Kepala Sekolah
1. Kompetensi Supervisi
Sekolah melaksanakan tanggung jawab paling produktif jika terdapat konsensus tentang
tujuan sekolah dan semua pihak bersama-sama berusaha mencapainya. Posisi kepala
sekolah dalam hal ini adalah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan sekolah secara
produktif. Persoalannya adalah bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut kepala
sekolah tidak mungkin melaksanakan seluruh kegiatan sendiri, oleh karena itu ada
pendelegasian kepada guru maupun staff, untuk memastikan bahwa pendelegasian tugas
itu dilaksanakan secara tepat waktu dengan cara yang tepat atau tidak maka diperlukanlah
supervisi yaitu menyelia pekerjaan orang lain (Depdikbud, 2007:227).
Bentuk supervisi yang paling efektif terjadi jika staff, peserta didik, dan orang tua
memandang kepala sekolah sebagai orang yang tahu persis tentang hal-hal yang terjadi
disekolahnya. Dalam kontek ini, dengan melakukan supervisi maka akan dilakukan
tindakan kunjungan kelas, berbicara dngan guru, peserta didik, dan orang tua,
mengikuti perkembangan masyarakat sekolah, orang-orang dan peristiwa yang terjadi
dalam rangka memenuhi tanggungjawab ini (Peter F.Olivia,1992).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka dalam penelitian ini yang dimaksud
dengan kompetensi supervisi adalah pengetahuan dan kemampuan kepala sekolah
dalam merencanakan, melaksanakan dan menindaklanjuti supervisi dalam upaya
meningkatkan kualitas sekolah
Di tingkat persekolahan, peran strategis guru dan staff dalam meningkatkan kualitas
layanan hanya mungkin dapat dikembangkan dengan pembinaan dan pengembangan.
Salah satu bentuk supervisi adalah supervisi pengajaran, yang perlu diarahkan pada
upaya-upaya yang sifatnya memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk dapat
berkembang secara profesional (Djaman Satori, 1989). Beberapa alasan yang mendasari
pentingnya supervisi pengajaran adalah : (1) bertujuan meningkatkan kualitas
pembelajaran di kelas, (2) memadukan perbaikan pengajaran secara relatif menjadi lebih
sempurna dan mantap yang berarti memberi dukungan langsung kepada guru dalam
rangka mencapai tingkat kompetensi yang disyaratkan, (3) upaya untuk meningkatkan
kualitas dan kemampuan guru.
Situasi dalam suatu instansi selalu berubah, tuntutan institusi semakin lama semakin
meningkat sejajar dengan perkembangan iilmu pengetahuan dan tehnologi dan tantangan
global. Oleh karena itu suatu institusi akan selalu berupaya memiliki sumber daya manusia
yang lebih berkualitas, termasuk dalam hal ini institusi sekolah.
Institusi pendidikan salah satunya adalah sekolah perlu memiliki guru yang berkualitas,
yaitu guru yang profesional, guru yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan
ilmu pengetahuan dan tehnologi , demikian dituntut kreatifitas dan inovasi. Dalam
kenyataan di sekolah guru ternyata sangat bervariatif, antara lain : (1) ada guru yang
memiliki abstraksi tinggi dan komitmen tinggi, (2) ada guru yang memiliki komitmen tinggi
dan abstraksi rendah, (3) ada guru yang memiliki komitmen rendah tetapi abstraksi tinggi,
dan (4) guru yang memiliki abstraksi rendah dan komitmen rendah (Glikman, 1981:48).
Oleh karena terdapat perbedaan yang demikian maka diperlukan pendekatan supervisi
yaang berbeda-beda. Pendekatan supervisi berturut-turut adalah pertama, pendekatan
non-direktif, kedua, pendekatan direktif, pendekatan kolaboratif.
Dalam konsep supervisi pengajaran tercakup dua konsep yang berbeda, walaupun pada
pelaksanaannya saling terkait, yaitu supervisi kelas dan supervisi klinis. Supervisi kelas
dimaksudkan sebagai upaya untuk mengidentifikasi permasalahan pembelajaran yang
terjadi dalam kelas dan menyusun alternatif pemecahannya. Supervisi klinis merupakan
layanan profesional dari kepala sekolah dan pengawas karena adanya masalah yang
belum terselesaikan dalam pelaksanaan supervisi kelas. Sergiovanni dan Starrat (1983)
menyebutkan bahwa supervisi kelas bersifat top-down, artinya perbaikan pengajaran
ditentukan oleh supervisor, sedangkan supervisi klinis bersifat bottom-up, yaitu
kebutuhan program ditentukan oleh persoalan-persoalan otentik yang dialami guru.
