Anda di halaman 1dari 16

Analisa Diameter Butiran Terhadap Fenomena Aliran

dan Kecepatan Jatuh (Fall Velocity)


I. Definisi

Sedimen secara alami diuraikan oleh proses pelapukan dan erosi dan kemudian diangkut oleh
tindakan cairan seperti angin, air, atau es, dan/atau oleh gaya gravitasi yang bekerja pada
partikel itu sendiri.

Batuan sediment adalah batuan yang terbentuk dari akumulsi material hasil rombakan batuan
yang sudah ada sebelumnya atau hasil aktifitas kimia maupun organisme yang diendapkan
pada cekungan sedimentasi yang kemudian mengalami pembatuan. Dalam batuan sediment
dapat dijumpai fragmen batuan maupun mineral. Mineral-mineral yang umumnya ditemukan
dalam batuan sediment antara lain: kuarsa, feldspar, kalsit, dolomite, mika, dan mineral
lempung. Batuan sediment terjadi dari pembatuan atau litifikasi hancuran batuan lain atau
litifikasi hasil reaksi kimia atau biokimia. Sedangkan litifikasi sendiri berarti proses
terubahnya materi pembentuk batuan yang lepas-lepas (unconsolidated rock-forming
materials) menjadi batuan yang kompak keras (consolidated/coherent rocks). Litifikasi
tersebut dapat terjadi melalui proses penyemenan (cementation), pemadatan (compaction),
keluarnya air dari pori-pori karena pemadatan atau penguapan (desiccation), pengkristalan
(crystallization).

Berdasarkan proses terjadinya batuan sediment dibedakan menjadi sediment klastik dan
nonklastik. Batuan sediment klastik adalah batuan sediment yang terbentuk dari hasil
litifikasi material-material hasil rombakan batuan yang telah ada sebelumnya. Sedangkan
batuan nonklastik adalah batuan sediment yang terbentuk dari material-material hasil aktifitas
kimia, biokimia, maupun biologis. Dari kedua macam mekanisme pembentukan batuan
sediment tersebut dikenal tekstur klastik dan nonklastik. Batuan sediment mudah sekali untuk
kita temukan karena jumlahnya yang banyak di lingkungan sekitar kita ini.

II. Klasifikasi Ukuran Butiran

Sedimen dapat diklasifikasikan berdasarkan ukuran butir dan / atau komposisi. Ukuran
sedimen diukur pada log basis 2 skala, yang disebut “Phi” skala, yang mengklasifikasikan
partikel berdasarkan ukuran dari “koloid” ke “batu”.

Pembagian berdasarkan ukuran butir digunakan sebagai awal untuk mengklasifikasikan dan
menamakan sedimen dan batuan sedimen klastik terrigenous ; kerikil dan konglomerat
tersusun oleh klastik berdiameter lebih dari 2 mm, butir berukuran pasir antara 2 mm sampai
1/16 mm (63 μm) ; lumpur (termasuk lempung dan lanau) terdiri dari partikel berdiameter
kurang dari 63 μm. Ada beberapa jenis skema dan pembagian kategori, tetapi sedimentologist
cenderung menggunakan Skala Wentworth (Gambar 2.2) untuk menentukan dan menamakan
endapan klastik terrigenous. Dikenal umum dengan nama Skala Wentworth, skema ini
digunakan untuk klasifikasi materi partikel aggregate ( Udden 1914, Wentworth 1922).
Pembagian skala dibuat berdasarkan faktor 2 ; contoh butiran pasir sedang berdiameter 0,25
mm – 0,5 mm, pasir sangat kasar 1 mm – 2 mm, dan seterusnya. Skala ini dipilih karena
pembagian menampilkan pencerminan distribusi alami partikel sedimen ; sederhananya, blok
besar hancur menjadi dua bagian, dan seterusnya.
Empat pembagian dasar yang dikenalkan :

1. lempung (< 4 μm)

2. lanau (4 μm – 63 μm)

3. pasir (63 μm – 2 mm)

4. kerikil / aggregate (> 2 mm)

Skala phi adalah angka perwakilan pada skala Wentworth. Huruf Yunani ‘Ф’ (phi) sering
digunakan sebagai satuan skala ini. Dengan menggunakan logaritma 2, ukuran butir dapat
ditunjukkan pada skala phi sebagai berikut :

Ф = – log 2 (diameter butir dalam mm)

Tanda negatif digunakan karena biasa digunakan untuk mewakili ukuran butir pada grafik,
bahwa ukuran butir semakin menurun dari kanan ke kiri. Dengan menggunakan rumus ini,
butir yang berdiameter 1 mm adalah 0Ф; 2mm adalah -1Ф, 4 mm adalah -2Ф, dan
seterusnya; ukuran butir yang semakin menurun, 0,5 mm adalah +1Ф, 0,25 mm adalah 2Ф,
dan seterusnya.
III. Tekstur Sedimen

Tekstur mencakup ukuran, bentuk, dan keteraturan komponen penyusun batuan. Tekstur pada
dasarnya merupakan mikro-geometri batuan. Istilah “berbutir kasar”, “menyudut”, dan
“terimbrikasi” merupakan ungkapan yang digunakan untuk mernyata-kan tekstur. Seorang
ahli geologi mungkin tidak puas hanya dengan ungkapan seperti itu. Dia ingin memberikan
pemerian yang lebih teliti; dia ingin tahu seberapa kasar komponen penyusun suatu batuan,
bagaimana bentuk sudut-sudutnya, serta arah dan kemiringan imbrikasinya.

