Anda di halaman 1dari 75

UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH

(Piper crocatum) TERHADAP SEL FIBROBLAS

SKRIPSI

Oleh :

PELANGI C.P.S.
020413335

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH

(Piper crocatum) TERHADAP SEL FIBROBLAS

SKRIPSI

Oleh :

PELANGI C.P.S.
020413335

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013

i
LEMBAR PENGESAHAN

UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH


(Piper crocatum) TERHADAP SEL FIBROBLAS

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan


Pendidikan Dokter Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Airlangga Surabaya

Oleh :

PELANGI CITRA.PS
NIM : 020413335

Menyetujui

Pembimbing Utama Pembimbing Serta

(Markus Budi Rahardjo, drg., M.Kes) (Dr. Ira Arundina, drg.,M.Si)


NIP. 195405101981031010 NIP. 1971110281997022002

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
ii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI

Skripsi ini telah diuji pada tanggal 22 Januari 2013

PANITIA PENGUJI SKRIPSI

1. Dr. Theresia Indah Budhy, drg., M.Kes (Ketua Penguji)

2. Dr. Pratiwi Soesilawati, drg., M.Kes (Anggota)

3. Dr. Retno Indrawati, drg., M.Si (Anggota)

4. Markus Budi Raharjo, drg., M.Kes (Pembimbing Utama/Anggota)

5. Dr. Ira Arundina, drg., M.Si (Pembimbing Serta/Anggota)

iii
UCAPAN TERIMA KASIH

Pertama-tama penulis panjatkan puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa

atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul “UJI

SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH MERAH (Piper

Crocatum) TERHADAP SEL FIBROBLAS” ini dapat terselesaikan. Penyusunan

skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan Pendidikan Dokter

Gigi di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya.

Skripsi ini tidak dapat terwujud tanpa dukungan, bimbingan, dan bantuan dari

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan

rasa terima kasih kepada :

1. Prof. R.M. Coen Promono Danudiningrat, drg., SU., SpBM (K), selaku

Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya yang

telah memberi kesempatan untuk menempuh pendidikan di Fakultas

Kedokteran Gigi Airlangga.

2. Dr. R. Darmawan Setijanto., drg., M.Kes, selaku Wakil Dekan I Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Airlangga Surabaya yang telah mengizinkan

penulis untuk membuat skripsi ini.

3. drg. Markus Budi Rahardjo., M.Kes selaku Kepala Departemen Biologi

Oral yang telah memberikan izin untuk pembuatan skripsi dan selaku

Dosen Pembimbing Utama yang telah banyak memberi bimbingan, saran,

bantuan dan dorongan yang sangat bermanfaat dalam penyusunan skripsi

ini.

iv
4. Dr. Ira Arundina, drg., M.Si selaku Dosen Pembimbing Serta atas

bimbingan, saran, dan bantuannya yang sangat bermanfaat dalam

penyusunan skripsi ini.

5. drh. Erna selaku staf bagian PMPP Pusat Veterinaria Farma

(PUSVETMA) Surabaya.

6. Kedua Orang tua, dr. Suriadi Anang, Sp.A dan Tuska Indrawati yang telah

memberikan doa dan semangat.

7. Amrullah Rahdityanur, Annisa T, Nik Andriena dan seluruh teman- teman

yang tidak dapat penulis tulis satu persatu yang selalu memberikan

dukungan, perhatian, doa, semangat dan saran yang berguna dalam

penyelesaian skripsi ini.

Semoga segala bantuan yang diberikan mendapat balasan dari Tuhan Yang

Maha Esa. Kritik dan saran dari semua pihak diharapkan demi penelitian di masa

yang akan datang. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat khususnya bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Airlangga dan pembaca pada umumnya.

Surabaya, Februari 2013

Penulis

v
UJI SITOTOKSISITAS EKSTRAK ETANOL DAUN SIRIH
MERAH (Piper crocatum) TERHADAP SEL FIBROBLAS
(CYTOTOXICITY TEST OF ETHANOLIC EXTRACT OF RED BETEL LEAF
(PIPER CROCATUM) TOWARD FIBROBLAST CELLS)

ABSTRACT

Background. Traditional herbs are very popular in the community lately as a


natural substance that is considered more safe, inexpensive and easy to obtain.
Piper crocatum is one of the Indonesian plants which is traditionally used for
health treatment. It is known to have anti-inflammatory and wound healing effect.
The using Piper crocatum as one of the dental health products should have not
toxic, and have biocompatibilty properties. Purpose. To determine the cytotoxicity
of the Piper crocatum with different concentration toward fibroblast cells.
Method. The method type used is experimental research laboratories using the
post-test only control group design. Number of samples were 7 samples of each
12,5%, 25%, 50%, and 100%. The citotoxicity test by using enzymatic assay of
MTT [3-(4,5-dimethyltiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium bromide], against
fibroblast cell (BHK-21). The density of optic formazan indicated the number of
living cell. Results. The result showed that the percentage of living cell amount of
12,5%, 25%, 50% and 100% concentration were 63,47%, 52,52%, 56,21% and
100%. Conclusion. Piper crocatum is non toxic.

Key words : Piper crocatum, cytotoxicity, MTT assay

vi
DAFTAR ISI

Halaman

Sampul Dalam……………………………………………………………… i

Lembar pengesahan………………………………………………………… ii

Penetapan Panitia Penguji………………………………………………….. iii

Ucapan Terima Kasih………………………………………………………. iv

Abstract…………………………………………………………………….. vi

Daftar Isi……………………………………………………………………. vii

Daftar Gambar……………………………………………………………… x

Daftar Tabel………………………………………………………………… xi

Daftar Lampiran…………………………………………………………….. xii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………….. 1

1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………… 3

1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………………. 3

1.4 Manfaat Penelitian…………………………………………………... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirih Merah (Piper crocatum)………………………………………. 5

2.1.1 Klasifikasi……………………………………………………………. 5

2.1.2 Morfolgi……………………………………………………………… 6

2.1.3 Kandungan Kimia……………………………………………………. 7

vii
2.1.4 Khasiat……………………………………………………………….. 11

2.2 Uji Sitotoksisitas……………………………………………………... 12

2.3 Proses Penyembuhan Luka………………………………………….. 15

2.4 Antioksidan………………………………………………………….. 19

2.5 Sel Fibroblas…………………………………………………………. 21

BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian………………………………….... 23

3.2 Keterangan Kerangka Konseptual Penelitian………………………. 24

3.3 Hipotesis Penelitian………………………………………………... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian……………………….... 26

4.2 Subjek Penelitian…………………………………………………… 26

4.3 Jumlah Sampel……………………………………………………... 26

4.4 Variabel Penelitian…………………………………………………. 27

4.4.1 Variabel Bebas……………………………………………………… 27

4.4.2 Variabel Tergantung………………………………………………… 27

4.4.3 Variabel Kendali…………………………………………………….. 27

4.5 Definisi Operasional Variabel………………………………………. 27

4.6 Lokasi Penelitian……………………………………………………. 28

4.7 Alat dan Bahan……………………………………………………… 28

4.8 Cara kerja……………………………………………………………. 29

4.8.1 Persiapan Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah………….… 29

viii
4.8.2 Pengenceran Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah…………………….. 30

4.8.3 Uji Sitotoksisitas……………………………………………………. 31

4.9 Alur Penelitian………………………………………………………. 33

4.10 Pengolahan dan Analisis Data………………………………………. 34

BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA………………….. 35

BAB 6 PEMBAHASAN…………………………………………………… 38

BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan………………………………………………………………... 43

7.2 Saran……………………………………………………………………. 43

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………. 44

ix
DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Sirih Merah (Piper crocatum)………………………………… 5

Gambar 2.2 Reduksi MTT yang menghasilkan formazan…………………. 14

Gambar 2.3 Sel Fibroblas………………………………………………….. 21

Gambar 4.1 Shaker………………………………………………………… 28

Gambar 4.2 Microplate berisi media Eagle’s minimum essential medium


(MEM)…………………………………………………………. 31

Gambar 4.3 Elisa Reader…………………………………………………… 32

Gambar 5.1 Grafis jumlah persentase sel fibroblas yang hidup …………… 36

x
DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Komposisi Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum)
70%..................................................................................................... 8

Tabel 2.2 Growth Factor dalam penyembuhan luka………………………….. 18

Tabel 5.1 Nilai rerata optical density pada formazan ekstrak etanol daun sirih
merah (Piper crocatum), simpang baku dan persentase sel hidup…. 35

Tabel 5.2 Mann-Whitney Test antar perlakuan dan kontrol…………………... 37

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Nilai Optical Density………………………………………………… 48

Lampiran 2 Uji Statistik…………………………………………………… 49

Lampiran 3 Foto Hasil Penelitian…………………………………………… 59

Lampiran 4 Surat Identifikasi Sirih Merah (Piper crocatum)…………….. 60

Lampiran 5 Keterangan Kelaikan Etik…………………………………….. 61

xii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit mulut dan gigi merupakan salah satu penyakit yang banyak

terjadi di masyarakat. Hasil survey rumah tangga pada tahun 2004 menyebutkan

39% penduduk Indonesia menderita penyakit gigi dan mulut. Penyakit gigi dan

mulut dapat dibagi dua, yaitu penyakit yang menyerang jaringan keras (gigi) dan

jaringan lunak (mulut dan gusi). Salah satu penyakit jaringan lunak yaitu

Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) atau lebih dikenali oleh masyarakat awam

dengan “sariawan” merupakan salah satu penyakit yang ulang kambuh pada

mukosa mulut yang sering terjadi. Stomatitis Aftosa rekuren (SAR) didapatkan

pada sekitar 20% dari populasi (Regezi dkk, 2003). Di Indonesia belum diketahui

berapa prevalensi SAR di masyarakat, tetapi dari data klinik penyakit mulut di

rumah sakit Ciptomangun Kusumo tahun 1988 sampai dengan 1990 dijumpai

kasus SAR sebanyak 26,6%, periode 2003-2004 didapatkan prevalansi SAR dari

101 pasien terdapat kasus SAR 17,3% (Harahap, 2006). Untuk terapi SAR mayor

menggunakan stereoid secara sistemik, sedangkan untuk SAR minor

menggunakan salah satunya bentuk obat topikal jenis steroid (Wray dkk, 2003).

