutup (Sumber: penulis: 1980)
Jam gadang Bukittinggi, Dahulunya puncak jam gadang dirancang dengan membuat patung ayam berkokok,
setelah kemerdekaan kemudian di ganti dengan gonjong. Bangunan-bangunan seperti ini sering di kritik dengan
“orang Barat berkopiah”. Aspek tempelan yang paling menonjol pada bangunan moderen adalah “gonjong cula
badak”, bentuk ini secara latah dipakai pada supermarket, kantor dsb. Gambar kiri atas jam gadang seabad yang
lalu, kanan adalah jam gadang sekarang.
2. Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK
Elemen fisik AML akan dapat menyatu dengan AMK apabila sejak awal bangunan itu
dirancang, dengan menafsirkan bentuk-bentuk AML. Hal ini terlihat misalnya pada bangunan
Hotel Bumi Minang di kota Padang. Namun tetap ada masalah sebab model bangunan tradisi
yang diterapkan adalah yang berasal di daerah (bagian 1.5). Hal ini dapat dipahami sebab tiap
daerah di Minangkabau dahulunya memiliki ciri khas tersendiri, yang kadang-kadang tidak
mewakili keseluruhan daerah di Minangkabau.
Tempelan usnur arsitektur masa lmpau (AML) menyatu ke bangunan masa kini ( dibangun pada zaman kolonial)
bahan bangunan maupun dekorasinya menunjukkan bangunan jaman kolonial,kemudian elemen bentuk atap dari
arsitektur lama di tempelkan , sekarang bangunan ini memiliki dua menara pada kedua sudut kiri dan kanan. (
Mesjid di Padang Ganting, kota Padang). (Sumber: museum, Aditiawarman, Padang)
Transformasi bentuk arsitektur regional (kasus Minangkabau) sebenarnya sudah berlangsung sejak jaman kolonial
contoh bangunan mesjid di Sungai Puar Bukittinggi, dan beberapa tempat lainnya di Sumatera Barat
memperlihatkan hal itu. (Sumber: Museum, Aditiawarman , Padang)
Lintasan perkembangan bangunan tradisi Minangkabau. Bangunan tradisi itu pada awalnya sangat sederhana,
kemudian muncul bangunan tradisi elit lokal (kerajaan) dan elit kolonial (petinggi di jaman kolonial), seperti
bangunan beranjung. Bangunan tipe ini banyak yang menjadi contoh bangunan tradisional moderen, pada hal jenis
bangunan ini bukan yang dipakai oleh kebanyakan masyarakat di nagari-nagari di Minangkabau. Misalnya,
museum, kantor gubernur, kantor rektorat UNP Padang (lama) mengimitasi bangunan tradisi elite yang dimaksud
(sumber: Couto, 2008). Keterangan lebih lengkap baca buku : Budaya visual tradisi Minangkabau, kar.Nasbahry
Couto (2008), terbitan UNP Press.
http://visualheritageblog.blogspot.co.id/2011/04/masalah-regionalisme-dalam-
desain.html
Karya arsitektur dapat meningkatkan persepsi (kesan) tentang tempat, bentuk dan atau budaya. Sebab,
melalui karya arsitektur dapat diekspresikan identitas budaya bangsa atau sub kultur. Karenanya,
arsitektur itu penting untuk menunjukkan keberadaan komunitas, bangsa atau etnik, budaya lokal, atau
tradisi setempat. Umumnya kesan seperti ini dicari oleh pengunjung yang datang ke sebuah tempat
tertentu di dunia. Dia akan bertanya “dimana ini?”, apa keunikannya dan seterusnya. Indonesia memang
kaya dengan arsitektur lokal yang berbahan kayu, hal ini dapat dilihat dari karya-karya arsitektur lokal
di Indonesia. Sedangkan pengembangan mutunya ditentukan oleh standar konstruksi dan keputusan
untuk pengembangan bentuk keunikannya. Dari beberapa penelitian dan juga pembahasan tentang
arsitektur lokal, ternyata arsitektur khas itu dapat diekspresikan bukan hanya dari atap atau kulit luar
bangunan. Banyak pilihan lain untuk mengekspresikan suasana lokal itu. Misalnya, melalui suasana
lingkungan lokal, perkembangan gaya lokal yang banyak ragamnya itu, elemen-elemen bangunan, atau
melalui prinsip eklektik dengan mengambil unsur-unsur yang dianggap penting dari unsur bangunan
tradisi lokal. Regionalisme dalam arsitektur itu banyak pilihan. Ungkapan regionalisme itu seyogyanya
berkembang dalam berbagai jalur. Oleh sebab itu taksonomi regionalisme arsitektur harus dipahami
guna untuk merancang bentuk arsitektur lokal itu.Tulisan ini mencoba untuk mengkaji kecendrungan
arsitektur di Sumatera Barat yang mengikuti dua jalur, yaitu (1) yang berorientasi ke masa lampau, dan
(2) yang berorientasi ke masa kini. Dalam hal ini terlihat bahwa, pelaku arsitektur regionalisme sangat
berperan dalam meujudkan arsitektur regional itu. Pelaku itu baik perancang, pengambil keputusan,
pembangun (steakholder), masyarakat, adalah kekuatan yang mengarahkan, merekayasa, dan
melestarikan arsitektur lokal itu, dan atau sebaliknya justru merusak kesan yang ingin disampaikan
melalui ungkapan arsitektur region itu.
