Anda di halaman 1dari 69

TUGAS TA4202

Kebijakan Pertambangan
PERATURAN TERKAIT PERTAMBANGAN DI INDONESIA

Oleh
Iqlima Nur Annisa - 12116010

FAKULTAS TEKNIK PERTAMBANGAN DAN PERMINYAKAN


PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia
No Peraturan Isi Peraturan Pembahasan
yang Berlaku
1 Tata Ruang
Undang- Pasal 17, Perusahaan tambang ketika
Undang Nomor (1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana akan menata ruang harus
26 Tahun 2007 struktur ruang dan rencana pola ruang. mengikuti aturan yang telah
tentang Tata (2) Rencana struktur ruang sebagaimana di tetapkan dalam pasal 17.
Ruang dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem
pusat permukiman dan rencana sistem jaringan
prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan
lindung dan kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan
budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan
pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi,
pertahanan, dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam
rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan
hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari
luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus
memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antar
fungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan
dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai
subsistem rencana tata ruang wilayah diatur
dengan peraturan pemerintah.

Undang- Pasal 1 ayat 3, Usaha penambangan yang


Undang Nomor Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah berbentuk badan perseroan
40 Tahun 2007 komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam wajib berperan serta dalam
tentang pembangunan ekonomi berkelanjutan guna pembangunan ekonomi
meningkatkan kualitas kehidupan dan berkelanjutan guna
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi meningkatkan kualitas
Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun kehidupan dan lingkungan
masyarakat pada umumnya di daerah sekitar
penambangan.
Pasal 74, Dalam ayat (1), usaha
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan penambangan dalam bentuk
usahanya dibidang dan/ atau berkaitan badan perseroan wajib
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan
melaksanakan tanggung jawab sosial dan tanggungjawab sosial
lingkungan. kepada masyarakat sekitar
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan dengan memperbaiki
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kehidupannya, serta
merupakan kewajiban perseroan yang menjaga lingkungan sekitar
dianggarkan dan diperhitungkan sebagai tambang. Dipertegas pada
biaya perseroan yang pelaksanaannya ayat (2), bahwa usaha
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan penambangan dalam bentuk
dan kewajaran. badan perseroan harus
memasukkan anggarannya
untuk keperluan dalam ayat
(1).
2 Lingkungan
Hidup
Undang- Bab X bagian 3 pasal 69, Dalam peraturan ini dapat di
Undang Nomor Mengenai larangan dalam perlindungan dan artikan bahwa limbah yang
32 Tahun 2009 pengelolaan lingkungan hidup yang meliputi dihasilkan dari industri
tentang larangan melakukan pencemaran, memasukkan pertambangan harus terlebih
Perlindungan benda berbahaya dan beracun (B3), memasukkan dahulu di olah agar tidak
dan Pengelolaan limbah ke media lingkungan hidup, melakukan berbahaya bagi lingkungan.
Lingkungan pembukaan lahan dengan cara membakar, dan Serta dalam melakukan
Hidup lain sebagainya. kegiatan land clearing tidak
boleh dengan cara di bakar.
Bab V Bagian Kesatu Pasal 13 ayat (3), Dalam pasal ini pelaku dan
(3) Pengendalian pencemaran dan/atau penanggung jawab usaha
kerusakan lingkungan hidup sebagaimana wajib melakukan
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh pengendalian pencemaran
Pemerintah, pemerintah daerah, dan dan/atau kerusakan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan lingkungan hidup.
sesuai dengan kewenangan, peran, dan Termasuk dalam industri
tanggung jawab masing-masing. pertambangan, kegiatan
yang dilakukan tidak boleh
mencemari atau merusak
lingkungan.

Bab VI Pemeliharaan Pasal 57 ayat (2), Kegiatan penambangan atau


(2) Konservasi sumber daya alam sebagaimana di sebut juga pemanfaatan
dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi kegiatan sumberdaya alam, harus
: dilakukan secara lestari atau
a. perlindungan sumber daya alam; tidak berdampak buruk bagi
b. pengawetan sumber daya alam; dan lingkungan.
c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.

3 Perindustrian
Undang- Pasal 18 ayat 6, Dengan memudahkan dalam
Undang Nomor Bagi penanaman modal yang sedangre-investasi alat dan
25 Tahun 2007 berlangsung yang melakukan penggantian mesin semacamnya, membuat
tentang atau barang modal lainnya, dapat diberikan penanam modal asing
Penanaman fasilitas berupa keringanan atau pembebasan beatertarik untuk menanamkan
Modal masuk. modal di Indonesia
(termasuk dalam Industri
Pertambangan. Selain itu,
hal ini memudahkan
perusahaan tambang untuk
mengganti peralatannya,
sehingga tidak ada lagi
alasan untuk menggunakan
alat yg telah berumur lama.
Pasal 21, Hak atas tanah memudahka
Selain fasilitas sebagaimana dimaksud dalam n pemegang IUP untuk mem
Pasal 18, Pemerintah memberikan kemudahan buka usaha tambang. Penan
pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan am modal asing mudah men
penanaman modal untuk memperoleh: gontrol usaha pertambangan
a. hak atas tanah; nya, sehingga usaha pertam
b. fasilitas pelayanan keimigrasian; dan bangannya masih terus berja
c. fasilitas perizinan impor. lan karena adanya fasilitas p
elayanan keimigrasian. fasili
tas perizinan impor memuda
hkan perusahaan tambang u
ntuk memasukkan barang da
ri luar negeri guna keperlua
n perusahaan.

Pasal 32 ayat 4, Peraturan ini membuat para


Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman penanam modal asing
modal antara Pemerintah dengan penanam modal merasa nyaman karena
asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa apabila terjadi sengeketa
tersebut melalui arbitrase internasional yang lahan (usaha pertambangan)
harus disepakati oleh para pihak. harus di seleseikan melalui
arbitrase internasional yang
disepakati oleh para pihak
(pemerintah dengan
penanam modal) sehingga
penanam modal tidak
merasa dirugikan.
Undang- Pasal 9 ayat 4, Para pelaku usaha
Undang Nomor Pencegahan timbulnya kerusakan dan pertambangan wajib
5 Tahun 1984 pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta mengolah limbahnya dan
tentang pengamanan terhadap keseimbangan dan melakukan penambangan
Perindustrian kelestarian sumber daya alam. dengan benar atau hal-hal
lain agar tidak merusak dan
mencemari lingkungan
hidup.
4 Perhubungan
Undang- Pasal 129 ayat (2), Perusahaan tambang yang
Undang Nomor (2) Badan klasifikasi nasional atau badan memiliki armada kapal
17 Tahun 2008 klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk untuk mendistribusikan
tentang melaksanakan pemeriksaan dan pengujian hasil tambangnya, harus
Pelayaran terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan laksanakan pemeriksaan dan
keselamatan kapal. pengujian terhadap kapal
untuk memenuhi
persyaratan keselamatan
kapal.
Undang- Pasal 27 ayat (1), Karena angkutan tambang
Undang Nomor (1) Perlengkapan Jalan pada jalan lingkungan memiliki volume yang
22 Tahun 2009 tertentu disesuaikan dengan kapasitas, intensitas, sangat besar, sehingga jalan
tentang Lalu dan volume dan perlengkapan jalan
Lintas dan umum tidak dapat
Angkutan Jalan memenuhi kebutuhan jalan
angkutan tambang.
Sehingga indusri tambang
yang menggunakan
angkutan tambang tidak
dapat menggunakan sarana
prasarana lalu lintas umum
dan harus membuat jalannya
sendiri.
Pasal 64 ayat (1), Semua alat angkut tambang
(1) Setiap Kendaraan Bermotor wajib harus di registrasikan
diregistrasikan. terlebih dahulu.

5 Tenaga Kerja
Undang- Pasal 61 ayat 1, Peraturan mengenai
Undang Nomor (1) Perjanjian kerja berakhir apabila : pemberhentian kerja,
13 Tahun 2003 a. pekerja meninggal dunia; bertujuan agar dalam
tentang b. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; pemutusan kontrak kerja
Ketenaga- c. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan tidak dilakukann secara
kerjaan atau penetapan lembaga penyelesaian sepihak oleh perusahaan.
perselisihan hubungan industrial yang telah Dengan begitu hak dari
mempunyai kekuatan setiap pekerja telah terjamin
hukum tetap; atau dalam undang-undang.
d. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang
dicantumkan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan,atau perjanjian kerja
bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja.
Pasal 86 Ketika melakukan kegiatan
Ayat (1) operasi penambangan atau
Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk berada di sekitar areal
memperoleh perlindungan atas : penambangan semua
a.keselamatan dan kesehatan kerja; pekerja berhak untuk
b.moral dan kesusilaan; dan mendapatkan APD dan
c.perlakuan yang sesuai dengan harkat dan perlindungan keselamatan
martabat manusia serta nilai-nilai agama. kerja.
Ayat (2)
Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh
guna mewujudkan produktivitas kerja yang
optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan
kesehatan kerja.
Pasal 77 Waktu kerja ini bertujuan
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan untuk menjamin bahwa
ketentuan waktu kerja. pekerja tidak melakukan
kerja yang lebih dari
kemampuan seseorang.
Undang- Pasal 12 Hal ini untuk mengatur
Undang Nomor Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban bahwa pekerja memiliki hak
1 Tahun 1970 dan atau hak tenaga kerja untuk: dan kewajiban untuk
tentang a. Memberikan keterangan yang benar bila menjamin keselamatannya
Keselamatan diminta oleh pegawai pengawas dan atau ketika melakukan pekerjaan
Kerja keselamatan kerja; dalam rangkaian kegiatan
b. Memakai alat perlindungan diri yang penambangan.
diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat
keselamatan dan kesehatan kerja yang
diwajibkan;
d. Meminta pada Pengurus agar dilaksanakan
semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja
yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan
dimana syarat kesehatan dan keselamatan kerja
serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan
diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal
khususditentukan lain oleh pegawai pengawas
dalam batas-batas yang masih dapat
dipertanggung jawabkan.
Kemenkeu
Undang- Pasal 7A Dalam dunia pertambangan
Undang Nomor (1) erat kaitannya dengan
17 Tahun 2006 Pengangkut yang sarana pengangkutnya akan impor-ekspor, khususnya
tentang Bea datang dari: ekspor yang memang saat
Cukai a.luar daerah pabean; atau ini masih sangat gencar
b.dalam daerah pabean yang mengangkut barang dilakukan. Sehingga ini erat
impor, barang ekspor, dan/atau barang asal kaitannya dengan peraturan
daerah pabean yang diangkut ke tempat lain mengenai bea cukai
dalam daerah pabean melalui luar daerah pabean, mengingat banyaknya hasil
wajib memberitahukan rencana kedatangan tambang yang diekspor
sarana pengangkut ke kantor pabean tujuan
sebelum kedatangan sarana pengangkut, kecuali
sarana pengangkut darat.
Pasal 53 ayat (3) Dalam melakukan ekspor
Semua barang yang dilarang atau dibatasi yang bahan galian juga perlu
tidak diperhatikan syarat-syarat
memenuhi syarat untuk diimpor atau diekspor, ekspor, agar hal-hal yang
jika tidak di inginkan seperti
telah diberitahukan dengan pemberitahuan yang tercantum dalam pasal
pabean, 53 tidak terjadi.
atas permintaan importir atau eksportir:
a.dibatalkan ekspornya;
b.diekspor kembali; atau
c.dimusnahkan di bawah pengawasan pejabat
bea dan cukai kecuali terhadap barang dimaksud
ditetapkan lain berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
Undang- Pasal 2 ayat (1) Dinyatakan bahwa
Undang Nomor (1) Kelompok Penerimaan Negara Bukan Pajak penerimaan dari
20 Tahun 1997 meliputi: pemanfaatan sumberdaya
tentang a. penerimaan yang bersumber dari pengelolaan alam merupakan kategori
Penerimaan dana Pemerintah; penerimaan negara bukan
Negara b. penerimaan dari pemanfaatan sumberdaya pajak, yang dapat
BukanPajak alam; menambah devisa negara.
c. penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan
kekayaan Negara yang dipisahkan;
d. penerimaan dari kegiatan pelayanan yang
dilaksanakan Pemerintah;
e. penerimaan berdasarkan putusan pengadilan
dan yang berasal dari pengenaan denda
administrasi;
f. penerimaan berupa hibah yang merupakan hak
Pemerintah;
g. penerimaan lainnya yang diatur
dalamUndang-undang tersendiri.
Undang- Pasal 3 ayat (1) dan (2), Pada pasal 3 di sebutkan
Undang Nomor (1) Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak bahwa hal-hal apa saja yang
12 Tahun 1994 Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang : tidak dikenai pajak bumi
tentang a. digunakan semata-mata untuk melayani dan bangunan, karena
Perubahan atas kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, bangunan untuk keperluan
Undang-undang kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, tambang tidak di sebutkan
Nomor 12 yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh dalam pasal tersebut, maka
Tahun 1985 keuntungan; bangunan yang di gunakan
Tentang Pajak b. digunakan untuk kuburan, peninggalan untuk kepentingan tambang
Bumi dan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; seperti kantor, mess, dll
Bangunan c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, merupakan bangunan yang
hutan wisata, taman nasional, tanah dikenai pajak.
penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan
tanah negara yang belum di bebani suatu hak;
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik,
konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal
balik;
e. digunakan oleh badan atau perwakilan
organisasi internasional yang ditentukan oleh
Menteri Keuangan.
(2) Objek Pajak yang digunakan oleh negara
untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan
pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah.

