Pendahuluan
I. Pemeriksaan in vivo :
1. Tes kulit (skin test)
Indikasi tes kulit (skin test) digunakan untuk mendeteksi antibodi IgE spesifik
alergen inhalan, makanan, obat dan racun. Tes kulit merupakan pemeriksaan yang
paling banyak digunakan untuk mendiagnosis alergi, oleh karena merupakan tes
yang sederhana, memberikan hasil yang cepat, biaya yang rendah dan sensitivitas
yang tinggi (Tabel 1).8 Pemilihan alergen yang sesuai tergantung pada gejala
klinis.7,8
0
Tabel 1. Indikasi dan kontraindikasi tes kulit (*Dikutip sebagaimana aslinya
dari kepustakaan no.8)
Sebelum dilakukan tes kulit, pasien harus dievaluasi. Evaluasi ini bukan hanya
diperlukan untuk menetapkan kondisi pasien yang cenderung memiliki dasar
alergi tetapi juga untuk mengevaluasi pasien kemungkinan terjadi risiko dari tes
kulit.
Terdapat beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi respon tes kulit, antara
lain : 8
a. Usia pasien
b. Titer IgE spesifik
c. Lokasi / area tes kulit : Punggung atas lebih reaktif daripada lengan
d. Kualitas ekstrak : tidak ada reagen standar untuk alergen
e. Terdapat dermatographism
f. Penggunaan obat :
Antihistamin : Astemizol: 60 hari
Hydroxyzine: 3 hari
Antihistamin lainnya: 3 hari
Antidepresan trisiklik: 5 hari
g. Penggunaan berkepanjangan kortikosteroid topikal
h. Teknik uji
1
Macam tes kulit untuk mendiagnosis alergi :7
A. Skin Prick Test (SPT) : biasa dilakukan untuk menentukan alergi oleh karena
alergen inhalan, makanan atau racun gigitan serangga.
B. Intradermal Testing (IDT) : biasa dilakukan pada alergi obat dan alergi bisa
serangga
C. Patch Testing (epicutaneus test) : biasanya untuk melakukan tes pada
dermatitis kontak
Tes kulit secara luas digunakan untuk mendiagnosis alergi inhalan dan juga
alergi terhadap makanan, racun, agen pekerjaan dan obat (Tabel 2).
Tabel 2. Perbedaan indikasi tes kulit dalam mendiagnosis alergi. (*Dikutip
sebagaimana aslinya dari kepustakaan no.6)
2
jarum yang bisa digunakan. Digunakan secara simultan dengan 6 antigen dan
kontrol positif (histamin) dan kontrol negatif (glyserin).7,9
Prick test merupakan cara cepat untuk menyeleksi antigen yang banyak.
Jika pasien mempunyai riwayat yang positif dan prick test menunjukkan hasil
yang negatif, maka pemeriksa harus menggabungkan prosedur dengan
pemeriksaan tes intradermal.11
Persiapan penderita :10
a. Menghentikan pengobatan antihistamin 3 hari sebelum tes atau 5-7 hari
sebelum tes.
b. Menghentikan pengobatan lain seperti trisiklik antidepressant,
stabilizer sel mast, ranitidin, anti muntah atau beta bloker, antihistamin
topikal, krim imunomodulator dan topikal steroid minimal 7 hari
sebelum tes.
c. Usia : bayi dan usia lanjut tes kulit kurang memberikan reaksi,
walaupun sebenarnya tes ini tidak mempunyai batasan umur.
d. Penderita dengan keganasan, limfoma, sarkoidosis, diabetes neuropati
dapat terjadi penurunan reaktivitas terhadap tes kulit.
3
alergen dengan bentol positif histamin dan bentol negatif larutan kontrol.
Adapun penilaiannya sebagai berikut :12,13
• Bentol histamin dinilai sebagai +++ (+3)
• Bentol larutan kontrol dinilai negatif (-)
• Derajat bentol + (+1) dan ++(+2) digunakan bila bentol yang timbul
besarnya antara bentol histamin dan larutan kontrol.
• Untuk bentol yang ukurannya 2 kali lebih besar dari diameter bentol
histamin dinilai ++++ (+4).
