Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Rongga hidung kaya dengan pembuluh darah. Pada rongga bagian depan,
tepatnya pada sekat yang membagi rongga hidung kita menjadi dua, terdapat
anyaman pembuluh darah yang disebut pleksus Kiesselbach. Pada rongga bagian
belakang juga terdapat banyak cabang-cabang dari pembuluh darah yang cukup
besar antara lain dari arteri sphenopalatina.(1)
Hidung berdarah atau epistaksis (epistaxis) adalah satu keadaan
perdarahan yang keluar dari lubang hidung, rongga hidung dan nasofaring.
Penyakit ini disebabkan oleh kelainan lokal maupun sistemik dan sumber
perdarahan yang paling sering adalah dari pleksus Kiesselbach. Epistaksis bukan
suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu kelainan yang mana hampir 90 %
dapat berhenti sendiri. Epistaksis terbanyak dijumpai pada usia 2-10 tahun dan 50-
80 tahun, sering dijumpai pada musim dingin dan kering. (1,2) Perdarahan dari
hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan
dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk
mengobati epistaksis secara efektif (1)
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya,
kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh
Kelainan lokal misalnya trauma,kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah,
infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan dan Kelainan
sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik,
perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.(2)
Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan yaitu dari bagian anterior
berasal dari Pleksus Kiesselbach atau dari arteri ethmoidalis anterior. Sedangkan
epistakasis posterior dapat berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Kasus-kasus epistaksis kebanyakan terjadi pada daerah anterior septum
nasi, dan dapat diatasi dengan kauterisasi. Namun, epistaksis posterior lebih
memerlukan pendekatan yang lebih agresif termasuk metode posterior nasal
packing dan endoscopic cauterizatioN. (1,3)

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
A. Hidung Luar.
Hidung luar berbentuk piramid memiliki bagian dari atas ke bawah :
1. Pangkal hidung (bridge)
2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung ( apeks )
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung ( nares anterior )

Hidung luar dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh
kulit, jaringan ikat dan beberapa otot yang berfungsi untuk melebarkan
atau menyempitkan lubang hidung.
Kerangka tulang terdiri dari :
1. Sepasang os nasalis ( tulang hidung )
2. Prosesus frontalis os maksila
3. Prosesus nasalis os frontalis

2
Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yang terletak dibagian bawah hidung, yaitu :
1. Sepasang kartilago nasalis lateralis superior
2. Sepasang kartilago nasalis lateralis inferior ( kartilago alar mayor )
3. Beberapa pasang kartilago alar minor
4. Tepi anterior kartilago septum nasi

B. Hidung dalam
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan
ke belakang, dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya. Kavum nasi
bagian anterior disebut nares anterior dan bagian posterior disebut nares
posterior ( koana ) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring.

3
a. Vestibulum
Terletak tepat dibelakang nares anterior, dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang
disebut vibrisae.
b. Septum nasi
Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang terdiri dari :
 lamina perpendikularis os ethmoidal
 vomer

4
 krista nasalis os maksila
 krista nasalis os palatina
Bagian tulang rawan terdiri dari :
 kartilago septum ( lamina kuadrangularis )
 kolumela
c. Kavum nasi
 Dasar hidung
Dasar hidung dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus
horisontal os palatum.
 Atap hidung
Terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal, prosesus
frontalis os maksila, korpus os ethmoidal dan korpus os sfenoid.
Sebagian besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui
filamen-filamen N.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan
permukaan kranial konka superior.
 Dinding lateral
Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os
maksila, os lakrimalis, konka superior, konka media, konka inferior,
lamina perpendikularis os palatum dan lamina pterigoideus medial.
 Konka
Pada dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan
letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
ialah konka media dan konka superior, sedangkan yang terkecil disebut
konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter. Konka
inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan
labirin ethmoidal, sedangkan konka media, superior dan suprema
merupakan bagian dari labirin ethmoidal.
 Meatus nasi
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga
sempit yang disebut meatus. Meatus inferior terletak diantara konka
inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada

5
meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis. Meatus media
terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Disini
terdapat muara sinus maksila, sinus frontal dan sinus ethmoidal anterior.
Pada meatus superior yang merupakan ruang diantara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus ethmoidal posterior dan sinus
sphenoidal.
 Dinding medial
Dinding medial hidung adalah septum nasi.

