Anda di halaman 1dari 11

AKUT RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan penyebab terbesar terjadinya


gagal nafas akut. Perkembangan serta komplikasi penyakit ini baik jangka panjang
ataupun jangka pendek seperti gangguan fisik dan kognitif menghasilkan tingginya
angka kematian, karena itu, deteksi dini sindroma ini dan penerapan intervensi
terapeutik sangat penting dilakukan untuk mengubah haluan alami entitas yang
menghancurkan ini. Pada ulasan artikel ini, kami menggambarkan konsep terbaru dari
ARDS. Terutama, kami membahas tentang definisi baru dari ARDS, faktor-faktor
resiko, dan patofisiologi, serta bukti terbaru terkait manajemen ventilasi, terapi adjuvan,
dan intervensi yang dibutuhkan pada hipoksemia refrakter.

Selama perang Vietnam pada tahun 1960-an, dokter militer mendapatkan sebuah
bentuk khusus gagal nafas hipoksemik pada kedua paru-paru secara bersamaan. Selama
periode yang sama , dokter sipil yang mendapatkan bentuk khusus kelainan paru ini
menamakan penyakit ini dengan nama Adult Respiratory Distress Syndrome(1).
Penamaan kemudian dimodifikasi menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) karena terdapat beberapa kasus serupa yang menyerang pasien semua usia. Di
Amerika Serikat, data berdasarkan populasi terbaru memperkirakan kejadian ARDS
sebanyak 190.000 kasus per tahun (2). Angka kematian ARDS diperkirakan sekitar 26%
hingga 58% (3-6). Perkembangan pada perawatan suportif saat ini telah banyak
menolong meningkatkan hasil akhir pasien (7,8). Namun, kematian terkait dengan
sindroma ini masih sangat tinggi.

DEFINISI DAN DIAGNOSIS

ARDS dan yang sebelumnya disebut ALI (Acute Lung Injury), dikategorikan
dalam gagal nafas dengan onset cepat berhubungan dengan sejumlah keterkaitan paru
langsung maupun tidak langsung. Sejak awal entitas ini digambarkan, beberapa definisi
dan kriteria diagnostik telah diajukan. Pada tahun 1998, Murray et al. memperkenalkan
skor kerusakan paru (lung injury score), yang termasuk di dalamnya radiografi dada,
rasio tekanan parsial oksigen di arteri, dan fraksi oksigen yang di-inspirasi (PaO2/FiO2),
sistem compliance total respiratori, dan tekanan positif ekpirasi akhir (PEEP/Positive
End-Expiratory Pressure). Terlepas dari kegunaan medisnya, skor ini tidak dapat
membedakan antara edema kardiogenik dan nonkardiogenik (9). Pada tahun 1994,
Konsensus Konferensi Amerika dan Eropa menetapkan kriteria klinis khusus untuk
ARDS dan ALI (10). Terdapat tiga kriteria diagnostik: 1) PaO2/FiO2 ≤ 200, 2) terdapat
infiltrat paru bilateral pada radiografi dada, dan 3) tekanana oklusi arteri pulmoner < 18
mmHg yang diukur menggunakan kateter arteri pulmoner, atau tidak adanya bukti klinis
hipertensi atrium kiri. Penamaan ALI diambil berdasarkan Lung Injury Score ini untuk
diberikan pada pasien dengan sakit nya tidak terlalu berat. Karena itu, pasien dengan
PaO2/FiO2 dapat dimasukan dalam grup ALI.
Semenjak penetapan nya oleh Konsensus Konferensi Amerika dan Eropa,
definisi ini telah digunakan secara luas dalam menangani pasien pasien ARDS pada uji
coba klinis terapeutik (11-15). Namun, definisi ini juga menghadirkan beberapa
kekurangan. Pertama, keandalan dalam membaca radiografi dada dipertanyakan. Kedua,
definisi ini tidak menjelaskan interval waktu “akut” dengan tegas. Ketiga, tingkat PEEP
yang digunakan selama ventilasi tidak terdapat di definisi ini. Terakhir, penggunaan
kateter arteri telah menurun pada beberapa tahun terakhir, sehingga berarti pengukuran
tekanan oklusi arteri pulmonar tidak dilakukan.

