Anda di halaman 1dari 21

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus
Sebelum mengkaji kasus Sprained ankle, perlu dipahami terlebih dahulu

mengenai definisi, anatomi, patofisiologi, biomekanik regio pergelangan kaki,

etiologi, tanda dan gejala klinis, komplikasi, prognosis, dan diagnosis banding,

sehingga pada saat mengkaji kasus dapat lebih jelas.


1. Definisi
Sprained ankle adalah suatu cidera pada ligamen di pergelangan kaki.

Ligamen adalah jaringan elastik yang kuat yang menghubungkan tulang yang satu

dengan tulang yang lainnya (Taylor,1997).


Gian dan Lectah (1993) berpendapat bahwa sprain adalah cedera pada

sendi, dengan terjadinya robekan pada ligamentum karena terjadinya stretch

berlebihan yang mendadak atau penggunaan berlebihan yang berulang-ulang dari

sendi.
Sprain adalah bentuk cedera berupa penguluran atau kerobekan

pada ligamen (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul

sendi, yang memberikan stabilitas sendi (Rolf, 2007)


2. Anatomi
Sendi pergelangan kaki secara medis dikenal sebagai sendi talocrural.

Tiga tulang membentuk sendi ini, tibia, fibula, dan talus. Berat badan yang

ditransmisikan dari tibia ke talus yang mendistribusikan berat ke anterior dan

posterior kaki.
Ligamen dari sendi pergelangan kaki dikelompokkan menjadi dua

kategori, ligamen collateral lateral, dan ligamen collateral medial. Meskipun

ligamen pergelangan kaki terdiri dari serat fibrous yang kuat, ligamen ini sering
9

rentan terhadap cedera karena gerakan yang berlebihan dari sendi subtalar selama

aktivitas.
Ligamen collateral lateral terdiri dari ligamen anterior talofibular,

ligamen calcaneofibular, ligamen talocalcaneal posterior, dan ligamen talofibular

posterior. Ligamentum anterior talofibular melewati dari ujung maleolus lateral

anterior talus. Ini membatasi fleksi plantar sendi. Ligamentum calcaneofibular

melewati dari maleolus lateral calcaneus dengan ligamentum talocalcaneal

berjalan pada dasarnya, mereka membatasi gerak adduksi. Ligamentum

talofibular posterior melewati dari ujung maleolus lateral posterior talus.

Talocalcaneal posterior melebar melalui serabut ini ke calcaneus, kedua ligament

ini membatasi gerak dorsi fleksi.


Ligament collateral medial, terdiri dari ligamentum tibinavicular, ligamen

calcaneotibial, ligament talotibial anterior, dan ligamentum talotibial posterior.

Ligamentum tibiovnavicular berjalan ke anterior membentuk maleolus medial ke

tulang navicular. Ligamentum calcaneotibial berjalan dari ujung maleolus

medialis ke tepi calcaneus. Keduanya mencegah gerak plantar fleksi dan dorsal

fleksi masing-masing.
10

Gambar 2.1

(Putz and

Pabst, 2000)
Anatomi tulang

sendi pergelangan

kaki
Keterangan

gambar:
1. Tulang tibia
2. True ankle joint
3. Tulang talus
4. Tulang fibula
5. Subtalar joint
6. Tulang calcaneus

Gambar 2.2 (Putz and Pabst, 2000)


Anatomi ligamen pada sendi pergelangan kaki kanan

Keterangan gambar:
1. Posterior talofibular ligament (PTFL).
11

2. Anterior talofibular ligament (ATFL).


3. Calcaneofibular ligament (CFL).
4. Achiles tendon.

Gambar 2.3 (Putz and Pabst, 2000)


Anatomi otot pada sendi pergelangan kaki dilihat dari sisi lateral
Keterangan Gambar
1. M. Gastrocnemius 8. M. Peroneus tertius
2. M. Soleus 9. Tibialis anterior tendon
3. Achiles tendon 10. M. Extensor hallucis longus
4. Peroneus longus tendon 11. M. Extensor hallucis brevis
5. M. Peroneus longus 12. Extensor digitorum longus tendon
6. M. Tibialis anterior 13. M. Extensor digitorum brevis
7. M. Peroneus brevis