Undang- Pasal 11 Dalam mengatur keuangan


Undang Nomor (1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan yang berasal dari
33 Tahun 2004 sumber daya alam. pertambangan umum antara
tentang (2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak Pusat dan Pemerintah
Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: Daerah dikenal sistem Dana
Keuangan a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bagi Hasil
antara Pusat dan b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Pemerintah (BPHTB); dan
Daerah c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan
PPh Pasal 21.
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber
daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berasal dari:
a. kehutanan;
b. pertambangan umum;
c. perikanan;
d. pertambangan minyak bumi;
e. pertambangan gas bumi; dan
f. pertambangan panas bumi.
Pasal 17 Pasal 17 mengatur tentang
(1)Penerimaan Pertambangan Umum mekanisme dana bagi hasil.
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 huruf c terdiri atas:
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan
b. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran
Eksploitasi (Royalti).
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara
Iuran Tetap (Land-rent) yang menjadibagian
Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a, dibagi dengan rincian:
a. 16% (enam belas persen) untukprovinsi yang
bersangkutan; dan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk
kabupaten/kota penghasil.
(3) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara
Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti)
yang menjadi bagian Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b, dibagi dengan
rincian:
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang
bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk
kabupaten/kota penghasil; dan
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk
kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang
bersangkutan.
(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf c, dibagikan
dengan porsi yang sama besar untuk semua
kabupaten/kota dalam provinsi yang
bersangkutan.
Undang- Pasal 2 Pertambangan merupakan
Undang Nomor (1) Yang menjadi subjek pajak adalah: salah satu bentuk usaha
42 Tahun 2009 a. 1. orang pribadi; tetap yang mana usaha tetap
tentang 2. warisan yang belum terbagi sebagai satu merupakan bagian dari
Perubahan kesatuan menggantikan yang berhak; subjek pajak, sehingga
Ketiga atas b. badan; dan usaha pertambangan wajib
Undang-undang c. bentuk usaha tetap. membayar pajak kepada
Nomor 8 Tahun (5) Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang pemerintah
1983 Tentang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
Pajak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
Pertambahan yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
Nilai Barang (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka
dan Jasadan waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
Pajak Penjualan tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
atas Barang Indonesia untuk menjalankan usaha atau
Mewah melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat
berupa:
a. tempat kedudukan manajemen;
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
h. ruang untuk promosi dan penjualan;
i. pertambangan dan penggalian sumber alam;
j. wilayah kerja pertambangan minyakdan gas
bumi;
k. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan,
ataukehutanan;
l. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek
perakitan;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh
pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan
lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka
waktu 12 (dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi
yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima premi
asuransi atau menanggung risiko di
Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan
otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk
menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
PP Dalam
Negeri
Peraturan Pasal 3, Dalam hal ini desa sekitar
Menteri Dalam (1) Desa dapat melakukan kerjasama antar desa tambang dapat melakukan
Negeri sesuai dengan kewenangan yangdimilikinya. kerjasama dengan
Undang- (2) Desa dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan tambang,
Undang Nomor pihak ketiga. khusunya dalam hal CSR.
38 Tahun 2007 Pasal 4,
tentang (1) Ruang lingkup kerjasama antar desa
Kerjasama Desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1)meliputi bidang pemerintahan,
pembangunan, dan kemasyarakatan;
(2) Kerjasama Desa dengan pihak ketiga
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(2) dapat dilakukan dalam bidang:
a. peningkatan perekonomian masyarakat
desa;
b. peningkatan pelayanan pendidikan;
c. kesehatan;
d. sosial budaya;
e. ketentraman dan ketertiban;
f. pemanfaatan sumber daya alam dan
teknologi tepat guna dengan
memperhatikankelestarian lingkungan;
g. tenaga kerja;
h. pekerjaan umum;
i. batas desa; dan
j. lain-lain kerjasama yang menjadi
kewenangan desa.
Peraturan Pasal 7 ayat (3)-(5), Energi dan sumber daya
Pemerintah (3) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud dalam mineral di bidang
Nomor 38 Pasal 6ayat (2) adalah urusan pemerintahan pertambangan termasuk ke
Tahun 2007 yang secara nyataada dan berpotensi untuk dalam urusan pemerintahan
Tentang meningkatkan kesejahteraanmasyarakat daerah provinsi dan
Pembagian sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan pemerintahan daerah
Urusan potensiunggulan daerah yang bersangkutan. kabupaten/kota yang
Pemerintahan (4) Urusan pilihan sebagaimana dimaksud pada bersifat pilihan
Antara ayat (3)meliputi:
Pemerintah, a. kelautan dan perikanan;
Pemerintahan b.pertanian;
Daerah c. kehutanan;
Provinsi, Dan d.energi dan sumber daya mineral;
Pemerintahan e. pariwisata;
Daerah f. industri;
Kabupaten/Kota g.perdagangan; dan
h.ketransmigrasian.
(5) Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh
pemerintahan daerah.
PP
Perhubungan
Peraturan Pasal 8 ayat (1), Dalam pendistribusian atau
Pemerintah (1) Pelabuhan khusus nasional/internasional pengangkutan hasil
Nomor 69 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat tambang, sering
Tahun 2001 (3) huruf a ditetapkan dengan kriteria : menggunakan armada kapal.
tentang a. bobot kapal 3000 DWT atau lebih; Untuk itu pelabuhan yang
Kepelabuhan b. panjang dermaga 70 M' atau lebih; memenuhi adalah pelabuhan
c. kedalaman di depan dermaga - 5 M LWS nasional/internasional dan
atau lebih; harus mengikuti aturan yang
d. menangani pelayanan barang-barang telah di tetapkan.
berbahaya dan beracun (B3);
e. melayani kegiatan pelayanan lintas
Propinsi dan Internasional.
Pasal 53 Untk melakukan tambang
(1) Kegiatan pengerukan dan reklamasi di menggunakan kapal keruk,
wilayah perairan pelabuhan khusus dilakukan di perlukan izin dari
setelah mendapat izin dari Menteri, Menteri, Gubernur,
Gubernur, Bupati/Walikota sesuai dengan Bupati/Walikota dalam
kewenangannya. operasinya.
(2) Daratan hasil reklamasi di dalam perairan Juga berlaku untuk
pelabuhan khusus dapat dimohonkan hak atas reklamasi setelah
tanahnya oleh pengelola pelabuhan khusus dilakukannya pengerukan.
sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
Permen KM Pasal 2 Pengangkutan hasil tambang
71/2005 (1) Pengangkutan barang antarpelabuhan laut di (batubara) wajib
Tentang dalam negeri wajib diselenggarakan oleh diselenggarakan oleh
Pengangkutan perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan angkutan laut
Barang/Muat penyelenggara angkutan laut khusus dan nasional penyelenggara
Antarpelabuhan perusahaan pelayaran rakyat dengan angkutan laut khusus dan
Laut di Dalam menggunakan kapal berbendera Indonesia. perusahaan pelayaran rakyat
Negeri (2) Barang/muatan antarpelabuhan dalam negeri dengan menggunakan kapal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berbendera Indonesia.
meliputi :
a. Minyak dan gas bumi;
b. Barang umum (general cargo);
c. Batubara;
d. Kayu dan olahan primer;
e. Beras;
f. Minyak kelapa sawit;
g. Pupuk;
h. Semen;
i. Bahan galian tambang (bahan galian
logam, bahan galian non logam, bahan
galian golongan C);
j. Biji-bijian lainnya (other grains);
k. Muatan cair dan bahan kimia lainnya;
l. Bijian hasil pertanian; serta
m. Sayur, buah-buahan dan ikan segar (fresh
product);
n. Penunjang kegiatan usaha hulu dan hilir
minyak dan gas bumi;
Rincian barang/muatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), adalah sebagaimana tercantum
dalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
PP Kehutanan
Permenhut P60 Pasal 4 Dalam melakukan
Tahun 2009 (1) Agar pelaksanaan penilaian keberhasilan reklamasi, sebagaimana di
Tentang reklamasi hutan mengacu kepada kriteria sebutkan dalam pasal 4,
Pedoman keberhasilan reklamasi hutan. reklamasi lahan pada
Penilaian (2) Kriteria keberhasilan reklamasi hutan wilayah bekas tambang
Keberhasilan ditetapkan sebagai berikut : harus memenuhi kriteria
Reklamasi a. Penataan lahan; tersebut.
Hutan b. Pengendalian erosi dan sedimentasi;
c. Revegetasi atau penanaman pohon ;

Pasal 5
Penataan lahan sebagaimana dimaksud pasal
4 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Pengisian kembali lubang bekas tambang;
b. Penataan permukaan tanah;
c. Kestabilan lereng; dan
d. Penaburan tanah pucuk
Pasal 6 Biasanya untuk
Pengendalian erosi dan sedimentasi sebagaimana mengendalikan terjadinya
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, erosi menggunakan tyre
meliputi: dump structure, yaitu
a. Pembuatan bangunan konservasi tanah dengan menata ban di jalur
(checkdam, dam penahan, pengendali jurang, air sehingga menghambat
drop structure, saluran drainase, dll). laju air yang memungkinkan
b. Penanaman cover cropsuntuk memperkecil mengikis tanah di
kecepatan air limpasan dan meningkatkan sekitarnya.
infiltrasi.
c. Kejadian erosi dan sedimentasi (diamati dari
terjadinya erosi alur dan erosi parit).

6 Kehutanan
Undang- Pasal 41, Dalam melakukan usaha
Undang Nomor Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan pertambangan, tentu saja
41 Tahun 1999 melalui kegiatan: terdapat kegiatan
tentang a. reboisasi, pembukaan lahan. Pelaku
b. penghijauan, usaha pertambangan wajib
c. pemeliharaan, melakukan rehabilitasi
d. pengayaan tanaman, atau setelah membuka lahan dan
e. penerapan teknik konservasi tanah secara melakukan penambangan
vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan dengan kegiatan yg telah di
tidak produktif. tentukan.
(2) Kegiatan rehabilitasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan
kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti t
aman nasional
7 Perdagangan
Undang- Pasal 1 ayat 3, Usaha penambangan yang
Undang Nomor Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah berbentuk badan perseroan
40 Tahun 2007 komitmen Perseroan untuk berperan serta dalam wajib berperan serta dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan guna pembangunan ekonomi
meningkatkan kualitas kehidupan dan berkelanjutan guna
lingkungan yang bermanfaat, baik bagi meningkatkan kualitas
Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun kehidupan dan lingkungan
masyarakat pada umumnya di daerah sekitar
penambangan.
Pasal 74, Dalam ayat (1), usaha
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usaha penambangan dalam bentuk
nya dibidang dan/ atau berkaitan dengan sumber badan perseroan wajib
daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab melaksanakan
sosial dan lingkungan. tanggungjawab sosial
(2) Tanggung jawab sosial dan lingkungan kepada masyarakat sekitar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dengan memperbaiki
kewajiban perseroan yang dianggarkan dan kehidupannya, serta
diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang menjaga lingkungan sekitar
pelaksanaannya dilakukan dengan tambang. Dipertegas pada
memperhatikan kepatutan dan kewajaran ayat (2), bahwa usaha
penambangan dalam bentuk
badan perseroan harus
memasukkan anggarannya
untuk keperluan dalam ayat
(1).
8 Sumber Daya
Air
Undang- Pasal 23, Ketika terdapat asam
Undang Nomor (1) Pengelolaan kualitas air dan pengendalian tambang atau hal lain akibat
7 Tahun 2004 pencemaran air ditujukan untuk operasi tambang, maka air
tentang Sumber mempertahankan dan memulihkan kualitas air yang sudah tercemar
Daya Air yang masuk dan yang ada pada sumber-sumber tersebut harus di olah
air. terlebih dahulu dan di
(2) Pengelolaan kualitas air sebagaimana pulihkan kualitas nya seperti
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara semula.
memperbaiki kualitas air pada sumber air dan
prasarana sumber daya air.
(3) Pengendalian pencemaran air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara
mencegah masuknya pencemaran air pada
sumber air dan prasarana sumber daya air.
(4) Ketentuan mengenai pengelolaan kualitas air
dan pengendalian pencemaran air sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.

9 Dalam Negeri
Undang- Pasal 13, Dari Pasal ini, bahan galian
Undang Nomor (1) Urusan wajib yang menjadi kewenangan tambang merupakan urusan
32 Tahun 2004 pemerintahan daerah provinsi merupakan rumah tangga pemerintah
tentang urusan dalam skala provinsi yang meliputi: daerah untuk meningkatkan
Pemerintahan a. perencanaan dan pengendalian kesejahteraan masyarakat.
Daerah pembangunan;
b.perencanaan, pemanfaatan, dan
pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat;
d.penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi
sumber daya manusia potensial;
g.penanggulangan masalah sosial lintas
kabupaten/kota;
h.pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas
kabupaten/kota;
i. fasilitasi pengembangan koperasi, usaha
kecil, dan menengah termasuk lintas
kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup;
k.pelayanan pertanahan termasuk lintas
kabupaten/kota;
l. pelayanan kependudukan, dan catatan sipil;
m. pelayanan administrasi umum
pemerintahan;
n.pelayananadministrasi penanaman modal
termasuk lintas kabupaten/kota;
o.penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota ; dan
p.urusan wajib lainnya yang diamanatkan
oleh peraturan perundang-undangan.
(2) Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat
pilihan meliputi urusan pemerintahan yang
secara nyata ada dan berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat
sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi
unggulandaerah yang bersangkutan.