Berdasarkan batasan batasan yang disebutkan di atas, dan setelah mengulas


bukti epidemiologik dan uji coba klinis terkini, pada tahun 2011 European Society of
Intensive Care Medicine mengusulkan definisi baru dari ARDS, yang mana memasukan
faktor onset waktu, radiografi dada, edema, dan oksigenasi:

 Onset waktu: dalam 1 minggu diketahui adanya gangguan klinis atau gejala
respiratorik baru/yang bertambah parah.
 Gambaran radiografi: gambaran radiografi dada atau Computed Tomography
scan (CT-Scan) yang menunjukan gambaran opaq bilateral yang bukan
disebabkan oleh efusi, kolaps paru/lobaris, atau nodul.
 Edema: gagal nafas yang bukan berasal dari gagal jantung atau kelebihan cairan:
penilaian objektif (contoh., ekokardiografi) dibutuhkan untuk menyingkirkan
edema hidrostatik jika tidak terdapat faktor resiko.
 Oksigenasi: dibagi dengan bagian ringan (PaO2/FiO2 > 200 hingga ≤ 300 mmHg
dengan PEEP atau tekanan airway positif berkelanjutan ≥ 5 cmH2O), sedang
(PaO2/FiO2 > 100 hingga ≤ 200 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O) dan berat
(PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O)

Sebagai catatan, penggunaan istilah ALI telah ditiadakan. Beratnya penyakit


berhubungan dengan angka kematian yaitu ringan 27%, sedang 32% dan berat 45% (16)

FAKTOR RESIKO

Beberapa kondisi dapat menyebabkan ARDS (tabel 1). Sepsis tetap menjadi
penyebab terbesar terjadinya ARDS, dimana sebanyak 46% dari kasusnya dicetuskan
oleh adanya entitas pada pulmonar (2). Angka kematian juga beragam tergantung dari
penyebab. Biasanya, kematian pada pasien pasien ARDS yang disebabkan oleh adanya
trauma berat (skor keparahan cedera >15) ialah sebanyak 24,1%, sedangkan kematian
pada pasien pasien dengan sepsis berat yang disebabkan infeksi paru ialah sebanyak
40,6% (2). Diantara faktor faktor resiko ini, usia (2,17-19), jenis kelamin pria, ras
afrika-amerika (20), dan riwayat mengonsumsi alkohol meningkatkan resiko terjadi dan
resiko kematian untuk penyakit ARDS (21-23). Pajanan merokok aktif maupun pasif
juga akan meningkatkan insidensi terjadinya ARDS (24,25). Pasien dengan indeks masa
tubuh yang lebih tinggi juga akan meningkatkan insidensi ARDS, tapi keterkaitan nya
dengan kematian belum dapat dipastikan (26-28). Baik terapi diabetes mellitus dan
terapi antiplatelet prehospital tampak memiliki efek proteksi terhadap ARDS (29-31).

Menariknya, penelitian yang dilakukan Acute Lung Injury Verification of


Epidemiologi (ALIVE) melaporkan bahwa ALI terjadi pada sebanyak 16,1% pasien
yang mendapatkan terapi ventilasi mekanik untuk alasan lain. Karena itu, beberapa
kelompok telah menyelidiki berbagai jenis metoda untuk mem-prediksi ARDS.
Khususmya, Gajic et al. menggambarkan Lung Injury Prediction Score (LIPS, Tabel 2)
dengan menggunakan sebuah penelitian kohort perspektif terhadap 5584 pasien (33).
Jika skor LIPS lebih dari 4 maka beresiko dengan terjadinya ARDS dalam waktu rata
rata selama 2 hari. Skor ini memiliki sensitifitas sebanyak 69% dan spesifisitas
sebanyak 78%, dengan nilai prediksi positif 18% dan nilai prediksi negatif sebanyak
97%.

PATOFISIOLOGI CEDERA PARU YANG DISEBABKAN VENTILATOR

Gattinoni et al. menggambarkan tiga bagian umum paru: jaringan paru normal,
bagian berkosolidasi padat, dan bagian yang kolaps selama ekspirasi dan mengembang
selama inspirasi. Ketika bagian paru yang berbeda beda ini diventilasikan pada volume
tidal, dalam ketiadaan PEEP, bagian paru ini memberikan sebuah salan nafas membuka
dan menutup yang berulang dan unit paru (35). Tipe cedera ini disebut “atelectrauma”
(35). Sebaliknya, ketika bagian paru yang berbeda ini diventilasikan dengan volume
tidal yang tinggi, akan terjadi pengembangan berlebihan pada alveoli, yang akan
menyebabkan “barotrauma” dimana hal ini akan menyebabkan komplikasi seperti
pneumothorak (36). Bentuk ketiga dari cedera paru yang disebabkan ventilator ini
disebut dengan “biotrauma”, yang mana merupakan sebuah sindroma respon inflamasi
sistemik yang diakibatkan adanya pelepasan sitokin di paru-paru (tumor necrosis factor-
alpha, interleukin-6, interleukin-8, matrix metallopeptidase 9, nuclear factor kappa-
light-chain-enhancer dari sel B yang diaktivasi)(37).

