Sindroma Gagal Nafas Akut
Sindroma Gagal Nafas Akut
Selama perang Vietnam pada tahun 1960-an, dokter militer mendapatkan sebuah
bentuk khusus gagal nafas hipoksemik pada kedua paru-paru secara bersamaan. Selama
periode yang sama , dokter sipil yang mendapatkan bentuk khusus kelainan paru ini
menamakan penyakit ini dengan nama Adult Respiratory Distress Syndrome(1).
Penamaan kemudian dimodifikasi menjadi Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) karena terdapat beberapa kasus serupa yang menyerang pasien semua usia. Di
Amerika Serikat, data berdasarkan populasi terbaru memperkirakan kejadian ARDS
sebanyak 190.000 kasus per tahun (2). Angka kematian ARDS diperkirakan sekitar 26%
hingga 58% (3-6). Perkembangan pada perawatan suportif saat ini telah banyak
menolong meningkatkan hasil akhir pasien (7,8). Namun, kematian terkait dengan
sindroma ini masih sangat tinggi.
ARDS dan yang sebelumnya disebut ALI (Acute Lung Injury), dikategorikan
dalam gagal nafas dengan onset cepat berhubungan dengan sejumlah keterkaitan paru
langsung maupun tidak langsung. Sejak awal entitas ini digambarkan, beberapa definisi
dan kriteria diagnostik telah diajukan. Pada tahun 1998, Murray et al. memperkenalkan
skor kerusakan paru (lung injury score), yang termasuk di dalamnya radiografi dada,
rasio tekanan parsial oksigen di arteri, dan fraksi oksigen yang di-inspirasi (PaO2/FiO2),
sistem compliance total respiratori, dan tekanan positif ekpirasi akhir (PEEP/Positive
End-Expiratory Pressure). Terlepas dari kegunaan medisnya, skor ini tidak dapat
membedakan antara edema kardiogenik dan nonkardiogenik (9). Pada tahun 1994,
Konsensus Konferensi Amerika dan Eropa menetapkan kriteria klinis khusus untuk
ARDS dan ALI (10). Terdapat tiga kriteria diagnostik: 1) PaO2/FiO2 ≤ 200, 2) terdapat
infiltrat paru bilateral pada radiografi dada, dan 3) tekanana oklusi arteri pulmoner < 18
mmHg yang diukur menggunakan kateter arteri pulmoner, atau tidak adanya bukti klinis
hipertensi atrium kiri. Penamaan ALI diambil berdasarkan Lung Injury Score ini untuk
diberikan pada pasien dengan sakit nya tidak terlalu berat. Karena itu, pasien dengan
PaO2/FiO2 dapat dimasukan dalam grup ALI.
Semenjak penetapan nya oleh Konsensus Konferensi Amerika dan Eropa,
definisi ini telah digunakan secara luas dalam menangani pasien pasien ARDS pada uji
coba klinis terapeutik (11-15). Namun, definisi ini juga menghadirkan beberapa
kekurangan. Pertama, keandalan dalam membaca radiografi dada dipertanyakan. Kedua,
definisi ini tidak menjelaskan interval waktu “akut” dengan tegas. Ketiga, tingkat PEEP
yang digunakan selama ventilasi tidak terdapat di definisi ini. Terakhir, penggunaan
kateter arteri telah menurun pada beberapa tahun terakhir, sehingga berarti pengukuran
tekanan oklusi arteri pulmonar tidak dilakukan.
Onset waktu: dalam 1 minggu diketahui adanya gangguan klinis atau gejala
respiratorik baru/yang bertambah parah.
Gambaran radiografi: gambaran radiografi dada atau Computed Tomography
scan (CT-Scan) yang menunjukan gambaran opaq bilateral yang bukan
disebabkan oleh efusi, kolaps paru/lobaris, atau nodul.
Edema: gagal nafas yang bukan berasal dari gagal jantung atau kelebihan cairan:
penilaian objektif (contoh., ekokardiografi) dibutuhkan untuk menyingkirkan
edema hidrostatik jika tidak terdapat faktor resiko.