3. Biomekanik

Menurut Syatibi (2007) bahwa gerakan yang seharusnya terjadi pada sendi

ankle yaitu dorsal flexi dan plantar flexi. Dalam keadaan normal, plantar flexi ini
12

bisa dilakukan sampai punggung kaki segaris dengan permukaan depan tungkai

bawah. Dengan demikian, Range of Motion (ROM) plantar flexi normal adalah 90

derajat. Dari jumlah tersebut sendi pergelangan kaki ini hanya memberi andil

sejumlah 45°. Dorsal flexi mempunyai ROM ± 20° dari posisi netral. Posisi netral

kaki adalah apabila posisi kaki membentuk sudut 90° dengan tungki bawah.
Gerakan plantar flexi dihambat oleh ligamentum-ligamentum yang

berjalan dari malleolus bagian depan ke punggung kaki yaitu ligamenum

talofibulare anterior, tibiotalare anterior dan ligamen tibionaviculare.


Gerakan dorsal flexi terutama dihambat oleh tendon achilles. Disamping

itu, karena trochlea tali bagian anterior lebih lebar dari pada bagian posterior

sehingga pada saat gerakan dorsal flexi, trochlea tali bagian anterior ini terjepit

rapat di antara kedua malleolus sehingga tidak memungkinkan untuk bergerak ke

dorsal flexi lebih lanjut.

4. Patofisiologi
Sprained ankle ini dapat mempengaruhi tidak hanya pada bagian sisi

pergelangan tetapi biasanya dapat juga merusak bagian luar (lateral) ligamen. Hal

ini terjadi pada saat kaki melakukan rotasi pada tungkai kaki, meregangkan

pergelangan pada titik dimana akan dapat merobek atau retak tulang (ligamen

persendian pergelangan kaki bagian depan) (Taylor, 1997).


Sprained ankle biasanya hanya terdapat robekan sebagian pada ligamen

lateral. Tetapi kadang-kadang ligamen robek sama sekali dan sendi bersubluksasi,

talus untuk sementara miring ke dalam inversi, kemudian dengan cepat kembali

ke posisinya (Apley, 1999).

Menurut Kaikkonen (1994) yang dikutip oleh McKay and Cook (2006)

Sprain dibagi menjadi:


13

a. Grade I (mild sprain)


teregangnya ligamen tanpa disertai kerobekan secara mikroskopik, ada

bengkak ringan dan nyeri tekan ringan, tidak ada gangguan fungsional dan

kestabilan sendi.
b. Grade II (moderate sprain)
adanya kerobekan dari sebagian ligamen, dengan nyeri sedang, ada

bengkak dan nyeri tekan, dan terjadi gangguan sebagian fungsi gerak dan

gangguan stabilitas sendi.


c. Grade III (severe sprain)
terjadinya kerobekan ligamen total dengan nyeri berat, bengkak,

pendarahan, nyeri tekan, dan ada kehilangan fungsi gerak dan stabilitas sendi.

Goncangan pada Sprain kronis dapat menyebabkan terjadinya kejang

pada pembuluh darah di pergelangan kaki sehingga menyebabkan berkurangnya

aliran darah sehingga dapat mengakibatkan tulang dan jaringan lainnya bisa

mengalami kerusakan karena kekurangan darah. Keadaan ini disebut refleks

simpatis atau atrofi suddect, yang dapat menyebabkan nyeri dan pembekakan

pergelangan kaki (Brukner & Khan, 1993).


Pembengkakan pada Sprain disebabkan karena cairan yang merembet atau

merembes pada ruangan intetisial dan cairan itu keluar sehingga terjadi odema

atau bengkak.

5. Etiologi

Penyebab terjadinya Sprained ankle kronis pada pergelangan kaki

biasanya dapat terjadi karena olah raga (misalnya: lompat dan terbentur dengan

benda lain), berjalan pada permukaan yang tidak seimbang dan gerakan yang

tidak tepat (Rolf, 2007)


14

Penyebab yang lain yaitu karena jatuh atau terpeleset, berlari, angkat

darbel (angkat benda yang berat), kecelakaan dan kesalahan gerak badan yang

menyentak sehingga persendiaan bergerak melebihi radius gerak normal (Taylor,

1997).
Banyak faktor yang dapat ikut berkontribusi dalam meningkatkan faktor

terjadinya Sprained ankle, yaitu (1) Kelemahan propioseptik atau keseimbangan,

(2) Sedang dalam masa rehabilitasi sprained ankle, (3) Ketidakstabilan sendi yang

dimiliki oleh pasien, (4) Kelemahan otot-otot disekitar sendi, (5) lemahnya core

stability atau kurangnya koordinasi, (6) Kekakuan sendi. (7) Buruknya tingkat

fleksibilitas otototot disekitar sendi, (8) Kurangnya pemanasan sebelum

melakukan aktifitas, (9) Ketidaksesuaian pelatihan yang dilaksanakan,

(10) Kurang layanknya permukaan tanah atau tumpuan yang labil, (11) Buruknya

struktur biomekanik postur kaki, (12) Penurunan kebugaran atau kondisi olahraga

tertentu, (13) Kelelahan yang pada penderita, dan (14) Ketidaksesuaian alas kaki

yang digunakan ketika aktifitas (Physioadvisor.com, 2012).