Dalam praktik pengawasan di lingkungan sistem persekolahan selama ini, masih sering
terdapat kekeliruan yaitu : (1) pengawasan persekolahan masih mengutamakan aspek
teknis administratif daripada aspek akademis dan pembelajaran ; (2) pengawasan lebih
ke segi fisik pendukung pembelajaran, seperti pengelolaan dana, pegawai, bangunan, alat
dan fasilitas lainnya. Padahal aspek yang harus mendapat perhatian adalah berkaitan
dengan penyelenggaraan proses pembelajaran di sekolah atau di sekolahan. Penampilan
fisik sekolah dan bukti fisik kegiatan guru (berupa catatan dan laporan tertulis) adalah
penting, akan tetapi yang lebih penting adalah kualitas proses pembelajaran yang dialami
para peserta didik. Dokumen, catatan, dan laporan administrasi guru dapat digunakan
untuk memperoleh gambaran tentang kualitas proses dan hasil pembelajaran peserta
didik.
Hubungan antara Perilaku Supervisi, Perilaku Mengajar, Perilaku Belajar, dan Hasil
Belajar
Perilaku supervisi diarahkan pada perbaikan perilaku mengajar guru yang berdampak
terhadap perilaku belajar siswa dapat digunakan sebagai umpan balik bagi perbaikan
perilaku mengajar dan perilaku supervisi.
Sasaran supervisi kelas adalah proses pembelajaran peserta didik dengan tujuan
meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran. Proses pembelajaran dipengaruhi oleh
banyak faktor, seperti guru, peserta didik, kurikulum, alat dan buku-buku pelajaran, serta
kondisi lingkungan sosial dan fisik sekolah. Dalam konteks ini, guru merupakan faktor
yang paling dominan. Karena itu, supervisi kelas menaruh perhatian utama pada upaya-
upaya yang bersifat memberikan kesempatan kepada guru-guru untuk berkembang
secara profesional, sehingga mereka lebih mampu dalam melaksankan tugas pokoknya
yaitu melaksanakan dan meningkatkan proses dan hasil pembelajaran yang direfleksikan
dalam kemampuan-kemampuan : (1) merencanakan kegiatan pembelajaran; (2)
melaksanakan kegiatan pembelajaran; (3) menilai proses dan hasil pembelajaran; (4)
memanfaatkan hasil penilaian bagi peningkatan layanan pembelajaran; (5) memberikan
umpan balik secara tepat, teratur, dan terus menerus kepada peserta didik; (6) melayani
peserta didik yang mengalami kesulitan belajar; (7) menciptakan lingkungan belajar yang
menyenangkan; (8) mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media
pembelajaran; (9) memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia; (10)
mengembangkan interaksi pembelajaran (strategi, metode, dan teknik) yang tepat; (11)
melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran.
Supervisi kelas dilaksanakan atas dasar keyakinan sebagai berikut : (1) pengawasan
terhadap penyelenggaraan proses pembelajaran (PBM) hendaknya menaruh perhatian
yang utama pada peningkatan kemampuan profesional gurunya, yang pada gilirannya
akan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran; (2) pembinaan yang tepat dan
terus menerus yang diberikan kepada guru-guru berkontribusi terhadap peningkatan mutu
pembelajaran; (3) peningkatan mutu pendidikan melalui pembinaan profesional guru
didasarkan atas keyakinan bahwa mutu pembelajaran dapat diperbaiki dengan cara paling
baik di tingkat sekolah/kelas melalui pembinaan langsung dari orang-orang yang
bekerjasama dengan guru-guru untuk memperbaiki mutu pembelajaran; (4) supervisi
yang efektif dapat menciptakan kondisi yang layak bagi pertumbuhan profesional guru-
guru. Kondisi ini ditumbuhkan melalui kepemimpinan partisipatif, di mana guru-guru
merasa dihargai dan diperlukan. Dalam situasi seperti ini akan lahir saling kepercayaan
antara para pembina (pengawas, kepala sekolah) dengan guru-guru, antara guru dengan
guru, dan di antara pembina sendiri. Guru-guru akan merasa bebas membicarakan
pekerjaannya dengan pembina jika ada keyakinan bahwa pembina akan menghargai
pikiran dan pendapatnya; (5) supervisi yang efektif dapat melahirkan wadah kerjasama
yang dapat mempertemukan kebutuhan profesional guru-guru. Melalui wadah ini, guru-
guru memiliki kesempatan untuk berpikir dan bekerja sebagai suatu kelompok dalam
mengidentifikasi dan memecahkan masalah (Hamid Muhamad :2002).