Beberapa aspek tekstur bersifat kompleks dan tergantung pada aspek-aspek lain yang lebih
mendasar. Sebagai contoh, porositas tergantung pada pembandelaan (packing), bentuk, dan
pemilahan partikel penyusun batuan. Berbeda dengan tekstur, yang pada dasarnya berkaitan
dengan hubungan antar partikel penyusun batuan, struktur merupa-kan gejala batuan berskala
besar seperti perlapisan dan gelembur (ripple mark). Tekstur sebaiknya dipelajari dalam
sampel genggam (hand specimen) atau sayatan tipis. Struktur, di lain pihak, sebaiknya
dipelajari pada singkapan, meskipun ada juga struktur yang terlihat pada sampel genggam.
Sedimen yang baru terbentuk memiliki porositas yang tinggi. Porositas awal dari pasir sekitar
35–40%, sedangkan porositas awal dari lanau dan lempung mungkin sekitar 80%. Salah satu
perbedaan utama antara batuan sedimen dengan batuan beku dan batuan metamorf adalah
bahwa batuan sedimen memiliki porositas, sedangkan batuan beku dan batuan metamorf
hanya sedikit atau tidak memiliki porositas. Namun, dari waktu ke waktu, ruang pori sedimen
akan mengecil hingga mendekati nol. Ruang pori sedimen mengecil karena terjadinya
presipitasi mineral dalam ruang pori. Mineral yang dipresipitasikan dalam ruang pori berasal
dari larutan yang ada dalam ruang pori atau larutan yang masuk kedalamnya. Tekstur
presipitat kimia itu, dan tekstur yang terbentuk akibat alterasi unsur-unsur rangka sedimen,
disebut tekstur diagenetik (diagenetic texture). Sebagian besar komponen batuan yang
memper-lihatkan tekstur diagenetik merupakan material kristalin. Tekstur diagenetik
terkadang demikian pervasif sehingga tekstur awal (tekstur pengendapan) dari batuan itu
tertindih atau bahkan hilang sama sekali. Walau demikian, dalam kasus-kasus umum, kemas
awalnya masih terlihat sebagai relik atau “ghost” yang terlihat samar.

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa hampir semua sedimen memperlihatkan dua
kemas: kemas hidrodinamik dan kemas diagenetik. Kesimpulan ini tidak hanya sahih untuk
batupasir, namun juga untuk sebagian besar batugamping. Jadi, perbedaan antara batupasir
dengan batugamping sebenarnya terletak pada komponen penyusunnya, bukan pada
kemasnya.

IV. Konsep Besar Butir


Apabila partikel penyusun sedimen klastika semuanya berbentuk bola, maka tidak akan
muncul berbagai kesulitan yang berkaitan dengan masalah pengertian besar butir seperti
sekarang ini. Hanya dengan menyatakan diameternya, orang sudah paham maksudnya.
Kenyataannya, kita justru hampir tidak pernah menemukan partikel sedimen yang berbentuk
bola; yang ada justru partikel yang tidak beraturan. Karena itu, para ahli sedimentologi
dituntut untuk membuat suatu skema penggolongan yang sesuai dengan kenyataan tersebut.
Jika ada yang mengatakan bahwa konglomerat A tersusun oleh kerikil berdiameter x, maka
pertanyaannya adalah: Apa yang dimaksud dengan kata “diameter” dari partikel yang tidak
beraturan seperti itu?

Pengukuran langsung diameter partikel yang tidak beraturan banyak menimbulkan masalah.
Beberapa peneliti memakai istilah panjang, lebar, dan tebal untuk menyatakan ukuran
partikel, tanpa menjelaskan pengertian ketiga istilah itu. Istilah diameter terpendek, diameter
terpanjang, dan diameter menengah dari suatu elipsoid triaksial memang mudah dikatakan
namun sukar dipraktekkan. Haruskah setiap diameter itu melalui suatu titik pusat? Haruskah
kita mengkombinasikan nilai ketiga diameter itu dan kemudian membaginya untuk
mendapatkan nilai diameter “rata-rata”? Atau apakah kita cukup menyatakan diameter
menengahnya saja? Krumbein (1941) mengangkat pertanyaan-pertanyaan tersebut dan
membuat suatu kerangka definisi operasionalnya (gambar 3-1). Definisi-definisi yang agak
berbeda dari berbagai definisi yang dikemukakan Krumbein (1941), diajukan oleh Humbert
(1968).
Dalam praktek, istilah diameter memiliki pengertian yang beragam, tergantung cara
pengukurannya. Semua metoda pengukuran partikel sedimen didasarkan pada suatu premis,
yaitu bahwa semua partikel berbentuk bola atau hampir berbentuk bola atau bahwa hasil
pengukuran dinyatakan sebagai diameter ekivalen bola.

Karena tidak ada kondisi faktual yang memenuhi per-syaratan itu, maka nilai besar butir yang
selama ini dikemukakan orang sebenarnya tidak ada yang benar. Jadi, besar butir suatu
partikel sebenarnya tidak dapat diukur. Sebagai gantinya, beberapa sifat lain dipakai untuk
“mengukur” diameter dan hasilnya kemudian dikonversikan ke dalam nilai diameter.
Pengkonversian dilakukan dengan memakai beberapa asumsi. Sebagian orang meng-ukur
volume suatu partikel, kemudian menghitung diameter bola yang volumenya sama dengan
volume partikel itu. Diameter seperti itu disebut diameter nominal (nominal diameter) oleh
Wadell (1932). Metoda itu tidak tergantung pada densitas atau bentuk partikel. Jadi, sahih
untuk dipakai. Ahli lain “menguku” diameter berdasarkan settling velocity partikel. Karena
settling velocity tidak hanya tergantung pada besar butir, namun juga pada bentuk dan
densitasnya, maka metoda ini hanya sahih jika densitas dan bentuk butir partikel tetap. Hasil
pengukuran itu selanjutnya direduksi dan dikonversikan ke dalam harga diameter atau jari-
jari dengan asumsi bahwa butirannya berbentuk bola dengan densitas 2,65 (densitas kuarsa).