Pasal 160 ayat (3)-(5), Dalam penyelenggaraan


(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari kegiatan pertambangan,
sumber daya alam sebagaimanadimaksud setiap Izin yang di berikan
pada ayat (1) berasal dari: pemerintah, pemilik izin
a. Penerimaan kehutanan yang berasal dari wajib memberikan royalty
iuran hak pengusahaanhutan (IHPH), berupa dana bagi hasil
provinsi sumber daya hutan (PSDH) dan kepada pemerintah daerah.
danareboisasi yang dihasilkan dari wilayah
daerah yang bersangkutan;
b. Penerimaan pertambangan. umum yang
berasal dari penerimaan iuran tetap
(landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi
dan iuraneksplorasi (royalty) yang
dihasilkan dari wilayah daerah
yangbersangkutan;
c. Penerimaan perikanan yang diterima
secara nasional yangdihasilkan dari
penerimaan pungutan pengusahaan
perikanan danpenerimaan pungutan hasil
perikanan;
d. Penerimaan pertambangan minyak yang
dihasilkan dari wilayahdaerah yang
bersangkutan;
e. Penerimaan pertambangan gas alam yang
dihasilkan dari wilayahdaerah yang
bersangkutan;
f. Penerimaan pertambangan panas bumi
yang berasal dari penerimaan setoran
bagian Pemerintah, iuran tetap dan
iuranproduksi yang dihasilkan dari
wilayah daerah yang bersangkutan:
(4) Daerah penghasil sumber daya alam
sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri
berdasarkanpertimbangan dari menteri teknis
terkait.
(5) Dasar penghitungan bagian daerah dari
daerah penghasil sumber dayaalam
ditetapkan oleh Menteri Teknis terkait
setelah memperolehpertimbangan Menteri
Dalam Negeri.

Undang- Pasal 42 Pasal 42 berisi tentang tugas


Undang Nomor (1) DPRD mempunyai tugas dan wewenang: dan wewenang DPRD
12 Tahun 2008 a. membentuk Perda yang dibahas dengan terhadap pemerintah daerah.
Tentang kepala daerah untukmendapatkan Jika dihubungkan dengan
Perubahan persetujuan bersama; kegiatan pertambangan,
Kedua Atas b.membahas dan menyetujui rancangan maka DPRD memiliki
Undang- Perda tentang APBDbersama dengan kewenangan dalam
Undang Nomor kepala daerah; memberikan pendapat dan
32 Tahun 2004 c. melaksanakan pengawasan terhadap pertimbangan serta
Tentang pelaksanaan Perda danperaturan persetujuan terhadap
Pemerintahan perundang-undangan lainnya, peraturan rencana perjanjian dan kerja
Daerah kepala daerah,APBD, kebijakan pemerintah sama adanya pembukaan
daerah dalam melaksanakanprogram lahan untuk penambangan
pembangunan daerah, dan keija sama
internasional didaerah;
d.mengusulkan pengangkatan dan
pemberhentian kepaladaerah/wakil kepala
daerah kepada Presiden melalui Menteri
Dalam Negeri bagi DPRD Provinsi dan
kepada Menteri Dalam Negeri melalui
Gubernur bagi DPRD Kabupaten/Kota;
e. memilih wakil kepala daerah dalam hal
terjadi kekosongan jabatanwakil kepala
daerah;
f. memberikan pendapat dan pertimbangan
kepada pemerintahdaerah terhadap rencana
perjanjian internasional di daerah;
g.memberikan persetujuan terhadap rencana
kerja samainternasional yang dilakukan
oleh pemerintah daerah;
h.meminta laporan keterangan
pertanggungjawaban kepala daerahdalam
penyelenggaraan pemerintahan;
i. dihapus;
j. melakukan pengawasan dan meminta
laporan KPU provinsidan/atau KPU
kabupaten/kota dalam penyelenggaraan
pemilihankepala daerah;
k.memberikan persetujuan terhadap rencana
kerja samaantardaerah dan dengan pihak
ketiga yang membebanimasyarakat dan
daerah.
(2) Selain tugas dan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), DPRD
melaksanakan tugas dan wewenang lain yang
diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Undang- Bagian Kedua Belas Pajak Mineral Bukan Pasal 57-61 berisi tentang
Undang Nomor Logam dan Batuan perpajakan di dunia
28 Tahun 2009 Pasal 57 pertambangan.
Tentang Pajak (1) Objek Pajak Mineral Bukan Logam dan
Daerah Batuan adalah kegiatan pengambilan Mineral Di dalam UU no 4 tahun
Bukan Logam dan Batuan yang meliputi: 2009, hal-hal yang berkaitan
a. asbes; tentang pajak dari hasil
b.batu tulis; pendapatan daerah diatur
c. batu setengah permata; dalam pasal 128-133.
d.batu kapur;
e. batu apung; Jenis-jenis mineral yang
f. batu permata; terkena pajak diatur oleh
g.bentonit; pasal 57 ayat (1).
h.dolomit; Sedangkan ayat (2) berisi
i. feldspar; objek yang tidak terkena
j. garam batu (halite); pajak
k.grafit;
l. granit/andesit;
m. gips;
n.kalsit;
o.kaolin;
p.leusit;
q.magnesit;
r. mika;
s. marmer;
t. nitrat;
u.opsidien;
v.oker;
w. pasir dan kerikil;
x.pasir kuarsa;
y.perlit;
z. phospat;
aa. talk;
bb. tanah serap (fullers earth);
cc. tanah diatome;
dd. tanah liat;
ee. tawas (alum);
ff. tras;
gg. yarosif;
hh. zeolit;
ii. basal;
jj. trakkit; dan
kk. Mineral Bukan Logam dan Batuan
lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Dikecualikan dari objek Pajak Mineral
Bukan Logam dan Batuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. kegiatan pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan yang nyata-nyata tidak
dimanfaatkan secara komersial, seperti
kegiatan pengambilan tanah untuk
keperluan rumah tangga, pemancangan
tiang listrik/telepon, penanaman kabel
listrik/telepon, penanaman pipa air/gas;
b.kegiatan pengambilan Mineral Bukan
Logam dan Batuan yang merupakan ikutan
dari kegiatan pertambangan lainnya, yang
tidak dimanfaatkan secara komersial; dan
pengambilan Mineral Bukan Logam dan
Batuan lainnya yang ditetapkan dengan
Peraturan Daerah
Pasal 58 Dalam pasal ini di tegaskan
(1) Subjek Pajak Mineral Bukan Logam dan bahwa pihak yang
Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang melakukan penambangan
dapat mengambil Mineral Bukan Logam dan wajib membayar pajak
Batuan. mineral.
(2) Wajib Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan adalah orang pribadi atau Badan yang
mengambil Mineral Bukan Logam dan
Batuan.
Pasal 59 Dalam pasal-pasal di
(1) Dasar pengenaan Pajak Mineral Bukan samping, di jelaskan
Logam dan Batuan adalah Nilai Jual Hasil ketentuan-ketentuan
Pengambilan Mineral Bukan Logam dan mengenai penarikan pajak
Batuan. yang harus dibayarkan.
(2) Nilai jual sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dihitung dengan mengalikan
volume/tonase hasil pengambilan dengan
nilai pasar atau harga standar masing-masing
jenisMineral Bukan Logam dan Batuan.
(3) Nilai pasar sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) adalah harga rata-rata yang berlaku di
lokasi setempat di wilayahdaerah yang
bersangkutan.
(4) Dalam hal nilai pasar dari hasil produksi
Mineral Bukan Logam dan Batuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sulit
diperoleh, digunakan harga standar yang
ditetapkan oleh instansi yang berwenang
dalam bidang pertambangan Mineral Bukan
Logam dan Batuan.
Pasal 60
(1) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan ditetapkan paling tinggi sebesar 25%
(dua puluh lima persen).
(2) Tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Pasal 61
(1) Besaran pokok Pajak Mineral Bukan Logam
dan Batuan yang terutang dihitung dengan
cara mengalikan tarif pajaksebagaimana
dimaksud dalam Pasal 60 ayat (2) dengan
dasar pengenaan pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59.
(2) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan
yang terutang dipungut di wilayah daerah
tempat pengambilan Mineral Bukan Logam
dan Batuan.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