Kesalahan yang sering terjadi pada Skin Prick Test 8
a. Tes dilakukan pada jarak yang sangat berdekatan ( < 2 cm )
b. Terjadi perdarahan yang memungkinkan terjadi false positive.
c. Teknik cukitan yang kurang benar sehingga penetrasi eksrak ke kulit
kurang, memungkinkan terjadinya false-negative.
d. Menguap dan memudarnya larutan alergen selama tes.
4
C.Skin Endpoint Titration (SET)
Skin endpoint titration (SET) adalah bentuk tes kulit intradermal yang
menggunakan peningkatan dosis antigen untuk menentukan konsentrasi
perubahan reaksi dari negatif ke positif. Tes ini digunakan untuk mendiagnosis
gangguan alergi, dan merupakan alternatif yang potensial untuk tes diagnostik
lainnya seperti skin prick test atau tes in vitro.3
SET juga telah digunakan untuk memandu inisiasi imunoterapi dengan
menggunakan pengenceran sebagai permulaan dosis antigen.3 Tes intradermal
atau tes intrakutan secara umum biasa digunakan ketika terdapat kenaikan
sensitivitas yang merupakan tujuan pokok dari pemeriksaan (misalnya ketika
skin prick test memberikan hasil negatif walaupun mempunyai riwayat yang
cocok terhadap paparan). Tes intradermal lebih sensitif namun kurang spesifik
dibandingkan dengan skin prick test terhadap sebagian besar alergen, tetapi
lebih baik daripada uji kulit lainnya dalam mengakses hipersensitivitas
terhadap hymenoptera (gigitan serangga) dan penisilin atau alergen dengan
potensi yang rendah.8,11
D. Patch Testing
Patch testing atau tes tempel merupakan metode yang digunakan untuk
mendeteksi zat yang memberikan alergi jika terjadi kontak langsung dengan
kulit. Metode ini sering digunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis
kontak yang merupakan reaksi alergi tipe lambat, dimana reaksi yang terjadi
baru dapat dilihat dalam 2-3 hari.17
Pemeriksaan patch test biasa dilakukan jika pemeriksaan dengan
menggunakan prick test memberikan hasil yang negatif.8
Pada pelaksanaan pemeriksaan disiapkan 25–150 material yang
dimasukkan ke dalam chamber plastik atau aluminium dan diletakkan di
belakang punggung. Sebelumnya pada punggung diberikan tanda tempat-
tempat yang akan ditempelkan bahan alergen tersebut. Setelah ditempelkan
kemudian dibiarkan selama 48 - 72 jam. Kemudian diperiksa apakah ada tanda
reaksi alergi yang dilihat dari bentol yang muncul dan warna kemerahan.16,17
Hasil yang dinilai atau didapatkan bisa berupa :7,8
Negatif (-)
5
Reaksi iritasi (IR)
Meragukan/tidak pasti (+/-)
Positif lemah (+)
Positif kuar (++)
Reaksi yang ekstrem (+++)
Reaksi iritasi terdiri dari sweat rash, pustul folikuler dan reaksi seperti
terbakar. Reaksi positif lemah berupa warna merah jambu yang sedikit
menonjol atau plak berwarna merah. Reaksi positif kuat berupa papulovesikel
dan reaksi yang lebih berat berupa kulit yang melepuh atau luka. Reaksi yang
relevan tergantung dari jenis dermatitis dan alergen yang spesifik. Interprestasi
dari hasil yang didapatkan membutuhkan pengalaman dan latihan.17,8
E. Photo-patch Test 23
Tes ini mencerminkan kontak fotosensitisasi (sensitivitas terhadap sinar
matahari) yang dicurigai bila ruam hanya muncul pada daerah-daerah yang
terkena sinar matahari.5 Reaksi dapat disebabkan oleh berbagai obat, zat yang
diaplikasikan pada kulit (obat atau kosmetik) dan bahan kimia. 4,23
Photo-patch test menggabungkan teknik patch test dan phototesting.