Oksigenasi: dibagi dengan bagian ringan (PaO2/FiO2 > 200 hingga ≤ 300 mmHg
dengan PEEP atau tekanan airway positif berkelanjutan ≥ 5 cmH2O), sedang
(PaO2/FiO2 > 100 hingga ≤ 200 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O) dan berat
(PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥ 5 cmH2O)
FAKTOR RESIKO
Beberapa kondisi dapat menyebabkan ARDS (tabel 1). Sepsis tetap menjadi
penyebab terbesar terjadinya ARDS, dimana sebanyak 46% dari kasusnya dicetuskan
oleh adanya entitas pada pulmonar (2). Angka kematian juga beragam tergantung dari
penyebab. Biasanya, kematian pada pasien pasien ARDS yang disebabkan oleh adanya
trauma berat (skor keparahan cedera >15) ialah sebanyak 24,1%, sedangkan kematian
pada pasien pasien dengan sepsis berat yang disebabkan infeksi paru ialah sebanyak
40,6% (2). Diantara faktor faktor resiko ini, usia (2,17-19), jenis kelamin pria, ras
afrika-amerika (20), dan riwayat mengonsumsi alkohol meningkatkan resiko terjadi dan
resiko kematian untuk penyakit ARDS (21-23). Pajanan merokok aktif maupun pasif
juga akan meningkatkan insidensi terjadinya ARDS (24,25). Pasien dengan indeks masa
tubuh yang lebih tinggi juga akan meningkatkan insidensi ARDS, tapi keterkaitan nya
dengan kematian belum dapat dipastikan (26-28). Baik terapi diabetes mellitus dan
terapi antiplatelet prehospital tampak memiliki efek proteksi terhadap ARDS (29-31).
Gattinoni et al. menggambarkan tiga bagian umum paru: jaringan paru normal,
bagian berkosolidasi padat, dan bagian yang kolaps selama ekspirasi dan mengembang
selama inspirasi. Ketika bagian paru yang berbeda beda ini diventilasikan pada volume
tidal, dalam ketiadaan PEEP, bagian paru ini memberikan sebuah salan nafas membuka
dan menutup yang berulang dan unit paru (35). Tipe cedera ini disebut “atelectrauma”
(35). Sebaliknya, ketika bagian paru yang berbeda ini diventilasikan dengan volume
tidal yang tinggi, akan terjadi pengembangan berlebihan pada alveoli, yang akan
menyebabkan “barotrauma” dimana hal ini akan menyebabkan komplikasi seperti
pneumothorak (36). Bentuk ketiga dari cedera paru yang disebabkan ventilator ini
disebut dengan “biotrauma”, yang mana merupakan sebuah sindroma respon inflamasi
sistemik yang diakibatkan adanya pelepasan sitokin di paru-paru (tumor necrosis factor-
alpha, interleukin-6, interleukin-8, matrix metallopeptidase 9, nuclear factor kappa-
light-chain-enhancer dari sel B yang diaktivasi)(37).
TERAPI
Terapi Standar
Strategi volume tidal rendah. Tujuan dari ventilasi mekanik pada ARDS adalah
untuk penyediakan oksigenasi dan pertukaran udara, serta mengurangi resiko terjadinya
cedera paru yang disebabkan oleh ventilator. Sebuah uji coba oleh Institusi Jantung,
Paru, dan Darah yang dinamakan ARDSnet, secara acak mengambil 861 pasien yang
terkena ARDS untuk diterapi dengan ventilasi volume tidal rendah (dengan volume
tidal awal 6mL/kg) atau ventilasi mekanik konvensional (volume tidal awal 12mG/kg)
(11). Volume tidal kemudian di titrasi untuk menjaga tekanan agar stabil (pada tekanan
alveolar pada saat akhir inspirasi yang di jeda) lebih rendah dari 50 cmH2O pada
kelompok ventilator konvensional, dan lebih rendah dari 30 cmH2O pada kelompok
volume tidal rendah. Hasil menunjukan bahwa pada kelompok intervensi (kelompok
volume tidal rendah) memiliki angka kematian yang lebih rendah (31%) dari pada
kelompok ventilator mekanik konvensional 40%) serta pada kelompok volume tidal
rendah lebih sedikit waktu pemakaian ventilator yang dibutuhkan (10 hari) dari pada
ventilator konvensional (12 hari). Sebuah analisis meta terbaru terhadap 4 uji coba acak,
menggunakan 1149 pasien, mengkonfirmasi penemuan ini dengan menunjukan
berkurangnya angka kematian pada rumah sakit dari angka 41% hingga 34,2% (38).
Sejak penelitian ini dipublikasikan, strategi volume tidal rendah yang menggunakan 6
mL/kg berat badan yang diprediksi, telah menjadi sebuah standar pelayanan. Pada
beberapa kasus, volume tidal dapat diturunkun hingga menjadi 4 mG/kg dengan tujuan
untuk membatasi tekanan inspirasi stabil agar dibawah 30 cmH2O (11).