 Perdarahan Hidung
Perdarahan untuk hidung bagian dalam berasal dari 3 sumber utama:
a. Ethmoidalalis anterior, yang mendarahi septum bagian superior anterior
dan dinding lateral hidung.
b. Ethmoidalalis posterior ( cabang dari A. oftalmika ), mendarahi septum
bagian superior posterior.
c. Sphenopalatina, terbagi menjadi A. nasales posterolateral yang menuju
ke dinding lateral hidung dan A. septi posterior yang menyebar pada
septum nasi.

2.2 Vaskularisasi Hidung


Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna
dan karotis interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak
pada cavum nasi melalui :
1. Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan
melalui foramen sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat
posterior dan dinding lateral hidung.
2. Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang
berjalan melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian
inferoanterior septum nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika
mempercabangkan arteri ethmoid anterior dan posterior yang mendarahi
septum dan dinding lateral superior. (4)

6
Vaskularisasi hidung(2)

Pleksus Kiesselbach(4)

2.3 Innervasi Hidung


Bagian depan dan atas ronga hidung mendapat persarafan sensoris dari
N. Ethmoidalalis anteior N. Nasosiliaris N. Oftalmikus(N.V1). Rongga
hidung lainnya, sebagian besarnya mendapat persarafan sensoris dari nervus
maksila melalui ganglion sphenopalatina.
Ganglion sphenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion
ini menerima serabut saraf sensoris dari nervus maksila (N. V 2), serabut
parasimpatis dari nervus petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis

7
dari nervus petrosus profundus. Ganglion sphenopalatina terletak di belakang
dan sedikit di atas ujung posterior konka media.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui
lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir
pada sel- sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas
hidung.

2.4 Fisiologi Hidung


A. Fungsi Respirasi
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu
udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Partikel debu, virus,
bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh
rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir dan partikel-partikel
yang besar akan dikeluarkan dengan reflex bersin.(4,5)

B. Fungsi Penghidu
Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pencecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas
septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut
lendir atau bila menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu
indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai
macam bahan.(5)

Regio mukosa(5)

8
C. Fungsi Fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang
sehingga terdengar suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu
rhinolalia aperta yang terjadi akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang
di hidung dan mulut. Yang paling sering terjadi karena stroke dan rhinolalia
oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika pilek) atau padat (polip,
tumor, benda asing) yang menyumbat.(5,6)

D. Refleks Nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor reflex yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
reflex bersin dan napas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan
sekresi kelenjar liur, lambung, dan pankreas.(6)

2.5 Epistaksis
2.5.1 Definisi
Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga
hidung atau nasofaring. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari
suatu kelainan yang hampir 90 % dapat berhenti sendiri(1,3). Perdarahan dari
hidung dapat merupakan gejala yang sangat mengganggu dan dapat mengancam
nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis
secara efektif(3).

2.5.2 Etiologi
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam
selaput mukosa hidung. 80% perdarahan berasal dari pembuluh darah Pleksus
Kiesselbach (area Little). Pleksus Kiesselbach terletak di septum nasi bagian
anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang

9
kaya anastomosis(4). Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab lokal dan
umum atau kelainan sistemik:(3,4,5,6).
2.5.2.1 Lokal
a. Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung,
benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai
akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu
lintas. Trauma karena sering mengorek hidung dapat menyebabkan ulserasi dan
perdarahan di mukosa bagian septum anterior. Selain itu epistaksis juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.(1,2)
Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam.
Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka
yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan. Bagian
anterior septum nasi, bila mengalami deviasi atau perforasi, akan terpapar aliran
udara pernafasan yang cenderung mengeringkan sekresi hidung. Pembentukan
krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan jari menimbulkan trauma
digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrana mukosa
septum dan kemudian perdarahan. (1,2,3)
b. Infeksi lokal
Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti
rhinitis atau sinusitis.(4) Infeksi akan menyebabkan inflamasi yang akan merusak
mukosa. Inflamasi akan menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah setempat sehingga memudahkan terjadinya perdarahan di hidung.(4,5)
c. Neoplasma
Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan
intermiten, kadang-kadang ditandai dengan mukus yang bernoda darah,
Hemangioma, angiofibroma dapat menyebabkan epistaksis berat. Karena pada
tumor terjadi pertumbuhan sel yang abnormal dan pembentukan pembuluh darah
yang baru (neovaskularisasi) yang bersifat rapuh sehingga memudahkan
terjadinya perdarahan.(5,6)
d. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telangiektasis heriditer (hereditary hemorrhagic telangiectasia/Osler's disease).
Juga sering terjadi pada Von Willendbrand disease. Telengiectasis hemorrhagic