6. Tanda dan gejala klinis


Gejala pada penyakit trauma akut pada sprained ankle dapat terjadi

seketika mungkin setelah insiden atau cedera berlangsung, namun terdapat

beberapa tanda-tanda umum yang dapat dirasakan pasien atau penderita berupa:

(1) Terasa sangat sakit dan bengkak pada sendi yang sprain, (2) Kulit akan terlihat

berwarna gelap karena adanya pendarahan yang membeku,

(3) Persendiaan jadi sulit digunakan atau terasa tidak stabil bila kita

menggerakkannya, (4) Ada rasa yang sangat sakit dan lunak pada bagian yang
15

sprain, (5) Sprain pada anak-anak, membuat badannya menjadi panas. Panasnya

lebih sering menyerang pada malam hari.(Taylor, 1997)

Sedangkan menurut Griffith (1986) tanda-tanda dan gejala klinis pada

sprained ankle terbagi dalam 3 jenis sesuai tingkatan dari sprained ankle yang

dialami oleh pasien, tanda dan gejala klinis tersebut yaitu:

a. Grade 1 ( mild atau 1st degree ankle sprain )


Tanda dan gejala pada sprained ankle grade 1 yang umumnya dirasakan

oleh pasien yaitu, (1) Nyeri pada pergelangan kaki saat cedera terjadi, (2) Terasa

lepas atau robek pada bagian luar sendi pergelangan kaki, (3) Bengkak sedang

pada sisi cedera, (4) Sedikit kehilangan fungsinya, Pasien yang mengalami cedera

sprained ankle grade 1 dapat berdiri dan berjalan sendiri tanpa bantuan selama 30

menit atau selama cedera terjadi. Kemudian tergantung sejauh mana cedera.

Kestabilan sendi akan terlihat sedikit berkurang, (5) Bengkak pada pergelangan

kaki, (6) Memar muncul setelah beberapa jam setelah cedera terjadi.

b. Grade 2 ( moderate atau 2nd degree ankle sprain )


Sprained ankle grade 2 atau yang sering dikenal Moderate ankle sprain

memiliki tanda dan gejala yang dapat dirasakan oleh pasien, yaitu; (1) Rasa sangat

nyeri pada pergelangan kaki ketika cedera terjadi, (2) Terasa lepas atau terobek

pada bagian luar sendi pergelangan kaki, (3) Nyeri yang sangat ekstrim di lokasi

cedera, (4) Kehilangan fungsinya, Penderita biasanya jatuh, tetapi dapat berjalan

selama beberapa detik, tetapi hanya bermampu berjalan sebentar dan hanya

mampu menumpu dengan satu kaki pada kaki normal. Sendi pergelangan kaki

mungkin Nampak seperti kehilangan stabilitasnya, (5) Sendi pergelangan kaki


16

yang cedera terasa longgar apabila digerakkan ke arah nyeri, (6) Pembengkakan

menyuluruh segera setelah cedera pada daerah pergelangan kaki dan kaki
c. Grade 3 ( severe atau 3rd degree ankle sprain )
Sprained ankle grade 3 atau sprained ankle terparah memiliki tanda dan

gejala yang lebih spesifik lagi yang dapat dirasakan pasien, yaitu; (1) Rasa nyeri

hebat pada pergelangan kaki ketika cedera terjadi, (2) Terasa lepas atau terobek

pada bagian luar atau dalam pergelangan kaki. Kadang pula rasanya seperti sendi

pergelangan kaki terasa terkilir atau dislokasi, (3) Nyeri sangat pada daerah yang

mengalami cedera, (4) Kehilangan fungsi. Penderita cedera ini biasanya jatuh dan

sangat sulit untuk berjalan. Sendi kehilangan stabilitasnya, (5) Sendi terasa lepas

apabila kaki di paksa untuk bergerak kearah nyeri, (6) Bengkak dengan cepat,

umumnya muncul di pergelangan kaki dan kaki, (7) Muncul memar dengan segera

atau segera setelah cedera.