Saat ini masyarakat dunia termasuk Indonesia mulai mengutamakan

penggunaan obat secara alami (back to nature). Obat tradisional Indonesia

umumnya menggunakan bahan yang relatif mudah didapat dan tanamannya

mudah dikembang biakkan, sehingga masyarakat lebih mudah mendapatkannya

(Ariyani dkk, 2007). Salah satu bahan tradisional yang sering dijadikan obat yaitu

1
2

tumbuhan sirih merah (Piper crocatum). Daun sirih merah sering digunakan

untuk menghilangkan bau mulut, mengobati gusi berdarah (radang pada gusi),

obat sariawan, radang pada tenggorokan, gigi berlubang, dan penghilang bengkak

(Sudewo, 2005).

Beberapa penelitian menunjukan bahwa daun sirih merah (Piper

crocatum) mempunyai efek antiinflamasi, antibakteri, antioksidan, serta

antifungal. Daun sirih merah mempunyai aktivitas antibakteri terhadap

Staphlyococcus aureus dengan nilai KBM (Kadar Bunuh Minimal) sebesar 25%

dan Escherichia coli menunjukan nilai KBM (Kadar Bunuh Minimal) sebesar

6,25% (Juliantina dkk, 2009).

Telah dilakukan uji identifikasi kandungan kimia ekstraketanol daun sirih

merah (Piper crocatum) dan didapatkan bahwa sirih merah mengandung alkaloid,

saponin, flavonoid dan polifenolat (Yulias dkk, 2011). Selain itu daun sirih merah

(Piper crocatum) mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan untuk peningkatan

proses penyembuhan, misalnya vitamin A dan C (Prahastuti, 2004). Sedangkan

pada penelitian lain menunjukan bahwa komponen senyawa yang terkandung

pada ekstraketanol 70% daun sirih merah (Piper crocatum) adalah golongan asam

lemak, terpenoid, flavonoid, steroid, alkaloid, pirimidin, minyak atsiri, polifenol

dan vitamin E (Alfarabi, 2010).

Untuk mengembangkan bahan pengobatan SAR (Stomatitis Aftosa

Rekuren) yang alami maka harus diuji terlebih dahulu dengan uji

biokompatibilitas sesuai dengan syarat material di bidang kedokteran gigi

terutama yang digunakan di dalam mulut. Salah satu pengujian untuk menentukan

berbagai sifat dari suatu bahan kedokteran gigi adalah uji sitotoksisitas terhadap
3

jaringan (Maat, 2001). Uji sitotoksisitas adalah bagian dari evaluasi bahan

kedokteran gigi dan diperlukan untuk posedur skrining standar. Tujuan uji ini

untuk mengetahui efek toksik suatu bahan secara langsung terhadap kultur sel

(Fazwishni, 2000). Dalam uji sitotoksisitas ini akan digunakan uji enzimatik

dengan perekasi MTT dan sampel penelitian berupa sel fibroblas (kultur sel

BHK-21). Kultur sel BHK-21 yang digunakan berasal dari fibroblas ginjal

hamster karena sel fibroblas merupakan sel terpenting dan komponen terbesar

dari pulpa, ligamen periodontal dan gingiva (Fazwishni, 2000).

Walaupun sudah ada penelitian untuk mengetahui efek antibakteri dan

efek antifungal dari daun sirih merah, namun saat ini belum pernah dilakukan

penelitian untuk mengetahui sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih merah (Piper

crocatum) terhadap sel fibroblas dalam usaha pengembangannya sebagai bahan

alternatif untuk penyembuhan SAR (Stomatitis Aftosa Rekuren). Sirih merah

dapat menjadi salah satu bahan untuk obat SAR (Stomatitis Aftosa Rekuren)

secara topikal.

1.2 Perumusan Masalah

Apakah ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) bersifat toksik

terhadap sel fibroblas (BHK-21) ?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk menentukan efek toksisitas ekstrak etanol daun sirih merah (Piper

crocatum) terhadap sel fibroblas.


4

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui jumlah persentase sel fibroblas yang hidup setelah terpapar

oleh ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi 100%

menggunakan esei MTT.

2. Untuk mengetahui jumlah persentase sel fibroblas yang hidup setelah terpapar

oleh ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi 50%

menggunakan esei MTT.

3. Untuk mengetahui jumlah persentase sel fibroblas yang hidup setelah terpapar

oleh ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi 25%

menggunakan esei MTT.

4. Untuk mengetahui jumlah persentase sel fibroblas yang hidup setelah terpapar

oleh ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) konsentrasi 12,5%

menggunakan esei MTT.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian yang diperoleh akan memberikan informasi

tentang sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) terhadap

sel BHK-21 dan digunakan sebagai dasar dalam pengembangan daun sirih merah

(Piper crocatum) menjadi bahan alternatif untuk pengobatan SAR (Stomatitis

Aftosa Rekuren).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sirih Merah (Piper crocatum)

Sirih merah (Piper crocatum) merupakan jenis sirih yang merambat dan

banyak tumbuh di daerah tropis khususnya Indonesia. Tumbuhan sirih dikenal

sebagai antiseptik sejak 600 SM. Sirih termasuk famili piperaceae yang

merambat dan bersandar di batang pohon lain (Duryatmo, 2005). Pada tahun

1990-an sirih merah difungsikan sebagai tanaman hias, karena penampilannya

yang menarik. Permukaan daunnya merah keperakan dan mengkilap. Pada

beberapa tahun terakhir ini ramai dibicarakan dan dimanfaatkan sebagai tanaman

obat.

Gambar 2.1 Sirih Merah (Piper crocatum) (dikutip dari wikipedia.com)

2.1.1 Klasifikasi

Sirih merah merupakan salah satu spesies dari keluarga piperaceae,

dengan sistematika sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta

Class : Magnoliopsida
5
6

Order : Piperales

Family : Piperaceae

Genus : Piper

Species : Piper crocatum (Vossen, 2000)

2.1.2 Morfologi

1. Habitus

Tanaman ini diketahui tumbuh di berbagai daerah di Indonesia, seperti di

lingkungan Keraton Yogyakarta dan di lereng Merapi sebelah timur, serta di

Papua, Jawa Barat, Aceh dan beberapa daerah lainnya. Tanaman sirih merah

tergolong langka, karena tidak tumbuh disetiap tempat atau daerah. Sirih merah

tidak dapat tumbuh di daerah panas, di tempat berhawa dingin sirih merah dapat

tumbuh dengan baik. Jika terlalu banyak terkena sinar matahari batangnya cepat

mengering, warna merah daunnya bisa menjadi pudar, buram, dan kurang

menarik. Tanaman sirih merah akan tumbuh baik jika mendapatkan 60-70 %

cahaya matahari (Sudewo, 2005).

2. Daun

Karakter morfologi daun sirih merah dengan nama ilmiah Piper crocatum

adalah mempunyai bentuk daun yang cukup bervariasi antara daun muda (fase

muda) dan daun pada cabang yang akan menghasilkan alat reproduksi (fase

dewasa). Saat muda umumnya mempunyai bentuk daun menjantung dan

membulat seperti telur dan pada fase dewasa (siap menghasilkan alat reproduksi)

terjadi perubahan bentuk daun dari membulat menjadi seperti berbentuk telur.

Daun tunggal dan kaku, permukaan helaian daun bagian atas rata agak cembung,
7

mengkilat, permukaan helaian daun bagian bawah mencekung dengan pertulangan

daun yang menonjol, panjang daun 6,1–14,6cm, lebar daun 4–9,4cm, warna dasar

daun hijau pada kedua permukaannya, bagian atas hijau dengan garis-garis merah

jambu kemerahan, permukaan bagian bawah hijau merah tua keunguan. Tangkai

daun hijau merah keunguan, panjang 2,1–6,2 cm, pangkal tangkai daun pada

helaian daun agak ketengah sekitar 0,7–1 cm dari tepi daun bagian bawah (Inggit

dkk, 2011).

3. Batang

Tumbuhan merambat atau menjalar, panjangnya dapat mencapai sekitar 5-

10m, batang bulat, hijau merah keunguan, beruas dengan panjang ruas 3-8cm,

pada setiap buku tumbuh satu daun (Inggit dkk, 2011).

2.1.3 Kandungan Kimia

Komposisi senyawa ekstrak etanol 70% daun sirih merah berdasarkan

analisis GC-MS (Gas Chromatogrpahy Mass Spectrometry) dapat dilihat pada

tabel 2.1. Hasil kromatogram tersebut diolah dengan database perangkat lunak

menunjukan komponen senyawa ekstrak etanol 70% daun sirih merah terdiri dari

golongan asam lemak, terpenoid, flavonoid, steroid, alkaloid, pirimidin, minyak

atsiri, polifenol, dan vitamin E. Terdapat beberapa senyawa yang memiliki

kesesuaian rendah dengan database kemungkinan disebabkan oleh karena databse

tidak mempunyai data-data kromatogram yang sesuai dengan ekstrak (Alfarabi,

2010).
8

Tabel 2.1 Komposisi Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum) 70%

(Alfarabi, 2010)

Waktu retensi Area Nama Kesesuaian

(Menit) (%) (%)

9.87 1.80 Asam miristat (asam lemak) 98

11.68 1.78 Fitol (terpenoid) 91

12.07 6.13 Asam linolenat (asam lemak) 91

12.28 1.93 Asam stearat (asam lemak) 99

21.15 1.81 Mirisetin (flavonoid) 43

22.05 2.06 Pirazol (minyak atsiri) 25

23.56 4.96 2,4,6(1H,3H,5H)-pyrimidinetrione 59

(pirimidin)

23.87 2.67 Naftalena (minyak atsiri) 46

24.03 4.05 2,4,6(1H,3H,5H)-pyrimidinetrione 59

(pirimidin)

24.89 12.19 Stilben (polifenol) 30

26.12 4.52 Metyhl (25R)-5-oxo-A-nor-3,5- 90

secospirostan-3oate (stereoid)

27.20 44.69 4,4-stilbendiamin (polifenol) 60

28.42 1.53 Pirimidin 44

28.85 1.83 4-Allyloxy-6mehoxy-N.N-dimethyl- 91

1,3,5-triazin-2-amine (alkaloid)

34.46 1.65 Vitamin E 99


9

Selain itu telah dilakukan uji identifikasi kandungan kimia ekstrak etanol

daun sirih merah dan didapatkan bahwa sirih merah mengandung alkaloid,

saponin, flavonoid dan polifenolat (Yulias dkk, 2011). Daun sirih merah

mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan untuk peningkatan proses

penyembuhan, misalnya vitamin A dan C (Prahastuti, 2004). Namun, belum

terdapat penelitian yang menyebutkan berapa persen kadar saponin, vitamin A dan

C yang terdapat di dalam sirih merah.