10
hereditary adalah kelainan bentuk pembuluh darah dimana terjadi pelebaran
kapiler yang bersifat rapuh sehingga memudah kan terjadinya perdarahan.(6)
Jika pembuluh darah terluka, ada empat tahap untuk membentuk
bekuan darah yang normal.(7)

Gambar Pembekuan darah normal Gambar Pembekuan darah tidak normal

Tahap 1 Pembuluh darah terluka dan mulai mengalami perdarahaN.


Tahap 2 Pembuluh darah menyempit untuk memperlambat aliran darah ke daerah
yang lukA.
Tahap 3 Trombosit melekat dan menyebar pada dinding pembuluh darah yang
rusak. Ini disebut adesi trombosit. Trombosit yang menyebar
melepaskan zat yang mengaktifkan trombosit lain didekatnya sehingga
akan menggumpal membentuk sumbat trombosit pada tempat yang
terlukA. Ini disebut agregasi trombosit.
Tahap 4 Permukaan trombosit yang teraktivasi menjadi permukaan tempat
terjadinya bekuan darah. Protein pembekuan darah yang beredar dalam
darah diaktifkan pada permukaan trombosit membentuk jaringan bekuan
fibriN.

Protein ini (Faktor I, II, V, VII, VIII, IX, X, XI, XII dan XIII dan Faktor Von
Willebrand ) bekerja seperti kartu domino, dalam reaksi berantai. Ini disebut
cascade.

11
Gambar cascade koagulasi normal(7) Gambar cascade koagulasi hemophilia(7)

VWD dapat terjadi pada dua tahap terakhir pada proses pembekuan darah.(6,7)
1. Pada tahap ke 3, seseorang dapat berkemungkinan tidak memiliki cukup
Faktor Von Willebrand (VWF) di dalam darahnya atau faktor tersebut
tidak berfungsi secara normal. Akibatnya VWF tidak dapat bertindak
sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah pembuluh
darah yang mengalami kerusakan. Trombosit tidak dapat melapisi dinding
pembuluh darah.
2. Pada tahap ke 4, VWF membawa Faktor VIII. Faktor VIII adalah salah
satu protein yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan yang kuat. Tanpa
adanya faktor VIII dalam jumlah yang normal maka proses pembekuan
darah akan memakan waktu yang lebih lama. Akibatnya VWF tidak dapat
bertindak sebagai perekat untuk menyangga trombosit di sekitar daerah
pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
e. Pengaruh lingkungan
Kelembaban udara yang rendah dapat menyebabkan iritasi mukosa.
Epistaksis sering terjadi pada udara yang kering dan saat musim dingin yang
disebabkan oleh dehumidifikasi mukosa nasal selain itu bisa di sebabkan oleh
zat-zat kimia yang bersifat korosif yang dapat menyebabkan kekeringan mukosa
sehingga pembuluh darah gampang pecah.(4,5)
f. Deviasi septum
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi dari
septum nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. Selain itu dapat
menyebabkan turbulensi udara yang dapat menyebabkan terbentuknya krustA.
Pembuluh darah mengalami ruptur bahkan oleh trauma yang sangat ringan
seperti mengosok-gosok hidung.(2,3)
2.5.2.2 Sistemik
a) Kelainan darah