KOMPETENSI MANAJERIAL
KEPALA SEKOLAH
Bangkit Riyowanto
1.Kompetensi Manajerial
Manajemen atau pengelolaan dapat berarti macam-macam tergantung kepada siapa yang
membicarakannya. Istilah manajemen sendiri berasal dari “manage” yang padanan dalam
bahasa Indoensia adalah kelola. Pengertian umum dari manajemen adalah proses
mencapai hasil dengan mendayagunakan sumber daya yang tersedia secara produktif
(Depdiknas,2007:126).
Dalam kontek manajerial sekolah maka seorang kepala sekolah dituntut untuk dapat
menjalankan kompetensi sebagai berikut : (1) menyusun perencanaan sekolah/madrasah
untuk berbagai tingkatan. perencanaan (2) mengembangkan organisasi
sekolah/madrasah sesuai kebutuhan (3) memimpin sekolah/madrasah dalam rangka
pendayaagunaan sumber daya sekolah/ madrasah secara optimal, (4) mengelola
perubahan dan pengembangan sekolah/madrasah menuju organisasi pembelajaran yang
efektif (5) menciptakan budaya dan iklim sekolah/madrasah yang kondusif dan inovatif
bagi pembelajaran anak didik (6) mengelola guru dan staff dalam rangka pendayagunaan
sumberdaya manusia secara optimal (7) mengelola sarana dan prasarana
sekolah/madrasah dalam rangka pendayagunaan secara optima (8) mengelola hubungan
sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka pencarian dukungan, ide, sumber
belajar, dan pembiayaan sekolah (9) mengelola peserta didik dalam rangka penerimaan
peserta didik barn dan penempatan dan pengembangan kapasitas peserta didik. (10)
mengelola pengembangan kurikulum dan kegiatan pembelajaran sesuai arah dan tujuan
pendidikan nasional (11) mengelola keuangan sekolah/madrasah sesuai dengan prinsip
pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan efisien (12) mengelola ketatausahaan
sekolah/madrasah dalam mendukung pencapaian tujuan sekolah/madrasah (13)
mengelola unit layanan khusus sekolah/madrasah dalam mendukung kegiatan
pembelajaran dan kegiatan peserta didik di sekolah/madrasah (14) mengelola sistem
informasi sekolah/madrasah dalam mendukung penyusunan program dan pengambilan
keputusan (15) memanfaatkan kemajuan teknologi informasi bagi peningkatan
pembelajaran dan manajemen sekolah/madrasah (16) melakukan monitoring, evaluasi,
dan pelaporan pelaksanaan program kegiatan sekolah/madrasah dengan prosedur yang
tepat, serta merencanakan tindak lanjutnya.
Manajer adalah seorang yang berusaha untuk mencapai maksud-maksud yang dapat
dihitung, dan administrator sebagai orang yang berikhtiar untuk maksud-maksud yang
tidak dapat dihitung tanpa mengindahkan akibat akibat akhir dari pencapaiannya (Oteng
Sutrisno, 1985:15).
Tendik Org. (2008) kompetensi manajerial ini harus dipahami secara lebih luas, misalnya
dalam perencanaan seorang kepala sekolah harus menguasai teori perencanaan dan
seluruh kebijakan pendidikan nasional sebagai landasan dalam perencanaan sekolah, baik
perencanaan yang strategis, perencanaan yang operasional, perencanaan tahunan,
perencanaan kebutuhan dan anggaran sekolah. Penyusunan perencanaan ini juga meliputi
perencanaan operasional, perencanaan strategis dengan memegang teguh prinsip
perencanaan yang baik.
Dalam hal pengembangan organisasi juga dikatakan bahwa kepala sekolah harus
menguasai teori dan seluruh kebijakan pendidikan nasional dalam mengembangkan
organisasi sekolah, prinsip efisiensi dan efektifitas pengembangan harus diutamakan.
Berdasar uraian diatas maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kompetensi
manajerial adalah kemampuan kepala sekolah dalam mengorganisasi dan
mengembangkan sumber saya sekolah untuk menciptakan lingkungan belajar yang
efektif, efisien.
