Gigit Ular PDF
Gigit Ular PDF
ABSTRAK
Gigitan ular berbisa dan kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan
publik yang penting pada daerah pedesaan. Diperkirakan setidaknya 421.000 kasus
envenomasi (injeksi bisa terhadap korban melalui sengatan/ gigitan oleh hewan berbisa) dan
20.000 kematian timbul setiap tahunnya di seluruh dunia akibat gigitan ular. Korban gigitan
yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal, dan sekuele
psikologis. Di Indonesia jenis famili ular berbisa dibagi dua yaitu Flavipiridae dan Elapidae.
Untuk negara-negara di Asia Tenggara, WHO memberikan perhatian-perhatian khusus yang
membagi atas dua kategori yaitu kategori 1 untuk kepentingan medis tertinggi dan kategori 2
untuk kepentingan medis sekunder. Tulisan ini dibuat untuk membahas patofisiologi,
diagnosis dan penatalaksanaan gigitan ular berbisa.
I. PENDAHULUAN
Ular berbisa dapat dijumpai di seluruh belahan dunia, kecuali pada beberapa
pulau, lingkungan dingin, dan terletak tinggi dari permukaan laut. Gigitan ular berbisa dan
kematian yang diakibatkan merupakan masalah kesehatan publik yang penting pada daerah
pedesaan. Populasi pada daerah ini memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi karena
akses pelayanan kesehatan yang buruk, yang seringkali suboptimal dan pada beberapa
keadaan, kelangkaan antivenom, yang merupakan satu-satunya pengobatan spesifik. Korban
gigitan yang selamat mengalami sekuele fisik permanen akibat nekrosis jaringan lokal, dan
sekuele psikologis. Karena kebanyakan korban gigitan ular masih muda, maka pengaruh
terhadap ekonomi karena disabilitas mereka perlu dipertimbangkan. Disamping besarnya efek
terhadap populasi, gigitan ular tidak mendapat perhatian yang cukup dari pelayanan
kesehatan nasional dan internasional, dan dapat dikategorisasi sebagai penyakit tropikal yang
terabaikan (Kasturiratne et al. 2008).
1
Gigitan Ular Berbisa
II. PEMBAHASAN
EPIDEMIOLOGI
Gambar 1. Perkiraan envenomasi gigitan ular pada 2007 berdasarkan regional (Kasturiratne et al. 2008).
2
Gigitan Ular Berbisa
Gambar 2. Perkiraan kematian akibat gigitan ular berdasarkan regional (Kasturiratne et al. 2008).
Epidemiologi gigitan ular di Asia Tenggara tidak diteliti secara adekuat dan data yang
dipublikasi, kebanyakan secara eksklusif berdasarkan laporan rumah sakit kepada
Kementerian Kesehatan, seringkali kurang dapat dipercaya dan menyebabkan kesalahan data.
Masalah mendasar yang dijumpai pada kebanyakan regional Asia adalah pengobatan gigitan
ular masih menganut paham tradisional dan herbal, maka sebagian besar korban gigitan ular
tidak tercatat pada rumah sakit (Warrell 2010).
- Kategori 1: Kepentingan medis tertinggi: Ular yang sangat berbisa yang sering atau
tersebar luas dan menyebabkan banyak kasus gigitan, menimbulkan tingginya
tingkat morbiditas, disabilitas, dan mortalitas.
- Kategori 2: Kepentingan medis sekunder: Ular yang sangat berbisa yang dapat
menyebabkan morbiditas, disabilitas, atau mortalitas, tetapi (a) kekurangan data
epidemiologis dan klinis yang pasti atau (b) lebih jarang berpengaruh karena sifat
alamiahnya, pilihan habitat atau dijumpai pada area yang jauh dari populasi besar
manusia (Warrell 2010).
3
Gigitan Ular Berbisa
Beberapa jenis ular berdasarkan kategori WHO yang dapat dijumpai di Indonesia
(Warrell 2010):
- Daerah Sumatera, Jawa, Borneo, Sulawesi dan sebagian pulau-pulau Sunda tetapi terletak di
barat garis Wallace:
-Elapidae: Bungarus candidus (Sumatera dan Jawa), Naja sputatrix (Jawa dan
sebagian pulau-pulau Sunda), Naja sumatrana (Sumatera dan Borneo).