7. Komplikasi
Sprained ankle sebagian besar terjadi pada kelompok usia mulai dari

remaja hinga dewasa muda. Mekanisme cedera ini biasanya mengakibatkan nyeri

dan pembengkakan di bagian luar sendi pergelangan kaki. Waktu penyembuhan

pada sprained ankle dengan modalitas pengobatan dasar (rest, ice, elevation, dan

elastic ankle support) biasanya tiga sampai empat minggu tanpa komplikasi.

Meskipun pergelangan kaki yang mengalami cedera di tangani dengan lembut,

penderita tidak boleh mengalami kesulitan untuk berjalan dan beraktifitas secara

normal setelah empat sampai enam minggu pasca cedera. Ketika penderita

mengalami kesulitan berjalan, dan nyeri saat proses rehabilitasi normal untuk

sprained ankle, biasanya terdapat cedera lebih serius ada pada awal kejadian. Hal

ini mungkin akibat beberapa alasan, seperti ketidakpatuhan terhadap latihan yang
17

telah diberikan, misdiagonsis pada awal cedera, pengobatan yang tidak tepat

terhadap cedera, dan terlalu cepatnya pasien kembali melakukan kegiatan

sebelumnya (seperti olahraga, dan pekerjaan berat).


Banyak cedera dapat menyertai pada kondisi sprained ankle yang sering

tidak terdeteksi secara dini. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi jangka

panjang atau komplikasi yang tertunda pada sendi pergelangan kaki. Beberapa

cedera yang umum yaitu ada pada kondisi sprained ankle adalah sebagai berikut:

Rupture lateral ligamen, patah tulang pada pergelangan kaki, Strain (cedera pada

tendon) di sekitar pergelangan kaki, memar tulang, dan cedera saraf

(neuropraxia). Kondisi ini membutuhkan perhatian segera yang meliputi, foto

rontgen atau MRI pada area cedera. Foto rontgen dapat membantu dalam

mendeteksi fraktur dengan baik pada pergelangan kaki, namun pada beberapa

insiden, MRI perlu dilakukan guna mendeteksi patah tulang yang tersembunyi di

dalam persendian pergelangan kaki yang mungkin termasuk tulang rawan, serta

trauma jaringan lunak di area pergelangan kaki. Gejala awal biasanya meliputi

pembengkakan dan nyeri yang signifikan dengan kekakuan sendi dan kesulitan

berjalan. Pengobatan untuk semua kondisi ini biasanya mencakup imobilisasi

awal, terapi fisik, dan kadang-kadang dengan obat-obatan anti inflamasi. Kondisi

ini biasanya memakan waktu setidaknya enam sampai delapan minggu untuk

penyembuhan atau lebih lama lagi. Ketika kondisi seperti ini tidak terdeteksi oleh

pasien atau tenaga kesehatan, komplikasi dari cedera dapat terjadi.


Beberapa gejala umum yang sering terjadi ialah nyeri berkepanjangan,

bengkak, kekakuan pergelangan kaki, kelemahan otot-otot pergelangan kaki, dan

kesulitan berjalan dalam jangka waktu yang lama. Beberapa komplikasi umum
18

dari sprained ankle tipe cedera dengan atau tanpa pengobatan yang tepat dapat

meliputi: (Sheinberg, 2012)


a. Ankle synovitis
Synovitis adalah peradangan pada lapisan dalam kapsul pergelangan kaki.

Hal ini dapat terjadi ketika ligamen mengalami cedera, kapsul sendi juga cedera

yang menyebabkan reaksi inflamasi dalm sendi pergelangan kaki. Ketidakstabilan

sendi akibat sprained ankle juga dapat menyebabkan gerakan yang tidak normal

terus-menerus yang dapat mengakibatkan respon inflamasi kronis juga.

b. Pembengkakan berkepanjangan pada pergelangan kaki


Pembengkakan berkepanjangan pada pergelangan kaki dapat disebakan

oleh beberapa kondisi. Paling umum, ligamen pada pergelangan kaki yang robek

dan tidak mendapat penyembuhan yang tepat, atau memar tulang dimana aspek

medial atau dalam pergelanangan kaki dikompresi selama cedera menyebabkan

peradangan di dalam tulang pergelangan kaki itu sendiri.


c. Lateral ankle instability
Lateral ankle instability atau ketidakstabilan sendi luar pergelangan kaki

ini terjadi ketika ligamen di bagian luar pergelangan kaki telah terluka dan robek

atau setengah robek, dan ligamen belum sembuh dalam posisi anatominya, dan

pada kenyataannya telah sembuh dalam posisi meregang menyebabkan

pergelangan kaki untuk bergerak tidak normal.


d. Cedera saraf
Cedera saraf dapat terjadi ketika terjadi gerakan memutar ketika cedera

yang signifikan dari pergelangan kaki, sehingga mengakibatkan pembengkakan

kronis yang menyebabkan penekanan pada pergelangan kaki dan saraf kulit

sekitar pergelangan kaki.