Merujuk pada pemikiran Rich (1981) ada lima ranah pengetahuan yang harus dimiliki
kepala sekolah yaitu pengetahuan praktis, intelektual, smaal talk, pengetahuan spiritual
dan pengetahuan yang tidak diketahui. Penguasaan pengetahuan ini sangat esensial
dalam implementasi manajemen di sekolah. Penelitian Hunter menyimpulkan bahwa
pengetahuan akan pekerjaan mempunyai korelasi yang tinggi terhadap prestasi kerja dan
kemampuan kerja memiliki korelasi yang tinggi terhadap prestasi kerja.
KOMPETENSI
KEWIRAUSAHAAN
23 MingguOKT 2011
Sikap entrepenur ini sangat penting, menurut Charly Bhukori ( 2006) suatu kesuksesan
memiliki banyak dimensi dan variasi tolok ukur. Beberapa dari kita meyakini bahwa
entrepenur yang sukses berdimensi luas, ada yang mengaitkan dengan finansial,
jabatan, predikat dari kolega dan khalayak atas prestasinya, namun dari berbagai
definisi tolok ukur satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa kesuksesan
merupakan pencapaian impian melalui sebuah proses terstruktur dan terencana.
Salah satu aplikasi manajemen pendidikan, teriutama manajemen berbasis sekolah dan
dikaitkan dengan kewirausahaan ini adalah secara ekonomi mampu mendorong
masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi fondasi utama operasi sekolah,
mengingat pendidikan persekolahan itu tidak gratis ( education is not free ). Persoalan
pembiayaan pendidikan ( Sudarwan Danim dan Suparno, 2009 :141) bukan terletak
pada gratis atau tidak, melainkan siapa yang membayar ? secara akademik ,
masyarakat akan melakukan fungsi kontrol sekaligus pengguna lulusan. Disinilah
akuntabilitas sekolah teruji. Secara proses, masyarakat berhak mengkritisi kinerja
sekolah dan kepala sekolah agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok
dan fungsi utamanya. Artinya, dengan MBS adalah keniscayaan bagi masyarakat untuk
menjadi fondasi sekaligius tiang penyangga utama pendidikan persekolahan yang berada
pada radius tertentu dimana msyarakat itu bermukim.
Berbicara wirausaha menurut Hisrich dan Peters (1992) adalah berbicara mengenai
perilaku, yang mencakup pengambilan inisiatif, mengorganisasi dan mereorganisasi
mekanisme sosial dan ekonomi terhadap sumber dan situasi ke dalam praktek, dan
penerimaan resiko kegagalan. Para ahli ekonomi mengemukakan bahwa wirausaha
adalah orang yang dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumber tenaga kerja,
alat, bahan dan aset lain serta orang yang memperkenalkan perubahan, inovasi dan
cara-cara baru ( Mulyasa,2007:179).
Berwirausaha disekolah berarti memadukan kepribadian, peluang, keuangan, dan
sumber daya yang ada di lingkungan sekolahan guna mengambil keuntungan.
Kepribadian ini mencakup pengetahuan, ketrampilan, sikap, dan perilaku (Steinhoff
(1993). Dalam kontek realitas di sekolahan maka kepala sekolah harus mampu
menafsirkan berbagai kebijakan dari pemerintah sebagai kebijakan umum, sedangkan
operasionalisasi kebijakan tersebut untuk mencapai hasil yang maksimal perlu ditunjang
oleh kiat-kiat kewirausahaan. Misalnya jika dana bantuan dari pemerintah terbatas
sedangkan suatu kegiatan harus tetap dilaksanakan atau diadakan maka kepala sekolah
harus mampu menggali potensi sumber dari masyarakat dan orang tua siswa.
Mulyasa (2007:180) menggarisbawahi bahwa dalam kontek MBS sekolah akan menjadi
unit layanan masyarakat yang sangat diperlukan, oleh karena itu, kepala sekolah harus
mampu meningkatkan kualitas sekolah. Jika kualitas sekolah baik, masyarakat,
terutama orang tua akan bersedia berperan aktif di sekolah, karena yakin anaknya akan
mndapat pendidikan yang baik. Di sanalah pentingnya pribadi wirausaha kepala sekolah,
untuk mencari jalan meningkatkan kualitas sekolah agar masyarakat dan orang tua
percaya terhadap produktifitas sekolah dan mau berpartisipasi dalam berbagai program
sekolah.
Dari beberapa definisi diatas maka kompetensi kewirausahaan dalam penelitian ini
adalah kemampuan kepala sekolah dalam mewujudkan aspirasi kehidupan mandiri yang
dicirikan dengan kepribadian kuat, bermental wirausaha. Sedangkan jika ingin sukses
dalam mengembangkan program kewirausahaan di sekolah, maka kepala sekolah,
tenaga kependidikan baik guru maupun non guru dan peserta didik harus bisa secara
bersama memahami dan mengembangkan sikap kewirausahaan sesuai dengan tugas
masing-masing.