No. Pasal Bunyi Ayat Pembahasan Keterangan
1. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah
Pertambangan
Pasal 12 (1) Data dan informasi hasil Pada pasal 12
penyelidikan dan penelitian dijelaskan
pertambangan yang dilakukan oleh bahwa data
dan informasi
Menteri, gubernur, dan
mengenai
bupati/walikota wajib diolah eksplorasi
menjadi peta potensi mineral sumberdaya
dan/atau batubara. mineral yang
(2) Data dan informasi hasil telah
penyelidikan dan penelitian didapatkan
pertambangan yang dilakukan oleh wajib
dilaporkan
lembaga riset berdasarkan
pada
penugasan dari Menteri atau Pemerintah.
gubernur wajib diolah menjadi peta
potensi mineral dan/atau batubara.
(3) Peta potensi mineral dan/atau
batubara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) paling
sedikit memuat informasi mengenai
formasi batuan pembawa mineral
dan/atau pembawa batubara.
(4) Gubernur dan bupati/walikota wajib
menyampaikan peta potensi mineral
dan/atau batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
kepada Menteri.
(5) Berdasarkan peta potensi mineral
dan/atau batubara sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), Menteri
melakukan evaluasi.
(6) Hasil evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (5) digunakan
oleh Menteri sebagai bahan
penyusunan rencana WP.
Pasal 19 (1) WUP ditetapkan oleh Menteri. WUP
(2) Untuk WUP mineral radioaktif, ditetapkan
penetapannya dilakukan oleh oleh Menteri
Menteri berdasarkan usulan dari yang
instansi yang menyelenggarakan berdasarkan
urusan pemerintahan di bidang rekomendasi
ketenaganukliran. dari instansi
terkait jika
terdapat
mineral
radioaktif,
yaitu Batan.
Pasal 25 Ketentuan mengenai pemberian WIUP
diatur dalam Peraturan Pemerintah
tersendiri.
Pasal 33 Dalam hal di WIUPK mineral logam Dalam pasal
dan/atau batubara terdapat komoditas ini dijelaskan
tambang lainnya yang berbeda, untuk jika suatu
perusahaan
mengusahakan komoditas tambang
memiliki
lainnya wajib ditetapkan WIUPK terlebihkomoditas lain
dahulu. yang
ekonomis
untuk
ditambang
wajib untuk
melaporkan
kepada pihak
terkait.
2. Peratutan Pemerintah Republik Indonesia nomor 23 Tahun 2010 tentang Kegiatan
Usaha Pertambangan
Pasal 5 Lingkup Peraturan Pemerintah ini
meliputi pemberian IUP, IPR, dan IUPK,
kewajiban pemegang IUP, IPR, dan
IUPK, serta pengutamaan penggunaan
mineral logam dan/atau batubara untuk
kepentingan dalam negeri.
Pasal 6 (1) IUP diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan permohonan yang
diajukan oleh:
a. badan usaha;
b. koperasi; dan
c. perseorangan.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf a dapat berupa
badan usaha swasta, BUMN, atau
BUMD.
(3) Perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat berupa orang perseorangan,
perusahaan firma, atau perusahaan
komanditer.
(4) IUP sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan setelah
mendapatkan WIUP.
(5) Dalam 1 (satu) WIUP dapat
diberikan 1 (satu) atau beberapa
IUP.
Pasal 34 (1) IUP Operasi Produksi sebagaimana Pasal ini
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) menjelaskan
huruf b diberikan kepada badan tentang
usaha, koperasi, dan perseorangan peraturan
sebagai peningkatan dari kegiatan mengenai
eksplorasi. pemegang
(2) Pemegang IUP Eksplorasi dijamin IUP Operasi
untuk memperoleh IUP Operasi Produksi.
Produksi sebagai peningkatan
dengan mengajukan permohonan
dan memenuhi persyaratan
peningkatan operasi produksi.
(3) IUP Operasi Produksi meliputi
kegiatan konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta
pengangkutan dan penjualan.
(4) IUP Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan
kepada badan usaha, koperasi, dan
perseorangan yang memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 23.
Pasal 49 (1) IUPK diberikan oleh Menteri Pasal ini
berdasarkan permohonan yang menjelaskan
diajukan oleh BUMN, BUMD, atau
mengenai
badan usaha swasta.
(2) IUPK sebagaimana dimaksud pada IUPK
ayat (1) diberikan setelah diperoleh
WIUPK yang telah ditetapkan oleh
Menteri.
(3) Dalam 1 (satu) WIUPK dapat terdiri
atas 1 (satu) atau beberapa IUPK.
(4) Pemohon sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat diberikan
1 (satu) WIUPK, kecuali pemohon
merupakan badan usaha yang telah
terbuka dapat diberikan lebih dari 1
(satu) WIUPK.
(5) Ketentuan mengenai penetapan
WUPK sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersendiri.
Pasal 63 Persyaratan IUPK Eksplorasi dan IUPK
Operasi Produksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 62 harus memenuhi:
a. persyaratan administratif;
b. persyaratan teknis;
c. persyaratan lingkungan; dan
d. persyaratan finansial.
Pasal 76 (1) Kegiatan usaha pertambangan dapat Pasal ini
dilakukan penghentian sementara menjelaskan
apabila terjadi: mengenai
adanya
a. keadaan kahar;
penghentian
b. keadaan yang menghalangi; sementara
dan/atau yang
c. kondisi daya dukung lingkungan. disebabkan
(2) Penghentian sementara kegiatan oleh kondisi-
usaha pertambangan sebagaimana kondisi yang
dimaksud pada ayat (1) tidak telah
disebutkan
mengurangi masa berlaku IUP dan
pada ayat (1)
IUPK.
(3) Dalam hal terjadi keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf a dan huruf b, penghentian
sementara dilakukan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan permohonan dari
pemegang IUP atau IUPK.
(4) Dalam hal terjadi keadaan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf c, penghentian sementara
dilakukan oleh:
a. inspektur tambang;
b. Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya berdasarkan
permohonan dari masyarakat.
Pasal 84 (1) Pemegang IUP Operasi Produksi dan Pasal ini
IUPK Operasi Produksi harus menjelaskan
mengutamakan kebutuhan mineral bahwa setiap
perusahaan
dan/atau batubara untuk kepentingan
pemegang
dalam negeri. IUP OP dan
(2) Menteri menetapkan kebutuhan IUPK OP
mineral dan batubara di dalam negeri wajib
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mendahulukan
meliputi kebutuhan untuk industri kebutuhan
pengolahan dan pemakaian langsung mineral dalam
negeri
di dalam negeri.
sebelum dapat
(3) Pemegang IUP Operasi Produksi dan diekspor.
IUPK Operasi Produksi dapat
melakukan ekspor mineral atau
batubara yang diproduksi setelah
terpenuhinya kebutuhan mineral dan
batubara dalam negeri sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata
cara pengutamaan kebutuhan
mineral dan batubara untuk
kepentingan dalam negeri diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 86 (1) Pemegang IUP dan IUPK harus Pasal ini
mengutamakan penggunaan tenaga menjelaskan
kerja setempat. bahwa tenaga
kerja yang
(2) Dalam hal pemegang IUP dan IUPK
dikaryakan
menggunakan tenaga kerja asing, pada
terlebih dahulu mengajukan perusahaan
permohonan kepada Menteri. pemegang
(3) Menteri setelah menerima IUP harus
permohonan sebagaimana dimaksud mendahulukan
pada ayat (2) melakukan evaluasi tenaga kerja
dari daerah
teknis dan berkoordinasi dengan
setempat.
menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang
ketenagakerjaan.
Pasal 103 (1) Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 memuat laporan
kemajuan kerja dalam suatu kurun
waktu dan dalam suatu tahapan
kegiatan tertentu yang disampaikan
oleh pemegang IUP Eksplorasi dan
IUPK Eksplorasi serta pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK Operasi
Produksi.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 disampaikan dalam
jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari kalender setelah
berakhirnya tiap triwulan atau tahun
takwim kecuali laporan dwi
mingguan dan bulanan tahapan
kegiatan operasi produksi.
(3) Rencana kerja dan anggaran biaya
tahunan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 101 disampaikan kepada
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dalam jangka waktu
paling lambat 45 (empat puluh lima)
hari kalender sebelum berakhirnya
tiap tahun takwim.
(4) Laporan dwi mingguan dan bulanan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disampaikan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya dalam jangka
waktu paling lambat 5 (lima) hari
kalender setelah berakhirnya tiap dwi
mingguan atau bulan takwim.
Pasal 109 Ketentuan lebih lanjut mengenai
pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 111 Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pemberian sanksi administratif diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 112 Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai Pasal ini
berlaku: menjelaskan
1. Kontrak karya dan perjanjian karya tentang
peraturan
pengusahaan pertambangan batubara
mengenai
yang ditandatangani sebelum Kontrak
diundangkan Peraturan Pemerintah Karya
ini dinyatakan tetap berlaku sampai pertambangan
jangka waktunya berakhir. batubara
2. Kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara
sebagaimana dimaksud pada angka 1
yang belum memperoleh
perpanjangan pertama dan/atau kedua
dapat diperpanjang menjadi IUP
perpanjangan tanpa melalui lelang
dan kegiatan usahanya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini kecuali mengenai
penerimaan negara yang lebih
menguntungkan.
3. Kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara
sebagaimana dimaksud pada angka 1
yang telah melakukan tahap kegiatan
operasi produksi wajib melaksanakan
pengutamaan kepentingan dalam
negeri sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini.
4. Kuasa pertambangan, surat izin
pertambangan daerah, dan surat izin
pertambangan rakyat, yang diberikan
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan sebelum
ditetapkannya Peraturan Pemerintah
ini tetap diberlakukan sampai jangka
waktu berakhir serta wajib:
a. disesuaikan menjadi IUP atau IPR
sesuai dengan ketentuan
Peraturan Pemerintah ini dalam
jangka waktu paling lambat 3
(tiga) bulan sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini dan
khusus BUMN dan BUMD, untuk
IUP Operasi Produksi merupakan
IUP Operasi Produksi pertama;
b. menyampaikan rencana kegiatan
pada seluruh wilayah kuasa
pertambangan sampai dengan
jangka waktu berakhirnya kuasa
pertambangan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya;
c. melakukan pengolahan dan
pemurnian di dalam negeri dalam
jangka waktu paling lambat 5
(lima) tahun sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara.
5. Permohonan Kuasa Pertambangan
yang telah diterima Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara
dan telah mendapatkan Pencadangan
Wilayah dari Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat diproses
perizinannya dalam bentuk IUP
tanpa melalui lelang paling lambat 3
(tiga) bulan setelah berlakunya
Peraturan Pemerintah ini.
6. Kuasa pertambangan, kontrak karya,
dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara yang
memiliki unit pengolahan tetap dapat
menerima komoditas tambang dari
Kuasa pertambangan, kontrak karya
dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara, pemegang
IUP, dan IPR.
7. Pemegang kuasa pertambangan yang
memiliki lebih dari 1 (satu) kuasa
pertambangan dan/atau lebih dari 1
(satu) komoditas tambang sebelum
diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tetap berlaku
sampai jangka waktu berakhir dan
dapat diperpanjang menjadi IUP
sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini.
8. Pemegang kuasa pertambangan,
kontrak karya, dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan batubara
pada tahap operasi produksi yang
memiliki perjanjian jangka panjang
untuk ekspor yang masih berlaku
dapat menambah jumlah
produksinya guna memenuhi
ketentuan pasokan dalam negeri
setelah mendapat persetujuan
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya sepanjang
memenuhi ketentuan aspek
lingkungan dan konservasi sumber
daya batubara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 Tahun 2010 Tentang
Pembinaan dan Pengawasan
Pasal 2 (1) Menteri melakukan pembinaan
terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh pemerintah
provinsi dan pemerintah
kabupaten/kota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya melakukan
pembinaan atas pelaksanaan
kegiatan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh
pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Pasal 3 Pembinaan terhadap penyelenggaraan
pengelolaan usaha pertambangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat (1) terdiri atas:
a. pemberian pedoman dan standar
pelaksanaan pengelolaan usaha
pertambangan;
b. pemberian bimbingan, supervisi, dan
konsultasi;
c. pendidikan dan pelatihan; dan
d. perencanaan, penelitian,
pengembangan, pemantauan, dan
evaluasi pelaksanaan
penyelenggaraan usaha pertambangan
di bidang mineral dan batubara.
Pasal 12 (1) Pembinaan atas pelaksanaan kegiatan
usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)
dilakukan paling sedikit terhadap:
a. pengadministrasian
pertambangan;
b. teknis operasional
pertambangan; dan
c. penerapan standar kompetensi
tenaga kerja pertambangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai
pembinaan atas pelaksanaan kegiatan
usaha pertambangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 13 (1) Menteri melakukan pengawasan Menteri
terhadap penyelenggaraan merupakan
pengelolaan usaha pertambangan Lembaga
yang dilaksanakan oleh pemerintah pemerintah
provinsi dan pemerintah yang
kabupaten/kota sesuai dengan menjalankan
kewenangannya. fungsi
(2) Menteri, gubernur, atau pembinaan
bupati/walikota sesuai dengan dan
kewenangannya melakukan pengawasan
pengawasan atas pelaksanaan terhadap
kegiatan usaha pertambangan perusahaan
yang dilakukan oleh pemegang tambang di
IUP, IPR, atau IUPK. Indonesia.
Pasal 16 Pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13 ayat (2) dilakukan
terhadap:
a. teknis pertambangan;
b. pemasaran;
c. keuangan;
d. pengelolaan data mineral dan
batubara;
e. konservasi sumber daya mineral dan
batubara;
f. keselamatan dan kesehatan kerja
pertambangan;
g. keselamatan operasi pertambangan;
h. pengelolaan lingkungan hidup,
reklamasi, dan pascatambang;
i. pemanfaatan barang, jasa, teknologi,
dan kemampuan rekayasa serta
rancang bangun dalam negeri;
j. pengembangan tenaga kerja teknis
pertambangan;
k. pengembangan dan pemberdayaan
masyarakat setempat;
l. penguasaan, pengembangan, dan
penerapan teknologi pertambangan;
m. kegiatan lain di bidang kegiatan usaha
pertambangan, yang menyangkut
kepentingan umum;
n. pelaksanaan kegiatan sesuai dengan
IUP, IPR, atau IUPK; dan
o. jumlah, jenis, dan mutu hasil usaha
pertambangan.
Pasal 33 (1) Pengawasan pelaksanaan kegiatan
sesuai dengan IUP, IPR, atau
IUPK sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 huruf n paling
sedikit meliputi:
a. Luas wilayah;
b. lokasi penambangan;
c. lokasi pengolahan dan
pemurnian;
d. jangka waktu tahap kegiatan;
e. penyelesaian masalah pertahanan;
f. penyelesaian perselisihan; dan
g. penguasaan, pengembangan, dan
penerapan teknologi
pertambangan mineral atau
batubara.
(2) Pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri, gubernur, atau bupati/
walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 36 (1) Pengawasan oleh Inspektur Tambang
dilakukan melalui:
a. evaluasi terhadap laporan berkala
dan/atau sewaktu-waktu;
b. pemeriksaan berkala atau sewaktu-
waktu; dan
c. penilaian atas keberhasilan
pelaksanaan program dan kegiatan.
(2) Dalam pengawasan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), Inspektur Tambang
melakukan kegiatan inspeksi,
penyelidikan, dan pengujian.
(3) Dalam melakukan inspeksi,
penyelidikan, dan pengujian
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Inspektur Tambang
berwenang:
a. memasuki tempat kegiatan usaha
pertambangan setiap saat;
b. menghentikan sementara waktu
sebagian atau seluruh kegiatan
pertambangan mineral dan
batubara apabila kegiatan
pertambangan dinilai dapat
membahayakan keselamatan
pekerja/buruh tambang,
keselamatan umum, atau
menimbulkan pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan;
dan
c. mengusulkan penghentian
sementara sebagaimana
dimaksud pada huruf b menjadi
penghentian secara tetap kegiatan
pertambangan mineral dan
batubara kepada Kepala
Inspektur Tambang.
4. Peraturan Pemerintah nomor 78 Tahun 2010 Tentang Reklamasi dan Pascatambang
Pasal 2 1. Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK (1) & (3)
Eksplorasi wajib melaksanakan Kewajiban
reklamasi. reklamasi
2. Pemegang IUP Operasi Produksi dan pemegang izin
IUPK Operasi Produksi wajib eksplorasi.
melaksanakan reklamasi dan (2) & (4)
pascatambang. Kewajiban
3. Reklamasi sebagaimana dimaksud reklamasi
pada ayat 1 dilakukan terhadap lahan pemegang izin
terganggu pada kegiatan kegiatan produksi.
eksplorasi. Mengenai
4. Reklamasi dan pascatambang lebih rincinya
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 sudah cukup
dilakukan terhadap lahan terganggu jelas pada
pada kegiatan pertambangan dengan ayat-ayat yang
sistem dan metode : bersangkutan.
a. Penambangan terbuka; dan
b. Penambangan bawah tanah.
Pasal 5 1. Pemegang IUP Eksplorasi dan IUPK Kewajiban
Eksplorasi sebelu melakukan kegiatan menyusun
eksplorasi wajib menyusun rencana rencana
reklamasi berdasarkan dokumen reklamasi
lingkungan hidup sesuai dengan pemegang izin
ketentuan peraturan perundang- eksplorasi.
undangan di bidang perlindungan dan Mengenai
pengelolaan lingkungan hidup. lebih rincinya
2. Rencana reklamasi sebagaimana sudah cukup
dimaksud pada ayat 1 dimuat dalam jelas pada
rencana kerja dan anggaran biaya ayat-ayat yang
eksplorasi. bersangkutan.