Analisa dari kurva komplians paru statik telah menunjukan agar PEEP di titrasi.
Kedua titik infleksi lebih rendah pada kurva yang telah disebutkan di atas dan indeks
tegangan dihitung dari kurva waktu-tekanan telah digunakan dan memberikan hasil
yang bervariasi (39,40). Namun, pada ARDS, paru tidak berfungsi sebagai single
kompartment melainkan multiple kompartment. Karena itu, mengatur PEEP
berdasarkan titik titik infleksi rendah atau tinggi mungkin bukan strategi yang andal.
Indeks tegangan menyokong sebagai parameter yang baik dalam memilih tingkat PEEP,
agar terhindar dari kemungkinan terjadinya hiperinflasi (gambar 1) (41). Untuk
mengukurnya, ventilator harus di atur pada kondisi konstan flow dan ventilasi berbatas
volume. Indeks tegangan ini menunjukan kelandaian dari tekanan pembukaan aliran
nafas selama periode konstan flow. Nilai berada di bawah 1 menunjukan adanya
pengurangan elastisitas paru yang berkelanjutan selama pengembangan paru. Hal ini
akan menetap dan karena itu, PEEP dapat ditingkatkan. Sedangkan nilai berada di atas 1
menunjukan adanya peningkatan pada elastisitas paru, yang menetap dengan
hiperinflasi paru. Pada situasi ini, PEEP harus diturunkan untuk menghindari kejadian
overstretching (pengembangan berlebihan). Walaupun indeks tegangan mewakili
sebuah konsep fisologis yang menarik, dibutuhkan lebih banyak penyelidikan untuk
membuktikan apakah ini merupakan teknik terbaik dalam titrasi PEEP.
Dua uji coba lain juga telah mengevaluasi tingkatan optimal PEEP pada terapi
ARDS. Lung Open Ventilation Study (LOVS) merupakan sebuah uji coba multicenter
acak terkontrol menggunakan sebanyak 983 pasien (42). Kelompok terkontrol di
ventilasi dengan volume tidal rendah, dimana menggunakan tekanan tidak lebih dari 30
cmH2O, dan tingkat PEEP yang rendah. Sedangkan kelompok intervensi menggunakan
tekanan tidak lebih dari 40 cmH2O dan tingkat PEEP yang tinggi. sebagai tambahan,
kelompok intervensi diminta melakukan recruiting manuver (menahan nafas selama 40
detik pada tekanan 40 cmH2O). Strategi akhir ini menghasilkan penunurunan
hipoksemia refrakter dan mengurangi penggunaan teknik keselamatan untuk hipoksemia
seperti inhaled nitric oxide (iNO), ventilasi telungkup, extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO), atau high frequenciy oscillatory ventilation (HFOV). Uji coba
EXPRESS juga merupakan sebuah uji coba multicenter acak terkontrol, dengan
menggunakan 767 pasien dari 37 ICU Prancis (43). Pasien diacak menjadi kelompok
distensi minimal (PEEP 509 cmH2O) dan kelompok maksimal recruitment (PEEP
ditingkatkan untuk pencapai tekanan stabil 28-30 cmH2O). Strategi recruitment PEEP
tinggi tidak memiliki keuntungan dalam mempengaruhi angka kematian, tapi
menghasilkan oksigenasi yang lebih baik, nilai komplians yang lebih tinggi, dan
pengurangan durasi pemakaian ventilator (7 melawan 3 hari; P=0,04) dan lama
terjadinya kegagalan organ (6 melawan 2 hari; P=0,04) pada kelompok pasien dengan
hipoksemia refrakter. Sebuah analisa meta terbaru, yang menggunakan data dari uji
coba ALVEOLI, LOVS, dan EXPRESS, mengungkapkan bahwa tingkat PEEP yang
tinggi berhubungan dengan peningkatan angka kelangsungan hidup pada pasien dengan
ARDS berat (44)
HIPOKSEMIA REFRAKTER
Pada beberapa keadaan tertentu, pasien ARDS yang oksigenasi nya tidak
meningkat dengan pemberian terapi konvensional, terdapat pilihan terapi lain yang
dianggap sebagai “terapi keselamatan” atau “terapi penyelamatan”.