Kompetensi Kewirausahaan
Istilah kewirausahaan atau sering disebut wiraswasta, merupakan terjemahan dari istilah
entrepreneurship. Istilah tersebut pertama kali dikemukakan oleh Ricard Cantillon, orang
Irlandia yang berdiam di Perancis, dalam bukunya yang berjudul Essai Bar la Nature du
Commercen,tahun 1755 (Depdiknas 2004). Dilihat dari segi etimologis, wiraswasta,
merupakan suatu istilah yang berasal dari kata-kata “wira” dan “swasta”. Wira berarti
berani, utama, atau perkasa. Swasta merupakan paduan dari kata “swa” dan “sta”. Swa
artinya sendiri, sedangkan sta berarti berdiri. Dengan demikian maknanya menjadi
berdiri menurut kekuatan sendiri. Jadi yang dimaksud dengan wiraswasta adalah
mewujudkan aspirasi kehidupan mandiri dengan landasan keyakinan dan watak yang
luhur.
Kewirausahaan dicirikan dengan :
– Mempunyai kepribadian yang kuat, tanda manusia yang berkepribadian kuat
adalah memiliki moral yang tinggi. Manusia yang bermoral tinggi bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Sikap entrepenur ini sangat penting, menurut Charly Bhukori ( 2006) suatu kesuksesan
memiliki banyak dimensi dan variasi tolok ukur. Beberapa dari kita meyakini bahwa
entrepenur yang sukses berdimensi luas, ada yang mengaitkan dengan finansial,
jabatan, predikat dari kolega dan khalayak atas prestasinya, namun dari berbagai
definisi tolok ukur satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa kesuksesan
merupakan pencapaian impian melalui sebuah proses terstruktur dan terencana.
Salah satu aplikasi manajemen pendidikan, teriutama manajemen berbasis sekolah dan
dikaitkan dengan kewirausahaan ini adalah secara ekonomi mampu mendorong
masyarakat, khususnya orang tua siswa, untuk menjadi fondasi utama operasi sekolah,
mengingat pendidikan persekolahan itu tidak gratis ( education is not free ). Persoalan
pembiayaan pendidikan ( Sudarwan Danim dan Suparno, 2009 :141) bukan terletak
pada gratis atau tidak, melainkan siapa yang membayar ? secara akademik ,
masyarakat akan melakukan fungsi kontrol sekaligus pengguna lulusan. Disinilah
akuntabilitas sekolah teruji. Secara proses, masyarakat berhak mengkritisi kinerja
sekolah dan kepala sekolah agar lembaga milik publik ini tidak keluar dari tugas pokok
dan fungsi utamanya. Artinya, dengan MBS adalah keniscayaan bagi masyarakat untuk
menjadi fondasi sekaligius tiang penyangga utama pendidikan persekolahan yang berada
pada radius tertentu dimana msyarakat itu bermukim.
Berbicara wirausaha menurut Hisrich dan Peters (1992) adalah berbicara mengenai
perilaku, yang mencakup pengambilan inisiatif, mengorganisasi dan mereorganisasi
mekanisme sosial dan ekonomi terhadap sumber dan situasi ke dalam praktek, dan
penerimaan resiko kegagalan. Para ahli ekonomi mengemukakan bahwa wirausaha
adalah orang yang dapat meningkatkan nilai tambah terhadap sumber tenaga kerja,
alat, bahan dan aset lain serta orang yang memperkenalkan perubahan, inovasi dan
cara-cara baru ( Mulyasa,2007:179).
Mulyasa (2007:180) menggarisbawahi bahwa dalam kontek MBS sekolah akan menjadi
unit layanan masyarakat yang sangat diperlukan, oleh karena itu, kepala sekolah harus
mampu meningkatkan kualitas sekolah. Jika kualitas sekolah baik, masyarakat,
terutama orang tua akan bersedia berperan aktif di sekolah, karena yakin anaknya akan
mndapat pendidikan yang baik. Di sanalah pentingnya pribadi wirausaha kepala sekolah,
untuk mencari jalan meningkatkan kualitas sekolah agar masyarakat dan orang tua
percaya terhadap produktifitas sekolah dan mau berpartisipasi dalam berbagai program
sekolah.