Pasal 7 1. Rencana reklamasi sebagaimana Kewajiban


dimaksud dalam Pasal 6 disusun menyusun
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. rencana
2. Dalam rencana reklamasi reklamasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 pemegang izin
dimuat rencana reklamasi untuk eksplorasi.
masing-masing tahun. Mengenai
3. Dalam hal umur tambang urang dari 5 lebih rincinya
(lima) tahun, rencana reklamasi sudah cukup
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 jelas pada
disusun sesuai dengan umur tambang. ayat-ayat yang
4. Rencana reklamasi sebagaimana bersangkutan.
dimaksud pada ayat 1, ayat 2,dan ayat
3 paling sedikit memuat:
a. tata guna lahan sebelum dan
sesudah ditambang;
b. rencana pembukaan lahan;
c. program reklamasi terhadap lahan
terganggu yang meliputi lahan
bekas tambang dan lahan di luar
bekas tambang yang bersifat
sementara dan/atau permanen;
d. kriteria keberhasilan meliputi
standar keberhasilan penataan
lahan, revegetasi, pekerjaan sipil,
dan penyelesaian akhir; dan
e. rencana biaya reklamasi terdiri
atas biaya langsung dan biaya
tidak langsung.
5. Lahan di luar bekas tambang
sebagaimana dimaksud pada ayat 4
huruf c meliputi:
a. Tempat penimbunan tanah
penutup;
b. Tempat penimbunan sementara
dan tempat penimbunan bahan
tambang;
c. Jalan;
d. Pabrik/instalasi pengolahan dan
pemurnian;
e. Bangunan/instalasi sarana
penunjang;
f. Kantor dan perumahan;
g. Pelabuhan khusus; dan/atau
h. Lahan penimbunan dan/atau
pengendapan tailing.
Pasal 10 Rencana pascatambang sebagaimana Komponen
dimaksud dalam Pasal 6 memuat : rencana
a. Profil wilayah, meliputi lokasi dan pascatambang.
aksesibilitas wilayah, kepemilikan Mengenai
dan peruntukan lahan, rona lebih rincinya
lingkungan awal, dan kegiatan usaha sudah cukup
lain di sekitar tambang; jelas pada
b. Deskripsi kegiatan pertambangan, ayat-ayat yang
meliputi keadaan cadangan awal, bersangkutan.
sistem dan metode penambangan,
pengolahan dan pemurnian, serta
fasilitas penunjang;
c. Rona lingkungan akhir lahan
pascatambang, meliputi keadaan
cadangan tersisa, peruntukan lahan,
morfologi, air permukaan dan air
tanah, serta biologi akuatik dan
teresterial;
d. Program pascatambang, meliputi:
1. Reklamasi pada lahan bekas
tambang dan lahan di luar bekas
tambang;
2. Pemeliharaan hasil reklamasi;
3. Pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat; dan
4. Pemantauan.
e. Organisasi termasuk jadwal
pelaksanaan pascatambang;
f. Kriteria keberhasilan pascatambang;
dan
g. Rencana biaya pascatambang
meliputi biaya langsung dan biaya
tidak langsung.
Pasal 30 1. Jaminan reklamasi tahap eksplorasi (1) Jaminan
sebagaimana dimaksud dalarn Pasal reklamasi
29 ayat 2 huruf a ditetapkan sesuai disesuaikan
dengan rencana reklamasi yang dengan
disusun berdasarkan dokumen rencana
lingkungan hidup dan dimuat dalam reklamasi oleh
rencana kerja dan anggaran biaya pemegang izin
eksplorasi. eksplorasi
2. Jaminan reklamasi sebagaimana (2) Bentuk
dimaksud pada ayat 1 ditempatkan dan
pada bank pemerintah dalam bentuk penempatan
deposito berjangka. jaminan
3. Penempatan jaminan reklamasi (3)
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 Persetujuan
dilakukan dalam jangka waktu paling pihak
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender berwenang
sejak rencana kerja dan anggaran terkait
biaya tahap eksplorasi disetujui oleh penempatan
Menteri, gubernur, atau jaminan
bupati/walikota sesuai dengan Mengenai
kewenangannya. lebih rincinya
sudah cukup
jelas pada
ayat-ayat yang
bersangkutan.
Pasal 37 1. Jaminan pascatambang sebagaimana (1) Jaminan
dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 pascatambang
huruf b ditetapkan sesuai dengan disesuaikan
rencana pascatambang. dengan
2. Jaminan pascatambang sebagaimana rencana
dimaksud pada ayat 1 ditempatkan pascatambang
setiap tahun dalam bentuk deposito (2) Bentuk
berjangka pada bank pemerintah. dan
3. Penempatan jaminan pascatambang penempatan
sebagaimana dimaksud pada ayat 2 jaminan
dilakukan dalam jangka waktu paling (3)
lambat 30 (tiga puluh) hari kalender Persetujuan
sejak rencana pascatambang disetujui pihak
oleh Menteri, gubernur, atau berwenang
bupati/walikota sesuai dengan terkait
kewenangannya. penempatan
jaminan
Mengenai
lebih rincinya
sudah cukup
jelas pada
ayat-ayat yang
bersangkutan.
Pasal 47 1. Pemegang IUP dan IUPK wajib (1) Pemegang
menyerahkan lahan yang telah izin wajib
direklamasi kepada pihak yang menyerahkan
berhak sesuai dengan peraturan lahan yang
perundang-undangan melalui telah
Menteri, gubernur, atau direklamasi
bupati/walikota sesuai dengan (2) Kewajiban
kewenangannya. mengajukan
2. Pemegang IUP dan IUPK dapat penundaan
mengajukan permohonan penundaan penyerahan
penyerahan lahan sebagaimana jika masih
dimaksud pada ayat 2 baik sebagian diperlukan
atau seluruhnya kepada Menteri, untuk
gubernur, atau bupati/walikota sesuai pertambangan
dengan kewenangannya apabila lahan
yang telah direklamasi masih
diperlukan untuk pertambangan.

Peraturan Pemerintah diatas terdapat perubahan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah di bawah ini :