TERAPI

Terapi Standar

Strategi volume tidal rendah. Tujuan dari ventilasi mekanik pada ARDS adalah
untuk penyediakan oksigenasi dan pertukaran udara, serta mengurangi resiko terjadinya
cedera paru yang disebabkan oleh ventilator. Sebuah uji coba oleh Institusi Jantung,
Paru, dan Darah yang dinamakan ARDSnet, secara acak mengambil 861 pasien yang
terkena ARDS untuk diterapi dengan ventilasi volume tidal rendah (dengan volume
tidal awal 6mL/kg) atau ventilasi mekanik konvensional (volume tidal awal 12mG/kg)
(11). Volume tidal kemudian di titrasi untuk menjaga tekanan agar stabil (pada tekanan
alveolar pada saat akhir inspirasi yang di jeda) lebih rendah dari 50 cmH2O pada
kelompok ventilator konvensional, dan lebih rendah dari 30 cmH2O pada kelompok
volume tidal rendah. Hasil menunjukan bahwa pada kelompok intervensi (kelompok
volume tidal rendah) memiliki angka kematian yang lebih rendah (31%) dari pada
kelompok ventilator mekanik konvensional 40%) serta pada kelompok volume tidal
rendah lebih sedikit waktu pemakaian ventilator yang dibutuhkan (10 hari) dari pada
ventilator konvensional (12 hari). Sebuah analisis meta terbaru terhadap 4 uji coba acak,
menggunakan 1149 pasien, mengkonfirmasi penemuan ini dengan menunjukan
berkurangnya angka kematian pada rumah sakit dari angka 41% hingga 34,2% (38).
Sejak penelitian ini dipublikasikan, strategi volume tidal rendah yang menggunakan 6
mL/kg berat badan yang diprediksi, telah menjadi sebuah standar pelayanan. Pada
beberapa kasus, volume tidal dapat diturunkun hingga menjadi 4 mG/kg dengan tujuan
untuk membatasi tekanan inspirasi stabil agar dibawah 30 cmH2O (11).

Tekanan akhir ekspirasi positif (PEEP/Positive End-Expiratory Pressure).


Penggunaan PEEP meningkatkan pertukaran udara serta meningkatkan fungsi paru
dengan berbagai cara. PEEP mempengaruhi alveoli yang kolaps, meningkatkan
oksigenasi dan meningkatkan komplians paru, serta mengurangi perputaran atelektasis,
atelektrauma, dan biotrauma. Terlepas dari keuntungan ini, dosis yang tepat untuk
menggunakan PEEP masih menjadi perdebatan. Pada uji coba ARDSnet (11), pasien
yang menggunakan volume tidal 4mL/kg membutuhkan tingkat PEEP yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, beberapa orang menganggap bahwa hal inilah yang memberikan hasil
baik pada penelitian. Namun, penggunaan PEEP yang lebih Tinggi ataupun Rendah
pada pasien ARDS yang dinamakan penelitian (ALVEOLI) (4), yang mana merupakan
sebuah penelitian prospektif, uji coba multicenter dengan menggunakan 549 pasien,
yang secara acak mendapatkan PEEP tingkat tinggi ataupun rendah, disesuaikan
menurut tabel yang telah ada, tidak menunjukan adanya perbedaan hasil akhir. Dan juga
rancangan penelitian uji coba ALVEOLI ini mendapat banyak kritikan, karena banyak
dokter yang mempercayai bahwa tingkat PEEP tidak dapat di atur seragam pada seluruh
pasien, tapi lebih ke kebutuhan individu berdasarkan mekanis paru .

Analisa dari kurva komplians paru statik telah menunjukan agar PEEP di titrasi.
Kedua titik infleksi lebih rendah pada kurva yang telah disebutkan di atas dan indeks
tegangan dihitung dari kurva waktu-tekanan telah digunakan dan memberikan hasil
yang bervariasi (39,40). Namun, pada ARDS, paru tidak berfungsi sebagai single
kompartment melainkan multiple kompartment. Karena itu, mengatur PEEP
berdasarkan titik titik infleksi rendah atau tinggi mungkin bukan strategi yang andal.
Indeks tegangan menyokong sebagai parameter yang baik dalam memilih tingkat PEEP,
agar terhindar dari kemungkinan terjadinya hiperinflasi (gambar 1) (41). Untuk
mengukurnya, ventilator harus di atur pada kondisi konstan flow dan ventilasi berbatas
volume. Indeks tegangan ini menunjukan kelandaian dari tekanan pembukaan aliran
nafas selama periode konstan flow. Nilai berada di bawah 1 menunjukan adanya
pengurangan elastisitas paru yang berkelanjutan selama pengembangan paru. Hal ini
akan menetap dan karena itu, PEEP dapat ditingkatkan. Sedangkan nilai berada di atas 1
menunjukan adanya peningkatan pada elastisitas paru, yang menetap dengan
hiperinflasi paru. Pada situasi ini, PEEP harus diturunkan untuk menghindari kejadian
overstretching (pengembangan berlebihan). Walaupun indeks tegangan mewakili
sebuah konsep fisologis yang menarik, dibutuhkan lebih banyak penyelidikan untuk
membuktikan apakah ini merupakan teknik terbaik dalam titrasi PEEP.