Kategori 1
-Viperidae: Calloselasma rhodostoma (Jawa), Cryptelytrops albolabris, Daboia
siamensis.
-Elapidae: Bungarus fasciatus, Bungarus flaviceps (Sumatera dan Borneo),
Calliophis bivirgatus, Ophiophagus Hannah (Sumatera, Borneo dan Jawa).
Kategori 2
-Viperidae: Cryptelytrops insularis, Cryptelytrops purpureomaculatus
(Sumatera).
- Daerah timur garis Wallace seperti Papua Barat dan Maluku:
Kategori 1 -Elapidae: Acanthophis laevis
-Elapidae: Acanthophis rugosus, Micropechis ikaheka, Oxyuranus scutellatus,
Kategori 2
Pseudechis papuanus, Pseudechis rossignolii, Psudonaja textilis.
KLASIFIKASI
Sekitar 15% dari 3.000 spesies ular yang dijumpai di seluruh dunia dipertimbangkan
berbahaya bagi manusia. Ular berbisa yang dapat dijumpai di dunia dapat dilihat ada tabel 1
(Gold, Dart & Barish 2002).
Tabel 1. Ular berbisa yang biasa dijumpai di dunia (Gold, Dart & Barish 2002)
4
Gigitan Ular Berbisa
Diagnosis definitif keracunan bisa ular memerlukan identifikasi dari jenis ular dan
manifestasi klinis envenomasi. Pada penilaian laporan gigitan dari ular berbisa, harus
dibedakan gigitan dari ular yang tidak berbisa atau hewan lain. Perbandingan ular berbisa dan
ular tidak berbisa dapat terlihat pada gambar 3 berikut (Gold, Dart & Barish 2002).
Gambar 3. Perbandingan ular berbisa dan tidak berbisa di Amerika Serikat (Gold, Dart & Barish 2002).
WHO mengklasifikasi ular berbisa yang penting secara medis pada regional Asia
tenggara yaitu dijumpai tiga famili ular berbisa pada Asia Tenggara (Elapidae, Viperidae, dan
Colubridae) (Warrell 2010):
- Elapidae: memiliki gigi taring pendek di depan (proteroglyph). Famili ini meliputi kobra,
raja kobra, kraits, ular koral, ular Australia dan ular laut. Elapidae secara relatif merupakan
ular yang cukup panjang, kurus, memiliki warna seragam dengan sisik simetrikal besar halus
pada puncak kepala. Beberapa kobra, meninggikan bagian depan tubuhnya dari tanah dan
melebar dan merata dari leher untuk membentuk kerudung. Beberapa spesies kobra dapat
meludahkan bisanya hingga 1 meter atau lebih terhadap mata korbannya. Ular laut berbisa
memiliki ekor yang lebar seperti padel dan skala ventral mengecil atau hilang.
5
Gigitan Ular Berbisa
- Viperidae: memiliki gigi taring yang cukup panjang (solenogyph) yang secara normal
terlipat rata terhadap rahang atas, tetapi saat menyerang akan menjadi tegang. Ada dijumpai
dua subfamili, viper tipikal (Viperinae) dan viper pit (Crotalinae). Crotalinae memiliki organ
khusus untuk mendeteksi korban berdarah panas yang terletak diantara hidung dan mata.
Viperidae merupakan ular yang relatif pendek, bertubuh tebal dengan banyak sisik kasar pada
puncak kepala dan pola warna yang khas pada permukaan dorsal tubuh.
- Colubridae: dua spesies penting yang telah diidentifikasi pada regional Asia Tenggara
adalah Rhabdophis subminiatus berleher merah dan Rhabdophis triginus. Piton besar
(Boidae), merupakan Python reticularis di Indonesia, pernah dilaporkan menyerang dan
menelan manusia, yang biasanya petani.