No. Pasal Bunyi Ayat Pembahasan Keterangan


5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2012 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111),
diubah sebagai berikut:
1. Diantara ayat (3) dan ayat (4) Pasal 6 disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat (3a) dan ayat
(3b), sehingga Pasal 6 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6 (1) IUP diberikan oleh Menteri,
gubernur, atau
bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya
berdasarkan permohonan
yang diajukan oleh:
a. badan usaha;
b. koperasi; dan
c. perseorangan.
(2) Badan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a
dapat berupa badan usaha
swasta, BUMN, atau BUMD.
(3) Perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf c
dapat berupa orang
perseorangan, perusahaan
firma, atau perusahaan
komanditer.
(3a) Badan usaha swasta sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. badan usaha swasta dalam
rangka penanaman modal dalam
negeri;
b. badan usaha swasta dalam
rangka penanaman modal asing.
(3b) IUP yang diajukan oleh
badan usaha swasta dalam rangka
penanaman modal asing sebagaimana
dimaksud pada ayat (3a) huruf b hanya
dapat diberikan oleh Menteri.
a. IUP sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan setelah
mendapatkan WIUP.
b. Dalam 1 (satu) WIUP dapat
diberikan 1 (satu) atau beberapa
IUP.
2. Diantara Pasal 7 dan Pasal 8 disisipkan 2 (dua) Pasal yakni Pasal 7A dan Pasal 7B,
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7A (1) Pemegang IUP dan IUPK tidak
boleh memindahkan IUP dan
IUPK-nya kepada pihak lain.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi badan usaha
yang 51% (lima puluh satu persen)
atau lebih sahamnya tidak dimiliki
oleh pemegang IUP atau IUPK.
Pasal 7B (1) IUP atau IUPK yang dimiliki oleh
BUMN sebagian WIUP atau
WIUPK Operasi Produksinya
dapat dialihkan kepada pihak lain.
(2) Pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi badan usaha
yang 51% (lima puluh satu persen)
atau lebih sahamnya dimiliki oleh
BUMN pemegang IUP atau IUPK.
(3) Pengalihan sebagian WIUP atau
WIUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud ayat (1)
dilakukan dengan persetujuan
Menteri.
3. Ketentuan ayat (3) Pasal 9 diubah, sehingga Pasal 9 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 9 (1) Dalam 1 (satu) WUP dapat terdiri
atas 1 (satu) atau beberapa WIUP.
(2) Setiap pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
hanya dapat diberikan 1 (satu)
WIUP.
(3) Setiap pemohon sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
dapat diberikan lebih dari 1 (satu)
WIUP dalam hal:
a. a. badan usaha yang
mengajukan permohonan
merupakan badan usaha yang
terbuka (go public); atau
b. b. untuk WIUP mineral bukan
logam dan/atau WIUP batuan.
4. Ketentuan Pasal 74 ditambah 2 (dua) ayat, yakni ayat (4) dan ayat (5) serta ditambah
Penjelasan ayat (4) dan ayat (5), sehingga Pasal 74 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 74 (1) Pemegang IUP sewaktu-waktu
dapat mengajukan permohonan
kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya untuk
menciutkan sebagian atau
mengembalikan seluruh WIUP.
(2) Pemegang IUPK sewaktu-waktu
dapat mengajukan permohonan
kepada Menteri untuk
menciutkan sebagian atau
mengembalikan seluruh WIUPK.
(3) Pemegang IUP atau IUPK dalam
melaksanakan penciutan atau
pengembalian WIUP atau
WIUPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus
menyerahkan:
a. laporan, data dan informasi
penciutan atau pengembalian
yang berisikan semua
penemuan teknis dan geologis
yang diperoleh pada wilayah
yang akan diciutkan dan alasan
penciutan atau pengembalian
serta data lapangan hasil
kegiatan;
b.peta wilayah penciutan atau
pengembalian beserta
koordinatnya;
c. bukti pembayaran kewajiban
keuangan;
d.laporan kegiatan sesuai status
tahapan terakhir; dan
e. laporan pelaksanaan reklamasi
pada wilayah yang diciutkan atau
dilepaskan.
(4) IUP dan IUPK yang telah
berakhir termasuk WIUP dan
WIUPK yang diciutkan,
wilayahnya dikembalikan kepada
Menteri.
(5) Wilayah sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) ditetapkan menjadi
wilayah pencadangan negara oleh
Menteri sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
5. Penjelasan Pasal 76 ayat (1) huruf b diubah sehingga berbunyi menjadi sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Pasal 76.
6. Ketentuan Pasal 97 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (11) diubah serta diantara ayat
(1) dan ayat (2) disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat (1a) dan Penjelasan ayat (1) dihapus
sehingga Pasal 97 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 97 (1) Pemegang IUP dan IUPK dalam
rangka penanaman modal asing,
setelah 5 (lima) tahun sejak
berproduksi wajib melakukan
divestasi sahamnya secara bertahap,
sehingga pada tahun kesepuluh
sahamnya paling sedikit 51% (lima
puluh satu persen) dimiliki peserta
Indonesia.
(1a) Kepemilikan peserta
Indonesia sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), dalam setiap tahun
setelah akhir tahun kelima sejak
produksi tidak boleh kurang dari
presentase sebagai berikut:
a. tahun keenam 20% (dua
puluh persen);
b. tahun ketujuh 30% (tiga
puluh persen);
c. tahun kedelapan 37% (tiga
puluh tujuh persen);
d. tahun kesembilan 44% (empat
puluh empat persen);
e. tahun kesepuluh 51% (lima
puluh satu persen), dari
jumlah seluruh saham.
(2) Divestasi saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
kepada peserta Indonesia yang
terdiri atas Pemerintah,
pemerintah daerah provinsi, atau
pemerintah daerah
kabupaten/kota, BUMN, BUMD,
atau badan usaha swasta nasional.
(3) Dalam hal Pemerintah tidak
bersedia membeli saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), ditawarkan kepada
pemerintah daerah provinsi
atau pemerintah daerah
kabupaten/kota.
(4) Apabila pemerintah daerah
provinsi atau pemerintah
daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) tidak bersedia
membeli saham, ditawarkan
kepada BUMN dan BUMD
dilaksanakan dengan cara
lelang.
(5) Apabila BUMN dan BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) tidak bersedia membeli
saham, ditawarkan kepada badan
usaha swasta nasional
dilaksanakan dengan cara lelang.
(6) Penawaran saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat
90 (sembilan puluh) hari kalender
sejak 5 (lima) tahun
dikeluarkannya izin Operasi
Produksi tahap penambangan.
(7) Pemerintah, pemerintah daerah
provinsi, pemerintah daerah
kabupaten/kota, BUMN, dan
BUMD harus menyatakan
minatnya dalam jangka waktu
paling lambat 60 (enam puluh)
hari kalender setelah tanggal
penawaran.
(8) Dalam hal Pemerintah dan
pemerintah daerah provinsi atau
pemerintah daerah
kabupaten/kota, BUMN, dan
BUMD tidak berminat untuk
membeli divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (7), saham ditawarkan
kepada badan usaha swasta
nasional dalam jangka waktu
paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kalender.
(9) Badan usaha swasta nasional
harus menyatakan minatnya
dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah tanggal
penawaran.
(10) Pembayaran dan penyerahan
saham yang dibeli oleh peserta
Indonesia dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari kalender
setelah tanggal pernyataan minat
atau penetapan pemenang lelang.
(11) Apabila divestasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1a) tidak
tercapai, penawaran saham
dilakukan pada tahun berikutnya.
7. Ketentuan Pasal 98 diubah, sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 98 Dalam hal terjadi peningkatan jumlah
modal perseroan, peserta Indonesia
sahamnya tidak boleh terdilusi menjadi
lebih kecil dari jumlah saham sesuai
kewajiban divestasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1a).
8. Diantara Pasal 112 dan Pasal 113 disisipkan 2 (dua) Pasal yakni Pasal 112A dan
Pasal 112B, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112A Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku sisa wilayah kontrak
karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara yang tidak diakomodir
dalam IUP perpanjangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
112 angka 2, diusulkan untuk
ditetapkan menjadi wilayah
pencadangan negara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Pasal 112B (1) Perpanjangan Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara menjadi
IUP sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 angka 2 diberikan oleh
Menteri.
(2) Untuk memperoleh IUP
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pemegang Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara harus
mengajukan permohonan kepada
Menteri paling cepat dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun dan paling
lambat dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sebelum Kontrak
Karya atau Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan
Batubara berakhir.
(3) Permohonan IUP sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) paling
sedikit harus memenuhi
persyaratan administratif, teknis,
lingkungan dan finansial.
(4) Persyaratan administratif
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) meliputi:
a. surat permohonan;
b. susunan direksi dan daftar
pemegang saham; dan
c. surat keterangan domisili.
(5) Persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. peta dan batas koordinat
wilayah;
b. laporan akhir kegiatan operasi
produksi;
c. laporan pelaksanaan
pengelolaan lingkungan;
d. rencana kerja dan anggaran
biaya;
e. neraca sumber daya dan
cadangan;
f. rencana reklamasi dan
pascatambang;
g. rencana pembangunan sarana
dan prasarana penunjang
kegiatan operasi produksi;
h. tersedianya tenaga ahli
pertambangan dan/atau geologi
yang berpengalaman paling
sedikit 3 (tiga) tahun;
(6) Persyaratan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) meliputi:
a. pernyataan kesanggupan
untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-
undangan di bidang
perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup;
b. persetujuan dokumen
lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan di bidang
perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup.
(7) Persyaratan finansial sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) meliputi:
a. laporan keuangan 3 (tiga) tahun
terakhir yang telah diaudit oleh
akuntan publik;
b. bukti pelunasan iuran tetap dan
iuran produksi 3 (tiga) tahun
terakhir.
(8) Menteri dalam memberikan
IUP wajib mempertimbangkan
potensi cadangan mineral dan
batubara dari Wilayah Kerja
tersebut dan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi
kepentingan Negara.
(9) Menteri dapat menolak
permohonan IUP, apabila
berdasarkan hasil evaluasi,
pemegang Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara tidak
menunjukkan kinerja
pengusahaan pertambangan yang
baik.
(10) Penolakan sebagaimana
dimaksud pada ayat (9) harus
disampaikan kepada
Pemegang Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara yang
mengajukan permohonan IUP,
paling lambat sebelum
berakhirnya Kontrak Karya
dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan
Batubara.
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan, Mineral dan Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5282), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan Pasal 112 diubah sehingga Pasal 112 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112 Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku:
(4) Kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara yang
ditandatangani sebelum
diundangkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara
dinyatakan tetap berlaku
sampai jangka waktunya
berakhir.
(5) Kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan Pertambangan
batubara sebagaimana dimaksud
pada angka 1 yang belum
memperoleh perpanjangan
pertama dan/atau kedua dapat
diperpanjang menjadi IUP
perpanjangan tanpa melalui lelang
setelah berakhirnya kontrak karya
dan perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara dan
kegiatan usahanya dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, kecuali
mengenai penerimaan negara yang
lebih menguntungkan,
(6) Kontrak karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara sebagaimana dimaksud
pada angka 1 yang telah melakukan
tahap kegiatan operasi produksi
wajib melaksanakan pengutamaan
kepentingan dalam negeri sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(7) Kuasa pertambangan, surat izin
pertambangan daerah, dan surat izin
pertambangan Rakyat, yang
diberikan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan
sebelum ditetapkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara tetap diberlakukan sampai
jangka waktu berakhir serta wajib:
a. disesuaikan menjadi IUP
atau IPR sesuai dengan
ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara dalam
jangka waktu paling lambat
3 (tiga) bulan sejak
berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara dan
khusus BUMN dan BUMD,
untuk IUP Operasi Produksi
merupakan IUP Operasi
Produksi pertama;
b. menyampaikan rencana
kegiatan pada seluruh
WIUP atau WPR sampai
dengan jangka waktu
berakhirnya IUP atau IPR
kepada Menteri,
gubernur,
bupati/walikota, sesuai
dengan kewenangannya;
c. dihapus.
(8) Permohonan kuasa pertambangan
yang telah diterima Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara dan telah mendapatkan
Pencadangan Wilayah dari
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat diproses
perizinannya dalam bentuk IUP
tanpa melalui lelang paling lambat
3 (tiga) bulan sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara;
(9) Kuasa pertambangan, kontrak
karya, dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara yang memiliki unit
pengolahan tetap dapat menerima
komoditas tambang dan Kuasa
pertambangan, kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara,
pemegang IUP, dan IPR;
(10) Pemegang kuasa
pertambangan yang memiliki
lebih dari 1 (satu) kuasa
pertambangan dan/atau lebih dari
1 (satu) komoditas tambang
sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2009 tetap berlaku sampai jangka
waktu berakhir dan dapat
diperpanjang menjadi IUP sesuai
dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah;
(11) Pemegang kuasa pertambangan,
kontrak kaya, dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara pada tahap operasi
produksi yang memiliki perjanjian
jangka panjang untuk ekspor yang
masih berlaku dapat menambah
jumlah produksinya guna
memenuhi ketentuan pasokan
dalam negeri setelah mendapat
persetujuan Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya sepanjang
memenuhi ketentuan aspek
lingkungan dan konservasi sumber
daya batubara sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Di antara Pasal 112B dan Pasal 113 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 112C
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112C 1. Pemegang kontrak karya
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 170 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara wajib melakukan
pemurnian hasil penambangan
di dalam negeri.
2. Pemegang IUP Operasi
Produksi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112
angka 4 huruf a Peraturan
Pemerintah ini wajib
melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan
di dalam negeri.
3. Pemegang kontrak karya
sebagaimana dimaksud pada
angka 1 yang melakukan
kegiatan penambangan
mineral logam dan telah
melakukan kegiatan
pemurnian, dapat
melakukan penjualan ke luar
negeri dalam jumlah
tertentu.
4. Pemegang IUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada angka
2 yang melakukan kegiatan
penambangan mineral logam dan
telah melakukan kegiatan
pengolahan, dapat melakukan
penjualan ke luar negeri dalam
jumlah tertentu.
5. Ketentuan lebih lanjut Mengenai
pelaksanaan pengolahan dan
pemurnian serta batasan minimum
pengolahan dan pemurnian diatur
dengan Peraturan Menteri.
No. Pasal Bunyi Ayat Pembahasan Keterangan
7. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2014 Tentang Perubahan
Ketiga atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010
tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5111) sebagaimana telah dua
kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014
tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 1,
tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5489), diubah
sebagai berikut:
1. Diantara Pasal 7B dan Pasal 8
disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal
7C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 7C
Pemegang IUP dan IUPK yang
melakukan perubahan status
perusahaan dari penanaman modal
dalam negeri menjadi penanaman
modal asing, kepemilikan saham
asingnya paling banyak:
a. 75% (tujuh puluh lima persen)
untuk IUP Eksplorasi Produksi
dan IUPK Eksplorasi;
b. 49% (empat puluh Sembilan
persen) untuk IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi
Produksi yang tidak melakukan
sendiri kegiatan pengolahan
dan/atau pemurnian;
c. 60% (enam puluh persen) untuk
IUP Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi yang
melakukan sendiri kegiatan
pengolahan dan/atau pemurnian;
dan
d. 70% (tujuh puluh persen) untuk
IUP Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi yang
melakukan kegaitan
penambangan dengan
menggunakan metode
penambangan bawah tanah.
2. Ketentuan ayat (3) Pasal 32 diubah
sehingga Pasal 32 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 32
(1) Badan usaha, koperasi, atau
perseorangan yang telah
mendapatkan peta WIUP
beserta batas dan koordinat
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 31 dalam jangka waktu
paling lambat 5 (lima) hari kerja
setelah penerbitan peta WIUP
mineral bukan logam dan/atau
batuan harus menyampaikan
permohonan IUP Eksplorasi
kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib
memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 23.
(3) Apabila badan usaha, koperasi,
atau perseorangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dalam
jangka waktu 5 (lima) hari kerja