8. Prognosis
19

Kebanyakan sprained ankle sembuh tanpa adanya komplikasi atau

kesulitan lain. Pengobatan dengan pembedahan jarang dibutuhkan untuk

menangani robeknya ligamen. Cairan yang memperbaiki ligamen akan memberi

pertanda ketika sprained ankle gagal untuk disembuhkan atau dipulihkan. Jika

diagnosa dari cairan tendon gagal, baru pengobatan dengan proses pembedahan

akan dilaksanakan, hal itu dikarenakan hasil pengobatan pembedahan akan sama

saja bila dilakukan segera atau tidak.


Lamanya waktu pemulihan tergantung pada tingkat keparahan pada

sprained ankle itu sendiri dan cedera yang mungkin menyertai. Latihan untuk

penanganan sprained ankle harus dimulai sesegera mungkin untuk

mempertahanakan tingkat fleksibilitas dan kekuatan sendi, penanganan latihan

dilaksanakan ketika patologi bengkak pada cedera telah sembuh dan pasien

mampu berjalan tanpa adanya rasa nyeri (Cuhna, 2012).


9. Diagnosa banding
Banyaknya kondisi yang dapat mengakibatkan sprained ankle harus

dibedakan dari mana asalnya dan bagaimana mekanisme terjadinya. Diagnosis

banding untuk ini adalah; (1) Fraktur pergelangan kaki, (2) Lesi kubah talar

(osteochondritis sidecans), (3) Peroneal tendon subluxation, (4) Peroneal nerve

entrapment, (5) Sprained ankle berulang, (6) Talotibial exostosis.


Jika rasa sakit atau ketidakstabilan tetap terasa (lebih dari empat sampai

enam minggu), ulangi evaluasi dengan radiologi, CT (computed tomografion)

scan atau Bone scan dapat membantu mengesampingkan kondisi kronis.

B. Problematik fisioterapi
Problematika yang muncul ada kasus sprained ankle yang akan dihadapi

oleh fisioterapis tergantung pada kondisi pasien, kondisi dari patofisiologis

Sprained ankle-nya, dan kemampuan pasien. Problematika yang terjadi menurut


20

klasifikasi WHO yang dikenal dengan international classifocation of function and

disability (ICF) terdiri atas 3 tingkatan, yaitu: impairment, functional limitation,

dan participation restriction.


1. Impairment
Impairment adalah gangguan langsung setingkat jaringan atau bisa juga

berkenan dengan keluhan yang dirasakan oleh pasien sehubungan dengan

penyakit yang diderita pasien. Pada kasus sprained ankle, problematika fisioterapi

yang terjadi pada tingkat impairment meliputi:


a. Nyeri pada area cidera
Dimana keluhan ini sangat sering terjadi pada kasus sprained ankle. Nyeri

yang timbul pada kasus ini diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang

diakibatkan oleh sprain yang terjadi pada ligament area pergelangan kaki, dimana

nyeri akan semakin terasa apabila ada gerakan yang memaksa ligament yang

cidera semakin terulur..


b. Oedem atau bengkak
Oedem adalah salah satu tanda yang menyertai dari reaksi radang akibat

adanya kerusakan jaringan pada daerah ligament pada penderita sprained ankle.
c. Keterbatasan LGS
Pada umumnya dimana setiap ada problematika nyeri pada suatu sendi

makan akan ikut mempegaruhi LGS yang dimiliki oleh sendi itu sendiri.
d. Penurunan kekuatan otot
Adanya nyeri pada daerah ankle juga dapat berdampak pada kekutan otot

penggerak sendi ankle sendiri yang diakibatkan adanya beban psikologis

tambahan pada saat sendi digerakkan, dimana problematik kekutan otot itu sendiri

akan seiring berkurang ketika persepsi nyeri yang dirasakan oleh pasien

berkurang.
e. Instabilty sendi pergelangan kaki
dimana sendi pergelangan kaki yang telah mengalamai cedera berupa

Sprained ankle telah kehilangan stabilitasnya dikarenakan ligamen yang


21

seharusnya menjadi kunci penting dalam membentuk stabilitas sendi yang ada

telah mengalami cedera atau gangguan, sehingga ligamen tersebut tidak dapat

melaksanakan fungsinya sebagaimana mestinya selama masa penyembuhan.