A. Pendahuluan
Arsitektur adalah suatu bidang seni-sosial (Anderson, Lawren B.,2002), sebab pengembangannya tidak
semata oleh individu, tetapi oleh masyarakat. Hal ini menonjol sekali terlihat dari contoh-contoh praktik
arsitektur baik di Sumatera Barat, maupun Indonesia, dimana peran masyarakat menonjol dalam
menentukan bentuk-bentuk arsitektur. Hal ini dapat berbeda dengan arsitektur yang dikembangkan
semata oleh kekuatan ekonomi kapitalis. Dimana peran sosial direduksi oleh kekuatan-kekuatan
individu perancang liwat perusahaan besar atau multi-nasional. Model yang terakhir ini dapat saja
terjadi di Indonesia. Dimana steakholder dari luar komunitas juga berperan dalam merancang dan
mentukan arsitektur regional. Namun sebelum membahas hal ini timbul pertanyaan, apakah arsitektur
regional itu, apa perbedaannya dengan arsitektur post-moderen, atau apakah bedanya dengan arsitektur
tradisional. Dan bagaimanakah sebenarnya kiprah arsitektur tradisi-moderen di Sumatera Barat. Untuk
menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah, sebab tidak adanya data yang cukup dan menganalisis
untuk melihat bagaimana arsitektur lokal ini menyambung kepada tradisi arsitektur moderen atau yang
sering di katakan sebagai arsitektur moderen yang sifatnya universal. Keunikan arsitektur lokal yang
diangkat menjadi arsitektur moderen memang penting sebab dia berguna untuk memperlihatkan daya
tarik arsitektur berbadasarkan budaya visual lokal.
Menurut (Dharma, 2009), sumber untuk mengembangkan sifat-sifat khas dalam arsitektur lokal di
Indonesia dapat dicari pada budaya visual suku-suku bangsa di daerah atau Indonesia. Sedangkan
pengembangan mutu ditentukan oleh standar ilmu arsitektur. Josef Prijotomo (1988) menyatakan bahwa
suatu karya arsitektur dapat dirasakan dan dilihat sebagai karya yang bercorak lokal atau Indonesia bila
karya ini mampu untuk berikut ini.
1. Membangkitkan perasaan dan suasana ke-Indonesiaan lewat rasa dan suasana lingkungan
visual
2. Menampilkan unsur dan komponen arsitektural yang nyata-nyata nampak
corak kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan saja.
Perbincangan tentang arsitektur tidak dapat dilepaskan dari perbincangan dua kutub arsitektur yaitu
Arsitektur masa lampau (lama) dan Arsitektur masa kini (baru). Arsitektur masa lampau diwakili oleh
arsitektur vernakular, tradisional, maupun klasik. Arsitektur masa kini diwakili oleh arsitektur modern,
post-modern, dan lain-lainnya.
1. Arsitektur Moderen
Munculnya arsitektur modern (baru) yaitu saat adanya usaha untuk mencari hal-hal yang (inovatif,
kreatif) dan tidak lagi untuk mengulangi karya arsitektur masa lampau. Tetapi ada saatnya, dalam
perkembangan arsitektur modern itu timbul usaha untuk mempertautkan antara yang lama dan yang
baru akibat adanya krisis identitas pada arsitektur moderen. Salah satu sebabnya, gaya arsitektur
moderen itu (international style) umumnya mirip dimana-mana, dia kehilangan identitas budaya. Di
New York, Tokyo, Paris dan kota-kota besar dunia umumnya, muncul bangunan bertipe sama.