V. Istilah Istilah Besar Butir

Istilah-istilah psefit (psephite), psamit (psammite), dan pelit (pelite) yang diambil dari Bahasa
Yunani serta istilah ekivalen-nya—rudit (rudite), arenit (arenite), dan lutit (lutite)—yang
diambil dari Bahasa Latin, diusulkan untuk menggantikan istilah gravel, pasir, dan lempung.
Ketiga istilah yang disebut terakhir ini tidak hanya menyatakan besar butir, namun
mengimplikasikan juga komposisi atau sifat lain. Istilah lempung, misalnya saja, sekarang ini
memiliki arti ganda, yaitu sebagai istilah besar butir dan jenis mineral. Jika istilah lempung
kemudian disepakati untuk digunakan secara terbatas hanya untuk menyatakan jenis mineral,
maka kita perlu mencari istilah lain untuk menyatakan besar butir yang semula disebut
lempung. Istilah yang agaknya dapat digunakan sebagai pengganti istilah lempung dalam
pengertian besar butir adalah lutit; suatu istilah yang sebenarnya tidak terlalu asing bagi kita
karena dipakai dalam penamaan batugamping (ingat, batugamping klastika halus disebut
kalsilutit).

Sebenarnya, dalam prakteknya, pemakaian istilah lempung dalam pengertian berganda seperti
tersebut di atas kurang disetujui oleh para ahli. Sebagai buktinya, agaknya tidak ada ahli
geologi yang setuju untuk menamakan lumpur gamping murni sebagai lempung. Dengan
dipakainya istilah lutit, kita dapat menamakan sedimen seperti itu sebagai kalsilutit
(calcilutite). Sedimen lain yang disusun oleh partikel klastika berukuran lempung dapat
disebut argilutit (argillutite). Analog dengan itu, pasir karbonat murni akan disebut
batugamping, bukan batupasir. Tyrell (1921) mengusulkan agar istilah-istilah yang berasal
dari Bahasa Latin digunakan untuk menamakan batuan sedimen, sedangkan istilah-istilah
yang berasal dari Bahasa Yunani digunakan untuk menamakan batuan metamorf yang berasal
dari batuan sedimen.

Istilah-istilah manapun yang dipilih, setiap istilah itu kemungkinan besar akan dipersepsikan
secara beragam oleh orang yang terlibat dalam suatu bentuk komunikasi. Sebagai contoh,
ketika seseorang mengatakan bahwa dia menemukan pasir, orang-orang yang mendengarnya
mungkin mempersepsikan pasir itu dengan besar butir yang berbeda-beda karena limit-limit
kelas pasir itu sendiri memang beragam. Fakta ini mendorong kita untuk membuat
pembakuan. Sayang sekali, hingga kini keinginan itu masih belum tercapai. Para ahli
rekayasa, ahli tanah, dan ahli geologi masih memakai rujukan yang berbeda. Sebernarnya,
jangankan kesepakatan diantara orang-orang yang disiplin ilmunya berbeda-beda, diantara
ahli-ahli sedimentologi sendiri masih belum ada kesepakatan.

Skala besar butir yang biasa digunakan oleh para ilmuwan di Amerika Utara adalah karya
J.A. Udden (1898, 1914). Udden mengembangkan suatu skala geometri dan menggunakan
istilah umum untuk menamakan setiap kelas besar butir (gravel, pasir, lanau, dan lempung).
Pada 1922, Wentworth menyempurnakan skala Udden dengan mempertimbangkan pendapat
para ahli yang didapatkannya melalui kuestioner. Pada 1947, suatu komite ahli geologi dan
hidrologi mendukung penggunaan skala dan istilah besar butir Udden-Wentworth, kecuali
untuk granul (granule) (Lane dkk, 1947). Sejak itu, skala Udden-Wentworth digunakan
secara luas oleh para peneliti di Amerika Utara. Kemudian, setelah dilengkapi dengan notasi
phi yang diperkenalkan oleh Krumbein pada 1938, skala besar butir Udden-Wentworth juga
banyak dipakai di tempat lain.

Committee on Sedimentation dari National Research Council (Amerika Serikat) telah


menerbitkan sejumlah laporan tentang tatanama sedimen, termasuk didalamnya pendefinisian
ulang istilah-istilah besar butir. Definisi-definisi baru yang mereka ajukan adalah sbb:

1. Bongkah (boulder) adalah suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena
terabrasi selama terangkut dan memiliki diameter minimal 256 mm. Bongkah hasil
pelapukan in situ disebut bongkah disintegrasi (boulder of disintegration) atau
bongkah ekstrafolasi (boulder of extrafolation). Blok (block) adalah fragmen batuan
yang berukuran sama dengan bongkah, namun menyudut dan tidak memperlihatkan
jejak pengubahan oleh media pengangkut.
2. Kerakal (cobble) adalah suatu massa batuan lepas yang agak membundar karena
terabrasi selama terangkut dan memiliki diameter 64–256 mm. Kerakal hasil
pelapukan in situ disebut kerakal exfoliasi (cobble of exfoliation).
3. Kerikil (pebble) adalah suatu fragmen batuan yang lebih besar dari pasir kasar atau
granul dan lebih kecil dari kerakal serta membundar atau agak membundar karena
terabrasi oleh aksi air, angin, atau es. Jadi, diameter kerikil adalah 4–64 mm.
4. Akumulasi bongkah, kerakal, kerikil, atau kombinasi ketiganya dan tidak
terkonsolidasi disebut gravel. Berdasarkan besar butir partikel dominannya, suatu
gravel dapat disebut gravel bongkah (boulder gravel), gravel kerakal (cobble gravel),
atau gravel kerikil (pebble gravel). Bentuk ekivalen dari gravel, namun sudah
terkonsolidasi, disebut konglomerat (conglomerate). Seperti juga gravel, konglomerat
dapat berupa konglomerat bongkah (boulder conglomerate), konglomerat kerakal
(cobble conglomerate), atau konglomerat kerikil (pebble conglomerate). Rubble
adalah akumulasi fragmen batuan yang lebih kasar dari pasir, menyudut, dan belum
terkonsolidasi. Bentuk ekivalen dari rubble, namun telah terkonsolidasi, disebut breksi
(breccia).
5. Istilah pasir (sand) digunakan untuk menamakan agregat partikel batuan yang
berdiameter lebih dari 1/16–2 mm.
6. Wentworth (1922) mengusulkan istilah granul (granule) untuk menamakan material
yang berukuran 2–4 mm.
7. Lanau (silt) adalah agregat partikel batuan yang berukuran 1/125–1/16 mm.
8. Lempung (clay) adalah agregat partikel batuan yang berukuran kurang dari 1/256
mm.

VI. Fall Velocity (Kecepatan Jatuh)


Sedimen yang diangkut didasarkan pada kekuatan dari aliran yang membawa dan ukuran
sendiri, volume, kepadatan, dan bentuk. Mengalir kuat akan meningkatkan lift dan tarik pada
partikel, menyebabkan ia naik, sementara partikel yang lebih besar atau lebih padat akan
lebih cenderung jatuh melalui aliran.

Sungai membawa sedimen di aliran mereka. Sedimen ini dapat berada di berbagai lokasi
dalam aliran, tergantung pada keseimbangan antara kecepatan ke atas pada partikel (tarik dan
kekuatan angkat), dan menyelesaikan kecepatan dari partikel. Hubungan ini diberikan dalam
tabel berikut untuk nomor Rouse, yang merupakan rasio kecepatan jatuh sedimen ke atas
kecepatan.

Konstanta Von Karman

Dalam dinamika fluida, Von Karman yang konstan (atau Karman konstanta), yang ditemukan
Theodore von Kármán, adalah sebuah konstanta berdimensi menggambarkan logaritmik
profil kecepatan turbulen dari aliran fluida di dekat perbatasan dengan kondisi tanpa-slip.

Kecepatan jatuh dapat diplot untuk kedua formula dan hasilnya dibandingkan dengan
pengukuran empiris. Gibbs, et al., 1971 Sementara plot garis-garis teoritis secara konsisten di
atas data percobaan, itu masih dapat dilihat bahwa ada hubungan yang konsisten antara
ukuran butir lebih kecil dan penurunan kecepatan jatuh.

The Rouse Number

Adalah dimensi non-nomor dalam dinamika fluida yang digunakan untuk menentukan profil
konsentrasi sedimentasi dan yang juga menentukan bagaimana sedimen akan diangkut dalam
fluida yang mengalir. Ini adalah perbandingan antara sedimen kecepatan jatuh w s dan
kecepatan di atas butir sebagai produk dari von Karman konstan κ dan kecepatan geser u *.

Kecepatan Geser

Adalah suatu bentuk dengan mana tegangan geser dapat ditulis ulang dalam satuan
kecepatan. Hal ini berguna sebagai metode dalam mekanika fluida untuk membandingkan
kecepatan sejati, seperti kecepatan dari aliran di sungai, untuk sebuah kecepatan yang
menghubungkan antara lapisan geser aliran. Kecepatan geser digunakan untuk
menggambarkan gerak terkait geser dalam fluida yang bergerak. Hal ini digunakan untuk
menjelaskan:

 Difusi dan dispersi dari partikel, pelacak, dan kontaminan dalam fluida mengalir
 Profil kecepatan di dekat perbatasan aliran (lihat hukum logaritmik dinding)
 Transportasi sedimen di saluran

VII. Kecepatan Endap (Settling Velocity)

Interaksi antara partikel butiran sedimen terhadap aliran zat cair dipengaruhi oleh adanya
kecepatan endap butiran tersebut. Bentuk konfigurasi dasar saluran dipengaruhi oleh nilai
kecepatan endap dari butiran sedimen seperti yang ditunjukkan pada beberapa hasil penelitian
serta dalam studi sedimen suspensi, bahwa kecepatan endap mempunyai pengaruh yang
sangat penting.
Kecepatan endap dapat diturunkan dari persamaan Navier Stokes dengan tanpa
memperhitungankan pengaruh gaya inersia aliran yang bekerja pada suatu butiran sedimen
berbentuk bola. Turunan persamaan ini menghasilkan persamaan hambatan selama butiran
mengendap.