2. Functional limitation
Functional limitation atau keterbatasan fungsi merupakan suatu

problematika yang berupa penurunan atau keterbatasan saat melakukan aktivitas-

aktivitas fungsional sebagai akibat adanya impairment yang ada. Pada kasus

sprained ankle, problematika yang terjadi pada tingkat functional limitation

berupa adanya gangguan saat berjalan, dimana berjalan memiliki peran penting

pada setiap individu untuk melakukan aktifitas kehidupan sehari-hari baik di

dalam maupun di luar rumah.


3. Participation restriction
Participation restriction merupakan suatu problem berupa

ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan

pekerjaanya semula dan aktivitas sosialisasi dengan masyarakat sekitar akibat

adanya impairment dan functional limitation.


Pada beberapa kasus sprained ankle yang pada umumnya terjadi pada

cedera olahraga banyak ditemukan participation restriction. Participation

resrtriction tersebut berupa ketidakmampuan pasien yang sebagian baser

penderitanya adalah olahragawan untuk kembali berolahraga baik secara

professional maupun tidak, sehingga menghambat pasien untuk kembali untuk

bekerja lagi. Pada hubungan sosial, penderita juga mengalami kesulitan untuk

saling berinteraksi kepada masyarakat sekitar untuk saling bergotong-royong di

lingkungannya karena pasien mengalami kesulitan untuk berjalan yang

merupakan faktor utama untuk berpindah tempat secara pribadi.

C. Teknologi Intervensi Fisioterapi


22

Modalitas fisioterapi yang digunakan pada kasus sprained ankle adalah

transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS), dan kinesio taping.


1. Transcutaneus electrical nerve stimulation (TENS)
a. Definisi
TENS merupakan suatu cara penggunaan energi listrik untuk merangsang

sistem saraf melalui permukaan kulit dalam hubungannya dengan modulasi nyeri

(Johnson, 2002, dikutip oleh Parjoto, 2006)


b. Mekanisme TENS
Mekanisme TENS dibagi menjadi 3, yaitu:
1) Mekanisme periferal
Stimulasi listrik yang diaplikasikan pada serabut saraf akan menghasilkan

impuls saraf yang berjalan dengan dua arah di sepanjang akson yang

bersangkutan, peristiwa ini dikenal sebagai aktivasi antidromik. Adanya impuls

antidromik mengakibatkan terllepasnya materi P dari neuron sensoris yang

berujung terjadinya vasodilatasi arteriole dan ini merupakan dasar bagi proses

triple responses. Adanya triple responses dan penekanan aktifasi simpatis akan

meningkatkan aliran darah sehingga pengangkutan materi yang berpengaruh

terhadap nyeri seperti bradikinin, histamin atau materi P juga akan meningkat

(Gersh RM, 1992, dikutip oleh Parjoto, 2006)


2) Mekanisme segmental
Adanya aktivasi serabut A-Beta yang selanjutnya akan menginhibisi

neuron nosiseptif di cornu dorsalis medula spinalis yang mengacu pada teori

gerbang kontrol (Gate Control Theory) yang dikemukakan oleh Melzack dan Wall

(1965) dikutip oleh Pardjoto (2006) yang menyatakan bahwa gerbang terdiri dari

sel internunsial yang bersifat inhibisi yang dikenal sebagai substansia gelatinosa

yang terletak di cornu posterior dan sel-T yang merelai informasi dari pusat yang

lebih tinggi. Tingkat aktivasi sel-T ditentukan oleh keseimbangan asupan dari

serabut berdiameter besar A-Beta dan A-Alfa serta serabut berdiameter kecil A-
23

Delta dan serabut C. Asupan dari saraf berdiameter kecil akan mengaktivasi sel-T

yang kemudian dirasakan akan keluhan nyeri.


Pada saat yang bersamaan impuls juga dapat memicu sel substansia

gelatinosa yang berdampak pada penurunan asupan terhadap sel-T, baik yang

berasal dari serabut berdiameter besar maupun berdiameter kecil dengan kata lain

asupan impuls dari serabut aferen berdiameter besar akan menutup gerbang dan

memblokir transmisi impuls dari serabut aferen nosiseptor sehingga nyeri

berkurang.