tidak menyampaikan
permohonan IUP, dianggap
mengundurkan diri dan uang
pencadangan wilayah menjadi
milik Negara.
3. Ketentuan Pasal 36 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 36
(1) Dalam hal pemegang IUP
Operasi Produksi tidak
melakukan kegiatan
pengangkutan dan penjualan,
kegiatan pengangkutan dan
penjualan dapat dilakukan oleh
pihak lain yang memiliki IUP
Operasi Produksi khusus untuk
pengangkutan dan penjualan.
(2) Dalam hal pemegang IUP
Operasi Produksi tidak
melakukan kegiatan pengolahan
dan pemurnian, kegiatan
pengolahan dan pemurnian
dapat dilakukan oleh pihak lain
yang memiliki:
a. IUP Operasi Produksi
lainnya yang memiliki
fasilitas pengolahan dan
pemurnian; atau
b. IUP Operasi Produksi
khusus untuk pengolahan
dan pemurnian.
4. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3)
Pasal 46 dihapus, sehingga Pasal 46
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 46
(1) Pemegang IUP Operasi
Produksi yang telah
memperoleh perpanjangan IUP
Operasi Produksi sebanyak 2
(dua) kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat
(6), dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum jangka waktu
masa berlakunya IUP Operasi
Produksi berakhir harus
menyampaikan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/ walikota
sesuai dengan kewenangannya
mengenai keberadaan potensi
dan cadangan mineral atau
batubara pada WIUP-nya;
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
5. Ketentuan ayat (2) dan ayat (3)
Pasal 73 dihapus, sehingga Pasal 73
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 73
(1) Pemegang IUPK Operasi
Produksi yang telah
memperoleh perpanjangan IUP
Operasi Produksi sebanyak 2
(dua) kali sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 72 ayat
(6), dalam jangka waktu 3 (tiga)
tahun sebelum jangka waktu
masa berlakunya IUPK
berakhir, wajib menyampaikan
kepada Menteri mengenai
keberadaan potensi dan
cadangan mineral logam atau
batubara pada WIUPK-nya.
(2) Dihapus.
(3) Dihapus.
6. BAB V diubah sehingga BAB V
berbunyi sebagai berikut:
BAB V
PENCIUTAN DAN
PENGEMBALIAN WILAYAH IZIN
USAHA PERTAMBANGAN DAN
WILAYAH IZIN USAHA
PERTAMBANGAN KHUSUS
7. Ketentuan ayat (4) Pasal 74 diubah,
diantara ayat (4) dan ayat (5)
disisipkan 4 (empat ) ayat yakni
ayat (4a), ayat (4b), ayat (4c), dan
ayat (4d), serta ayat (5) dihapus,
sehingga Pasal 74 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 74
(1) Pemegang IUP sewaktu-waktu
dapat mengajukan permohonan
kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya untuk
menciutkan sebagian atau
mengembalikan seluruh WIUP.
(2) Pemegang IUPK sewaktu-
waktu dapat mengajukan
permohonan kepada Menteri
untuk menciutkan sebagian atau
mengembalikan seluruh
WIUPK.
(3) Pemegang IUP atau IUPK
dalam melaksanakan penciutan
atau pengembalian WIUP atau
WIUPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) harus
menyerahkan:
a. Laoran, data dan informasi
penciutan atau
pengembalian yang
berisikan semua penemuan
teknis dan geologis yang
diperoleh pada wilayah
yang akan diciutkan ddan
alasan penciutan atau
pengembalian serta data
lapangan hasil kegiatan;
b. Peta wilayah penciutan atau
pengembalian beserta
koordinatnya;
c. Bukti pembayaran
kewajiban keuangan;
d. Laporan kegiatan sesuai
status tahapan terakhir; dan
e. Laporan pelaksanaan
reklamasi pada wilayah
yang diciutkan atau
dilepaskan.
(4) WIUPK sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) untuk:
a. Mineral logam dan batubara
dapat ditetapkan kembali
menjadi WIUP atau
WIUPK, dan/atau diusulkan
menjadi wilayah
pencadangan negara
berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
b. Mineral bukan logam dan
batuan dikembalikan kepada
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4a) WIUPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat
ditetapkan kembali menjadi
WIUPK dan/ atau diusulkan
menjadi wilayah pencadangan
negara berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan;
(4b) WIUP sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf a
ditawarkan kembali dengan
cara lelang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(3).
(4c) WIUP sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) huruf b diberikan
kembali dengan cara
mengajukan permohonan
wilayah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 ayat
(4).
(4d) WIUPK sebagaimana
dimaksud pada ayat (4a)
ditawarkan kembali dengan
cara prioritas atau lelang
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 dan Pasal 52.
(5) Dihapus.
8. Di antara Pasal 75 dan Pasal 76
disisipkan 3 (tiga) pasal, yakni
Pasal 75A, Pasal 75B, dan Pasal
75C yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 75A
(1) IUP Eksplorasi yang telah
dicabut atau yang tidak
ditingkatkan menjadi IUP
Operasi Produksi, WIUP
Eksplorasinya dikembalikan
kepada Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(2) IUPK Eksplorasi yang telah
dicabut atau yang tidak
ditingkatkan menjadi IUPK
Operasi Produksi, WIUPK
Eksplorasinya dikembalikan
kepada Menteri.
(3) WIUP Eksplorasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk:
a. mineral logam dan batubara
dapat ditetapkan kembali
menjadi WIUP Eksplorasi
atau WIUPK Eksplorasi
dan/atau diusulkan menjadi
wilayah pencadangan
negara berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan; dan
b. mineral bukan logam dan
batuan dikembalikan kepada
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) WIUPK Eksplorasi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat ditetapkan
kembali menjadi WIUPK
Eksplorasi dan/atau diusulkan
menjadi wilayah pencadangan
negara berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundangundangan.
(5) WIUP Eksplorasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf a
ditawarkan kembali dengan cara
lelang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (3).
(6) WIUP Eksplorasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) huruf b
diberikan kembali dengan cara
mengajukan permohonan
wilayah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4).
(7) WIUPK Eksplorasi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) ditawarkan kembali
dengan cara prioritas atau lelang
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 dan Pasal 52.
Pasal 75B
(1) IUP Operasi Produksi yang
habis masa berlakunya setelah
mendapatkan 2 (dua) kali
perpanjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat 46 ayat (1),
WIUP Operasi Produksinya
dikembalikan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya
setelah menyampaikan
keberadaan potensi dan
cadangan mineral atau batubara
pada WIUP-nya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46 ayat
(1).
(2) IUP Operasi Produksi yang
telah dicabut atau tidak
memperoleh perpanjangan,
WIUP Operasi Produksinya
dikembalikan kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.
(3) WIUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) untuk:
a. mineral logam dan batubara
dapat ditetapkan kembali
menjadi WIUP Operasi
Produksi atau WIUPK
Operasi Produksi, dan/atau
diusulkan menjadi wilayah
pencadangan negara
berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan; dan
b. mineral bukan logam dan
batuan dikembalikan kepada
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya.
(4) WIUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a ditawarkan
kembali dengan cara lelang
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (3).
(5) WIUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a ditawarkan
kembali dengan cara prioritas
atau lelang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 dan
Pasal 52.
(6) Dalam pelaksanaan lelang
WIUP Operasi Produksi atau
WIUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) dan ayat (5), pemegang
IUP Operasi Produksi
sebelumnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
mendapatkan hak menyamai.
(7) WIUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b diberikan
kembali dengan cara
mengajukan permohonan
wilayah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (4).
Pasal 75C
(1) IUPK Operasi Produksi yang
habis masa berlakunya setelah
mendapatkan 2 (dua) kali
perpanjangan, WIUPK Operasi
Produksinya dikembalikan
kepada Menteri setelah
menyampaikan keberadaan
potensi dan cadangan mineral
atau batubara pada WIUPK-nya
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73 ayat (1).
(2) IUPK Operasi Produksi yang
telah dicabut atau tidak
memperoleh perpanjangan,
WIUPK Operasi Produksinya
dikembalikan kepada Menteri.
(3) WIUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dapat
ditetapkan kembali menjadi
WIUPK Operasi Produksi
dan/atau diusulkan menjadi
wilayah pencadangan negara
berdasarkan evaluasi Menteri
sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) WIUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditawarkan kembali
dengan cara prioritas atau lelang
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 51 dan Pasal 52.
(5) Dalam pelaksanaan lelang
WIUPK Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), pemegang IUPK
Operasi Produksi sebelumnya
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mendapatkan hak
menyamai.
9. Penjelasan Pasal 94 ayat (1) diubah
sehingga berbunyi sebagaimana
tercantum dalam penjelasan Pasal
94 ayat (1).
10. Ketentuan ayat (2) Pasal 95 diubah
sehingga Pasal 95 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 95
(1) Komoditas tambang yang dapat
ditingkatkan nilai tambahnya
terdiri atas pertambangan:
a. mineral logam;
b. mineral bukan logam;
c. batuan; atau
d. batubara.
(2) Peningkatan nilai tambah
mineral logam sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a
dilaksanakan melalui kegiatan:
a. pengolahan mineral logam;
dan
b. pemurnian mineral logam.
(3) Peningkatan nilai tambah
mineral bukan logam
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf b dilaksanakan
melalui kegiatan pengolahan
mineral bukan logam.
(4) Peningkatan nilai tambah
batuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c
dilaksanakan melalui kegiatan
pengolahan batuan.
(5) Peningkatan nilai tambah
batubara sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf d
dilaksanakan melalui kegiatan
pengolahan batubara.
11. Ketentuan ayat (1), ayat (la), ayat
(2), ayat (6), ayat (7), ayat (8), dan
ayat (11) Pasal 97 diubah, diantara
ayat (la) dan ayat (2) disisipkan 4
(empat) ayat yakni ayat (1 b), ayat
(lc), ayat (1d), dan ayat (le),
diantara ayat (2) dan ayat (3)
disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(2a), ketentuan ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) dihapus, diantara ayat
(7) dan ayat (8) disisipkan 2 (dua)
ayat yakni ayat (7a) dan ayat (7b),
diantara ayat (8) dan ayat (9)
disisipkan 2 (dua) ayat yakni ayat
(8a) dan ayat (8b),dan diantara ayat
(10) dan ayat (11) disisipkan 1
(satu) ayat yakni ayat (10a),
sehingga Pasal 97 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 97
(1) Pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi
Produksi dalam rangka
penanaman modal asing, setelah
5 (lima) tahun sejak berproduksi
wajib melakukan divestasi
saham secara bertahap.
(1a) Kewajiban divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi yang tidak
melakukan sendiri kegiatan
pengolahan dan/atau pemurnian,
setelah akhir tahun kelima sejak
berproduksi paling sedikit
sebagai berikut:
a. tahun keenam 20% (dua
puluh persen);
b. tahun ketujuh 30% (tiga
puluh persen);
c. tahun kedelapan 37% (tiga
puluh tujuh persen);
d. tahun kesembilan 44%
(empat puluh empat persen);
dan
e. tahun kesepuluh 51% (lima
puluh satu persen), dari
jumlah seluruh saham.
(1b) Kewajiban divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi yang
melakukan sendiri kegiatan
pengolahan dan/atau pemurnian,
setelah akhir tahun kelima sejak
berproduksi paling sedikit
sebagai berikut:
a. tahun keenam 20% (dua
puluh persen);
b. tahun kesepuluh 30% (tiga
puluh persen); dan
c. tahun kelimabelas 40%
(empat puluh persen), dari
jumlah seluruh saham.
(1c) Kewajiban divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi yang
melakukan kegiatan
penambangan de ngan
menggunakan metode
penambangan bawah tanah,
setelah akhir tahun kelima sejak
berproduksi paling sedikit
sebagai berikut:
a. tahun keenam 20% (dua
puluh persen);
b. tahun kesepuluh 25% (dua
puluh lima persen); dan
c. tahun kelimabelas 30% (tiga
puluh persen); dari jumlah
seluruh saham.
(1d) Kewajiban divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) bagi pemegang IUP
Operasi Produksi dan IUPK
Operasi Produksi yang
melakukan kegiatan
penambangan dengan
menggunakan metode
penambangan bawah tanah dan
penambangan terbuka, setelah
akhir tahun kelima sejak
berproduksi paling sedikit
sebagai berikut:
a. tahun keenam 20% (dua
puluh persen);
b. tahun kedelapan 25% (dua
puluh lima persen); dan
c. tahun kesepuluh 30% (tiga
puluh persen); dari jumlah
seluruh saham.
(1e) Pemegang IUP Operasi
Produksi khusus untuk
pengolahan dan/atau pemurnian
dalam rangka penanaman modal
asing tidak wajib melaksanakan
divestasi saham.
(2) Pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi
Produksi wajib melakukan
penawaran divestasi saham
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (I a), dan ayat (lb)
kepada peserta Indonesia secara
berjenjang kepada:
a. Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota setempat;
b. BUMN dan BUMD; dan
c. badan usaha swasta
nasional.
(2a) Pemegang IUP Operasi
Produksi dan IUPK Operasi
Produksi yang sahamnya telah
terdaftar di bursa efek di
Indonesia diakui sebagai
peserta Indonesia paling
banyak 20% (dua puluh
persen) dari jumlah seluruh
saham.
(3) Dihapus.
(4) Dihapus.
(5) Dihapus.
(6) Penawaran divestasi saham
kepada Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota setempat
dilakukan dalam jangka waktu
paling lambat 90 (sembilan
puluh) hari kalender setelah 5
(lima) tahun sejak berproduksi.
(7) Pemerintah, pemerintah
provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota, harus
menyatakan minatnya dalam
jangka waktu paling lambat 60
(enam puluh) hari kalender
setelah tanggal penawaran.
(7a) Dalam hal Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota
menyatakan berminat terhadap
penawaran divestasi saham,
maka Pemerintah diberikan
prioritas untuk membeli
divestasi saham.
(7b) Dalam hal Pemerintah tidak
berminat terhadap penawaran
divestasi saham atau tidak ada
jawaban dari Pemerintah dalam
jangka waktu 60 (enam puluh)
hari kalender sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), dan
apabila pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota
menyatakan minatnya, maka
Menteri mengkoordinasikan
penetapan komposisi divestasi
yang akan dibeli oleh
pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota.
(8) Dalam hal Pemerintah,
pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota
tidak berminat untuk membeli
divestasi saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (7), saham
ditawarkan kepada BUMN dan
BUMD dengan cara lelang.
(8a) BUMN dan BUMD harus
menyatakan minatnya dalam
jangka waktu paling lambat 60
(enam puluh) hari kalender
setelah tanggal penawaran.
(8b) Dalam hal BUMN dan BUMD
tidak berminat untuk membeli
divestasi saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (8a), saham
ditawarkan kepada badan usaha
swasta nasional dengan cara
lelang.
(9) Badan usaha swasta nasional
harus menyatakan minatnya
dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari
kalender setelah tanggal
penawaran.
(10) Pembayaran dan penyerahan
saham yang dibeli oleh peserta
Indonesia dilaksanakan dalam
jangka waktu paling lambat 90
(sembilan puluh) hari kalender
setelah tanggal pernyataan
minat atau penetapan pemenang
lelang.
(10a) Dalam hal peserta Indonesia
setelah jangka waktu 90
(sembilan puluh) hari kalender
sebagaimana dimaksud pada
ayat (10) tidak melakukan
pembayaran maka pernyataan
minat atau penetapan pemenang
lelang terhadap penawaran
divestasi saham dinyatakan
gugur dan penawaran divestasi
saham diberikan kesempatan
kepada Peserta Indonesia
lainnya sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).
(11) Apabila divestasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1a), ayat (
1 b), ayat (1c), dan ayat (1d)
tidak tercapai, penawaran
saham dilakukan pada tahun
berikutnya.
12. Ketentuan Pasal 98 diubah,
sehingga Pasal 98 berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 98
Dalam hal terjadi peningkatan jumlah
modal perseroan yang mengakibatkan
saham peserta Indonesia terdilusi,
pemegang IUP Operasi Produksi dan
IUPK Operasi Produksi wajib
menawarkan saham kepada peserta
Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (2) sesuai dengan
kewajiban divestasi saham
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (la), ayat (lb), ayat (lc), dan ayat
(1d).
13. Ketentuan angka 2 Pasal 112
diubah, diantara angka 1 dan angka
2 disisipkan 1 (satu) angka yakni
angka la, diantara angka 2 dan
angka 3 disisipkan 1 (satu) angka
yakni angka 2a, serta angka 7 dan
angka 8 dihapus, sehingga Pasal
112 berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112
Pada saat Peraturan Pemerintah ini
mulai berlaku:
1. Kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara yang
ditandatangani sebelum
diundangkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara
dinyatakan tetap berlaku sampai
jangka waktunya berakhir.
1a. Pemegang Kontrak Karya dan
Perjanjian Karya Pengusahaan
pertambangan Batubara
sebagaimana dimaksud pada
angka 1 dapat memiliki luas
wilayah kontrak/perjanjian
sesuai dengan rencana kegiatan
pada wilayah kontrak/perjanjian
yang telah disetujui Menteri
sampai dengan jangka waktu
berakhirnya kontrak/ perjanjian
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 171 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara, yang terdiri atas:
a. wilayah potensi dan
cadangan/penambangan; dan
b. wilayah di luar
penambangan untuk
menunjang usaha kegiatan
pertambangan
2. Kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara
sebagaimana dimaksud pada