Uraian beberapa kandungan kimia daun sirih merah adalah sebagai berikut:

a. Polifenol

Polifenol merupakan senyawa yang memiliki subkomponen berupa

fenol. Fenol sendiri dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan unit basanya dan

subkomponen fenolnya. Polifenol dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan unit

basanya yaitu asam gallat, flavon dan asam sinamat. Masing-masing senyawa

tersebut berbeda mulai dari struktur sampai sifat aktivitas dan fungsinya

(Astawan, 2008).

Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan terbesar dalam

polifenol. Flavonoid berupa senyawa fenol, karena itu warnanya berubah bila

ditambah basa atau ammonia (Sesty, 2007). Flavonoid diketahui mempunyai efek

antioksidan yang kuat dengan cara menghambat oksidasi lipid. Komposisinya

mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan membran sel untuk

melindungi dari radikal bebas (Saija, 1995). Flavonoid berperan dalam proses

antiinflamasi yaitu dengan cara mempersingkat waktu inflmasi sehingga proses

proliferasi dapat terjadi (Indraswari, 2011). Flavonoid juga berfungsi sebagai


10

antibakteri dengan cara membentuk senyawa kompleks terhadap protein

ekstraseluler yang mengganggu integritas membran sel bakteri (Cowan, 1999).

b. Alkaloid

Alkaloid mencakup senyawa bersifat basa yang mengandung satu atau

lebih atom N, biasanya dalam gabungan sebagai bagian dari sistem siklik.

Alkaloid biasanya tanpa warna, kebanyakan berbentuk kristal, hanya sedikit yang

berupa cairan. Senyawa alkaloid dapat dideteksi dengan pereaksi dragendorf

(Setsy, 2007). Alkaloid memiliki kemampuan sebagai antibakteri. Mekanisme

yang diduga adalah dengan cara mengganggu komponen penyusun peptidoglikan

pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan

menyebabkan kematian sel tersebut (Robinson, 1991).

c. Tanin

Tanin mempunyai efek antibakteri dengan cara dapat mengkerutkan

dinding sel atau membran sel sehingga mengganggu permeabilitas sel itu sendiri.

Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup

sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati (Ajizah, 2004).

d Saponin

Saponin tidak larut dalam pelarut non-polar, paling cocok diekstraksi

dengan etanol atau metanol 70-96 (Sesty, 2007). Saponin adalah salah satu

senyawa yang memacu pembentukan kolagen, yaitu protein struktur yang

berperan dalam penyembuhan luka (Chandel, 1979). Saponin juga diketahui dapat

meningkatkan kepadatan fibroblas dengan aktifasi TGF-β (Kanzaki, 1998).


11

e. Minyak Atsiri

Minyak atsiri yang aktif sebagai antibakteri pada umumnya mengandung

gugus fungsi hidroksil (-OH) dan karbonil. Turunan fenol berinteraksi dengan sel

bakteri melalui proses adsorpsi yang melibatkan ikatan hidrogen. Pada kadar

rendah terbentuk kompleks protein fenol dengan ikatan yang lemah dan segera

mengalami peruraian, diikuti penetrasi fenol ke dalam sel dan menyebabkan

presipitasi serta denaturasi protein. Pada kadar tinggi fenol menyebabkan

koagulasi protein dan sel membran mengalami lisis (Parwata dkk, 2008).

f. Vitamin A, E dan C

Vitamin A berperan dalam proses penyembuhan luka yaitu dalam

pembentukan kolagen, diferensiasi sel epitel, dan meningkatkan imunitas.

Vitamin A juga mempercepat aktifasi makrofag ke daerah luka (Jeffcoate, 2004).

Vitamin C diketahui berperan penting sebagai penunjang kesembuhan melalui

kemampuannya dalam mempercepat regenerasi jaringan. yaitu ikut serta dalam

biosintesa kolagen. Vitamin C juga berfungsi menstimulir respon kemotaktik dan

proliferasi dari neutrofil serta transformasi limfosit (Kus, 1996). Sedangkan

vitamin E memiliki efek antioksidan, yaitu mencegah peroksidasi lipid dan

menghasilkan membran sel yang stabil (Douglas, 2003).

2.1.4 Khasiat

Sirih merah memiliki banyak manfaat dalam pengobatan tradisional,

mempunyai potensi menyembuhkan berbagai jenis penyakit. Banyak pengalaman

menggunakan sirih merah dapat menurunkan asam urat, menurunkan tekanan

darah, mengobati hepatitis dan maag. Selain itu sirih merah dapat digunakan
12

sebagai antiseptik, serta memiliki efek hipoglikemik. Sirih merah juga dapat

digunakan sebagai obat untuk batuk, asma, radang tenggorokan, dan radang

hidung (Sulistyani dkk, 2007). Daun sirih merah juga bermanfaat bagi kesehatan

gigi dan mulut, antara lain: menghilangkan bau mulut, mengobati gusi berdarah

(radang pada gusi), obat sariawan, radang pada tenggorokan, gigi berlubang, dan

penghilang bengkak. Selain itu efek zat aktif yang terkandung dalam daun sirih

merah dapat merangsang saraf pusat dan daya pikir, serta memiliki efek

pencegahan ejakulasi dini, antikejang, antidiare, dan mempertahankan kekebalan

tubuh. Secara empiris ekstrak daun sirih merah dalam pemakaian secara tunggal

atau diformulasikan dengan tanaman obat lainnya mampu membasmi aneka

penyakit, seperti diabetes millitus, peradangan akut pada organ tubuh tertentu,

luka yang sulit sembuh, kanker payudara dan kanker rahim, leukimia, TBC,

radang pada lever (hepatitis), ambeien, jantung koroner, darah tingggi, dan asam

urat (Sudewo, 2005).

2.2 Uji Sitotoksisitas

Uji sitotoksisitas adalah bagian dari evaluasi bahan kedokteran gigi yang

diperlukan untuk prosedur skrining standar. Tujuannya adalah untuk mengetahui

efek toksik suatu bahan secara langsung terhadap kultur sel (Freshney, 2000).

Berikut adalah beberapa alasan mengapa dalam penelitian terdahulu lebih

banyak menggunakan metode in vitro dengan kultur sel:

1. Kultur sel dapat terpapar secara langsung oleh bahan yang diujikan,

sehingga kultur sel sangat sensitif terhadap bahan yang bersifat toksik.
13

2. Lingkungan pada kultur sel (pH, suhu, tekanan osmotik) lebih

terkontrol.

3. Respon terhadap sel hidup dapat langsung diamati.

4. Sampel lebih homogen.

5. Menghindari tekanan masyarakat terhadap hewan coba.

6. Dapat diukur secara kuantitatif.

Kekurangan metode in vitro dengan kultur sel, yaitu harus dilakukan

dalam kondisi aseptik, karena sel akan mati jika terkontaminasi mikroorganisme

(Freshney, 2000).

Pengujian efek biokompatibilitas pada tingkat awal dari material yang

digunakan pada kedokteran gigi untuk mengetahui toksisitas material yang diuji

menggunakan kultur sel. Toksisitas material yang diuji dihubungkan dengan sel

yang hidup. Apabila material yang diuji memberikan viabilitas sel hidup yang

tinggi, menunjukan bahwa material yang diuji tidak memberikan efek toksik,

begitu juga sebaliknya (Anita, 2005).

Salah satu syarat bahan yang digunakan dalam kedokteran gigi seharusnya

tidak toksik, tidak mengiritasi, dan harus mempunyai sifat biokompatibilitas atau

bahan yang diproduksi tidak boleh mempunyai efek yang merugikan terhadap

lingkungan biologis, baik lokal maupun sistemik. Salah satu metode untuk menilai

sitotoksisitas suatu bahan adalah dengan uji enzimatik menggunakan pereaksi

MTT. Paramater toksisitas berdasarkan CD50 artinya suatu bahan dikatakan toksik

apabila presentase sel hidup setelah terpapar bahan tersebut kurang dari 50%

(Telili dkk, 1999)


14

Salah satu metode untuk menilai sitotoksisitas suatu bahan adalah dengan

uji enzimatik yang menggunakan perekasi MTT [3-(4,5-dimethyltiazol-2-yl)-2,5-

difeniltetrazolium bromide]. Uji ini banyak digunakan untuk mengukur proliferasi

selular secara kuantitatif atau untuk mengukur jumlah sel yang hidup (Fazwishni

dkk, 2000).

MTT adalah molekul larut yang dapat digunakan untuk menilai aktifitas

enzimatis seluler, didasarkan pada kemampuan sel hidup untuk mereduksi garam

MTT. Prinsip dari pewarnaan MTT adalah dengan pengubahan dari cincin

tetrazolium oleh karena aktifitas dari mitokondria pada sel hidup. Pada sel yang

mati tidak mengakibatkan perubahan dari cincin tetrazolium (Soenartyo dkk,

2003).

Mekanismenya adalah formazan garam tetrazolium akan direduksi di

dalam sel yang mempunyai aktifitas metabolik. Mitokondria sel hidup yang

berperan penting dalam hal ini adalah yang menghasilkan dehidroginase. Bila

dehidroginase tidak aktif karena efek sitotoksik, maka formazan tidak akan

terbentuk. Jumlah formazan yang terbentuk, proposional dengan aktifitas

enzimatik sel hidup (Craig, 2002).

Gambar 2.2 Reduksi MTT yang menghasilkan formazan


15

(dikutip dari biotek.com)

Produksi formazan dapat dihitung dengan melarutkan dan mengukur

densitas optik dari larutan yang dihasilkan. Reaksi warna biru keunguan

digunakan sebagai ukuran dari jumlah sel hidup. Semakin pekat warna biru

ungunya, semakin tinggi nilai absorbsinya, dan semakin banyak jumlah sel yang

hidup. Jumlah formazan yang dihasilkan dan kemudian diukur setelah dilarutkan

berbanding secara proposional dengan jumlah sel, walaupun absorbansi absolut

berbeda antara berbagai jenis sel. Makin pekat warnanya, makin tinggi nilai

absorbansinya, dan ini berarti makin banyak jumlah selnya (Fernandez dkk,

1995;Fazwishni dkk, 2000).

Uji sitotoksistas dengan esei MTT dapat digunakan untuk mengukur

proliferasi dan sitotoksisitas terhadap sel. Ujinya cukup positif, cepat,

semiotomatis, dan tidak menggunakan radioisotop. Uji ini berdasar kemampuan

sel hidup untuk mereduksi garam [3-(4,5-dimethyltiazol-2-yl)-2,5-

difeniltetrazolium bromide] (MTT). Reduksi garam tetrazolium terjadi intrasel dan

melibatkan enzim dari retikulum endoplasma dan mitokondria. Dengan demikian

jumlah sel yang hidup dapat diukur sebagai konsentrasi hasil produksi MTT

(Fazwishni dkk, 2000).