3) Mekanisme ekstrasegmental
TENS yang menginduksi aktivasi aferen yang berdiameter kecil juga

menghasilkan analgesia tingkat ekstrasegmental melalui aktivasi struktur yang

jalanan inhibisi desenderen seperti periaqueductal grey (PAG). Kontraksi otot

fasik yang dihasilkan oleh TENS akan membangkitkan aktivasi aferen motorik

kecil ergoreseptor yang berujung pada aktivasi jalannya inhibisi nyeri.


c. Spesifikasi TENS
1) TENS konvensional

Target arus adalah mengaktivasi saraf berdiameter besar, yaitu A-Beta dan

mekanoreseptor. Sensasi yang ditimbulkan dari arus ini berupa paraestesia yang

kuat dan disertai sedikit kontraksi. Karakteristik fisika dari arus ini adalah

frekuensi yang tinggi namun intensitas yang rendah dengan pola continue, dimana

durasi: 100-200 µs dan frekuensi: 10-200 pps. Posisi elektroda adalah pada titik

nyeri dermatom, sedangkan profil analgetiknya terasa < 30 menit setelah

dinyalakan dan menghilang < 30 menit setelah alat dipadamkan. Durasi terapi

yaitu secara terus menerus saat nyeri terjadi dimana mekanisme analgetik pada

tingkat segmental.
24

2) Acupunture like-TENS (Al-TENS)

Target arus adalah mengaktivasi motorik untuk menimbulkan kontraksi

otot-otot fasik yang berakhir pada aktivasi saraf berdiameter kecil non noxius.

Serabut saraf yang teraktivasi adalah G III dan A-delta ergoseptor. Sensasi yang

diinginkan dari arus ini adalah kontraksi otot fasik yang kuat tetapi nyaman

dengan karakteristik fisika yaitu frekuensi rendah dan intensitas tinggi, dimana

durasi: 100-200 µs dan frekuensi hingga 100 pps dengan pola burst. Penempatan

elektroda adalah pada motor point atau nyeri myotom. Profil analgetik dari arus

ini adalah terjadi > 30 menit setelah dinyalakan dan baru hilang > 1 jam setelah

mesin dimatikan. Durasi terapi 30 menit setiap kali terapi dimana mekanisme

analgetik adalah tingkat extrasegmental ataupun segmental.

3) Intens TENS
Target arus adalah mengaktivasi serabut saraf berdiameter kecil dimana

jaringan yang teraktivasi adalah nosiseptor. Sensasi yang diinginkan adalah

intensitas tertinggi yang masih tertolerir pasien dengan sedikit kontraksi otot.

Fisika dasar dari arus ini yaitu frekuensi hingga 200 pps, durasi > 1000 µs,

intensitas tertinggi yang masih bisa ditolerir pasien dengan pola continue.

Penempatan elektroda yaitu pada daerah nyeri atau di sebelah proximal titik nyeri

pada cabang utama saraf yang bersangkutan. Profil analgetik < 30 menit setelah

terapi dimulai, pengaruh analgetik bisa bertahan > 1 jam, bisa terjadi hipoestesia

(rasa berkurang). Durasi terapi berkisar 15 menit setiap terapi. Mekanisme

analgetik adalah tingkat peripheral, segmental, dan extrasegmental.


d. Prosedur penanganan
1) Intensitas
25

Intensitas berpengaruh dalam menentukan besarnya muatan listrik yang

berhubungan langsung dengan penetrasi dalam jaringan. Semakin tinggi puncak

arus listrik semakin dalam penetrasinya. Intensitas arus diatur sehingga pasien

merasakan arus masuk.

2) Frekuensi pulsa

Frekuensi pulsa merupakan kecepatan atau pulse rate yang terjadi pada

setiap second sepanjang arus listrik yang mengalir. Frekuensi pulsa dapat berkisar

1-200 pulsa/detik.