angka 1:
a. yang belum memperoleh
perpanjangan dapat
diperpanjang menjadi IUPK
Operasi Produksi
perpanjangan pertama
sebagai kelanjutan operasi
tanpa melalui lelang setelah
berakhirnya kontrak karya
atau perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-
undangandi bidang
pertambangan mineral dan
batubara kecuali mengenai
penerimaan negara yang
lebih menguntungkan; dan
b. yang telah memperoleh
perpanjangan pertama dapat
diperpanjang menjadi IUPK
Operasi Produksi
perpanjangan kedua sebagai
kelanjutan operasi tanpa
melalui lelang setelah
berakhirnya perpanjangan
pertama kontrak karya atau
perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara dan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan
Peraturan Perundang-
undangan di bidang
pertambangan mineral dan
batubara kecuali mengenai
penerimaan negara yang
lebih menguntungkan.
3. Kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara
sebagaimana dimaksud pada
angka 1 yang telah melakukan
tahap kegiatan operasi produksi
wajib melaksanakan
pengutamaan kepentingan
dalam negeri sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-
undangan.
4. Kuasa pertambangan, surat izin
pertambangan daerah, dan surat
izin pertambangan rakyat, yang
diberikan berdasarkan ketentuan
peraturan perundangundangan
sebelum ditetapkannya
Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan
Batubara tetap diberlakukan
sampai jangka waktu berakhir
serta wajib:
a. disesuaikan menjadi IUP
atau IPR sesuai dengan
ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara dalam
jangka waktu paling lambat
3 (tiga) bulan sejak
berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara dan
khusus BUMN dan BUMD,
untuk IUP Operasi Produksi
merupakan IUP Operasi
Produksi pertama; dan
b. menyampaikan rencana
kegiatan pada seluruh
WIUP atau WPR sampai
dengan jangka waktu
berakhirnya IUP atau IPR
kepada Menteri, gubernur,
bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya;
c. Dihapus.
5. Permohonan kuasa
pertambangan yang telah
diterima Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sebelum
terbitnya Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara dan telah
mendapatkan Pencadangan
Wilayah dari Menteri, gubernur,
atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya, dapat
diproses perizinannya dalam
bentuk IUP tanpa melalui lelang
paling lambat 3 (tiga) bulan
sejak berlakunya Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
6. Kuasa pertambangan, kontrak
karya, dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara yang memiliki unit
pengolahan, tetap dapat
menerima komoditas tambang
dari kuasa pertambangan,
kontrak karya, dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara,
pemegang IUP, dan IPR.
7. Dihapus
8. Dihapus
14. Ketentuan Pasal 112A diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112A
1. Wilayah kontrak/perjanjian
yang tidak mendapatkan
persetujuan Menteri
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 171 Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara dapat:
a. ditetapkan menjadi WIUPK
Operasi Produksi; dan / atau
b. diusulkan menjadi WPN,
berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Wilayah kontrak/perjanjian
sebagai wilayah potensi dan
cadangan/penambangan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 angka la huruf a yang
tidak terakomodir dalam IUPK
Operasi Produksi perpanjangan
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 angka 2a dapat:
a. ditetapkan menjadi WIUPK
Operasi Produksi; dan/atau
b. diusulkan menjadi WPN,
berdasarkan evaluasi
Menteri sesuai dengan
ketentuan peraturan
perundang-undangan.
15. Ketentuan angka 1, angka 2, angka
3, angka 8, angka 9, dan angka 10
Pasal 112B diubah, serta
ditambahkan 1 (satu) angka yakni
angka 11, sehingga Pasal 112B
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112B
1. Perpanjangan kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara menjadi
IUPK Operasi Produksi
perpanjangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 112
angka 2 diberikan oleh Menteri
setelah wilayahnya ditetapkan
menjadi WIUPK Operasi
Produksi oleh Menteri.
2. Untuk memperoleh IUPK
Operasi Produksi perpanjangan
sebagaimana dimaksud pada
angka 1, pemegang kontrak
karya dan perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara harus mengajukan
permohonan kepada Menteri
paling cepat dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun dan paling
lambat dalam jangka waktu 6
(enam) bulan sebelum kontrak
karya atau perjanjian karya
pengusahaan pertambangan
batubara berakhir.
3. Permohonan IUPK Operasi
Produksi perpanjangan
sebagaimana dimaksud pada
angka 2 paling sedikit harus
memenuhi persyaratan:
a. administratif;
b. teknis;
c. lingkungan; dan
d. finansial.
4. Persyaratan administrative
sebagaimana dimaksud pada
angka 3 huruf a meliputi :
a. Surat permohonan;
b. Susunan direksi dan daftar
pemegang saham; dan
c. Surat keterangan domisili.
5. Persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud pada angka 3 huruf b
meliputi :
a. peta dan batas koordinat
wilayah;
b. laporan akhir kegiatan
operasi produksi;
c. laporan pelaksanaan
pengelolaan lingkungan;
d. rencana kerja dan anggaran
biaya;
e. neraca sumber daya dan
cadangan;
f. rencana reklamasi dan
pascatambang;
g. rencana pembangunan
sarana dan prasarana
penunjang kegiatan operasi
produksi;
h. tersedianya tenaga ahli
pertambangan dan/atau
geologi yang berpengalaman
paling sedikit 3 (tiga) tahun;
6. Persyaratan lingkungan
sebagaimana dimaksud pada
angka 3 huruf c meliputi:
a. pernyataan kesanggupan
untuk mematuhi ketentuan
peraturan perundang-
undangan di bidang
perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup;
b. persetujuan dokumen
lingkungan hidup sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di
bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup.
7. Persyaratan finansial
sebagaimana dimaksud pada
angka 3 huruf d meliputi:
a. laporan keuangan 3 (tiga)
tahun terakhir yang telah
diaudit oleh akuntan publik;
b. bukti pelunasan iuran tetap
dan iuran produksi 3 (tiga)
tahun terakhir.
8. Menteri dalam memberikan
IUPK Operasi Produksi
perpanjangan wajib
mempertimbangkan potensi
cadangan mineral dan batubara
dari WIUPK Operasi Produksi
tersebut dan dengan
memperhatikan kepentingan
nasional.
9. Menteri dapat menolak
permohonan IUPK Operasi
Produksi perpanjangan apabila
berdasarkan hasil evaluasi,
pemegang kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara tidak
menunjukkan kinerja
pengusahaan pertambangan
yang baik.
10. Penolakan sebagaimana
dimaksud pada angka 9 harus
disampaikan kepada pemegang
kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan
pertambangan batubara yang
mengajukan permohonan IUPK
Operasi Produksi perpanjangan
paling lambat sebelum
berakhirnya kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara.
11. Pemegang kontrak karya dan
perjanjian karya pengusahaan
pertambangan batubara dalam
mengajukan permohonan untuk
memperoleh IUPK Operasi
Produksi perpanjangan dapat
mengajukan permohonan
wilayah di luar WIUPK Operasi
Produksi kepada Menteri untuk
menunjang usaha kegiatan
pertambangannya sesuai dengan
ketentuan Peraturan Pemerintah
ini.
16. Di antara ketentuan Pasal 112C dan
Pasal 113 disisipkan 2 (dua) Pasal
yakni Pasal 112D dan Pasal 112E
yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112D
Pemegang kontrak karya dan perjanjian
karya pengusahaan pertambangan
batubara:
1. yang telah berproduksi kurang
dari 5 (lima) tahun sebelum
diundangkan Peraturan
Pemerintah ini wajib mengikuti
ketentuan divestasi saham
sesuai dengan ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah ini; dan
2. yang telah berproduksi
sekurang-kurangnya 5 (lima)
tahun sebelum diundangkan
Peraturan Pemerintah ini wajib
melaksanakan ketentuan
divestasi saham:
a. sebesar 20% (dua puluh
persen) paling lambat 1
(satu) tahun sejak Peraturan
Pemerintah ini diundangkan
; dan
b. sebesar persentase pada
tahun berjalan sesuai dengan
ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah ini paling
lambat 5 (lima) tahun sejak
Peraturan Pemerintah ini
diundangkan.
Pasal 112E
Gubernur atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya wajib
menyerahkan dokumen IUP Eksplorasi,
IUP Operasi Produksi, IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengangkutan
dan penjualan, atau IUP Operasi
Produksi khusus untuk pengolahan
dan/atau pemurnian dalam rangka
penanaman modal asing yang telah
diterbitkan sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini kepada
Menteri dalam jangka waktu paling
lambat 1 (satu) tahun sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini untuk
diperbarui IUP-nya oleh Menteri
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Perubahan Keempat
Atas Peraturan Pemerintah nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
Pasal 1 Beberapa ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5111) sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014 tentang
Perubahan Ketiga atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5597), diubah sebagai berikut:
1. Ketentuan ayat (1) dan ayat (2) diubah
dan di antara ayat (1) dan ayat (2) Pasal
45 disisipkan 1 (satu) ayat yakni ayat
(1a), sehingga berbunyi sebagai
berikut:
Pasal 45
(1) Permohonan perpanjangan IUP
Operasi Produksi mineral logam,
mineral bukan logam jenis tertentu,
atau batubara diajukan kepada
Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya paling cepat dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun dan
paling lambat dalam jangka waktu
1 (satu) tahun sebelum berakhirnya
jangka waktu IUP Operasi
Produksi.
(1a)Permohonan perpanjangan IUP
Operasi Produksi mineral bukan logam
atau batuan diajukan kepada Menteri,
gubernu, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya paling cepat dalam
jangka waktu 2 (dua) tahun dan paling
lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan
sebelum berakhirnya jangka waktu IUP
Operasi Produksi.
(2) Permohonan perpanjangan IUP
Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(1a) paling sedikit harus dilengkapi
:
a. Peta dan batas koordinat
wilayah;
b. Bukti pelunasan iuran tetap
dan iuran produksi 3 (tiga)
tahun terakhir;
c. Laporan akhir kegiatan operasi
produksi;
d. Laporan pelaksanaan
pengelolaan lingkungan;
e. Neraca sumber daya dan
cadangan.
(3) Menteri, gubernur, atau
bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya dapat menolak
permohonan perpanjangan IUP
Operasi Produksi apabila
pemegang IUP Operasi Produksi
tidak menunjukkan kinerja operasi
produksi yang baik.
(4) Penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus disampaikan
kepada pemegang IUP Operasi
Produksi paling lambat sebelum
berakhirnya IUP Operasi Produksi.
(5) Pemegang IUP Operasi Produksi
hanya dapat diberikan
perpanjangan sebanyak 2 (dua)
kali.
(6) Pemegang IUP Operasi Produksi
yang telah memperoleh
perpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kali,
harus mengembalikan WIUP
Operasi Produksi kepada Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Ketentuan ayat (1) Pasal 72 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 72
(1) Permohonan perpanjangan IUPK
Operasi Produksi diajukan kepada
Menteri paling cepat dalam jangka
waktu 5 (lima) tahun dan paling
lambat dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sebelum berakhirnya
jangka waktu IUPK Operasi
Produksi.
(2) Permohonan perpanjangan IUPK
Operasi Produksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling
sedikit harus dilengkapi:
a. Peta dan batas koordinat
wilayah;
b. Bukti pelunasan iuran tetap
dan iuran produksi 3 (tiga)
tahun terakhir;
c. Laporan akhir kegiatan operasi
produksi;
d. Laporan pelaksanaan
pengelolaan lingkungan;
e. Rencana kerja dan anggaran
biaya; dan
f. Neraca sumber daya dan
cadangan.
(3) Menteri dapat menolak
permohonan perpanjangan IUPK
Operasi Produksi apabila
pemegang IUPK Operasi Produksi
tidak menunjukkan kinerja operasi
produksi yang baik.
(4) Penolakan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) harus disampaikan
kepada pemegang IUPK Operasi
Produksi paling lambat sebelum
berakhirnya IUPK Operasi
Produksi.
(5) Pemegang IUPK Operasi Produksi
hanya dapat diberikan
perpanjangan sebanyak 2 (dua)
kali.
(6) Pemegang IUP Operasi Produksi
yang telah memperoleh
perpanjangan IUP Operasi
Produksi sebanyak 2 (dua) kali,
harus mengembalikan WIUPK
Operasi Produksi kepada Menteri
berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. Ketentuan ayat (1) Pasal 85 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut :
Pasal 85
(1) Pemegang IUP Operasi Produksi
mineral atau batubara yang
menjual mineral atau batubara
yang diproduksi wajib berpedoman
pada harga patokan.
(2) Harga patokan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh:
a. Menteri untuk mineral logam
dan batubara;
b. Gubernur atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya
untuk mineral bukan logam
dan batuan.
(3) Harga patokan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditentukan
berdasarkan mekanisme pasar
dan/atau sesuai dengan harga yang
berlaku umum di pasar
internasional.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara penetapan harga patokan
mineral logam dan batubara diatur
dengan Peraturan Menteri.
4. Ketentuan Pasal 97 diubah sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 97
(1) Pemegang IUP dan IUPK dalam
rangka penanaman modal asing,
setelah 5 (lima) tahun sejak
berproduksi wajib melakukan
divestasi sahamnya secara
bertahap, sehingga pada tahun
kesepuluh sahamnya paling sedikit
51% (lima puluh satu persen)
dimiliki peserta Indonesia.
(2) Kepemilikan peserta Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), dalam setiap tahun setelah
akhir tahun kelima sejak produksi
tidak boleh kurang dari presentase
sebagai berikut:
a. Tahun keenam 20% (dua puluh
persen);
b. Tahun ketujuh 30% (tiga puluh
persen);
c. Tahun kedelapan 37% (tiga
puluh tujuh persen);
d. Tahun kesembilan 44% (empat
puluh empat persen);
e. Tahun kesepuluh 51% (lima
puluh satu persen), dari jumlah
seluruh saham.
(3) Divestasi saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
kepada peserta Indonesia yang
terdiri atas Pemerintah, pemerintah
daerah provinsi, atau pemerintah
daerah kabupaten/kota, BUMN,
BUMD, atau badan usaha swasta
nasional.
(4) Dalam hal Pemerintah tidak
bersedia membeli saham
sebagaimana dimaksud pada ayat
(3), ditawarkan kepada pemerintah
daerah provinsi atau pemerintah
daerah kabupaten/kota.
(5) Apabila pemerintah daerah
provinsi atau pemerintah daerah
kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) tidak
bersedia membeli saham,
ditawarkan kepada BUMN dan
BUMD.
(6) Apabila BUMN dan BUMD
sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) tidak bersedia membeli saham,
ditawarkan kepada badan usaha
swasta nasional.
(7) Penawaran saham sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat
90 (Sembilan puluh) hari kalender
sejak 5 (lima) tahun
dikeluarkannya izin Operasi
Produksi taham penambangan.
5. Ketentuan angka 3 dihapus dan angka
5 Pasal 112C diubah, sehingga
berbunyi sebagia berikut:
Pasal 112C
1. Pemegang kontrak karya
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 170 Undang-Undang Nomor
4 tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan
Batubara wajib melakukan
pemurnian hasil penambangan di
dalma negeri.
2. Pemegang IUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 112 angka 4 huruf a
Peraturan Pemerintah ini wajib
melakukan pengolahan dan
pemurnian hasil penambangan di
dalma negeri.
3. Dihapus.
4. Pemegang IUP Operasi Produksi
sebagaimana dimaksud pada angka
2 yang melakukan kegiatan
penambangan mineral logam dan
telah melakukan kegiatan
pengolahan, dapat melakuan
penjualan ke luar negeri dalam
jumlah tertentu.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pengolahan dan
pemurnian, Batasan minimum
pengolahan dan pemurnian serta
penjualan ke luar negeri diatur
dengan Peraturan Menteri.
6. Setelah Pasal 112E ditambahkan 1
(satu) pasal yakni Pasal 112F, sehingga
berbunyi sebagai berikut:
Pasal 112F
1. Pihak yang membangun fasilitas
pemurnian di dalam negeri wajib
memanfaatkan mineral logam
dengan kriteria tertentu.
2. Ketentuan lebih lanjut mengenai
pemanfaatan mineral logam
dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud pada angka
1 diatur dengan Peraturan Menteri.
9. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2018
Pasal I Di antara Pasal 85 dan Pasal 86
Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun
2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan
Usaha Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 29,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5111) sebagaimana
telah diubah dengan:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan
Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2012 Nomor 45, Tambahan
Lembaran negara Republik
Indonesia Nomor 5282);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2014 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5489);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 77
Tahun 2014 tentang Perubahan
ketiga Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan Mineral dan
Batubara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 263, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
5597);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 1
Tahun 2017 tentang Perubahan
Keempat Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha
Pertambangan mineral dan Batubara
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2017 Nomor 4,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 6012),
disisipkan 1 (satu) Pasal yakni Pasal
85A yang berbunyi sebagai berikut:
“Pasal 85A
Dalam rangka pemenuhan kebutuhan
batubara untuk kepentingan dalam
negeri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 84 ayat (1), Menteri menetapkan
harga jual batubara tersendiri.”

Anda mungkin juga menyukai