Pemikiran untuk menolak gaya internasional ini, kemudian menimbulkan beragam konsep arsitektur
seperti tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.
Konsep regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977). Sebagai salah satu
perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian besar pada ciri kedaerahan. Aliran
pemikiran ini tumbuh terutama di negara berkembang. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat
dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985).
Konsep dan prinsip tradisionalisme dalam arsitektur timbul sebagai reaksi terhadap terputusnya
kesinambungan antara arsitektur yang lama dan yang baru. Gagasan regionalisme merupakan peleburan
antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985). Sedangkan gagasan postmodern dalam arsitektur
berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal (Jenks, 1977).
Menurut William Curtis, Regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan yang bersifat abadi,
melebur atau menyatu antara yang lama dan yang baru, antara regional dan universal. Kenzo Tange
menjelaskan bahwa Regionalisme selalu melihat ke belakang, tetapi tidak sekedar menggunakan
karakteristik regional untuk mendekorasi visualisasi bangunan. Jadi dapat dikatakan bahwa arsitektur
tradisional itu termasuk ke dalam lingkup konsep arsitektur regional. Sedangkan arsitektur modern
masuk dalam lingkup konsep arsitektur yang sifatnya universal. Dengan demikian maka yang menjadi
ciri utama regionalisme adalah menyatunya arsitektur tadisional dan arsitektur modern.
2. Taksonomi Regionalisme
Untuk membahas konsep arsitektur region, kita dapat melihat pemikiran Suha Ozkan yang membagi
Regionalisme menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut ini.
1. Concrete Regionalism
Regionalisme kongkrit atau yang nyata, adalah semua pendekatan kepada ekspresi arsitektur regional,
kepada bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan di daerah tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi
sarat dengan nilai spiritual maupun simbolisasi yang cocok dengan kultur lokal. Bentuknya baru
bangunan tersebut akan diterima, dengan mengeskpresikan nilai-nilai lokalnya.
2. Abstract Regionalism
Hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur kwalitas abstrak bangunan, misalnya massa
bangunan, solid dan void, proporsi, sense of space, pencahayaan, dan prinsip-¬prinsip struktur
arsitektur lokal yang telah diolah kembali dalam bentuk baru. Yang terpenting dari arsitektur
regionalisme, adalah cara berpikir tentang arsitektur yang tidaklah berjalur tunggal tetapi menyebar
kepada berbagai jalur, seperti yang diperlihatkan pada taksonomi regionalisme sebagai berikut ini.
Gagasan arsitektur regional bisa berasal dari derivatif, yaitu sekedar mengkopi bangunan yang asli
tetapi tidak sesuai orisinal yang oleh Broadbent dikatakan sebagai hasil tipologi desain. Kemungkinan
lain adalah gagasan transformatif (perubahan bentuk).
Pola derivatif
Desainer yang bekerja dengan pola derivatif, sebenarnya meniru atau memelihara bentuk arsitektur
tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru atau moderen. Dalam hal ini kita melihat tiga
kecendrungan
Bangunan legislatif pemerintah Karnataka di Bangalore, India Selatan (1954) yang mengambil gaya Dravida
baru, dapat dianggap sebagai pola derivatif-tipologis
Pola transformatif
Gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi sekedar meniru bangunan lama.
Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik tolak ekspresi bangunan lama baik yang
visual maupun abstrak.
Gagasan arsitekur yang bersifat visual dapat dilihat dari usaha pengambilan elemen-elemen bangunan
lama yang yang dianggap baik, menonjol atau ekspresif untuk di ungkapkan kepada bangunan baru.
Pemilihan elemen yang dianggap baik ini disebut eklektik. Kemudian pastiche, atau mencampur-
baurkan beberapa elemen bangunan baik moderen maupun tradisional, beberapa diantara desain
bangunan seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian. Sedangkan reinterpretatif, adalah
menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam versi baru.
Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di kritik oleh arsitek Jepang Kenzo
Tange, yang hanya akan melahirkan monster-monster arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal
bahwa, pola transformasi adalah salah satu cara untuk menciptakan arsitektur moderen yang dapat
merangsang kreativitas arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan moderen, tetapi masih
memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari masa silam. Secara umum, pola transformasi dapat
diartikan perubahan bentuk lama ke bentuk baru
Portland Building.Pencarian bentuk baru melalui sketsa oleh Michael Grafes untuk gedung Portland
building, 1983, di Oregon USA, yang dianggap sebagai monumen bangunan Posmoderen.
http://visualheritageblog.blogspot.co.id/2011/04/5masalah-regionalisme-dalam-desain.html
5. Peran Masyarakat
Peran masyarakat untuk memelihara arsitektur regionalisme dapat dilihat dalam dua periode.