Dua uji coba lain juga telah mengevaluasi tingkatan optimal PEEP pada terapi
ARDS. Lung Open Ventilation Study (LOVS) merupakan sebuah uji coba multicenter
acak terkontrol menggunakan sebanyak 983 pasien (42). Kelompok terkontrol di
ventilasi dengan volume tidal rendah, dimana menggunakan tekanan tidak lebih dari 30
cmH2O, dan tingkat PEEP yang rendah. Sedangkan kelompok intervensi menggunakan
tekanan tidak lebih dari 40 cmH2O dan tingkat PEEP yang tinggi. sebagai tambahan,
kelompok intervensi diminta melakukan recruiting manuver (menahan nafas selama 40
detik pada tekanan 40 cmH2O). Strategi akhir ini menghasilkan penunurunan
hipoksemia refrakter dan mengurangi penggunaan teknik keselamatan untuk hipoksemia
seperti inhaled nitric oxide (iNO), ventilasi telungkup, extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO), atau high frequenciy oscillatory ventilation (HFOV). Uji coba
EXPRESS juga merupakan sebuah uji coba multicenter acak terkontrol, dengan
menggunakan 767 pasien dari 37 ICU Prancis (43). Pasien diacak menjadi kelompok
distensi minimal (PEEP 509 cmH2O) dan kelompok maksimal recruitment (PEEP
ditingkatkan untuk pencapai tekanan stabil 28-30 cmH2O). Strategi recruitment PEEP
tinggi tidak memiliki keuntungan dalam mempengaruhi angka kematian, tapi
menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, nilai komplians yang lebih tinggi, dan
pengurangan durasi pemakaian ventilator (7 melawan 3 hari; P=0,04) dan lama
terjadinya kegagalan organ (6 melawan 2 hari; P=0,04) pada kelompok pasien dengan
hipoksemia refrakter. Sebuah analisa meta terbaru, yang menggunakan data dari uji
coba ALVEOLI, LOVS, dan EXPRESS, mengungkapkan bahwa tingkat PEEP yang
tinggi berhubungan dengan peningkatan angka kelangsungan hidup pada pasien dengan
ARDS berat (44)

Pengawasan hemodinamik dan manajemen cairan. Menghindari akumulasi


cairan pada intrathorakal diperkirakan bermanfaat pada pasien dengan ARDS.
Berdasarkan dasar fikir ini, perbandingan dari uji coba Two Fluid Management
Strategies in ARDS atau disebut (FACTT) mengevaluasi manajemen hemodinamik
pasien ARDS dengan dituntun oleh sebuah kateter arteri pulmonar atau sebuah kateter
vena sentral, ditambah dengan sebuah protokol manajemen hemodinamik yang tegas
(45,46). Penelitian FACCT ini menggunakan 1000 pasien, yang diacak dalam 1 hingga
4 protokol dalam periode 7 hari. Strategi hemodinamik konservatif bertujuan agar
tekanan vena sentral mencapai <4mmHg atau tekanan oklusi arteri pulmonal mencapai
<8mmHg. Strategi hemodinamik liberal bertujuan agar tekanan vena sentral mencapai
10 hingga 14mmHg atau tekanan oklusi arteri pulmonal mencapai 14 hingga 18 mmHg.
Rata rata keseimbangan cairan kumulatif (± standard error [SE]) selama 7 hari pertama
ialah sekitar- 136 ± 491 mL pada kelompok strategi konservatif dan sekitar 6992 ± 502
mLpada kelompok strategi liberal (P <0.001). dan juga, strategi konservatif ini
meningkatkan indeks oksigenasi dan mengurangi lama penggunaan ventilator (14.6 ±
0.5 vs. 12.1 ± 0.5; P < 0.001) dalam periode 28 hari pertama. Menariknya, terlepas dari
pengurangan penggunaan cairan pada kelompok konservatif, tidak ada terjadi
peningkatan kejadian shock atau kebutuhan dialisis selama 60 hari pertama (10%
melawan 14%; P=0,06)(46). Hasil ini mendukung strategi cairan konservatif dalam
memanajemen pasien dengan ARDS.

HIPOKSEMIA REFRAKTER

Pada beberapa keadaan tertentu, pasien ARDS yang oksigenasi nya tidak
meningkat dengan pemberian terapi konvensional, terdapat pilihan terapi lain yang
dianggap sebagai “terapi keselamatan” atau “terapi penyelamatan”.