Komposisi bisa ular 90% terdiri dari protein. Masing-masing bisa memiliki lebih dari
ratusan protein berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa viperidae dan 25-70% bisa elapidae),
toksin polipeptida non-enzimatik, dan protein non-toksik, seperti faktor pertumbuhan saraf.
Enzim pada bisa ular meliputi hidrolase digestif, hialuronidase, dan aktivator atau inaktivator
proses fisiologis, seperti kininogenase. Sebagian besar bisa mengandung L-asam amino
oksidase, fosfomono- dan diesterase, 5`-nukleotidase, DNAase, NAD-nukleosidase,
fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell 2010).
Tabel 2. Protein pada bisa ular yang mempengaruhi sistem hemostasis (Sajevic, Leonardi & Krizaj 2011)
6
Gigitan Ular Berbisa
Envenomasi gigitan ular pada manusia memiliki banyak efek potensial, namun hanya
beberapa kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu: (1) flasid paralisis; (2)
miolisis sistemik; (3) koagulopati dan perdarahan; (4) kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
kardiotoksisitas; (6) kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan (White 2005).
Gambar 4. Representasi diagramatik mekanisme dasar bisa ular berinteraksi dengan hemostasis (White 2005).
7
Gigitan Ular Berbisa
Tabel 3. Ular dengan komponen bisa yang mempengaruhi platelet (White 2005)
Beberapa korban yang digigit oleh ular (atau dicurigai digigit) dapat mengalami
simptom dan gejala yang khas, bahkan saat tidak ada bisa yang diinjeksi. Hal ini diakibatkan
dari ketakutan yang tidak dipahami dari konsekuensi gigitan ular berbisa. Korban cemas
dapat hiperventilasi sehingga mengalami sensasi kebas dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas,
spasme tangan dan kaki, dan pusing. Korban lainnya dapat mengalami syok vasovagal setelah
gigitan, dengan kolaps disertai penurunan denyut jantung yang berat. Tampilan klinis korban
gigitan ular bervariasi sesuai umur dan ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan lokasi gigitan,
dan kuantitas dan toksisitas bisa. Morbiditas dan mortalitas bergantung pada umur dan
ukuran tubuh korban, disertai kondisi komorbiditas (Ahmed et al. 2008).
8
Gigitan Ular Berbisa
Tabel 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi keparahan dan hasil akhir gigitan ular (Ahmed et al. 2008)
Tabel 5. Berbagai gigitan ular, dosis fatal, kuantitas bisa diinjeksi, dan waktu mematikan (Ahmed et al. 2008).
Dosis fatal Dosis rerata Periode rerata
Ular LD50
pada manusia per gigitan mematikan
Kobra India (Naja naja) 0,28 mg/kg 12 mg 60 mg 8 jam
Common krait (Bungarus
0,09 mg/kg 6 mg 20 mg 18 jam
caeruleus)
Viper Russell (Daboia
0,1 mg/kg 15 mg 63 mg 3 hari
russelii)
Viper bersisik gergaji
6,65 mg/kg 8 mg 13-40 mg 41 hari
(Echis carinatus)
9
Gigitan Ular Berbisa
Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan berikut (Ahmed et al. 2008):
1. Ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa.
2. Ekstensi awal yang cepat dari pembengkakan lokal daerah gigitan.
3. Pembesaran awal kelenjar getah bening lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem
limfatik.
4. Simptom sistemik awal.
5. Perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi).
6. Adanya urine berwarna coklat-gelap.
Walaupun dijumpai gambaran klinis diakibatkan oleh bisa dari spesies ular berbeda
yang tumpang tindih, suatu “pendekatan sindrom” yang diklasifikasi WHO dapat berguna,
terutama ketika ular tidak dapat diidentifikasi dan hanya tersedia antivenom monospesifik
(Warrell 2010).