Dari beberapa definisi diatas maka kompetensi kewirausahaan dalam penelitian ini
adalah kemampuan kepala sekolah dalam mewujudkan aspirasi kehidupan mandiri yang
dicirikan dengan kepribadian kuat, bermental wirausaha. Sedangkan jika ingin sukses
dalam mengembangkan program kewirausahaan di sekolah, maka kepala sekolah,
tenaga kependidikan baik guru maupun non guru dan peserta didik harus bisa secara
bersama memahami dan mengembangkan sikap kewirausahaan sesuai dengan tugas
masing-masing.
KOMPETENSI
KEPRIBADIAN
KEPALA SEKOLAH
KOMPEENSI KEPRIBADIAN
Ketika kita berbicara mengenai kepribadian, bahwa yang kita bicarakan bukan hanya
seseorang memiliki pesona (charm), suatu sikap positif terhadap hidup, wajah yang
tersenyum, atau seorang finalis dalam kontes Miss Amerika tahun ini. Para psikolog
memandang kepribadian sebagai suatu konsep dinamis yang menggambarkan
pertumbuhan dan pengembangan dari system psikologis keseluruhan dari seseorang
(Stephen P. Robbins,2001:50).
Definisi yang paling sering digunakan dari kepribadian dikemukakan oleh Gordon
Allport hampir 60 tahun yang lalu. Ia mengatakan bahwa kepribadian adalah organisasi
dinamis pada masing-masing sistem psikofisik yang menentukan penyesuaian unik
terhadap lingkungannya .
Tingkah laku manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, baik yang datang dari dalam
maupun dari luar . Sebagai pribadi, manusia perlu mengembangkan diri, agar dikemudian
hari ia dapat tampil sebagai manusia yang mantap dan harmonis. Dalam mengembangkan
diri, manusia harus menggunakan perasaan, budaya, kehendak pribadi dan
mengembangkan hubungan yang serasi dengan lingkungan (Soemarno Sudarsono,1999).
Pengembangan pribadi secara mandiri dapat dilakukan dengan upaya sebagai berikut :
(1) berupaya memahami secara mendasar dan komprehensif bahwa pengembangan
kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi orang
lain dan beraklak mulia akan menjadi salah satu pilar pendidikan berkualitas (2)
mengembangkan aspek-aspek kepribadian empatik dalam kehidupan sehari-hari, yang
meliputi aspek –aspek sebagai berikut : pertama, respek dan spresiasi terhadap diri
sendiri, artinya harus memiliki rasa harga diri yang kuat yang menyanggupkan
berhubungan dengan orang lain atas dasar hal-hal positif, kedua, kemauan yang baik,
yang meliputi minat yang tulus, jujur terhadap kebahagiaan orang lain, rasa hormat,
percaya, dan menghargai orang lain, serta menghindarkan memanfaatkan orang lain
untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya pribadi. Ketiga, mengembangkan diri menjadi
pribadi yang otonom melalui pengembangan hidup yang sesuai dengan kepribadiannya
sambil terbuka untuk belajar dari orang lain, dan menginternalisasikan berbagai
konsep dengan kondisi yang ada, keempat, berusaha menjadi teladan, dengan cara
selalu mengontrol dan mengendalikan kesadarannya bahwa apa yang diberikan kepada
orang lain , apa yang diucapkan dan dilakukannya bukan hanya diterima tetapi juga akan
ditiru, kelima, beroriebtasi untuk tumbuh dan berkembang, dalam pengertian berusaha
untuk terbuka guna memperluas cakrawala wawasaannya, dan berusaha untuk
meningkatkan kualitas kepribadiannya.