High Frequency Oscilatory Ventilation (HFOV). HFOV ini menggunakan


volume tidal yang sangat rendah (lebih rendah atau sama dengan dead space anatomis)
pada frekuensi 3 hingga 15 Hz. Hal ini juga menjaga tekanan aliran udara yang tinggi
agar pengumpulan udara dapat terjadi. Ventilasi berbanding terbalik dengan frekuensi
pernafasan dan secara langsung terkait dengan amplitudo tekanan osilasi. Idealnya,
strategi ini menyebabkan distribus ventilasi yang lebih homogen dengan cara mengatur
tekanan aliran udara rata-rata (47,48), tetapi hal ini juga menghindari terjadinya
hiperinflasi dan cedera paru disebabkan ventilator dengan cara meminimalkan ayunan
pada volume tidal (51).

Beberapa uji coba acak terkontrol gagal menunjukan kemanfaatan dalam hal
kematian dengan terapi HFOV ini. Dua uji coba multicenter acak terkontrol yang besar
baru baru ini telah di publikasikan. Uji coba OSCILLATE merupakan sebuah uji coba
multicenter acak terkontrol yang dilakukan pada 39 ICU 5 negara (52). Penelitian ini
menggunakan 548 pasien dengan ARDS derajat sedang hingga berat yang secara acak
diberikan terapi HFOV atau strategi ventilasi PEEP tinggi dengan volume tidal yang
rendah, dengan tujuan untuk pemulihan paru. Pada kelompok terapi HFOV telah
meningkatkan angka kematian di rumah sakit (47% melawan 35%; P = 0.005). dan
juga, pasien yang berada pada keompok terapi HFOV membutuhkan lebih banyak
penggunaan sedasi, paralitik, dan agen agen vasopressor. Uji coba OSCAR
menggunakan lebih dari 800 pasien di 17 ICU di Amerika Serikat. Penelitian ini juga
gagal menunjukan peningkatan angka kelangsungan hidup selama 30 hari (41,7%
kematian pada kelompok HFOV dan 41,1% kematian pada kelompok kontrol;
P=0,85)(53).

Airway Pressure Release Ventilation (APRV). Merupakan sebuah ventilasi


mekanik yang menargetkan tekanan dan mode siklus waktu yang akan menghasilkan
pernafasan spontan selama siklus pernafasan penuh. Terapi ini melibatkan inspirasi
yang panjang diikuti ekspirasi yang sangat pendek, agar menciptakan rasio ventilasi
yang terbalik. Dengan meningkatkan periode inflasi paru, rata rata tekanan aliran udara
juga akan meningkat tanda diikuti peningkatan tekanan puncak. Pernafasan spontan
yang berkelanjutan akan memberikan keuntungan dalam memberikan distribusi
ventilasi yang lebih merata serta menambah pengisian jantung (54). Pada sebuah uji
coba acak terkontrol, 30 pasien trauma yang menggunakan ventilasi mekanik digunakan
secara acak baik diterapi dengan APRV ataupun dengan ventilasi berbatas-tekanan (55).
APRV ditemukan terkait dengan durasi pemakaian ventilasi mekanik yang lebih
pendek, rawatan ICU yang lebih pendek, dan penggunaan sedatif dan paralitik yang
lebih sedikit. Beberapa penelitian telah menunjukan bahwa APRV dapat menurunkan
tekanan puncak aliran udara, meningkatkan pemulihan alveolar, dan meningkatkan
oksigenasi (56-60). Namun, tidak ada bukti peningkatan angka kelangsungan hidup
menggunakan cara ini, jika dibandingkan dengan cara lain dari ventilasi mekanik.

Extracorporeal Membrane Oxygenation (ECMO). ECMO digunakan pada


pasien pasien ARDS dengan hipoksemia yang sangat berat, hiperkapnea yang tidak
terkompensasi (pH<7,15), atau tekanan inspirasi akhir yang sangat tinggi (>35-45
cmH2O) terlepas dari standar terapi pelayanan untuk manajemen ARDS (61-64).
Terlepas dari uji coba negatif sebelumnya (65), Conventional Ventilator Support
melawan ECMO untuk Severe Adult Respiratory Failure/ penelitian (CESAR),
menunjukan bahwa terdapat beberapa manfaat menggunakan extracorporeal lung
support pada pasien ARDS berat (66). Pada penelitian acak terkontrol ini, 180 pasien di
acak untuk menerima veno-venous ECMO (setelah dipindahkan ke bagian khusus) atau
menerima ventilasi mekanik konvensional (pada bagian regional). Kelompok terdahulu
memilki angka kelangsungan hidup 6 bulan yang tinggi daripada kelompok terakhir
(63% melawan 47%; P=0,03). Namun, penting untuk dicatat bahwa kelompok
intervensi menjalani ventilasi mekanik dengan menggunakan strategi perlindungan
paru, sedangkan hal itu digunakan hanya pada 70% pasien dalam kelompok kontrol.
Juga, terlepas dari manfaat peningkatan angka kelangsungan hidup kelompok
intervensi, hanya 75% pasien yang benar benar menerima terapi ECMO saat datang ke
pusat khusus. Karena itu, penelitian CESAR menunjukan manfaat keberlangsungan
kehidupan di pusat khusus melawan pusat regional, tapi hal ini belum menentukan
manfaat yang jelas dari ECMO.