Periode 1) adalah sejak tahun 65-an, dimana Pemda Sumatera Barat berusaha untuk
mengonjongkan bangunan –bangunan moderen di kota –kota Sumatera Barat. Akibat nya
terjadilah tempelan-tempelan yang tidak perlu pada bangunan moderen yang justru merusak
karakter bentuk AMK. Periode 2) berlangsung sejak tahun 80-an, yaitu sejak diadakannya
MTQ ke 13 di kota Padang. Dimana para arsitek yang berperan untuk mendesain bangunan
tidak lagi di bawah komando politik Pemda, tetapi berusaha untuk mengadakan penelitian,
mencari akar arsitektur lokal (sisa-sisa eksperimen bangunan AML ke AMK dapat dilihat pada
bangunan Mesjid Muhamadiyah dan GOR Haji Salim di Kota Padang), yang di prakarsai oleh
Ir.Ismed Darwis (Alm.)
Bangunan Mesjid Raya (baru) di jalan khatib Sulaiman yang mengambil unsur atap sebagai badan bangunan
mesjid ( usaha untuk mendamaikan unsu adat dengan agama?) sebab bangunan asli tradisi mesjid bukanlah seperti
ini. Dapat dilihat dari gambar di bawah.
Lukisan tentang mesjid di pinggir danau singkarak oleh pelukis Belanda : L. J. (Leo) Eland 1884-1952. Dilukis
pada abad ke 19. Ciri bangunan mesjid asli ini mulai menghilang. Sumber. http://www.geheugenvannederland.nl
Peran arsitek lokal dalam arsitektur regional umumnya kecil dibandingkan dengan peran
arsitek yang berasal dari luar komunitas. Hal ini dapat dipahami karena bangunan-bangunan
AMK yang mengandung AML yang di bangun di perkotaan di rancang oleh desainer dari luar
komunitas.
D. Simpulan
Sampai saat sekarang bagaimana ujud arsitektur lokal itu masih dalam wacana diskursus, antara
lain wacana tentang mana arsitektur bentuk asli dan mana yang bentuk transformasi. Sebab
dalam perjalanan arsitektur lokal itu yang muncul adalah model-model bangunan (beberapa
model), diantaranya adalah bangunan beranjung, dianggap sebagai model bangunan tradisi
Minangkabau yang unggul dalam bentuknya. Namun dari penelitian, membuktikanbahwa
jenis dan bentuk bangunan seperti ini adalah bangunan khusus, jadi bukan bangunan yang ada
pada masyarakat Minangkabau. Apa yang terjadi di Sumatera Barat, mungkin sama dengan
yang di tempat lain. Dalam hal ini kita dapat mengaca apa yang diungkapkan oleh Kenzo Tange
(arsitek Jepang), bahwa selagi format arsitektur moderen-tradisional itu disuatu tempat belum
ditemukan, yang muncul hanyalah karya eksperimen, atau dengan perkataan yang lebih tajam
lagi, yaitu karya monster-monster arsitektur.
Khusus mengenai transformasi arsitektur regional (minangkabau), dapat dipastikan bahwa hal
ini tidak hanya terjadi pada jaman setelah kemerdekaan, tetapi sudah berlangsung sejak jaman
kolonial (gambar mesjid Sei.Puar, Bukittinggi)
Yang menjadi masalah adalah bagaimana membangun moderen tetapi mencerminkan
arsitektur regional (khusus daerah Sumatera Barat). Salah satu masalah adalah, tempelan unsur
AML jelas dapat merusak AMK, bukannya menyatu tetapi sangat kontras sebagai sebuah
tempelan AML yang berbahan dan ukiran kayu ke bangunan AMK yang berbahan beton dan
bertingkat.
Masalah lain dalam penerapan bangunan regionalisme ini adalah jika terdapat beberapa
bangunan bergonjong yang sangat berbeda-beda karakternya di suatu lokasi ( kelompok
bangunan). Yang terjadi adalah semacam pameran model bangunan lokal. Hal ini dapat di lihat
di sepanjang jalan Khatib Sulaiman di Padang. Dapat dikatakan sepanjang jalan ini tidak ada
pengaturan bentuk bangunan baik untuk tujuan AMK maupun AML atau perpaduan antara
keduanya.Hal yang sama dapat terjadi di beberapa kota di Sumatera Barat, dimana karakter
tradisionalnya hanya merupakan tempelan AML ke AMK.