2.3 Proses Penyembuhan Luka

Proses penyembuhan luka pada ulser pada dasarnya yaitu hampir sama

dengan proses penyembuhan luka pada kulit. Tahapan proses penyembuhan

meliputi proses keradangan, proliferasi, reepitalisasi, pembentukan jaringan

granulasi, angiogenesis, interaksi antara berbagai sel dan matriks, serta


16

remodelling jaringan (Goepel, 1992). Penyembuhan luka merupakan proses

pergantian sel yang rusak dengan sel yang baru, sehingga fungsi tubuh atau

jaringan akan pulih kembali dengan sempurna. Penyembuhan demikian disebut

regenerasi. Pada proses penyembuhan dari sel atau jaringan yang rusak akan

diganti dengan jaringan parut atau jaringan ikat (Sudiono dkk, 1995).

Pada fase inflmasi terjadi proses radang yang merupakan reaksi jaringan

hidup terhadap semua jejas. Hemostasis melibatkan konstriksi pembuluh darah,

kontraksi otot polos, agregasi tombrosit, koagulasi darah dan diikuti oleh

vasodilatasi yang disebabkan oleh adanya pelepasan histamin. Kemudian terjadi

aktivasi protombrin menjadi tombrin yang disebabkan oleh faktor-faktor

pembekuan darah, kemudian trombin akan mengaktivasi fibrinogen menjadi fibrin

dan platelet melepaskan mediator berupa PDGF (Platelet Derrived Growth

Factor), tromboksan dan prostaglandin yang akan menarik leukosit ke daerah

luka. Sel platelet melepaskan chemokines berupa growth factor (EGF/ Epithelial

Growth Factor, PDGF / Platelet Derived Growth Factor), fibrinogen, fibronektin,

serotonin dan komponen matriks ekstra seluler (Rosenberg,2006). Di dalam fase

inflmasi ini juga terdapat peningkatan permeabilitas pembuluh darah, dan terjadi

migrasi neutrofil dan monosit ke dalam jaringan (Douglas, 2003). Neutrofil

bertanggung jawab untuk menghancurkan bakteri dengan melakukan proses

fagositosis (Rosenberg, 2006). Pada hari ketiga setelah terjadi luka monosit

kemudian menggantikan fungsi neutrofil, dan kemudian disebut menjadi

makrofag apabila telah bermigrasi ke jaringan. Fungsi dari makrofag yaitu

melakukan fagositosis, membersihkan tempat yang terkontaminasi bakteri,

mengatur regulasi sintesa matriks melalui proses pelepasan growth factor platelet-
17

derived growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth

factor (EGF) dan transforming growth factor-β (TGF-β), sitokin (TNF α / Tumor

Necroting Factor α, IL / Interlukin 1, 6, 8, IFN γ), enzim dan prostaglandin E2

untuk mengaktivasi sel dan angiogenesis (Rinastiti, 2003). Aktifasi makrofag saat

bermigrasi ke daerah yang mengalami keradangan diperlihatkan dalam bentuk

ukurannya yang bertambah besar, sintesis protein, mobilitas, aktifitas fagositik

dan kandungan enzim lisosom yang dimilikinya. Aktifasi ini diinduksi oleh

sinyal-sinyal, mencakup sitokin yang diproduksi oleh limfosit-T yang

tersensitisasi (IFN γ), endotoksin bakteri, berbagai mediator selama radang akut

dan protein matriks ekstrasel seperti fibronektin. Saat radang terjadi kronik,

makrofag dapat berakumulasi dan berproliferasi di tempat peradangan. Limfosit

yang teraktivasi akan mengeluarkan IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag, dan

karena makrofag juga akan mengeluarkan IL-1 dan TNF yang akan mengaktivasi

limfosit, sehingga dengan demikian akan membentuk timbal balik antara

makrofag dan limfosit. Timbal balik tersebut menyebabkan makrofag akan

bertambah banyak di jaringan dan menyebabkan banyaknya jumlah makrofag di

daerah radang (Kumar dkk, 2000; Underwood 1999).

Pada fase proliferasi, sel fibroblas adalah salah satu faktor yang berperan

penting yaitu dengan berfungsi memproduksi kolagen dan protein Extracelullar

Matrix (ECM) yang merupakan komponen penting pada proses regenerasi atau

perbaikan luka. Aktivasi migrasi dan proliferasi fibroblas terjadi oleh karena

adanya pacuan dari molekul ECM serta growth factor. Fibroblast Growth Factor

(FGF), Transforming Growth Factor-beta (TGF-β), Platelet – Derivet Growth

Factor (PDGF) dan Epidermal Growth Factor (EGF) diketahui sebagai growth
18

factor yang bertanggung jawab terhadap migrasi dan proliferasi fibroblas

(Rinastiti, 2003). Pada tahap proliferasi ini, luka dipenuhi sel radang, fibroblas

dan kolagen yang membentuk jaringan lunak, berwarna merah muda dan granuler

yang disebut jaringan granulasi. Secara mikroskopik jaringan granulasi terdiri dari

pembuluh darah kecil yang baru dibentuk dengan latar belakang jaringan kendir

dan mengandung fibroblas serta sel-sel radang (Robins and Kumar, 1995).

Pembentukan pembuluh darah yang baru disebut angiogenesis. Proses

angiogenesis diinduksi oleh TGF (Transforming Growth Facor), PDGF (Platelet

Derived Growth Factor), interlukin 8 dan VEGF (Vascular Endhothelial Growth

Factor) (Enoch and Price, 2004).

Tabel 2.2 Growth Factor dalam penyembuhan luka

Growth Factor Singkatan Asal Efek


Epithelial Growth EGF  Makrofag Migrasi keratinosit,
Factor  Kelenjar saliva mitogen fibroblas dan
 Keratinosit keratinosit, membentuk
. jaringan granulasi
Transforming TGF-α  Makrofag Proliferasi sel hepatosit
Growth Factor-alfa  Keratinosit dan epitel,
 Limfosit T
Hepatocyte Growth HGF  Sel mesenkim Proliferasi sel epitel dan
Factor sel endotelial

Vascular Permabilitas pembuluh


Endhothelial Growth VEGF  Sel mesenkim darah, proliferasi sel
Factor endotelial, angiogenesis
Platelet Derived PDGF  Sel platelet Berperan dalam
Growth Factor  Makrofag pembentukan jaringan
 Sel endotelial granulasi, proliferasi sel
 Sel otot halus fibroblas dan sel
 Keratinosit endotelial, memproduksi
matriks
19

metalloproteinase dan
fibronektin,
Angiogenesis
Fibroblast Growth FGF-1, -2  Makrofag Proliferasi sel fibroblas
Factor 1 dan 2  Limfosit T dan keratinosit, migrasi
 Sel endotelial keratinosit, angiogenesis
 Sel fibroblas
Transforming TGF-β  Sel platelet Pembentukan jaringan
Growth Factor-β  Limfosit T granulasi, sintesis TIMP,
 Makrofag angiogenesis, proliferasi
 Sel endotelial keratinosit, pembentukan
 Keratinosit jaringan fibrosa,
 Fibroblas kemotaksis fibroblas
Keratinocyte Growth KGF  Fibroblas Migrasi, proliferasi dan
Factor diferensiasi keratinosit,

Fase terakhir dalam proses penyembuhan luka yaitu fase maturasi

(remodelling). Tujuan dari fase ini adalah menyempurnakan terbentuknya jaringan

baru menjadi jaringan penyembuhan yang kuat. Fibroblas sudah mulai

meninggalkan jaringan granulasi, warna kemerahan dari jaringan berkurang dan

serat fibrin dari kolagen bertambah banyak untuk memperkuat jaringan parut.

Luka dikatakan telah sembuh apabila terjadi kontinuitas lapisan kulit dan kekuatan

jaringan parut mampu atau tidak menganggu untuk melakukan aktifitas normal

(Samsuhidayat, 1997).

2.4 Antioksidan

Antioksidan adalah senyawa kimia yang dapat menyumbangkan satu atau

lebih elektron kepada radikal bebas, sehingga radikal bebas tersebut dapat

diredam. Antioksidan didefinisikan sebagai senyawa yang dapat menunda,

memperlambat, dan mencegah proses oksidasi lipid. Dalam arti khusus,


20

antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terbentuknya reaksi

radikal bebas (peroksida) dalam oksidasi lipid (Dalimartha dan Soedibyo, 1999).

Untuk kehidupannya, manusia maupun hewan tergantung pada oksigen.

Oksigen essensial berguna untuk kehidupan, bekerja melalui mekanisme reaksi

berurutan di dalam sel-sel tubuh, mempunyai batasan fungsi dan kemudian dapat

memberikan efek samping. Reaksi oksidasi yang lebih kompleks akan

menghasilkan radikal bebas, yang apabila tidak terdapat sistem antioksidan, akan

menghancurkan elemen vital sel-sel tubuh (Muchtadi, 2009). Berdasarkan sumber

perolehannya ada 2 macam antioksidan, yaitu antioksidan alami merupakan

antioksidan hasil ekstraksi bahan alami dan antioksidan buatan (sintetik) yang

merupakan antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesa reaksi kimia (Kochhar

and Rossell, 1990). Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau

menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi

dapat disebabkan oleh empat macam mekanisme reaksi yaitu:

1. Pelepasan hidrogen dari antioksidan

2. Pelepasan elektron dari antioksidan

3. Adisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan

4. Pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari

antioksidan (Winarti, 2010).

Prinsip kerja dari antioksidan dalam menghambat otooksidasi pada lemak yaitu

oksigen bebas di udara akan mengoksidasi ikatan rangkap pada asam lemak yang

tidak jenuh, kemudian radikal bebas yang terbentuk akan beraksi dengan oksigen

sehingga akan menghasilkan peroksida aktif (Winarti, 2010).


21

2.5 Sel Fibroblas

Fibroblas adalah sel pembentuk kolagen dan badan interseluler. Di

samping merupakan kesatuan hidup dari jaringan ikat, fibroblas berperan aktif

dalam sintesa protein yang menjadi materi dasar untuk pembentukan bahan antar

sel yang berbentuk maupun amorf. Fibroblas merupakan sel yang besar, agak

memipih, seringkali agak berbentuk bulat panjang dan ovoid, disetai tonjolan-

tonjolan sitoplasma tumpul yang bercabang. Intinya lonjong menyerupai bentuk

dari selnya dapat diperlihatkan dengan beberapa cara pewarnaan, misalnya dengan

pembuatan sediaan bentangan jaringan ikat yang diwarnai dengan cat basa seperti

methylene blue, dilihat dengan mikroskop cahaya, sitoplasma fibroblas yang tercat

pucat pada pewarnaan ini seringkali meluas secara teratur dari badan sel dalam

bentuk tonjolan-tonjolan (Leeson, 1996).