Terapi vasodilator. Dasar pemikiran untuk menggunakan vasodilator inhalasi


selektif adalah agar dapat menyebabkan vasodilatasi selektif di bagian paru paru yang
normal dan agar mengumpulkan aliran darah ke area area ini, dimana bagian paru
selektif ini dapat teroksigenasi. Dikarenakan kinerja lokalnya dan waktu paruh yang
pendek, vasodilator paru selektif biasanya tidak memiliki efek samping sistemik seperti
hipotensi. Dua meta analisa membandingkan iNO dengan Plasebo/manajemen
konvensional dan menemukan sedikit peningkatan perubahan oksigenasi, tetapi tanpa
peningkatan angka kelangsungan hidup, lama penggunaan ventilasi mekanik (68). Juga
tercatat bahwa pasien tanpa sepsis atau shock septik lebih sering berespon terhadap iNO
daripada pasien yang terkena shock septik (69). Epoprostenol inhalasi juga telah
digunakan pada pasien dengan ARDS, dan memiliki efek fisiologis yang serupa dengan
iNO. Seperti halnya iNO, tidak ada penelitian yang mampu menunjukan manfaat yang
jelas dalam peningkatan angka keberlangsungan hidup.

Manuver rekruitment. Manuver rekruitment dapat didefinisikan sebagai sebuah


strategi untuk meningkatkan tekanan transpulmonary secara sementara dengan tujuan
agar alveoli yang kolaps dapat mengembang kembali. Strategi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan ventilator atau oscilator konvensional. Gattitoni et al.
menunjukan bahwa jumlah masa paru yang bisa direkrut rata rata sebanyak 9% dari
total massa paru, dengan tekanan antara 5 hingga 45 cmH2O (70). Manuver rekruitmen
ini dapat meningkatkan massa paru yang dapat terisi udara dan mencegah atelektrauma
yang disebabkan oleh pembukaan dan penutupan unit pernapasan terminal (alveoli)
yang berulang. Dua manuver rekruitment yang sering digunakan adalah mendesah
(“sigh”) dan inflasi paru yang berkelanjutan. “Sigh” akan menghasilkan peningkatan
volume tidal atau PEEP selama satu atau beberapa nafas per menit nya agar tekanan
udara dapat distabilkan. Sedangkan bentuk lain dari manuver rekruitment adalah metoda
inflasi berkelanjutan, yang terdiri dari penekanan aliran udara pada tingkat khusus dan
mempertahankan nya untuk semntara waktu. Kombinasi yang biasanya digunakan
adalah tekanan aliran udara sebesar 40 cmH2O selama 40 detik. Terlepas dari manfaat
manuver rekruitment, tiga uji coba acak terkontrol dan satu meta analisa tidak dapat
menunjukan efek bermanfaat manuver rekruitment terhadap oksigenasi. Bukti saat ini
tidak merekomendasikan manuver rekruitment untuk digunakan secara rutin, tapi tetap
menjadi pilihan sebagai terapi penyelamatan pada pasien hipoksemia berat (72-74).