12
Beberapa kelainan darah yang dapat menyebabkan epistaksis adalah
trombositopenia, hemofilia dan leukemia. Trombosit adalah fragmen sitoplasma
megakariosit yang tidak berinti dan dibentuk di sumsum tulang. Trombosit
berfungsi untuk pembekuan darah bila terjadi trauma. Trombosit pada pembuluh
darah yang rusak akan melepaskan serotonin dan tromboksan A₂
(prostaglandin), hal ini menyebabkan otot polos dinding pembuluh darah
berkonstriksi. Pada awalnya akan mengurangi darah yang hilang. Kemudian
trombosit membengkak, menjadi lengket, dan menempel pada serabut kolagen
dinding pembuluh darah yang rusak dan membentuk plug trombosit. Trombosit
juga akan melepas ADP untuk mengaktivasi trombosit lain, sehingga
mengakibatkan agregasi trombosit untuk memperkuat plug. Trombositopenia
adalah keadaan dimana jumlah trombosit kurang dari 150.000/ µl.
Trombositopenia akan memperlama waktu koagulasi dan memperbesar resiko
terjadinya perdarahan dalam pembuluh darah kecil di seluruh tubuh sehingga
dapat terjadi epistaksis pada keadaan trombositopenia. (4,5)
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter yang diturunkan
secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme
hemostasis herediter, dimana terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan
VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B). Darah pada penderita hemofilia tidak
dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah
berjalan amat lambat. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya epistaksis(4,5,6)
Leukemia adalah jenis penyakit kanker yang menyerang sel-sel darah putih
yang diproduksi oleh .sumsum tulang (bone marrow). Sumsum tulang atau bone
marrow ini dalam tubuh manusia memproduksi tiga tipe sel darah diantaranya
sel darah putih (berfungsi sebagai daya tahan tubuh melawan infeksi), sel darah
merah (berfungsi membawa oksigen kedalam tubuh) dan trombosit (bagian kecil
sel darah yang membantu proses pembekuan darah). Pada Leukemia terjadi
peningkatan pembentukan sel leukosit sehingga menyebabkan penekanan atau
gangguan pembentukan sel-sel darah yang lain di sumsum tulang termasuk
trombosit. Sehingga terjadi keadaan trombositpenia yang menyebabkan
perdarahan mudah terjadi.(4,5,6)

13
Obat-obatan seperti terapi antikoagulan, aspirin dan fenilbutazon dapat pula
mempredisposisi epistaksis berulang. Aspirin mempunyai efek antiplatelet yaitu
dengan menginhibisi produksi tromboksan, yang pada keadaan normal akan
mengikat molekul-molekul trombosit untuk membuat suatu sumbatan pada
dinding pembuluh darah yang rusak. Aspirin dapat menyebabkan peoses
pembekuan darah menjadi lebih lama sehingga dapat terjadi perdarahan. Oleh
karena itu,aspirin dapat menyebabkan epistaksis.(3)
b) Penyakit kardiovaskuler
Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada aterosklerosis, sirosis
hepatis, diabetes melitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat
hipertensi biasanya hebat, sering kambuh dan prognosisnya tidak baik.(3,4,5)
1. Hipertensi
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140
mmHG dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmhg. Epistaksis sering
terjadi pada tekanan darah tinggi karena kerapuhan pembuluh darah yang di
sebabkan oleh penyakit hipertensi yang kronis terjadilah kontraksi
pembuluh darah terus menerus yang mengakibatkan mudah pecahnya
pembuluh darah yang tipis.(4,5)

2. Arteriosklerosis
Pada arteriosklerosis terjadi kekakuan pembuluh darah. Jika terjadi
keadaan tekanan darah meningkat, pembuluh darah tidak bisa
mengompensasi dengan vasodilatasi, menyebabkan rupture dari pembuluh
darah.(5)

3. Sirosis hepatis
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang
berkaitan dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen,
protrombin, faktor V, VII, IX, X dan vitamin K. Pada sirosis hepatis fungsi
sintesis protein-protein dan vitamin yang dibutuhkan untuk pembekuan
darah terganggu sehingga mudah terjadinya perdarahaN. Sehingga
epistaksis bisa terjadi pada penderita sirosis hepatis.(6)

4. Diabetes mellitus
Terjadi peningkatan gula darah yang meyebabkan kerusakan
mikroangiopati dan makroangiopati. Kadar gula darah yang tinggi dapat

14
menyebabkan sel endotelial pada pembuluh darah mengambil glukosa lebih
dari normal sehingga terbentuklah lebih banyak glikoprotein pada
permukaannya dan hal ini juga menyebabkan basal membran semakin
menebal dan lemah. Dinding pembuluh darah menjadi lebih tebal tapi lemah
sehingga mudah terjadi perdarahaN. Sehingga epistaksis dapat terjadi pada
pasien diabetes mellitus.(3,4)

c) Infeksi akut
1. Demam berdarah
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-
antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan
agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan
sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan
perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari
perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit
mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga
trombosit melekat satu sama iaiN. Hal ini akan menyebabkan trombosit
dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi
trombositopeniA. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran
platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID =
koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP
(fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor
pembekuaN. Oleh karena itu epistaksis sering terjadi pada kasus demam
berdarah.(3,4,5)

d) Gangguan hormonal
Pada saat hamil terjadi peningkatan estrogen dan progestron yang tinggi di
pembuluh darah yang menuju ke semua membran mukosa di tubuh
termasuk di hidung yang menyebabkan mukosa bengkak dan rapuh dan
akhirnya terjadinya epistaksis.(4)

e) Alkoholisme
Alkohol dapat menyebabkan sel darah merah menggumpal sehingga
menyebabkan terjadinya sumbatan pada pembuluh darah. Hal ini