Pembentukan kolagen oleh sel fibroblas dari protein yang didahului

dengan pembentukan prokolagen yang dihasilkan oleh retikulum endoplasma,

dibentuk di celah ekstra sel dari molekul kolagen berupa serabut kolagen yang

menyusun sesuai dengan susunan molekul (Bloom, 2002).

Gambar 2.3 Sel Fibroblas (dikutip dari rejuvenal.info)


22

Fibroblas mampu tumbuh dan bergenerasi seumur hidup apabila ada

rangsangan. Misalnya, penyembuhan luka pada jaringan yang beradang. Fibroblas

dapat merupakan gerakan merambat secara perlahan. Pada luka terbuka, fibroblas

melakukan proliferasi dan migrasi ke tempat luka, kemudian fibroblas mensekresi

matriks ekstraseluluer, dan akhirnya terbentuk jaringan parut yang menutup luka

(Leeson, 1996).
BAB 3
KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1 Kerangka Konseptual Penelitian

Ekstrak etanol daun sirih merah


(Flavonoid)

antioksidan ↑

seas

Growth Factor (TGF-β)

proliferasi sel fibroblas ↑

seas

jumlah sel fibroblas

mati hidup

Keterangan:

= tidak diteliti

sel = diteliti
fibrobl = merangsang
as

23
24

3.2 Keterangan Kerangka Konseptual Penelitian

Daun sirih merah (Piper crocatum) diketahui mengandung beberapa

bahan aktif dan salah satunya yang diketahui paling banyak yaitu dari golongan

polifenol. Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan terbesar dalam

polifenol. Flavonoid telah diketahui mempunyai efek antioksidan. Antioksidan

berperan penting dalam menetralisasi radikal bebas dalam tubuh dan dapat

mempercepat proses inflamasi. Cara kerja flavonoid sebagai antioksidan yaitu

dengan menghambat oksidasi lipid. Hal ini dapat mengaktifkan transforming

frowth factor beta (TGF-β) dan meningkatkan proliferasi fibroblas. TGF-β

berperan dalam menstimulasi kemotaksis fibroblas dan proses produksi kolagen

dan fibronektin. Gumpalan fibrin yang terbentuk oleh peningkatan aktifitas

fibronektin akan menjadi kerangka bagi re-epitelisasi dan proliferasi fibroblas.

Karena adanya efek antioksidan yang dikandung oleh sirih merah (Piper

crocatum) itulah yang menjadi pertimbangan untuk menjadikan sirih merah

sebagai bahan alternatif obat untuk penyembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren

(SAR) dengan melakukan uji biokompatibilitas sesuai dengan syarat material di

bidang kedokteran gigi terutama yang digunakan di dalam mulut.

Untuk mengetahui efek toksisitas ekstrak etanol daun sirih merah (Piper

crocatum) terhadap sel fibroblas maka perlu dilakukan uji sitotoksisitas dengan

menggunakan esei MTT. Hal ini dapat diketahui dengan tidak direduksinya garam

MTT karena tidak adanya aktifitas mitokondria sel yang hidup, dengan begitu

dapat diketahui berapa besar sifat toksik yang dimiliki oleh ekstrak daun sirih

merah.
25

3.3 Hipotesis Penelitian

Ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) tidak bersifat toksik

terhadap sel fibroblas (BHK-21).


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1 Jenis Penelitian dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ekperimental laboratoris dan rancangan penelitian

menggunakan post test only control group design.

4.2 Subjek Penelitian

Ekstrak etanol daun sirih merah konsentrasi 100%, 50%, 25%, dan 12,5%

4.3 Jumlah Sampel

Penentuan banyaknya sampel juga dapat diperoleh dengan menggunakan

rumus (Lameshow, 1990):

n = 2σ (Z1- ½ α + Z1- β)2

(μ1 - μ2)2

= 2. 0,043954 (1,96+0,842)2

(0,109875 – 0,476875)2

=7

Keterangan:

n = jumlah sampel penelitian

σ = standar deviasi

Z = konstanta

µ1 = rata-rata kontrol

µ2 = rata-rata perlakuan

26
27

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Variabel bebas

Konsentrasi ekstrak etanol daun sirih merah 100%, 50%, 25%, dan

12,5 %.

4.4.2 Variabel tergantung

Jumlah sel fibroblas BHK-21 yang hidup

4.4.3 Variabel kendali

Waktu panen, cara kerja, sterilisasi, cara pengukuran sampel

4.5 Definisi Operasional Variabel

1. Ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) adalah sediaan pekat

yang didapat dengan cara maserasi daun sirih merah dengan menggunakan

pelarut etanol.

2. Uji sitotoksisitas adalah cara menguji sitotoksis suatu bahan dengan

menghitung jumlah sel yang hidup, setelah terpapar bahan yang akan diuji.

3. Sel BHK-21 adalah kultur sel fibroblas ginjal hamster (Baby Hamster

Kidney) yang diperoleh dari Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA)

Surabaya.

4. Esei MTT adalah pemecahan cincin tetrazolium MTT [3-(4,5-

dimethyltiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium bromide) oleh dehidrogenase

pada mitokondria yang aktif, menghasilkan produk formazan biru

keunguan yang tidak larut. Produksi formazan dapat dihitung dengan

mengukur densitas optik dari larutan yang dihasilkan. Reaksi warna biru
28

keunguan digunakan sebagai ukuran dari jumlah sel hidup dengan bantuan

alat Elisa reader.

4.6 Lokasi Penelitian

Pusat Veterinaria Farma (PUSVETMA) Surabaya.

4.7 Alat dan Bahan

Alat:

1. Filter Milipore Minisart

2. Flask (Nunc)

3. Microplate

4. Pipet pasteur

5. Shaker Vari Shaker (Dyanatech)

Gambar 4.1 Shaker

6. Incubator ESCO

7. Laminator flow (Clemcot Australia)

8. Elisa reader 620 nm (Opsysmr Denmark)

9. Multichannel

10. Singlechannel
29

Bahan:

1. Ekstrak daun sirih merah

2. Kultur sel BHK-21 dari PUSVETMA Surabaya

3. Media kultur berisi Eagle’s minimum essential medium (MEM)

4. Penstrep 1%

5. Kanamycin

6. Foetal Bovine Serum (FBS) 5%

7. Fungizone 100 unit/ml

8. Pereaksi MTT

9. Phospat Buffer Saline (PBS)

10. Dimethlysulfoxide Analar (DMSO)

11. Aquadest steril

4.8 Cara Kerja

4.8.1 Persiapan Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah

1. Timbang serbuk daun sirih merah yang akan diekstraksi sebanyak 200 g.

2. Lakukan pembasahan serbuk sirih merah dengan pelarut alkohol 70 %

sebanyak 200 ml.

3. Masukkan serbuk kedalam toples dan ratakan, tambahkan pelarut alkohol

400 ml sampai serbuk terendam , tutup rapat.

4. Diamkan selama 5 malam dan setiap hari diaduk .

5. Saring filtrate dan tampung, ampas ditambahkan lagi pelarut alkohol 70 %

sebanyak 200 ml diamkan semalam.


30

6. Saring lagi filtrate kedua, campurkan dengan filtrate pertama, ampas

ditambahkan lagi dengan alkohol 70% sebanyak 200 ml, diamkan semalam.

7. Saring lagi filtrate, campur dengan hasil sebelumnya.

8. Kentalkan filtrate/ekstrak cair dengan rotary evaporator.

9. Tampung dan masukkan botol.

(Dinkes Prop. Jatim, UPT Materia Medica Batu)

Dari serbuk daun sirih merah sebanyak 200 gram dan menggunakan pelarut

alkohol 70% total sebanyak 1000 ml maka didapatkan hasil ekstrak sebanyak

175 ml ekstrak kental daun sirih merah.

4.8.2 Pengenceran Ekstrak Etanol Daun Sirih Merah

Proses pengenceran ekstrak etanol daun sirih merah dilakukan dengan cara

menggunakan rumus:

X= konsentrasi yang diminta x jumlah yang diminta


konsentrasi yang tersedia

Keterangan:

X = jumlah yang akan diambil

(Tambayong, 2001).

Maka didapatkan hasil sebagai berikut:

a. Konsentrasi 50% = 0,5 ml ekstrak 100% + 0,5 ml media

b. Konsentrasi 25% = 0,25 ml ekstrak 100% + 0,75 ml media

c. Konsentrasi 12,5% = 0,125 ml ekstrak 100% + 0,875 ml media


31

4.8.3 Uji Sitotoksisitas

1. Disiapkan kultur sel BHK-21, microplate dengan 96 well steril di dalam

laminar flow.

2. Well pada microplate diisi sel dengan kepadatan 6x dalam media

kultur Eagels’s minimum essential medium (MEM), Kanamycin, Penstrep

1%, Foetal Bovine Serum (FBS) 5%, Fungizone 100 unit/ml, sebanyak 100

µl.

Gambar 4.2 Microplate berisi media Eagle’s minimum essential medium


(MEM)

3. Konsentrasi ekstrak etanol daun sirih merah 100%, 50%, 25%, dan

12,5% difilter menggunakan milipore 0,45 µm, diambil 50 µl untuk setiap

well. Disiapkan pula kontrol sel dan kontrol media. Kontrol sel adalah tiap

well berisi sel dan media kultur saja. Kontrol media adalah tiap well yang

berisi media kultur saja.

4. Kemudian microplate di inkubasi selama 20 jam pada suhu 37 C, 5%

CO2..

5. Microplate dikeluarkan dari alat inkubasi, media di dalam well dibuang ,

sel akan tertinggal dalam well. Pereaksi MTT dalam PBS yang telah
32

difilter menggunakan milipore 0,20 µm ditambahkan sebanyak 10 µl untuk

setiap well. Inkubasi selama 4 jam.

6. Setelah masa inkubasi selesai, MTT diambil menggunakan multichannel

kemudian ditambahkan dimethlysulfoxide analar (DMSO) sebanyak 50 µl

tiap well untuk menghentikan produk metabolik MTT. Untuk melarutkan,

microplate di shaker selama 5 menit.