Indikasi utama photo-patch test adalah untuk menetapkan diagnosis dermatitis
kontak fotoalergi dan menemukan alergen penyebab (Tabel 2). Photo-patch
test juga berperan untuk membedakan fotoalergi dengan reaksi fototoksik,
meskipun hal ini tidak selalu mudah.23
Alergen yang telah distandarisasi diencerkan pada vehikulum lalu
diaplikasikan pada chamber seperti pada patch-test dalam bentuk cairan. Dua
set alergen yang sama disusun dan diaplikasikan pada daerah punggung secara
simetris, sebaiknya dihindari pada area tengah vertebra. Oklusi dipertahankan
selama 2 hari. 4
6
Tabel 2. Indikasi Photo-patch Test (*Dikutip sebagaimana aslinya dari
kepustakaan no.23)
7
3. Uji Provokasi Makanan (Oral Provocation Test)14
Alergen makanan didefinisikan sebagai komponen-komponen tertentu
dalam makanan atau bahan dalam makanan (biasanya protein, tapi kadang-
kadang hapten kimia) yang dikenal oleh sel imun spesifik dan menimbulkan
reaksi imunologik spesifik, menghasilkan gejala yang khas. Beberapa alergen
(paling sering dari buah-buahan dan sayuran) menyebabkan reaksi alergi
terutama jika dimakan saat mentah. Namun kebanyakan alergen makanan
masih dapat menyebabkan reaksi, bahkan setelah mereka dimasak atau telah
mengalami pencernaan pada lambung dan usus. Suatu fenomena yang disebut
reaktivitas silang mungkin terjadi ketika antibodi bereaksi tidak hanya dengan
alergen asli, tetapi juga dengan alergen yang mirip. Pada alergi makanan,
reaksi silang terjadi ketika alergen makanan memiliki kesamaan struktur atau
urutan dengan alergen makanan atau aeroalergen yang berbeda, yang
kemudian dapat memicu reaksi yang merugikan serupa dengan yang dipicu
oleh alergen yang asli. 18
Uji provokasi makanan dilakukan berdasarkan riwayat makanan yang
dicurigai serta hasil uji kulit terhadap makanan tersebut. Pelaksanaannya dapat
dilakukan secara terbuka, single-blind, double-blind, atau double-blind
placebo-controlled. Jika uji kulit negatif dan riwayat reaksi terhadap makanan
meragukan maka uji provokasi makanan terbuka dapat dilakukan setelah
melakukan diet eliminasi selama tiga minggu. Pada uji provokasi susu sapi
dilakukan dengan memberikan susu sapi mulai dari 1 tetes/15 menit hingga 30
ml/15 menit, dan bila telah mencapai 200 ml tidak terjadi reaksi alergi, maka
pasien dapat mengkonsumsi susu sapi.20
Uji provokasi makanan telah digunakan sebagai standar emas alergi
makanan dibandingkan tes alergi lain. 14
8
eosinofil/µL. Hitung eosinofil total dengan kamar hitung lebih akurat
dibandingkan persentase hitung jenis eosinofil sediaan apus darah tepi
dikalikan hitung leukosit total. Eosinofilia sedang (15%-40%) didapatkan pada
penyakit alergi, infeksi parasit, pajanan obat, keganasan, dan defisiensi imun,
sedangkan eosinofilia yang berlebihan (50%-90%) ditemukan pada migrasi
larva.
9
telah mengalami perbaikan standar kalibrasi WHO dengan mendeteksi alergen
IgE spesifik.6 Pemeriksaan IgE RAST (radioallergosorbent test) untuk
mendeteksi antibodi IgE spesifik dalam serum. Kelebihan pemeriksaan IgE
RAST walaupun mahal namun pada keadaan tertentu sangat diperlukan
misalnya pada keadaan dermatographisme, pasien yang sangat sensitif
terhadap bahan alergen dan pasien anak yang tidak kooperatif. Keuntungan
lain dari pemeriksaan IgE RAST adalah kuantitatif dan dapat dimanfaatkan
untuk memantau imunoterapi.1
Alergen yang diperlukan dilekatkan pada disket kertas yang
direaksikan dengan IgE spesifik terhadap alergen tersebut pada serum
contoh. Setelah dicuci untuk membuang IgE nonspesifik, ditambahkan
antibodi terhadap IgE manusia yang dilabel dengan zat radioaktif hingga
terbentuk komplek alergen IgE-spesifik anti-IgE radioaktif. Radioaktifitas
kompleks ini dapat diukur dengan penghitung serum contoh. Hasil
penghitungan dibandingkan dengan serum baku dan dibuat klasifikasi.
Biasanya klasifikasi dibagi menjadi 6 kelas yaitu antara 0 sampai 5.
Kelas 0 menunjukkan negatif sedangkan 5 menunjukkan sangat positif atau
sangat tinggi.19
10
3) Ikatan alergen-IgE dideteksi secara enzimatis oleh antibodi monoklonal
berlabel anti-human IgE.