Posisi telungkup. Secara konseptual, posisi telungkup akan memberikan


distribusi udara yang lebih merata pada regangan dan tegangan paru, menghasilkan
peningkatan perfusi ventilasi dan peningkatan mekanik regional pada paru dan dinding
thorak. Namun, laporan sebelumnya menunjukan keterkaitannya dengan beberapa jenis
komplikasi, seperti dislokasi tulang dan ulkus yang disebabkan tekanan. Uji klinis
sebelumnya menunjukan bahwa posisi telungkup dapat meningkatkan oksigenasi pada
pasien pasien ARDS, tetapi tanpa ada manfaat dalam menambah angka
keberlangsungan hidup (75-77). Pada penelitian penelitian itu, penyelidik menggunakan
posisi telungkup sesi berulang selama 6 hingga 8 jam per hari (14,78) atau ventilasi
telungkup diperpanjang selama 17 hingga 20 jam (79,81) dengan hasil yang sama.
Ketika uji coba acak terkontrol sebelumnya tidak menunjukan manfaat dalam
keberlangsungan hidup pada pasien ARDS, beberapa observasi dan metaanalisa
mengungkap sebuah sinyal positif pada sebagian pasien ARDS yang berat. Sebuah uji
coba multicenter acak terkontrol saat ini (disebut dengan penelitian PROSEVA)
mengacak 466 pasien dengan ARDS berat (PaO2 : FiO2 <150, FiO2 ≥ 0.6, PEEP ≥ 5cm
H2O) agar menjalani sesi posisi telungkuop lebih awal selama sedikitnya 16 jam (dalam
waktu 33 jam setelah intubasi), melawan dibiarkan pada posisi terlentang (79). Posisi
telungkup menurunkan angka kematian 28 hari (16% vs. 33%; P < 0.001), menurunkan
angka kematian 90 hari (24% vs. 41%; P < 0.001), mengurangi lama pemakaian
ventilator (14 melawan 10 hari pada hari ke-28), serta mengurangi waktu melakukan
ekstubasi. Insidensi kejadian komplikasi tidak berbeda pada kedua kelompok, kecuali
pada kasus serangan jantung, dimana serangan jantung lebih banyak terjadi pada pasien
pasien dengan posisi terlentang (supine). Kontraindikasi absolut dan relatif untuk
melakukan posisi telungkup diantaranya adalah ketidak stabilan tulang belakang,
peningkatan tekanan intrakranial, kelainan hemodinamik dan kelainan jantung,
hemaptoe masif, pembedahan thorak dan abdominal, penggunaan chest tube anterior
dengan kebocoran, dan trombosis vena dalam yang dirawat selama <2hari.

Terapi Adjuvan

Agen penghambat neuromuskular. Ventilasi mekanik pelindung paru telah


menjadi strategi manajemen landasan untuk terapi ARDS (85). Namun, pasien dengan
ARDS masih dapat terkena resiko atelektrauma dan barotrauma dikarenakan strategi
strategi ventilator yang kurang optimal. Agen penghambat neuromuskuler telah
diusulkan sebagai terapi tambahan pada ARDS, karena obat ini mungkin dapat
mengurangi ketidak sinkron-an antara pasien-ventilator, dan secara potensial dapat
menghindari terjadinya resiko barotrauma dan biotrauma (86). Sebuah uji coba
multicenter double-blinded acak terkontrol (disebut dengan ACURASYS) dilakukan
dengan menggunakan 340 pasien yang menderita ARDS berat. Studi ini
membandingkan cisatrakurium (relaksan otot skeletal) dengan obat plasebo (obat
kosong sebagai pembanfing). Semua pasien dibius, menurunkan skor sedasi Ramsay
hingga mencapai 6 (tidak ada respon saat glabellar/daerah antara alis mata di ketuk).
Pemantauan kelumpuhan otot menggunakan pengujian train-to-four tidak diperbolehkan
untuk mempertahankan metoda penelitian blinding. Cisatracurium dikaitkan dengan
penurunan angka kematian selama 90 hari (31.6% vs. 40.7%; P = 0.08). Selanjutnya,
angka kematian pada 28 hari adalah sebanyak 23,7% pada kelompok cisatracurium dan
sebanyak 33,3% pada kelompok plasebo (P=0,05). Dalam penelitian ini, tidak ada
perbedaan dalam terjadinya miopati antara kedua kelompok.

Steroid. Inflamasi merupakan sebuah komponen kunci pada penyakit ARDS.


Beberapa penelitian telah menyelidiki peran steroid dalam mencegah terjadinya ARDS
dan peran nya dalam terapi fase yang berbeda. Empat uji coba telah menilai penggunaan
metilprednisolone untuk mencegah ARDS sebuah kelompok pasien yang beresiko
tinggi (sepsis/shock septik)(87-90). Secara khusus, Weigelt et al. mengamati operasi
pasien ICU beresiko tinggi (90). Pada penelitian ini, diberikan metilprednisolone
dengan dosis 30 mg/kg setiap 6 jam selama 2 hari, telah meningkatkan kejadian ARDS
(64% vs 33%), sebagaimana juga dengan angka infeksi (77% vs 43%). Bone et al.
secara serupa juga menunjukan peningkatan angka kematian 14 hari pada kelompok
steroid dibandingkan dengan kelompok kontrol (52% vs 22%)
Beberapa penelitian terkontrol telah mengevaluasi peran terapi glukokotikoid
pada ARDS dini dan lanjut. Bernard et al. melakukan uji coba multicenter double-
blinded acak terkontrol pertama untuk menilai peran singkat steroid yang diberikan
selama 24 jam pada pasien ARDS dini (91). Penelitian ini menunjukan adanya sedikit
penurunan angka kematian 45 hari (60% vs 63%) dan kemungkinan terserang ARDS
kembali (39% vs 36%) di antara pasien yang menerima metilprednisolone dibandingkan
dengan obat plasebo. Sebuah uji coba multicenter acak terkontrol yang besar dilakukan
oleh National Heart, Lung, and Blood Institute kelompok ARDSnet untuk menentukan
kemanjuran dan keamanan steroid dosis sedang untuk periode penggunaan selama 21
hari pada pasien ARDS yang persisten (>7hari). Penelitian menunjukan tidak ada
manfaat dalam angka keberlangsungan hidup baik pada uji coba 60 atau 180 hari (92).
Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Annane et al. di tahun yang sama (93). Meduri
et al. melakukan sebuah uji coba multicenter double blinded acak terkontrol pada 91
pasien dengan ARDS yang menerima steroid selama 72 jam sejak terhitung mengikuti
penelitian. Para penulis menggunakan metilprednisolone jangka panjang (loading dose
1mg/kg, diikuti dengan jalur infus 1mg/kg/hari dari hari 1 hingga hari 14, 0,5mg/kg/hari
dari hari 15 hingga hari 21, 0,25mg/kg/hari dari hari 22 hingga hari 25, dan
0,125mg/kg/hari dari hari 26 hingga hari 28). Penelitian ini menunjukan penurunan
angka kematian yang signifikan (20.6% vs. 42.9%; P = 0.03), penurunan lama waktu
penggunaan ventilasi mekanik (P = 0.002), dan penurunan lama rawatan ICU (P =
0.007).