7. Nilai densitas optik formazan dibaca dengan Elisa reader

Gambar 4.3 Elisa Reader

8. Untuk mengetahui presentase jumlah sel hidup dilakukan dengan

memakai rumus (Doyle dkk, 2000):

% sel hidup = x 100%


33

4.9 Alur Penelitian

Identifikasi tanaman

Persiapan ekstrak daun sirih merah

Uji sitotoksisitas menggunaikan esei MTT

Uji sitotoksisitas menggunaikan esei MTT


Microplate dengan 96 well (sumuran)

Uji sitotoksisitas menggunaikan esei MTT


Masukan kultur sel BHK- 21 dengan kepadatan
6x103 dalam media kultur Eagle’s minimum
essential medium (MEM), Kanamycin,
Penstrep 1%, Foetal Bovine Serum (FBS) 5%,
Fungizone 100 unit/ml

Tambahkan ekstrak sirih merah dengan berbagai


konsentrasi sesuai kelompok sampel sebanyak
50 µl untuk tiap well (sumuran)

Microplate diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 C, 5% CO2

Microplate dikeluarkan dari inkubator, media


di dalam well diambil dan ditambahkan MTT
5mg/ml dalam PBS sebanyak 10 µl untuk tiap
well.

Microplate diinkubasi kembali selama 4 jam

Setelah diinkubasi selesai, MTT diambil menggunakan multichannel.


Ditambahkan dimethlysulfoxide analar (DMSO) sebanyak 50 µl untuk
tiap well. Kemudian di shaker selama 5 menit.

Nilai densitas optik formazan dibaca dengan Elisa reader


34

4.10 Pengolahan dan Analisis Data

Hasil pengukuran ditabulasi menurut kelompok masing-masing, kemudian

dilakukan pengujian statistik untuk menentukan apakah data tersebut terdistribusi

normal dan homogen. Analisis data menggunakan uji Kruskal-Wallis Test dan

dilanjutkan dengan Mann-Whitney Test (Trihendradi, 2008).


BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA

Hasil pembacaan berupa tingkat absorbansi atau optical density. Semakin

tinggi angka optical density, menunjukan jumlah sel fibrobas yang hidup semakin

banyak. Nilai optical density dari formazan pada ekstrak etanol daun sirih merah

(Piper crocatum) yang diukur dengan elisa reader dapat dilihat pada tabel 5.1

Tabel 5.1 Nilai rerata optical density pada formazan ekstrak etanol daun sirih
merah (Piper crocatum), simpang baku dan persentase sel hidup

PERLAKUAN Nilai Optical Density

X SD %

Konsentrasi 100% 0,5961 0,045889 100%

Konsentrasi 50% 0,2020 0,019330 63,47 %

Konsentrasi 25% 0,1480 0,013089 52,52%

Konsentrasi 12,5% 0,1662 0,059679 56,21%

Kontrol Media 0,1111 0,010637 0%

Kontrol Sel 0,3822 0,047264 100%

Keterangan:
X = Rerata nilai optical density
SD = Simpang Baku
% = Rerata persentase sel hidup

35
36

100

80

60
Persentase sel
fibroblas yang
40
hidup

20

0
12,5% 25% 50% 100%

Gambar 5.1 Grafik jumlah persentase sel fibroblas yang hidup

Pada gambar 5.1 tampak bahwa yang menunjukan nilai optical density

yang paling tinggi pada kelompok perlakuan konsentrasi 100%, sedangkan yang

menunjukan nilai optical density yang paling rendah pada kelompok perlakuan

konsentrasi 25%.

Data hasil penelitian berupa data parametrik, kemudian digunakan uji

normalitas Kolmogorof-Smirnof Test yang menunjukan seluruh kelompok

mempunyai nilai probabilitas lebih besar dari 0,05 (p>0,05), artinya seluruh

kelompok berdistribusi normal. Kemudian dilakukan uji homogenitas varians

dengan Levene’s Test didapatkan p=0,006, ini menunjukan kelompok tidak

homogen karena tidak memenuhi p>0,05.

Setelah diketahui semua kelompok mempunyai distribusi normal dan tidak

homogen, maka untuk mengetahui adanya perbedaan nilai optical density pada

formazan dilakukan uji Kruskal-Wallis Test yang menunjukan nilai p= 0,000


37

(memenuhi syarat p < 0,05) sehingga dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang

bermakna.

Kemudian analisis data dilanjutkan menggunakan Mann-Whitney Test

untuk membandingkan perbedaan antar kelompok konsentrasi dan kelompok

kontrol. Dari hasil yang didapatkan uji statistik Mann-Whitney Test (tabel 5.2),

jika nilai p<0,05 menunjukkan bahwa ada perbedaan bermakna, sedangkan jika

nilai p>0,05 menunjukan bahwa tidak ada perbedaan bermakna.

Tabel 5.2 Mann-Whitney Test antar perlakuan dan kontrol

Kelompok 100% 50% 25% 12,5% Kontrol Kontrol

sel media

100% - 0,002* 0,002* 0,002* 0,002* 0,002*

50% - 0,003* 0,109 0,002* 0,002*

25% - 0,701 0,002* 0,003*

12,5% - 0,002* 0,004*

Kontrol sel - 0,002*

Kontrol media -

Keterangan: *= menunjukan adanya perbedaan yang bermakna

Pengujian Mann-Whitney Test menunjukan bahwa ada perbedaan antara

masing-masing kelompok konsentrasi 100%, 50%, 25%, dan 12,5% dengan

kontrol. Sedangkan kelompok konsentrasi 12,5% terhadap konsentrasi 50% dan

konsentrasi 25% tidak terdapat perbedaan yang bermakna.


BAB 6
PEMBAHASAN

Sirih merah (Piper crocatum) merupakan salah satu tanaman yang dapat

dimanfaatkan sebagai obat alternatif. Telah dilakukan uji identifikasi kandungan

kimia ekstraketanol daun sirih merah dan didapatkan bahwa sirih merah

mengandung alkaloid, saponin, flavonoid dan polifenolat (Yulias dkk, 2011).

Selain itu daun sirih merah mengandung nilai nutrisi yang dibutuhkan untuk

peningkatan proses penyembuhan, misalnya vitamin A dan C (Prahastuti, 2004).

Sedangkan pada penelitian lain menunjukan bahwa komponen senyawa yang

terkandung pada ekstraketanol 70% daun sirih merah adalah golongan asam

lemak, terpenoid, flavonoid, steroid, alkaloid, pirimidin, minyak atsiri, polifenol

dan vitamin E (Alfarabi, 2010). Hal ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk

penggunaan daun sirih merah sebagai bahan obat alternatif untuk Stomatitis

Aftosa Rekuren (SAR).

Untuk mengembangkan bahan pengobatan Stomatitis Aftosa Rekuren

(SAR) yang alami maka harus diuji terlebih dahulu dengan uji biokompatibilitas

sesuai dengan syarat material di bidang kedokteran gigi terutama yang digunakan

di dalam mulut. Salah satu pengujian untuk menentukan berbagai sifat dari suatu

bahan kedokteran gigi adalah uji sitotoksisitas terhadap jaringan (Maat, 2001).

Untuk mengetahui sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum)

maka dilakukan pengujian terhadap sel fibroblas menggunakan esei MTT.

Penelitian uji sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih merah terhadap sel

fibroblas ini menggunakan ekstrak etanol daun sirih merah dengan konsentrasi

100%, 50%, 25%, dan 12,5%.

38
39

Penelitian ini merupakan uji pendahuluan, yaitu uji toksisitas dari bahan

secara in vitro yang diujikan secara langsung pada kultur sel atau jaringan. Uji

sitotoksisitas dapat dilakukan dengan menggunakan hewan coba secara in

vivo atau menggunakan kultur sel secara in vitro. Prinsip dasar

menumbuhkan sel secara in vitro adalah merancang sistem kultur agar

menyerupai keadaan in vivo. Sel yang akan diteliti dipindah dari jaringan asalnya,

kemudian ditempatkan dalam wadah kultur untuk mendapatkan tempat

pertumbuhan dan nutrisi yang cukup pada temperatur 37 C dan lingkungan gas

(95% CO2 95% udara) pada pH 7,4-7,7 (Freshney, 2000).

Uji sitotoksisitas menggunakan esei MTT ini berdasar kemampuan sel

hidup untuk mereduksi garam [3-(4,5-dimethyltiazol-2-yl)-2,5-difeniltetrazolium

bromide] (MTT). Reduksi garam tetrazolium terjadi di intrasel dan melibatkan

enzim dari retikulum endoplasma dan mitokondria. Dengan demikian jumlah sel

yang hidup dapat diukur sebagai konsentrasi hasil produksi MTT. Parameter

sitotoksisitas yang utama berdasarkan pada nilai absorbansi. Apabila warna sel

semakin pekat (biru keunguan), maka nilai absorbansi semakin tinggi yang berarti

semakin banyak sel yang hidup. Namun bila warna sel semakin pudar, maka nilai

absorbansi semakin rendah, artinya banyak sel yang mati (Fazwishni dkk, 2000).

Pada penelitian uji sitotoksisitas ekstrak etanol dauh sirih merah (Piper

Crocatum) terhadap sel fibroblas ini didapatkan bahwa jumlah sel hidup pada

konsentrasi 100%, 50%, 25%, 12,5% secara berurutan adalah 100%, 63,47%,

52,52%, dan 56,21%. Hal ini berarti persentase sel hidup menunjukan lebih dari

50% setelah terpapar ekstraketanol daun sirih merah (Piper crocatum) yang

menunjukan sirih merah tidak bersifat toksik (Telili dkk, 1999).


40

Nilai absorbansi tertinggi didapatkan pada kelompok yang menggunakan

ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan konsentrasi 100% dan

terendah pada kelompok yang menggunakan ekstraketanol daun sirih merah

(Piper crocatum) dengan konsentrasi 25%. Pada konsentrasi 12,5%, 25% dan

50% tidak memiliki perbedaan yang bermakna, kemungkinan dikarenakan bahan

aktif yang terkandung di dalamnya juga semakin sedikit. Pada konsentrasi 12,5%,

dan 25% jumlah sel fibroblas mengalami penurunan. Mekanisme dan intensitas

kematian sel tergantung pada kadar bahan atau obat yang berkontak dengan sel.