Terdapat beberapa teknik yang sering digunakan untuk mendeteksi alergen IgE
spesifik berdasarkan prinsip immunoassay (Gambar 4)6, dimana sampai saat ini sistem
yang paling umum digunakan untuk menentukan IgE alergen spesifik adalah sistem
ImmunoCAP yang dianggap sebagai standar emas untuk mendiagnosis alergi secara
in vitro.6
Baru-baru ini, tes diagnostik alergen berdasarkan microarray juga telah
diperkenalkan baik dalam penelitian dan juga praktek klinis. Berbeda dengan
diagnosis alergi konvensional, microarray adalah tes alergen multi analitik yang
memungkinkan penyelidikan spontan hingga beberapa ratus alergen dalam satu
langkah analisis tunggal.6
11
Gambar 4. Teknik yang paling sering digunakan untuk mendeteksi alergen IgE
spesifik yang berdasarkan pada prinsip immunoassay. (*Dikutip sebagaimana
aslinya dari kepustakaan no.6)
12
Tes alergi tidak dapat digunakan jika kriteria medis dan pedoman tes alergi
tidak terpenuhi. Jika tes alergi di atas tidak dapat dilakukan, maka dapat dilakukan tes
alergi berikut :3
13
6. Provocation Neutralization Testing (Uji Rinkel)
Tes ini adalah prosedur yang berevolusi dari titik akhir seri titrasi dan
telah diusulkan sebagai tes alergi makanan, inhalan dan bahan kimia
lingkungan. Pasien yang terpapar diperiksa dosis zat intradermal, subkutan
atau sublingual, dengan tujuan memproduksi atau mencegah gejala.
Pemeriksaan ini belum terbukti.3,4
14
digunakan untuk individu yang memiliki atau sedang mempertimbangkan
logam implan ortopedi. Terdapat cukup bukti bahwa in vitro metal allergy
testing dapat meningkatkan keputusan manajemen pasien. Tidak ada
organisasi nasional yang mengeluarkan rekomendasi mengenai tes in vitro
alergi logam dan implan ortopedi.4
Tes alergi berikut ini masih dalam tahap penelitian dalam mendiagnosis alergi,
karena bukti klinis yang belum memadai keselamatan dan keberhasilan.
15
kekuatan otot dengan berbagai cara. Kelemahan otot diduga sinyal alergi
terhadap zat yang diuji.3,4
5. Tes IgG
Dalam tes IgG dilakukan pemeriksaan antibodi IgG dari darah. Adanya
serum antibodi IgG terhadap makanan tertentu diklaim oleh banyak praktisi
sebagai alat untuk mendiagnosis alergi makanan atau intoleransi. Masalah dalam
hal ini adalah bahwa IgG adalah "antibodi memori." IgG menandakan paparan
makanan, tidak alergi terhadap suatu makanan. Karena sistem kekebalan tubuh
yang normal harus membuat antibodi IgG terhadap protein asing, tes IgG positif
untuk makanan adalah tanda dari sistem kekebalan tubuh yang normal. Bahkan
hasil positif dapat benar-benar menunjukkan toleransi untuk makanan, tidak
intoleransi. Tidak ada bukti ilmiah untuk mendukung tes IgG untuk diagnosis
alergi makanan.6
16
KESIMPULAN
1. Tes alergi metode in vivo (tes kulit, organ challenge / provocation test / uji
provokasi) merupakan metode yang paling umum digunakan dan tes alergi
yang disukai. Tes alergi in vivo dirancang untuk mengkonfirmasi
hipersensitivitas dan mengidentifikasi antigen yang bertanggung jawab untuk
reaksi alergi.
2. Tes alergi in vitro telah ditunjukkan untuk menjadi alternatif yang efektif untuk
pasien dengan dugaan alergi makanan atau alergi inhalan yang dimediasi IgE
yang tidak dapat diuji dengan menggunakan metode vivo, atau sebagai
alternatif tes kulit untuk evaluasi reaktivitas silang antara racun serangga.
Selain itu, immunoassay IgE spesifik dapat digunakan sebagai tes tambahan
untuk penyakit alergi aspergilosis bronkopulmoner dan penyakit parasit
tertentu.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Ring J. What Is Allergy. Dalam : Akdis CA, Agache I, editor. Global Atlas Of
Allergy. European Academy of Allergy and Clinical Immunology. 2014;2-3
2. Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST, Lockey RF. Allergic Diseases as a
Global Public Health Issue. Dalam : Pawankar R, Canonica GW, Holgate ST,
Lockey.RF, editor. World Allergy Organization (WAO) White Book on
Allergy.2011;11-21.