Beberapa uji coba acak terkontrol gagal menunjukan kemanfaatan dalam hal
kematian dengan terapi HFOV ini. Dua uji coba multicenter acak terkontrol yang besar
baru baru ini telah di publikasikan. Uji coba OSCILLATE merupakan sebuah uji coba
multicenter acak terkontrol yang dilakukan pada 39 ICU 5 negara (52). Penelitian ini
menggunakan 548 pasien dengan ARDS derajat sedang hingga berat yang secara acak
diberikan terapi HFOV atau strategi ventilasi PEEP tinggi dengan volume tidal yang
rendah, dengan tujuan untuk pemulihan paru. Pada kelompok terapi HFOV telah
meningkatkan angka kematian di rumah sakit (47% melawan 35%; P = 0.005). dan
juga, pasien yang berada pada keompok terapi HFOV membutuhkan lebih banyak
penggunaan sedasi, paralitik, dan agen agen vasopressor. Uji coba OSCAR
menggunakan lebih dari 800 pasien di 17 ICU di Amerika Serikat. Penelitian ini juga
gagal menunjukan peningkatan angka kelangsungan hidup selama 30 hari (41,7%
kematian pada kelompok HFOV dan 41,1% kematian pada kelompok kontrol;
P=0,85)(53).
Terapi Adjuvan
Hasil yang bertentangan dari uji coba ARDSnet dan Meduri kemungkinan
dikarenakan penurunan dosis steroid yang cepat pada penelitain ARDSnet dan
penggunaan steroid pada fase berbeda dari penyakit ini. Uji coba klinis mengevaluasi
efek dari penggunaan steroid jangka panjang, yang mana secara konsisten menunjukan
peningkatan oksigenasi yang signifikan (rasio PaO2/FiO2) (92, 95–97) adan adanya
pengurangan inflamasi sistemik (95–97), skor disfungsi organ (92, 95–97), durasi
ventilator mekanik (95–97), dan lama rawatan ICU (95–97). Data dari 5 uji coba
terbesar baru baru ini menunjukan bahwa pasien yang menerima kortikosteroid awal
(<14 hari setelah terjadi onset ARDS) telah terbukti mengurangi angka kematian (38%
vs. 52.5%; P = 0.02) (98). Baik penelitian kelompok ARDSnet dan Meduri menunjukan
sebuah peningkatan dalam menurunkan lamanya penggunaan ventilator dan dalam
menurunkan lama rawatan ICU. Ulasan data yang tersedia menunjukan bahwa efek
menguntungkan dari kortikosteroid hanya tampak ketika kortikosteroid digunakan pada
ARDS fase awal dan bukan pada fase akhir. Karena itu, konsensus terbaru menyatakan
pe-rekomendasian inisiasi dini terapi glukokortikoid jangka panjang untuk pasien
ARDS sedang hingga berat (PaO2/FiO2 < 200 mmHg dengan PEEP 10 cmH20), dan
sebelum hari ke 14 (99).
KESIMPULAN
ARDS terus dikaitkan dengan angka kematian yang tinggi. Terlepas dari
beberapa uji coba acak terkontrol, hanya strategi ventilasi pelindung paru, agen
penghambat neuromuskular, dan ventilasi telungkup yang telah terbukti menurunkan
angka kematian. Banyak uji coba yang sedang dilakukan dalam mengamati heparin
nebulisasi, aspirin, terapi stem cell, growth faktor, interferon-β dan vaskular endotelial
growth faktor. Definisi dari New Berlin tentang ARDS mungkin dapat membantu uji
coba terapi baru di masa mendatang dengan meningkatkan keandalan dan
memungkinkan stratifikasi pasien yang lebih tepat berdasarkan dari tingkat keparahan
penyakitnya.
FIGURE 1: Tampilan grafis dari konsep indeks tegangan. Index tegangan merupakan
koefisien b dari sebuah persamaan daya (tekanan saluran udara = waktu
inspirasi b+c) yang sesuai dengan segmen airway opening pressure
(Pao)(garis tebal) sesuai dengan periode inflasi aliran yang spontan (garis
putus-putus), selama aliran konstan, mekanisme siklus volume. Untuk
nilai indeks tegangan <1, kurva Pao memberikan sebuah lengkungan ke
arah bawah, menunjukan bahwa adanya peningkatan elastisitas paru
yang berkelanjutan. Terakhir, jika nilai indeks tegangan sama dengan 1,
lengkungan akan menjadi lurus, menunjukan bahwa tidak adanya variasi
tidal dalam elastisitas. Dicetak ulang dari Grasso et al, 2007(41) dengan
izin dari American Thoracic Society. Hak Cipta © American Thoracic
Society. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine
merupakan sebuah jurnal resmi dari American Thoracic Society.