Sel yang terpapar bahan atau obat melebihi puncak paparan akan menyebabkan

kematian sel (Soenartyo, 2003). Pada konsentrasi 100% memiliki jumlah

persentase sel hidup sebesar 100% yang artinya tidak terjadi kematian sel. Hal ini

disebabkan kemungkinan oleh adanya kadar bahan yang terkandung dalam sirih

merah yang berpengaruh terhadap proliferasi sel fibroblas. Berdasarkan analisis

GC-MS (Gas Chromatogrpahy Mass Spectrometry ekstrak etanol daun sirih

merah (Piper crocatum) 70% ditemukan bahwa polifenol merupakan bahan aktif

yang paling banyak terdapat dalam sirih merah yaitu sebesar 44,69% (Alfarabi,

2010). Flavonoid merupakan salah satu senyawa golongan terbesar dalam

polifenol. Flavonoid merupakan senyawa yang terdapat dalam sirih merah (Piper

crocatum) yang diketahui berperan dalam proses antiinflamasi dan mempunyai

efek sebagai antioksidan. Flavonoid berfungsi untuk membatasi pelepasan

mediator inflmasi dengan cara penghambatan siklooksigenase dan lipoksigenase

sehingga terjadi pembatasan jumlah sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan

perlukaan. Selanjutnya reaksi inflamasi akan berlangsung lebih singkat dan

kemampuan proliferatif dari transforming growth factor-β (TGF-β) tidak


41

terhambat sehingga proses proliferasi segera terjadi. Aktifitas flavonoid dalam

mempercepat proses penyembuhan luka didukung juga oleh mekanisme

antioksidan dalam melakukan penghambatan aktifitas radikal bebas (Indraswary,

2011). Hal ini didukung oleh penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang

membuktikan bahwa daun sirih merah mempunyai kemampuan antioksidan yang

disebabkan adanya kandungan flavonoid yang bekerja dengan jalan menghambat

oksidasi lipid (Alfarabi dkk, 2010). Antioksidan mampu memblokir inisiasi dari

susunan radikal bebas sehingga hormon pertumbuhan (Growth Factor) dapat

memicu proliferasi sel fibroblas (Kumar dkk, 2000). Migrasi dan proliferasi dari

sel fibroblas dipengaruhi oleh sejumlah Growth Factor seperti platelet-derived

growth factor (PDGF), fibroblast growth factor (FGF), epidermal growth factor

(EGF) dan transforming growth factor-β (TGF-β). TGF-β yang terkandung dalam

sel inflmasi, jika muncul akan memberikan peran yang penting karena dapat

mempengaruhi deposisi dari jaringan fibrous. Hal ini dikarenakan TGF-β

diproduksi oleh sel-sel dalam jaringan granulasi serta menyebabkan migrasi dan

proliferasi sel fibroblas (Vegad, 1995). Stimulasi TGF-β akan meningkatkan

aktifitas fibronektin di dalam pembentukan gumpalan fibrin. Gumpalan fibrin

yang terbentuk oleh peningkatan aktifitas fibronektin akan menjadi kerangka bagi

re-epitelisasi dan proliferasi fibroblas (Indraswary, 2011). Selain polifenol, sirih

merah juga diketahui mengandung mengandung alkaloid, saponin, flavonoid dan

polifenolat (Yulias dkk, 2011). Daun sirih merah juga mengandung nilai nutrisi

yang dibutuhkan untuk peningkatan proses penyembuhan, misalnya vitamin A

dan C (Prahastuti, 2004) Saponin diketahui sebagai salah satu senyawa yang

memacu pembentukan kolagen, dan dapat meningkatkan kepadatan fibroblas


42

dengan aktifasi TGF-β (Kanzaki, 1998). Selain itu terpenoid merupakan bahan

aktif yang membantu mempercepat pembentukan sabut kolagen yang dihasilkan

oleh sel fibroblas (Waha, 2000). Bahan aktif lain yang terkandung dalam sirih

merah yaitu vitamin A dan vitamin C yang berperan secara tidak langsung

terhadap proliferasi sel fibroblas. Vitamin A dapat mempercepat fase inflmasi ke

fase proliferasi dengan meningkatkan monosit dan makrofag ke daerah luka

(Jeffcoate dkk, 2004). Salah satu fungsi makrofag yaitu menghasilkan Gowth

factor yang berperan dalam proliferasi sel fibroblas (Vegad, 1995). Selain itu

vitamin A dapat mempengaruhi aktifitas sel limfosit T dan produksi sitokin.

Berdasarkan sitokin yang dihasilkan sel T helper (Th) dibagi menjadi Th1 dan

Th2. Sel Th1 akan menghasilkan sitokin interlukin-2 (IL-2) dan Tumor Necrosis

Factor (TNF) yang berperan langsung dalam mengaktifkan makrofag. Vitamin A

dalam bentuk asam retinoat (alltrans retinoic acid) juga merupakan regulator

transkripsional ekspresi gen yang mengkode sitokin stimulator terhadap makrofag

yaitu interferon-alpha (IFN-γ) dan interlukin-4 (IL-4) (Isnaeni, 2012). Vitamin C

berfungsi menstimulir respon kemotaktik dan proliferasi dari neutrofil serta

transformasi limfosit. Material-material yang terlepas dari neutrofil dapat

menstimulasi migrasi dan proliferasi dari sel fibroblas. Neutrofil memproduksi

dan melepaskan mediator inflamasi seperti Tumor Necrosis Factor alpha (TNF-α)

dan interlukin-1 (IL-1) yang mempercepat aktifasi sel fibroblas dan sel epitel

(Rinasiti, 2003). Hal ini dapat dijadikan pertimbangan untuk mengembangkan

potensi daun sirih merah sebagai obat penyembuh luka dalam perawatan SAR

(Stomatitis Aftosa Rekuren).


BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Dari hasil penelitian eksperimental laboratoris sitotoksisitas ekstrak etanol

daun sirih merah (Piper crocatum) terhadap sel BHK-21 menggunakan esei MTT

ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Ekstrak etanol daun sirih merah (Piper crocatum) tidak toksik terhadap sel

BHK-21.

2. Sitotoksisitas terendah terhadap sel BHK-21 didapatkan pada ekstrak

etanol daun sirih merah (Piper crocatum) dengan konsentrasi 100%.

7.2 Saran

1. Perlu penelitian lebih lanjut tentang sitotoksisitas ekstrak etanol daun sirih

merah (Piper crocatum) menggunakan hewan coba secara in vivo.

2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang penggunaan bahan sirih merah (Piper

crocatum) untuk pengobatan Stomatits Aftosa Rekuren (SAR).

43
DAFTAR PUSTAKA

Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun


Psidium guajava L. Bioscientiae. 1(1): 8-31

Alfarabi M. 2010. Kajian Antidiabetogenik Ekstrak Daun Sirih Merah (Piper


crocatum) In Vitro. Karya Tulis Akhir. Institut Pertanian Bogor. p.30

Alfarabi M, Bintang M, Suryani, Safihri M. 2010. The Comparative Ablity of


Antioxidant Activity of Piper crocatum in Inhibiting Fatty Acid Oxidation
and Free Radical Scavenging. Hayati Journal of Biosciences. Availabe at
http://journal.ipb.ac.id/index.php/hayati. Accessed on January, 2013

Anita Y. 2005. Uji Biokompatibilitas Resin Akrilik Jenis Otopolimerisasi pada Sel
Fibroblas. Majalah Kedokteran Gigi Universitas Airlangga. 63: 128

Ariyani M, Kusumaningsih T, Rahardjo M.S. 2007. Daya Hambat Ekstrak Daun


Jambu Mente (Anarcadium ociidentale) Terhadap Pertumbuhan
Streptococcus sanguis. Jurnal PDGI. 57:45

Astawan M, Kasih, Andreas L. 2008. Khasiat Warna-Warni Makanan. Gramedia


Pustaka Utama Jakarta. p. 31

Bloom F. 2002. Buku Ajar Histologi. Cetakan I. Jakarta. EGC. p. 130-3

Chandel RS and Rastogi RP. 1979. Triterpenoid Saponin and Sapogenin.


Phytochemistry. 19: 1889–908

Cowan MM. 1999. Plant Products as Antimicrobial Agents. Clinical


Microbiology Reviews 12(4): 564–82

Craig RG and Powell JM. 2002. Restorative Dental Materials. 6th wd. London.
Mosby Co. p. 135-40

Dalimartha S dan Soedibyo M. 1999. Awet Muda Dengan Tumbuhan Obat dan
Diet Supleme. Trubus Agriwidya. p. 36-40

Duryatmo S. 2005. Dulu Hiasan Kini Obat. Trubus. p. 427-37

Douglas M and Alan L.Miller. 2003. Nutritional Support for Wound Healing.
Availabe at http://www.thorne.com/altmedrev/.fulltext/8/4/359.pdf.
Accessed on January 2013

Doyle A and Grififths JB. 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research.
John Wiley & Sons. LTD. New York. p. 49

44
45

Enoch S and Price P. 2004. Cellular, Molecular and Biochemical Difference in


The Pathophysiology of Healing Between Acute Wounds, Chronnic
Wounds in The Aged. Available at http://www.worldwidewounds.com.
Accessed on January 2013

Fazwishni S dan Hadjiono BS. 2000. Uji Sitotoksisitas dengan Esei MTT. Jurnal
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. 7: 28-32

Fernandez BR and Vetviaeka V. 1995. Method in Cellular Immunology. CRC


Press. Boca raton, New York, London, Tokyo. p. 47-52

Freshney RI. 2000. Culture of Animal Cell; a Manual of Basic Technique 4th
Edition. New York: Wiley Liss Inc. p. 329-60

Froschle M, Pluss, Peter A, Etzweiler E, Ruegg D. 2004. Phytosteroid for Skin


Care. p. 55-8

Goepel. 1992. Oral Pathology. New York: McMillan Publ. p. 21-7

Harahap AO. 2006. Kesembuhan Stomatitis Aftosa Rekuren (SAR) Minor Dengan
Pemberian Daun Pegagan (Centella asiatica). Jurnal Ilmiah dan
Teknologi Kedokteran Gigi FKG UDPM Jakarta. p. 92-5

Indraswary R. 2011. Efek Konsentrasi Ekstrak Buah Adas (Foeniculum vulgare


Mill.) Topikal Pada Epitelisasi Penyembuhan. Jurnal Majalah Ilmiah
Sutlan Agung. 59:124

Inggit P dan Esti M. 2011. Karakteristik Morfologi Daun Sirih Merah: Piper
crocatum dan Piper porphyrophyllym N.E.Br. Koleksi Kebun Raya Bogor.
Berkas Penelitian Hayati Edisi Khusus 7A: 83-5

Isnaeni U, Iswari RS, Harini NW. 2012. Pengaruh Pemberian Vitamin A


Terhadap Penurunan Parasitemia Mencit yang Diinfeksi Plasmodium
berghei. Unnes Journal of Life Science.
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php. Accesed on January 2013

Jeffcoate W, Price P and Harding KG. 2004. Wound Healing and Treatments for
People With Diabetic Foot Ulcers. Diabet Metab Res Rev 20(1):78-89

Juliantina F, Dewa Ayu Citra M, Bunga N, Titis N dan Endrawati T. 2009.