3. BlueCross Blue Shield Of North Carolina. Corporate Medical Policy. Allergy
Testing. 2013.
4. Medical Policy. Capital Blue. Allergy testing and immunotherapy. MP-2.001.
2015.
5. HealthNet. National Medical Policy. Allergy Testing. NMP 252. 2014.
6. Genser JK, Grendelmeier PS. In vivo allergy diagnosis - skin tests. Dalam :
Akdis CA, Agache I, editor. Global Atlas Of Allergy. European Academy of
Allergy and Clinical Immunology. 2014;150-175
7. Australasian Society of Clinical Immunology and Allergy (ASCIA). Skin
prick testing for the diagnosis of allergic disease.2013.
8. Bush RK. Diagnostic Tests in Allergy. Dalam : Slavin R, Reisman RE, editor.
Expert Guide to Allergy and Immunology. American College of Physicians,
Philadelphia, Pennsylvania. 1999. 1-22.
9. Heinzerling L, Mari A, Bergmann KC, Bresciani M, Burbach G, Darsow U, et
al. Review The skin prick test -European standards. Clinical and Translational
Allergy. 2013; 3:1-10
10. Medicines to Avoid Before Allergy Skin Testing. American Academy of
Otolaryngic Allergy’s Clinical Care Statement. 2015
11. Carr TF, Saltoun CA. Chapter 2: Skin testing in allergy. Allergy Asthma
Proc.2012;33:6-8.
12. Fatteh S, Rekkerth DJ, Hadley JA. Skin prick/puncture testing in North
America: a call for standards and consistency. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology.2014;10:1-9.
18
13. Bousquet J, Heinzerling L, Bachert C, Papadopoulos NG, et al. Practical guide
to skin prick tests in allergy to aeroallergens. European Journal of allergy and
Clinical Immunology. Allergy. 2012;67(1):18-24.
14. Agache I, Bilo M, Braunstahl GJ, Delgado L, Demoly P, Eigenmann P,
Gevaert P, Gomes E, Hellings P, Horak F, Muraro A, Werfel T, Marek J. In
vivo diagnosis of allergic diseases-allergen provocation tests. Allergy. 2015;
70: 355-365.
15. Lieberman JA, Sicherer SH. Diagnosis of Food Allergy : Epicutaneous Skin
Tests, In Vitro Tests, and Oral Food Challenge. Curr Allergy Asthma Rep.
2010;11(1):58-64.
16. Castanedo-Tardan MP, Zug KA. Allergic Contact Dermatitis. Dalam :
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, editor.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. Edisi ke-8. New York: Mc
Graw-Hill. 2012; 152-165.
17. Spickett1 GP, Schwarz T. Clinical Immunology, Allergy and
Photoimmunology. Dalam : Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editor.
Rook's Textbook of Dermatology. Edisis 8. Blackwell Publishing 2010:13.1-
13.34
18. Gerez IF, Shek LP, Chng HH, Lee BW. Diagnostic tests for food allergy.
Singapore Med J. 2010; 51(1) : 4-9
19. Shreffler WG. Microarrayed recombinant allergens for diagnostic testing. J
Allergy Clin Immunol. 2011;127:843-849.
20. Guidelines for the Diagnosis and Management of Food Allergy in the United
States Summary for Patients, Families, and Caregivers. National Institute of
Allergy and Infectious Diseases. 2011;
21. Sicherer SH, Wood RA. Allergy Testing in Childhood: Using Allergen-
Specific IgE Tests. Pediatrics. 2012;29: 193-7
22. Lindberg M, Mihaly Matura M. Patch Testing. Dalam : Johansen JD, Frosch
PJ, Lepoittevin, JP, editor. Contact Dermatitis. Springer. 2011;439-464.
23. Gonçalo M. Photopatch Testing. Dalam : Johansen JD, Frosch PJ, Lepoittevin,
JP, editor. Contact Dermatitis. Springer. 2011;519-532.
24. Reinhardt R: State-of-the-art allergy and autoimmune diagnostic testing, MLO
Med Lab Obs. 2013;24-26.
19