15
menyebabkan terjadinya hipoksia dan kematian sel. Selain itu hal ini
menyebabkan peningkatan tekanan intravascular yang dapat mengakibatkan
pecahnya pembuluh darah sehingga dapat terjadi epistaksis.(5)

2.5.3 Patofisiologi
Menentukan sumber perdarahan amat penting, meskipun kadang-kadang
sukar ditanggulangi. Pada umumnya terdapat dua sumber perdarahan, yaitu dari
bagian anterior dan posterior.(6)
1) Epistaksis anterior dapat berasal dari Pleksus Kiesselbach, merupakan
sumber perdarahan paling sering dijumpai anak-anak. Dapat juga berasal
dari arteri ethmoid anterior. Perdarahan dapat berhenti sendiri (spontan) dan
dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana(3,5,6).

Gambar Epistaksis anterior(6)


2) Epistaksis posterior, berasal dari arteri sphenopalatina dan arteri ethmoid
posterior. Perdarahan cenderung lebih berat dan jarang berhenti sendiri,
sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular(3,5,6).

Gambar Epistaksis posterior(6)


2.5.4 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan

16
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan
belakang hidung. Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya
perdarahan atau pada bagian hidung yang terbanyak mengeluarkan darah(5).
Kebanyakan kasus epistaksis timbul sekunder trauma yang disebabkan
oleh mengorek hidung menahun atau mengorek krusta yang telah terbentuk
akibat pengeringan mukosa hidung berlebihan. Penting mendapatkan riwayat
trauma terperinci. Riwayat pengobatan atau penyalahgunaan alkohol terperinci
harus dicari. Banyak pasien minum aspirin secara teratur untuk banyak alasan.
Aspirin merupakan penghambat fungsi trombosit dan dapat menyebabkan
pemanjangan atau perdarahan. Penting mengenal bahwa efek ini berlangsung
beberapa waktu dan bahwa aspirin ditemukan sebagai komponen dalam sangat
banyak produk. Alkohol merupakan senyawa lain yang banyak digunakan, yang
mengubah fungsi pembekuan secara bermakna(6).
Alat-alat yang diperlukan untuk pemeriksaan adalah lampu kepala,
speculum hidung dan alat penghisap(bila ada) dan pinset bayonet, kapas, kain
kassa (6).
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi
dan ketinggian yang memudahkan pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk
mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.(6)
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan
semua kotoran dalam hidung baik cairan, sekret maupun darah yang sudah
membeku; sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung diobservasi untuk
mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung
dibersihkan, dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu
larutan pantokain 2% atau larutan lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin
1/1000 kedalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan membuat
vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk
sementara(3,5,7). Sesudah 10 sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan
dilakukan evaluasi(7).
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung
yang bersifat kronik memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien
dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas utamanya adalah menghentikan
perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa(5,6):

17
a) Rinoskopi anterior : Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari
anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa hidung dan septum nasi, dinding
lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat.

Gambar Rhinoskopi Anterior(7)

b) Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien
dengan epistaksis berulang dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan
neoplasma (7)
c) Pengukuran tekanan darah
Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi,
karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering
berulang.(7)
d) Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI
Rontgen sinus dan CT-Scan atau MRI penting mengenali neoplasma atau
infeksi.(4,5)
e) Endoskopi hidung untuk melihat atau menyingkirkan kemungkinan
penyakit lainnya.(5

18
Gambar Tampilan endoskopi epistaksis posterior(5)
f) Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin
parsial, jumlah platelet dan waktu perdarahan. (6)
g) Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah
kesehatan yang mendasari epistaksis.(6)