Penurunan persamaan kecepatan endap didasarkan asumsi berikut (Kironoto, 1997) :

1. Gaya-gaya inersia dianggap dapat diabaikan karena bilangan Reynolds yang


digunakan sangat kecil sehingga pengaruh gaya viskositas jauh lebih dominan dari
pengaruh gaya inersia.
2. Butiran yang dipergunakan hanya butiran berbentuk bola, sehingga untuk butiran
yang berbentuk selain bola kemungkinan terjadi kesalahan bisa saja terjadi.
3. Antara butiran sedimen dan zat cair tidak ada bidang slip.
4. Butiran yang mengendap terjadi pada zat cair diam, dan pergerakan butiran tidak
dipengaruhi oleh bidang batas.

Kecepatan endap yang memperhitungkan adanya gaya inersia yang bekerja pada butiran
masih didasarkan persamaan Navier Stokes tetapi dalam bentuk yang agak berbeda.
Pergerakan sedimen dalam zat cair akan mengalami gaya hambat yang ditimbulkan karena
adanya gesekan antara zat cair dengan partikel sedimen. Gaya hambat menurut Newton
merupakan fungsi dari luas bidang kontak atau luar permukaan butiran yang mendapat gaya
dan kecepatan endap. Sedangkan menurut Stokes gaya hambat yang ditimbulkan oleh partikel
sedimen terhadap air merupakan fungsi dari diameter butiran, viskositas dinamik zat cair dan
kecepatan endap.

Banyak peneliti yang sudah dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh bentuk partikel
teratur terhadap koefisien hambat, baik secara eksperimental ataupun secara analisis.
Sedangkan material berbentuk tidak teratur seperti pasir alam sebagian besar hanya
berdasarkan pada eksperimen.

Secara empirik hubungan antara koefisien hambat dengan bilangan Reynolds dapat ditulis
sebagai berikut (Kironoto (1997), Graf (1984)):

1. Partikel bola CD = 24 / Re
2. Partikel disk lingkaran CD = 20,37 / Re

Persamaan diatas memperlihatkan bahwa baik butiran berbentuk bola dan disk lingkaran,
nilai koefisien hambat tidak banyak berbeda, Sehingga dapat disimpulkan bahwa pada daerah
Stroke’s range, koefisien hambat tidak dipengaruhi oleh tebal partikel, dengan catatan bahwa
butiran tidak terlalu panjang atau terlalu tebal.

Karakteristik bentuk dari butiran sedimen dinyatakan dalam suatu bilangan tak berdimensi
yang dikenal dengan faktor bentuk (Shape factor) yang didefinisikan sebagai (Albertson et.al.
(1953) dalam Graf (1984)) :

Sf = c / (a b)1/2

Dengan a, b, cmerupakan diameter terpanjang, menengah, kecil. Faktor bentuk untuk pasir
alamdari hasil penelitian Schulz, Wilde dan Albertson, dalam Graf (1984) bervariasi berkisar
antara 0,6 – 0,7 .
VIII. Distribusi Massa Sedimen

Distribusi massa partikel sering ditunjukkan dengan pendekatan distribusi probabilitas


Normal-Logaritmik (Semilogaritmic). Kurva yang dihasilkan merupakan hubungan antara
ukuran butir sebagai absis dan persen lolos kumulatif sebagai ordinat.

Keseragaman butiran sedimen yang menyusun suatu gradasi dapat dinyatakan dengan
koefisien keseragaman Kramer, Mk (Kramer’s Coeffisient of Uniformity),

Dalam Garde (1997), derajat penyebaran dari suatu ukuran butiran diukur dengan penyebaran
baku. Material yang mempunyai nilai penyebaran baku sangat kecil atau mendekati 1 maka
material disebut dengan material berbutir seragam.

IX. Gerak Awal Butiran

Gaya-gaya hidrodinamik yang timbul sebagai akibat adanya aliran, bekerja pada material
sedimen dasar yang cenderung menyebabkan butiran sedimen tersebut bergerak. Kondisi
dimana gaya-gaya hidrodinamika yang bekerja menyababkan suatu butiran mulai bergerak
disebut kondisi kritis atau gerak awal butiran sedimen. Hasil dari penelitian tentang gerak
awal suatu butiran sedimen menunjukkan sangat subjektif sekali karena sifat fisik dari
material sedimen tidak sama. Seperti material yang mempunyai kandungan fraksi lanau atau
lempung yang cenderung mempunyai sifat kohesif, gaya-gaya yang melawan gaya
hidrodinamik lebih disebabkan oleh sufat kohesifitasnya. Berbeda dengan material yang sifat
kohesifnya kecil seperti pasir atau batuan, gaya perlawanan terhadap gaya hidrodinamik lebih
disebabkan oleh gaya berat butiran itu sendiri.

Gerak awal butiran dasar dapat dijelaskan dengan cara seperti (Graf, 1984):

1. Dengan menggunakan persamaan kecepatan kritis yakni dengan mempertimbangkan


pengaruh aliran terhadap butiran.
2. Dengan kondisi tegangan gesek kritis yakni dengan mempertimbangkan hambatan
gesek dari aliran butiran.
3. Kriteria gaya angkat yakni dengan mempertimbangkan perbedaan tegangan yang
menyebabkan terjadinya gradien kecepatan.

IX.1 Persamaan Kecepatan Kritis

Gaya-gaya yang bekerja pada suatu butiran dasar terdiri dari gaya hambat, FD, gaya angkat,
FL, dan gaya berat, W.

Hjulstrom (1953) dalam Graf (1984) mengadakan penelitian dan membuat laporan tentang
garis batas erosi, transportasi dan deposisi. Dalam analisis data yang lebih luas, untuk
pergerakan material dasar lepas dengan ukuran seragam, Hjulstrom menggunakan kecepatan
rerata sebagai pengganti kecepatan dasar. Dengan alasan ini, dianggap bahwa kecepatan
rerata 40% lebih besar dari kecepatan dasar untuk aliran yang kedalamannya melebihi 1,00
m.