Usaha untuk mempertahankan ciri arsitektur regional, sering membawa akibat tidak teraturnya
kesan bangunan. Bagunan bergonjong pada Pasar Raya Padang ini adalah contoh bahwa
bentuk-bentuk gonjong tidak selalu cocok dalam kelompok bangunan dan tidak serasi dengan
bangunan-bangunan umum lainnya. (sumber, Couto, 2008)
Dapat dikatakan arsitektur regionalisme itu perlu ditertibkan penerapannya kembali apakah
melalui sebuah peraturan atau kajian akademis, yang tidak hanya melibatkan para arsitek tetapi
juga berbagai ahli lain seperti bidang seni visual, seni rupa dan kriya. Diantara yang menjadi
masalah adalah jika sebuah bangunan bercorak bangunan regionalisme telah di bangun di suatu
tempat, bagaimana desain bentuk bangunan di sekitarnya harus di desain ? Bagaimanakah
penerapan unsur ornamen tradisi yang asli ? Bagaimanakah pemberian warna yang
mengekpersikan arsitektur lokal, dan sebagainya yang berhubungan dengan regionalisme
dalam. Jka hal ini tuntas setidaknya akan mengurangi praktek asal tempel untuk
mengekspresikan arsitektur regional.
Kepustakaan
https://prestylarasati.wordpress.com/2009/02/02/regionalisme-dalam-arsitektur/
Saat kita mencari arti kata Regionalisme kita akan membuat asumsi dengan menyebut Region
dan Isme, Region adalah Daerah dan Isme adalah paham. memang tidak salah, namun kurang
tepat. Regionalisme bukan suatu wujud dari sikap kedaerahan namun muncul sebagai akibat
dari koreksi terhadap maraknya penyeragaman wujud bangunan di seluruh dunia sehingga kita
tidak lagi mengenal lagi mana budaya kita, dan mana budaya tetangga kita. artinya kita tidak
mengenal lagi mana budaya asli daerah/ Negara kita dengan Daerah/ Negara lain. akibatnya
banyak sekali salah kaprah dalam menentukan/ memutuskan segala sesuatu dalam
membangun. seperti desain bangunan, bahan bangunan, pola – pola ruang,dsb. mereka tinggal
dalam kotak – kotak dari beton dengan atas nama modern, efisiensi, efisiensi,dll, dan toh
akhirnya kembali mencoba mendefinisikan kembali arti makna ideruang, bentuk,dsb yang
kemudian mencoba melahirkan satu misi baru dalam berarsitektur, yakni yang disebut dengan
arsitektur Regionalis/ regionalisme dalam arsitektur.
Regionalisme dalam arsitektur merupakan sutu gerakan dalam arsitektur yang menganjurkan
penampilan bangunan yang merupakan hasil senyawa dari internasionalisme dengan pola
cultural dan teknologi modern dengan akar, tata nilai dan nuansa tradisi yang masih di anut
oleh masyarakat setempat.
Karakteristik/ Ciri-ciri
kemunculannya juga bukan merupakan ledakan daripada sikap emosional sebagai respon dari
ketidak berhasilan dari arsitektur modern dalam memenuhi keinginan masing – masing
individu di dunia, akan tetapi lebih pada proses pencerahan dan evaluasi terhadap kesalahan –
kesalahan pada masa arsitektur modern.
Maksud dan tujuan daripada regionalisme dalam arsitektur ini adalah untuk menciptakan
arsitektur yang kontekstual yang tanggap terhadap kondisi lokal.
Setiap tempat dan ruang tertentu memiliki potensi fisik, sosial, dan ekonomi dan secara kultur
memiliki batas – batas arsitektral maupun sejarah.
Dengan demikian arsitektur regionalis seperti halnya arsitektur tropis, senantiasa mengacu
pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat.