2.5.5 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan epistaksis adalah untuk menghentikan perdarahan. Hal-
hal yang penting dicari tahu adalah(1,5,6):
1. Riwayat perdarahan sebelumnya.
2. Lokasi perdarahan.
3. Apakah darah terutama mengalir ke tenggorokan (ke posterior) atau keluar
dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak.
4. Lamanya perdarahan dan frekuensinya
5. Riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. Penyakit hati
9. Gangguan koagulasi
10. Trauma hidung yang belum lama
11. Obat-obatan, misalnya aspirin, fenil butazon
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu : menghentikan
perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau
ada syok, perbaiki dulu kedaan umum pasien(6). Tindakan yang dapat dilakukan
antara lain:(3,6,7)
a. Perbaiki keadaan umum penderita, penderita diperiksa dalam posisi duduk
kecuali bila penderita sangat lemah atau keadaaan syok.
b. Pada anak yang sering mengalami epistaksis ringan, perdarahan dapat
dihentikan dengan cara duduk dengan kepala ditegakkan, kemudian cuping
hidung ditekan ke arah septum selama beberapa menit (metode Trotter).(7)

‘;

19
Gambar Metode Trotter(7)

c. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang


telah dibasahi dengan adrenalin dan pantokain/ lidokain, serta bantuan alat
penghisap untuk membersihkan bekuan darah. (3,4,5)
d. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas,
dilakukan kaustik dengan larutan nitras argenti 20%-30%, asam
trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik diberikan
analgesia topikal terlebih dahulu.(4)
e. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus berlangsung,
diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang
diberi vaselin yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga
dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa sehingga menyerupai pita dengan
lebar kurang ½ cm, diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke
puncak rongga hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal
perdarahan dan dapat dipertahankan selama 1-2 hari. (5,6)

Gambar Tampon anterior(6)

f. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau


tampon Bellocq, dibuat dari kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm
dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan sebuah lagi pada
sisi yang lainnyA. Tampon harus menutup koana (nares posterior). Setiap
pasien dengan tampon Bellocque harus dirawat.(6,7)

20
Gambar Tampon Bellocque(7)

g. Sebagai pengganti tampon Bellocq dapat dipakai kateter Foley dengan


baloN. Balon diletakkan di nasofaring dan dikembangkan dengan air. (7)

Gambar Tampon posterior dengan Kateter Foley(7)


h. Di samping pemasangan tampon, dapat juga diberi obat-obat hemostatik.
Akan tetapi ada yang berpendapat obat-obat ini sedikit sekali manfaatnya.
(7)

i. Ligasi arteri dilakukan pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat
diatasi dengan pemasangan tampon posterior. Untuk itu pasien harus
dirujuk ke rumah sakit.(7)

2.5.6 Komplikasi
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha
penanggulangannya. Akibat pemasangan tampon anterior dapat timbul sinusitis
(karena ostium sinus tersumbat), air mata yang berdarah (bloody tears) karena
darah mengalir secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis dan septikemia.
Akibat pemasangan tampon posterior dapat timbul otitis media,
haemotympanum, serta laserasi palatum mole dan sudut bibit bila benang yang
dikeluarkan melalui mulut terlalu kencang ditarik.(1,2,3)
Sebagai akibat perdarahan hebat dapat terjadi syok dan anemia. Tekanan
darah yang turun mendadak dapat menimbulkan iskemia otak, insufisiensi
koroner dan infark miokard dan akhirnya kematian. Harus segera dilakukan
pemberian infus atau transfusi darah(6).

2.5.7 Diagnosis Banding

21
Termasuk perdarahan yang bukan berasal dari hidung tetapi darah
mengalir keluar dari hidung seperti hemoptisis, varises oesofagus yang berdarah,
perdarahan di basis cranii yang kemudian darah mengalir melalui sinus sphenoid
ataupun tuba eustachius.(2,3)