IX.2 Kriteria Tegangan Gesek Kritis


Gaya-gaya yang bekerja pada aliran permanen seragam dapat dikategorikan sebagai gaya
pendorong berupa gaya tekan hidrostatis yang saling meniadakan, gaya tekan atmosfir, gaya
berat, dan gaya penghambat yang merupakan gaya perlawanan terhadap gaya pendorong.
Gaya hambat biasa disebut dengan gaya gesek dasar. Berdasarkan prinsip kesetimbangan
gaya atau hukum Newton tentang gerak, maka penurunan kedua jenis gaya diatas pada
saluran lebar menhasilkan gaya gesek dasar (τo) yang dinyatakan sebagai:

τo = ρ g h Sf

dimana:

ρ = rapat massa air,

Sf = gradien hidraulis,

h = kedalaman aliran.

Aplikasi dari persamaan tegangan gesek ke persamaan koefisien sedimen didapat persamaan
tegangan gesek dasar kritis sebagai berikut:

A” = (τo)cr / (γs – γ) d

Shields (1936) memasukkan kecepatan gesek dasar, U* = (τo / ρ)1/2, yang digunakan dalam
pengembangan persamaan angkutan sedimen dengan menggunakan butiran sedimen seragam
pada dasar rata, sehingga koefisien sedimen A” menjadi:

(τo)cr / (γs–γ)d = fct (dU*/v) atau (τo)cr / (γs–γ)d = fct (Re)

Kurva hubungan tegangan gesek kritis dengan bilangan Reynolds tersebut, oleh shields
(1936) dinyatakan dengan hukum distribusi logaritmik.

Pada sub-lapis laminer, δ, bilangan Reynolds dinyatakan sebagai:

(dU*/v) = 11,6 (d / δ)

X. Mekanisme Transportasi Sungai

Sedimen mengalami transportasi oleh sungai melalui tiga cara, yaitu dengan mekanisme bed
load, mekanisme suspended load dan mekanisme dissolved load. (Plummer dkk, 2003:231-
232). Mekanisme bed load Partikel partikel sedimen terangkut pada dasar sungai.
Partikel partikel tersebut umumnya berukuran butir gravel – sand. Pada mekanisme bed load
ada beberapa macam cara partikel-partikel tertransportasikan :

1. Traksi, yaitu pengangkutan dengan cara terseret pada dasar sungai.


2. Rolling, partikel partikel tersebut tertransportasikan dengan cara menggelinding di
dasar sungai.
3. Saltasi, partikel partikel tertransportasikan dengan cara melompat – lompat pada
dasar sungai.
4. Mekanisme suspended load, Material material sedimen tertransportasikan oleh sungai
dengan cara melayang layang di atas dasar sungai oleh turbulensi air. Material yang
terangkut dengan cara ini umumnya berukuran butir lanau sampai lempung.
5. Mekanisme dissolved load

Umumnya material yang tertransportasikan dengan cara ini merupakan larutan hasil
pelapukan kimia, misalnya ion – ion bikarbonat, kalsium, potassium, sodium, klorit, dan
sulfat.

Proses Deposisi Pada Sungai

Proses deposisi berlangsung apabila sungai tidak dapat lagi mentrasportasikan material-
material yang dibawanya. Menurut Thornbury (1964, hal. 164 – 165), hal tersebut dapat
terjadi karena beberapa hal, antara lain :

 Penurunan kecepatan aliran sungai.


 Adanya hambatan disepanjang channel, misalnya akibat adanya aliran lava atau
gerakan massa.
 Penambahan material – material yang ditransportasikan sungai.
 Berkurangan debit aliran akibat perubahan iklim.
 Proses deposisi yang berlangsung secara terus – menerus dapat membentuk dataran
banjir, braided streams, endapan gosong, alluvial fan, dan delta. Di samping air, angin
juga merupakan pelaku dalam proses erosi. Erosi oleh angin dibagi menjadi dua
macam yaitu deflasi dan abrasi. Deflasi adalah proses perpindahan materi permukaan
bumi yang lepas-lepas disebabkan oleh tiupan angin. Abrasi adalah pengikisan materi
permukaan bumi oleh angin dan butir-butir materi yang terangkut.
 Hasil pengendapan oleh angin yang tebal dan luas dan terdiri dari butir-butir kuarts,
feldspar, mika dan kalsit berukuran butir lempung, lanau dan pasir.
 Gerakan Massa, yaitu proses berpindahnya tanah atau batuan disebabkan oleh gaya
gravitasi bumi.

Gerakan massa ada beberapa macam yaitu :

 Creeping (rayapan tanah) yaitu gerakan massa tanah sepanjang bidang batas dengan
batuan induknya. Gerakannya sangat lambat, tidak dapat diikuti dengan pengamatan
mata langsung. Baru diketahui setelah nampak adanya pohon atau tiang listrik/telpon
yang miring.
 Mudflow (aliran lumpur) yaitu gerakan massa yang relatif cair dan gerakannya relatif
cepat. Sebagai contohya adalah aliran lahar
 Debris Flow (aliran bahan rombakan) yaitu gerakan massa bahan rombakan yang
kering dan bersifat lepas. Gerakannya relatif cepat
 Rock Fall (jatuhan batuan) dan debris fall (jatuhan bahan rombakan) yaitu gerakan
massa batuan atau bahan rombakan yang jatuh bebas karena adanya tebing terjal
menggantung. Gerakannya cepat.
 Debris slide dan Rock slide (Geseran bahan rombakan dan geseran batuan) yaitu
gerakan massa batuan atau bahan rombakan yang menggeser sepanjang bidang rata
dan miring, misalnya di sepanjang permukaan bidang lapisan batuan.
 Slump adalah geseran melalui bidang lengkung
 Subsidence (Amblesan) adalah gerakan massa tanah atau batuan yang relatif vertikal
secara perlahan-lahan.
XI. Proses sedimentasi