3) Pemasangan elektroda
Prosedur pemasangan elektroda meliputi: (1) Titik akupuntur, motor atau

trigger, dimana elektroda dipasang pada titik nyeri, (2) plexus: salah satu elektrode

diletakkan di plexus sedangkan elektrode lainnya di distal atau daerah perifer, (3)

segmental yaitu; satu elektrode dipasang pada level spinal sedangkan yang lainnya

diletakkan di area dermatom yang berhubungan trigger point, (4) dermatom; dasar

pemikiran metode ini adalah daerah kulit tertentu mempunyai persarafan yang

sama dengan struktur yang ada di bawahnya. Elektrode dipasang pada area

dermatom yang sama


e. Kontra indikasi
Kontra indikasi penggunaan TENS pada Sprained ankle meliputi;

(1) Penyakit vaskular (arteri maupun vena), (2) Adanya kecenderungan terjadinya

pendarahan, (3) Adanya proses keganasan, (4) Pasien dengan alat pacu jantung,

(5) Luka tebuka, (6) Kondisi infeksi, (7) Kondisi dermatologi, (8) Hilangnya

sensasi sentuk dan tusuk.


26

2. Kinesio Taping
a. Definisi Kinesio Taping
Kinesio Taping adalah modalitas perawatan berdasarkan proses

penyembuhan alami tubuh. Metode ini bekerja melalui aktivasi sistem sirkulasi

dan neurologi. Kata “Kinesio” digunakan karena metode ini dikembangkan

berdasakan metode Kinesiologi, yang mempelajari tentang pentingnya gerakan

tubuh dan otot dalam proses rahabilitasi dan kehidupan sehari-hari (Kaze, 2005)
b. Indikasi
Indikasi dalam penggunaan kinesio taping adalah yaitu; (1) Stimulasi dan inhibisi

otot hypotonus, (2) melindungi otot terhadap beban berlebih, (3) Melindungi

sendi, (4) Mengurangi nyeri, (5) Mengurangi peradangan, (6) mengurangi

bengkak, (7) Mengurangi pendarahan, (8) meningkatkan ROM,

(9) Meningkatakan propioseptif, (10) Koreksi postural.


c. Kontra indikasi kinesio taping
Kontra indikasi penggunaan taping pada kondisi Sprained ankle yaitu;

(1) Trauma akut tanpa diagnosis, (2) Demam, (3) Keluhan pola abnormal,

(4) Luka tebuka, (5) Reaksi alergi pada tape, (6) Thrombosis.
d. Karakteristik kinesio taping
Kinesio tape memiliki karakteristik tersendiri pada struktur pembentuknya,

yaitu: (1) Penguluran panjang mencapai 130% - 140%, (2) Dapat ditembus air dan

udara, (3) Tahan air, (4) Bebas Latex, (5) Aman untuk segala usia, (6) Lama

pemakaian 3-5 hari, (7) Toleransi baik, (8) Rehabilitatif.

e. Tipe Kinesio Taping.


Kinesio Taping dapat diaplikasikan pada pasien dengan model potongan

“I”, “X”, “Y”, atau “Kipas”


27

Gambar 2.4 teknik pemotongan kinesio tape (Kaze, 2005)


f. Teknik aplikasi Kinesio Taping
Pada aplikasi pemasangan taping memiliki tahapan-tahapan sebagai

beriuku; (1) Memastikan kulit dalam keadaan kering dan bersih (bebas minyak

dan lotion), (2) Menghilangkan rambut pada daerah yang akan diaplikasikan,

(3) Memperkirakan penguluran tape yang akan diaplikasikan untuk mendapatkan

panjang potongan tape yang tepat, (4) Memotong sekitar ujung tape untuk

mendapatkan perlekatan yang baik dan agar tidak mudah mengelupas,

(5) Menghindari menyentuh bagian perlekatan tape karena hanya bisa digunakan

sekali, (6) Bagian basis dan anchor tidak memerlukan tarikan atau penguluran,

(7) Menghindari kerutan pada tape dan permukaan kulit karena dapt menimbulkan

blister, (8) Memberikan gosokan pada tape yang telah terpasang, (9) Bila timbul

iritasi setelah setengah jam tape dapat dilepas.

g. Teknik penguluran dan metode kinesio taping


Dalam penggunaanya kinesio taping memiliki metode dalam penarikan atau

penguluran dan metode tape itu sendiri sesuai jaringan yang akan dituju dalam

penggunaanya yaitu;

Sasaran aplikasi Penguluran Keterangan

Lymph tape
0% - 5% Aplikasi dengan metode kipas
muscles
10% - 15% Aplikasi dari insersio ke origo
(inhibition)
Muscle
15% - 25 % Aplikasi dari orige ke insersio
(stimulation)
Ligament 75% - 100%
28

TABEL 2.1 teknik penguluran taping (kaze, 2005)

Anda mungkin juga menyukai