10
Gigitan Ular Berbisa
a. Uji 20 menit pembekuan darah lengkap (20 WBCT): 20 WBCT merupakan pemeriksaan
koagulopati sederhana untuk mendiagnosa envenomasi viper dan menyingkirkan
kemungkinan gigitan elapidae. Pemeriksaan ini memerlukan tabung gelas kering dan
bersih serta belum pernah dicuci dengan detergen, kemudian beberapa milliliter darah
segar vena diambil dan diteteskan pada tabung lalu dibiarkan selama 20 menit; apabila
darah tetap cair setelah 20 menit di tabung, menunjukkan adanya koagulopati dan
mengkonfirmasi pasien telah digigit oleh viper. Kobra atau krait tidak menyebabkan
simptom antihemostatik ini. (Ahmed et al. 2008; Warrell 2010). Akan tetapi terdapat
perbedaan pendapat terhadap manfaat pemeriksaan ini pada beberapa studi. Pada studi
oleh Punguyire et al. tahun 2012 menunjukkan 20 WBCT merupakan metode pemeriksaan
11
Gigitan Ular Berbisa
sederhana yang akurat (sensitivitas 83,3% dan spesifitas 90%) untuk membantu memandu
pengobatan setelah envenomasi ular, namun studi oleh Isbister et al. tahun 2013
menunjukkan 20 WBCT memiliki sensitivitas rendah (40%) untuk mendeteksi koagulopati
pada envenomasi ular dan tidak dapat menjadi patokan pemberian antivenom.
f. Sistem koagulasi darah: PT dan APTT dapat memanjang pada gigitan viper. Fibrinogen
rendah dengan peninfkatan FDP (fibrin degradation product) dapat dijumpai pada
gangguan koagulasi akibat venom (Ahmed et al. 2008).
g. Urinalisis: Warna urine (merah jambu, merah, dan coklat gelap) harus diperhatikan, dan
urine diperiksa dengan dipstik untuk darah atau hemoglobin atau mioglobin. Pemeriksaan
mikroskopis dapat mengkonfirmasi adanya eritrosit di urine (Warrell 2010).
12
Gigitan Ular Berbisa
PENANGANAN
Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah sebagai berikut
(Warrell 2010):
Studi oleh Albert set al. tahun 2004 menunjukkan penggunaan pompa untuk ekstraksi
darah dari luka simulasi gigitan ular berhasil membuang cairan darah, tetapi tidak
membuang bisa, yang menandakan ekstraksi/ penghisapan tidak menjadi pengobatan
efektif untuk mengurangi bisa dalam tubuh setelah gigitan ular berbisa.
13
Gigitan Ular Berbisa
• Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan 20 WBCT, dan pemeriksaan lainnya dapat membantu pada kasus gigitan
ular berbisa.
• Pengobatan antivenom
Antivenom merupakan satu-satunya pengobatan antidotum spesifik terhadap bisa ular.
Keputusan paling penting dalam penanganan gigitan ular adalah perlu atau tidaknya
memberikan antivenom. Dalam hal ini, antivenom hanya diberikan pada pasien dengan
mempertimbangkan manfaat melebihi resikonya, karena antivenom cukup mahal dan sulit
diperoleh dan resiko reaksinya harus turut dipertimbangkan.
Indikasi pemberian antivenom adalah apabila pasien dengan dugaan atau terbukti
gigitan ular mengalami satu atau lebih tanda berikut (Warrell 2010):
Envenomasi sistemik
- Abnormalitas hemostatik: perdarahan sistemik spontaneous (klinis); koagulopati (20
WBCT atau tes lain seperti PT), atau trombositopenia (<100.000) (laboratorium).
- Tanda neurotoksik: ptosis, optalmoplegia eksternal, paralisis (klinis).
- Abnormalitas kardiovaskular: hipotensi, syok, aritmia (klinis); abnormal EKG.
- Gangguan ginjal akut: oliguria/ anuria (klinis); peningkatan kreatinin/ urea darah
(laboratorium).
14
Gigitan Ular Berbisa
- Hemoglobin-/ Mioglobin-uria: urine coklat gelap (klinis), dipstick urine, tanda lain
hemolisis intravaskular atau rhabdomiolisis menyeluruh (nyeri otot, hiperkalemia) (klinis,
laboratorium).
- Tanda-tanda pendukung laboratorium adanya envenomasi sistemik.