Proses sedimentasi terjadi ketika sungai tidak mampu lagi mengangkut material yang
dibawanya. Apabila tenaga angkut semakin berkurang, maka material yang berukuran kasar
akan diendapkan terlebih dahulu baru kemudian diendapkan material yang lebih halus.
Ukuran material yang diendapkan berbanding lurus dengan besarnya energi pengangkut,
sehingga semakin ke arah hillir ukuran butir material yang diendapkan semakin halus.

Pola Penyaluran

Bentuk-bentuk tubuh air disebut pengaliran / penyaluran (drainage), meliputi laut, danau,
sungai, rawa dan sejenisnya. Satu sungai atau lebih beserta anak sungai dan cabangnya dapat
membentuk suatu pola atau sistem tertentu yang dikenal sebagai pola pengaliran / pola
penyaluran (drainage pattern). Pola pengaliran dapat dibedakan menjadi beberapa macam.
Tiap-tiap macam pola pengaliran dapat bervariasi, dan variasi tersebut antara lain disebabkan
oleh adanya struktur dan variasi batuan dimana pola pengaliran itu terdapat.

Macam-macam pola pengaliran :

1. Dendritik : pola pengaliran dengan bentuk seperti pohon, dengan anak-anak sungai
dan cabang-cabangnya mempunyai arah yang tidak beraturan. Umumnya berkembang
pada batuan yang resistensinya seragam, batuan sedimen datar, atau hampir datar,
daerah batuan beku masif, daerah lipatan, daerah metamorf yang kompleks. Kontrol
struktur tidak dominan di pola ini, namun biasanya pola aliran ini akan terdapat pada
daerah punggungan suatu antiklin.

1. Radial, adalah pola pengaliran yang mempunyai pola memusat atau menyebar dengan
1 titik pusat yang dikontrol oleh kemiringan lerengnya.

1. Rectanguler : pola pengaliran dimana anak-anak sungainya membentuk sudut tegak


lurus dengan sungai utamanya, umumnya pada daerah patahan yang bersistem
(teratur).

1. Trellis, adalah bentuk seperti daun dengan anak-anak sungai sejajar. Sungai utamanya
biasanya memanjang searah dengan jurus perlapisan batuan. Umumnya terbentuk
pada batuan sedimen berselang-seling antara yang mempunyai resistensi rendah dan
tinggi. Anak-anak sungai akan dominan terbentuk dari erosi pada batuan sedimen
yang mempunyai resistensi rendah.

Jadi secara umum, pembentukan sungai utama lebih disebabkan oleh kontrol struktrur dan
pembentukan anak sungai lebih disebabkan oleh kontrol litologi.

1. Annular, adalah pola pengaliran dimana sungai atau anak sungainya mempunyai
penyebaran yang melingkar. Sering dijumpai pada daerah kubah berstadia dewasa.
Pola ini merupakan perkembangan dari pola radier. Pola penyaluran ini melingkar
mengikuti jurus perlapisan batuannya.

1. Multi basinal atau sink hole adalah pola pengaliran yang tidak sempurna, kadang
nampak di permukaan bumi, kadang tidak nampak, yang dikenal sebagai sungai
bawah tanah. Pola pengaliran ini berkembang pada daerah karst atau daerah
batugamping.
2. Contorted, adalah pola pengaliran dimana arah alirannya berbalik / berbalik arah.
Kontrol struktur yang bekerja berupa pola lipatan yang tidak beraturan yang
memungkinkan terbentuknya suatu tikungan atau belokan pada lapisan sedimen yang
ada.

Macam-macam Bentang Alam Fluviatil

a. Sungai Teranyam (Braided Stream)

Terbentuk pada bagian hilir sungai yang memiliki slope hampir datar – datar, alurnya luas
dan dangkal. terbentuk karena adanya erosi yang berlebihan pada bagian hulu sungai
sehingga terjadi pengendapan pada bagian alurnya dan membentuk endapan gosong tengah.
Karena adanya endapan gosong tengah yang banyak, maka alirannya memberikan kesan
teranyam. Keadaan ini disebut juga anastomosis( Fairbridge, 1968).

b. Bar deposit

Adalah endapan sungai yang terdapat pada tepi atau tengah dari alur sungai. Endapan pada
tengah alur sungai disebut gosong tengah (channel bar) dan endapan pada tepi disebut gosong
tepi (point bar).Bar deposit ini bisa berupa kerakal, berangkal, pasir, dll.

c. Dataran banjir ( Floodplain) dan Tanggul alam (Natural levee)

Sungai stadia dewasa mengendapkan sebagian material yang terangkut saat banjir pada sisi
kanan maupun kiri sungai, seiring dengan proses yang berlangsung kontinyu akan terbentuk
akumulasi sedimen yang tebal sehingga akhirnya membentuk tanggul alam.

d. Kipas Aluvial (alluvial fan)