Hasil yang bertentangan dari uji coba ARDSnet dan Meduri kemungkinan
dikarenakan penurunan dosis steroid yang cepat pada penelitain ARDSnet dan
penggunaan steroid pada fase berbeda dari penyakit ini. Uji coba klinis mengevaluasi
efek dari penggunaan steroid jangka panjang, yang mana secara konsisten menunjukan
peningkatan oksigenasi yang signifikan (rasio PaO2/FiO2) (92, 95–97) adan adanya
pengurangan inflamasi sistemik (95–97), skor disfungsi organ (92, 95–97), durasi
ventilator mekanik (95–97), dan lama rawatan ICU (95–97). Data dari 5 uji coba
terbesar baru baru ini menunjukan bahwa pasien yang menerima kortikosteroid awal
(<14 hari setelah terjadi onset ARDS) telah terbukti mengurangi angka kematian (38%
vs. 52.5%; P = 0.02) (98). Baik penelitian kelompok ARDSnet dan Meduri menunjukan
sebuah peningkatan dalam menurunkan lamanya penggunaan ventilator dan dalam
menurunkan lama rawatan ICU. Ulasan data yang tersedia menunjukan bahwa efek
menguntungkan dari kortikosteroid hanya tampak ketika kortikosteroid digunakan pada
ARDS fase awal dan bukan pada fase akhir. Karena itu, konsensus terbaru menyatakan
pe-rekomendasian inisiasi dini terapi glukokortikoid jangka panjang untuk pasien
ARDS sedang hingga berat (PaO2/FiO2 < 200 mmHg dengan PEEP 10 cmH20), dan
sebelum hari ke 14 (99).
KESIMPULAN

ARDS terus dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Terlepas dari
beberapa uji coba acak terkontrol, hanya strategi ventilasi pelindung paru, agen
penghambat neuromuskular, dan ventilasi telungkup yang telah terbukti menurunkan
angka kematian. Banyak uji coba yang sedang dilakukan dalam mengamati heparin
nebulisasi, aspirin, terapi stem cell, growth faktor, interferon-β dan vaskular endotelial
growth faktor. Definisi dari New Berlin tentang ARDS mungkin dapat membantu uji
coba terapi baru di masa mendatang dengan meningkatkan keandalan dan
memungkinkan stratifikasi pasien yang lebih tepat berdasarkan dari tingkat keparahan
penyakitnya.

TABEL 1: Faktor resiko umum untuk terjadinya acute respiratory distress


syndrome/ acute lung injury

TABEL 2: Lembaran penghitungan skor prediksi cedera paru

FIGURE 1: Tampilan grafis dari konsep indeks tegangan. Index tegangan merupakan
koefisien b dari sebuah persamaan daya (tekanan saluran udara = waktu
inspirasi b+c) yang sesuai dengan segmen airway opening pressure
(Pao)(garis tebal) sesuai dengan periode inflasi aliran yang spontan (garis
putus-putus), selama aliran konstan, mekanisme siklus volume. Untuk
nilai indeks tegangan <1, kurva Pao memberikan sebuah lengkungan ke
arah bawah, menunjukan bahwa adanya peningkatan elastisitas paru
yang berkelanjutan. Terakhir, jika nilai indeks tegangan sama dengan 1,
lengkungan akan menjadi lurus, menunjukan bahwa tidak adanya variasi
tidal dalam elastisitas. Dicetak ulang dari Grasso et al, 2007(41) dengan
izin dari American Thoracic Society. Hak Cipta © American Thoracic
Society. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine
merupakan sebuah jurnal resmi dari American Thoracic Society.

Anda mungkin juga menyukai