Envenomasi lokal
- Pembengkakan lokal meliputi lebih dari setengah tungkai yang tergigit (tanpa tourniquet)
dalam 48 jam pertama. Pembengkakan setelah gigitan pada jari-jari.
- Ekstensi cepat pembengkakan (seperti dibawah pergelangan tangan atau kaki dalam
beberapa jam setelah gigitan pada tangan atau kaki).
- Dijumpai pembesaran kelenjar getah bening yang mendrainase tungkai yang tergigit.
Dosis antivenom yang diberikan pada gigitan ular pada dewasa dan anak-anak adalah
sama, karena ular juga menginjeksikan bisa dengan dosis yang sama. Di Indonesia,
antivenom yang tersedia adalah serum antivenom polivalen (Calloselasma rhodostoma, B
fasciatus, N sputatrix) yang diproduksi oleh Bio Farma dengan sediaan ampul 5 mL. Dosis
awal antivenom yang disarankan dapat diberikan berdasarkan spesies ular.
Adapun pedoman lain dari terapi pemberian antivenom dapat mengacu pada Schwartz
dan Way (Djunaedi 2009):
• Derajat 0 dan I: tidak diperlukan antivenom, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, bila
derajat meningkat maka diberikan antivenom.
• Derajat II: 3-4 vial antivenom
• Derajat III: 5-15 vial antivenom
• Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial antivenom
15
Gigitan Ular Berbisa
16
Gigitan Ular Berbisa
Pada sebagian proporsi pasien, lebih dari 10% mengalami reaksi terhadap pemberian
antivenom yang timbul awal (dalam beberapa jam) atau terlambat (5 hari atau lebih).
Beberapa reaksi terhadap antivenom adalah:
1. Reaksi anafilaksis awal: muncul dalam 10-180 menit setelah pemberian antivenom,
pasien mulai gatal dan urtikaria, batuk kering, demam, nausea, muntah, kolik abdomen,
diare, dan takikardi. Minoritas pasien mengalami anafilaksis berat (hipotensi,
bronkospasme, angioedema).
2. Reaksi pirogenik (endotoksin): muncul dalam 1-2 jam setelah pengobatan, gejala
meliputi kekakuan, demam, vasodilatasi, dan penurunan tekanan darah; reaksi ini
diakibatkan oleh kontaminasi pirogen selama proses produksi antivenom.
3. Reaksi terlambat (tipe serum sickness): muncul dalam 1-12 hari setelah pengobatan,
gejala meliputi demam, nausea, muntah, diare, gatal, urtikaria, atralgia, myalgia,
limfadenopati, pembengkakan periartikular, multipleks mononeuritis, proteinuria
dengan nefritis imun kompleks, dan jarang, ensefalopati. Pasien dengan reaksi awal dan
diobati dengan antihistamin dan kortikosteroid lebih jarang mengalami reaksi terlambat.
17
Gigitan Ular Berbisa
e. Envenomasi neurotoksik pada tipe post-sinaptik (tipe kobra) dapat dijumpai perbaikan
dalam 30 menit setelah antivenom, tetapi biasanya membutuhkan beberapa jam.
Envenomasi dengan toksin presinaptik (krait dan ular laut) tidak berespons.
f. Hemolisis dan rhabdomiolisis aktif dapat berhenti dalam beberapa jam dan urine
kembali menjadi warna normal.
Daerah gigitan dapat membengkak dan nyeri, dan harus ditempatkan dengan posisi
nyaman, tetapi tidak dalam kondisi elevasi berlebihan karena dapat mengurangi tekanan
perfusi arteri pada daerah bengkak yang tegang dan meningkatkan resiko iskemia
intrakompartemen. Kondisi tungkai yang imobile, membengkak tegang, dingin, dan tanpa
denyut dapat merupakan tanda peningkatan tekanan intrakompartemen yang
mengakibatkan iskemia jaringan, yang memerlukan penanganan fasiotomi yang
diindikasikan apabila:
18
Gigitan Ular Berbisa
• Rehabilitasi
III. KESIMPULAN
• Envenomasi gigitan ular memiliki banyak efek potensial, namun hanya beberapa
kategori yang memiliki klinis mayor yang signifikan, yaitu flasid paralisis, miolisis
sistemik, koagulopati dan perdarahan, kerusakan dan gangguan ginjal,
kardiotoksisitas, kerusakan jaringan lokal pada daerah gigitan.