Bila suatu sungai dengan muatan sedimen yang besar mengalir dari bukit atau pegunungan,
dan masuk ke dataran rendah, maka akan terjadi perubahan gradien kecepatan yang drastis,
sehingga terjadi pengendapan material yang cepat, yang dikenal sebagai kipas aluvial, berupa
suatu onggokan material lepas, berbentuk seperti kipas, biasanya terdapat pada suatu dataran
di depan suatu gawir. Biasanya pada daerah kipas aluvial terdapat air tanah yang melimpah.
Hal ini dikarenakan umumnya kipas aluvial terdiri dari perselingan pasir dan lempung
sehingga merupakan lapisan pembawa air yang baik.

e. Meander

Bentukan pada dataran banjir sungai yang berbentuk kelokan karena pengikisan tebing
sungai, daerah alirannya disebut sebagai Meander Belt. Meander ini terbentuk apabila pada
suatu sungai yang berstadia dewasa/tua mempunyai dataran banjir yang cukup luas, aliran
sungai melintasinya dengan tidak teratur sebab adanya pembelokan aliran Pembelokan ini
terjadi karena ada batuan yang menghalangi sehingga alirannya membelok dan terus
melakukan penggerusan ke batuan yang lebih lemah.

f. Danau tapal kuda


Terbentuk jika lengkung meander terpotong oleh pelurusan air.

g. Delta

Adalah bentang alam hasil sedimentasi sungai pada bagian hilir setelah masuk pada daerah
base level. Selanjutnya akan dibahas dalam bentang Alam Pantai dan Delta.

XII. Teknik Analisis Granulometri

Teknik yang digunakan akan bergantung pada ukuran butir material yang diteliti. Kerikil
biasanya langsung diukur di lapangan. Sebuah kuadran diletakkan pada material lepas atau di
permukaan konglomerat, dan tiap klastik di dalam daerah kuadran diukur. Ukuran kuadran
yang diperlukan bergantung pada ukuran klastik: kuadran satu meter persegi untuk material
berukuran kerakal dan berangkal.

Contoh pasir yang tidak terkonsolidasi diambil dari potongan batupasir yang semennya
hancur akibat proses mekanik atau kimia. Kemudian timbunan pasir disaring dengan
penyaring yang memiliki satuan interval setengah atau satu Φ (2.2.2). Semua pasir yang
melewati 500μm (Φ=1) tapi tertahan oleh jala 250μm (Φ=2) memiliki ukuran butir pasir
sedang. Dengan menimbang kandungan tiap saringan, distribusi ukuran butir yang berbeda
dapat ditentukan.

Tidak mudah menyaring material yang lebih halus dari lanau kasar, jadi proporsi material
berukuran lempung dan lanau ditentukan dengan cara lain. Banyak teknik laboratorium
digunakan dalam analisis granulometri partikel berukuran lempung dan lanau berdasarkan
kecepatan pengendapan yang diprediksikan dengan hukum Stoke (4.2.5). Jenis metode yang
menggunakan pipa dan pipet (Krumben & Pettijohn 1938; Lewis & McConchie 1994), semua
berdasarkan prinsip bahwa partikel setiap ukuran butir akan tenggelam menempuh jarak
tertentu di dalam pipa berisi air dengan waktu yang dapat diperkirakan. Sampel dipindahkan
pada suatu interval waktu, dikeringkan dan ditimbang untuk menentukan proporsi lempung
dan lanau. Teknik pengendapan ini tidak sepenuhnya dapat menghitung efek bentuk butir
atau berat jenis pada kecepatan pengendapan dan perlu hati-hati dalam membandingkan hasil
analisis ini dengan data distribusi ukuran butir yang diperoleh dari teknik yang lebih canggih
seperti alat hitung Coulter, yang menentukan ukuran butir berdasarkan sifat listrik butiran
yang tersuspensi dalam fluida.

Hasil dari analisis diplot dalam salah satu dari tiga bentuk diagram: histogram persentase
berat tiap fraksi ukuran, kurva frekuensi atau kurva frekuensi kumulatif (Gambar 10).
Catatan, bahwa ukuran kasar diplot di kiri dan material yang halus diplot di bagian kanan
grafik. Tiap-tiap grafik mewakili distribusi ukuran butir, memungkinkan menghitung nilai
rata-rata ukuran butir dan pemilahan (deviasi standar dari distribusi normal). Nilai lain yang
dapat dihitung adalah kecondongan distribusi, petunjuk apakah histogram ukuran butir
simetri atau condong ke material kasar atau halus; dan kurtosis, nilai yang menunjukkan
apakah histogram memiliki puncak yang tajam atau datar (Pettijohn 1975: Lewis &
McConchie 1994).

Menggunakan Hasil Analisis Granulometri

Distribusi ukuran butir ditentukan oleh proses transportasi dan distribusi. Sedimen glacial
biasanya terpilah sangat buruk, sedimen sungai terpilah sedang dan endapan pantai serta
aeolian sering terpilah baik. Alasan perbedaan ini dibahas dibab selanjutnya. Dalam banyak
kondisi karakter pemilahan dapat ditafsirkan secara kualitatif, dan bayak fitur seperti struktur
sedimen tertentu yang menunjukkan lingkungan pengendapannya. Analisis granulometri
kuantitatif sering tidak diperlukan dan tidak memberikan banyak informasi dibandingkan
dengan bukti-bukti lainnya.

Analisis granulometri menyediakan informasi kuantitatif ketika memerlukan perbandingan


karakter dari endapan sedimen di dalam lingkungan yang telah diketahui, seperti di pantai
atau sepanjang sungai. Ini sangat umum digunakan dalam analisis dan kuantifikasi proses
transportasi dan pengendapan masa sekarang.

Anda mungkin juga menyukai