Manfaat Sirih Merah (Piper crocatum) Sebagai Agen Anti Bakteri
Terhadap Bakteri Gram Positif dan Gram Negatif. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan Indonesia.10: 1-10

Kanzaki T, Moraski N, Shiina R, Saito Y. 1998. Role of Transforming Growth


Factor-β Pathway in The Mechanisme of Wound Healing By Saponin from
Ginseng Radix Rubra. Br. J. Pharmacol. 125:255-62
46

Kochar SP and Rosell B. 1990. Detection Estimation and Evaluation of


Antioxidants in Food System. Elvisier Applied Science London. p. 19-64

Kumar V, Cotran R, Robbins S. 2000. Buku Ajar Patologi 7th ed. Jakarta:EGC. p.
56-63

Kus H.1996. Peranan Vitamin C (Asam askorbat) Dalam Kesehatan Jaringan


Rongga Mulut. Majalah Kedokteran Gigi. 3:29, p. 5-62

Lameshow S, Homer Jr. DW, Klar J, Lwanga SK. 1990. Adequacy of Sample Size
in Health Studies. Toronto: World Health Organization pub. John Wuley
and Sons. p. 9-11

Lesson CR, Leeson TS, Papparo AA. 1996. Buku Ajar Histologi. Edisi V. Cetakan
VI. Jakarta. EGC. p. 116-7

Maat S. 2001. Sterilisasi dan Disinfeksi. Ceramah Sehari Penyucihamaan


(sterilisasi) Sarana Pelayanan Kesehatan. Patologi Klinik RSUD Dr.
Soetomo Surabaya. p. 14

Muchtadi D. 2009. Gizi Anti Penuaan Dini. CV Alfabet Bandung. p. 45-67

Parwata I.M.O.A dan Dewi P. 2008. Isolasi Dan Uji Aktivitas Antibakteri Minyak
atsiri Dari Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga L.). Jurnal Kimia 2 (2:
100-4

Prahastuti S dan Tambunan K. 2004. Tinjauan Literatur Sirih. Pusat Dokumentasi


dan Informasi Ilmiah (PDII) Jakarta

Regezy JA, Sciubba JJ, and Jordan RC. 2003. Oral Pathology. Ed. USA, Sanders.
p. 38-42

Rinastiti M. 2003. Pengaruh Membran Amnion Terhadap Jumlah Sel Fibroblas


Pada Proses Penyembuhan Luka. Majalah Kedokteran Gigi (Dental
Journal) Jakarta : UI. p. 639-43

Robins SL and Kumar V. 1999. Buku Ajar Patologi I 4th Edition. Jakarta. p. 53-65

Robinson T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. ITB Bandung.


p. 132-6

Rosenberg L. 2006. Wound Healing Growth Factor. Available at


www.woundhealing.com. Accessed on January 2013

Saija A, Scales M, Lanz M, Marzullo D, Bonina F, Castelli F. 1995. Flavonoids


as antioxidants agents. FRBM. 19:481-6

Samsuhidayat. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta. EGC. p. 72-3


47

Sesty R. 2007. Studi Maksroskopi, Mikroskopi, dan Skrining Fitokimia Daun


Anredera cordifolia (Ten.) Steenis. Karya Tulis Akhir. Fakultas Farmasi
Universitas Airlangga Surabaya. p. 28-9

Soenartyo H. dan Rianti Devi. 2003. Uji sitotoksisitas Ekstrak Coleus amboinicuc,
Lour Menggunakan Esei MTT. Majalah Kedokteran Gigi (Dental journal).
36(2)

Sudewo B. 2005. Basmi Penyakit dengan Sirih Merah. PT Agromedia p. 38-42

Sudiono J, Kurniadhi B, Hendrawan A dan Djiamantoro. 1995. Ilmu Patologi.


Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC. p. 112-6

Sulistyani N, Sasongko H, Hertanti M, Meilana L. 2007. Aktivitas Minyak Atsiri


Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz and Pav) terhadap Staphylococcus
aureus, Escherichia coli dan Candida albicans Serta Identifikasi
Komponen Kimianya. Med Far. 6(2):33-9

Tambayong, J. 2001. Farmakologi untuk Keperawatan. Jakarta: Widya Medika.


p. 37-8

Telili C, Serper A, Dogan AL, Guc D. 1999. Evaluation of The Cytotoxicity of


Calcium Phospate Root Canal Sealers by MTT Assay. J Endodont. 25: 811

Trihendradi C. 2008. SPSS 16 Analisis Data Statistik. Yogyakarta : Graha Ilmu. p.


59-65, 169-173

Underwood JC. 1999. Patologi Umum dan Sistematik 2nd ed. Jakarta:EGC. p. 247-
54

Van der Vossen and Wessel M. 2000. Plants Resources of South-East Asia .
Stimulants. p. 102

Vegad JL. 1995. A Textbook of Veterinary General Pathology; Healing and


Repair. New Delhi: Vikas Publishing House Put. Ltd. p. 82-153

Waha MG. 2000. Sehat Dengan Mengkudu. Jakarta MSF Group. p. 1-16

Winarti S. 2010. Makanan Fungsional. Surabaya Graha Ilmu

Wray D, Lowe GD, Dagg JH, Felix JD, and Scully C. 2003. Textbook of General
and Oral Medicine. Edinburg, Hartcourt Publ. Ltd. p. 31

Yulias NW, Agnes B, Igustin AS. 2011. Aktifitas Mukolitik In Vitro Ekstrak
Etanol Daun Sirih Merah (Piper crocatum Ruiz dan Pav.) Pada Mukosa
Usus Sapi dan Identifikasi Kandungan Kimianya. Availabe at
http://www.unwahas.ac.id/publikasiilmiah/index.php/ilmuFarmasidanklini
i/article/view/381/495. Accessed on January 2013
LAMPIRAN

Lampiran 1 Nilai Optical Density

48
49

Lampiran 2 Uji Statistik

NPar Tests

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

K.sel K.media 100% 50% 25% 12,5%

N 7 7 7 7 7 7
a,b
Normal Parameters Mean .3823 .1111 .5961 .2020 .1480 .1663
Std. Deviation .04726 .01064 .04589 .01933 .01309 .05968
Most Extreme Absolute .139 .182 .213 .336 .220 .347
Differences Positive .117 .182 .155 .204 .154 .347
Negative -.139 -.172 -.213 -.336 -.220 -.239
Kolmogorov-Smirnov Z .368 .482 .564 .889 .583 .919
Asymp. Sig. (2-tailed) .999 .974 .908 .408 .886 .367

a. Test distribution is Normal.


b. Calculated from data.

Test of Homogeneity of Variances


Hasil

Levene Statistic df1 df2 Sig.

3.950 5 36 .006

ANOVA
Hasil
Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 1.221 5 .244 171.195 .000


Within Groups .051 36 .001
Total 1.272 41
50

NPar Tests
Kruskal-Wallis Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank

Hasil Kontrol sel 7 32.00

Kontrol media 7 4.43

100 % 7 39.00

50 % 7 23.14

25 % 7 14.93

12,5 % 7 15.50

Total 42

a,b
Test Statistics

Hasil

Chi-square 36.756
df 5
Asymp. Sig. .000

a. Kruskal Wallis Test


b. Grouping Variable:
Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol sel 7 11.00 77.00

Kontrol media 7 4.00 28.00


Total 14
51

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol sel 7 4.00 28.00

100 % 7 11.00 77.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.130
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok
52

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol sel 7 11.00 77.00

50 % 7 4.00 28.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol sel 7 11.00 77.00

25 % 7 4.00 28.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok
53

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol sel 7 11.00 77.00

12,5 % 7 4.00 28.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.130
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol media 7 4.00 28.00

100 % 7 11.00 77.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok
54

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol media 7 4.00 28.00

50 % 7 11.00 77.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.137
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol media 7 4.14 29.00

25 % 7 10.86 76.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U 1.000
Wilcoxon W 29.000
Z -3.009
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok
55

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil Kontrol media 7 4.29 30.00

12,5 % 7 10.71 75.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U 2.000
Wilcoxon W 30.000
Z -2.878
Asymp. Sig. (2-tailed) .004
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .002

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil 100 % 7 11.00 77.00

dimension1
50 % 7 4.00 28.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
56

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil 100 % 7 11.00 77.00

dimension1
25 % 7 4.00 28.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.134
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil 100 % 7 11.00 77.00

dimension1
12,5 % 7 4.00 28.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.130
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001
a. Not corrected for ties.
57

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 28.000
Z -3.130
Asymp. Sig. (2-tailed) .002
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil 50 % 7 10.86 76.00

dimension1
25 % 7 4.14 29.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U 1.000
Wilcoxon W 29.000
Z -3.009
Asymp. Sig. (2-tailed) .003
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .001

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok
58

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil 50 % 7 9.29 65.00

dimension1
12,5 % 7 5.71 40.00

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U 12.000
Wilcoxon W 40.000
Z -1.604
Asymp. Sig. (2-tailed) .109
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .128

a. Not corrected for ties.


b. Grouping Variable: Kelompok

NPar Tests
Mann-Whitney Test

Ranks

Kelompok N Mean Rank Sum of Ranks

Hasil 25 % 7 7.93 55.50

dimension1
12,5 % 7 7.07 49.50

Total 14

b
Test Statistics

Hasil

Mann-Whitney U 21.500
Wilcoxon W 49.500
Z -.384
Asymp. Sig. (2-tailed) .701
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .710

a. Not corrected for ties.


59

Lampiran 3 Foto Hasil Penelitian

Keterangan:

1 = Kontrol sel
2 = Kontrol media
3 = Ekstrak etanol sirih merah konsentrasi 100%
4 = Ekstrak etanol sirih merah konsentrasi 50%
5 = Ekstrak etanol sirih merah konsentrasi 25%
6 = Ekstrak etanol sirih merah konsentrasi 12,5%
60

Lampiran 4 Surat Identifikasi Sirih Merah (Piper crocatum).


61

Lampiran 5 Keterangan Kelaikan Etik

Anda mungkin juga menyukai