Berupaya meningkatkan kualitas pribadi merupakan hal yang amat penting, peningkatan
kualitas pribadi ini dari tingkat reaktif personality, proactive personality, independent
personality, menuju spiritual personality (Sugiyarto, Nugroho, 2008:8). Reactive
personalitymerupakan tingkatan kepribadian tercermin dari perilaku-perilaku yang
sifatnya reaktif yaitu perilaku yang lebih bersifat spontan tanpa pertimbangan-
pertimbangan nilai moral. Misalnya, tersinggung sedikit saja beraksi dengan memukul
atau mengeluarkan kata-kata kotor tanpa timbangan apakah perbuatan itu sopan atau
tidak, baik atau jelek, menyakiti hati orang lain atau tidak, perilaku pribadi dalam tingkat
kepribadian seperti ini lebih banyak dikendalikan gejolak emosional yang menuntut
kepuasannya sendiri tanpa mempertimbangkan berbagai timbangan nilai. Proactive
personality, merupakan tingkatan kepribadian yang ditandai oleh kemampuan melakukan
hubungan timbal balik dengan berbagai aspek dalam dirinya sendiri dengan kendali emosi
yang mantap. Individu dengan tingkat kepribadian ini mempunyai kualitas keberdayaan
sedemikian rupa sehingga mampu mewujudkan perilaku aktif dan terarah sesuai dengan
tuntutan dirinya sendiri dan lingkungan. Tingkatan kepribadian ini disebut juga sebagai
kepribadian yang dilandasi oleh “ emosional intelegensi “ yaitu kualitas kemampuan
menampilkan kepribadian dngan kekuatan emosional yang mantap sehingga mampu
mewujudkan perilaku yang sesuai dengan timbangan moral. Selanjutnya yang disebut
dengan kepribadian interdependent personality adalah kepribadian yang ditandai oleh
kemampuan individu untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya
dengan orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Perilaku individu dalam tingkatan
kepribadian ini lebih banyak didasarkan atas timbangan moral. Oleh karena itu tingkatan
kepribadian ini juga disebut sebagai moral intelligence atau kecerdasan moral.
Berdasarkan definisi-definisi diatas dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kompetensi kepribadian adalah integritas pribadi yang kuat, berkeinginan
mengembangkan diri, terbuka dan minat dalam menjalankan jabatan sebagai kepala
sekolah.
KOMPETENSI SOSIAL
Kepala Sekolah
1. Kompetensi Sosial
Pada hakekatnya manusia adalah makluk individu sekaligus sosial, dari sejak lahir hingga
meninggal manusia perlu dibantu atau kerjasama dengan manusia lain, segala
kebahagiaan yang dirasakan manusia pada dasarnya adalah berkat bantuan dan
kerjasama dengan manusia lain, manusia sadar bahwa dirinya harus merasa terpanggil
hatinya untuk berbuat baik bagi orang lain dan masyarakat (Retno Sriningsih,1999).
Wina Sanjaya dalam Hidayat (2009) menyatakan bahwa kompetensi sosial adalah
kemampuan seseorang sebagai bagian dari masyarakat yang sekurang-kurangnya
meliputi kompetensi untuk berkomunikasi secara lisan, tulisan, dan atau isyarat,
menggunakan tehnologi informasi secara fungsional, bergaul secara efektif dengan
sesama profesi, orang tua/wali secara efektif.
Berdasarkan batasan-batasan diatas maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
kompetensi sosial adalah kemampuan seorang kepala sekolah dalam bekerjasama dengan
orang lain, peduli sosial dan memiliki kepekaan sosial .
Dalam kontek persekolahan seorang kepala sekolah dituntut memiliki kompetensi sosial
dalam menjalankan tugasnya. Kompetensi dalam bidang ini adalah meliputi : (1) terampil
bekerjasama dengan orang lain berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan memberi
manfaat bagi sekolah, yang masuk dalam kategori ini adalah bekerjasama dengan atasan,
guru dan staff, siswa, sekolah lain serta instansi lain (2) mampu berpartisipasi dalam
kegiatan sosial di masyarakat, indikatornya adalah mampu berperan aktif dalam kegiatan
informal, organisasi kemasyarakatan, keagamaan, kesenian, olahraga (3) memiliki
kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain, indikatornya antara lain berperan
sebagai problem finder dilingkungan sekolahan, kreatif dan mampu menawarkan solusi,
melibatkan tokoh agama, masyarakat dan pemerintahan, bersikap obyektif/tidak
memihak dalam menyelesaikan konflik internal, mampu bersikap simpatik/tenggang rasa
terhadap orang lain dan mampu bersikap empati kepada orang lain (Tendik Org.2009).
Peran penting kompetensi sosial ini terletak pada dua hal yakni pertama, terletak pada
peran pribadi kepala sekolah yang hidup ditengah masyarakat untuk berbaur dengan
masyarakat. Untuk itu seorang kepala sekolah perlu memiliki kemampuan untuk berbaur
dengan msayarakat, kemampuan ini meliputi kemampuan berbaur secara santun, luwes
dengan masyarakat, dapat melalui kegiatan oleh raga, keagamaan, dan kepemudaan,
kesenian dan budaya. Keluwesan bergaul harus dimiliki oleh kepala sekolah selain sebagai
kepala maupun sebagai guru.