2.5.8 Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya
epistaksis antara lain :(3)
a. Gunakan semprotan hidung atau tetes larutan garam, yang keduanya dapat
dibeli, pada kedua lubang hidung dua sampai tiga kali sehari. Untuk
membuat tetes larutan ini dapat mencampur 1 sendok the garam ke dalam
secangkir gelas, didihkan selama 20 menit lalu biarkan sampai hangat
kuku.
b. Gunakan alat untuk melembabkan udara di rumah.
c. Gunakan gel hidung larut air di hidung, oleskan dengan cotton bud. Jangan
masukkan cotton bud melebihi 0,5 – 0,6cm ke dalam hidung.
d. Hindari meniup melalui hidung terlalu keras.
e. Bersin melalui mulut.
f. Hindari memasukkan benda keras ke dalam hidung, termasuk jari.
g. Batasi penggunaan obat – obatan yang dapat meningkatkan perdarahan
seperti aspirin atau ibuprofen.
h. Konsultasi ke dokter bila alergi tidak lagi bisa ditangani dengan obat alergi
biasa
i. Berhentilah merokok. Merokok menyebabkan hidung menjadi kering dan
menyebabkan iritasi. Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak
dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis
berulang dalam beberapa minggu terakhir.
j. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa
kali.Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya
pembuluh-pembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan
sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia
atau listrik.

22
k. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan
kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan
kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada
pembuluh tersebut.
l. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi
dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan
jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas
septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan
lokasi tegangan mukosa.
m. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak
diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus
paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan
penyebab lain yang mungkiN. Akhirnya pemeriksa harus mencari
gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia,
atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak
berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

2.5.9 Prognosis
Sembilan puluh persen kasus epistaksis anterior dapat berhenti sendiri.
Pada pasien hipertensi dengan atau tanpa arteriosklerosis, biasanya perdarahan
hebat, sering kambuh dan prognosisnya buruk(6)

BAB 3
KESIMPULAN

Epistaksis (perdarahan dari hidung) adalah suatu gejala dan bukan suatu
penyakit, yang disebabkan oleh adanya suatu kondisi kelainan atau keadaan
tertentu. Epistaksis bisa bersifat ringan sampai berat yang dapat berakibat fatal.
Epistaksis disebabkan oleh banyak hal, namun dibagi dalam dua kelompok besar
yaitu sebab lokal dan sebab sistemik. Epistaksis dibedakan menjadi dua

23
berdasarkan lokasinya yaitu epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Dalam
memeriksa pasien dengan epistaksis harus dengan alat yang tepat dan dalam posisi
yang memungkinkan pasien untuk tidak menelan darahnya sendiri.(1,2,3,4)
Prinsip penanganan epistaksis adalah menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Pemeriksaan yang dapat
dilakukan untuk memeriksa pasien dengan epistaksis antara lain dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan tekanan darah, foto rontgen sinus atau dengan
CT-Scan atau MRI, endoskopi, skrining koagulopati dan mencari tahu riwayat
penyakit pasien. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada epistaksis adalah: (5,6,7)
a. Memencet hidung
b. Pemasangan tampon anterior dan posterior
c. Kauterisasi
d. Ligasi (pengikatan pembuluh darah)
Epsitaksis dapat dicegah dengan antara lain tidak memasukkan benda
keras ke dalam hidung seperti jari, tidak meniup melalui hidung dengan keras,
bersin melalui mulut, menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan
perdarahan, dan terutam berhenti merokok.

DAFTAR PUSTAKA

1. Adam GL, Boies LR, Higler PA. (eds) Buku Ajar Penyakit THT, Edisi
Keenam, Philadelphia : WB Saunders, 1989. Editor Effendi H. Cetakan III.
Jakarta, Penerbit EGC, 1997.
2. Iskandar N, Supardi EA. (eds) Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung
TenggorokaN. Edisi Keempat, Jakarta FKUI, 2000; 91, 127-31.

24
3. Schlosser RJ. Epistaxis. New England Journal Of Medicine [serial online]
2009 feb 19 [cited 2012 Dec 7] Available from:
http://content.nejm.org/cgi/content/full/360/8/784
4. Suryowati E. Epistaksis. Medical Study Club FKUII [cited 2012 Dec 8]
Available from: http://fkuii.org/tiki-download_wiki_attachment.php?
attId=2175&page=LEM%20FK%20UII
5. Evans JA. Epistaxis: Treatment & MedicatioN. eMedicines Specialities 2007
Nov 28 [cited 2012 Dec 8] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/764719-treatment
6. Anias CR. Epistaxis. Otorrhinolaryngology [serial online] cited 2012 Dec 8
Available from :http://www.medstudents.com.br/otor/otor3.htm
7. Freeman R. Nosebleed. Health Information Home [serial online] 2007 Feb 2
[cited 2012 Dec 8] Available from :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/Nosebleed/hic_Nosebleed_Epistaxis.as
px

25

Anda mungkin juga menyukai