• Petunjuk adanya envenomasi berat oleh gigitan ular harus dipertimbangkan bila
dijumpai keadaan ular diidentifikasi sebagai sangat berbisa, ekstensi awal yang cepat
dari pembengkakan lokal daerah gigitan, pembesaran awal kelenjar getah bening
lokal, menandakan penyebaran bisa di sistem limfatik simptom sistemik awal.
perdarahan sistemik spontan awal (terutama perdarahan gusi), dan adanya urine
berwarna coklat-gelap.
• Panduan penanganan gigitan ular di Asia Tenggara oleh WHO adalah penanganan
bantuan dasar, transportasi ke rumah sakit, penilaian klinis dan resusitasi segera,
penilaian klinis mendetail dan diagnosis spesies, pemeriksaan laboratorium,
pengobatan antivenom, pemantauan respons antivenom, menentukan apakah dosis
lanjutan antivenom diperlukan, penanganan supportif/ tambahan, penanganan daerah
gigitan, rehabilitasi, dan penanganan komplikasi kronik.
19
Gigitan Ular Berbisa
Gambar 5. Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa (Warrell 2010).
20
Gigitan Ular Berbisa
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008) Emergency
treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock 1(2):97-105.
Alberts MB, Shalit M & Logalbo F. (2004) Suction for venomous snakebite: A study of
”mock venom” extraction in a human model. Ann Emerg Med 43:181-186.
de Silva HA, Pathmeswaran A, Ranasinha CD, Jayamanne S, Samarakoon SB & Hittharage
A. (2011) Low dose adrenaline, promethazine, and hydrocortisone in the prevention of
acute adverse reactions to antivenom following snakebite: A randomised, double-blind,
placebo-controlled trial. PLoS Med 8(5):e1000435.
Djunaedi D. (2009) Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam, penyunting Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Edisi
ke-5. InternaPublishing: Jakarta, p. 280-283.
Fadare JO & Afolabi OA. (2012) Management of snake bite in resource-challenged setting:
A review of 18 months experience in a Nigerian hospital. J Clin Med Res 4(3):39-43.
Gold BS, Dart RC & Barish RA. (2002) Bites of venomous snake. N Engl J Med
347(5):347-356.
Hall EL. (2001) Role of surgical intervention in the management of crotaline snake
envenomation. Ann Emerg Med 35:175-180.
Isbister GK, Maduwage K, Shahmy S, Mohamed F, Abeysinghe C, Karunathilake H, et al.
(2013) Diagnostic 20-min whole blood clotting test in Russell`s viper envenoming
delays antivenom administration. Q J Med. doi:10.1093/qjmed/hct102.
Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran A,
Premaratna R, et al. (2009) The global burden of snakebite: A literature analysis and
modelling based on regional estimates of envenoming and deaths. PLoS Med
5(11):e218.
Premawardhena AP, de Silva CE, Fonseka MMD, Gunatilake SB & de Silva HJ. (1999)
Low dose subcutaneous adrenaline to prevent acute adverse reactions to antivenom
serum in people bitten by snake: randomised, placebo controlled trial. BMJ 318:1041-3.
Punguyire D, Iserson KV, Stotz U & Apanga S. (2012) Bedside whole blood clotting times:
Validity after snakebites. J Emerg Med 44(3):663-667.
Sajevic T, Leonardi A & Krizaj I. (2011) Haemostatically active proteins in snake venoms.
Toxicon 57:627-645.
Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World Health
Organization Regional Office for South-East Asia. India. Cited 2013 October 14.
Available from: www.toxinology.org/resources/protocols/WHO-SEARO%20Snakebite
%20Guidelines%202010 %20copy.pdf
White J. (2005) Snake venoms and coagulopathy. Toxicon 45:951-967.
21