Regionalisme dalam ini mempunyai suatu misi yakni mengembalikan benang merah, suatu
kesinambungan masa dahulu dengan masa sekarang dan masa sekarang dengan masa yang
akan datang melalui kekhasan budaya yang dimiliki serta untuk mengimbangi dari kerusakan
budaya akibat dari berbagai macam kekuatan sistem produksi baik rasionalisme, birokrasi,
pengembangan skala besar maupun internasional style (Andy Siswanto,Ir., Msc. M. Arch dan
Eko Budiharja, Prof. Ir., Msc., 1997, 130)
Adapun sasaran daripada Arsitektur Regionalis ini adalah Masayarakat, Para Aktor
Pembangun Arsitektur dan Perkotaan baik swasta maupun aparat birokrasi pemerintah.
Sebesar apapun gerakan regionalisme tetap saja, stake holder dalam hal ini pemerintah
merupakan penentu kebijakan tertinggi. oleh sebab itulah perlu usaha upaya guna
menyamakan persepsi bersama antara aktor pembangun swasta maupun birokrasi
pemerintah sehingga tercipkan suatu persamaan gerak dan pacuan dalam memboomingkan
gagasan regionalisme ini.
Tim jati diri merupakan tim yang memiliki kompetensi kerja dan wawasan yang cukup tinggi
di harapkan mampu memberikan arahan yang tepat dalam proses gerakan Arsitektur
Regionalisme ini
Gerakan Regionalisme ini di tujukan selain berbicara pada tataran aspek konseptual yang
berhubungan engan aspek budaya setempat, desain bangunan, simbolisasi, ornamen, dsb
juga berbicara pada tataran upaya dan strategi guna membuat bangunan ini bertahan
sepanjang kurun waktu tertentu sehingga dapat menjadi contoh pada masa mendatang.
Hal ini bisa dilakukan dengan memilih bahan – bahan bangunan yang tanggap terhadap
kondisi iklim lokal daerah yang berbeda – beda antara satu dengan yang lain, pengatasan
desain bangunan dan teknologi yang di pakai serta kondisi kenyaman ruang dan bangunan
sehingga selain awet juga tidak terjadi disfungsi kegiatan di dalamnya bahkan ditinggalkan
oleh penghuninya.
Gerakan Regionalisme pada bangunan ini merupakan supaya upaya bagaimana suatu
bangunan dapat dimaknai bukan saat dimana bangunan itu di buat/ kontemporer akan tetapi
bagaimana bangunan itu dapat dimaknai keberadaannya dan tetap kontekstual sampai
kapanpun. bagaimana upaya yang dilakukan? yakni dengan memasukkan unsur sejarah yang
memberikan makna monumental di dalamnya, dimana hal ini adalah unsur yang mampu
membangkitkan semangat serta kesadaran identitas daerahnya, dengan dipadukan dengan
gaya internasional dan teknologi modern yang mampu memberikan makna serta nilai – nilai
universal dan rasional, hal ini adalah unsur yang mampu memberikan gairah kesepahaman
universal dan persamaan budaya internasional.
Menurut Andy Siswanto, “dalam melihat definisi dari kritikus Kenneth Frampton dalam jurnal
Perspecta, Yale University (20 -11-1982) mengandung pengertian bahwa Ekspresi
rehioanlisme di tunjang oleh taraf kemakmuran yang memadai atau dengan kata lain, di
butuhkan biaya yang tinggi karena di tunjang dengan tekanik yang modern”.
Artinya bahwa dalam membangun pola – pola gerakan regionalisme dalam bangunan ini
mempunyai konsekuensi pada besarnya anggaran yang di keluarkan guna memenuhi aspek –
aspek/ syarat – syarat yang harus di penuhi dalam membangun bangunan yang memuat ciri –
ciri regionalis ini seperti dalam pemilihan bahan bangunan, teknik yang di pakai, desain
bangunan yang tidak hanya asal – asalan, namun di dasarkan pada sebuah sikap penuh
idealisme serta dapat di pertanggung jawabkan.
Kita bisa melihat di sekeliling kita, bahwa bangunan yang kemudian di sebut sebagai bangunan
yang memuat aspek – aspek regionalisme adalah bangunan – bangunan dengan bahan serta
teknik modern yang beratapkan joglo atau limasan, jadi seolah – seolah penggolongan
bangunan ini hanya di dasarkan pada bentuk luar bangunan serta ragam budaya tradisional
yang di tawarkan dan telah dimilki oleh masyarakat sebelumnya.
Menurut Eko Budiharjo(1997), arus regionalisme di Indonesia seolah masih tergantung pada
vernakularisme. gerakan regionalisme di Indonesia juga masih cenderung hanya meniru bentuk
fisik, ragam dan gaya – gaya tradisional yang sudah di miliki oleh masyarakat setempat.