Bahkan bagi pimpinan puncak (Top managemen) yang disebutkan terakir menduduki
posisi terbesar, lebih dari separoh aktifitasnya yang rutin. Manusia yang menduduki posisi
sentral itu sering dilukiskan sebagai the man behind the gun, manusialah yang
mengendalikan senjata. Tanpa memiliki kemampuan dalam hubungan manusiawi,
kelompok kerja sama tidak mungkin terjalin dengan harmonis. Ketrampilan hubungan
manusiawi ini antara lain tercermin dalam (Sudarwan Danim,2009:99) : (1) ketrampilan
menempatkan diri dalam kelompok, (2) ketrampilan menciptakan kepuasan pada diri
bawahan, (3) sikap terbuka terhadap kelompok kerja, (4) kemampuan mengambil hati
melalui keramahtamahan dan (5) penghargaan terhadap nilai-nilai etis, (6) pemerataan
tugas dan tanggung jawab (7) itikad baik, adil, menghormati, dan menghargai orang lain.
Pada sisi lain realitas peran dan kiprah seorang kepala sekolah dinilai dan diamati baik
oleh guru, anak didik, teman sejawat, dan atasannya maupun oleh masyarakat. Bahkan
tidak jarang juga kebaikan dan kekurangan kepala sekolah dibicarakan oleh masyarakat
secara luas, oleh karena itu penting bagi seorang kepala sekolah untuk meminta pendapat
baik dari guru, karyawan, siswa maupun teman sejawat tentang penampilannya sehari-
hari baik di sekolah, di masyarakat dan segera memanfaatkan pendapat/kritik untuk
memperbaiki.
Menurut Mulyasa (2007:176) ada tujuh kompetensi sosial yang harus dimiliki agar dapat
berkomunikasi dan bergaul secara efektif dan efisien yakni (1) memiliki pengetahuan
tentang adat istiadat baik sosial maupun agama (2) memiliki pengetahuan tentang budaya
dan tradisi (3) memiliki pengetahuan tentang inti demokrasi (4) memiliki pengetahuan
tentang estetika (5) memiliki pengetahuan tentang apresiasi dan kesadaran sosial (6)
memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan (7) memiliki kesetiaan
terhadap harkat dan martabat manusia. Ketujuh kompetensi sosial ini penting, agar
seseorang dapat melaksanakan dua fungsi di sekolah yakni : (a) fungsi pelestarian dan
pewarisan nilai-nilai kemasyarakatan dan (b) fungsi agen perubahan. Sekolah berfungsi
untuk menjaga kelestarian nilai-nilai kemasyarakatan yang positif agar pewarisan nilai
tersebut dapat berjalan secara baik. Di samping itu sekolah juga berfungsi sebagai
lembaga yang dapat mendorong perubahan nilai dan tradisi menuju kemajuan dan
tuntutan kehidupan dan pembangunan bangsa.
Sedangkan menurut Mudiyono (2008 :12) mengusulkan bahwa ada beberapa kegiatan
yang dapat dijadikan sarana peningkatan kompetensi sosial kepala sekolah antara lain :
(1) mengidentifikasi kebutuhan pengembangan kompetensi sosial atau subkompetensi
sosial, identifikasi ini pada satu sisi harus tepat dari sisi kebutuhan kepala sekolah dan
guru dan pada sisi lain mengidentifikasi kebutuhan masyarakat. Hasil dari kedua
kepentingan ini kita gunakan untuk merancang program kerjasama antara kepala
sekolah/guru dalam sekolah,antara guru/kepala sekolah dalam satu sub rayon maupun
rayon, serta antar guru, kepala sekolah dan masyarakat sekitar, (2) melakukan kegiatan
kerjasama antar kepala sekolah terutama baik dalam satu sub-rayon, rayon terdekat
secara terprogram dalam rangka mengembangkan sekolah pada umumnya dan
pengembangan kompetensi kepala sekolah khususnya, (3) implementasi pengembangan
kompetensi kepala sekolah dilakukan dengan pendampingan konsultan atau bantuan
tehnis dari pakar, sehingga pengembangan sekolah akan berjalan seimbang, (4) segera
setelah kegiatan pelaksanaan pengembangan kompetensi sosial ini perlu dilakukan refleksi
secara kolaboratif bersama dengan kepala sekolah lain, guru dan bahkan masyarakat
sekitar, (5) hasil laporan final pengembangan kegiatan ini dapat dipresentasikan pada
forum ilmiah yang bermanfaat.
Dari penjelasan diatas dapat kita pahami betapa kompetensi sosial merupakan hal yang
tidak hanya penting bagi kepala sekolah secara individu tetapi juga penting bagi institusi
sekolah yang dikelola dan bagi masyarakat sekitarnya.